You are on page 1of 15

PENDAHULUAN

Obat yang mempengaruhi sistem saraf sangat banyak. Berdasarkan cara kerja dan sifatnya obat
yang mempengaruhi sistem saraf dapat dikelompokkkan menjadi

1. Obat yang mempengaruhi sistem saraf parasimpatik yang terdiri atas obat-obat
kolinergik, antikolinergik dan antikolinesterase
2. Obat yang mempengaruhi sistem saraf simpatik yang terdiri atas obat adrenergik dan
antiadrenergik
3. Obat anastetik dan analgesik
4. obat antiansietas, sedatif dan hipnotik
5. obat antiepilepsi
6. obat psikotropik

Pada uraian dibawah ini akan dibahas secara singkat ke 6 kelompok obat tersebut.

Obat-obat Sistem Saraf Otonom

Secara anatomi sususnan saraf otonom terdiri atas saraf praganglion, gangl;ion dan pasca
ganglion yang mempersarafi sel efektor. Serat eferen persarafan otonom terbagi atas (Gambar-1)
sistem persarafan simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis (Torakolumbal segmen
susunan saraf otonom) disalurkan melalui serat torakolumbal 1 sampai lumbal 3. Serat saraf
eferennya kemudian berjalan ke ganglion vertebral, pravertebral dan ganglia terminal. Sistem
persarafan parasimpatis (segmen kraniosakral susunan saraf otonom) disalurkan melalui
beberapa saraf kranial yaitu N III, N.VII, N.IX, N.X dan serat saraf yang berasal dari sakral 3
dan 4.

Impuls saraf dari serat saraf yang satu ke serat saraf lain, ganglion dan sel efektor dapat
diteruskan dengan 2 cara yaitu

1. Secara listrik (electrical synapse).

Impuls saraf diteruskan dari neuron yang satu kelainnya melalui ion-ion yang
melintas bebas melewati saluran-saluran pada gap junction guna meneruskan
potensial aksi dari sel pra sinaps langsung menuju ke post sinaps. Penerusan impuls
saraf secara listrik ini jarang terdapat di SSP mammalia tetapi ditemukan pada
beberapa tempat di batang otak, retina dan korteks serebrum

2. Secara kimiawi (chemical synapse)

Impuls diteruskan dari satu saraf kelainnya melalui suatu subtansi kimiawi

(neurotransmitter atau neuromodulator) yang dilepaskan dari sel pra-sinaps

menuju ke pasca sinaps untuk menghasilkan suatu aksi potensial. Penerusan

impuls saraf dari satu neuron ke neuron lainnya atau ke suatu daerah target

dengan cara kimiawi merupakan cara yang paling umum digunakan.

Penerusan impuls saraf dari dendrit sel saraf ke otot juga hanya dilakukan

secara kimiawi.

Satu sinaps kimiawi terdiri atas (Gambar-2) unsur prasinaps (umumnya suatu bouton sinaps)
dan unsur pasca sinaps (suatu dendrit) dengan suatu celah sinaps ekstrasel yang sempit di
antara keduanya. Celah tersebut hanya selebar 20-30 nm dan dapat mengandung filamen-filamen
halus yang menjembatani bagian luar membran pra-sinaps dan membran pasca sinaps.

Pada bagian pra-sinaps terdapat kumpulan gelembung berukuran 40-60 nm yang berisi
substansia neurotransmitter. Bila timbul aksi potensial pada ujung akson, gelembung sinaps
menyatu dengan membran pra-sinaps pada tempat pelepasan yang khusus, mengeluarkan isinya
ke dalam celah sinaps. Neurotransmiter kemudian melewati membran pasca sinaps untuk
berinteraksi dengan molekul-molekul reseptor. Hal ini menyebabkan perubahan potensial
membran dari neuron pasca sinaps sehingga terjadi pemindahan impuls.

Beberapa neurotransmitter adalah asetilkolin, norepinefrin, epinefrin, serotonin, enkefalin,


endorphin, gamma aminobutyric acid (GABA) dsbnya. Neurotransmiter ini disintesa dan
dibungkus dalam vesikel-vesikel transpor di ujung akson/akson terminal, tetapi beberapa
neurotransmiter misalnya neurotransmitter golongan peptida mungkin dihasilkan di badan sel
saraf/soma. Neutransmiter yang diproduksi di soma (diduga sangat sedikit) dibungkus dalam
gelembung sinaps, kemudian diangkut melalui mikrotubulus aksoplasma ke ujung akson.
Salah satu contoh sintesis dan pelepasan neurotransmitter yang akan di bahas di bawah ini adalah
proses sintesis dan penglepasan neurotransmitter asetil kolin (Gambar-3).

