You are on page 1of 37

Ikutan Bagi Umat

IBU, adalah Ikutan Bagi Umat. Masyarakat yang baik akan


terlahir dari Ibu yang baik.
"Ibu (an-Nisak) adalah tiang negeri" (al Hadist). Jika kaum
Ibu dalam suatu negeri (bangsa) berkelakuan baik (shalihah), niscaya
akan sejahtera negeri itu. Sebaliknya, bila kaum Ibu di suatu negeri
berperangai buruk (fasad) akibatnya negeri itu akan binasa
seluruhnya.

Kaum Ibu pemelihara tetangga, dan perekat


silaturrahim.Walaupun tidak jarang, kaum Ibu bisa menjadi perusak
rumah tangga tetangganya.
Banyak sekali hadist Nabi menyatakan pentingnya pemeliharaan
hubungan bertetangga, serta menanamkan sikap peduli dengan
berprilaku solidaritas tinggi dalam kehidupan keliling.
Diantaranya Rasulullah SAW bersabda;

"Demi Allah, dia tidak beriman, demi Allah, dia tidak beriman,
demi Allah, dia tidak beriman". Ada yang bertanya; "Siapakah
dia wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Yaitu, orang yang
tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan-kejahatannya".
(Hadist diriwayatkan Asy-Syaikhan).

Dalam Hadist lainnya disebutkan ;

“Tidaklah beriman kepadaku orang yang perutnya kenyang,


sedangkan tetangganya (dibiarkan) kelaparan disampingnya,
sementara dia juga mengetahui (keadaan)nya” (HR.Ath-
Thabarani dan Al Bazzar).

Bimbingan Risalah ini menekankan pentingnya pendidikan


akhlaq Islam (akhlaq Qurani). Satu bangsa akan tegak kokoh dengan
akhlak (moral budaya dan ajaran agama yang benar). Bila moral atau
akhlaq ini telah rusak, maka sendirinya bangsa itu akan rubuh.
Senyatanya penanaman akhlak menjadi sangat penting pada setiap
pertumbuhan generasi bangsa.

Tata krama pergaulan dimulai dari penghormatan di rumah


tangga dan dikembangkan kelingkungan tetangga dan ketengah
pergaulan warga masyarakat (bangsa). Seperti, membiasakan
mengucap salam dengan tujuan mnulia menebarkan keselamatan
terhadap tetangga dengan baik. Menjenguk tatkala sakit, bertakziyah
tatkala kematian (kemalangan).
Memberikan pertolongan bila diminta. Memberikan pinjaman
(melapangi tetangga) kalau kondisi ekonomi memungkinkan.
Mendoakan sesama tetangga.
Memberi nasehat (petunjuk) untuk urusan-urusan duniawi dan
akhirat. Memberi makanan (sembako) bila dimungkinkan. Tidak
mengganggu dan menyakiti tetangga.
Mengawasi anak-anak (generasi) agar tidak bermusuhan atau
berkelahi (tawuran) sesama warga/tetangga, tujuannya supaya
terhindari permusuhan. Ikut menjaga ketenteraman keluarga dan
tetangga. Menjauhi sikap zalim, dan ikut menjaga warga/tetangga
supaya tidak dizalimi. Menjaga perasaan dan kehormatan tetangga.
Melindungi milik (harta) tetangga.
Tidak membuat kegaduhan, memelihara agar selalu terbina
ketenangan dan ketertiban. Hidup yang aman dan tenteram. Tidak
mengeluarkan kata-kata yang kotor dan suara keras. Memaafkan
kesalahan, menghidupkan perdamaian sesama warga.
Sabar dalam menghadapi setiap gangguan. Menolak setiap
keburukan dengan cara-cara yang bijaksana dan baik.

Sesuai bimbingan Al Quran ;

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah


(kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik (ahsan), maka
tiba-tiba orang-orang yang antaramu dan antara mereka ada
permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
setia” (QS.41, Fush-shilat, ayat 34).
PENDIDIK UTAMA

Penghormatan kepada Ibu menempati urutan kedua sesudah


iman kepada Allah. Bersyukur kepada Allah dan berterima kasih
kepada Ibu, diwasiatkan sejalan untuk seluruh manusia.
Penghormatan kepada Ibu (kedua orang tua), merupakan disiplin
hidup yang tak boleh diabaikan. Disiplin ini tidak terbatas kepada
adanya perbedaan dari keyakinan yang di anut. Bahkan, dalam
hubungan pergaulan duniawi sangat ditekankan supaya dipelihara
jalinan yang baik (ihsan).

Tuntunan Al Quran menjelaskan;

“Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik


kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepadaKU dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya
kepadaKU lah kamu akan kembali.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan AKU
(Allah) dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik (secara ma’ruf),
dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKU, kemudian
hanya kepadaKU-lah kembalimu, maka AKU akan beritakan
kepadamu apa-apa yang telah kamu kerjakan” (QS. 31,
Luqman; ayat 14-15).
Ibu adalah pendidik utama. Dari pribadinya lahir teladan,
menjadi panutan dan ikutan. Sebagai sosok contoh akan
membersitkan harapan masa datang. Keteladanan yang baik berdasar
kepada ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasulullah menjadi sangat
penting. Tugas pertama Ibu adalah mengajarkan dasar-dasar agama
yang hanif (lurus). Menanamkan pengaruh tentang nikmat Allah dalam
setiap fenomena hidup yang merupakan karunia Allah, merupakan
suatu yang tak bisa ditawar-tawar.
Ibu menjadi pembentuk generasi berdisiplin dan memiliki sikap
mensyukuri segala nikmat Allah. Dari rahim dalam Ibu dilahirkan
manusia yang bersih (menurut fithrah, beragama tauhid). Maka,
pembinaan sektor agama merupakan faktor terpenting membantu
keberhasilan pendidikan anak yang didasarkan kepada akhlaq Islami.
Dibawah telapak kakinya terbentang jalan ke-keselamatan
(Sorga). Kebahagiaan menanti setiap insan yang berhasil meniti jalan
keselamatan yang di ajarkan dengan baik, penuh kepatuhan dan rasa
hormat yang tinggi. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa; “Sorga
terletak dibawah telapak kaki Ibu”(al Hadist).
Sahabat Abu Hurairah RA., meriwayatkan ada seseorang
bertanya kepada Rasulullah; “Wahai Rasulullah, siapakah orang
yang paling berhak untuk aku pergauli dengan cara yang
baik?”. Beliau menjawab, “Ibumu”. Dia bertanya, “Kemudian siapa
lagi?”. Beliau menjawab, “Ibumu”. Dia bertanya, “Kemudian siapa
lagi ?”. Beliau menjawab, “Ibumu”. Selanjutnya, dia bertanya pula,
“Kemudian siapa lagi?”. Beliau menjawab, “Bapakmu”. (HR.Asy-
Syaikhan).
Dalam hadist lainnya ditemui pula;

Shahabat Abdullah Ibn ‘Umar menceritakan, “Telah datang


seseorang kepada Rasulullah SAW, lalu meminta izin kepada
beliau untuk pergi berjihad (kemedan perang), maka beliau
Rasulullah SAW bertanya “Apakah kedua orang tuamu masih
hidup?”, Diapun menjawab, “Ya, masih”. Lalu beliau bersabda,
“Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya”. (HR.Asy-
Syaikhan).

Disiplin hanya bisa di tumbuhkan melalui pendidikan akhlak.


Pendidikan adalah teladan paling ideal dimata anak (generasi)
selanjutnya.

Pendidikan Akhlaq yang sangat di tuntut untuk diajarkan kepada


generasi adalah mentaati kedua oprang tua, terutama dalam masaalah
yang menyangkut kehidupan duniawi dan ukhrawi. Menanamkan
ajaran agama yang benar (syari’at). Jangan berbuat kedurhakaan.
Memperkenalkan hari akhirat, sebagai tempat kembali terakhir.

