Professional Documents
Culture Documents
PERENCANAAN PEMBELAJARAN
A. Pengertian Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu hal yang begitu penting bagi seseorang yang
akan melaksanakan tugas atau pekerjaannya, termasuk guru yang memiliki
tugas/pekerjaan mengajar (mengelolah Pembelajaran)
Supaya guru dapat menyusun suatu perencanaan Pembelajaran harus
memahami prinsip-prinsip perencanaan dengan baik sebagai prasyarat
mutlak yang harus dipenuhi seorang guru.
Pengertian perencanaan atau dalam Bahasa Inggris “Planning” atau desain
“Design” ada juga mengartikan sebagai persiapan. Di dalam ilmu manajemen
pendidikan atau ilmu administrasi pendidikan, perencanaan diartikan sebagai
persiapan menyusun suatu keputusan berupa langkah-langkah penyelesaian
suatu masalah atau pelaksanaan suatu pekerjaan yang terarah pada
pencapaian tujuan tertentu.
Ada beberapa defenisi tentang perencanaan yang rumusannya berbeda-beda
satu dengan yang lain. Cunningham (1982) mengatakan perencanaan itu
ialah menyeleksi dan menghubungkan pengetahuan, fakta-fakta, imajinasi-
imajinasi, dan asumsi-asumsi untuk masa yang akan datang untuk tujuan
untuk memvisualisasi dan memformulasi hasil yang diinginkan, urutan
kegiatan yang diperlukan, dan perilaku batas-batas yang dapat diterima yang
akan digunakan dalam penyelesaian. Perencanaan disini menekankan
kepada usaha menyeleksi dan menghubungkan sesuai untuk kepentingan
untuk masa yang akan datang serta usaha untuk mencapainya.
Arthur W. Steller (1983) mendefenisikan bahwa perencanaan ialah hubungan
antara apa adanya sekarang ( what is) dengan bagaimana seharusnya (would
should be) yang bertalian dengan kebutuhan, penentuan tujuan, prioritas
program, dan alokasi sumber.
Sementara Stephen P. Robbins (1982) mendefenisikan secara pendek bahwa
perencanaan adalah suatu cara untuk mengantisipasi dan menyeimbangkan
perubahan. Dalam defenisi ini ada asumsi bahwa perubahan itu sering
terjadi.
Fredman dan Hudson (1974) mengemukakan empat kategori utama dalam
tradisi perencanaan. Keempat tradisi itu masing-masing adalah penganut
filsafat sintetis (The Philosophical syntetik), penganut filsafat rasionalisme
(The rationalism), penganut pengembangan organisasi (Organization
Development), dan penganut empirisme (Empiricism).
Penganut Filsafat Sintetis seperti Manheim (1949) Dahl dan Lindblom (1953)
Etzioni (1969) melihat perencanaan sebagai cara berpikir, proses
pengambilan keputusan, dan bimbingan sosial (societal guidency).
Perencanaan merupakan usaha untuk mengoptimalkan kesimbangan antara
pengawasan (control) yang ketat dengan konsesus yang lemah. Perencanaan
dapat dipandang sebagai suatu proses yang bersifat psikologis, yaitu untuk
suatu “pembelajaran” dengan penekanan pada transaksi interpersonal.
Penganut The rationalism seperti Ackoff (1974) mengemukakan empat
kategori sikap atau pandangan terhadap perencanaan, yakni (1) inactivists,
puas dengan cara yang ada dan cara yang berlaku, (2) reactivists, memilih
keadaan seperti yang telah terjadi dan mereka percaya sesuatu yang akan
lebih buruk dari pada yang buruk. (3) preactivists, mereka percaya masa
depan pada dasarnya susah dikontrol, namum dapat dipercepat
kehadirannya dan mengontrol akibat-akibatnya, dan (4) interactivists,
mereka para edialis kecendurangan untuk melakukan perubahan. Menurut
penganut rasionalisme, perencanaan merupakan suatu bentuk pengambilan
keputusan, suatu proses yang mengikuti langkah-langkah procedural dalam
rangka pengambilan keputusan, pemilihan alternative, consensus, dan hasil.
Penganut Organization Development berpandangan bahwa pengembangan
organisasi dapat di pandang sebagai salah satu metode perencanaan di
mana perubahan dan pengembangan organisasi akan berpengaruh terhadap
perubahan eksternal suatu system. Perubahan organisasi merupakan suatu
proses pembelajaran mengenai kesadaran dan tingkah laku anggota
organisasi. (Bennis, 1969)
Sementara penganut Empiricism menyatakan bahwa dalam perencanaan
terdapat dua aliran yaitu, aliran pertama, yang memusatkan perhatiannya
pada aspek politik dan realitas fungsi ekonomi skala nasional. Perhatian pada
aliran ini difokuskan pada berbagai studi mengenai perencanaan nasional
dan perencanaan yang sifatnya indikatif, sedangkan aliran kedua,
perhatiannya difokuskan terhadap berbagai studi mengenai politik
pembangunan perkotaan (Fredman dan Hudson, 1974)
Dari beberapa defenisi tersebut diatas memperlihatkan rumusan dan tekanan
yang berbeda. Yang satu mencari wujud yang akan datang serta usaha untuk
mencapainya, yang lainnya menghilangkan kesenjangan antara keadaan
sekarang dengan keadaan yang masa akan datang, dan satunya lagi
merubah keadaan agar sejalan dengan kondisi sekarang.
B. Dimensi-dimensi perencanaan
Dimensi perencanaan yaitu berlaitan dengan cakupan dan sifat-sifat dari
beberapa karakteristik yang ditemukan dalam perencanaan Pembelajaran.
Pertimbangan terhadap dimensi-dimensi itu menurut Harjanto (1997 : 5)
memungkinkan diadakannya perencanaan kompherensif yang menalar dan
efisien, yakni :
1. Signifikansi : tingkat signifikansi tergantung pada tujuan pendidikan yang
diajukan dan signifikansi dapat ditentukan berdasarkan kreteria-kreteria yang
dibangun selama proses perencanaan.
2. Feasibilitas : perencanaan harus disusun berdasarkan pertimbangan
realities baik yang berkaitan dengan biaya maupun pengemplentasinnya.
C. Pembelajaran
Para ahli pendidikan mayoritas mengartikan Pembelajaran adalah terjemahan
dari instruction atau teaching. Pengertian tersebut menurut Arif S. Sadiman
tidak tepat karena padanan tersebut tidak tepat secara pas, instruction lebih
luas pengertiannya dari Pembelajaran. Instruction mencakup semua event
yang mungkin punya pengaruh langsung kepada proses belajar manusia dan
bukan saja terbatas pada event (peristiwa-peristiwa) yang dilakukan oleh
guru/dosen/instruktur. Instruction itu meliputi pula kejadian-kejadian yang
diturunkan oleh bahan cetakan, gambar, program televisi, film, slide, dan
lain-lain.
Sementara dalam pengertian lain diungkapkan bahwa Pembelajaran itu
adalah suatu proses yang sistimatis dan prosedural dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar
tertentu. Menurut Joyce dan Weil (1986) Pembelajaran adalah “proses
membantu para pelajar memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara
berfikir, saran untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar
bagaimana belajar”.
Menurut Lindgren (1976) fokus sistim pendidikan mencakup tiga aspek, yaitu
(1) siswa, yang paling penting sebab tanpa siswa tidak akan ada proses
belajar, (2). Proses belajar, yaitu apa saja yang dihayati siswa apabila mereka
belajar, bukan apa yang harus dilakukan guru untuk mengajarkan materi
pelajaran tetapi apa yang akan dilakukan siswa untuk mempelajarinya, dan
(3). Situasi belajar, yaitu lingkungan dimana terjadi proses belajar dan
mencakup semua faktor yang mempengaruhi siswa atau proses belajar
seperti guru, kelas dan interaksi didalamnya, dan sebagainya.
Mengajar merupakan suatu aktifitas profesional yang memerlukan
keterampilan tingkat tinggi dan mencakup pengambilan keputusan (Davies,
1971). Di masa lampau keputusan-keputusan tersebut lebih merupakan
keputusan jangka pendek yang bersifat insindental, tetapi dengan bertambah
banyaknya informasi yang ada sekarang maka hal tersebut tidak dapat
dilakukan lagi. Guru dalam Pembelajaran dituntut untuk berfungsi sebagai
pengelola proses belajar mengajar yang melaksanakan empat macam tugas,
yakni : merencanakan, mengatur, mengarahkan, dan mengevaluasi.
D. Pengertian Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan Pembelajaran adalah suatu pemikiran atau persiapan untuk
melaksanakan tugas mengajar/aktifitas Pembelajaran dengan menerapkan
prinsip-prinsip Pembelajaran serta melalui langkah-langkah Pembelajaran;
perencanaan itu sendiri, pelaksanaan dan penilaian, dalam rangka pencapian
tujuan Pembelajaran yang telah ditentukan. Ada pula yang memberikan
batasan pengertian yang berbeda, bahwa perencanaan Pembelajaran
sebagai pemikiran tentang penerapan prinsip-prinsip umum Pembelajaran
dalam rangka pelaksanaan tugas mengajar dalam suatu interaksi
Pembelajaran (interaksi guru dan siswa) tertentu yang khusus, baik yang
berlangsung di dalam kelas maupun diluar kelas. Makin baik perencanaan
Pembelajaran maka makin baik pula dalam pelaksanaan Pembelajarannya.
William H. Newman (Abdul Majid. 2008), mengemukakan bahwa perencanaan
adalah menentukan apa yang akan dilakukan. Perencanaan mengandung
rangkaian-rangkaian putusan yang luas dan penejalsan-penjelasan dari
tujuan, penentuan kebijakan, program, metode dan prosedur tertentu dan
penentuan kegiatan berdasarkan jadwal sehari-hari.
Nurhida Amir dan Rochdito berpendapat, bahwa membuat perencanaan
Pembelajaran merupakan suatu proses analisis dari kebutuhan dan tujuan
belajar, pengembangan materi, kegiatan belajar mengajar, dan kegiatan
penilaian hasil belajar peserta didik, mencoba merevisi semua kegiatan
mengajar dan penilaian peserta didik.
Dengan demikian guru adalah sebagai desainer/perancang Pembelajaran
sekaligus sebagai pengelolah/pelaksana Pembelajaran. Maka, untuk dapat
melakukan tugasnya, baik sebagai desainer maupun sebagai
pengelola/pelaksana Pembelajaran guru perlu memiliki pengetahuan dan
keterampilan dalam menyusun perencanaan Pembelajaran. Perencanaan
Pembelajaran merupakan alat yang dapat membantu guru dalam
melaksanakan kegiatan mengajar secara efektif dan efisien. Meskipun
demikian, pengetahuan cara menyusun perencanaan Pembelajaran tidak
secara otomatis menjamin guru menjadi terampil dalam menyusun
perencanaan Pembelajaran. Hal demikian memerlukan latihan dan kerja
sama dengan guru yang lain (terutama sesama guru yang mengajar
pelajaran yang sama). Dengan mengkomunikasikan perencanaan
Pembelajaran yang dibuat kepada guru yang lain diharapkan guru tersebut
akan memberikan feedback tentang perencanaan Pembelajaran itu.
Feedback itu dapat digunakan untuk menyempurnakan perencanaan
Pembelajaran selanjutnya.
Perencanaan Pembelajaran merupakan perencanaan yang sistimatik dan
suatu Pembelajaran yang akan dimenfestasikan bersama-sama (kepada)
peserta didik. Dalam rangka ini, ada baiknya jika guru terlebih dahulu
memiliki proses berpikir dalam dirinya; apa yang akan diajarkan dan materi
apa yang diperlukan untuk mencapai untuk hasil belajar yang diinginkan,
bagaimana cara mengajarkan serta prosedur pencapaiannya, dan bagaimana
guru menilai (untuk mengetahui) apakah tujuan sudah dicapai atau apakah
materi sudah dikuasai peserta didik.
Lebih luas lagi dijabarkan Abdul Majid (17, 2008) perencanaan pembelajaran
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu ;
a. Perencanaan pembalajaran sebagai teknologi adalah suatu perencanaan
yang mendorong penggunaan teknik-teknik yang dapat mengembangkan
tingkah laku kognitif dan teori-teori konstruktif terhadap solusi dan problem-
problem pembelajaran.
b. Perencanaan pembelajaran sebagai suatu sistim adalah sebuah sumber-
sumber dan prosedur-prosedur untuk mengerakkan pembelajaran.
Pengembangan sistim pembelajaran melalui proses yang sistemik
selanjutnya diimplementasikan dengan mengacu pada sistim perencanaan
itu.
c. Perencanaan pembelajaran sebagai sebuah disiplin adalah cabang dari
pengetahuan yang senantiasa memperhatikan hasil-hasil penelitian dan teori
tentang strategi pembelajaran dan implementasinya terhadap strategi
tersebut.
d. Perencanaan pembelajaran sebagai sains (science) adalah mengkreasi
secara detail spesifikasi dari pengembangan, implementasi, evaluasi, dan
pemeliharaan akan situasi maupun fasilitas pembelajaran terhadap unit-unit
yang luas maupun yang lebih sempit dari materi pelajaran dengan segala
tingkatan kompleksitasnya.
e. Perencanaan pembelajaran sebagai sebuah proses adalah pengembangan
pembelajaran secara sistemik yang digunakan secara khusus atas dasar
teori-teori pembelajaran dan pengajaran untuk menjamin kualitas
pembelajaran dengan mengadakan analisis kebutuhan dari proses belajar
dengan alur sistematik untuk mencapai tujuan pembelajaran.
f. Perencanaan pembelajaran sebagai sebuah realitas adalah ide pengajaran
dikembangkan dengan memberikan hubungan pengajaran dari waktu
kewaktu dalam suatu proses yang dikerjakan perencana dengan mengecek
secara cermat bahwa semua kegiatan telah sesuai dengan tuntutan sains
dan dilaksanakan secara sistematik.
