You are on page 1of 11

Sejarah Munculnya Dwifungsi ABRI

OPINI
Arik Yudianto
| 12 Januari 2010 | 22:32

2364
3
2 dari 2 Kompasianer menilai Bermanfaat.

Urain tentang perkembangan fungsi ABRI sebagai kekuatan sosial politik tidak dapat
dilepaskan dari sejarah lahir dan tumbuhnya ABRI dalam perjuangan bangsa Indonesia.
ABRI lahir bersama-sama dengan meletusnya rovolusi rakyat, ia lahir dari anak-anak
rakyat sendiri. ABRI adalah angkatan bersenjata yang lahir dan tumbuh dengan
kesadaran untuk melahirkan kemerdekaan. ABRI pertama-tama adalah angkatan
bersenjata perjuangan dan baru setelah itu adalah angkatan bersenjata profesional. Setiap
prajurit ABRI pertama-tama adalah pejuang prajurit dan baru kemudian adalah prajurit
pejuang. Kelahiran dan pertumbuhan ABRI yang demikian itu membuat ABRI juga
berhak dan merasa wajib ikut menentukan haluan negara dan jalannya pemerintahan.
Inilah sebab pokok mengapa ABRI memiliki dua fungsi, yakni sebagai kekuatan militer
(pertahanan dan keamanan) yang merupakan alat negara, dan sebagai kekuatan sosial
politik yang merupakan alat perjuangan rakyat.

Untuk dapat memahami fungsi sosial politik ABRI dalam konteks kehidupan politik dan
ketatanegaraan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka akan
diuraikan perkembangan fungsi sosial politik ABRI khususnya dalam kerangka
perkembangan kehidupan politik dan kenegaraan bangsa Indonesia, sejak Perang
kemerdekaan (1945-1949), zaman demokrasi Liberal (1949-1959), masa demokarasi
Terpimpin (1959-1966), masa orde baru (1966-perkembangannya)

Masa Perang Kemerdekaan (1945-1949): Terbentuknya Pejuang Prajurit dan


Prajurit Perang.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, tidak segera dibentuk tentara
kebangsaan. Undang-Undang Dasar 1945 sendiri hanya memuat dua pasal mengenai
Angkatan Perang dan pembelaan negara, yaitu pasal 10 yang menetapkan bahwa Presiden
memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan
Udara, pasal 30 yang menentukan bahwa tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam usaha pembelaan negara yang syarat-syaratnya diatur undang-undang. Tidak
mengherankan perkembangan tentara Indonesia dalam negara Republik Indonesia lebih
banyak ditentukan oleh dinamika jalannya revolusi perjuangan bangsa daripada oleh
ketentuan Undang-Undang Dasar.1

Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ke-2 tanggal 19 Agustus
1945 diputuskan antara lain untuk membentuk tentara, tetapi keputusan ini kemudian
diubah dalam sidang PPKI ke-3 tanggal 22 Agutus 1945. Dalam sidang ini diputuskan
untuk membentuk Badan Kea2manan Rakyat (BKR) saja, sebagai bagian dari Badan
Penolong Keluarga Korban perang (BPKKP). Penggunaan nama tentara dihindari untuk
menunjukan politik dami republik Indonesia terhadap pihak sekutu yang menang perang.
BKR bertugas untuk memlihara keamanan dan ketertiban di daerah-daerah. BKR
mempersenjatai, melengkapi, dan membekali diri sendiri; disusun secara kedaerahan
(teritorial administratif) dan sedikit banyak dikendalikan oleh Komite Nasional Indonesia
(KNI) di daerah. Pimpinan BKR yang duduj di KNI ikut memecahkan masalah-masalah
yang timbul di bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Di samping BKR tumbuh
pula pasukan-pasukan bersenjata (badan/laskar perjuangan) yang terdiri dari pemuda-
pemuda dengan bermacam orentasi politik yang tidak puas dengan hanya dibentuk BKR.
Mereka menghendaki suatu tentara kebangsaan.3

