You are on page 1of 14

DINAMIKA PERKEMBANGAN ISLAM: SEBUAH PENGANTAR

Oleh: A Khudori Soleh**

Sejarah perkembangan Islam, termasuk di dalamnya norma,


doktrin, dan peradaban masyarakatnya, sesungguhnya tidak
berkembang secara “mandiri”, linier dan normative, melainkan
berliku dan tidak lepas dari kondisi social politik yang mengintarinya.
Karena itu, pembacaan kita terhadap Islam tidak dapat dilepaskan
dari konteks ini, meski tampaknya berisi doktrin, ajaran atau lainnya
yang bersifat normative. Tulisan singkat ini akan mendiskusikan
realitas dinamika perkembangan Islam yang tidak lepas dari konteks
tersebut.

Masa Khulafah al-Rasyidin


Masa Khulafah al-Rasyidin mulai oleh Abu Bakar yang berkuasa
tahun 632-634 M. Pemerintahan Abu Bakar yang singkat habis untuk
menyelesaikan persoalan dalam negeri, terutama tantangan yang
ditimbulkan oleh suku-suku Arab yang tidak mau tunduk pada
Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dilakukan
hanya dengan Nabi, sehingga secara otomatis batal dengan
meninggalnya Nabi. Abu Bakar menyelesaikan ini dengan apa yang
dikenal sebagai perang riddah (perang melawan kemurtadan).
Pemerintahan yang dijalankan Abu Bakar mengikuti apa yang
terjadi pada masa Nabi, bersifat sentralistik, dimana kekuasaan
legislative, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Abu
Bakar sendiri yang diangkat khalifah dengan baiat menyebut dirinya
sebagai khalifah al-nabi (pengganti nabi).1
Umar ibn Khathab menggantikan Abu Bakar lewat penunjukan
langsung, berkuasa tahun 634-644 M. Masa ini ekspansi Islam
pertama terjadi. Syiria, Palestina, sebagian besar Persia dan Mesir
jatuh dalam kekuasaan Islam. Luasnya wilayah kekuasaan memaksa
Umar untuk membangun system pemerintahan dan administrasi
negera. Dalam hal ini, ia mencontoh adiministrasi yang berkembang
di Persia. Administrasi pemerintahan dibagi menjadi 8 propinsi:
Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir.
Departemen-departemen ditingkat pusat juga dibentuk, seperti
keuangan, pekerjaan umum dan pengadilan. Umar yang menyebut
dirinya sebagai amir al-mukminin (komandan orang beriman) juga
membentuk bait al-mal, menempa mata uang dan menciptakan tahun
hijrah, menerapkan system gaji dan pajak tanah. Dalam bidang
hokum, untuk pertama kalinya system ghanimah (pembagian harta
rampasan perang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah) tidak
diberlakukan dan diganti dengan system gaji.2
Ustman ibn Affan yang berkuasa setelah Umar dipilih dengan
system formatur yang terdiri atas 6 orang; Utsman, Ali, Thalhah,
Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqash dan Abd Rahman ibn Auf. Pada paruh
2

pertama kekuasaannya yang panjang, tahun 644-655 M, Ustman


meneruskan politik Umar melakukan ekspansi ke luar. Menaklukkan
Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes dan yang tersisa dari wilayah Persia.
Dalam keilmuan, Utsman pertama kali yang membukukan al-Qur’an
yang dikenal dengan mushaf utsmani sampai sekarang, untuk
membakukan system pembacaan al-Qur’an yang mulai berbeda-beda
saat itu sesuai dialek wilayah masing-masing.
Akan tetapi, setelah itu, Utsman tampak mulai tidak dapat
mengendalikan ambisi politik keluarganya (Bani Umaiyah) dan
mengangkat mereka sebagai pejabat-pejabat penting dan “basah”.
Parahnya, Utsman juga mengklaim diri sebagai khalifah Allah
(pengganti Allah) bukan khalifah al-nabi sebagaimana Abu Bakar,
sehingga memberi kesan dictator dan berkuasa penuh. Perubahan
politik Ustaman ini kemudian menimbulkan kekecewaan dan
ketidakpuasan di kalangan shahabat dan kebanyakan masyarakat,
sehingga melahirkan pemberontakan dan berpuncak pada
terbunuhnya Utsman. 3