Untuk menyusun perencanaan Pembelajaran yang baik, ada beberapa hal
yang harus diperhatikan :
1. Tujuan dan sumber yang ada harus jelas sebelum perencanaan itu
disusun.
2. Masing-masing komponen dalam perencanaan Pembelajaran harus saling
membantu, saling berhubungan dan saling bergantungan dalam rangka
mencapai tujuan.
3. Proses yang ditempuh memungkinkan untuk melakukan koreksi terhadap
kemajuan.
4. Proses perencanaan bersifat berulang-ulang dan saling berinteraksi.
5. Rencana Pembelajaran harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat
sejalan dengan kegiatan lainnya (mata pelalajaran/fasilitas).
6. Tidak satupun komponen atau prosedur dapat berubah tanpa
menimbulkan pengaruh terhadap komponen atau prosedur lainnya.
7. Koordinasikan kebutuhan lainnya, seperti tenaga, biaya, waktu, fasilitas,
peralatan untuk melaksanakan rencana Pembelajaran tersebut.
8. Nilailah hasil belajar peserta didik berdasarkan tujuan, hasilnya untuk
merevisi dan menilai setiap fase dari rencana yang memerlukan
penyempurnaan.
Dalam rangka pencapaian tujuan dan fungsi Pembelajaran terdapat empat
kegiatan utama dalam penyusunan perencanaan, yaitu (1) memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk memperoleh haknya dalam
Pembelajaran; (2) meningkatkan mutu Pembelajaran sesuai dengan
kemajuan dan perkembangan pengeahuan dan teknologi; (3) menyesuikan
proses dan hasil Pembelajaran dengan berbagai tuntutan, aspirasi dan
kebutuhan anak didik sebagai tujuan Pembelajaran sebagai akibat dinamika
kehidupan yang selalu berubah, dan (4) meningkatkan efisiensi dan
efektivitas manajemen Pembelajaran untuk menunjang tiga kegiatan
pertama.
Berdasarkan hal tersebut perencanaan program Pembelajaran harus
disesuaikan dengan konsep pendidikan dan Pembelajaran yang dianut dalam
kurikulum sehingga pelaksanaan pembelajaran bisa berjalan dengan efektif
dan efisien.
D. Kompenen-komponen Perencanaan Pembelajaran
Secara garis besar komponen-komponen perencanaan Pembelajaran itu ada
dua, yaitu komponen pokok dan komponen penunjang. Masing-masing
komponen (pokok dan penunjang) meliputi :
1. Komponen Pokok
a. Topik/pokok bahasan/unit (mungkin lebih rinci lagi berupa indikator)
b. Entry behavior/situasi awal atau pengenalan karakteristik/kemampuan
bawaan peserta didik (termasuk guru dan kondisi situasi sekolah) atau biasa
disebut analisis situasi. Komponen ini merupakan pijakan untuk menentukan
kegiatan Pembelajaran/belajar.
c. Tujuan Pembelajaran, baik tujuan umum yang diambil GBPP setiap mata
pelajaran, maupun tujuan khusus yang dirumuskan sendiri oleh guru dalam
rangka menjabarkan tujuan umum.
d. Perumusan alat evaluasi/penilaian, yang menyangkut prosedur ; pre test
dan post test, jenis evaluasi, tulis atau lisan, dan bentuk evaluasi; obyektif
atau essay, test tindakan, sikap atau kemampuan kognitif.
e. Penentuan materi/isi Pembelajaran yang diharapkan untuk dikuasai
peserta didik dan untuk mencapai rumusan tujuan Pembelajaran yang telah
ditentukan.
f. Merancang bentuk kegiatan Pembelajaran. Apa yang harus diperbuat oleh
peserta didik dan kapan mereka harus terlibat aktif dalam Pembelajaran.
Kemudian, apa pula yang harus diperankan guru, kapan guru harus tidak
terlibat aktifdalam kegiatan Pembelajaran. (guru seyogyanya tidak banyak
mendominasi kegiatan Pembelajaran, sehingga memungkinkan siswa terlibat
aktif)
g. Sumber Pembelajaran/belajar (bahan atau referensi). Sumber
Pembelajaran/belajar (instruktion / learning resources) adalah apa yang ada
diluar individu dan memingkinkan mempermudah serta mendukung
terjadinya events atau proses Pembelajaran/belajar.
h. Subyek ajar, maksudnya adalah pelaku atau pelaksana kegiatan
Pembelajaran itu sendiri yaitu guru dan peserta didik
i. Metode Pembelajaran
2. Komponen Penunjang
Yaitu komponen Pembelajaran keberadaannya dapat membantu kelancaran,
mempermudah pelaksanaan Pembelajaran seperti; pengaturan jadwa;/waktu
pertemuan, tempat Pembelajaran, alat ataupun fasilitas-fasilitas
Pembelajaran yang akan menambah kelengkapan/kesempurnaan kegiatan
Pembelajaran, juga prosedur atau pengaturan proses kegiatan yang baik, dan
sebagainya.
E. Desain Pembelajaran Berbasis Kompetensi
Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan
kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai
dengan standar performansi yang telah ditetapkan. “Compentency Based
Education is geared toward preparing individuals to perfoms identified
competency” (Schrag 1987, h 22).
Rumusan ini menunjukkan bahwa pendidikan mengacu pada upaya
penyiapan individu agar mampu melakukan perangkat kompetensi yang
diperlukan. Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus
mengandung empat unsur pokok, yaitu
1). Pemilihan kompetensi yang sesuai
2). Spesifikasi Indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan
pencapaian kompetensi
3). Pengembangan sistem Pembelajaran
4). Penilaian.
Kegiatan pembelajaran diarahkan untuk memberdayakan semua potensi
peserta didik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Kegiatan
pembelajaran mengembangkan kemampuan untuk mengetahui, memahami,
melakukan sesuatu, hidup dalam kebersamaan dan mengaktualisasikan diri.
Dengan demikian, kegiatan perlu : 1) berpusat pada peserta didik; 2)
mengembangkan kreatifitas peserta didik; 3) menciptakan kondisi yang
menyenangkan dan menantang; 4) bermuatan, nilai, etika, estetika, logika,
dan kinestetika, dan 5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam
(Puskur, 2004:13).
Dalam kerangka ini, pengembangan program dilakukan berdasarkan
pendekatan kompetensi. Penggunaan pendekatan ini memungkinkan desain
program dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, dan tepat. Hasil-hasil
pembelajaran di nilai dan dijadikan umpan balik untuk mengadakan
perubahan terhadap tujuan pembelajaran dan prosedur pembelajaran yang
akan dilaksanakan sebelumnya. Langkah-langkah pengembangan
pembelajaran tersebut sebagaimana dikemukan oleh Stanley Elam (1971)
dan Oemar Hamalik (2002:92) sebagai berikut :
Langkah ke – 1
Spesifikasi asumsi-asumsi atau preposisi-preposisi yang mendasar.
Program pembelajaran harus didasarkan pada asumsi yang jelas. Makna
belajar ditekankan pada proses siswa mengalami sendiri apa yang
dipelajarinya dengan lingkungan pembelajaran secara alamiah. Pembelajaran
berorientasi pada target penguasaan materi. Dalam langkah pertama ini
ditekankan pada penguasaan teori-teori pengembangan kurikulum sebagai
landasan penyusunan program yang betul-betul aktual.
Langkah ke – 2
Mengidentifikasi kompetensi
Dalam penyusunan rencana pembelajaran perlu memperhatikan kompetensi
dasar yang akan diajarkan, terutama keluasan dan kedlaman cakupan
kemampuan dasar. Kompetensi yang luas perlu diajarkan lebih dari satu kali
pembelajaran demikian halnya kompetensi tidak terlalu rumit dapat
dijabarkan kedalam satu pembelajaran.
Kompetensi-kompetensi harus dijabarkan secara khusus dan telah divalidasi
serta dites sejauh mana konstribusinya terhadap keberhasilan dan efektifitas
belajar mengajar. Dalam mengidentifikasi kompetensi dapat digunakan
beberapa metode pendekatan, diantaranya :
a. Pendekatan analisis tugas ( task analysis) untuk menentukan daftar
kompetensi. Berdasarkan analisis tugas guru dapat menentukan kompetensi-
kompetensi yang diperlukan, sehingga dapat diketahui pencapaian
kompetensi yang telah ditetapkan..kompetensi dasar berfungsi untuk
mengarahkan pencapaian target yang harus dicapai.
b. Pendekatan the needs of school learners (memusatkan perhatian pada
kebutuhan-kebutuhan siswa disekolah) langkah pertama dalam pendekatan
ini adalah bertitik tolak dari ambisi, nilai-nilai dan pandangan para siswa.yang
menjadi dasar mengidentifikasi kompetensi.
c. Pendekatan berdasarkan asumsi kebutuhan masyarakat.
Hal senada diungkapkan Ashan (Mulyasa, 2004), analisis kompetensi
dilakukan melalui proses :
1. Analisis tugas. Dimaksudkan untuk mendeskripsikan tugas-tugas yang
harus dilakukan kedalam indikator-indikator kompetensi. Berdasarkan
analisis tugas yang harus dipelajari siswa, dikembangkan berbagai jenis
pengetahuan yang menuntut dicantumkan kompetensi-kompetensi yang
diperlukannya. (daftar kompetensi)
2. Pola analisis. Dimaksudkan untuk mengembangkan keterampilan baru
yang belum ada. Pola analisis dilakukan dengan menganalisis setiap
pekerjaan yang ada di masyarakat dengan keterampilan yang dimiliki siswa,
sehingga keterampilan tersebut dapat efektif dan efisien dalam mencapai
tujuan.
3. Research. Dimaksudkan untuk mengembangkan sejumlah kompetensi
berdasarkan hasil penelitian dan diskusi yang melibatkan berbagai ahli yang
memahami kondisi kekinian dan masa depan.
4. Expert judgement. Atau pertimbangan ahli untuk menganalisis kompetensi
berdasarkan analisis Delphi.
5. Individual group interview data. Analisis kompetensi berdasarkan
wawancara secara individu maupun kelompok untuk mendapatkan informasi
tentang kegiatan, tugas-tugas yang telah dilakukan secara individu maupun
kelompok.
6. Role play. Dimaksudkan untuk melakukan analisis kompetensi berdasarkan
pengamatan dan penilaian untuk mengidentifikasi yang dimiliki siswa untuk
dikembangkan.
Langkah ke-3
Menggambarkan secara spesifik kompetensi-kompetensi
Kompetensi yang telah ditetapkan, diperkhusus dan dirumuskan menjadi
eksplisit dan dapat diamati, sehingga dapat dipertimbangkan masalah
konteks pelaksanaannya, hambatan-hambatan program, waktu pelaksanaan
dan parameter sumbernya.
Langkah ke-4
Menentukan tingkat kriteria dan jenis assessment
Menentukan jenis-jenis penilaian yang akan digunakan dimaksudkan untuk
mengukur ketercapaian kompetensi, ini sangat membantu dalam
pengembangan program pembelajaran. Penilaian ini mengandung unsur
kompetensi yang telah dikuasai, tingkat kesulitan variabel kompetensi,
suasana respon siswa.
Langkah ke-5
Pengelompokan dan penyusunan tujuan pembelajaran
Pada langkah ini dilakukan penyusunan sesuai dengan urutan maksud-
maksud instruksional. Dalam melaksanakan hal tersebut diatas, perlu
dipertimbangkan pengaturan sebagai berikut:
a. Struktur isi yang dimuat dari pengertian yang sederhana sampai dengan
prinsip-prinsip yang kompleks.
b. Lokasi dan fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan macam-macam
kegiatan.terutama bertalian pemanfaatan media pembelajaran atau pun
komponen-komponen lain yang disesuaikan pencapaian kompetensi yang
telah ditetapkan.
Langkah ke-6
Reaksi
:
Pertimbangan eksekutif
Pertimbangan ekspert.
Jawab:
2A + 2D = 100
1A + 2D = 70 (-)
A = 30
1A + 2D = 70
1 (30) + 2D = 70
2D = 70 – 30
D = 20
Penelitian Produk.
Contoh:
2.Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
3.Tujuan Penulisan
a.Untuk mengetahui bagaimana standar kompetensi guru jenis-jenis serta
pengembangannya
b.Untuk mengetahui definisi perencanaan pengajaran dan dimensi-dimensinya.
c.Untuk mengetahui bagaimana manfaat pengajaran dan langkah-langkah pengembangan
pengajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Standar Kompetensi Guru
Tidak dapat dipungkiri bahwa guru adalah salah satu bentuk jasa professional yang
dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, standar guru professional
merupakan kebutuhan mendasar yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hal ini
tercermin dalam undang-undang system pendidikan nasional no. 20 tahun 2003 pasal 35
ayat 1 bahwa "standar nasional terdiri atas isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan
yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala".
Standar yang dimaksud adalah suatu kriteria yang telah dikembangkan dan ditetapkan
atas sumber, prosedur dan manajemen yang efektif. Sedangkan kriteria adalah sesuatu
yang menggambarkan ukuran keadaan yang dikehendaki ( Suharsini Arikunto).