Baru pada tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang menyatakan
bahwa “untuk memperkuat peranan keamanan umum, maka diadakan suatu Tentara
Keamanan Rakyat” (TKR). Bekas Mayor KNIL Urip Sumoharjo disertai tugas untuk
membentuknya dan Letnan Jendral Urip Sumoharjo berhasil mendirikan Markas
Tertinggi TKR di Yogyakarta. Konferensi pertama antara para komandan Divisi dan
Resimen TKR diadakan di Yogyakarta pada tanggal 12 November 1945 dan dipimpin
oleh Letjen Urip Sumoharjo. Dalam pertemuan ini antara lain diadakan pemilihan
Panglima Besar dan Menteri keamanan Rakyat. Terpilihlah kolonel Sudirman sebagai
Panglima Besar dan baru disahkan pada tanggal 18 Desember 1945, sedangkan usul
Sultan Hamengku Buwono IX sebagai menteri Keamanan Rakyat tidak dapat diterima
oleh Pemerintah. Walaupun telah terbentuk satu tentara dengan nama TKR, namun
barisan/pasukan pemuda bersenjata (badan/Laskar Pemuda) tetap diperbolehkan berdiri,
tanpa diperintah untuk melebur di TKR. Adanya dualisme kekuatan bersenjata ini
ternyata menimbulkan banyak kesulitan di kemudian hari.

Keterlibatan pimpinan tentara dalam sosial politik disebabkan adanya perbedaan


pandangan tentang strategi perjuangan menghadapi kaum penjajah. Pemerintah yang
dipimpin oleh kaum politik tua lebih menitikberatkan pada perjuangan diplomasi,
sedangkan pimpinan tentara yang tergolong kaum muda lebih menitikberatkan pada
perjuangan dengan menggunakan kekuatan senjata.4 Perbedaan persepsi tentang strategi
ini sering menimbulkan dialog dan silang pendapat antara pemerintah dan pimpinan
tentara yang mewarnai hubungan yang kurang serasi antara pemerintah dan pimpinan
tentara sampai menjelang diakuinya kemerdekaan Republik Indonesia oleh pihak
Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.

Pada tanggal 1 Januari 1946 nama Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara
Keselamatan Rakyat, yang dapat diartikan memperluas dan memperdalam tugas tentara
dari keamanan menjadi keselamatan dalam arti yang lebih luas.5 Kementrian Keamanan
Rakyat diubah pula menjadi Kementrian Pertahanan. Karena konteks politik berubah
menjadi sistem pemerintahan yang bertanggungjawab kepada parlemen dengan banyak
partai. Maka Mentri Pertahanan Amir Syarifudin berusaha sekerasnya untuk
mendudukkan TKR dalam posisi sebagai alat negara dibawah kendali pemerintah sesuai
dengan faham supermasi sipil. Usaha Menteri Pertahanan tersebut tidak realistik dilihat
dari situasi dan kondisi pada waktu itu serta mengingat proses lahir dan tumbuhnya TKR
yang menganggap dirinya sebagai alat perjuangan rakyat dan bukanya sebagai alat negara
belaka di bawah kendali pemerinta. Ketidaksesuaian jalan fikiran antara
Pemerintah/kabinet dan kalangan Markas Tertinggi TKR tersebut juga menjadi sumber
ketegangan politik dalam perkembangan selanjutnya.

Dalam usaha untuk menjadikan TKR sebagai alat Negara Republik Indonesia yang patuh
kepada pemerintah, maka pada tanggal 25 Januarai 1946 dikeluarkanlah Maklumat
Pemerintah yang merubah nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik
Indonesia (TRI). Ditetapkan bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi militer di negara
Republik Indonesia dan akan disusun atas dasar militer Internasional.

Sudah sejak awal pembentukannya, kabinet syahrir mengalami oposisi yang gencar dari
Persatuan Perjuangan di bawah pimpinan Tan Malaka. TRI dengan penuh minat
mengikutu kegiatan-kegiatan politik dan kadang-kadang dengan terbuka menyatakan pro-
kontranya. Oposisinya berkembang disertai dengan kerusuhan dan berakhibat
penagkapan terhadap pimpinan Persatuan Perjuangan. Panglima Sudirman yang semula
bersikap netral terhadap krisis-krisis tersebut akhirnya atas desakan Presiden Soekarno
menyatakan sikapnya mendukung Pemerintah serta bertindak terhadap Persatuan
Perjuangan, setelah peristiwa 3 Juli 1946 dapat diatasi.6

Adanya dua macam tentara, yaitu TRI sebagai tentara resmi di bawah Panglima Besar
dan brigade-brigade kelaskaran di bawah Biro Perjuangan sangat merugikan perjuangan
bangsa menghadapi ancaman Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 5 Mei 1947
dikeluarkan dekrit oleh Presiden/Panglima Tertinggi yang menentukan agar dalam waktu
sesing7katnya mempersatukan TRI dan laskar-laskar menjadi satu tentara. Mulai tanggal
3 Juni 1947 disahkan secara resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI). 8