Ali ibn Abi Thalib yang dibaiat setelah Utsman berkuasa tahun
655-660 M. Masa pemerintahan Ali penuh dengan gejolak sebagai
warisan dari system sebelumnya dan dampak kebijakan radikal yang
diterapkan Ali. Ali memecat para gubernur yang diangkat Utsman,
menarik kembali tanah-tanah yang dihadiahkan Utsman dan
mengembalikan kepada negara, menerapkan system pajak tahunan
dan menghilangkan tunjangan shahabat. Gejolak pertama adalah
pemberontakan yang dilakukan Aisyah, Zubair dan Thalhah, sedang
yang kedua pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyah ibn Abi
Sofyan, keluarga dan gubernur Syiria yang diangkat Utsman. Dua
pemberontakan ini memberikan dampak teologis yang serius. Ketika
Aisyah bertempur melawan Ali, sebagian shahabat seperti Abd Allah
ibn Umar tidak dapat mengambil sikap dan menyerahkan
keputusannya kepada Allah, karena keduanya adalah keluarga Nabi.
Aisyah adalah istri Nabi yang berarti ummul al-mukminin (ibunya
orang mukmin) sedang Ali adalah menantu dan orang yang sangat
dekat dengan Nabi. Sikap abstain sebagian shahabat inilah yang
kemudian berkembang menjadi Murjiah. Sementara itu,
pertempuran Ali melawan Muawiyah melahirkan tiga aliran teologi
besar dalam Islam. Mereka yang membela Ali kemudian menjadi
Syiah, yang mendukung Muawiyah menjadi Jama’ah atau Sunni,
sedang yang tidak puas dengan keduanya menjadi Khawarij.4

Masa Pemerintahan Bani Umaiyah


Pemerintahan Bani Umaiyah berlangsung sekitar 90 tahun,
tahun 661-750, berpusat di Damaskus, Syiria. Pada masa ini, ekspansi
dan penaklukan wilayah dilakukan secara besar-besaran. Muawiyah
sebagai khalifah pertama ingin menyaingi Persia dan Romawi, dua
negara adidaya saat itu. Ia melakukan penaklukan ke timur sampai
Kabul, Afganistan, ke utara sampai Konstantinopel, Bizantium. Abd al-
Malik, penggantinya, meneruskan serangan ke timur sampai India dan
3

Maltan, ke barat sampai Maroko dan Spanyol. Dengan keberhasilan


ini, wilayah kekuasaan Islam menjadi sangat luar biasa luas.
Membentang mulai dari Spanyol di Eropa, Afrika utara, Syiria,
Palestina, Jazirah Arab, Irak, Asia Tengah, Asia selatan sampai India.5
Selain ekspansi wilayah, Bani Umayah juga berhasil
membangun kebudayaan dan peradaban. Muawiyah mendirikan dinas
pos lengkap dengan kuda dan peralatannya, menertibkan angkatan
bersenjata, mencetak mata uang dan menjadikan hakim (qadli)
sebagai jabatan profesi. Abd al-Malik, khalifah penggantinya,
mencetak uang sendiri dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab,
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi
pemerintahan, dan mendirikan panti orang cacat. Umar ibn Abd al-
Aziz, penggantinya, menetapkan al-Muwatha’ karya Imam Malik
sebagai KUHP di wilayah Islam.6
Akan tetapi, pada aspek social dan politik, Bani Umaiyah justru
mewariskan masalah. Muawiyah menerapkan system strata social
yang berbeda dikalangan masyarakat. Ada 4 strata social yang
dikenal saat itu, yaitu muslim arab, muslim non arab (mawalî), non
muslim dan budak. Muawiyah dan para penerusnya menghidupkan
kembali apa yang berusaha dihilangkan oleh Islam dan Nabi, yaitu
system budak sebagai dampak tidak langsung adanya penaklukan-
penaklukan. Mereka juga mendahulukan muslim arab untuk jabatan-
jabatan di pemerintahan dibanding kalompok lainnya, sehingga
muslim non arab merasa di nomorduakan. Diskriminasi social ini
kemudian memunculkan ketidakpuasan dan pemberontakan yang
berpuncak pada tergulingkannya dinasti Muawiyah.7 Khalifah al-Walid
II (743-744 M) juga memisahkan tempat pertemuan antara laki-laki
dan perempuan. Meski awalnya hanya pemisahan tempat pertemuan,
tetapi kemudian berkembang menjadi pemisahan peran-peran public
dan lainnya yang pada akhirnya melahirkan adanya diskriminasi dan
bias gender di kalangan masyarakat muslim seperti yang kita lihat
sekarang.
Dari aspek politik, Muawiyah merubah tradisi pemerintahan
sebelumnya yang bersifat “musyawarah-domokratis” menjadi
monarkhi dengan meniru system suksesi di Romawi dan Persia.
Karena itu, meski tetap memakai gelar khalifah, mengikuti Utsman,
Muawiyah mengklaim dirinya sebagai khalifah Allah (pengganti Allah
di bumi atau penguasa yang diangkat Allah), bukan khalifah al-Nabi
atau yang lain. Perubahan system politik ini dimulai ketika
mengangkat anaknya, Yazid, sebagai penggantinya. Untuk
melaksanakan ini, Muawiyah menggunakan segala cara. Pertama,
kekerasan politik dan fisik. Ia memaksa seluruh rakyatnya bersumpah
setia kepada Yazid. Yazid sendiri juga memaksa para shahabat di
Madinah untuk berbaiat kepadanya. Husein ibn Ali, cucu Nabi, yang
menolak berbaiat di perangi di Karbala, Iraq. Tragedi terbunuhnya
Husein di Karbala inilah yang kemudian melahirkan tradisi assyura di
kalangan Syiah sampai sekarang.8 Kedua, menggunakan bahasa
agama. Antara lain, membuat doktrin teologi Jabariyah. Teologi ini
4

mengajarkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan


Tuhan. Artinya, naiknya Muawiyah ke puncak kekuasaan dan segala
yang berkaitan dengan itu adalah juga taqdir Tuhan, sehingga tidak
perlu ditolak atau diperdebatkan. Teologi Jabariyah ini pada fase
berikutnya menjadi bahan kritik dan serangan kaum teolog Kristen
Syiria terhadap Islam. Yahya al-Dimasqi, seorang pendeta Kristen di
Damaskus, mengkritik Islam bahwa Islam berpaham jabariyah yang
tidak memberikan kekuatan apapun pada manusia. Ia juga
mempersoalkan status al-Qur’an, qadim atau hadis? Ini berkaitan
dengan doktrin trinitas Kristen. Dalam keyakinan Islam, al-Qur’an
adalah kalam Tuhan, dan dinyatakan juga bahwa Isa adalah kalimah
Tuhan. Jika al-Qur’an qadim, maka Isa juga qadim, karena keduanya
sama-sama kalam/ kalimah Tuhan. Jika demikian, maka berarti benar
ajaran trinitas. Sebaliknya, jika al-Qur’an adalah hadis, maka itu dapat
menguatkan tuduhan orang kafir Makkah bahwa al-Qur’an adalah
buatan Muhamad. Jawaban dan hasil dialektika pemikiran antara para
sarjana muslim dengan para teolog Kristen saat itu, di pihak Islam,
kemudian melahirkan teologi Muktazilah yang berpaham qadariyah.9
Selain itu, Muawiyah juga memberikan bayaran mahal kepada
siapapun yang dapat menyampaikan hadits tentang keutamaan
Utsman dan keluarganya, termasuk Muawiyah, untuk menjustifikasi
kesalehan pribadi dan kekuasaannya. Kebijakan ini akhirnya
mendorong banyaknya muncul hadits palsu oleh orang yang tidak
bertanggung jawab demi mendapatkan keuntungan materi dari
khalifah.10 Karena itulah, sebagian orang menuduh Muawiyah
bertanggung jawab atas maraknya hadis palsu di masyarakat Islam.
Sampai di sini tampak bahwa perkembangan Islam tidak lepas
dari konteks politik. Bahkan, doktrin-doktrin teologis dan hukum (fiqh)
yang tampaknya bersifat sangat normative, ternyata adalah hasil dari
pertentangan-pertentangan politis yang ada.

Masa Bani Abbas


Bani Abbas berkuasa sekitar 500 tahun, tahun 750-1258 M,
berkedudukan di Baghdad, Iraq. Masa ini tidak ada lagi ekspansi dan
penaklukan wilayah. Sebaliknya, wilayah luas yang diwarisi Bani
Abbas dari Bani Umaiyah justru lepas satu per satu, sehingga muncul
tiga kerajaan Islam besar secara bersamaan, yaitu Bani Abbas di
Baghdad, Bani Fathimiyah di Mesir, dan kerajaan Islam di Spanyol.
Ketiga kerajaan ini berbeda secara teologis dan politis. Bani Abbas
berpaham Sunni sedang Bani Fathimi yang mewariskan al-Azhar
berpaham Syiah. Sementara itu, Islam di Spanyol meski sama-sama
Sunni tetapi keduanya berbeda bahkan merupakan lawan politik.
Karena itu, ketiganya bersaing ketat dalam semua hal, militer,
kebudayaan dan peradaban, bahkan tidak jarang saling serang
dengan menggunakan doktrin teologis keagamaan. Kenyataan ini
tampak, antara lain, pada serangan al-Ghazali terhadap paham
Taklimiyah. Seperti yang ditulis sendiri dalam al-Munqidz,
ketidaksukaan al-Ghazali ini lebih karena untuk memenuhi pesanan
5