Penggunaan standar sangat vital dalam pengembangan suatu profesi. Standar profesi
menetapkan siapa yang boleh atau tidak boleh masuk kedalam katagori profesi tersebut.
Standar suatu profesi membangun "public trust" terdapat eksistensi profesi tersebut bagi
kepentingan masyarakat luas dan sekaligus pula
Menurut Syah (2000), “kompetensi” adalah kemampuan, kecakapan, keadaan
berwenang, atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum. Selanjutnya dikemukakan
bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan
kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak. Jadi kompetensi
profesional guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam
menjalankan profesi keguruannya. Guru yang kompenten dan profesional adalah guru
piawai dalam melaksanakan profesinya.
Kompetensi merupakan kebulatan penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
yang ditampilkan melalui unjuk kerja. Kepmendiknas No. 045/U/2002 menyebutkan
kompetensi sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam
melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. Jadi kompetensi guru dapat
dimaknai sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berwujud
tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas sebagai agen
pembelajaran. Undang-Undang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19
(Depdiknas, 2005) menyatakan kompetensi guru meliputi kompetensi kepribadian,
pedagogik, profesional, dan sosial. Keempat jenis kompetensi guru tersebut adalah
sebagai berikut :
1.Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi
peserta didik dan berakhlak mulia.
2.Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan yang berkenaan dengan pemahaman
peserta didik dan pengelola pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Secara substantif,
kompetensi ini mencakup kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan
dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
3.Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan
materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan
substansi isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang
menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sebagai
seorang guru.
4.Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan pendidik sebagai bagian dari
masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama
pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Kompetensi profesional guru sangat diperlukan guna mengembangkan kualitas dan
aktivitas tenaga kependidikan, dalam hal ini guru. Guru merupakan faktor penentu mutu
pendidikan dan keberhasilan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu tingkat kompetensi
profesional guru di suatu sekolah dapat dijadikan barometer bagi mutu dan keberhasilan
pendidikan di sekolah.
Pengembangan Kopetensi Guru.
Guru sebagai tenaga profesinonal bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembangunan, menilai hasil pembelajaran melakukan pembimbingan dan pelatihan,
melakukan penelitian, membantu pengembangan dan pengelolaan sekoiah serta
mengembangkan keprofesianalannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam undang-undang system pendidikan nasional no. 20 tahun 2003 pasal 35 ayat 1
bahwa "standar nasional terdiri atas isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala".
Undang-Undang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 (Depdiknas, 2005)
menyatakan kompetensi guru meliputi kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional,
dan sosial.
Terdapat beberapa manfaat perencanaan pengejaran dalam proses belajar mengajar yaitu:
Sebagai petunjuk arah kegiatan dalam mencapai tujuan, Sebagai pola dasar dalam
mengatur tugas dan wewenang bagi setiap unsure yang terlibat dalam kegiatan, Sebagai
pedoman kerja bagi setiap unsure, baik unsure guru maupun unsure murid, Sebagai alat
ukur efektif tidaknya suatu pekerjaan, sehingga setiapsaat diketahui ketepatandan
kelambatan kerja, Untuk bahan penyusun data agar terjadi keseimbangan kerja, Untuk
menghemat waktu, tenaga, alat-alat dan biaya.
Dimensi-dimensi menurut harjanto (1997:5) memungkinkan diadakannya perencanaan
komprehensif yang menalar efesien, yakni:Signifikansi, Feasibilitas, Relevensi,
Kepastian, Ketelitian, Adaptabilitas, Waktu, Monitoring, Isi perencanaan.
Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung empat unsur pokok
yaitu: Pemilihan kompetensi yang sesuai, Spesifikasi indictor-indikator evaluasi untuk
menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi, Pengembangan system pengajaran,
Penilaian.
3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini perlu adanya tambahan referensi demi kesempurnaan
makalah ini, karena kami menyadari bahwa masih banyak yang perlu di perbaiki.
Post a Comment
Bisnis Tambahan
1. Definisi Evaluasi
Evaluasi artinya penilaian terhadap tigkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebuah program. Selain kata evaluasi dan assessment ada pula kata lain yang
searti dan relative lebih dikenal dalam dunia pendidikan yakni tes, ujian dan ulangan.
Sementara itu , istilah evaluasi biasanya digunakan untuk menilai hasil belajar para siswa
pada akhir jenjang pendidikan tertentu, seperti Evaluasi Belajar tahap Akhir Nasional
( EBTANAS ) yang kini disebut ujian akhir Nasional (UAN).
Evaluasi yang berarti pengungkapan dan pengukuran hasil belajar itu, pada dasarnya
merupakan proses penyusunan deskripsi siswa, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Namun Perlu penyusunan
a. Tujuan Evaluasi
Pertama untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu
kurun waktu proses belajar tertentu.
Kedua, untuk mengetahui posisi atau kedudukan seorang siswa dalam kelompok siswa.
Ketiga , untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar.
Keempat untuk mengetahui hingga sejauh mana siswa telah mendayagunakan kapasitas
kognitifnya ( kemampuan kecerdasan yang dimilikinya ) untuk keperluan belajar.
Kelima, untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode mengajar yang telah
digunakan guru dala proses belajar mengajar ( PMB)
b. Fungsi Evaluasi
Disamping memiliki tujuan , evaluasi belajar juga memiliki fungsi –fungsi yang
sebagaimana tersebut dibawah ini;
- Fungsi Administratif untuk penyusunan daftar nilai dan pengisian buku raport
- Fungi promosi untuk menetapkan kenaikan atau kelulusan.
- Fungsi diagnostic untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dalam merencanakan
program remedial teaching (pengajaran perbaikan )
- Sebagai sumber data BP yang dapat memasok data siswa tertentu yang memerlukan
bimbingan dan penyuluhan (BP)
- Sebagai bahan pertimbangan pngembangan pada masa yang akan datang yang meliputi
pengembangan kurikulum, metode fan alat – alat untuk proses PMB
3. Ragam Evaluasi
b. Evaluasi bersyarat
Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pretest.
c. Evaluasi Diagnostik
Evaluasi jenis ini dilakukan setelah selesai penyajian sebuah satuan pelajaran dengan
tujuan mengidentifikasi bagian – bagian tertentu yang belum dikuasai siswa.
d. Evaluas Formatif
Evaluasi jenis ini dapat dipandang sebagai “ulangan” yang dilakukan pada setiap akhir
penyajian suatu pelajaran atau modul.
e. Evaluasi Sumatif
Ragam penilaian sumatif dapat dianggap sebagai ulangan umum yang dilakukan untuk
mengukur kinerja akademik atau prestasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan
program pengajaran.
Secara garis besar, ragam alat evaluasi terdiri atas dua macam bentuk , yaitu;
1. Bentuk Objektif
2. Bentuk Subjektif.
Bentuk objektif biasanya diwujudkan dalam bentuk – bentuk alternative jawaban,
pengisian titik – titik , dan pencocokan satu pertanyaan dengan pertanyaan lainnya.
a. Bentuk Objektif
Bentuk ini lazim juga disebut tes objektif, yakni tes yang jawabannya diberi skor nilai
secara lugas ( seadanya ) menurut pedoman nilai yang ditentukan sebelumnya.
tes ini merupakan alat evaluasi yang paling bersahaja baik dalam hal susunan item –
itemnya maupun dalam hal cara menjawabnya.
Dalam dunia pendidikan modern ; tes semacam ini sudah lama ditinggalkan karena dua
alas an yakni;
- tes BS tidak emghargai kreatifitas akal siswa karena mereka hanya didorong untuk
memilih sekenanya salah satu dari dua alternative yang ada.
- Tes BS dalam beberapa segi tertentu dianggap sangat rendah tingkat realibitasnya.
Item – item dalam pihan tes berganda (Multiple Choice ) biasanya berupa pertanyaan
atau pertanyaan yang dapat dijawab dengan memilih salah satu dari empat atau lima
alternative yang mengiringi setiap soal.
Contoh;
Sila keberapakah yang melarang menganut paham atheisme?
a. Sila Kesatu
b. Sila kedua
c. Sila Ketiga
d. SIla keempat
Alasan – alas an ditinggalkan jenis ini adalah;
- Kurang mendorong kratifitas ranah cipta dan karsa siswa, karena ia hanya merasa
disuruh berspekulasi, yakni menebak dan menyilang secara untung – untungan
- Sering terdapat dua jawaban ( diantara empat atau lima alternative) yang identik atau
sangat mirip, sehingga terkesan kurang diskriminatif.
- Sering terdapat satu jawaban yang sangat mencolok kebenarannya, sehingga jawaban –
jawaban lainnya terlalu gampang untuk ditinggalkan.
Tes penccokan (matching test) disusun dalam dua daftar yang masing – masing memuat
kata , istilah, atau kalimat yang diletakkan bersebelahan.
4. Tes isian
Alat Tes isian biasanya berbentuk cerita atau karangan pendek, yang pada bagian –
bagian yang memuat istilah atau nama tertentu dikosongkan.
Cara Menyelesaikan tes melengkapi pada dasarnya sama dengan cara menyelesaikan tes
isian, Perbedaannya terletak pada kalimat – kalimat yang dipakai sebagai instrumen.
b. Bentuk Subjektif
Alat evaluasi yang berbentuk subjektif hádala alat pengukur prestasi belajar yang
jawabnnya tidak dinilai dari skor atau angka pasti, seperti yang digunakan untuk evaluasi
objektif.
Ada beberapa keunggulan tes esay yang secara emplisit juga diakui oleh suryabrata
(1984), yakni bahwa;
a. Tes esay tidak hanya mampu mengungkapkan materi hasil jalaban siswa tetapi
juga cara atau jalan yang ditempuh untuk memperoleh jalaban itu.
b. Tes Esay dapat mendorong siswa untuk berpikir kreatif , kritis , bebas , mandiri,
tetapi juga melupakan tanggung jawab.
Langkah Pertama yang perlu ditempuh guru dalam menilai prestasi belajar siswa hádala
menyusun alat evaluasi (test instruyen) yang sesuai dengan kebutuhan , dalam arti tidak
menyimpang dari indikator dan jenis prestasi yang diharapkan.
Persyaratan pokok penyusunan alat evaluasi yang baik dalam perspektif psikologi belajar
(the psychologhy of learning ) meliputi dua macam yakni;
- Reliabilitas
- Validitas
Reliabilitas secara sederhana, reliabilitas (reliability) berarti hal tahan uji atau dapat
dipercaya.
Validitas pada prinsipnya, validitas (validity) berarti keabsahan atau kebenaran.
Pada bagian ini akan divas serba singkat alternatif pengukuran keberhasilan belajar baik
yang berdimensi ranah cipta, ranah rasa, maupun ranah karsa.
Mengukur keberhasilan siswa yang berdimensi kognitif (ranah cipta) dapat dilakukan
dengan berbagai cara, baik dengan tes tertulis maupun tes lisan dan perbuatan.
Cara yang dipandang tepat untuk mengevaluasi keberhasilan belajar yang berdimensi
ranah psicomotor (ranah karsa) hádala observasi.
B. PRESTASI BELAJAR
Pada prinsipnya, pengungkapan hasil belajar ideal meliputi segenap ranah psikologis
yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa
Ada dua macam pendekatan yang Amat popular dalam mengevaluasi atau menilai tingkat
keberhasilan /prestasi belajar yakni;
- Norm refencing atau norm Refernced assessment;
- Criterion – referencing atau criterian referenced assessment ( Tardif dkk, 1989 : 131)
-
Setelah mengetahui indikator dan memperoleh skor hasil evaluasi belajar diatas , guru
perlu pula mengetahui bagaimana kiat menetapkan batas minimal keberhasilan belajar
para siswanya.
KESIMPULAN
- prestasi kognitif
- Prestasi afektif dan,
- Prestasi Psikomotor
DAFTAR PUSTAKA
Muhibbin Syah, M.Ed , Rajawali Pers,Grafindo Persada
Postingan Terkait Lainnya :
makalah
Oleh:
IKA RAHAYU SUSILANINGSIH
K1207020
PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
Desain Pembelajaran Berbasis Kompetensi
I. Tujuan Pembelajaran
Siswa mampu menulis naskah drama dengan memerhatikan keaslian ide.
Pertemuan Kedua
A. Kegiatan Awal
• Siswa dan guru bertanya jawab tentang kegiatan menulis naskah drama yang dilakukan
pada pertemuan sebelumnya.
• Siswa berkelompok sesuai dengan kegiatan sebelumnya
B. Kegiatan Inti
• Perwakilan dari masing-masing kelompok membacakan naskah drama yang sudah
dibuat pada pertemuan sebelumnya
• Guru dan siswa yang lain menilai kelompok yang tampil
• Secara bergantian siswa menilai temannya yang tampil dan memberikan komentar
• Siswa dan guru menentukan naskah terbaik
• Guru memberikan penghargaan kepada kelompok yang naskahnya menjadi naskah
terbaik
C. Kegiatan Akhir
● Siswa dan guru menyimpulkan naskah drama yang baik
● Siswa dan guru melakukan refleksi
● Siswa dan guru merancang pembelajaran berikutnya berdasarkan pengalaman
pembelajaran saat itu
V. Sumber/Bahan/Alat
▪ Contoh naskah drama
▪ Ide untuk menulis naskah drama
▪ Anipudin dkk. 2007. Cermat Berbahasa 2A. Solo: Tiga Serangkai.