Sementara itu strategi diplomasi yang dilancarkan oleh kabinet Syahrir telah
menghasilkan ditandatanganinya Persetujuan Linggarjati pada tanggal 23 Maret 1947.
Dilancarkanya Agresi Militer I oleh pihak Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 dan
gencatan senjata diadakan pada tanggal 5 Agustus 1947 maka TNI harus ditarik mundur
di belakang garis Van Mook yang ditetapkan oleh pihak Belanda dan sangat merugikan
pihak republik karena harus mengorbankan daerah-daerah strategis. Pada awal desember
1947 dimulai lagi perundingan dengan pihak Belanda oleh Kabinet Amir Syarifuddin
yang sejak 3 Juli 1947 menggantikan kabinet Syahrir III. Perundingan itu menghasilkan
persetujuan Renville, yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Pada tanggal 23
Januari 1948 Kabinet Amir Syarifuddin meletakkan jabatan karena hebatnya reaksi yang
timbul di kalangan partai-partai politik dan lebih-lebih dari pihak tentara. Kabinet Amir
Syarifuddin digantikan oleh kabinet Presidensial Mohammad Hatta mulai 29 Januari
1948.

Pelaksanaan program reorganisasi-rasionalisasi oleh kabinet Presidensial Mohammad


Hatta ini meninbulkan pro dan kontra terutama dari dalam Angkatan Perang sendiri.
Oposisi dengan tema; anti Renville dan anti Re-Ra dipimpin oleh mantan PM. Amir
Syarifuddin, ia membentuk “Front Demokrasi Rakyat” (FDR) pada tanggal 26 februari
1948 yang terdiri dari golongan sayap kiri. Dengan meleburnya Partai Buruh dan Partai
Sosialis ke dalam PKI, maka sejak September pimpinan FDR dikuasai oleh PKI dengan
Muso sebagai ketuanya. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan Tentara tidak dapat
dihindari dan mencapai puncaknya dengan pecahnya pemberontakan PKI di Madiun pada
tanggal 19 September 1948. Pemberontakan dapat ditumpas dalam waktu yang tidak
lama.9

Dalam pemulihan keamanan, TNI di samping melaksanakan fungsi Hankam, juga


melaksanakan fungsi sosial-politik. Mereka harus mampu memutar roda pemerintahan
dan ekonomi serta memulihkan kembali kehidupan masyarakat, disamping melanjutkan
tugas keamanan. Tetapi ternyata belum sampai sebulan sejak berakhirnya operasi
penumpasan kekuatan FDR/PKI, pihak Belanda melancarkan agresi militernya yang ke-2
dengan menyerang dan menduduki ibukota RI Yogyakarta pada tanggal 19 Desember
1948.

Pesiden Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta beserta beberapa Mentri ditahan
Belanda. Sebelum itu telah diberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr.
Syarifudin Prawiranegara untuk memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI) di Sumatera. Panglima Besar Sudirman meneruskan perjuangan bersenjata
dengan semboyan berjuang terus “met of zonder Pemerintah”. Kolonel A.H. Nasution
selaku Panglima Komando Jawa menyatakan berlakunya Pemerintahan Militer untuk
seluruh jawa dengan tujuan untuk menyelamatkan Republik Indonesia, dengan susunan
pemerintahannya sebagai berikut; (a) Panglima Besar Angkatan Perang (PBAP) sebagai
pimpinan tertinggi, (b) Panglima Tentara dan Teritorial Jawa (PTTD) untuk pimpinan di
Jawa dan Madura, (c) Gubernur Militer (GM) untuk provinsi, (d) Komando Militer
Daerah (KMD) untuk karesidenan, (e) Komandan Distik Militer (KDM) untuk
Kabupaten, (f) Komandan Onder Distrik Militer (KODM) untuk kecamatan. Tugas pokok
tiap eselon ialah menyelenggarakan dan menghidupkan kembali seluruh aspek
pemerintahan yang meliputi bidang-bidang: pemerintahan umum, ekonomi,
kemasyarakatan, pertahanan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa selama mengobarkan perang gerilya itu TNI
tidak hanya melaksanakan fungsi militer, melainkan juga melaksanakan fungsi sosial
politik, dengan menugaskan pula personil militer pada bidang-bidang non militer.

Atas desakan PBB akhirnya RI dan Belanda dapat dipertemukan di meka perundingan,
dan pada tanggal 7 Mei 1949 tercapailah Persetujuan Rum-Royen. Persetujuan Rum-
Royen yang dihasilkan oleh kaum politisi dan pemerintah, oleh kalangan militer
dirasakan tidak sesuai dengan pandangan militer, karena justru pada dewasa itu tentara
telah selesai dengan tingkat konsolidasi pasukan dan pemerintahan gerilya, sehingga
perjuangan dapat meningkat pada tahap taktis offensif untuk menghancurkan bagian-
bagian musuh yang lemah.

