Professional Documents
Culture Documents
Ali ibn Abi Thalib yang dibaiat setelah Utsman berkuasa tahun
655-660 M. Masa pemerintahan Ali penuh dengan gejolak sebagai
warisan dari system sebelumnya dan dampak kebijakan radikal yang
diterapkan Ali. Ali memecat para gubernur yang diangkat Utsman,
menarik kembali tanah-tanah yang dihadiahkan Utsman dan
mengembalikan kepada negara, menerapkan system pajak tahunan
dan menghilangkan tunjangan shahabat. Gejolak pertama adalah
pemberontakan yang dilakukan Aisyah, Zubair dan Thalhah, sedang
yang kedua pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyah ibn Abi
Sofyan, keluarga dan gubernur Syiria yang diangkat Utsman. Dua
pemberontakan ini memberikan dampak teologis yang serius. Ketika
Aisyah bertempur melawan Ali, sebagian shahabat seperti Abd Allah
ibn Umar tidak dapat mengambil sikap dan menyerahkan
keputusannya kepada Allah, karena keduanya adalah keluarga Nabi.
Aisyah adalah istri Nabi yang berarti ummul al-mukminin (ibunya
orang mukmin) sedang Ali adalah menantu dan orang yang sangat
dekat dengan Nabi. Sikap abstain sebagian shahabat inilah yang
kemudian berkembang menjadi Murjiah. Sementara itu,
pertempuran Ali melawan Muawiyah melahirkan tiga aliran teologi
besar dalam Islam. Mereka yang membela Ali kemudian menjadi
Syiah, yang mendukung Muawiyah menjadi Jama’ah atau Sunni,
sedang yang tidak puas dengan keduanya menjadi Khawarij.4
baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi. (2) Tidak ada
pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk
membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat
kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang
membedakan mereka, (3) bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda.
Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama,
mestinya tidak ada perbedaan.26 Persoalan ini belum ditambah
adanya oknum-oknum tertentu yang dengan sengaja
menyalahgunakan filsafat. Misalnya, belajar filsafat kemudian tidak
mau shalat, puasa atau kewajiban-kewajiban lainnya.
Karena itu, tokoh-tokoh salaf seperti Ahmad Ibn Hanbal (780-
855 M) menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-
ilmu filsafat. Menurut George N. Atiyeh,27 penentangan kalangan salaf
tersebut disebabkan, pertama, adanya kekhawatiran bahwa ilmu-ilmu
filsafat akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam
terhadap Tuhan. Kenyataanya, tidak sedikit orang yang belajar filsafat
menjadi tidak patuh syareat. Alasan praktis ini pula yang
menyebabkan al-Ghazali menolak filsafat. Saat itu, sering dijumpai
orang minum minuman keras karena alas an filsafat.28 Kedua, adanya
kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat
ternyata bukan orang Islam melainkan penganut Machianisme, orang-
orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris,
yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala
kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga,
adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh
Machieanisme Persia khususnya maupun paham-paham lain yang
dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari
pikiran-pikiran filsafat Yunani.
Ketegangan dan penentangan kaum salaf terhadap filsafat
tersebut dimulai pada masa al-Makmun dan berlanjut pada beberapa
khalifah penggantinya yang mendukung Muktazilah dan filsafat.
Perubahan drastic terjadi setelah masa al-Mutawakkil (847-861 M).
Mutawakkil berbalik mendukung salaf yang semakin kuat untuk
mengamankan kekuasaannya. Perubahan politik ini berdampak juga
pada perubahan sikap dan paham teologi. Kaum salaf yang awalnya
tertindas ini memperoleh angin dan berkuasa. Mulailah terjadi
revolusi. Orang-orang Muktazilah dan para ahli filsafat di lingkungan
istana di pecat dari jabatan, di buru dan karya-karyanya di bakar.
Perpustakaan besar kaum Muktazilah di Fezz di bumi hanguskan.