Aksi potensial atau impuls listrik saraf yang berjalan sepanjang akson akan tiba di ujung akson
(terminal akson atau boutons terminaux). Rangsang listrik saraf ini akan membuka kanal ion
kalsium yang diikuti dengan masuknya kalsium ke dalam akson. Disamping itu pada saat yang
bersamaan juga akan masuk kedalam akson ion natrium lewat pompa aktif natrium.
Masuknya ion natrium ini akan membawa serta senyawaan kolin dan senyawaan asetat ke
dalam akson lewat pompa natrium.

Senyawaan asetat yang masuk lewat pompa natrium dan yang masuk ke akson lewat transportasi
aksonal anterograde tipe cepat akan diaktivasi (diubah menjadi bentuk aktif) di dalam
mitokondria menjadi asetil ko-ensim A (Asetil KoA). Senyawaan kolin yang masuk lewat
pompa natrium dan yang sampai ke akson lewat transportasi aksonal tipe cepat akan diubah
menjadi asetilkolin dengan bantuan asetil ko-ensim A dan ensim kolin asetil transferase.

Asetilkolin yang sudah disintesa kemudian akan masuk ke dalam vesikel sinaps lewat proses
endositosis. Neurotransmiter akhirnya akan dibungkus oleh membran vesikel sinaps. Membran
vesikel sinaps ini dapat berasal dari membran vesikel sinaps yang dipakai ulang kembali setelah
melepaskan neurotransmitter melalui proses internalisasi atau membran vesikel yang baru yang
masuk ke ujung akson lewat transportasi aksonal anterograde tipe cepat. Kedalam vesikel ini
juga akan dimasukkan ATP sebagai sumber energi dan zat-zat lain seperti proteoglikan.

Vesikel sinaps lalu bergerak ke membran terminal akson (bouton terminaux) dan kemudian
menyatu dengan membran tersebut. Proses pergerakan vesikel dan penyatuan vesikel dengan
membran terminal akson ini di fasilitasi oleh ion kalsium yang masuk lewat kanal kalsium.
Pada proses ini, protein synapsin I diduga juga turut berperan.

Neurotransmiter akhirnya akan dilepaskan ke dalam celah sinaps lewat proses eksositosis.
Asetilkolin kemudian akan berikatan dengan reseptor asetilkolin di membran postsinaps
(umumnya di dendrit). Ikatan antara asetilkolin dengan reseptornya akan menimbulkan
terjadinya depolarisasi (perubahan muatan listrik) dan akhirnya menimbulkan impuls listrik saraf
yang akan berjalan merambat menuju ke badan sel saraf.
Perangsangan impuls listrik di postsinaps ini kemudian akan terhenti setelah ensim asetilkolin
esterase memutuskan ikatan asetilkolin dengan reseptornya. Asetilkolin akan dihidrolisa menjadi
senyawaan kolin dan asetat yang akan masuk kembali ke dalam akson lewat pompa natrium,
untuk digunakan kembali dalam sintesa neurotransmitter. Membran vesikel sinaps juga akan
dipergunakan kembali untuk membuat vesikel yang baru melalui proses internalisasi.

Sistem persarafan simpatis secara fisiologis bersifat fight or flight dan teraktivasi manakala ada
stress atau siaga, misalnya dalam suasana ketakutan, ujian, berolahraga dan sebagainya. Sistem
simpatis ditandai oleh detak jantung yang meningkat, nafas yang cepat, peningkatan tekana
darah, pupil miosis dan sebagainya. Sistem persarafan simpatis secara fisiologis bersifat fight or
flight dan teraktivasi manakala ada stress atau siaga, misalnya dalam suasana ketakutan, ujian,
berolahraga dan sebagainya. Terdapat 2 macam ensim yang berperan dalam metabolisme
(hidrolisis) noradrenalin yaitu COMT (Catechol-O-metiltransferase) yang terdapat di cairan
ekstraselular diseluruh jaringan termasuk otak (kecuali otot rangka) dan MAO
(monoaminooksidase) yang terdapat di sitoplasma sel saraf. Noradrenalin (norepinefrin)
merupakan katekolamin yang menyebabkan eksitasi otot polos paling kuat sedangkan efek
inhibisinya lemah sekali. Epinefrin memperlihatkan efek inhibisi dan eksitasi yang sama kuat.
Berdasarkan hal ini Ahlquist (1948) mengemukakan teori reseptor  dan  untuk sel efektor
adrenergik. Aktivasi alfa umumnya menimbulkan perangsangan dengan akibat terjadinya
kontraksi, sedangkan aktivasi reseptor beta hanya dapat menimbulkan penghambatan, kecuali
pada otot jantung yang mempunyai reseptor beta.