PDRI yang memegang kekuasaan negara yang sah dan mendapatkan dukungan dari TNI
semula tidak mau menerima persetujuan Rum-Royen, tetapi akhirnya dengan berat hati
dapat menerima setelah diadakan kontrak dan pembicaraan antara Bangka-Jakarta dengan
PDRI dan TNI. Pada tanggal 6 Juli 1949 Soekarno-Hatta serta pimpinan lainnya
dikembalikan ke Yogyakarta. Satu minggu kemudian Mr. Syarifuddin Prawiranegara
menyerahkan kembali mandatnya selaku Presiden kepada Soekarno. Pada tanggal 1
Agustus 1949 dicapai persetujuan “cease fire” antara RI-Belanda.

Konperensi Meja Bundar diselenggarakan tanggal 23 Agustus sampai dengan tanggal 2


November di Den Haag, dan dicapai persetujuan bahwa kerajaan Belanda akan
menyerahkan kedaulatan atas seluruh wilayah Hindia Belanda (kecuali Irian Barat)
kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949.

Selama perjuangan kemerdekaan dengan perang rakyatnya, TNI mengalami proses


penggodokan. Hal ini yang telah mendewasakannya, tidak hanya sebagai kekuatan militer
dalam tugas pertahanan-keamanan, tetapi juga sebagai kekuatan sosial politik dalam
mengani masalah-masalah politik, ekonomi, sosial budaya, dan pemerintahan dalam
masyarakat yang sedang berjuang. Ini merupakan modal yang sangat besar. Namun perlu
disadari bahwa suatu angatan perang yang lahir dalam masa revolusi kemerdekaan sering
menjadi sumber instabilitas dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.10 Masalah
inilah yang harus diperhatikan dalam membangun TNI di masa damai setelah tercapai
pengakuan kedaulatan

Masa Demokrasi Liberal (1949-1959): Peranan politik ABRI dari kelompok


kepentingan menjadi Golongan Karya ABRI.

Setelah pengakuan kedaulatan berlaku Konstitusi Repiblik Indonesia Serikat (RIS) dan
setelah RIS menjadi negara kesatuan kembali, maka yang berlaku ialah Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Sementara (UUDS). Kedua UUD tersebut menganut faham
demokrasi liberal dengan faham supermasi sipil dan sistem banyak partai. Tempat dan
peran Angkatan Perang ialah di bawah kendali sipil dan tidak dibenarkan berpolitik.

Bagi Angkatan Perang pembangunan tersebut berarti mentansformasikan tentara revolusi


menjadi tentara profesional dengan tetap memelihara sifat kejuangan prajurit pejuang.
TNI juga masih terlibat dalam oprasi-oprasi melawan DT/TII dan juga menghadapi
Republik Maluku Selatan (RMS). Dalam keadaan itu lahir Sapta Marga (5 Oktober
1951). Sapta Marga tidak hanya merupakan kode etik prajurit Indonesia, tetapi juga
penegasan bahwa TNI akan tetap menegakkan negara kesatuan yang berdasarkan
Pancasila.

Masalah-masalah intern Angkatan Perang, dalam hal ini Angkatan Darat dianggap
sebagai campur tangan parlemen terhadap masalah intern Angkatan Perang. Pimpinan
Angkatan Darat disertai serombongan perwira menghadap Presiden Soekarno dan
menghimbau pembubaran parlemen karena dipandang tidak representatif, dan agar segera
diadakan Pemilihan Umum. Permintaan itu tidak dapat dipenuhi. Peristiwa 17 Oktober
1952 ini menimbulkan perpecahan dalam tubuh TNI-AD yang meluas sampai ke divisi-
divisi di beberapa daerah. Akhirnya masalah yang berkaitan dengan Peristiwa 17 Oktober
1952 dideponir oleh pemerintah. Namun demikian terhadap peristiwa tersebut tidak dapat
diadakan penyelesaian intern secara tuntas dan bahkan terjadilah pergolakan-pergolakan
intern dalam tubuh TNI-AD yang berkepanjangan.
Masalah jabatan KSAD berhasil diselesaikan oleh Kabinet Burhanuddin dengan
diangkatnya Kolonel A.H. Nasution menjadi KSAD dengan pangkat Jendral Mayor, dan
dilantik secara resmi pada tanggal 7 November 1955. Cukup banyak peristiwa terjadi
yang sumber pokoknya terletak pada “insubordinasi” terhadap kebijaksanaan KSAD. Di
bidang politik terdapat kemacetan dalam Konstituante hasil Pemilu tahun 1955 yang
tidak dapat melaksanakan tugasnya menyususn UUD baru. Terdapat dua kubu: yang satu
ingin tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar Ideologi agama islam. Sementara di
daerah-daerah sumantra, kalimantan, sulawesi timbul pergolakan yang menunjukkan
ketidakpuasan terhadap kebijaksanaan pembangunan Pemerintah Pusat yang dianggap
kurang memperhatikan prinsip pemerataan pembangunan di antara daerah-daerah.
Timbul dewan-dewan kedaerahan (1956-1957) yang dipimpin/disponsori oleh panglima-
panglima didaerah dan dimanfaatkan oleh oposisi (PSI dan Masyumi).