BIRRUL WALIDAINI
(Bakti kepada orang tua)
Dalam rangka berbakti kepada dua orang tua (birrul walidaini)
diajarkan supaya jangan berkata keras. Harus bergaul dengan lemah
lembut, dan menyimak perintah kedua orang tua dengan cermat.
Jangan bermuka masam (cemberut) kepada keduanya, tidak
memotong perkataan keduanya, serta mengajarkan dialog (mujadalah)
dengan cara baik (ihsan).
Tidak keluar rumah tanpa seiizin orang tua. Tidak mengambil
keputusan kecuali atas persetujuannya. Tidak membantah perintahnya.
Memuliakan rekan-rekan dari kedua orang tua. Sabar mengurusi kedua
orang tua walaupun keduanya sudah renta. Mendoakan keselamatan
dan memohonkan keampunan terhadap keduanya. Menyelesaikan
hutang piutang keduanya, bila anak telah memiliki kemampuan dan
berkecukupan. Bersedekah untuk dan atas nama orang tuanya.
Menjaga kedua orang tua untuk selalu senang dan bahagia.

Bimbingan Kitabullah menyebutkan dengan sangat jelas sekali.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan kamu supaya


jangan menyembah tuhan yang lain selain DIA (Allah), dan
hendaklah berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-
baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya telah tua renta
(berumur lanjut) dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan “uhf, cis” kepada keduanya, dan
janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada
mereka kata-kata yang mulia (lemah lembut, menyejukkan).
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
mendidik aku waktu kecil” (QS.17, al-Israk; ayat 234-24).

Dalam wahyu lainnya, Allah Yang Maha Rahman menyebutkan;

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik


kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya
dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tigapuluh
bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai
empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku
untuk mensykuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan
kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan supaya aku
dapat berbuat amal yang shaleh yang Engkau ridhai; berilah
kebaikan kepadaku dengan memberi (kebaikan) kepada anak
cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.
“Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari
mereka amal baik yang telah mereka kerjakan dan Kami
ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-
penghuni sorga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan
kepada mereka”. (QS.46, al Ahqaaf; ayat 15-16).

Selanjutnya Allah juga memperingatkan anak-anak (generasi)


yang menolak pengajaran dari orang tuanya (ayah dan bunda) untuk
beriman kepada Allah, dan menolak mempercayai hari akhir, serta
tidak mengacuhkan ajakan kedua orang tuanya, ditetapkan menjadi
orang-orang yang mendapat hukuman (azab) dari Allah.
Generasi yang menolak ajakan kepada kebenaran (al-haq) dari
Allah, akan berkembang menjadi generasi permissif (berbuat
sekehendak hati) dan menjadi mangsa dari perilaku anarkisme dan
hedonisme sepanjang masa. Inilah generasi yang lemah (loss
generation), yang tercerabut dari akar budaya dan agama.

Allah SWT memperingatkan;

“Dan orang-orang yang berkata kepada dua orang ibu


bapaknya; “Uhf, cis bagi kamu keduanya, apakah kamu
keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan
dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat
sebelumku?” Lalu kedua orang tuanya (ibu bapaknya) itu
memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan
“Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah
benar”. Lalu dia berkata; “Ini tidak lain hanyalah dongengan
orang-orang dahulu kala belaka”.
“Mereka itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan
(azab Allah) atas mereka bersama umat-umat yang telah
berlalu sebelum mereka, (apakah mereka) dari (golongan) jin
dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
merugi” (QS: 46, al-Ahqaaf, ayat 17-18).

Maka birrul walidaini (berbakti kepada dua orang tua),


merupakan pelajaran dasar satu generasi, yang harus di turunkan
turun temurun.

Nabi Muhammad SAW, bersabda;

“Berbaktilah kepada bapak-bapak (orang tua) kalian,


niscaya anak-anak kalian akan berbakti pula kepada kalian.
Dan tahanlah diri kalian (dari hal-hal yang hina), niscaya istri-
istri kalian juga akan menahan diri (dari hal-hal yang
hina)”.(HR. Ath-Thabarani).

Dari dalam lubuk hatinya yang tulus dan dengan tangannya


yang terampil dicetak generasi bertauhid yang berwatak taqwa,
selalu khusyuk dalam berkarya (amal) dan kaya dengan rasa malu.

INTI MASYARAKAT
GENERASI BERTAMADDUN

Watak (karakter) yang manusiawi akan menjadi inti masyarakat


yang hidup dengan tamaddun (budaya). Al Quran menjelaskan,
bahwa kemuliaan itu hanya didapat dengan taqwa. Kemuliaan tidak
diberikan kepada warna kulit, suku, dan keturunan tertentu. Perbedaan
itu, dijadikan hanya untuk wahana perkenalan, dan sarana persatuan.
Firman Allah menyebutkan ;

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari


seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal (ta’arruf). Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”. (QS.49, al Hujurat, ayat 13).

Khusyuk, merupakan salah satu sifat Mukmin yang siap


melaksanakan kewajiban mereka terhadap perintah perintah Rasul.
Mereka akan selalu mendapatlkan perlindungan dan balasan yang
besar. Firman Allah menyebutkan;

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim


(yang mengikuti perintah dan menghindarkan larangan), laki-
laki dan perempuan mukmin (orang yang membenarkan apa
yang seharusnya dibenarkan oleh hatinya, bertauhid), laki-laki
dan perempuan yang tetap dengan keta’atannya (qanitin),
laki-laki dan perempuan yang benar (shiddiq), laki-laki dan
perempuan yang sabar (tabah, tegar), laki-laki dan perempuan
yang khusyu’ (berdisiplin), laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa (menahan
diri), laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut Allah (dzikir), Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar”(QS: 33, al Ahzab,
ayat 35).

Budaya malu, perlu dihidup suburkan ditengah generasi


bangsa, sehingga memungkinkan bangsa itu tetap konsisten dengan
kultur istiadatnya, serta tidak mudah bergeser dari nilai-nilai
budayanya. Satu ciri-ciri khas dari masyarakat ber-tamaddun.
Rasulullah SAW. bersabda ;

“Malu itu sebahagian dari iman”, (HR.Bukhari, Muslim, Abu


Daud, Tirmizi dan Nasa’i).
Generasi berbudaya memiliki prinsip yang teguh, elastis dan
toleran bergaul, lemah lembut bertutur kata, tegas dan keras melawan
kejahatan, kokoh menghadapi setiap percabaran budaya dan tegar
menghadapi percaturan kehidupan dunia.
Generasi yang siap menghadapi pergolakan dan pertarungan
budaya kesejagatan (global), hanyalah yang mampu menghindari
teman buruk, sanggup membuat lingkungan sehat serta bijak
menata pergaulan baik, penuh kenyamanan, tahu diri, hemat, dan
tidak malas. Sesuai pesan Rasulullah SAW;”Jauhilah hidup ber-
senang-senang (foya-foya), karena hamba-hamba Allah
bukanlah orang yang hidup bermewah-mewah (malas dan
lalai)” (HR.Ahmad).

Generasi yang memiliki kemampuan tinggi menghadapi setiap


perubahan dalam upaya mewujudkan kebaikan tanpa harus
mengabaikan nilai-nilai moral dan tatanan pergaulan. Maka, kedua
orang tua wajib melakukan pengawasan melekat terhadap anak-
anaknya sepanjang masa. Terutama terhadap tiga prilaku tercela
(buruk), yaitu dusta (bohong), mencuri dan mencela (caci maki).
Sesuai sabda Rasulullah SAW; “Jauhilah dusta, karena dusta itu
membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa kepada
neraka” (Hadist Shahih).