VI. Penilaian
Bentuk tes: lisan dan tertulis
No Aspek penilaian Bobot Nilai
1 Menentukan ide untuk menulis naskah drama dengan memerhatikan orisinalitas ide:
a. Menarik dan kreatif (3)
b. Kurang menarik, tetapi kreatif (2)
c. Tidak menarik dan tidak kreatif (1) 5
2 Mengembangkan ide menjadi naskah drama
a. Baik (3)
b. Kurang baik (2)
c. Tidak baik (1) 5
3 Membacakan naskah drama bersama kelompok
a. Menarik (3)
b. Kurang menarik (2)
c. Tidak menarik (1)
5
Keterangan:
Skor maksimum: 3 ( 3 x 5 ) = 45
Nilai perolehan siswa = (Skor perolehan : Skor maksimum) X 100
Oleh:
IKA RAHAYU SUSILANINGSIH
K1207020
3. Surabaya
Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah
dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang
dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural
bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun
demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang
Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun demikian penggunaan
bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan
tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak
mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.
Batas wilayah penggunaan dialek Suroboyoan diperkirakan sampai wilayah:
• Wilayah Selatan
Perak (Kab. Jombang - bukan Tanjung Perak di Surabaya).
Wilayah Perak Utara masih menggunakan Dialek Surabaya, sementara Perak Selatan
telah menggunakan Dialek Kulonan.
• Wilayah Utara
Madura
Beberapa orang Madura dapat menggunakan Dialek ini secara aktif.
• Barat
Wilayah Gresik
• Timur
Belum diketahui secara pasti, namun di sepanjang pesisir tengah Jawa Timur (Pasuruan,
Probolinggo sampai Banyuwangi) Dialek ini juga banyak digunakan.
Akhir-akhir ini, banyak media lokal yang menggunakan dialek Surabaya sebagai bahasa
pengantar mereka.
Orang Surabaya lebih sering menggunakan partikel "rek" sebagai ciri khas mereka.
Partikel ini berasal dari kata "arek", yang dalam dialek Surabaya menggantikan kata
"bocah" (anak) dalam bahasa Jawa standar. Partikel lain adalah "seh" (e dibaca seperti e
dalam kata edan), yang dlam bahasa Indonesia setara dengan partikel "sih".
Orang Surabaya juga sering mengucapkan kata "titip" secara /tetep/, dengan diucapkan
seperti /e/ dalam kata "edan"; dan kata "tutup" secara /totop/ dengan u diucapkan
seperti /o/ dalam kata "soto". Selain itu, vokal terbuka sering dibuat hambat, seperti
misalnya: "kaya" (=seperti) lebih banyak diucapkan /k@y@?/ daripada /k@y@/, kata
"isa" (=bisa) sering diucapkan /is@?/ daripada /is@/.
Berikut ini beberapa kosa kata berdasarkan kelas sosial yang ada di Surabaya:
Bahasa Indonesia Dialek Surabaya (Ngoko) Dialek Surabaya (Krama alus) Dialek
Surabaya (Krama inggil)
Kamu Koen Peno/Sampean Panjenengan
Makan Mbadog Mangan Dhahar
Pergi Lungo Kesa Tindak
Kepala Ndas Sirah Mustaka
Diposkan oleh IKA RAHAYU SUSILANINGSIH di 20.24 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke
Google Buzz
Oleh:
IKA RAHAYU SUSILANINGSIH
K1207020
Oleh:
IKA RAHAYU SUSILANINGSIH
K1207020
B. Kondisi Wirausaha/Wiraswasta
Setelah proklamasi kemerdekaan, kondisi sosial ekonomi di Indonesia sangatlah tidak
stabil. DR. Suparman Sumahamidjoyo menyatakan bahwa kelemahan dan keterbatasan
yang melekat pada bangsa Indonesia akibat polotik penjajahan menyangkut kelemeahan
sikap mental. Kelemahan sikap mental adalah sikap mental negatif yaitu sikap mental dan
tingkah laku yang bersumber pada sikap berpikir negatif.
Prof. Koentjoroningrat dalam Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan menyatakan
kelemahan mental bangsa Indonesia yaitu:
• Sifat mentalitet yang meremehkan waktu
• Sifat mentalitet yang suka menerobos
• Sifat tidak percaya pada diri sendiri
• Sifat tidak berdisiplin murni
• Sifat mentalitet yang suka megorbankan tanggung jawab yang kokoh
Melihat keterbatasan dan kelemahan yang ada, maka bantuan pemerintah untuk
mendorong tumbuh dan kegairahan usaha swasta kecil maupun sedang sangat diperlukan.
Namun perlu disadari bahwa kunci keberhasilan terletak pada dirinya sendiri, ialah
terletak pada sikap mental dan kepribadiannya.
D. Menyikapi Hambatan
Mewujudkan suatu usaha berwiraswasta tentu saja akan menghadapi banyak hambatan
seperti adanya resiko, keterbatasan modal, hambatan mental kepribadian dan lain
sebagainya.
Adanya resiko merupakan hambatan
Resiko dapat dikatakan layaknya bagai kabut gelap. Resiko perlu didekati, dikenal dan
dimengerti agar menjadi terang untuk dapat diperhitungkan dan ditundukkan. Dengan
memperkokoh organisasi dan efisiensi, dengan mengerjakan sesuatu memecahkan
hambatan itu. Menundukkan resiko perlu kewaspadaan mental. Tanpa keberanian berbuat
untuk memecahkannya akan menelorkan keputusan yang menghasilkan kemiskinan,
lepasnya tujuan keberhasilan.
5. Belajar
Belajar adalah modal, belajarpun banyak caranya. Dapat dinyatakan dengan belajar
sendiri, merantau, mencari pengalaman, dan sekolah.
Modal bukanlah uang
Sikap berpikir itulah modal, modal yang dapat menggali uang. Uang adalah alat
pembantu perluasan kesempatan usaha, jadi bukan modal mendirikan usaha.
Agar bekerjasama menjadi kokoh kuat, memerlukan beberapa hal anatara lain:
• Toleransi
• Disiplin
• Solidaritas
• Kerukunan
• Tekad bersama untuk membangun dan mengembangkan usaha
• Dan lain sebagainya
Diposkan oleh IKA RAHAYU SUSILANINGSIH di 20.22 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke
Google Buzz
CERPEN
SKETSA:
Kematian Rara, sang kekasih tercinta telah membuat Nino tak berdaya untuk menjalani
hari-harinya. Kini dia tak bisa lagi melihat indahnya pegunungan bersama kekasihnya itu.
Nino merasa sangat bersalah atas kematian Rara. Dia hanya bisa mengenang semua yang
telah mereka lalui bersama, semua kenangan indah itu.
CERPEN:
Nino Suryo Nugroho, ya itulah nama pemuda itu. Teman-temannya biasa memanggilnya
Nino. Perawakannya cukup tinggi, sekitar 170 centi meter dengan tubuh yang tidak
terlalu gemuk namun berisi. Parasnya tidak begitu tampan, kulitnya juga tidak terlalu
putih namun terlihat bersih. Pakaiannya selalu rapi, mungkin itulah yang membuat
penampilannya terlihat menarik. Dia adalah seorang mahasiswa yang cukup berprestasi
di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Berasal dari kalangan yang kurang mampu tidak
membuatnya patah semangat.
Diremehkan, hal itu sudah biasa dialami olehnya. Bahkan tidak jarang dia diolok-olok
oleh teman-temannya yang berasal dari golongan yang bisa dibilang tajir. Namun Nino
selalu optimis dan yakin bahwa dia mampu melakukan segala sesuatu yang bisa
dilakukan orang lain. Kalau orang lain saja bisa melakukannya mengapa saya tidak,
begitulah prinsip hidupnya. Hinaan demi hinaan yang dia terima justru memacunya untuk
lebih giat berusaha. Terbukti segala usaha kerasnya tidak sia-sia karena kini dia telah
menggarap skripsi untuk tugas akhirnya.
Nino dikenal sopan dan mudah bergaul. Dia juga aktif di banyak organisasi di
kampusnya. Sudah barang tentu banyak mahasiswa yang mengenal sosok pemuda yang
satu ini. Kerendahan hatinya membuatnya disenangi oleh teman-temannya.
Akhir-akhir ini Nino selalu menyendiri dan tampak tak bersemangat lagi. Kematian Rara
--sang kekasih tercinta-- telah merubahnya menjadi sosok yang pendiam dan tak lagi
bergaul dengan teman-temannya. Peristiwa naas yang merenggut belahan jiwanya itu
terjadi seminggu yang lalu. Bersama dengan teman-temannya hari minggu itu Nino
mengajak Rara mendaki gunung Sindoro. Mereka berdua memiliki hobi yang sama,
senang menikmati keindahan alam apalagi pegunungan. Dari kesenangan itu jugalah awal
mula mereka berkenalan. Perkenalan mereka bisa dibilang terjadi secara tidak disengaja.
Saat itu cuaca di gunung lawu cukup buruk disertai dengan kabut tebal. Nino dan teman-
temannya menghentian pendakian saat mereka sampai di pos tiga. Mereka memutuskan
untuk beristirahat sambil menunggu cuaca membaik.
Baru sekitar lima menit mereka beristirahat terdengar teriakan minta tolong dari
sekelompok pendaki yang sepertinya berasal dari tempat yang tidak jauh dari tempat
Nino dan teman-temannya beristirahat. Spontan Nino dan teman-temannya mencari
sumber suara tersebut. Benar saja baru berjalan sekitar seratus meter Nino dan teman-
temannya sudah menemukan asal muasal suara tersebut. “Ada apa, mengapa kalian
berteriak minta tolong?” Nino bertanya kepada kelompok pendaki yang baru saja mereka
temukan itu. Namun sebelum ada seorangpun yang menjawab pertanyaan yang
dilontarkannya, Nino telah mendapatkan jawaban dari pertanyaannta tadi. Dia melihat
ada seorang gadis yang mengalami hipotermia.
Nino segera mengeluarkan minyak tawon yang berada di saku celananya dan
mengoleskannya di bagian leher, tangan serta kaki gadis itu. Nino juga melepas jaket
parasit yang ia kenakan dan memakaikannya ke tubuh gadis malang itu. Sepuluh menit
kemudian terlihat keadaannya mulai membaik. Beruntung Nino dan teman-temannya
segera menolong gadis itu sebelum dia mengalami hipotermia akut sehingga nyawanya
masih dapat terselamatkan.
“Terima kasih banyak, kalian telah menyelamatkan nyawaku”, ucapan terima kasih itu
tak henti-hentinya keluar dari bibir gadis itu untuk Nino dan teman-temannya.. Teman-
teman Rara pun melakukan hal yang sama.”Terima ksih banyak, kalian telah
menyelamatkan teman kami”, begitu ucap mereka serempak. Mereka merasa berhutang
budi kepada Nino dan teman-temannya karena mereka telah menyelamatkan nyawa Rara.
“Sama-sama, sudah kewajiban kita untuk saling membantu sesama selagi kita mampu”,
begitu jawab Nino.
“O ya kalau boleh saya tahu, siapa nama kamu?”, Tanya Nino kepada gadis itu. Sambil
mengulurkan tangannya kepada Nino gadis itu menjawab, “Saya Rara”. “Saya Nino”,
balas Nino sambil berjabat tangan dengan Rara. Dari situlah Nino dan Rara berkenalan
dan akhirnya mereka berdua menjadi sepasang kekasih.
Rara adalah seorang gadis yang dewasa dan sederhana. Meskipun ia berasal dari keluarga
yang cukup berada, ia tidak pernah menampakkan kekayaan kedua orang tuanya itu. Dia
sama sekali tidak pernah menyentuh kehidupan malam atau yang biasa disebut dugem
itu. Kesederhanaan yang ia miliki inilah yang telah mencuri hati Nino.
Tapi siapa yang menyangka jika kebahagiaan sepasang kekasih itu kini tak lagi dapat
mereka rasakan. Kecelakaan maut hari minggu itu telah merenggut Rara dari Nino. Mobil
mereka bertabrakan dengan bus yang berasal dari arah yang berlawanan. Supir bus
mengantuk dan malangnya menghantam mobil yang dikendarai oleh Nino dan teman-
temannya. Rara dan satu orang teman Nino meninggal di tempat tanpa sempat dibawa ke
rumah sakit. Saat itu Nino tak sadarkan diri, jidadnya terluka dan mengalami pendarahan
hebat. Beruntung Nino segera dibawa ke rumah sakit sehingga nyawanya masih dapat
terselamatkan.
Sesaat setelah Nino sadarkan diri, ia langsung menanyakan di mana Rara. Keluarganya
tidak mampu berkata yang sebenarnya kepada Nino, mereka berbohong pada Nino dan
mengatakan bahwa Rara sedang dirawat di kamar lain. Keluarganya khawatir Nino tidak
sanggup menerima kenyataan pahit bahwa Rara telah meninggalkan mereka semua untuk
selamanya. Oleh karena itu mereka menunggu saat yang tepat untuk mengatakan hal
tersebut kepada Nino.
Tiga hari dirawat, keadaan Nino semakin membaik. Keinginan Nino untuk menemui
Rara pun tidak bisa dicegah lagi. Akhirnya keluarganya mengatakan hal yang sebenarnya
kepada Nino bahwa Rara telah meninggal dunia. Kabar itu tentu saja terasa bagaikan
petir di siang bolong. Nino tak kuasa mendengarnya dan akhirnya ia jatuh tersungkur ke
lantai dan tak sadarkan diri.