Sistem persarafan parasimpatis secara fisiologis bersifat relaks, misalnya dalam keadaan
relaks. Sistem parasimpatis ditandai oleh detak jantung dan pernafasan yang normal, tekanan
darah yang normal, pupil midriasis dan sebagainya. Sistem persarafan parasimpatis terjadi pada
keadaan relaks, misalnya dalam suasana gembira, mengantuk, santai dan sebagainya.

Uraian tentang efek sistem saraf parasimpatis dan simpatis serta jenis reseptor adrenergik
tercantum dalam tabel. Obat-obat yang bekerja pada persarafan otonom terbagi 2 yaitu obat-obat
kolinergik dan adrenergik.

Obat-obat kolinergik dan antikolinesterase


Obat otonom yang merangsang sel efektor yang dipersarafi serat dapat dibagi menjadi 3 yaitu

1. Ester kolin dalam golongan ini termasuk asetilkolin, metakolin, karbakol, beta karbakol.
Indikasi obat kolinergik adalah iskemik perifer (penyakit Reynauld, trombofleibitis),
meteorismus, retensi urin, feokromositoma

2. antikolinesterase, dalam golongan ini termasuk fsostigmin (eserin), prostigmin (neostigmin)


dan diisopropilfluorofosfat (DFP). Obat antikolinesterase bekerja dengan menghambat kerja
kolinesterase dan mengakibatkan suatu keadaan yang mirip dengan perangsangan saraf
kolinergik secara terus menerus. Fisostigmin, prostigmin, piridostigmin menghambat secara
reversibel, sebaliknya DFP, gas perang (tabun, sarin) dan insektisida organofosfat (paration,
malation, tetraetilpirofosfat dan oktametilpirofosfortetramid (OMPA) menghambat secara
irreversibel. Indikasi penggunaan obat ini adalah penyakit mata (glaukoma) biasanya
digunakan fisostigmin,penyakit saluran cerna (meningkatkanperistalsis usus) basanya
digunakan prostigmin, penyakit miastenia gravis biasanya digunakan prostigmin.

3. Alkaloid termasuk didalamnya muskarin, pilokarpin dan arekolin. Golongan obat ini yang
dipakai hanyalah pilokarpin sebagai obat tetes mata untuk menimbulkan efek miosis.

Obat Antikolinergik

Obat antikolinergik (dikenal juga sebagai obat antimuskatrinik, parasimpatolitik,


penghambat parasimpatis). Saat ini terdapat antikolinergik yang digunakan untuk

(1). mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya antispasmodik

(2). Penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum

(3). Memperoleh efek sentral, misalnya untuk mengobati penyakit parkinson.

Contoh obat-obat antikolinergik adalah atropin, skopolamin, ekstrak beladona, oksifenonium


bromida dan sebagainya. Indikasi penggunaan obat ini untuk merangsang susunan saraf pusat
(merangsang nafas, pusat vasomotor dan sebagainya, antiparkinson), mata (midriasis dan
sikloplegia), saluran nafas (mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus, sistem
kardiovaskular (meningkatkan frekuensi detak jantung, tak berpengaruh terhadap tekanan darah),
saluran cerna (menghambat peristaltik usus/antispasmodik, menghambat sekresi liur dan
menghambat sekresi asam lambung)

Obat antikolinergik sintetik dibuat dengan tujuan agar bekerja lebih selektif dan mengurangi efek
sistemik yang tidak menyenangkan. Beberapa jenis obat antikolinergik misalnya homatropin
metilbromida dipakai sebagai antispasmodik, propantelin bromida dipakai untuk menghambat
ulkus peptikum, karamifen digunakan untuk penyakit parkinson.