Ibu adalah inti di tengah rumah tangga dan masyarakat


(negara). Ibu merupakan guru pertama dalam perkataan, pergaulan
dan penularan tauladan cinta kasih terhadap anak-anaknya.
Anak adalah amanah Allah, yang tumbuh melalui belajar dari
lingkungannya. Melalui pendidikan keteladanan. Teladan yang baik
adalah landasan paling fundamental bagi pembentukan watak
generasi.
Anak-anaknya (generasi pelanjutnya) senantiasa akan
berkembang menyerupai ibu dan bapaknya. Peran pendidikan amat
menentukan, karena pendidikan adalah teladan paling ideal dimata
anak (lihat Nashih ‘Ulwan, dalam Tarbiyatul Aulaad). Jika ibu
menegakkan hukum-hukum Allah, begitu pula generasi yang di
lahirkannya. Urgensi pelatihan ibadah untuk anak sedari kecil dengan
membiasakan mengerjakan shalat dan ibadah (puasa, shadaqah,
mendatangi masjid, menghafal al-Quran) akan menjadi alat bantu
utama melatih disiplin anak dari dini.

Sabda Rasulullah SAW. membimbingkan;

“Suruhlah anak-anak kamu mengerjakan shalat, selagi


mereka berumur tujuh tahun, dan pukul-lah mereka (dengan
tidak mencederai) karena meninggalkan shalat ini, sedang
mereka telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat
tidur mereka” (HR.Abu Daud dan Al Hakim).
Azwajan, Mitra Setara Kaum Lelaki
(Mengkaji Peran dan Citra Perempuan)

Oleh: H.Mas'oed Abidin.


Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Sumbar Padang.

Tatkala saya menulis makalah ini, pemberitaan tentang


pengguguran kandungan (aborsi) telah menyita perhatian publik
selama berhari-hari di negeri ini. Tega-teganya, calon ibu
menggugurkan kandungannya, paramedis menjebloskan jabang bayi
ke dalam kresek plastik dan membuangnya di sembarang tempat
(kolong jembatan, pembuangan sampah, septic-tank dsb). Masih dalam
tahun 1997, sebuah berita dari Medan. Seorang "dukun cinta" disangka
membunuh 40 orang wanita yang ingin memupuk cinta dan rumah
tangga mereka. Ironinya, mereka mati mengenaskan di tangan sang
dukun.
Kedua berita di atas sangat mengejutkan dan memunculkan pertan-
yaan. Berapa harga seorang wanita? Bagaimana peran dan citra
perempuan? Banyak orang geleng kepala, dan serta merta menjatuh-
kan vonis: citra perempuan telah lenyap! Beban kesalahan terpikul ke
pundak wanita. Hidupnya segumpal janin di dalam rahim perempuan
adalah anugerah yang membuktikan peran fitrah-biologis perempuan.
Kecemasan sebagian perempuan atas cinta dan jaminan hidupnya
merupakan sesuatu yang wajar saja.
Sementara dalam anggapan "sebelah mata" (diferensial
gender), perempuan adalah makhluk lemah. Benarkah ??? Tanpa sadar,
kadang-kadang perempuanpun menampilkan dirinya sebagai makhluk
yang lemah. Secara psikologis, mereka acap ragu mempertahankan
dan memelihara fitrahnya sebagai perempuan.
Annisa' wa Ummahat
Perempuan sering disebut dengan panggilan 'wanita'. Panggilan
ini lazim dipakai di negeri kita. Seperti darmawanita, karya wanita,
wanita karir, korp wanita, wanita Islam dsb. Kata-kata "wanita"
(bhs.Sans), berarti lawan dari jenis laki-laki, juga diartikan perempuan
(lihat :KUBI). Pada masa dahulu banyak penulisan cerita tentang wanita
yang dianggap hanya sejenis komoditi penggembira, penghibur, teman
bercanda. Keberadaannya pada zaman jahiliyah sangat tidak diterima,
bahkan kelahirannya akan disambut dengan kematian, karena wanita
itu hanya pembawa aib keluarga. Jabang-jabang bayi itu mesti
dibunuh, begitu kesaksian Kitab suci tentang perangai orang-orang
jahiliyah (QS.16:58).
Dalam kebudayaan Minangkabau sejak lama yang kemudian
berkembang menjadi “adat bersendi syarak, syarak bersendi
kitabullah” menempatkan wanita sebagai ‘orang rumah’ dan
‘pemimpin’ dari masyarakatnya dengan sebutan “bundo kandung”,
menyiratkan kokohnya kedudukan perempuan Minangkabau pada
posisi sentral. Dalam budaya Minangkabau perempuanlah pemilik
seluruh kekayaan, rumah, anak, suku bahkan kaumnya. Namun, laki-
laki dalam oposisi-biner perannya adalah sebagai pelindung dan
pemelihara harta untuk ‘perempuan’-nya dan ‘anak turunan’-nya.
Maka generasi Minangkabau yang dilahirkan senantiasa bernasab
ayahnya (laki-laki) dan bersuku ibunya (perempuan), suatu
persenyawaan budaya yang sangat indah.

Ada lagi yang memanggil wanita dengan sebutan 'perempuan.'


(bhs.kawi,KUBI). Kata "empu" berasal dari Jawa kuno, berarti pemimpin
(raja), orang pilihan, ahli, yang pandai, pintar dengan segala sifat
keutamaan yang lain. Bila istilah ini yang lebih mendekati kebenaran,
saya lebih cenderung memakai kata perempuan selain wanita. Karena
di dalamnya tergambar banyak peran. Antara lain pemimpin, pandai,
pintar, dan memiliki segala sifat keutamaan rahim, penuh kasih
sayang, juga dengan jelas mengungkapkan citra perempuan sebagai
makhluk pilihan, pendamping jenis kelamin lain (laki-laki). Laki-laki
yang kebanyakannya, dalam pandangan sebagian wanita, memiliki
sifat pantang kerendahan, pantang kalongkahan, superiority complex,
tak mau disalahkan dan tak mau dikalahkan, tidak sedikit yang
akhirnya bisa bertekuk lutut dihadapan perempuan.
Ada nama yang lebih bagus daripada kata wanita atau
perempuan itu. Dalam kitab suci Al Qur'an di sebut Annisa' atau
Ummahat. Konotasinya adalah ibu. "Ibu" bisa berakronim "Ikutan Bagi
Ummat." Annisa' adalah tiang bagi suatu negeri. Bila Annisa'-nya baik,
baiklah negeri itu, dan bila Annisa'-nya rusak, celakalah negeri itu (Al
Hadits). Sorga di bawah telapak kaki ibu (Ummahat) sesuai ajaran
Islam. Kaidah Al-Qurani menyebutkan, Nisa'-nisa' kamu adalah
perladangan (persemaian) untukmu, kamupun (para lelaki) menjadi
benih bagi Nisa'-nisa' kamu. Kamu dapat mendatangi ladang-ladangmu
darimana (kapan saja). Karena itu kamu berkewajiban memelihara
eksistensi atau identitas (Qaddimu li anfusikum) dengan senantiasa
bertaqwa kepada Allah (Q.S.2:23). Dalam bagian lain Nabi saw
meungkapkan, dunia ini indah berisikan pelbagai perhiasan (mata'un),
perhiasan yang paling indah adalah isteri-isteri yang saleh (perempuan
atau ibu yang tetap pada perannya dan konsekwen dengan citranya)
(Al Hadits). Begitu penafsiran Ialam tentang kedudukan perempuan,
yang diyakini seorang Muslim (walau ditolak non Muslim yang
menganggap Islam sebagai misunderstood religion.)