Gejolak dalam lingkungan Angkatan Perang dan gejolak di daerah-daerah seperti


diuraikan di atas menyebabkan jatuhnya Kabinet Ali Sastromidjojo pada tanggal 14
Maret 1957. Gejolak di daerah-daerah menjurus ke daerahisme dan separatisme mencapai
puncaknya dengan proklamasi PRRI/Permesta pada tanggal 15 Februari 1958 yang
penyelesaiannya secara tuntas memerlukan waktu yang cukup lama, tetapi akhirnya
berhasil ditumpas dengan oprasi militer (1962).

Keadaan Negara RI pada pertengahan 1950-an menjadi sangat gawat. Pimpinan Negara
dalam hal ini Presiden Soekarno mulai mencari sebab-sebab instabilitas politik dan
berkesimpulan bahwa semua ini adalah akhibat sistem ketatanegaraan dan politik yang
dipakai, ialah sistem demokrasi barat yang berdasarkan individualisme, dalam sisitem
pengambilan keputusan dilakukan dengan sisitem voting. Ini dirasakan tidak cocok
dengan jiwa bangsa Indonesia yang menganut demokrasi berdasarkan kekeluargaan yang
mengambil keputusan dengan mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Lebih buruk
lagi ialah penerapan lembaga oposisi yang menjelma menjadi oposisi dengan tujuan
menjatuhkan setiap pemerintahan yang sedang berkuasa. Presiden Soekarno yang pernah
mempunyai gagasan untuk menghapuskan partai politik dan menggantikannya dengan
golongan profesi (fungsional) menawarkan konsepsi demokrasi tepimpin pada bulan
Februari 1957 yang pelaksanaannya diwujudkan dengan pembentukan Dewan Nasional
yang mencerminkan golongan profesi (fungsional).

Proses “rethinking” juga terdapat dalam lingkungan Angkatan Perang. Bagaimana posisi
dan peranan Angkatan Perang dalam negara Pancasila sehingga dapat memberikan
sumbangan dan dorongan untuk ikut menciptakan dan meningkatkan stabilitas dan
kemajuan masyarakat dan negara dan tetap ikut mempertahankan negara Pancasila yang
demokrasi berdasarkan hukum dan konstitusi. Hasil pemikiran di lingkungan Angkatan
Perang melahirkan konsepsi seperti dikemukakan oleh KSAD Jendral Nasution di
Akademi Militer Nasional (November 1958): TNI/ABRI perlu ikut dalam pembinaan
negara, bukan untuk mendominasi dan memonopoli kekuasaan seperti dalam junta-junta
militer, karena itu bertentangan dengan Sapta Marga. Hal itu dengan demikian peranan
ABRI harus diperluas.
Konsepsi Presiden dibicarakan dalam Dewan Nasional, demikian pula konsepsi A.H
Nasution agar TNI dapat dimasukkan sebagai golongan fungsional, sehingga sebagai
golongan fungsional ABRI secara resmi dapat berperan di bidang politik. Anjuaran
Presiden untuk kembali ke UUD 1945 mengalami perdebatan yang cukup hangat dan
lama di Konstitiante. Amandemen fraksi-fraksi Islam agar Piagam Jakarta dimasukkan
dalam UUD 1945 ditolak dengan suara 201 setuju dan 265 tidak setuju, sedangkan
keinginan fraksi-fraksi yang setuju kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen (melalui
tiga kali pemungutan suara) telah menperoleh dukungan suara mayoritas, namun tidak
berhasil mencapai mayoritas 2/3 dari yang hadir yang merupakan persyaratan yang
diperlukan bagi sahnya keputusan suatu Rancanfan UUD.