Obat Adrenergik

Obat ini disebut obat adrenergik karena efek yang ditimbulkannya mirip efek neurotransmitter
norepinefrin dan epinefrin (dikenal juga sebagai obat noradrenergik dan adrenergik atau simpatik
atau simpatomimetik). Kerja obat adrenergik dibagi dalam 6 jenis yaitu:

1. perangsangan perifer terhadap otot polos pembuluh darahn kulit dan mukosa, kelenjar
liur dan keringat
2. penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka
3. perangsangan jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi
4. perangsangan SSP seperti peningkatan pernafasan, kewaspadaan, dan pengurangan nafsu
makan
5. efek metabolik mislnya peningkatan glikogenolisisdi hati dan otot, lipolisis dan pelepasan
asam lemak bebas dari jaringan lemak
6. efek endokrin misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormon hipofisis.

Mekanisme kerja obat adrenergik adalah merangsang reseptor alfa () dan beta () pada sel
efektor. Efek obat adrenergik dapat dilihat pada tabel-1 dibawah ini

Penggunaan klinis epinefrin adalah pada

1. Sistem kardiovaskular: terjadinya vasokonstriksi (tekanan darah meningkat),


meningkatkan denyut jantung dan kekuatan kontraksi jantung
2. Susunan Saraf Pusat: terjadinya kegelisahan, rasa kuatir, nyeri kepala dan tremor.
3. Otot polos : efeknya berbeda tergantung pada jenis reseptor yang terdapat pada organ
tersebut. Pada saluran cerna terjadi relaksasi otot polos saluran cerna, pada uterus terjadi
penghambatan tonus dan kontraksi uterus, pada kandung kemih terjadi relaksasi otot
detrusor kandung kemih, pada pernafasan menimbulkan relaksasi otot polos bronkus.
4. Proses metabolik: menstimulasi glikogenolisis di sel-sel hati dan otot rangka, lipolisis dan
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
5. lain-lain : menhambat sekresi kelenjar , menurunkan tekanan intraokular, mempercepat
pembekuan darah

Efek samping epinefrin adalah perasaan takut, khawatir, gelisah, tegang, tremor, kepala
berdenyut, palpitasi.

Obat-obat yang termasuk golongan adrenergik yaitu

1. Golongan katekolamin : epineprin, norepinefrin, isoproterenol, dopamin, dobutamin dan


sebagainya
2. Golongan nonkatekolamin: amfetamin, metamfetamin, fenilpropanolamin,
metaproterenol (orsiprenalin), terbutalin, efedrin dan sebagainya.

Obat Antiadrenergik

Penghambat adrenergik atau adrenolitik ialah golongan obat yang menghambat perangsangan
adrenergik. Berdasarkan cara kerjanya obat ini dibedakan menjadi

1. penghambat adrenoseptor (adrenoseptor bloker) yaitu obat yang menduduki adrenoseptor


baik alfa (a) maupun beta (b) sehingga menghalanginya untuk berinteraksi dengan obat
adrenergik.

2. penghambat saraf adrenergik yaitu obat yang mengurangi respons sel efektor terhadap
perangsangan saraf adrenergik. Obat ini bekerja dengan cara menghambat sintesis,
penyimpanan, dan pelepasan neurotransmitter. Obat yang termasuk penghambat saraf
adrenergik adalah guanetidinbetanidin, guanadrel, bretilium, dan reserpin. Semua obat
golongan ini umumnya dipakai sebagai antihipertensi.

3. penghambat adrenergik sentral atau adrenolitik sentral yaitu obat yang menghambat
perangsangan adrenergik di SSP.

Obat yang termasuk alfa bloker adalah derivat haloalkilamin (dibenamid dan
fenoksibenzamin), derivat imidazolin (tolazolin, fentolamin), prazosin dan alfa bloker lain
misalnya derivat alkaloid ergot dan yohimbin. Indikasi alfabloker adalah hipertensi,
feokromositoma, fenomen Raynaud dan syok.
Obat yang termasuk beta bloker adalah isoproterenol, propanolol, asetabutolol, timolol,
atenolol, oksiprenolol dan sebagainya. Obat betabloker digunakan untuk mengurangi denyut
jantung dan kontraktilitas miokard, antihipertensi, bronkodilator, menghambat glikogenolisis di
sel hati dan otot rangka, menhambat lipolisis menghambat sekresi renin. Efek samping
betabloker adalah gagal jantung, bradiaritmia, bronkospasm, ekstremitas dingin, memperberat
gejala penyakit Reynaud dan menyebabkan kambuhnya klaudikasio intermitten.