Skor Laki-laki dan Perempuan


Bagaimana kedudukan perempuan atau ibu itu?
Pertama, perempuan adalah makhluk yang bermartabat
manusia, dan merupakan Rahmat Allah yang agung, seperti
disebutkan: "Wamin ayatihi an khalaqa lakum min anfusikum
azwajan, litas kunu ilaiha, wa ja'ala bainakum mawaddatan wa
rahmatan," maknanya menjadi salah satu bukti kebenaran ayat Allah
(Rahmat Allah). Dijadikannya dari diri kamu sendiri (manusia)
pasangan-pasangan jenis lain, supaya dengan pasangan-pasangan itu
kamu bisa membina kehidupan yang sakinah, dan saling
menumbuhkan cinta kasih (mawaddah) serta perlindungan (rahmat)
(Q.S.30:21).
Sejak hampir dua millenium berlalu, menurut Al Qur'anul Karim,
perempuan telah ditetapkan dalam derajat yang sama dengan jenis
laki-laki dengan penamaan azwajan atau pasangan hidup (Q.S.16:72,
30:21, 42:11). Dalam masa pemerintahan “le roi cest moi” di Perancis,
orang masih mempertanyakan, apakah makhluk perempuan tergolong
jenis manusia yang punya hak dan kewajiban yang sama dengan
laki-laki? Atau hanya sekedar benda yang boleh dipindah-tangankan
sewaktu-waktu atau untuk diperjual-belikan sebagai komoditi budak
yang menjadi sumber pendapatan bagi pemiliknya?
Kata woman dalam bahasa Inggris berasal dari “womb man”,
atau manusia berkantong, sebuah pemahaman Eropa klasik tentang
suatu makhluk setengah manusia yang mempunyai kantong dan
bertugas menjadi tempat tumbuh calon manusia. Ah “dia” kan hanya
womb man atau manusia kantong (“manusia” yang hanya kantong
tempat manusia).

Hak asasi perempuan dalam rangkuman Hak Asasi Manusia yang


diperjuangkan orang hingga hari ini, sudah diperlakukan secara sangat
sempurna sejak 15 abad yang silam dalam ajaran Islam. Itu berarti
delapan abad mendahului pandangan Barat yang ragu-ragu mengakui
perempuan. Agama Islam melihat perempuan (ibu) sebagai mitra yang
setara (partisipatif) bagi jenis laki-laki. Dalam konteks Islam ini,
sesungguhnya tak perlu ada emansipasi bila emansipasi diartikan
perjuangan untuk persamaan derajat. Yang amat diperlukan adalah
pengamalan sepenuhnya peran perempuan sebagai mitra, yang satu
dan lainnya saling terkait, saling membutuhkan, dan bukan untuk
eksploatasi. Sebagai pemahaman azwaajan, pasangan atau
kesetaraan. Tidak punya arti sesuatu kalau pasangannya tidak ada.
Tidak jelas eksistensi sesuatu kalau tidak ada yang setara di
sampingnya. “Pasangan”, mungkin tidak ada kata yang lebih tepat dari
itu.
Di barat, selama ini memang ada gejala kecenderungan penguasaan
hak-hak wanita itu, bahkan paling akhir adalah hilangnya wewenang
"ibu" dalam rumah tangga sebagai salah satu unit inti dalam keluarga
besar (extended family).

Kedua, secara fisikal dan kasat mata perempuan memiliki fisik


yang lebih lemah dari laki-laki. Contoh sederhana, seorang laki-laki
sehat yang menjadi buruh di Teluk Bayur mampu memikul beban satu
kwintal di atas punggungnya. Hal yang mustahil bagi perempuan.
Skornya 1-0 untuk laki-laki. Namun harus diakui ada kekuatan dalam
diri perempuan yang tidak tertandingi oleh laki-laki. Di antaranya
kemampuan menanggung beban berat dalam rahimnya selama
sembilan bulan sepuluh hari. Beban itu dipikulnya dengan segala
senang hati dan penuh ketabahan. Beban berat itu tak pernah
ditinggalkan di rumah walaupun ia berpergian. Tak pernah dititipkan
ketika bekerja. Tidak pernah minta dipikulkan kepada orang lain,
suaminya (yang sesungguhnya juga memiliki beban itu). Sepanjang
"membawa" hingga sang bayi keluar, tidak ada upah yang diharapkan
(jika hendak dibandingkan: buruh angkat menerima upah). Kalau toh
ada rasa cemas dan beban berat bagi laki-laki ketika menunggu di luar
kamar bersalin, hanya tampak dalam mondar-mandir sambil
menghabiskan berbatang-batang rokok. Mungkin dadanya
gedebak-gedebuk apakah bayi akan selamat. Begitu kecemasan pada
laki-laki sekuat apapun. Kini skor menjadi 0-1 untuk laki-laki.

Mengapa laki-laki menjadi lemah dan perempuan menjadi kuat,


seperti kenyataan di atas ?? Jawabnya, tidak lain karena perempuan
teguh dalam perannya dan berada dalam citranya. Keteguhan sikap
perempuan (ibu) akan bertambah kokoh oleh ketaatan akan
agamanya, dan menjadikan perempuan sanggup menghindar dari dari
hal-hal yang merusak keyakinannya. Perempuan adalah juga manusia
biasa, yang tidak dapat mengelak dari sifat manusiawinya, yang
sewaktu-waktu merasa senang menerima hal-hal yang menyenangkan
secara duniawi (lahiriyah, materi). Akan tetapi, sisi keyakinan
(ukhrowiyah) mengikuti ajaran agama (basis religi, yang dalam Islam
dikenal sebagai pemahaman tauhid) yang teramat dalam, akan
merupakan kekuatan tangguh yang mampu membentengi perempuan
dari kejatuhan kedalam jurang kehinaan (makshiyat). Keteguhan
keyakinan kepada ajaran Agama dalam kehidupan (seseorang)
perempuan sangat berperan dalam menjaga tidak hilangnya citra
perempuan itu. Agama Islam selanjutnya dengan tegas mengingatkan
bahwa citra (identitas) perempuan itu terletak pada budaya “malu”.
Bila budaya malu telah hilang keteguhan perempuan akan lenyap, que
sera-sera, akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Ibu rela membunuh
anak sendiri, kekentalan sifat keperempuanan akan lebur menjadi
perempuan jalang, dan perempuan mengandung menggugurkan
janinnya. Na'udzubillah.

Cinta
Cinta adalah sesuatu yang indah. Cinta merupakan karakteristik
kemanusiaan. Cinta bukan sesuatu yang turun dari langit, yang dijual
di pasar swalayan, yang ditawarkan di pasar-pasar wanita, klub-klub
malam atau motel-motel. Di tempat-tempat itu, cinta diawali ajakan
dinner-party, dan berakhir di atas ranjang. Setelah itu habis perkara.

Cinta perlu ditumbuhkan, dirakit, dibina dan dilestarikan. Untuk


itu diperlukan tindakan nyata yang berkesinambungan antara dua jenis
manusia dengan martabat yang sama, sama-sama setara manusia
manusia. Bukan antara seorang manusia dengan setengah manusia,
atau manusia berkantong (womb man). Mustahil cinta dapat dibina
pada dua jenis manusia yang berbeda bermartabatnya, satu
bermartabat manusia dan yang lain bermartabat hewan. Martabat
kemanusiaan ditunjukkan dengan ditunaikannya kewajiban kepada
manusia yang menjadi pasangan cinta itu. Sehingga hak-nya dapat
dinikmatinya. Hak dan kewajiban tidak semata-mata diukur dengan
materi, tetapi lebih pada perlakuan dan tindak kelakuan mulia dan
perangai bermartabat (manusiawi, humanity).

Dalam kasus perempuan yang ramai-ramai masuk barisan


abortus, mungkin sekali tidak semata-mata enggan melahirkan anak,
tetapi lebih dihantui rasa malu. Laki-laki yang tidak mau
bertanggungjawab menjadi bapak bagi anak yang bakal lahir itu
seringkali luput dari pengamatan. Atau, mungkin "kerjasama"
membuat anak itu di luar dari kaedah-kaedah kemanusiaan
(aturan-aturan, agama, adat, norma-norma masyarakat, hukum yang
berlaku).