Presiden Soekarno dengan dukungan penuh ABRI akhirnya mengeluarkan dekrit untuk
kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959. Dengan diperlakukannya kembali UUD
1945, maka peran politik ABRI sebagai golongan fungsionsl/kekuatan sosial politik
memperolah landasan konstitusional.

Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)

Dekrit 5 Juli 1959 memuat tiga hal pokok, ialah: (1) Pembubaran Konstituante, (2)
Menetapkan UUD 1945 dan berlaku lagi, (3) Pembentukan Majelis Permusawarahan
Rakyat Sementara (MPRS) dan dewan pertimbangan agung sementara (DPAS) dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya. Sebagai tindak lanjud maka dibentuklah Kabinet Kerja
I (tanggal 10 juli 1959) dimana duduk 8 perwira ABRI, di samping para kepala staf
Angkatan dan Kapolri yang duduk dalam Kabinet secara ex officio. Dibentuk pula MPRS
(tanggal 22 juli 1959) dan DPAS (akhir juli 1959), sedangkan Dewan Nasional
dibubarkan. Sementara itu DPR hasil pemilu 1955 menyatakan bersedia bekerja sesuai
UUD 1945 dengan DPR-peralihan.

Ternyata tekad untuk kembali ke UUD 1945 tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Hak budget DPR tidak dilaksanakan, dalam arti pemerintah tidak mengajukan rencana
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendapatkan
persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan. Bahkan
kegiatan DPR-peralihan dihentikan karena tidak menyetujui Rencana APBN yang
diajukan Pemerintah (1960). Kemudian dibentuk DPRGR dengan 283 anggota, 35
diantaranya dari golongan karya ABRI. MPRS yang kemudian debentuk, DPRGR dan
lembaga tinggi lainnya ditempatkan sebagai pembantu-pembantu presiden. Banyak
kebijaksanaan dan pengaturan tentang hal-hal yang semestinya dilaksanakan dengan UU,
diatur dengan penetapan presiden yang berkekuatan sebagai UU tanpa persetujuan
DPRGR. Presiden diangkat untuk seumur hidup oleh MPRS (SU MPRS II Tahun 1963).

Berbagai contoh di atas menunjukkan terjadinya penyelewengan terhadap UUD 1945,


suatu hal yang sangat tidak dikehendaki oleh ABRI. Walaupun demikian ABRI dalam
kenyataannya tidak dapat berbuat banyak, bahkan dalam menghadapi berbagai
kebijaksanaan presiden tidak dapat berbuat lain daripada melaksanakannya. Keadaan
seperti ini terpaksa dilakukan untuk menghindari situasi konfrontatif dengan presiden
yang dapat berakhibat mondorong lebih dekatnya presiden dengan PKI.
Dekrit presiden Soekarno 5 juli 1959 yang berisikan keputusan untuk kembali ke UUD
1945 tidak mungkin dikeluarkan tanpa dukungan sepenuhnya dari ABRI. Walaupun
demikian, dalam perkembangan selanjutnya, setelah UUD 1945 dilaksanakan secara
tidak semestinya, demikian juga karena tindakan-tindakan presiden menjurus
kepemerintahan diktaktor, serta adanya sikap presiden soekarno yang istimewa terhadap
PKI, maka tmbullah jarak psikologis antara presiden Soekarno dan ABRI. Presiden
Soekarno yang ingin lebih berperan dalam kedudukan sebagai panglima tertinggi ABRI
pada bulan juni 1962 membentuk staf Angkatan Bersenjata yang dipimpin oleh kepala
staf angkatan bersenjata (KSAB). Sebagai KSAB ditunjuk Jendral A.H Nasution,
kedudukannya sebagai kepala staf angatan darat digantikan oleh mayor jendral A. Yani.
Sementara itu angkatan-angkatan dan Polri dengan kepala staf angkatan dan kapolri yang
diberi kedudukan mentri ditetapkan langsung bertanggung jawab kepada presiden.
Ketentuan terakhir ini memperbesar kekuasaan presiden terhadap angkatan dan Polri,
namun memperlemah persatuan dan kesatuan dalam tubuh ABRI.

Tujuan Front Nasional sebagai alat demokrasi terpimpin ialah: (1) menyelesaikan
revolusi nasional indonesia, (2) melaksanakan pembangunan semesta nasional, (3)
mengembalikan irian barat kewilayah RI. Sejak bulan maret 1961 dibentuk cabang-
cabang Front Nasional di daerah-daerah. Sementara itu Front Nasional sendiri menjadi
ajang arena perebutan pengaruh antara partai-partai politik dan golongan karya murni,
terutama antara PKI dan ABRI. Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1964 dengan bantuan
ABRI, organisasi-organisasi golongan fungsional dalam Front Nasional mengadakan
forum kerja sama, diputuskan untuk membentuk “Serikat Golongan Karya” yang
disingkat Sekber Golkar. Sekber Golkar dibentuk dengan maksud menandingi
FrotNasional yang di dominasi oleh PKI.