Obat penghambat saraf adrenergik bekerja dengan cara menghambat sintesis,


penyimpanan, dan pelepasan neurotransmitter. Obat yang termasuk penghambat saraf adrenergik
adalah guanetidinbetanidin, guanadrel, bretilium, dan reserpin. Semua obat golongan ini
umumnya dipakai sebagai antihipertensi.

Obat penghambat adrenergik sentral atau adrenolitik sentral yaitu klonidin dan metildopa
yang dipakai sebagai obat antihipertensi.

Obat Anestetik dan Analgesik

A. Obat Anestetik

Istilah anestetik dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya tidak ada rasa sakit.
Anestetik dibedkan menjadi 2 kelompok yaitu

1. Anestetik lokal yaitu penghilang rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran
2. Anestetik umum yaitu penghilang rasa sakit yang disertai hilangnya kesadaran.

Sejak dahulu sudah dikenal tindakan anestesi yang digunakan untuk mempermudah tindakan
operasi. Orang Mesir dahulu menggunakan narkotik, sedangkan orang cina menggunakan
Canabis indica dan pemukulan kepala dengan tongkat untuk menghilangkan kesadaran. Hal ini
tidak memberikan keuntungan. Tahun 1776 ditemukan anestetik gas pertama yaitu N2O, tetapi
anestetik gas ini kurang efektif sehingga diusahakan mencari zat lain.

Mekanisme kerja obat anestesi umum sampai sekarang belum jelas, meskipun mekanisme kerja
susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer mengalami banyak kemajuan pesat, maka
timbullah berbagai teori. Beberapa teori yang dikemukan adalah
1. teori koloid

zat anestesi akan menggumpalkan sel koloid yang menimbulkan anestesi yang bersifat
reversibel diikuti dengan proses pemulihan. Christiansen (1965) membuktikan bahwa
pemberian eter dan halotan akan menghambat gerakan dan aliran protoplasma dalam
amuba

1. teori lipid

Ada hubungan kelarutan zat anestetik dalam lemak dan timbulnya anestesi. Makin tinggi
klerutan dalam lemak makin kuat sifat anestestetiknya. Teori ini cocok untk obat
anestetik yang larut dalam lemak

1. teori adsorpsi dan tegangan permukaan

Pengumpulan zat anestesi pada permukaan sel menyebabkan proses metabolisma

dan transmisi neural terganggu sehingga timbul anestesi.

1. teori biokimia

pemberiaan zat anestesi invitro menghambat pengambilan oksigen di otak dengan cara
menghambat sistem fosforilasi oksidatif. Akan tetapi hal ini mungkin hanya menyertai
anestesi bukan penyebab anestesi.

1. teori neurofisiologi

pemberian zat anestesi akan menurunkan transmisi sinaps di ganglion cervicalis superior
dan menghambat formatio retikularis asenden untuk berfungsi mempertahankan
kesadaran.

1. teori fisika

zat anestesi dengan air di dalam susunan saraf pusat dapat membentuk mikrokristal
sehingga menggangu fungsi sel otak.
Semua zat anestesi umum menghambat susunan saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang
kompleks akan dihambat dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang mengandung
pusat vasomotor dan pusat pernafasan yang vital. Guedel (1920) membagi anestesi umum
dengan eter menjadi 4 stadia:

1. Stadium I (analgesia) yaitu stadia mulai dari saat pemberian zat anestesi hingga hilangnya
kesadaran. Pada stadia ini penderita masih bisa mengikuti perintah tetapi rasa sakit sudah
hilang
2. Stadium II (delirium/eksitasi) yaitu hilangnya kesadaran hingga permulaan stadium
pembedahan. Pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan yang tidak
menurut kehendak, seperti tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, gerakan pernafasan
yang tak teratur, takikardia, hipertensi hingga terjadinya kematian, sehingga harus segera
dilewati
3. Stadium III yaitu stadia sejak mulai teraturnya lagi pernafasan hingga hilangnya
pernafasan spontan. Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernafasan spontan, hilangnya
refleks kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah.
Stadia ini dibagi lagi menjadi 4 tingkat yaitu
a. Tingkat I : pernafasn teratur, spontan, gerakan bola mata tak teratur, miosis,
pernafasan dada dan perut seimbang. Belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna
b. Tingkat II : pernafasan teratur tetapi kurang dalam dibandingkan tingkat I, bola
mata tak bergerak, pupil melebar, relaksasi otot sedang, refleks laring hilang.
c. Tingkat III: pernafasan perut lebih nyata daripada pernafasan dada karena otot
interkostal mulai mengalami paralisis, relaksasi otot lurik sempurna, pupil lebih
lebar tetatpi belum maksimal
d. Tingkat IV: pernafasan perut sempurna karena kelumpuhan otot interkostal
sempurna, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya
menghilang.
4. Stadium IV (Paralisis mediula oblongata) yaitu stadium dimulai dengan melemahnya
pernafasan perut dibanding stadoium III tingkat 4, tekanan darah tak terukur, jantung
berhenti berdenyut dan akhirnya penderita meninggal.

Sebelum diberikan zat anestesi pada pasien diberikan medikasi preanestesi dengan tujuan
untuk mengurangi kecemasan, memperlancar induksi, merngurangi keadaan gawat anestesi,
mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardia dan muntah sesudah atau selama anestesia.
Untuk tindakan ini dapat digunakan

1.
a. analgesia narkotik untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan, mengurangi
rasa sakit dan menghindari takipneu. Misalnya morfin atau derivatnya misalnya
oksimorfin dan fentanil
b. barbiturat biasanya diguankan untuk menimbulkan sedasi. Misalnya pentobarbital
dan sekobarbital.
c. Antikolinergik untuk menghindari hipersekresi bronkus dan kelenjar liur terutama
pada anestesi inhalasi. Obat yang dapat digunakan misalnya sulfas atropin dan
skopolamin.
d. Obat penenang digunakan untuk efek sedasi, antiaritmia, antihistamin dan enti
emetik. Misalnya prometazin, triflupromazin dan droperidol

Obat-obat anestesi umum yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi

1. kelompok inhalasi (gas) : Nitrous oksida (N2O), siklopropan, eter, enfluran,


isofluran, halaotan, metoksifluran, trikoretilen, etil klorida, fluroksen

2. anestesi parenteral (injeksi) dibagi menjadi beberapa golongan yaitu

a. Barbiturat, bekerja dengan blokade sistem stimulus di formasio retikularis


sehingga kesadaran akan hilang. Efek samping yang dapat terjadi adalah
depresi pusat nafas dan menurunnya kontraktilitas otot jantung. Contoh
obatnya adalah natrium tiopental, ketamin

b. Droperidol dan Fentanil digunakan untuk menimbulkan analgesia


neuroleptik dan anestesia neuroleptik (bila digunakan bersama N2O)

c. Diazepam, obat ini menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang


disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesia
sehingga harus dikombinasi dengan obat-obat analgesia.

d. Etomidat merupakan anestetik non barbiturat yang digunakan untuk induksi


anestesi tetapi tidak berefek analgesia. Etomidat hanya menimbulkan efek
minimal terhadap sistem kardiovaskular dan pernafasan. Efek anestesinya
berlangsung segera, dalam waktu 1 menit pasien sudah tidak sadar.

Efek samping anestesi umum yang dapat terjadi adalah depresi miokardium dan hipotensi
(anestesi inhalasi), depresi nafas (terutama anestesi inhalasi), gangguan fungsi hati ringan,
gangguan fungsi ginjal, hipotermia dan menggigil pasca operasi, batuk dan spasme laring serta
delirium selama masa pemulihan.
Obat anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara
lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada setiap bagian saraf.
Pemberian anestetik lokal pada kulit akan menghambat transmisi impuls sensorik, sebaliknya
pemberian anestetik lokal pada batang saraf menyebabkan paralisis sensorik dan motorik di
daerah yang dipersarafinya. Mekanisme kerja anestetik lokla adalah mencegah konduksi dan
timbulnya impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di membran sel. Obat anestetik lokal
dikelompokkan menjadi

1. Kokain

2. Anestetik lokal sintetik seperti prokain, lidokain , butetamid, dibukain,

mepivakain, tetrakain dan sebagainya.