Bila kita melihat ke dalam Islam, hukum yang sangat berat


ditimpakan kepada manusia yang melakukan kegiatan membuat anak
tanpa aturan. Islam menyebutnya perbuatan "zina." Hukumannya
dirajam, dicambuk 100 kali, yang dalam pandangan sementara
pejuang Hak Asasi Manusia (di Barat) sangat tidak manusiawi. Bahkan
mereka menuding pelaksanaan surat An Nur ayat 1-4 itu bertentangan
dengan HAM. Padahal mengabaikan ketentuan agama tersebut, bagi
umat Muslimin, menyebabkan hilangnya HAM. Misalnya, ibu yang
hamil kehilangan hak-nya sebagai seorang ibu karena laki-laki yang
menghamilinya berperangai "habis manis serpah dibuang," atau
berdalih sudah membayarkan sejumlah uang atau benda kepada
perempuan yang melayaninya hingga hamil. Jika wanita yang juga
senang dengan perlakuan itu, sebenarnya ia menghilangkan sendiri
hak-nya. Pada gilirannya si anak yang mempunyai hak untuk hidup
tidak pernah mendapatkannya sama sekali. Tragisnya, janin manusia
berakhir di kantong kresek, dibuang ditumpukan sampah. Menyedihkan
sekali.
Keadaan itu juga disebabkan oleh melemahnya peran rumah
tangga seiring dengan hilangnya peran perempuan dan ibu.
Kalangan liberal seringkali merendahkan atau menolak peran
perempuan sebagai ibu di dalam rumah tangga. Melahirkan dan
mengasuh anak dilihat sebagai suatu peran yang out of date. Bila
seseorang memerlukan anak bisa ditempuh jalan pintas melalui adopsi
atau mungkin satu ketika dengan teknologi kloning (?). Tuntutan
ekonomi atau mengumpulkan materi menjadi perhatian utama yang
perlu disegerakan, sehingga seorang wanita tidak lagi mampu
mengangkat wajahnya jika ia tidak memiliki pekerjaan di luar rumah.
Perempuan sekarang mestinya tidak bergelimang dalam dapur, sumur
dan kasur. Tapi dia harus keluar dari rotasi ini, dan masuk ke dalam
lingkaran kantor, mandor dan kontraktor.

Akibat nyata adalah anak-anak dirawat baby-sitter, paling-paling


dititipkan di TPA (tempat penitipan anak), atau dikurung di rumahnya
sendiri sampai orang tua kembali ke rumah. Kondisi ini telah menyum-
bang lahirnya "X Generation", generasi yang sangat dicemasi masuk
kelingkungan Asia dimasa depan. Satu generasi yang bertumbuh
tanpa aturan, jauh dari moralitas, berkecendrungan meninggalkan
tamaddun budayanya. Tercermin pada perbuatan suka bolos sekolah,
memadat, menenggak minuman keras, pergaulan bebas, morfinis, dan
perbuatan tak berakhlak. "X", mereka hilang dari akar budaya
masyarakat yang melahirkannya. Disinilah pentingnya peran ibu.
Semestinya para perempuan (ibu) yang memelihara perannya sebagai
ibu berhak mendapatkan "medali" sebagai pengatur rumahtangga dan
ibu pendidik bangsa. Inilah darma ibu yang sesungguhnya, yang
sebenar-benar darma.

Dalam perkembangan masa yang mengikuti gerak globalisasi


terjadi perubahan cuaca budaya. Perubahan yang seringkali
melahirkan ketimpangan-ketimpangan. Bahkan kepincangan yang
diperbesar oleh tidak adanya keseimbangan pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan kesempatan serta terdapatnya perbedaan
kesempatan yang sangat mencolok (fasilitas, pendidikan, lapangan
kerja, hiburan, penyiaran mass-media,) antara kota dan kampung.
Akibat nyatanya adalah mobilitas terpaksa yang pada akhirnya sangat
mengganggu pertumbuhan masyarakat (social growth). Perpindahan
penduduk secara besar-besaran ke kota sebenarnya merupakan
penyakit menular di tengah-tengah kemajuan negeri yang tengah
berkembang.
Dusun-dusun mulai ditinggalkan, kota-kota menjadi sempit untuk
tempat tinggal pendatang baru. Kehidupan yang keras menyebabkan
orang terpaksa menjual diri. Dasar-dasar kehidupan menjadi rapuh,
akhlak karimahpun hilang. Peran orangtua menjadi tumpul karena
ketegangan-ketegangan antara ayah dan ibu yang umumnya timbul
karena tekanan ekonomi dan desakan materi. Ujungnya, anak-anak
terlantar dan keluarga menjadi berantakan.

Efisiensi sebagai kaidah produktifitas mulai diterapkan secara


salah dalam kehidupan keluarga modern. Orangtua lanjut usia (Lansia)
mulai tak dihiraukan, dan tempat mereka adalah Panti Jompo. Suatu
tempat yang tak memungkinkan para lansia mewariskan nilai-nilai
luhur pada anak dan cucunya.

Materi dan uang sudah menjadi buruan. Kehidupan terancam


bahaya, karena kesinambungannya berubah oleh meluasnya keluarga
nomaden modern. Beban resikonya tidak mudah diperhitungkan lagi.
Kerusakan yang sulit menghindarinya adalah hilangnya jati diri. Menta-
litas mengarah pada materialistik, permisivistik, bahkan hedonistik.
Biaya untuk perbaikannya niscaya lebih besar dari biaya yang telah
dikeluarkan untuk pertumbuhan ekonomi.

Profil Perempuan Mandiri


Dalam keadaan seperti itu, kaum perempuan harus
memaksimalkan peran keperempuanannya, sebagai ibu di
rumahtangganya dan pendidik di tengah bangsanya. Peran dan citra
perempuan mandiri terlihat jika pembedaan jenis kelamin berlaku
secara jelas dan pasti. Perbedaan kewajiban dan hak serta kedudukan
itu, memastikan berlakunya dual-sex.
Gejala yang mulai meruyak dalam kehidupan modern sekarang, atau
setidaknya dalam masyarakat liberal, adalah keinginan diterapkannya
uni-sex (terlihat pada pakaian, asessories, pergaulan, kesempatan,
pekerjaan dan jamahan keseharian sosial budaya).

"Pendidikan formal yang dapat membuat wanita sejajar dengan


laki-laki berpeluang menjadikan wanita kehilangan jati dirinya sebagai
wanita. Secara tidak sadar wanita yang terpelajar itu menjadi lebih
maskulin daripada laki-laki. Ujung dari proses itu adalah ancaman
kehidupan rumah tangganya", kata Hani'ah. Selanjutnya, Hani'ah
menyebutkan, "Sifat feminim yang merupakan sumber kasih sayang,
kelembutan, keindahan, dan sumber cahaya ilahi mempunyai potensi
untuk menyerap dan mengubah kekuatan kasar menjadi sensitivitas,
rasionalitas menjadi intuisi, dan dorongan seksual menjadi spiritualitas
sehingga memiliki daya tahan terhadap kesakitan, penderitaan dan
kegagalan." (Hani'ah, "Wanita Karir dalam Karya Sastra: Ada Apa
Dengan Mereka?", makalah Munas IV dan Pertemuan Ilmiah Nasional
VIII, HISKI 12-14 Desember 1997 di Padang). Seperti terlukis dalam
sebuah karya sastra Armyn Pane, Belenggu, "hancurnya sebuah
rumahtangga ideal akibat sikap isteri terlalu maskulin." Maskulin dalam
arti menunjukkan kekuasaan melebihi suami. Sirnanya asas azwajan,
mitra setara.

Sebenarnya tidak hanya ajaran Agama Islam yang


mengungkapkan secara jelas peran dan citra perempuan itu. Para
penulis sastera juga mengungkapkan peran perempuan Melayu (Timur)
dengan pendirian yang kokoh, seperti terungkapkan dalam Syair Siti
Zubaidah Perang China ; "Daripada masuk agama itu, baiklah mati
supaya tentu, menyembah berhala bertuhankan batu, kafir laknat
agama tak tentu," (Syair Siti Zubaidah Perang China, Edisi Abdul
Muthalib Abdul Ghani, hal. 230). Perempuan Melayu dengan sifat-sifat
mulia diantaranya lembut hatinya, penyabar, penyayang kepada
sesama, keras dalam mempertahankan harga diri, tegas, teguh dan
kuat iman dalam melaksanakan suruhan Allah, pendamai, suka
memaafkan dan mampu menjadi pemimpin masyarakatnya. Wanita
Melayu juga mempergunakan akal di dalam berbuat dan bertindak,
bahkan terkadang terlalu keras dan berani, seperti ditunjukkan dalam
syair Siti Zubaidah itu (H. Ahmad Samin Siregar, Fak.Sastra USU
Medan, Profil Wanita Melayu dalam Syair Siti Zubaidah Perang China,
Edisi Abdul Muthalib Abdul Ghani, makalah yang disampaikan dalam
Munas IV dan Pertemuan Ilmiah Nasional VIII HISKI, Padang 12-14
Desember 1997).