Itulah sebabnya, saat ini kita tidak mendapatkan warisan Muktazilah
meski mereka dahulu sangat besar, berkuasa dan produktif.
Perseteruan idiologi dan politik ini pula yang menyebabkan kita
sekarang mendapati disetiap akhir penyebutan kata Muktazilah dan
filosof dalam buku-buku teologi Islam Sunni senantiasa disertai
kalimat “laganahum Allah” (semoga Tuhan melaknati mereka).29
Pada saat terjadi revolusi dan peralihan kekuasaan teologis dari
Muktazilah kepada kaum salaf inilah Abu Hasan al-Asy’ari, tokoh
Muktazilah, menyeberang ke barisan salaf dan mendirikan paham
10
Penutup
Pasca jatuhnya dinasti Bani Abbas di Baghdad oleh tentara
Mongol tahun 1258 M, pemikiran dan peradaban Islam sesungguhnya
masih bertahan beberapa lama. Antara lain, di Spanyol, Mesir dan
Syafawi di Asia Tengah. Akan tetapi, memasuki abad ke 15 M,
keilmuan dan dinasti besar Islam benar-benar habis, kecuali dinasti
Utsmaniyah di Turki. Masyarakat Islam menjadi sangat merosot dan
sebagian besar jatuh dalam penjajahan Eropa. Karena itu, tulisan ini
tidak akan memperjang uraian tersebut.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa perjalanan panjang
sejarah Islam tidak lepas dari pengaruh kepentingan politik,
perbedaan-perbedaan paham dan ideologi, konteks kebudayaan
sekitar dan seterusnya. Tidak terkecuali dalam hal ini sejarah
perkembangan teologi, pemikiran, doktrin-doktrin keagamaan dan
lainnya yang sekilas bersifat ideal dan normative. Karena itu, kita
tidak bisa secara langsung mengambil doktrin-doktrin ajaran lepas
dari koteksnya. Begitu pula, kita tidak bisa membaca teks-teks
keagamaan tanpa memperhatikan situasi politik dan social yang
mengintarinya. Wallahu a’lam.
**
Disampaikan dalam acara short-course kajian keislaman di Lembaga Kajian al-Qur’an dan Sains (LKQS)
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, tanggal 1-2 Desember 2007.
1
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta, Kota Kembang, 1989), 34-37.
2
Syibli Nukman, Umar Yang Agung, (Bandung, Pustaka, 1981), 264-276
3
A Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung, Rusyda, 1987), 87. Tentang perubahan gelar khalifah Ustman dan
reaksi shahabat, lihat Mahmoud Ayub, The Crisis of Muslim History, (Bandung, Mizan, 2004).
4
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 58-62. Untuk perkembangan awal empat aliran teologi
Islam ini, lihat Louis Gardet dan Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dini, I, (Beirut, Dar al-Ilmi, 1987), 50 dan seterusnya
5
Hasan Ibrahim Hasan, ibid, 91; Harun Nasution, Islam di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, I, (Jakarta, UI Press,
1985), 62
6
Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, 2, (Jakarta, Pustaka al-Husna, 1987), 90-91
7
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam Tinjauan Kritis, (Yogya, Tiara Wacana, 1990), 27-8
8
Uraian secara detail tentang tragedy Karbala ini, lihat Sayyid Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, (Bandung,
Pustaka Hidayah, 1989).
9
Uraian lengkap tentang hal ini, lihat Louis Gardet dan Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dini, I, (Beirut, Dar al-Ilmi,
1987), 70 dan seterusnya
10
O Hasem, Saqifah Awal Perselihan Umat, (Lampung, YAPI, 1987). Lihat juga semua buku sejarah kodifikasi
hadis.
11
Al-Ghazali, “al-Munqidz min al-Dlalâl”, dalam Majmûah Rasâil, (Beirut, Dar al-Fikr, 1996), 548
12
Watt, Kejayaan Islam Tinjauan Kritis, 104
13
Ibid, 68
14
Renan, Averroes et l’Averroeisme, (Paris, 1887), 88; Duhem, Le systeme du monde, (Paris, 1917), 321,
sebagaimana dikutip Ibrahim Madkur, Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi, (Jakarta, Rajawali Press, 1996), 11; Oliver
Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah, (Jakarta, Rajawali Pres, 1988), 8.