Tehnik pemberian anestetik lokal dapat berupa

1. anestetik permukaan yaitu penyuntikan obat anestetik secara permukaan misalnya pada
kulit, selaput lendir mulut, faring dan esofagus
2. anestetik infiltrasi yaitu penyuntikan untuk menimbulkan anestesi pada ujung saraf
melalui kontak langsung dengan obat. Cara anestesi infiltrasi yang sering digunakan
adalah ring block.
3. anestetik blok yaitu anestesi bertujuan untuk mempengaruhi konduksi saraf otonom
maupun somatis dengan anestesi lokal. Hal ini bervariasi dari blokade pada saraf tunggal
misalnya saraf oksipital, pleksus brachialis, sampai ke anestesia epidural dan spinal.
4. anestetik spinal yaitu anestesi blok yang lebih luas.

B. Obat Analgesik

Obat analgesik antipiretik serta obat antiinflamasi non steroid (AINS) merupakan suatu
kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Mekanisme
kerja obat analgesik adalah menghambat ensim siklooksigenase sehingga konversi asam
arakhidonat menjadi PGG2 terganggu dan reaksi inflamasi akan tertekan. Secara skematis
mekanisme kerja obat AINS tercantum dalam gambar-4 di bawah ini

Obat-obat analgesik ini juga mempunyai sifat antipiretik dan antiinflamasi, tetapi ada perbedaan
dari masing-masing obat, contohnya parasetamol bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat
antiinflamasinya lemah sekali.
Efek samping obat-obat analgesik yang paling sering adalah iritasi pada lambung hingga tukak
lambung, gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesa tromboksan A2 (TXA2)
dengan akibat perpanjangan waktu perdarahan, gangguan fungsi ginjal dan fungsi hati pada
pemamakaian lama dan reaksi alergi.

Obat-obat yang tergolong analgesik adalah salisilat, paraaminofenol (fenasetin dan asetaminofen
atau parasetamol), pirazolon (antipirin, aminopirin, dipiron), fenilbutazon dan oksifenbutazon.
Obat AINS yang lainnya adalah asam mefenamat dan meklofenamat, diklofenak, fenbufen,
ibuprofen, ketoprofen, nafroksen, indometasin, piroksikam.

Obat Antiepilepsi

Antiepilepsi atau antikonvulsi digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan
epilepsi (epileptic seizure). Epilepsi merupakan nama kolektif untuk sekelompok gangguan atau
penyakit susunan saraf pusat yang timbul spontan dengan episode singkat (disebut bangkitan
atau seizure) dan gejala utama berupa penurunan kesadaran menurun sampai hilang. Bangkitan
ini biasanya disertai dengan terjadinya kejang (konvulsi), hiperaktivitas otonom, gangguan
sensorik atau psikis, dan selalu disertai gambaran letupan EEG (electroencephalogram) abnormal
dan eksesif. Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik
atau depolarisasi abnormal dan ksesif, terjadi disuatu fokus dalam otak yang menyebabkan
bangkitan paroksismal. Dalam fokus ini terdapat neuron epilepsi yang sensitif terhadap
rangsangan. Neuron epileptik inilah yang menjadi pencetus bangkitan epilepsi. Epilepsi
dikelompokkan menjadi 2 yaitu

1. Epilepsi fokal atau parsial, yaitu epilepsi yang ditandai oleh terjadinya kejang pada
bagian tubuh tertentu misalnya tangan, muka dan sebagainya dan biasanya tanpa disertai
dengan penurunan kesadaran.
2. Epilepsi umum yaitu epilepsi yang doitandai oleh terjadinya kejang menyeluruh (kejang
umum) disemua bagian tubuh baik yang bersifat tonik, klonik ataupun tonik-klonik dan
biasanya disertai dengan terjadinya penurunan kesadaran.

Obat antikonvulsi atau antiepilepsi berdasarkan cara kerjanya dibagi mnejadi 2 yaitu

1. dengan mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam
fokus epilepsi
2. dengan mencegah terjadnya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh
dari fokus epilepsi.

Obat epilepsi dibagi nejadi 8 kelompok yaitu

1. Golongan Hidantoin, terdiri atas fenitoin, mefenitoin, dan etotoin

Indikasi obat golongan ini adalah epilepsi umum tonik-klonik (grandmal epilepsi) dan
bangkitan parsial atau fokal. Efek samping yang dapat terjadi adalah pada susunan saraf
pusat (ataksia, nistagmus, sukar bicara, tremor dan ngantuk), saluran cerna dan gusi
(nyeri ulu hati, anoreksia, mual dan muntah serta pembesaran gusi), Kulit (ruam
morbiliform) dan hepatotoksik (ikterik) serta anemia megaloblastik.