Kesimpulan?

Apa yang bisa disimpulkan oleh seorang laki-laki tentang


perempuan yang empu, ahlinya ahli? Apa yang bisa disimpulkan oleh
seorang anak manusia tentang Ummahat, ibunya sendiri?
Sejauh mana seorang pasangan mampu menyimpulkan
azwaajan, pasangannya yang setara, yang tanpa pasangan itu dia
tidak lengkap? Mampukah anda menjelaskan bagian diri anda yang
tidak anda miliki?

Yang paling mudah adalah memberi kesimpulan apa itu


“wanita”, teman penggembira. Atau menyimpulkan makhluk yang
lebih rendah, si manusia berkantong tempat menumbuhkan manusia.
Itu mudah, womb man.

Kesimpulannya, jadilah Anda seorang perempuan dengan citra


seorang ibu, dimana kepadanya seluruh bakti diarahkan, dan sorga di
bawah telapak kakinya.
Padang, 20 Desember 1997

TINJAUAN ISLAM
TENTANG PROFIL CINTA DAN RUMAH TANGGA
DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA SAKINAH
(PERSIAPAN MENGHADAPI DEKADE 2003
DAN ERA PASAR BEBAS)

ALHAMDULILLAHI RABBIL 'ALAMIN


Segala Puji Teruntuk bagi Allah, Rabbul 'alamin. Yang menjadikan
'alam dan kemudian membina, membimbing dan mendidik 'alam
semesta ini.
Allah -- Khaliqul 'alam -- yang telah menciptakan alam semesta
dengan sempurna, tidak ditemui di dalamnya sesuatu yang percuma
(QS. 3, Ali 'Imran, ayat 191), di didik Nya dan diaturnya alam semesta
dengan satu aturan langgeng sesuai dengan fithrah (kejadian) yang
tetap (QS. 30, Ar Rum, ayat 30) dengan satu perangkat natuur-wet
(undang-undang alami) yang lebih di kenal dengan sunnatullah. Tidak
dibiarkannya alam itu berjalan sendiri-sendiri, supaya satu sama lain
tidak terjadi perbenturan. Begitulah hakekatnya kandungan nilai-nilai
pendidikan yang diikat kokoh oleh kasih dan sayang (Ar-Rahmah dan
Ar-Rahim).
Akhirnya, dari Allah semua ini datang dan terjadi, kepada Nya
jua semua akan menghadap. Maka makhluk -- terutama manusia --
dengan pengetahuan keyakinan (haqqul yaqin) tentang Khaliq (Allah)
dan makhluk (alam mayapada) ini, akan bertumbuh menjadi
pribadi-pribadi yang kokoh (exist) dalam karakter teguh (istiqamah,
konsisten) dan tegar (shabar, optimis) dalam menempuh hidup.
Rohaninya (rasa, fikiran, dan kemauan) terbimbing oleh keyakinan
agama (hidayah iman), serta jasmaninya (gerak, amal perbuatan)
terbina oleh aturan-aturan agama (syari'at Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah). Begitulah satu perilaku kehidupan menurut mabda'
(konsep) Al Qur'an, bahwa makhluk di ciptakan dalam kerangka
pengabdian kepada Khaliq (QS. 51, Adz Dzariyaat, ayat 56). Maka
kehadiran Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam
senantiasa memberi ingat manusia supaya jangan terperangkap
dengan kebodohan dan kelalaian sepanjang masa. Manusia adalah
makhluk pelupa (Al Hadist).
Manusia hidup dengan budaya, memiliki keyakinan dengan satu
ajaran (norma agama) -- Kita tidak bicarakan agama-agama dalam
konsep manusia (menurut alam fikiran semata). Tetapi, meninjau
manusia dari sudut pandang Islam --. Dengan asumsi bahwa sebagai
Muslim tentu lebih berhak bicara tentang Islam, seiring dengan pokok
keyakinan Al Qur'an mendiskripsikan Islam adalah agama disisi Allah
(QS. Ali 'Imran, 19). Islam adalah agama yang kamal, sempurna
merupakan nikmat yang lengkap, dan agama yang di redhai (QS. Al
Maidah, 3) mencari agama selain Islam tidak akan diperkenankan oleh
Allah, di dunia dan akhirat merugi. (QS. Ali 'Imran, 85).
Islam sebagai agama wahyu, mengalami penyempurnaan sejak
Nuh AS terus menerus hingga Muhammad Shallallahu 'alaihi Wa
Sallam, agar manusia menegakkan Islam yang benar itu. Selalu
ditemui yang tidak menerima keesaan Allah (musyrik, paganisme
atheis) sulit menerima ajaran Islam. Hanya Allah yang bisa
membimbing ummat manusia kepada hidayah Islam (QS. Asy Syu'ara,
13). Nabi Muhammad pun menyebutkan bahwa hanya sebuah bata
terakhir dari bangunan indah yang telah disusun para rasul terdahulu,
dan jika beliau tidak ada maka bangunan indah itu tak kunjung selesai
(Al Hadist). Penyempurnaan itu adalah dengan hidayah Iman, Al Qur'an
dan agama yang haq yakni Islam (QS. Al Fath, 28).
Ummat Muslim, dibekali dengan satu toleransi yang tinggi,
betapapun dia tidak boleh memaksakan keyakinannya kepada orang
lain yang masih belum mau menerima kebenaran Islam (QS. Al
Baqarah, 256). Seorang Muslim diperintah berdada-lapang dalam
menerima kenyataan bahwa ada saja orang yang fanatik dengan
ajaran-ajaran yang diterimanya turun temurun (QS. Al Kafiruun,6)
Namun sebagai Muslim, dia berkewajiban menda'wahkan Islam,
dengan menerapkan amar ma'ruf dan nahi munkar (QS. Ali
'Imran,104). Walaupun pada awalnya belum akan diterima oleh seluruh
ummat manusia, tetapi setidaknya mereka mendapatkan nilai
pembanding. Islam adalah agama teruji dan terpuji.
Tindakan amar ma'ruf nahi munkar, diterapkan mulai dari diri
sendiri. Satu celaan besar bila hanya menyeru/menyuruh, kemudian
mengabaikan (QS. Al Baqarah, 44), dan (QS. Ash-Shaf, 3). Amar ma'ruf
nahi munkar sebagai tiang kemashlahatan bagi kehidupan ummat
manusia, di dasari dengan Iman billah (QS. Ali 'Imran, 110) sehingga
tercipta satu bangunan ummat yang berkualitas (khaira ummah).
Kewajiban asasi setiap insan adalah menjaga dirinya dan
keluarganya dari bencana atau api neraka (QS. At Tahrim, 6).
Alangkah sistematiknya hidayah Al Qur'an, karena tidak
diturunkan dalam bentuk pengelompokkan masalah. Tetapi tidak satu
problema kehidupanpun yang tidak terakomodasi di dalamnya.
Sistematika Al Qur'an, terlihat dalam kerangka universalitasnya
(syumul), yang dengannya Al Qur'an mampu menjawab setiap
tantangan dalam sebarang zaman (QS. Al Baqarah, 2 dan 23). Namun
yang berkemampuan menerima/menjalankan petunjuk Al Qur'an
hanyalah yang bertaqwa (memelihara diri) juga. Masih ragukah kita
dengan Al Qur'an sebagai hidayah Islam ?