Hari-hari berikutnya hanya berisi penyesalan dan ketidakrelaan. Nino merasa sangat
bersalah pada dirinya sendiri. Jika saja dia tidak mengajak Rara minggu itu tentu saat ini
dia masih bisa melihat senyum ceria kekasihnya. Jika saja dia bisa menghindari bus itu
tentu saat ini dia masih bisa memeluk Rara. Jika saja, jika saja, dan jika saja, hanya itu
yang ada di benak Nino.
Manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhanlah yang menentukan segalanya. Keinginan
Nino dan Rara untuk menikmati pemandangan gunung Sindoro hanya tinggal kenangan.
Hari-hari Nino kini hanya diisi oleh kenangan-kenangan indahnya bersama Rara, entah
sampai kapan dia akan terus murung dan menyalahkan dirinya atas kematian kekasihnya
itu.
PROPOSAL
HUBUNGAN ANTARA PENGUASAAN DIKSI DAN GAYA BAHASA DENGAN
KEMAMPUAN MENULIS PUISI PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1
KLEGO
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester Empat
Mata Kuliah Penelitian Kuantitatif
Dosen Pengampu: Dr. Budi Setiawan
Disusun Oleh:
IKA RAHAYU SUSILANINGSIH
K1207020
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menulis adalah suatu bentuk komunikasi yang proses pemikirannya dimulai dengan
memikirkan gagasan yang akan disampaikan kepada pembaca. Menulis merupakan
kegiatan yang paling sering dilakukan siswa di sekolah karena semua pelajaran pasti
memanfaatkan kegiatan menulis sebagai sarana transfer informasi. Oleh karenanya,
menulis merupakan salah satu alat penting dalam proses belajar mengajar termasuk
dalam bidang studi Bahasa Indonesia.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Tarigan (1984: 4) yang mengemukakan bahwa peranan
menulis dalam dunia pendidikan yaitu (1) memudahkan siswa berpikir kritis; (2)
memudahkan siswa dalam merasakan dan menikmati hubungan-hubungan; (3)
memperdalam daya tangkap atau persepsi siswa; dan (4) menjelaskan pikiran-pikiran, ide
atau gagasan.
Dari pendapat Tarigan tersebut kita ketahui bahwa kemampuan menulis bagi siswa
merupakan hal yang penting, namun pengajaran menulis di sekolah sering kali tidak
seimbang dengan pengajaran berbahasa sehingga kemampuan menulis siswa tidak
maksimal. Pengajaran kemampuan berbahasa sering hanya ditekankan pada pengetahuan
kebahasaan dan kurang dilatih sehingga hasil karangan siswa kurang baik terlihat dari
banyak pilihan kata yang kurang tepat, kalimat kurang efektif, sukar mengemukakan
gagasan, karena kesulitan membuat kalimat, kurang mampu mengembangkan ide secara
teratur dan sistematis (Sabarti, 1990: 5).
Salah satu kajian menulis yang dipelajari dalam mata pelajaran bahasa Indonesia adalah
menulis puisi. Untuk dapat menulis puisi dengan baik maka diperlukan penguasaan diksi
dan gaya bahasa secara baik pula. Hal ini disebabkan karena menulis puisi berbeda
dengan keterampilan menulis yang lainnya yang tidak begitu mementingkan gaya bahasa.
Dalam menulis puisi, gaya bahasa dan pemilihan kata yang tepat justru menjadi hal yang
sangat penting.
Bertolak dari faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan menulis puisi di atas, peneliti
tertarik untuk mengkaji ada tidaknya hubungan antara penguasaan diksi dan gaya bahasa
dalam kaitannya dengan menulis puisi pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Klego.
B. Identifikasi Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah tersebut, penulis mengidentifikasikan adanya
beberapa masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Masih terbatasnya penguasaan diksi siswa dalam menulis puisi.
2. Masih terbatasnya penguasaan gaya bahasa siswa dalam menulis puisi.
3. Banyak siswa yang kesulitan ketika ditugasi untuk menulis puisi.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang ada, agar permasalahan dapat dikaji secara mendalam,
peneliti membatasi penelitian hanya pada aspek-aspek berikut ini:
1. Hubungan antara penguasaan diksi dan kemampuan menulis puisi.
2. Hubungan antara penguasaan gaya bahasa dan kemampuan menulis puisi.
3. Hubungan antara penguasaan diksi dan gaya bahasa secara bersama-sama dengan
kemampuan menulis puisi.
D. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apakah terdapat hubungan antara penguasaan diksi dan kemampuan menulis puisi?
2. Apakah terdapat hubungan antara penguasaan gaya bahasa dan kemampuan menulis
puisi?
3. Apakah terdapat hubungan antara penguasaan diksi dan gaya bahasa secara bersama-
sama dengan kemampuan menulis puisi?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. terdapat tidaknya hubungan antara penguasaan diksi dan kemampuan menulis puisi;
2. terdapat tidaknya hubungan antara penguasaan gaya bahasa dan kemampuan menulis
puisi;
3. terdapat tidaknya hubungan secara bersama-sama antara penguasaan diksi dan gaya
bahasa dengan kemampuan menulis puisi.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini dapat memperkaya khasanah keilmuan dalam hubungan antara penguasaan
diksi dan gaya bahasa dengan kemampuan menulis puisi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa, untuk menambah wawasan dan pengetahuan siswa mengenai diksi, gaya
bahasa, dan menulis puisi sehingga dapat berfungsi sebagai sarana untuk pemacu dalam
memperbaiki diri.
b. Bagi Guru, untuk memperluas dan memperdalam pemahamannya sehingga dia dapat
memberikan metode pengajaran menulis puisi yang tepat dengan menggunakan hasil
penelitian ini sebagai salah satu rujukan.
KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori
1. Hakikat Diksi
a. Pengertian Diksi
Diksi biasa juga disebut pilihan kata. Keraf (2000: 23) mendefinisikan pengertian pilihan
kata atau diksi ini dalam tiga pengertian, yaitu (1) pilihan kata atau diksi mencakup
pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagaasan, bagaimana
membentuk pengelompookan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-
ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam satu situasi; (2)
pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa
makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk
yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat
pendengar; (3) pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan
sejumlah besar kosa kata.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diksi diartikan pilihan kata yang tepat dan selaras
(dulu pengggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu
(seperti yang diharapkan).
Kata merupakan alat penyalur gagasan, hal ini memiliki pengertian bahwa semakin
banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula ide atau gagasan yang
dikuasainya dan yang sanggup diungkapkannya. Mereka yang menguasai banyak gagasan
atau dengan kata lain mereka yang luas kosa katanya dapat dengan mudah dan lancar
mengadakan komunikasi dengan orang lain baik secara lisan maupun tulis.
B. Kerangka Berpikir
Salah satu kemampuan berbahasa yang penting untuk dikuasai siswa adalah kemampuan
menulis. Dengan menulis, bebagai gagasan dan pengalaman siswa dapat
dikomunikasikan ke semua pihak. Gagasan yang akan dikomunikasikan dalam bentuk
puisi memerlukan banyak aspek kebahasaan, antara lain diksi dan gaya bahasa.
Dalam kegiatan menulis, diksi memiliki peranan penting. Baik tidaknya suatu tulisan saat
dipengaruhi oleh diksi yang digunakan penulisnya. Siswa yang memiliki penguasaan
diksi yang tinggi akan dapat membuat tulisan dengan baik dibandingkan siswa yang
memiliki penguasaan diksinya rendah.
Berdasarkan gambaran di atas dapat dikatakan bahwa penguasaan diksi diduga memiliki
hubungan yang positif dengan keterampilan menulis puisi.
Penguasaan gaya bahasa dalam kegiatan menulis puisi juga merupakan faktor yang
penting karena dengan menguasai gaya bahasa dengan baik siswa akan dapat
mengungkapkan ide atau gagasannya kepada orang lain dalam bentuk puisi secara baik
pula.
Berdasarkan gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa penguasaan gaya bahasa diduga
juga memiliki hubungan yang positif dengan keterampilan menulis puisi. Penguasaan
diksi dan gaya bahasa tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan menulis puisi karena
keduanya saling melengkapi.
Berdasarkan uraian di atas dapat dapat disimpulkan bahwa penguasaan diksi dan gaya
bahasa berpengaruh terhadap keterampilan menulis puisi siswa. Hubungan itu dapat
digambarkan seperti bagan berikut:
C. Hipotesis
Berdasrkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah dikemukakan dapat diajukan
hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan positif antara penguasaan diksi dan kemampuan menulis puisi.
2. Terdapat hubungan positif antara penguasaan gaya bahasa dan kemampuan menulis
puisi.
3. Terdapat hubungan positif secara bersama-sama antara penguasaan diksi dan gaya
bahasa dengan kemampuan menulis puisi.
METODOLOGI PENELITIAN
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dan jenis
penelitiannya adalah deskriptif korelasional yang berupaya untuk mengemukakan ada
tidaknya hubungan antara penguasaan diksi dan gaya bahasa sebagai variabel bebas
dengan kemampuan menulis puisi sebagai variabel terikat pada siswa kelas VII SMP
Negeri 1 Klego.
E. Validitas Instrumen
Suatu tes dikatakan valid apabila tes tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya
diukur. Dalam penelitian ini untuk mengukur validitas instrumen tes penguasaan diksi,
gaya bahasa dan kemampuan menulis puisi siswa digunakan validitas internal, yakni
mengukur keabsahan atau kevalidan dari butir-butir pertanyaan yang disediakan dalam
butir pertanyaan yang secara statistik digunakan rumus korelasi Point Biserial dengan
rumus:
Keterangan:
Xi: rata-rata skor total responden yang menjawab benar butir ke-i
Xt: rata-rata skor total semua responden
St: standar deviasi skor total
pi: proporsi jawaban benar untuk butir ke-i
qi: proporsi jawaban salah untuk butir ke-i
rpbi: koefisien korelasi point biserial
F. Reabilitas Instrumen
Suatu instrumen dikatakan reliabel atau memiliki taraf keajegkan tinggi jika instrumen
tersebut dikerjakan oleh siswa yang sama dalam waktu yang berbeda hasilnya relatif
tetap. Dalam peneletian ini untuk mengukur reliabilitas tes penguasaan diksi, gaya bahasa
dan kemampuan menulis puisi siswa digunakan rumus Kuder Richardson-20 (KR-20).
Rumus ytang dimaksud adalah sebagai berikut:
Keterangan:
r: koefisien reabilitas internal seluruh item
n: jumlah butir tes yang valid
p: proporsi jawaban yang benar
q: proporsi jawabab yang salah
St: standar deviasi skor total
St2: varians skor total
G. Hipotesis Statistik
Sebelum analisis data dilakukan perlu dirumuskan hipotesis statistik penelitian ini
sebagai berikut:
1. Hipotesis Pertama
a. H��: ��y.1 = ��
b. H1 : ��y.1 > 0
2. Hipotesis Kedua
a. H0 : ��y.2 = 0
b. H1 : : ��y.2 > 0
3. Hipotesis Ketiga
a. H0 : ��y.12 = 0
b. H1: : ��y.1
Sebelum menguji hipotesis lebih dulu dilakukan uji persyaratan analisis yang terdiri dari
uji normalitas dengan menggunakan rumus Lilifors, uji linieritas, dan keberartian data
dengan menggunakan teknik statistik anaya (anaya varians).
DAFTAR PUSTAKA
Akhadiah, Sabarti, dkk. 1990. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia.
Jakarta: Airlangga
Oleh:
IKA RAHAYU SUSILANINGSIH
K1207020
PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
MOUSE OVER PADA POWER POINT
Mouse over pada powerpoint bisa kita gunakan di dalam presentasi. Kapan penggunaan
mouse over ini? mouse over bisa digunakan ketika mouse mengarah pada suatu objek
kemudian ada perubahan, misalnya perubahan warna atau apa saja yang kita inginkan.
Dalam paper ini saya memberikan contoh perubahan warna. Langkah-langkah yang harus
dilakukan yaitu:
1. Pada slide pertama, buat 2 tombol menggunakan autoshape.
2. Duplicate slide tersebut (ctrl+D), ganti warna pada tombol 1 dan 2 sesuai keinginan,
misalnya merah dan kuning.
3. Duplicate slide kedua (ctrl+D). Ganti warna tombol pada slide kedua sesuai keinginan,
misalnya hijau dan ungu.
4. Gabungkan ketiga slide tersebut. Pada slide 1, klik kanan tombol 1, kemudian klik
insert > action. Klik tab Mouse Over, pilih hyperlink to slide > pilih slide 2. Klik kanan
tombol 2, kemudian klik action setting. Klik tab Mouse Over. Pilih hyperlink to slide >
slide 3.Klik tab Mouse Over. Pilih hyperlink to : slide > pilih slide 3.
5. Pada slide 2, klik kanan regtangle, kemudian klik insert > action. Klik tab Mouse Over.
Pilih hyperlink to : slide > pilih slide 1.
6. Pada slide 3, klik kanan regtangle, kemudian klik insert > action. Klik tab Mouse Over.
Pilih hyperlink to : slide > pilih slide 1.
7. Tekan F5 untuk melihat hasilnya, kemudian arahkan mouse ke tombol-tombol tersebut.
Ketika tombol disentuh maka akan berubah warna.
Diposkan oleh IKA RAHAYU SUSILANINGSIH di 20.20 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke
Google Buzz
PERMASALAHAN MAKNA
PERMASALAHAN MAKNA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Semester Lima
Mata Kuliah: Psikolinguistik
Dosen Pengampu : Dr. Andayani, M.Pd.