15
Sabra, “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar”, dalam Jurnal al-Hikmah,
(edisi 6, Oktober 1992), 90.
16
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (New York, Martin Press, 1986), 363. Watt mencatat bahwa sebelum Hunain
ibn Ishaq, penterjemahan karya-karya Yunani ini umumnya dilakukan dari edisi bahasa Syiria, sementara Hunain ibn Ishaq
langsung menterjemahkan dari bahasa Yunani. Lihat, MM. Watt, Islamic Philosophy and Theology, (Edinburg, Edinburg
University Press, 1992), 38. Ini pula yang menjadi catatan al-Ghurabi tentang banyaknya karya filsafat Yunani yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab bercampur dengan pandangan Neo-Platonis Kristen Syiria. Lihat Ali Musthafa al-
Ghurabi, Târikh al-Firâq al-Islami, (Kairo, Maktabah wa Mathba`ah, tt), 128-9.
17
Louis Gardet Falsafah al-Fikr al-Dîni, II, 76; Ahmad Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1974), 53-
56; Watt, Pemikiran Teologi & Filsafat Islam, (Jakarta, P3M, 1979), 73-86.
18
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9; Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”, dalam
Jurnal al-Hikmah, (edisi 4, Februari 1992), 56.
19
Lihat antara lain, Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 8; Louis Gardet Falsafat al-Fikr al-Dini, 77; CA.
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1991), 30; al-Jabiri, Takwîn al-Aql
al-Arabi, (Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), 57.
20
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9. Lihat pula, Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif
Sejarah, (Jakarta, P3M, 1987), 4-8.
21
Selain berdasarkan renungan atas teks-teks suci, menurut Gardet, persoalan teologis ini juga didorong oleh
adanya polemik antara Kriten dan Yahudi di Syiria saat itu. Masalah yang dibahas , antara lain, adalah soal kebebasan dan
keterpaksaan manusia (taqdir) dan soal al-Qur`an sebagai firman yang tidak ciptakan. Kaum muslimin ikut terlibat dalam
kajian rumit ini dan berusaha membela dan mempertahankan doktrinya dari serangan luar, sehingga pembahasan kalâm
(teologi Islam) bersifat apologis. Sampai perkembangannya yang cukup jauh, sifat apologis tersebut ternyata belum juga
hilang. Lihat Machasin, Kelahiran dan Pertumbuhan Ilmu Teologi, makalah pengantar pada mata kuliah studi ilmu teologi,
pada semester I program pascasarjana (S-2), IAIN Yogya, 1997, tidak diterbitkan.
22
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 10.
23
Lebih detail tentang masalah ini, lihat al-Hasan dan Donald Hill, Teknologi dalam Sejarah Islam, (Bandung,
Mizan, 1993).
24
Nama lengkapnya Ahmad ibn Yahya ibn Ishaq al-Rawandi, lahir di Rawan, dekat Isfahan, tahun 825 M, dari
keturunan Yahudi. Kapan meninggalnya tidak diketahui pasti, tetapi menurut Ibrahim Madkur, Ibn Rawandi pernah
berhubungan dengan kaum Muktazilah dan dianggap sebagai salah satu muridnya yang paling cerdas, sebelum kemudian
balik menyerang Muktazilah. Ibn Rawandi termasuk tokoh yang masih asing dalam discorsus filsafat Islam. Lihat Ibrahim
Madkur, Filsafat Islam Metode dan Penerapannya, (Jakarta, Rajawali, 1996), 104.
25
Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi, lahir di Ray, Persia, tahun 865 M. dan meninggal
di Baghdad tahun 925 M. Selain filosof, ia dikenal juga sebagai dokter dan ahli kimia. Tentang riwayat hidupnya, lihat MM.