khalifah disamping kenyataan bahwa Taklimiyah adalah penganut


Syiah yang merupakan lawan Suni.11 Yang lain, tampak pada jawaban
Ibn Rusyd terhadap buku Tahafut al-Ghazali. Ada indikasi kuat, hal
dilakukan bukan semata alas an keilmuan tetapi juga politis. Sosok
dan karya-karya al-Ghazali yang berasal dari Baghdad sangat tidak
disukai di Spanyol. Meski demikian, hal itu bukan berarti mereka
lemah. Sebaliknya, persaingan yang terjadi di antara mereka telah
mendorong munculnya ghirah mencari dan mengembangkan ilmu
pengetahuan maupun sains, sehingga pada fase-fase ini Islam
mencapai puncak peradaban dan kebudayaannya.
Bani Abbas, secara politis, melanjutkan tradisi Bani Umaiyah,
memakai gelar khalifah dalam arti pengganti Tuhan dan system turun
temurun. Kata-kata al-Mansur yang terkenal adalah “innamâ ana
Sulthân Allah fî ardlihi” (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Allah
di bumi-Nya). Artinya, kekuasaannya adalah mandat Tuhan, bukan
dari Nabi atau manusia. Selain itu, mereka menguatkannya dengan
“gelar tahta”. “al-Manshur” adalah gelar tahta dari Abu Jakfar, dan
gelar ini lebih terkenal dari namanya sendiri.12 Ini sama dengan gelar-
gelar Sultan di Jawa, seperti Hamengkubuwano, yang lebih dikenal
daripada nama aslinya. Secara social, Bani Abbas juga melakukan
pembedaan strata social. Bedanya, bukan muslim arab dengan
lainnya seperti Bani Umaiyah, tetapi Turki dan non-Turki. Secara
umum, para khalifah Bani Abbas lebih dekat dan mengandalkan
bangsa Turki daripada bangsa lainnya, sehingga melahirkan
kecemburuan dan gejolak. Untuk memenuhi jalannya roda
pemerintahan, untuk pertama kalinya Bani Abbas memperkenalkan
jabatan wazir sebagai koordinator departemen, memperluas
wewenang dinas pos, dan membentuk tentara professional; tiga hal
yang tidak dikenal pada masa sebelumnya.
Sumbangan utama Bani Abbas dalam sejarah peradaban Islam,
berbeda dengan Bani Umaiyah yang lebih mengedepankan aspek
politik, adalah dukungannya yang besar terhadap perkembangan
keilmuan, filsafat dan sains. Secara umum, kebanyakan khalifah Bani
Abbas adalah orang yang gandrung ilmu dan hikmah, dan
memberikan dukungan besar pada bidang ini. Al-Makmun (811-833
M) adalah khalifah yang mempelopori proses penterjemahan filsafat
Yunani ke dalam Islam, yang kemudian didukung oleh penggantinya,
Harun al-Rasyid, dengan didirikannya Bait al-Hikmah, perpustakaan
besar dan pusat penelitian. Hasil terjemahan-terjemahan filsafat dan
pemikiran Yunani kemudian memberikan kontribusi besar bagi
perkembangan filsafat, pemikiran dan sains Islam.13
Meski demikian, dalam masalah ini, harus segera dikatakan
bahwa hal itu bukan berarti pemikiran dan filsafat Islam berasal dari
Yunani, atau bahwa Islam tidak mempunyai pemikiran filosofis dan
rasional sendiri yang orisinal seperti dituduhkan Renan dan Duhem.14
Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru semata.
Suatu ide dapat dibahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam
berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian
6