Disusun oleh:
Ika Rahayu Susilaningsih
K1207020
B. Makna Leksikal
Istilah leksikal adalah bentuk adjektiva dari nomina leksikon, yang berasal dari leksem.
Dalam kajian morfologi leksem lazim diartikan sebagai bentuk dasar yang setelah
mengalami proses gramatikalisasi akan menjadi kata (Kidalaksana dalam Chaer: 2003:
269). Sedangkan dalam kajian semantik leksem lazim diartikan sebagai satuan bahasa
yang memiliki satu makna atau satu pengertian, seperti air dalam arti “sejenis barang cair
yang digunakan untuk pengertian sehari-hari”, pensil dalam arti ‘sejenis alat tulis, yang
terbuat dari kayu dan arang”, meja hijau dalam ari “pengadilan” adalah contoh-contoh
leksem. Dari contoh-contoh tersebut nampak bahwa leksem itu bisa berupa kata dan juga
bisa berupa gabungan kata. Namun, dalam dunia pendidikan bentuk-bentuk seperti meja
hijau dan membanting tulang lazim diartikan idiom.
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-
unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal. Misalnya secara gramatikal bentuk
“menjual rumah” bermakna “yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima
rumahnya”, tetapi dalam bahasa Indonesia bentuk “menjual gigi” tidak memiliki makna
seperti itu, melainkan bermakna “tertawa keras-keras”. Jadi, makna yang dimiliki seperti
makna gigi itulah yang disebut makna gramatikal.
Makna leksikal adalah makna yang secara inhern dimiliki oleh sebuah leksem. Makna
leksikal juga dapat diartikan sebagai makna secara lepas, di luar konteks kalimatnya.
Makna leksikal ini terutama yang berupa kata di dalam kamus biasanya didaftarkan
sebagai makna pertama kata atau entri yang terdaftar dalam kamus itu. Misalnya, “bagian
tubuh dari leher ke atas” adalah makna leksikal dari kata kepala, sedangkan makna
“ketua” atau “pemimpin” bukanlah makna leksikal, sebab untuk menyatakan makna
“ketua’ atau “pemimpin”, kata kepala itu harus bergabung dengan unsur lain, seperti
dalam frase kepala sekolah atau kepala kantor.
Tahap pertama untuk bisa meresapi makna suatu ujaran adalah memahami makna
leksikal setiap butir leksikal (kata, leksem) yang digunakan di dalam ujaran itu.
Andaikata kita dak tahu makna leksikal yang digunakan dalam sebuah ujaran kita bisa
melihatnya di dalam kamus, atau bertanya kepada orang lain yang tahu. Namun,
persoalannya tidak seederhana itu sebab ada sejumlah kasus di dalam studi semantik yang
menyangkut makna lesikal itu. Permasalahan yang menyangkut makna leksikal antara
lain:
1. Kesinoniman
Pada setiap bahasa ada sejumlah kata yang memiliki kesamaan makna. Hal ini dalam
studi semantiklazim disebut dengan istilah sinonim, sinonimi, atau kesinoniman. Dalam
bahasa Indonesia misalnya kata ayah memiliki kesamaan makna dengan kata bapak, kata
mati memiliki kesamaan makna dengan kata meninggal, wafat, dan mampus. Kasus
kesinoniman ini bisa menjadi masalah dalam meresepsi makna ujaran. Hal ini seperti
yang dikemukakan Verhaar (dalam Chaer:270) bahwa dua buah kata yang bersinonim
maknanya hanya kurang lebih sama. Untuk membuktikan hal itu dapat diambil contoh
kata ayah dan bapak seperti di bawah ini:
(a). “Bapak” mau pergi ke mana?
“Ayah” mau pergi ke mana?
(b) Selamat pagi “Bapak” Lurah?
Selamat pagi “Ayah” Lurah?
Ternyata pada kalimat kedua kata bapak tidak dapat digantikan dengan kata ayah. Hal ini
membuktikan bahwa kata bapak dan ayah yang disebut bersinonim atau memiliki
kesamaan makna ternyata tidak selalu dapat dipertukarkan.
Ketidakpersisan makna diantara kata-kata yang bersinonim adalah karena ada kaiah
umum dalam kajian semantik bahwa bila bentuk (kata, leksem) berbeda maka maknanya
pun akan berbeda, meskipun perbedaannya hanya seikit (Chaer:2003:271).
Ketidakpersisan ini yang menyebabkan dua buah kata yang bersinonim tidak dapat
dipertukarkan, bisa disebabkan oleh:
(1). Faktor areal
Faktor areal adalah faktor dimana kata itu biasa digunakan. Misalnya kaya saya dan kata
beta adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, kalau kata saya bisa digunakan di
daerah mana saja di seluruh Indonesia, tetapi kata beta hanya cocok digunakan di wilayah
atau dalam konteks Indonesia bagian timur. Contoh lain kata pepaya dan kates adalah dua
buah kata yang bersinonim. Hanya saja kalau kata pepaya dapat dignakan di wilayah
mana saja, sedangkan kates hanya cocok untuk konteks atau wilayah Jawa.
(2). Faktor sosial
Faktor sosial adalah faktor tingkat kedudukan sosial di antara dua partisipan yang
menggunakan kata-kata yang bersinonim itu. Umpamanya kata saya dan aku adalah dua
buah kata yang bersinonim. Namun, kalau kata saya dapat diginakan oleh siapa saja
terhadap siapa saja, sedangkan kata aku hanya dapat digunakan terhadap lawan bicara
yang lebih muda atau kedudukan sosialnya lebih rendah. Dalam hal ini munculnya kata
pirsawan atau pemirsa adalah karena faktor sosial ini.
(3). Faktor temporal
Faktor temporal adalah faktor waktu penggunaan kata-kata itu. Misalnya kata hilubalang
dan kata komando adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, keduanya tidak bisa
dpertukarkan begitu saja, sebab kata hulubalang hanya cocok digunakan untuk konteks
arkais atau klasik, sedangkan kata komando untuk masa sekarang.
(4). Faktr bidang kegiatan
Faktor bidang kegitan adalah faktor dalam bidang kegiatan apa kata-kata itu bisa
digunakan. Misalnya kata matahari dan surya adalah dua buah kata yang bersinonim.
Hanya saja kata matahari dapat digunakan dalam bidang apa saja, sedangkan kata surya
hanya bisa digunakan dalam bbidang sastra.
(5).Faktor fitur semantik
Faktor fitur semantik adalah faktor ciri-ciri semantik yang dimiliki secara inhern oleh
kata-kata itu sehingga membedakan kata-kata itu satu dari yang lainnya, meskipun kata-
kata itu bersinonim. Misalnua kata meihat, melirik, mengintip,menonton, dan melotot
adalah lima buah kata yang bersinonim. Kalau kata melihat bisa digunakan untuk
mengganti keempat kata lainnya, maka keempat kata lainnya tidak dapat digunakan untuk
mengganti kata melihat. Kata melirik digunakan untuk menyatakan melihat dengan sudut
mata”, kata mengintip digunakan untuk menyatakan “melihat dari celah-celah sempit”,
kata menonton digunakan untuk menyatakan “melihat untuk hiburan”, dan kata melotot
digunakan untuk menyatakan “melihat dengan mata lebar-lebar”. Jadi, kata melihat
bersifat umum, sedangkan keempat kata lainnya lebih bersifat spesifik.
2. Keantoniman
Kentoniman lazim diartikan sebagai keadaan dua butir leksikal (kata atau leksem) yang
maknanya bertentangan, berkebalikan, atau berkontras. Verhaar (dalam Chaer : 273)
mengemukakan bahwa dua buah kata yang berantonim memiliki makna yang dianggap
kebalikan yang satu dari yang lain, maka persoalan keantoniman menjadi cukup sukar
bagi penutur dalam melahirkan ujaran. Ada beberapa tipe keantoniman, antara lain:
a. Keantoniman mutlak
Yakni keantoniman natara dua buah kata atau leksem yang maknanya saling
meniadakan.Misalnya kata hidup dan manti, sesuatu yang masih hidup tentu belum mati,
dan sesuatu yang sudah mati tentu tidak bisa hidup lagi. Keantoniman mutlak ini memang
tidak banyak contohnya, karena dalam kehidupan kita kemutlakan jarang ada. Yang
lazim dan banyak adalah kerelatifan.
b. Keantoniman Relatif
Yakni keantoniman antara dua dua buah kata atau leksem yang pertentangan maknanya
bersifat relative, tidak mutlak. Misalnya kata baik dan buruk. Sesuatu yang disebut baik
belum tentu buruk, dan sesuatu yang disebut buruk belum tentu baik. Kerelatifan baik
dan buruk bisa ditandai dengan keterangan “sangat”, “lebih”, atau “kurang”.
c. Keantoniman Relasional
Yakni keantoniman antara dua buah kata atau leksem yang maknanya saling melengkapi,
dalam arti adanya sesuatu karena adanya yang lain. Misalnya antara kata suami dan kata
isteri. Dalam kasus ini adanya suami karena adanya istri dan adanya istri karena adanya
suami.
Dalam keantoniman relasional, relasional ini tidak tersirat adanya makna pertentangan,
kebalikan, atau kontras. Yang tampak adalah cirri keberpasangan di antara kedua kata
keantoniman relasional itu.
d. Keantoniman hierarkial
Yaitu keantoniman antara dua buah kata atau leksem yang maknanya menyatakan jenjang
urutan dari ukuran, nilai, timbangan, atau kepangkatan. Misalnya keantoniman antara
tamtama dan bintara,prajurit dengan opsir, dll. Kata-kata yang berantonim hierarkial ini
juga tidak menunjukkan adaya pertentangan, atau kebalikan. Yang atmpak adalah urutan
jenjang ukuran atau nilai.
e. Keantoniman Ganda
Yaitu keantoniman sebuah kata dengan pasangan yang lebih dari satu. Misalnya kata
diam, bisa berantonim dengan kata bergerak, bicara, dan bekerja.
3. Kehomoniman
Kehomoniman lazim diartikan sebagai keadaan adanya dua buah kata atau lebih yang ciri
fisiknya persis sama namun memiliki makna yang berbeda karena masing-masing
merpakan identitas kata yang berlawanan. Misalnya kata pacar dalam arti “kekasih” dan
dalam arti “pemerah kuku”.
Kasus kehomoniman ini dapat menimbulkan kesalahan reseptif pada pihak pendengar
jika penutur tidak menyampaikan ujaran secara lengkap. Misalnya:
(a). Mana hak saya?
(b). Saya minta kopinya saja.
Kata hak bisa ditafsirkan “bagian bawah sepatu” dan bisa juga ditafsirkan “bagian atau
sesuatu yang harus diterima”. Sedangkan kata kopi bisa diartikan “minuman kopi” dan
bisa juga “salinan surat yang difotokopi”.
Berdasarkan contoh di atas, maka sudah seharusnya seoranng penutur harus berhati-hati
dalam menggunakan kata yang berhati-hati dalam menggunakan kata yang berhomonim
ini di dalam ujarannya. Ujaran yang baik adalah ujaran yang tidak menimbulkan makna
ganda.
Dalam bahasa tulis ada istilah homograf yang digunakan untuk menyebutkan adanya
bentuk-bentuk kata yang tulisannya sama persis, tetapi lafalnya berbeda dan maknanya
tentu juga berbeda karena merupakan dua buah kata yang berbeda. Misalnya kata dalam
arti “bagian di depan pintu rumah” dan dilafalkan (teras) dan kata dalam arti “inti kayu”
yang dilafalkan sebagai (teras). Contoh lain kata dalam arti “sejenis makanan terbuat dari
kacang kedelai” dan dilafalkan (tahu) dan kata alam arti “mengerti” dan dilafalkan (tau).
Istilah homografi sering didikotomikan dengan homofoni yakni untuk menyebut adanya
dua buah kata atau lebih yang lafalnya sama tetapi artinya berbeda. Misalnya:
• Guci itu adalah peninggalan masa kutai. (masa = waktu)
• Kasus tabrakan yang menghebohkan itu dimuat di media massa.(massa = masyarakat
umum)
4. Kehiponiman dan Kehiperniman
Kehiponiman lazim diartikan sebagai keadaan sebuah kata yang maknanya tercakup atau
berada di bawah kata yang lain. Misalnya kata merpati yang maknanya tercakup di dalam
makna kata burung. Merpati memang burung tetapi burung bukan hanya merpati; bisa
juga tekukur, gelatik, garuda, murai,dll.
Kalau hubungan natara merpati dan burung disebut hiponim, maka kebalikannya
hubungan antara burung dan merpati disebut hipernim. Lalu, relasi sesame antara
merpati, tekukur, garuda, dan murai disebut kohiponim dari kata burung.
Kasus kehiponiman dan kehiperniman mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas
atasan, adanya kata yang maknanya berada di bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada
kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan
menjadi hiponim terhadap kata lain yang secara hierarkial berada di atasnya. Sebagai
contoh kata burung yang merupakan hipernim terhadap kata merpati, tekukur, kutilang,
dan sebagainya, akan menjadi hiponim terhadap kata unggas. Lalu kata unggas yang
merupakan hipernim terhadap kata burung, itik, dan angsa akan menjadi hiponim
terhadap kata binatang.
Konsep hiponim dan hipernim perlu dipahami untuk dapat membuat kategori spesifik
atau dalam membuat klasifikasi dari suatu konsep yang bersifat umum. Hanya perlu
disadari konsep generik dan spesifik butir-butir leksikal dari bahasa adalah tidak sama
karena masalah semantik bahasa ini sangat berkaitan erat dengan masalah budaya
(Larson dalam Chaer: 2003: 277).