Syarif, Para Filosof Muslim, 31; Natsir Arsyad, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah, (Jakarta, Srigunting, 1995), 88.
26
Lihat Syarif, Para Filosof Muslim, 47; Ibrahim Madkur, Filsafat Islam, 109-118; Hasyim Hasan, Al-Asâs al-
Manhajiyah Libina al-Aqidah al-Islâmiyah, (Kairo, Dar al-Fikr, tt), 71. Disampin kedua tokoh diatas, Husaen Nashr
menyebut tokoh lain sebagai ingkar kenabian, yakni Ahmad ibn Thayib al-Syarkhasi, hidup antara tahun 833-899 M.
Awalnya ia adalah murid utama al-Kindi dan guru khalifah al-Mu`tadhid (892-902 M) kemudian berubah menjadi orang
yang durhaka kepada kenabian Muhammad saw. Lihat Husain Nahr, Tiga Pemikir Islam, terj. A. Mujahid, (Bandung,
Risalah, 1986), 7.
27
George N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, (Bandung, Pustaka, 1983), 4.
28
Al-Ghazali, al-Munqidz, 560
29
Atiyeh, Al-Kindi, 7.
30
Watt, Pemikiran Teologi, 100
31
Al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, edit dan catatan kaki oleh Sulaiman Dunya, (Mesir, Dar al-Maarif, 1966). Kitab
ini diselesaikan pada 11 Muharram 488 H/ 21 Januari 1095 M. Dalam kitab ini diuraikan 20 persoalan filsafat yang
dianggap merupakan bid’ah, yang tiga diantaranya bahkan merupakan kekufuran bagi penganutnya.
Tentang al-Munqid, lihat al-Ghazali, al-Munqid min al-Dlalâl, (Bairut, Al-Maktabah al-Sab’iyah, tt) yang diedit
dan diberi catatan kaki oleh Mustafa Abu al-Ula. Kitab ini ditulis sekitar lima tahun sebelum kematian al-Ghazali, setelah ia
mengalami krisis epistemologi --bukan krisis keyakinan-- dan setelah kembali mengajar di perguruan tinggi Al-Maimunah
al-Nidlamiyah di Naisabur, Lihat Osman Bakar, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani L, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1995), 51.
32
Hasan Hanafi, Al-Yasar Islâmî, (Kairo, Hilyubulis, 1981)
33
Diskusi menarik soal ini, lihat Jabiri, Tragedi Intelektual Perselingkuhan Politik dan Agama, (Yogya, Pustaka
Alif, 2003), 217 dan seterusnya
34
Al-Ghazali, al-Munqid, 49.
35
Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), 438.
36
Lebih jelas tentang tiga masalah ini, juga 17 masalah lain yang dianggap bid’ah oleh al-Ghazali lihat cacatan kaki
yang diberikan Sulaiman Dunya dalam Tahafutnya al-Ghazali diatas. Lihat pula, Abbad Mahmud Aqqad, Filsafat
Pemikiran Ibn Sina, (Solo, Pustaka Mantiq, 1988), 100-105; Khudori Soleh, Kegelisahan Al-Ghazali Sebuah Otobiografi
Intelektual, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997), 32-c.
37
Khudori Soleh, Ibid, 28-30.
38
Ketidaktepatan klasifikasi ini bisa disebabkan oleh ketidakcermatan al-Ghazali sendiri, atau bisa juga karena
kesalahan umum saat itu. Yakni, bahwa kajian para filosof terhadap Aristoteles tidak dilakukan secara langsung atas
karyanya sendiri tetapi telah melalui penafsiran neo-platonisme, sehingga apa yang diduga sebagai pemikiran Aristoteles
sebenarnya telah tercampuri oleh ide-ide neo-platonisme. Lihat Nurchalis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, 24.
39
Amin Abdullah, “Pengantar” dalam Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogya, Pustaka Pelajar, 2004),
viii