***

KELUARGA ADALAH INTI MASYARAKAT

Kehadiran manusia kepermukaan bumi melalui satu legalitas


yang disebut "keluarga". Keluarga di bangun oleh insan berbeda jenis
tapi setaraf dalam martabat -- martabat kemanusiaan --.
Pembentukan satu keluarga di dalam Islam di mulai dengan satu
"contract sosial", di sebut "'aqad nikah", di awali dengan kesediaan
dua insan berlain jenis mengikat diri dalam kehidupan yang dikenal
sebagai "mu'asyarah bil ma'ruf" atau hidup dengan ikatan hak-hak dan
penunaian kewajiban-kewajiban secara utuh dan optimal.
Di mulai dengan timbang terima dari generasi pendahulu (orang
tua, sebagai wali nasab) kepada generasi penerus (anak dan
menantu). Aqad nikah adalah ritual dan sakral.
Kedudukan lelaki adalah pelindung bagi wanita (qawwamuuna
'alan-nisaa'), karena secara lahiriyah dan bathiniyah (fisik dan
mental) lelaki memiliki kelebihan dan keutamaan, ( kekuatan badan,
kesehatan fikiran, keluasaan penalaran, kemampuan ekonomi,
kecerdasan pikiran, ketabahan, kesigapan) dan banyak sekali kelebihan
yang di anugerahkan padanya (QS. An Nisa' 34).
Wanita di tuntut menjadi -- mar'ah shalihah (=wanita/istri yang
shaleh, yang tidak hanya sekedar hangat /warm) tapi yang mampu
menjaga diri, memelihara kehormatan dan kepatuhan (qanitaat)
dengan taat kepada Allah, dan hafidzaatun lil ghaibi bimaa hafidzallahu
(yakni memelihara kesucian faraj di pembelakangan suami karena
Allah telah memelihara mereka). Islam menempatkan wanita demikian
pada derajat mulia, sebagai tiang utama satu negeri (Al Hadist). Dalam
posisi seperti itu, tiada suatu keindahan yang bisa melebihi perhiasan /
penampilan "indahnya wanita-wanita shaleh" (Al Hadist). Menurut
kodratnya, wanita memiliki peran ganda, sebagai penyejuk hati dan
pendidik utama. Kondisi ini menyebabkan sorga terhampar dibawah
telapak kaki wanita (ibu).
Didalam naungan Islam, para wanita memiliki kepribadian
sempurna, pergaulan ma'ruf dan ihsan, kasih sayang dan cinta,
kelembutan dan perlindungan, kehormatan dalam perpaduan hak dan
kewajiban, antara lain penghormatan terhadap :
(1). Hak kepribadian (a). Mempergauli dengan ma'ruf
(QS.An-Nisa'4), (b). menafkahi dengan kelapangan dan
kemampuan (QS. At-Thalaq, 7), (c). Menjaga rahasia yang amat
karakteristik dari kepribadian wanita yang amat rahasia selalu
tetap dirahasiakan karena istri adalah pakaian suami dan suami
adalah pakaian istri (QS. Al Baqarah, 187), (d). Menghormati
nasab yang diterima dari bapaknya.
(2). Hak kepemilikan (a). Tak boleh menguasai harta istri,
karena wanita ada hak bagian dari harta peninggalan keluarganya
(QS An Nisa' 7), (b). Kewajiban menyerahkan mahar kepada istri
dengan kerelaan (nihlah) (QS. An Nisa' 4) mahar tidak boleh
diambil lagi, tidak boleh dirampas oleh keluarga (lihat Tafsirul
Khazin, I : 477), (c). Haram mengeksploitasi wanita untuk berbuat
serong/pelacuran (QS. An Nuur, 33), (d). tidak boleh menyulitkan
wanita, (e). kewajiban memberikan hak-hak wanita secara penuh
(memberi makan, pakaian) menurut kemampuan, tidak boleh
memukul wajahnya, tidak boleh mencelanya, tidak boleh
memisahkan dari tempat tidurnya kecuali dalam rumah sendiri
(HR. Abu Daud).
(3). Hak kewenangan mengatur sirkulasi ekonomi rumah
tangga
"Jika seorang isteri memberikan infaq dari makanan rumahnya
dengan tidak menimbulkan kerusakan, dia akan mendapatkan
pahala dari infaknya, sedangkan suaminya juga mendapatkan
pahala atas usahanya, dan bagi penyimpan juga mendapatkan
pahala. Sebahagian mereka tidak mengurangi bahagian yang
lainnya (HR. Muslim). Dengan demikian seorang wanita (istri)
dapat membelanjakan harta suaminya dengan tidak berlebihan,
dan dalam hal ini suami mendapatkan pahala dari Allah.

Karena itulah Rasulullah SAW bersabda;


"Apabila seorang isteri melaksanakan shalat lima kali (waktu),
shaum (Ramadhan) satu bulan penuh, memelihara kemaluan
(farajnya), dan mentaati suaminya, akan dikatakan kepadanya
"UDKHULIL JANNATA MIN AYYIL-ABWAAB" artinya "Masuklah kamu
ke dalam syorga dari segala pintu" (HR. Ahmad).

***
PROFIL CINTA NIKMAT ALLAH

Sungguh Allah telah muliakan anak cucu Adam (manusia),


membimbing hidupnya di darat dan laut, diberikan keutamaan melebihi
makhluk lainnya.
Diantaranya adalah "hidup berkeluarga" dan "nikmat cinta".
Cinta menghias hati. Cinta adalah gejolak jiwa, ghairah dan kasih
sayang, merupakan fithrah manusia.
Hikmah cinta sangat besar. Cinta senantiasa menghadapi ujian
dan cobaan berat dalam perjalanannya. Tak ada cinta tanpa rintangan.
Fenomena cinta yang melekat didalam jiwa manusia menjadi
pendorong ghairah hidup mencapai cita-cita.
Fenomena cinta, menjadi faktor utama bagi kelanjutan hidup
manusia, dalam kenal mengenal sesama. Cinta menjadi pengikat yang
kuat dalam hubungan antar keluarga, kerukunan masyarakat, mengasihi
sesama yang melahirkan keamanan dan persahabatan, ketentraman
dan keselamatan.
Profil cinta dalam Islam adalah "Iman", cinta inilah anugerah
Allah. Cinta yang mengandung kejujuran dan hikmat. Cinta yang
mengandung keadilan dan amanat. Cinta yang hiasannya adalah iffah
kesanggupan menahan diri supaya tak terjerembab kepada yang
mudharat sanggup mengalah semenit untuk menang seumur hidup.
Cinta yang diwarnai oleh syaja'ah = berani menempuh bahaya untuk
merebut suatu kemashlahatan, sanggup berakit ke hulu berenang
ketepian.
Profil cinta seperti ini yang ditanamkan Islam sebagai sumbangan
bagi peradaban ummat manusia, agar manusia tidak bertungkus lumus
dalam nafsu, amarah dan kema'shiyatan, fatamorgana dan 'asyik
ma'syuk.
Cinta adalah buah yang manis dari Iman.
:
Iqbal melukiskannya dalam untaian indah
Cinta adalah penuntun kepala dan hati yang prima,
Tanpa cinta, aqidah dan hukum hanyalah berwujud
tumpukan konsep belaka;
Kebenaran Khalil adalah cinta, Keteguhan hati Husen
adalah cinta.
Di medan pertempuran hidup yang bengis, Badar dan
Hunain adalah cinta.
Tali cinta (mahabbah) dengan buhulan aqidah (mawaddah) dan
kasih sayang (rahmah), mempererat kesetiaan antara sesama, ke
akraban dan keintiman. Perasaan cinta yang ditanamkan Allah pada hati
seorang menjalin ikatan keluarga yang kuat dengan kasih sayang,
menumbuhkan tanggung jawab dan saling menolong, membina
hubungan sosial antar bangsa dengan saling membantu, membangun
peradaban dan saling tukar informasi, ilmu pengetahuan, serta
mewujudkan kebahagiaan/kesejahteraan ummat manusia (sakinah).
Cinta sangat perlu dalam membentuk kemashlahatan individu
dan masyarakat.