gagasan orang lain tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk


menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Aristoteles, misalnya, jelas
merupakan murid Plato (427-348 SM), tetapi ia mempunyai
pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya. Begitu pula Barush
Spinoza (1632-1777 M) walau secara jelas sebagai pengikut Rene
Descartes (1596-1650 M) tetapi ia dianggap mempunyai pandangan
filosofis yang berdiri sendiri. Hal seperti itulah yang juga terjadi pada
para filosof muslim. Al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M),
misalnya, walau sebagai murid Aristoteles, tetapi ia mempunyai
pandangan sendiri yang tidak sama dengan gurunya. Para filosof
muslim secara umum hidup dalam lingkungan dan kondisi yang
berbeda dengan filosof lainnya, sehingga adalah suatu kesalahan jika
kita mengabaikan pengaruh kondisi ini dalam pemikiran dan teori
mereka.
Dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa (1) apa yang disebut
transmisi filsafat Yunani ke Arab merupakan suatu proses kompleks
dimana ia sering banyak dipengaruhi oleh interpretasi-interpretasi
yang diberikan melalui suatu tradisi skolastik sebelumnya, dan –-
kadang kala—- dalam istilah-istilah yang sudah digunakan secara
teknis dalam disiplin baru yang berkaitan dengan bahasa Arab atau
Islam. Konsekuensinya, tugas rekonstruksi sumber Yunani untuk ilmu
dan filsafat tidak mungkin selalu diharapkan berbentuk suatu
terjemahan yang jelas kedalam sesuatu yang dianggap asli Yunani,
tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi diluar teks,
dan karena itu harus direkonstruksi secara terlepas dari teks. (2)
Perluasan-perluasan, pengembangan dan penggarapan kembali ide-
ide Yunani dari al-Kindi (801-878 M) sampai Ibn Rusyd (1126-1198 M),
bahkan Suhrawardi (1153-1191 M) dan sesudahnya tidak mungkin
sepenuhnya bisa diapresiasikan tanpa merujuk pada situasi-situasi
kultural yang mengkondisikan arah dan karakter karya-karya
tersebut. (3) karena itu pula, presentasi karya-karya muslim secara
terpisah dari faktor-faktor cultural akan menjadi suatu deskripsi yang
tidak lengkap, deskripsi yang tidak bisa menjelaskan sendiri
transformasi besar yang sering terjadi ketika batas-batas kultural
sudah terlewati.15 Sedemikian, sehingga tidak bisa dibantah bahwa
karya-karya filsafat Islam disusun berdasarkan nilai-nilai pokok
agamanya dan kondisi sosial yang melingkupinya. Artinya, peradaban
Islam adalah sesuatu yang berdiri sendiri, mempunyai arah, gaya,
dan persoalan sendiri, tidak sekedar peralihan dari pemikiran dan
peradaban Yunani.
Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran
rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum
kedatangan filsafat Yunani. Tercatat dalam sejarah, terjemahan buku-
buku filsafat Yunani yang memberikan kontribusi besar bagi
perkembangan pemikiran dan filsafat Islam baru di mulai pada masa
al-Makmun oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M),
Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq.16 Pada masa-masa ini,
sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat
7

intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalâm


(teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang
dibangun Wasil ibn Atha’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran
masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang
dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti
Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail
ibn al-Allaf (752-849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M),
Mu`ammar ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840
M).17 Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam
penggalian hukum (istinbâth) dengan istilah-istilah seperti istihsân,
istishlâh, qiyâs dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh
mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbâth dengan
menggunakan rasio seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796
M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum
kedatangan filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa sebelum
dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran
filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam
soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari
teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan
bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam
Islam.18
Pemikiran rasional dan filosofis dalam Islam tersebut telah
berkembang jauh sebelum datangnya Yunani sebagai akibat adanya
tuntutan untuk mensesuaikan antara ajaran al-Qur’an dengan realitas
sehari-hari. 19 Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul saw masih
hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan
langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan kesepakatakan
diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan
setelah Rasul wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan
rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan
satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur`an,
lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model
kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara
lain, (1) penggunaan takwîl. Makna takwil diperlukan untuk
mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang
dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi
pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan
mendalam, karena ia berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriyah (zhahir)
teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang
mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah
yang hanya mengandung satu arti. Disini justru lebih mendekati
model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan
qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada
penyelesaiannya secara langsung dalam teks.20 Misalnya, apakah
larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34) itu hanya
berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan
batu berharga? Apakah kata ‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam al-Qur`an
juga mencakup wanita dan budak?
8

Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga


dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang
tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya
mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh.
Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan
kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha tahu-Nya atas
segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas
sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa
antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal
ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak
bertangan, tidak berkaki dan seterusnya.21 Semua itu menggiring
para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk
berpikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya metode-metode
pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda
dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya hanyalah
terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid
tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran
teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani
didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku. 22
Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, dan
memberikan support besar bagi perkembangan filsafat dan sains
Islam. Para sarjana muslim yang telah terbiasa dengan pemikiran
rasional-filosofis dan penelitian seakan mendapat tambahan amunisi
dan semangat. Masuknya filsafat alam dan medis dari Yunani
mendorong sarjana muslim lebih giat meneliti realitas-realitas empiric
dan kedokteran, sehingga banyak muncul saintis-saintis muslim
seperti Ibn Sina dalam bidang kedokteran, al-Mas’udi dalam bidang
geografi, al-Haitsami dalam bidang optika, al-Khawarismi dalam
bidang astronomi dan lainnya.23 Dalam bidang filsafat, para filosof
muslim mendapat referensi untuk mendiskusikan hubungan antara
Tuhan yang Esa dengan realitas empiric yang beragam, pemahaman
keagamaan yang bersumber pada wahyu dan renungan filosofis yang
berasal dari rasio dan seterusnya. Al-Farabi, yang dikenal sebagai
“guru kedua” dalam filsafat Islam menjelaskan persoalan tersebut
lewat teori emanasi, dan Ibn Rusyd lewat teori takwil. Ini dampak
positifnya. Akan tetapi, filsafat Yunani ternyata juga memberikan
dampak lain yang kemudian melahirkan masalah. Beberapa tokoh
Islam yang belajar filsafat sampai berani mempersoalkan kenabian
karena terlalu mengandalkan kekuatan rasio. Ibn Rawandi (lahir 825
M), misalnya. Ia menolak adanya kenabian, setelah belajar filsafat.
Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat,
begitu pula tentang syareat-syareat yang dibawanya, karena semua
itu telah bisa dicapai oleh akal; akal telah mampu mengapai apa yang
benar dan salah, yang baik dan jahat dan seterusnya.24 Yang lain
adalah al-Razi (865-925 M).25 Al-Razi juga menolak kenabian dengan
tiga alasan; (1) bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik
dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah
mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan
9

baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi. (2) Tidak ada
pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk
membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat
kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang
membedakan mereka, (3) bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda.
Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama,
mestinya tidak ada perbedaan.26 Persoalan ini belum ditambah
adanya oknum-oknum tertentu yang dengan sengaja
menyalahgunakan filsafat. Misalnya, belajar filsafat kemudian tidak
mau shalat, puasa atau kewajiban-kewajiban lainnya.
Karena itu, tokoh-tokoh salaf seperti Ahmad Ibn Hanbal (780-
855 M) menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-
ilmu filsafat. Menurut George N. Atiyeh,27 penentangan kalangan salaf
tersebut disebabkan, pertama, adanya kekhawatiran bahwa ilmu-ilmu
filsafat akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam
terhadap Tuhan. Kenyataanya, tidak sedikit orang yang belajar filsafat
menjadi tidak patuh syareat. Alasan praktis ini pula yang
menyebabkan al-Ghazali menolak filsafat. Saat itu, sering dijumpai
orang minum minuman keras karena alas an filsafat.28 Kedua, adanya
kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat
ternyata bukan orang Islam melainkan penganut Machianisme, orang-
orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris,
yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala
kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga,
adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh
Machieanisme Persia khususnya maupun paham-paham lain yang
dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari
pikiran-pikiran filsafat Yunani.
Ketegangan dan penentangan kaum salaf terhadap filsafat
tersebut dimulai pada masa al-Makmun dan berlanjut pada beberapa
khalifah penggantinya yang mendukung Muktazilah dan filsafat.
Perubahan drastic terjadi setelah masa al-Mutawakkil (847-861 M).
Mutawakkil berbalik mendukung salaf yang semakin kuat untuk
mengamankan kekuasaannya. Perubahan politik ini berdampak juga
pada perubahan sikap dan paham teologi. Kaum salaf yang awalnya
tertindas ini memperoleh angin dan berkuasa. Mulailah terjadi
revolusi. Orang-orang Muktazilah dan para ahli filsafat di lingkungan
istana di pecat dari jabatan, di buru dan karya-karyanya di bakar.
Perpustakaan besar kaum Muktazilah di Fezz di bumi hanguskan.
Itulah sebabnya, saat ini kita tidak mendapatkan warisan Muktazilah
meski mereka dahulu sangat besar, berkuasa dan produktif.
Perseteruan idiologi dan politik ini pula yang menyebabkan kita
sekarang mendapati disetiap akhir penyebutan kata Muktazilah dan
filosof dalam buku-buku teologi Islam Sunni senantiasa disertai
kalimat “laganahum Allah” (semoga Tuhan melaknati mereka).29
Pada saat terjadi revolusi dan peralihan kekuasaan teologis dari
Muktazilah kepada kaum salaf inilah Abu Hasan al-Asy’ari, tokoh
Muktazilah, menyeberang ke barisan salaf dan mendirikan paham
10