Usaha-usaha lain yang digunakan oleh ABRI dalam rangka mengimbangi kekuatan PKI
terutama di daerah-daerah, ialah dengan jalan meningkatkan organisasi teritorial sesuai
dengan doktrin perang wilayah. Pada akhir 1962 dalam struktur aparatur teritorial
ditingkat kecamatan diadakan Komando Rayon Militer (KORAMIL) dan sejak 1963
ditingkat desa diadakan Bintara Pembina Desa (BABINSA). Dalam bidang media
komunikasi masa, ABRI menerbitkan surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha
untuk mengimbangi propaganda dan agitasi PKI melalui surat kabar harian rakyat,
bintang timur, dan wana bakti. Ditingkat perguruan tinggi diadakan resimen mahasiswa
untuk mengimbangi kegiatan CGMI yang berafiliasi PKI.11

Keadaan ekonomi sangat memburuk; PKI melancarkan demostrasi besar-besaran untuk


menuntut penurunan harga beras dan perbaikan ekonomi. Agitasi dilancarkan terhadap
jendral-jendral ABRI sebagai kapitalis birokrat, koruptor, setan-setan kota dan
sebagainya yang mencapi puncaknya dengan pemberontakan G 30 S/PKI pada dini hari 1
Oktober 1965. Pasukan-pasukan bersenjata mengadakan penculikan dan pembunuhan
terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama TNI-AD dan perebutan
beberapa instalasi strategis di ibukota. Secepat meletusnya pemberontakan G 30 S/PKI
secepat itu pula penumpasannya oleh soeharto, yang kemudian ditugasi oleh presiden
Soekarno untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban yang bersangkutan
dengan G 30 S/PKI.
Dalam situasi politik yang tidak menentu, krisis ekonomi menjadi semakin parah,
masyarakat menjadi gelisah dan tidak puas. Akhirnya meledaklah demonstrasi-
demontrasi mahasiswa. Mereka mengajukan Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA) kepada
pemerintah pada tanggal 10 januari 1966, yaitu; (1) Bubarkan PKI, (2) Turunkan
harga/perbaiki ekonomi, (3) Retool kabinet dwikora. Untuk mengatasi krisis nasional
yang semakin parah, pada tanggal 11 September 1966 presiden Soekarno memerintahkan
kepada Letjen Soeharto atas nama presiden mengambil segala tindakan yang dianggap
perlu demi terjalinnya keamanan, ketenangan serta kesetabilan jalannya pemerintahan
dan jalannya revolusi.

Berdasarkan Surat perintah 11 Maret 1966 tersebut segera diambil tindakan untuk
menyelesaikan masalah PKI. PKI beserta seluruh ormasnya dilarang dan tidak
mempunyai hak hidup lagi terhitung mulai tanggal 12 maret 1966. Disamping itu pada
tanggal 18 Maret 1966 diadakan pengamanan terhadap 15 menteri yang dinilai terlibat
dalam G 30 S/PKI atau memperlihatkan iktikad tidak baik dalam rangka penyelesaian
mandat itu. Sementara itu DPRGR dalam sidang Paripurnanya tanggal 16 maret 1966
mendukung kebijakan Pengemban Surat Perintah 11 Maret.

Masa Orde Baru (1966-berkembangnya)

Orde Baru ialah tatanan seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang kita
letakkan kembali kepada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan
TAP MPRS No. XIII/MPRS/1966 telah berhasil dibentuk kabinet Ampera, dengan
dibentuknya Kabinet Ampera yang dipimpin oleh Soeharto yang didalamnya terdapat
pula perwira-perwira ABRI, berarti ABRI menerima dan ikut bertanggungjawab atas
nasib bangsa dan negara. Didorong oleh rasa tanggungjawab tersebut diadakanlah
seminar angkatan darat II di SESKOAD Bandung pada tanggal 25 s/d 31 Agustus 1966.
Seminar ini membahas 3 permasalahan pokok, yaitu; (1) Stabilitas sosial politik, bagian
ke pertamanya “masalah persatuan dan kesatuan nasional yang kokoh dan dinamis
sebagai prasarat untuk menyukseskan progran-program nasional, serta peranan Angkatan
Bersenjata/TNI-AD khususnya”, (2) Stabilitas sosial ekonomi, bagian ketiganya “Peranan
Angkatan Bersenjata, TNI-AD khususnya dalam sektor produksi dan distibusi”, (3)
Kedudukan dan peranan ABRI/TNI-AD dalam revolusi Indonesia sebagai alat revolusi,
alat penegak demokrasi dan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara(alat
revolusi=alat perjuangan).

