You are on page 1of 2

Man from Mars, Woman from Venus (my story)

“Tidak hanya laki-laki, para perempuan Aceh pun mengambil rencong dan menyisipkan ke pinggangnya.
Dengan tangan kiri menggendong sang jabang bayi, para perempuan Aceh ini segera berlari masuk
hutan guna menyusun kekuatan.

Dikala malam tiba, sambil terus bersiaga dalam gua-gua yang gelap gulita, para perempuan Aceh nan
perkasa ini meninabobokan jabang bayinya dengan senandung “Dododaidi”. Senandung jihad itu
meluncur pelan dari bibir-bibir yang kerap berpuasa dengan iringan music desakan angin serta gemerisik
dedaunan hutan”

Dulu, semasa saya masih usia preschool, bapak saya pernah bilang “Memangnya kenapa? anak
perempuan juga kuat, balik lawan kalau ada yang nakal!” ungkap beliau saat saya mengadukan
kebandelan serombongan teman laki-laki yang menguasai sebagian besar mainan di TK. Dan benar saja,
besoknya saya mengajak kawan-kawan saya yang perempuan untuk merebut hak kami atas ayunan dan
perosotan pula. Ada bakat feminis dari kecil? Mungkin. Tapi bapak saya salah satu sutradaranya.

Awal saya mengenal hijab di SMP, saya sempat kesal dengan yang namanya perempuan berjilbab.
Somehow saya melihat mereka –teman saya yang berjilbab- cenderung ribet,kucel, lemah, dan kurang
aktif. Namun sekali lagi, justru Bapak saya sangat semangat mendorong anak perempuannya berjilbab
“tunjukkan kalau muslimah itu tetap rapi dan aktif dengan jilbab, itu identitas!”

Hingga akhirnya saya memilih kuliah di fakultas keperawatan yang sesuai perkiraan mayoritas
perempuan, semakin menuntut kami –saya dan teman-teman- untuk mandiri.Urusan panjat-memanjat
untuk memasang spanduk, Paku-memaku lemari kayu ruang student center,angkat gallon sampai lantai
lima, listrik, memperbaiki keran yang rusak, hingga urusan install computer berusaha dikuasai agar
paling tidak kami tidak harus selalu merepotkan teman lelaki (apalagi urusan computer di kosan, jangan
sampai deh ada laki-laki yang masuk Cuma gara-gara computer kena virus). Kemandirian identik dengan
Feminis? Saya rasa tidak. Saya hanya tidak ingin merepotkan. Bawaan didikan di rumah mungkin,
berhubung bapak saya malas sekali setiap dimintai tolong dan justru mengajak anak-anaknya
berkompetisi dengan beliau. Bapak saya patriakal sebagaimana rata-rata orang jawa pada umumnya,
namun sungguh saya respek sekali dengan beliau (Bapak, dan beberapa laki-laki yang terlibat dalam
pengembangan diri saya). Jadi, sebenarnya setiap kali ngomongin gender equality, saya cenderung
conventional. Enggan menuntut atau rebut-ribut. Saya suka sekali mengutip kalimat di dalam novel Jane
Austine yang pernah say abaca:

“He is a gentleman; I am a gentleman's daughter; so far we are equal” (Pride and Prejudice, chapter XIV)

Hum..kenapa sih saya ngomongin ini? Mungkin karena sahabat baik saya baru saja melabel feminis pada
saya..ahahah..gak tahulah… (ini tulisan curcol banget yak? Biarlah..:) )
Salah saya mungkin terlibat di organisasi kampus yang tentu cenderung heterogen, beda dengan di
fakultas. Maka sejak itu saya berusaha menelan semua wacana yang sering laki-laki diskusikan, salah
satunya soal ngompol: ngomongin politik.

Dulu saya malas sebenarnya ngomongin tema ini. Kebanyakan hanya sekedar wacana, nggak konkrit. Itu
menurut saya. Hingga akhirnya saya sadar bahwa kita semua objek politisasi, jadi lebih baik berafiliasi
politik dari pada hanya sekedar korban. Maka pengetahuan politik menurut saya penting buat
perempuan.

You might also like