Sunni. Ia secara resmi menyeberang ke aliran salaf sekitar tahun 919


M. Saat itu, ia tampil di depan umum, menyatakan penyesalannya
mengikuti Muktazilah dan tekatnya pindah kepada paham salaf. Meski
dianggap wajar oleh para pengikutnya, tetapi perpindahan paham al-
Asy’ari tersebut mensisakan banyak pertanyaan. Antara lain, kenapa
terjadi pada masa revolusi? Kenapa harus dilakukan di depan public?
Tidakkah karena motif-motif tersembunyi? Mengikuti analis Watt,
perpindahan paham Asy’ari tersebut dikarenakan adanya kondisi
yang semakin tidak menguntungkan bagi perkembangan pemikiran
Muktazilah, disamping untuk menyelamatkan karir akademik dan
intelektualnya. Artinya, perpindahan tersebut lebih disebabkan
pertimbangan politis daripada factor keagamaan.30
Pemikiran filsafat dan nalar rasional yang merupakan jantung
keilmuan dan sains tersebut semakin tersingkir dari masyarakat Islam
Sunni dan pusat kekuasaan Bani Abbas setelah al-Ghazali (1058-1111
M) juga menyerang filsafat dan mengunggulkan tasawuf. Dalam
kitabnya yang terkenal, Tahâfut al-Falâsifah, al-Ghazali menyatakan
bahwa tiga dari persoalan filsafat tidak sesuai dengan ajaran Islam
dan bisa menyebabkan kekufuran. Yaitu, ajarannya tentang
keqadiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan Tuhan akan
hal-hal yang partikular. Serangan tersebut diulangi lagi dalam al-
Munqid.31 Serangan ini menimbulkan dampak yang luar biasa.
Pandangan masyarakat muslim terhadap filsafat menjadi sangat
negative dan ghirah mereka terhadap kajian-kajian ilmu-ilmu empiric
dan kealaman menjadi lemah. Bersamaan dengan itu, mereka
tergiring pada dunia sufisme yang cenderung fatalistic. Setapak demi
setapak masyarakat Islam akhirnya masuk dalam dunia kegelapan
dan kemunduran, sampai sekarang. Inilah –salah satunya— yang
menyebabkan kemunduran sains dan keilmuan dalam dunia Islam.
Karena itulah, beberapa tokoh pemikir muslim modern seperti Hasan
Hanafi menunjuk al-Ghazali dan gerakan tasawuf sebagai penyebab
kemunduran Islam.32 Ibn Rusyd (1126-1198 M), pada fase-fase
berukutnya, mencoba membendung serangan dan pengaruh al-
Ghazali tersebut mencoba mengembalikan posisi filsafat lewat
karyanya yang terkenal, Tahâfut al-Tahâfut. Akan tetapi, upaya Ibn
Rusyd ternyata tidak memenuhi hasil, bahkan ia sendiri menjadi
korban dari pertentangan antara filsafat dan fiqh. Dia dijatuhi
hukuman pengasingan dan karya-karya filsafatnya di bakar.33
Berkaitan dengan serangan al-Ghazali terhadap filsafat,
terlepas dari pengaruh yang ditimbulkan, ada beberapa hal yang
patut dicermati. Pertama, bahwa al-Ghazali, sesungguhnya, hanya
menyerang persoalan metafisika, khususnya metafisika al-Farabi dan
Ibn Sina yang neo-platonisme, tidak menyerang intinya, yaitu
pemikiran epistemologisnya. Sebab, dibagian lain, al-Ghazali tetap
mengakui pentingnya logika dan epistemologi dalam pemahaman dan
penjabaran ajaran-ajaran agama.34 Bahkan, dalam al-Mustashfâ,
sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan
11