Tentang masalah ketiga yang dibicarakan dalam seminar TNI-AD ke II tersebut


merupakan penyempurnaan doktrin perjuangan TNI-AD “TRI UBAYA CAKTI” dari
hasil seminar TNI-AD I yang diselenggarakan pada tanggal 2 s/d 9 April 1965.
Sebagaimana diketahui, dalam doktrin TRI UBAYA CAKTI hasil seminar TNI-AD I,
untuk pertama kalinya dirumuskan doktrin Dwifungsi ABRI. Ditegaskan bahwa
kedudukan TNI-AD sebagai golongan karya ABRI merupakan suatu kekuatan sosial
politik dan kekuatan militer; adalah bagian daripada kekuatan progresif-revolusioner
yang menetapkan sekaligus perannya sebagai alat revolusi, alat demokrasi, dan alat
kekuasaan negara. TNI-AD sebagai alat revolusi, alat demokrasi, dan alat kekuasaan
negara, ikut mengambil bagian dalam menentukan dan melaksanaakan Haluan Negara,
untuk menuju tercapainya “masyarakay sosialis indonesia berdasarkan pancasila dan
terciptanya cita-cita pembentukan dunia baru, melindungi kepentingan nasional dan
membina pertahanan/keamanan nasional”. Dalam pengembangan doktrin ini perlu
difahami bahwa kedudukan dan peranan golongan karya kini sudah jelas dan nyata
daripada dimasa lalu. Dalam hal ini peranan TNI-AD sebagai salah satu unsur golongan
karya ABRI sangat menentukan dalam pembinaan dan pengembangan golongan karya
secara keseluruhan. Telah disoroti pula 3 masalah pembinaan TNI-AD sebagai; Kekuatan
Militer, Golongan Karya, dan Pembinaan Pertahanan Darat nasional.12

Pada dasarnya semua kekuatan sosial politik secara langsung atau tidak langsung terlibat
dalam tiap kegiatan dalam proses siklus tersebut, demikian pula ABRI sebagai kekuatan
sosial politik. Keterlibatan ABRI khususnya diwujudkan dengan duduknya wakil-wakil
ABRI sebagai fraksi ABRI dalam MPR, DPR, dan DPRD. Fraksi ABRI ini disamping
sebagai wakil-wakil rakyat juga merupakan fraksi “pendukung pemerintah”. Di bidang
eksekutuf ABRI juga menyumbangkan prajurit-prajurit terbaiknya untuk melaksanakan
tugas negara dan pemerintahan di banyak bidang mulai dari tingkat yang tertinggi
samapai yang terendah, di pusat maupun di daerah. Di samping itu ABRI juga
menyumbangkan gagasan dan fikirannya berupa konsep-konsep kepada pemerintah.
Dengan usaha seperti diatas, maka ABRI sebagai kekuatan sosial politik selalu membantu
pelaksanaan program-program repelita untuk mencapai cita-cita.

1 TB. Simatupang, prisma, tahun IX No. 12 Desember 1980, halaman 20

3 Nugroho Notosusanto, pejuang dan prajurit, konsepsi dan implementasi dwifungsi


ABRI. Jakarta Penerbit Sinar Harapan 1984, halaman 37

4 A.H. Nasution, TNI 1, Djakarta, Ganaco NV, Cet. ke-2, 1963, halaman 21

5 A.H. Nasution, ibid, halaman 245

6 Yahya A. Muhaimin, pengembangan militer dalam politik di Indonesia 1945-1966,


Yogyakarta Gajah Mada University Press 1982, halaman 47

8 Nugroho Nutosusanto, halaman 47

9 A.H Nasution TNI 2 Djakarta, Sereuling Masa, 1968, halaman 130

10 TB. Simatupang TNI 1. halaman 19

11 Yahya A. Muhaimin, halaman 166-167


12 Dwi fungsi ABRI, perkembangan dan perannya dalam kehidupan politik di indonesia,
Soebijono S.H, dkk. Gajah Mada University Press, Halaman 35
http://blogshop.kompasiana.com/2010/01/12/sejarah-munculnya-dwifungsi-abri/

You might also like