C. Makna Gramatikal
Makna gramatikal yakni makna yang muncul sebagai hasil suatu proses gramatikal.
Proses gramatikal dalam bahasa Indonesia antara lain afiksasi, reduplikasi, komposisi,
pemfrasean, dan pengkalimatan. Makna-makna gramatikal yang dihasilkan oleh proses
gramatikal tersebut berkaitan erat dengan fitur makna.
1. Fitur Makna
Makna setiap butir leksikal dapat dianalisis atas fitur-fitur makna yang membentuk
makna keseluruhan leksikal itu seutuhnya. Misalnya kata bahasa Inggris boy, man, girl,
dan woman, jika dianalisis fitur-fitur semantiknya akan tampak seperti pada bagan
berikut ini:
Dari bagan tampak bahwa kata boy memiliki fitur makna [+manusia], [-dewasa],
sedangkan man memiliki fitur semantik [+manusia], [+dewasa], [+laki-laki]. Jadi yang
membedakan boy dan man bahwa boy berfitur [-dewasa[, sedangkan man berfitur
[+dewasa]. Perbedaan boy dan girl terletak pada fitur [+laki-laki] dan [-laki-laki].
Dalam bahasa Inggris, disamping boy dan girl ada kata son dan daughter dan dalam
bahasa Indonesia hanya ada kata anak. Kalau kita bandingkan kata boy, girl, son,
daughter, dan anak tampak fitur-fitur maknanya:
Fitur Makna Boy Girl Son Daughter Anak
1. Manusia + + + + +
2. Dewasa - - - - +
+++
3. Laki-laki + - + _ +
Dari bagan tersebut kita bisa melihat bahwa bahasa Inggris memiliki empat butir leksikal
yang berkenaan dengan anak, dengan fitur-fitur maknanya yang lebih spesifik.
Sedangkan bahasa Indonesia hanya memiliki satu butir leksikal yaitu anak dengan itur
semantik yang masih umum. Oleh karena itu, untuk menampung konsep boy dalam
bahasa Indonesia harus ditambah fitur (=laki-laki) menjadi anak laki-laki, dan untuk
menampung konsep girl kita harus menambah (-laki-laki) ) (=perempuan) sehingga
menjadi anak perempuan.
2. Makna Gramatikal Afiksasi
Afiksasi adalah pembubuhan afiks pada bentuk dasar. Kita banyak menemui kesalahan
penggunaan afiks-afika dalam tulisan, baik bagi mereka yang hanya berpendidikan
menengah maupun mereka yang berpendidikan tinggi. Dalam praktek berbahasa orang
lebih umum menggynakan konstruksi, seperti naik sepeda daripada bersepeda, begitu
juga konstruksi minum kopi daripada mengopi. Hal ini tentunya ada kaitan dengan
masalah bahasa Indonesia secara psikologis bukan bahasa pertama bagi sebagian besar
orang Indonesia. Bahasa ibu mereka adalah bahasa daerah mereka masing-masing.
Kalau sebuah bentuk dasar memiliki fitur makna yang ’’menonjol’’ lebih dari satu, maka
makna gramatikal yang munculpun bisa lebih dari satu. Umpamanya kata patung
memiliki fitur makna yang menonjol (a) {+hasil (pekerjaan)} dan (b) {+sifat diam (tak
berbicara, tak bergerak)}, maka bila dibubuhi prefiks me- menjadi kata mematung akan
memunculkan makna gramatikal (a) ’membuat patung’ (b) ’diam seperti patung’. Padahal
kata menyambal hanya bermakna gramatikal ’membuat sambal’ dan kata membatu hanya
bermakna gramatikal ’(keras) seperti batu’. Hal ini terjadi karena kata sambal hanya
memiliki satu fitur makna yang menonjol yaitu {(+hasil) pekerjaan} dan kata batu hanya
memiliki satu fitur makna yang menonjol yaitu {(+keras) seperti batu}.
Untuk mengetahui makna gramatikal makna yang diacu oleh kata mematung tampaknya
tidak hanya pada tingkat morfologi, melainkan kita harus melihat pada tingkatan
gramatikal yang lebih tinggi, yaitu tingkatan sintaksis. Contoh:
a). Usaha mematung hanya dilakukan penduduk desa itu.
b). Dia duduk saja mematung dalam seminar itu.
Kalimat pertama memberikan makna gramatikal ’membuat patung’, sedangkan kalimat
kedua memberikan makna gramatikal ’diam seperti patung’.
3. Makna Gramatikal Reduplikasi
Reduplikasi juga merupakan satu proses gramatikal dalam pembentukan kata. Secara
umum, makna gramatikal yang dimunculkannya adalah menyatakan ’pluralis’ atau
’intensitas’. Contohnya rumah direduplikasikan menjadi rumah-rumah yang bermakna
gramatikal ’banyak rumah’.
Konsep bahwa reduplikasi memberikan makna ’pluralis’ atau ’intensitas’ secara
psikologis telah tertanam pada nurani kebanyakan orang Indonesia, sehingga sering kali
terjadi kesalahan dalam penggunaannya. Contoh : Para bapak-bapak diharap menunggu
dengan tenang. Penggunaan reduplikasi di sini salah karena kata para sudah berarti
jamak.
4. Makna Gramatikal Komposisi
Permasalahan makna dari segi komposisi ini biasanya muncul karena sebuah ujaran yang
rancu maknanya. Misalnya lukisan yusuf. Ujaran tersebut memiliki tiga nmakna, yaitu (a)
lukisan karya Yusuf, (b) luki san wajah yusuf, (c) lukisan wajah yusuf. Ketiga makna ini
bisa terjadi karena kata yusuf memiliki fitur makna (+manusia), (+pemilik), (+pembuat),
dan (+objek).
5. Kepolisemian
Polisemi adalah satu buah kata/ ujaran yang memiliki makna lebih dari satu
(http://studycycle.blogspot.com). Setiap satu entri kata dalam kamus yang memiliki
makna leksikal lebih dari satu adalah polisemi.
Contoh polisemi dalam kamus: kata “ekor” dalam KBBI online
ekor n 1 bagian tubuh binatang dsb yg paling belakang, baik berupa sambungan dr tulang
punggung maupun sbg lekatan; 2 kata penggolong untuk binatang 3 sesuatu yg rupanya
(keadaannya) spt ekor 4 bagian yg di belakang sekali (tt pesawat, pasukan, dsb) 5 akibat
dr kejadian atau keadaan sebelumnya 6 ki orang yg harus ditanggung (diurus, dibiayai,
dsb); tanggungan
Konteks wacana sangat diperlukan untuk mengetahui makna kata yang mana yang
dimaksudkan oleh penulis.
Contoh:
• Ayah membeli ayam jantan seharga Rp 100.000 per ekor. (Kata “ekor” dalam kalimat
tersebut berarti kata penggolong untuk binatang).
• Ibu memotong ekor ayam itu untuk menandai ayam miliknya. (Kata “ekor” dalam
kalimat tersebut di atas berarti bagian tubuh binatang dan sebagainya yang paling
belakang, baik berupa sambungan dari tulang punggung maupun sebagai lekatan).
D. Makna Kontekstual
Memahami makna leksikal dan gramatikal saja belum cukup untuk dapat memahami
makna suatu ujaran, sebab untuk dapat memahami makna suatu ujaran harus pula
diketahui konteks dari terjadinya ujaran itu, atau tempat terjadinya ujaran itu. Konteks
ujaran berupa:
1. Konteks Intra Kalimat
Sudah menjadi asumsi umum bahwa makna sebuah kata tergantung pada kedudukannya
di dalam kalimat, baik menurut letak posisiya di dalam kalimat maupun menurut kata lain
yang berada di depan maupun belakang kata tersebut. Contoh:
a). Sungai itu dalam sekali.
b). Dalam sungai itu 20 meter.
Makna kata dalam pada kedua kalimat tersebut tentunya berbeda.
2. Konteks Antarkalimat
Banyak ujaran dalam bentuk kalimat yang baru bias dipahami maknanya berdasarkan
hubungannya dengan makna-makna kalimat sebelum atau sesudahnya. Contoh:
a). Meskipun persiapan itu telah dilakukan dengan seksama, tetapi operasi itu batal
dilaksanakan. Menurut keterangan tim medis hal itu terjadi karena tiba-tiba pasien
mengalami komplikasi.
b). Meskipun persiapan itu telah dilakukan dengan seksama, tetapi operasi itu batal
dilaksanakan. Hal itu karena rencana itu telah bocor, sehingga tak sebuah becakpun yang
keluar.
Kata operasi pada paragraf pertama bermakna ‘pembedahan’, sedangkan pada paragraf
kedua bermakna ‘penertiban’. Kedua makan kata operasi itu bias dipahami karena
kalimat yang mengikutinya.
3. Konteks Situasi
Yang dimaksud konteks situasi adalah kapan, di mana, dan dalam suasana apa ujaran itu
diucapkan. Contohnya kalimat ‘Tiga kali empat berapa?’. Bila diucapkan oleh seorang
guru SD maka jawabannya adalah dua belas, tetapi bila kalimat tersebut diucapkan oleh
seseorang yang ditujukan kepada tukang afdruk foto maka jawabannya bisa saja ‘seribu’
atau ‘seribu lima ratus’.
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa makna bahasa seperti yang diresepsi
pendengar bukanlah semata-mata masalah intralingual belaka seperti yang disebutkan
Verhaar, melainkan juga masalah ekstralingual.
E. Makna Referensial
Sebuah kata disebut memiliki makna referensial kalau ada referensinya atau acuannya.
Kata-kata seperti “kuda” disebut memiliki makna referensial kalau ada acuannya atau
referensinya. Kata-kata seperti “kuda”, “merah”, dan “gambar” adalah termasuk kata-kata
yang memiliki makna referensial. Kata-kata seperti “dan”, “atau”, “karena” tidak
bermakna referensial karena kata-kata itu tidak mempunyai referens.
Berkenaan dengan acuan ini, ada sejumlah kata yang disebut kata-kata deiktik yang
acuannya tidak menetap pada satu wujud, melainkan dapat berpindah dari wujud yang
satu ke wujud yang lain. Kata-kata yang deiktik ini adalah kata-kata seperti pronomina,
seperti “dia”, “saya”, “kamu”, “kata-kata yang menyatakan ruang”, ‘kata-kata yang
menyatakan waktu”, ‘kata-kata yang disebut kata petunjuk”. Contoh pronomina kata saya
yang acuannya tidak sama:
• “Tadi pagi saya bertemu Pak Ahmad”, kata Ani kepada Ali.
• “Saya juga bertemu beliau tadi pagi”, sahut Ali.
• “Di mana kalian bertemu?”, tannya Amir. “Saya sudah lama tidak berjumpa dengan
beliau”.
Pada kalimat pertama kata saya mengacu pada Ani, kalimat kedua pada Ali, dan kalimat
terakhir pada Amir.
F. Ujaran Taksa
Ujaran taksa adalah ujaran yang maknanya bisa ditafsirkan bermacam-macam. Penyebab
ujaran taksa antara lain:
1. Kekurangan Konteks
Kekurangan konteks merupakan penyebab utama terjadinya ujaran taksa. Contoh:
a). Minggu lalu saya bertemu paus.
b).Minggu lalu ketika saya ke pantai saya bertemu paus.
Pada kalimat pertama, makna kata paus masih rancu, bisa saja bermakna ‘ikan paus’ dan
bias juga bermakna ‘nama pemimpin agama katolik’. Karena adanya penambahan
konteks tempat (ketika saya ke pantai), maka makna kata paus menjadi jelas, yakni ‘ikan
paus’.
Selain dengan konteks kalimat, konteks situasi jiga dapat menghilangkan ketaksaan.
Misalnya jika kalimat “minggu lalu saya bertemu paus” diucapkan ketika seseorang
berada di halaman Vatikan atau di kota Roma, akan menjadi jelas bahwa yang ditemui
adalah Paus pemimpin teringgi agama Katolik. Jika kalimat tersebut diucapkan oleh
seseorang dalam suatu pelayaran di tengah samudera, juga akan menjadikan jelas bahwa
yang ditemui adalah paus, sejenis ikan besar.
2. Ketidakcermatan Struktur Gramatikal
Ketidakcermatan struktur gramatikal meliputi struktur frase, klausa, kalimat, dan wacana.
Ketaksaan di sini selain karena ketidakcermatan struktur gramatikal, bisa juga terjadi
pada konstruksi yang struktur gramatikalnya berterima tetapi berbagai kendali semantik
telah menimbulkan ketaksaan pada konstruksi itu.
a). Struktur frase
Contoh: lukisan yusuf.
Mess dalam pembicaraannya mengenai aneksi mengatakan konstruksi di atas dapat
bermakna (a) lukisan itu milik Yusuf, (b) lukisan itu karya Yusuf, (c) Lukisan itu
menampilkan wajah Yusuf. Namun, Mess tidak menjelaskan mengapa konstruksi di atas
bisa memiliki tiga buah kemungkinan makna. Dia hanya mengatakan karena konstruksi
di atas bukan sebuah kata majemuk, melainkan sebuah aneksi.