:
Lihat Iqbal mengungkapkan

Seluruh cinta adalah bagi Musthafa, akal tidak berarti


apa-apa selain bagi Abu Lahab.
Kadang kala ia berbuat dengan penipuan, kadangkala
dengan kekuatan.
Asing adalah awal dari cinta, asing adalah akhirnya !
Di dunia pertempuran dan pemberontakan perpisahan

:(1). An-Nadwi, Abul Hasan Ali Al Husni, The Glory of Iqbal, Ed Indonesia.
Percikan Kegeniusan Dr. Moh. Iqbal. Jakarta, Integrita Press, 1985,
hal.140-1).

:(2). Iqbal, Zauq o-Syauq, Rasa dan Rindu) Ibid, An-Nadwi, hal. 144-5)
lebih baik daripada pertemuan. Di saat pertemuan matinya
kerinduan, disaat perpisahan bergejolaknya kerinduan.
Tatkala bertemua aku berani melemparkan kejapan
mataku,
Kendatipun mataku yang tajam berada dalam riset sebuah
dalih
Perpisahan adalah hangatnya kerinduan, perpisahan
adalah gemparnya keluh kesah.
Perpisahan adalah suatu penyelidikan waktu yang sangat
baik, Perpisahan adalah besarnya suatu titik.
Islam mengakui fenomena cinta yang melekat pada fithrah
manusia. Jadikanlah cinta yang penuh kasih sayang menjadi pendorong
kearah kemajuan, membina ketinggian peradaban manusia, menuju
tempat kekal (Jannatun na'im). Jadikan cinta kepada Allah dan
Rasulullah serta jihad padanya diatas segala bentuk cinta. Inilah profil
cinta dalam pandangan Islam.
Rasulullah SAW bersabda ;
Ada tiga hal yang barang siapa berada didalamnya, ia
akan mendapatkan lezatnya iman, (manisnya cinta) yaitu (1).
hendaknya menjadikan Allah dan RasulNya lebih dicintai dari
yang lainnya, (2). hendaknya mencintai seseorang hanya
karena Allah, (3). hendaknya membenci kembali kepada
kekufuran (setelah diselamatkan dari kekafiran melalui hidayah
Allah), sebagaimana ia tak suka di lemparkan kedalam api
neraka". (HR. Bukhari Muslim).
Konsekwensi cinta adalah pengorbanan. Buah cinta adalah
penghambaan. MAN AHABBA SYAI-AN FAHUA 'ABDUHU, yang sangat
mencintai sesuatu, berkenan di perbudak oleh yang dicintai itu.
Yang diperbudak nafsu adalah yang cintakan kesenangan
syahwati, memperturutkannya lepas kendali, akan hilanglah
kehormatan dan kewibawaan diri. Profil cinta anjlok ketingkat hewani.
(QS. Al A'raf, 179).
Muslim wajib mengikatkan hatinya dengan tali cinta (mahabbah)
kepada Allah, membelenggu jiwa dengan perintah-perintah agama dan
cintakan Sunnah Rasulullah, dengan penuh ketaqwaan. Buah cinta
terasa indah dan manis bermanfaat untuk diri dan masyarakat,
mendorong kepada kemajuan dan perkembangan, menciptakan
kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan hidup kekal abadi di
akhirat.
Allahlah yang telah menumbuhkan cintamu dengan iman,
menjadikan iman itu indah dalam kalbumu serta dengan itu tertanam
kebencianmu terhadap kekufuran, kefasikan ataupun kedurhakaan.
Itulah jalan orang-orang yang lurus (rasyidin, pintar) sebagai
karunia/keutamaan dari Allah dan ni'mat kasih sayang. Sungguh Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al Hujurat, 7-8).
Begitulah profil cinta dalam Islam, tanpa harus menjauhkan
antara materiil dan spirituil, tanpa memisah dunia dan akhirat, tanpa
dikotomi antara aqidah dan kehidupan. Tepat sebagaimana dinukilkan
oleh seorang penyair (Syauqy Beyk) ;
QIF DUUNA RA'YIKA FIL-HAYAATI MUJAHIDAN
INNAL HAYATA AQIDATUN WA JIHAADU.
Berdirilah tegak memperjuangkan pendirian selama hidupmu, wahai
para mujahid pemilih mahabbatullah,
Sesungguhnya hayat ini, hanya berarti bila diisi, dengan pendirian dan
perjuangan.
Ungkapan manis gugahan cinta. Allah turunkan wahyu Nya
dengan susunan indah menyentuh kalbu, hanya hati membatu jua tak
tertembus tajamnya mata panah cinta. INKUNTUM TUHIBBUNALLAH
FATTABI'UNI YUHBIBKUMULLAH, WAYAGHFIRLAKUM DZUNUBAKUM.
Manisnya cinta ada pada pendirian, perjuangan dana
pengorbanan.
Semuanya hanya mungkin di tumbuhkan karena mahabbah
kepada Allah dan Rasulullah.
Bila Allah telah di tinggalkan,
kemanakah cinta akan dicari ??

ADA APA ABAD DUAPULUH SATU ?

Abad duapuluh satu, kata sebahagian para ahli adalah "abad


yang sulit ditebak, susah memperkirakannya, abad ditandai oleh
tajamnya persaingan, dan secara ekonomi disebut sebagai era pasar
bebas, dampak logis dari meningkatnya hasil produksi dan industri
merupakan implementasi dari pengembangan iptek dan kemajuan
industri.
Islam tidak pernah menentang pengembangan iptek pada abad
global, karena ajaran Islam adalah ajaran yang global (untuk setiap
orang dimana saja dalam zaman apa saja).
Konsep dasar Islam tentang Iptek adalah konsep sikap terhadap
sumber alam sebagai ni'mat Allah yang wajib di syukuri oleh seluruh
manusia penerima ni'mat itu. Dengan sendirinya pengembangan iptek
dengan seluruh implementasinya tidak terlepas dari nilai-nilai
kemanusiaan yang abadi, harus lebih integreted (terpadu) dan
memihak kepada nilai-nilai ajaran Tuhan
Pengembangan iptek mengobah natural resources (hasil alam) bukan
semata pemenuhan kebutuhan materiil manusia, bahkan lebih jauh di
balik itu adalah kesejahteraan lahir dan kebahagiaan bathin. Untuk
keselamatan hidup dunia dan akhirat sesuai dengan motto Islam
fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah, wa qinaa 'adzaban naar.
Konsep dasar Islam, merobah secara total pandangan terhadap
pengembangan iptek yang netral dan value-free dengan suatu konsep

n(3). Seminar Internasional ke VI - Mukjizat Al Qur'an dan Sunnah tentang


Iptek, Bandung, ICMI - IPTN - Sept 1994). Ir. AM. Luthfie, Tekhnologi
Untuk Manusia. (Makalah)
yang terang dan indah, iptek berlandas Iman Taqwa.

Firman Allah mengingatkan ;

Tidakkah engkau perhatikan (hai manusia) bahwa telah


Aku sediakan bagimu apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi !
Dan telah Aku sempurnakan ni'mat-Ku lahir dan bathin.
Akan tetapi ada diantara manusia ini yang mengingkarinya,
karena tiadanya ILMU, tiadanya HIDAYAH dan tiadanya KITAB
YANG MEMBERIKAN JALAN YANG TERANG (QS. 31, Luqman, 20).

Sebuah pertanyaan segera minta di jawab.


Apakah kita akan mengganti nilai-nilai ajaran yang kita yakini
dan kita anut (Islam) yang telah menghiasi sifat-sifat manusia beriman
dan bertaqwa, dan telah membuktikan peran laku dalam
melaksanakan pembangunan berkesinambungan (sustained growth),
sepanjang sejarah yang telah dilalui, hanya karena perubahan zaman
dengan alasan "penyesuaian" ???
Wallahu a'lam bis-shawab.

Padang, Al Quds, Shafar 1418 H


Juni 1997 M

You might also like