1. Golongan barbiturat, misalnya fenobarbital dan primidon. Selain sebagai antikonvulsi,


obat ini juga digunakan sebagai hipnotik-sedatif.

Fenobarbital digunakan untuk terapi bangkitan tonik-klonik atau berbagai bangkitan


parsial atau fokal. Efek samping fenobarbital relatif kecil berupa ruam kulit. Primidon
digunakan untuk semua bentuk bangkitan atau epilepsi, kecuali epilepsi jenis petit mal.
Efek samping yang dapat terjadi berupa kantuk, ataksia, pusing, sakit kepala, mual, ruam
kulit , anoreksia dan impotensi.

1. Golongan Oksazolidindion, misalnya trimetadion. Indikasi obat ini adalah epilepsi jenis
petit mal (bangkitan lena). Disamping itu trimetadion juga bersifat hipnotik dan
analgesik. Efek samping ringan berupa ngantuk, dan ruam kulit. Disamping itu dapat juga
terjadi gangguan fungsi hati, darah dan ginjal.
2. Golongan Suksimid, misalnya etosuksimid, metsuksimid, dan fensuksimid. Efek
antikonvulsi suksimid sama dengan trimetadion. Indiasi penggunaan obat ini adalah
epilepsi tipe petit mal. Efek samping berupa mual, sakit kepala, kantuk, dan ruam kulit.
3. Golongan Karbamazepin, misalnya karbamazepin. Selain mempunyai efek antikonvulsif
obat ini juga memperbaiki kewaspadaan dan perasaan. Selain itu juga mempunyai efek
analgesia selektif dan digunakan pada pengobatan tabes dorsalis dan neuropati lainnya.
Obat ini digunakan untuk mengatasi semua bangkitan epilepsi kecuali epilepsi tipe petit
mal dan digunakan secara luas di Amerika Serikat. Efek samping yang dapat terjadi
adalah pusing, vertigo, ataksia, penglihatan kabur, mual, muntah dan gangguan darah.
4. Golongan Benzodiazepin, misalnya diazepam, klonazepam, nitrazepam. Selain untuk
antikonvulsi obat ini uga dipakai sebagai antiansietas. Diazepam intravena merupakan
obat terpilih untuk status epileptikus dan merupakan obat antikonvulsi yang paling
banyak dipakai. Obat ini digunakan untuk kejang umum maupun fokal. Efek samping
yang dapat terjadi adalah obstruksi saluran nafas oleh lidah akibat relaksasi otot, depresi
nafas hingga apneu, hipotensi, henti jantung dan ngantuk. Klonazepam dan nitrazepam
digunakan untuk epilepsi tipe mioklonik, akinetik dan spasme. Efek samping berupa
ngantuk, ataksia dan gangguan kepribadian.
5. Golongan Asam Valproat. Mekanisme kerja asam valproat didasarkan meningkatnya
kadar asam gama aminobutirat (GABA) di otak. Indikasi pemberian obat ini adalah
epilepsi petit mal, mioklonik dan tonik-klonik. Efek samping yang terjadi adalah
gangguan saluran cerna, berupa mual dan muntah susunan saraf pusat (ngantuk, ataksia,
tremor), gangguan fungsi hati, ruam kulit dan alopesia.
6. Antiepilepsi lain misalnya fenasemid dan asetazolamid.

Prinsip pengobatan epilepsi adalah (1) melakukan pengobatan kausal (penyebab) misalnya
pembedahan pada tumor serebri, (2) menghindari faktor pencetus suatu bangkitan, misalnya
alkohol, emosi dan kelelahan fisik maupun mental, (3) penggunaan antikonvulsi. Kriteria obat
epilepsi yang baik adalah (1) dapat menekan bangkitan, (2) memiliki batas keamanan yang lebar,
(3) satu jenis obat yang dapat menekan semua jenis bangkitan dan bekerjalangsung pada fokus
bangkitan, (4) diberikan peroral dan masa kerja panjang, tidak menimbulkan gejala putus obat,
(5) harganya murah.

You might also like