Kalau konstruksi di atas kita analisis menurut teori komponen makna dari Nida atau
Larson, kiranya penyebab ketaksaan konsytruksi di atas dapat dijelaskan. Ketaksaan
tersebut bersumber pada fitur-fitur makna yang secara inhern dimiliki oleh fitur Yusuf
tersebut. Leksem Yusuf sebagai unsur kedua dalam frase lukisan Yusuf memiliki fitur
makna (+manusia), yang berpotensi juga untuk memiliki fitur makna (+pemilik). Karena
itu, jadilah konstruksi itu memiliki makna gramatikal “milik”. Leksem Yusuf juga
berpotensi memiliki fitur semantik (+pelaku). Karena itulah, konstruksi lukisan Yusuf
memiliki makna gramatikal “luisan karya Yusuf”. Kita bandingkan dengan konstruksi
seperti lukisan Afandi, puisi rendra, dan novel Mira W, yanng juga bermakna gramatikal
“hasil, karya” karena nama Afandi dikenal sebagai pelaku pembuat lukisan, nama Mira
W sebagai penulis nivel, dan Rendra sebagai penulis puisi.Selain itu, leksem Yusuf juga
berpotensi memiliki fitur (+objek) atau (+sasaran). Karena itulah konstruksi lukisan
Yusuf juga memiliki makna gramatikal “objek lukisan”. Kita bandingkan dengan
konstruksi seperti lukisan banteng, pembangunan jalan, dan penulisan novel yang juga
bermakna gramatikal “objek pembuatan”.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyebab ketaksaan pad konstruksi di atas adalah fitur
makna yang dimiliki secara inhern oleh leksem Yusuf.
b). Struktur kalimat
Contoh: Guru baru datang.
Kalimat tersebut menjadi taksa karena dapat ditafsirkan menjadi ’guru yang baru
diangkat itu datang’ dan dapat pula diartikan ’guru itu terlambat datang (baru
datang)’.Penyebabnya karena kata baru dapat ditafsirkan sebagai bagian dari frase
nominal guru baru dan juga dapat ditafsirkan sebagai bagian dari frase verbal baru dating.
Untuk menghilangkan ketaksaan konstruksi tersebut adalah dengan memberi penanda
batas antar fungsi subjek dan fungsi predikat. Misalnya dengan menempatkan kata itu
pada bagian akhir subjeknya.
c). Struktur wacana
Contoh: Ali dan Ahmad bersahabat karib. Dia sangat mencintai istrinya.
Wacana sederhana tersebut menjadi taksa karena dapat ditafsirkan bermakna ‘Ali sangat
mencintai istrinya’ dan dapat pula bermakna ‘Ahmad sangat mencintai istri Ali’.
Penyebabnya adalah karena penggunaan pronomina persona dia dan nya yang tidak
cermat, yang bias mengacu secara anaforis pada Ali dan juga pada Ahmad. Lebih baik
tetap menggunakan kata Ali atau Ahmad.
3. Kekurangan Tanda Baca
Kekurangan tanda baca dapat menyebabkan ketaksaan. Ketaksaan karena tanda baca ini
tentu saja hanya terjadi pada ragam nahasa tulis karena bahasa tulis tidak memiliki
intonasi.
Contoh: Buku sejarah baru.
Konstruksi tersebut menjadi taksa karena dapat ditafsirkan bermakna ‘buku itu mengenai
sejarah baru’ dan dapat pula bermakna ‘buku baru itu mengenai sejarah’. Menurut
pedoman EYD ketaksaan pada konstruksi tersebut akan hilang jika antara satuan-satuan
leksikal yang secara semantik berdekatan diberi tanda hubung (-).Untuk menyatakan
‘buku itu mengenai sejarah baru’ maka ditulis: Buku sejarah-baru. Sedangkan untuk
menyatakan ‘buku baru itu mengenai sejarah’, maka ditulis: Buku-sejarah baru.
Dengan disisipkannya tanda hubung antara kata sejarah dan kata baru, maka urutan
sejarah-baru itu menjadi sebuah satuan semantik. Sebaliknya, dengan disisipkannya tanda
hubung antara kata buku dan kata sejarah maka urutan buku-sejarah itu menjadi sebuah
satuan semantik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Aspek Makna dalam Semantik dan Keterkaitannya dengan Jenis-jenis Makna.
http://susilo.adi.setyawan.student.fkip.uns.ac.id/ (Diakses Tanggal 25 Desember 2009)
Polisemi. http://studycycle.blogspot.com. (Diakses Tanggal 25 Desember 2009)
Diposkan oleh IKA RAHAYU SUSILANINGSIH di 20.18 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke
Google Buzz
RANCANGAN INSTRUMEN
MOTIVASI BELAJAR
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester Lima
Mata Kuliah: Pengembangan Instrumen Penelitian
Dosen Pengampu : Dr. Budhi Setiawan, M.Pd.
Disusun oleh:
Ika Rahayu Susilaningsih
K1207020
A. Kajian Teori
Motivasi merupakan hal yang cukup penting dalam menentukan keberhasilan seseorang.
Huitt, W. (2001) dalam http://sunartombs.wordpress.com// mengatakan motivasi adalah
suatu kondisi atau status internal (kadang-kadang diartikan sebagai kebutuhan, keinginan,
atau hasrat) yang mengarahkan perilaku seseorang untuk aktif bertindak dalam rangka
mencapai suatu tujuan. Jadi ada tiga kata kunci tentang pengertian motivasi menurut
Huitt, yaitu: 1) kondisi atau status internal itu mengaktifkan dan memberi arah pada
perilaku seseorang; 2) keinginan yang memberi tenaga dan mengarahkan perilaku
seseorang untuk mencapai suatu tujuan; 3) Tingkat kebutuhan dan keinginan akan
berpengaruh terhadap intensitas perilaku seseorang.
Sejalan dengan pendapat Huit, Crow dalam Riani (2005:42) menyatakan bahwa motivasi
adalah suatu keadaan yang menyebabkan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan
atau aktivitas untuk mencapai tujuan. Tevan dan Smith dalam Riani (2005:42) juga
berpendapat mengenai motivasi, menurut mereka motivasi adalah konstruksi yang
mengaktifkan perilaku, sedangkan komponen yang lebih spesifik dari motivasi yang
berhubungan dengan tipe perilaku tertentu disebut motif.
Motivasi yang lebih lengkap menurut Sudarwan Danim (2004 : 2) dalam
http://sunartombs.wordpress.com// diartikan sebagai kekuatan, dorongan, kebutuhan,
semangat, tekanan, atau mekanisme psikologis yang mendorong seseorang atau
sekelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu sesuai dengan apa yang
dikehendakinya. Motivasi paling tidak memuat tiga unsur esensial, yakni : (1) faktor
pendorong atau pembangkit motif, baik internal maupun eksternal, (2) tujuan yang ingin
dicapai, (3) strategi yang diperlukan oleh individu atau kelompok untuk mencapai tujuan
tersebut.
Motivasi adalah sesuatu yang menggerakkan dan mengarahkan tujuan seseorang dalam
tindakan-tindakannya secara negatif atau positif. Motivasi merupakan sejumlah proses-
proses psikologikal yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya
persistensi kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu, baik
yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu yang menyebabkan timbulnya
sikap antusiasme dan persistensi.
Motivasi yang ada pada setiap orang tidaklah sama, berbeda-beda antara yang satu
dengan yang lain. Untuk itu, diperlukan pengetahuan mengenai pengertian dan hakikat
motivasi, serta kemampuan teknik menciptakan situasi sehingga menimbulkan
motivasi/dorongan bagi mereka untuk berbuat atau berperilaku sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh individu lain/ organisasi.
Belajar merupakan proses perubahan perilaku secara aktif, proses mereaksi terhadap
semua situasi yang ada di sekitar individu, proses yang diarahkan kepada suatu tujuan,
proses berbuat melalui berbagai pengalaman, proses melihat, mengamati, memahami
sesuatu yang ingin dipelajari (Gino, dkk: 1998: 31).
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar adalah
kesanggupan untuk melakukan kegiatan belajar karena didorong oleh keinginannya untuk
memenuhi kebutuhan dari dalam dirinya ataupun yang datang dari luar. Kegiatan itu
dilakukan dengan kesungguhan hati dan terus menerus dalam rangka mencapai tujuan.
Pentingnya motivasi dalam proses pembelajaran perlu dipahami oleh pendidik agar dapat
melakukan berbagai bentuk tindakan atau bantuan kepada siswa. Motivasi dirumuskan
sebagai dorongan, baik diakibatkan faktor dari dalam maupun luar siswa, untuk mencapai
tujuan tertentu guna memenuhi / memuaskan suatu kebutuhan. Dalam konteks
pembelajaran maka kebutuhan tersebut berhubungan dengan kebutuhan untuk pelajaran.
Motivasi belajar siswa dapat dianalogikan sebagai bahan bakar untuk menggerakkan
mesin motivasi belajar yang memadai yang akan mendorong siswa berperilaku aktif
untuk berprestasi dalam kelas.
Fungsi motivasi dalam pembelajaran diantaranya :
1. Mendorong timbulnya tingkah laku atau perbuatan, tanpa motivasi tidak akan timbul
suatu perbuatan misalnya belajar.
2. Motivasi berfungsi sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
3. Motivasi berfungsi sebagai penggerak, artinya menggerakkan tingkah laku seseorang.
Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.
Motivasi belajar tidak akan terbentuk apabila orang tersebut tidak mempunyai keinginan,
cita-cita, atau menyadari manfaat belajar bagi dirinya. Oleh karena itu, dibutuhkan
pengkondisian tertentu, agar diri kita atau siapa pun juga yang menginginkan semangat
untuk belajar dapat termotivasi (http://www.anneahira.com/motivasi/index.htm).
B. Definisi Konseptual
Motivasi belajar adalah kesanggupan untuk melakukan kegiatan belajar karena didorong
oleh keinginannya untuk memenuhi kebutuhan dari dalam dirinya ataupun yang datang
dari luar. Kegiatan itu dilakukan dengan kesungguhan hati dan terus menerus dalam
rangka mencapai tujuan.
C. Definisi Operasional
Motivasi belajar adalah kesanggupan untuk melakukan kegiatan belajar karena didorong
oleh keinginannya untuk memenuhi kebutuhan dari dalam dirinya ataupun yang datang
dari luar. Kegiatan itu dilakukan dengan kesungguhan hati dan terus menerus dalam
rangka mencapai tujuan. Motivasi belajar dapat diukur melalui perhatian siswa, relevansi,
percaya diri, dan kepuasan.
D. Dimensi dan Indikator
Berdasarkan kajian teori, dimensi konseptual, dan dimensi operasional di atas, maka
dimensi dan indikator-indikator yang merujuk pada motivasi belajar siswa dalam
instrumen ini adalah sebagai berikut:
1. Perhatian (attention)
2. Relevansi (relevanse)
3. Percaya diri (confidence)
4. Kepuasan (satisfaction)
E. Jenis Instrumen
Instrumen yang digunakan untuk mengukur motivasi siswa yaitu angket atau kuisioner.
Yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui.
1). Pertama kali saya melihat pembelajaran ini,saya percaya bahwa pembelajaran ini
mudah bagi saya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
2). Pada awal pembelajaran, ada sesuatu yang tidak menarik bagi saya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
3). Materi pembelajaran ini lebih sulit dipahami daripada yang saya harapkan.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
4). Setelah membaca informasi pendahuluan, saya yakin bahwa saya mengetahui apa
yang harus saya pelajari dari pembelajaran ini.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
5). Menyelesaikan tugas-tugas dalam pembelajaran ini membuat saya merasa puas
terhadap hasil yang telah saya capai.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
6). Jelas bagi saya bagaimana hubungan materi pembelajaran ini dengan apa yang telah
saya ketahui.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
7). Banyak halaman-halaman yang mengandung amat banyak informasi sehingga sukar
bagi saya untuk mengambil ide-ide penting dan mengingatnya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
8). Materi pembelajaran ini sangat membosankan.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
9). Terdapat cerita, gambar atau contoh yang menunjukkan kepada saya bagaimana
manfaat materi pembelajaran ini bagi beberapa orang.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
10). Menyelesaikan pembelajaran dengan berhasil sangat penting bagi saya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
11). Kualitas tulisannya membuat saya sangat menarik.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
12). Pembelajaran ini sangat abstrak sehingga sulit bagi saya untuk tetap
mempertahankan perhatian saya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
13). Selagi saya bekerja pada pembelajaran ini, saya percaya bahwa saya dapat
mempelajari isinya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
14). Saya tidak menyukai pembelajaran ini sehingga saya tidak ingin mengetahui lebih
lanjut pokok bahasan ini.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
15). Halaman-halaman pembelajaran ini kering dan tidak menarik.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
16). Isi pembelajaran ini tidak sesuai dengan minat saya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
17). Cara penyusunan informasi pada halaman-halaman membuat saya tetap
mempertahankannya.
a. Sangat tidak setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
d. Setuju
e. Sangat setuju
H. Kalibrasi Instrumen
1. Validitas
Uji validitas yang digunakan untuk mengukur instrumen ini yaitu dengan rumus sebagai
berikut:
2. Reabilitas
Uji reliabilitas yang digunakan untuk mengukur kereliabelan instrumen ini yaitu dengan
menggunakan ά Cronbach, dengan rumus sebagai berikut:
I. Simpulan
Motivasi belajar adalah kesanggupan untuk melakukan kegiatan belajar karena didorong
oleh keinginannya untuk memenuhi kebutuhan dari dalam dirinya ataupun yang datang
dari luar. Kegiatan itu dilakukan dengan kesungguhan hati dan terus menerus dalam
rangka mencapai tujuan. Keberhasilan seorang siswa dalam belajar juga ditentukan oleh
adanya motivasi dari dalam diri siswa tersebut.
Daftar Pustaka