epistemologi filsafat, yakni burhani, untuk melandingkan doktrin dan


gagasannya.35
Kedua, bahwa tuduhan al-Ghazali terhadap doktrin al-Farabi dan
Ibn Sina tidak sepenuhnya tepat. Dalam tulisannya, al-Ghazali menilai
bahwa ajaran al-Farabi dan Ibn Sina, juga para filosof lain yang
senada, telah jatuh dalam kekufuran, karena mengajarkan tentang
keqadiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan Tuhan
terhadap hal-hal yang partikular (juz’iyat). Padahal, kedua tokoh
filosof muslim ini sebenarnya tidak menyatakan persis seperti yang
dituduhkan. Tentang keqadiman alam misalnya, apa yang dimaksud
dengan qadim adalah karena alam tidak muncul dalam waktu
tertentu. Apa yang disebut sebagai ‘waktu’ atau ‘zaman’ muncul
bersamaan dengan alam. Tidak ada istilah waktu atau zaman
sebelum munculnya alam. Kebersamaan alam dengan waktu, atau
tidak didahuluinya alam oleh waktu tertentu inilah yang dimaksud
qadim oleh para filosof. Dan keqadiman alam ini tetap tidak sama
dengan keqadiman Tuhan, karena Tuhan qadîm bi dzatihi, qadim
dengan diri-Nya sendiri tanpa berhubungan dengan ruang dan waktu
atau yang lain. Dengan kata lain, keqadiman alam hanya
berhubungan dengan waktu tetapi ia hadits (temporal) dibanding
keqadiman Tuhan. Disini telah terjadi salah faham atau perbedaan
pengertian tentang istilah-istilah yang digunakan antara al-Ghazali
dengan para filosof.36
Ketiga, tentang penilaian al-Ghazali pada al-Farabi dan Ibn Sina
dalam kaitannya dengan Aristoteles. Dalam al-Munqid, al-Ghazali
membagi filsafat Yunani dalam bagian; materialisme (dahriyûn),
naturalisme (thabî’iyyûn) dan theisme (ilâhiyyûn). Kelompok
materialisme adalah mereka yang mengingkari Sang Pencipta (Tuhan)
seraya menyatakan bahwa semesta wujud dengan sendirinya.
Golongan ini dianggap sebagai tidak beragama. Ini mungkin ditujukan
pada para filosof Yunani purba, seperti Thales (625-545 SM),
Anaximandros (610-547 SM), Anaximenes (585-528 SM) dan
Heraklitos (540-480 SM), yang pada prinsipnya menyatakan bahwa
semesta ini tersusun atas unsur alam sendiri, yakni air, udara, api dan
tanah, bukan oleh Sang Pencipta. Golongan naturalisme adalah
mereka yang menyakini kekuatan material dan bahwa apa yang telah
mati tidak akan kembali, sehingga tidak ada hari kebangkitan dan
pembalasan. Ini kiranya ditujukan pada tokoh seperti Demokritos
(460-360 SM) dan para filosof Ionia yang hanya menyakini eksistensi
material. Kelompok theisme adalah para filosof yang lebih modern
yang menyakini Sang Pencipta, seperti Socrates, Plato (427-347 SM),
Aristoteles dan –menurut al-Ghazali— al-Farabi serta Ibn Sina sebagai
pengikutnya.37
Penilaian atau pengklasifikasian al-Ghazali tersebut tidak
sepenuhnya benar. Betul bahwa al-Farabi adalah pengikut Aristoteles
sehingga dianggap sebagai tokoh paripatetik muslim, tetapi ia
agaknya hanya mengambil dan mengembangkan aspek logikanya
belaka seperti yang dapat dilihat pada bagian epistimologi burhani.
12

Gagasan metafisikanya yang kemudian dianggap menyimpang dari


ajaran Islam dikembangkan dari ajaran neo-platonisme, bukan dari
Aristoteles. Itulah sebabnya kenapa Ibn Rusyd (1126-1198 M) juga
mengkritik al-Farabi telah menyimpang dari ajaran Aristoteles.38
Dengan demikian, serangan al-Ghazali terhadap metafisika filsafat
Islam lebih karena adanya perbedaan paham, dan al-Ghazali sendiri
tidak bermaksud menolak filsafat sama sekali. Sayangnya,
kebanyakan kita telah bersikap apriori dan ikut-ikutan menolak filsafat
secara keseluruhan, sehingga tidak mampu berkembang. Berkaitan
dengan hal ini ada statemen Fazlur Rahman yang menarik untuk
direnungkan,
“Filsafat adalah alat intelektual yang terus menerus
diperlukan. Untuk itu, ia harus diperbolehkan untuk
bekembang secara alamiah, baik untuk pengembangan
filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan disiplin-
disiplin keilmuan yang lain. Hal ini dapat dipahami, karena
filsafat menanamkan kebiasaan dan melatih akal pikiran
untuk bersikap kritis-analitis dan mampu melahirkan ide-
ide segar yang sangat dibutuhkan. Ia, dengan demikian,
menjadi alat intelektual yang sangat penting untuk ilmu-
ilmu yang lain, tidak terkecuali agama dan teologi. Karena
itu, orang yang menjauhi dan menolak filsafat dapat
dipastikan akan mengalami kekurangan energi dan ide-ide
segar. Lebih dari itu, ia berarti telah melakukan bunuh diri
intelektual”.39

Penutup
Pasca jatuhnya dinasti Bani Abbas di Baghdad oleh tentara
Mongol tahun 1258 M, pemikiran dan peradaban Islam sesungguhnya
masih bertahan beberapa lama. Antara lain, di Spanyol, Mesir dan
Syafawi di Asia Tengah. Akan tetapi, memasuki abad ke 15 M,
keilmuan dan dinasti besar Islam benar-benar habis, kecuali dinasti
Utsmaniyah di Turki. Masyarakat Islam menjadi sangat merosot dan
sebagian besar jatuh dalam penjajahan Eropa. Karena itu, tulisan ini
tidak akan memperjang uraian tersebut.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa perjalanan panjang
sejarah Islam tidak lepas dari pengaruh kepentingan politik,
perbedaan-perbedaan paham dan ideologi, konteks kebudayaan
sekitar dan seterusnya. Tidak terkecuali dalam hal ini sejarah
perkembangan teologi, pemikiran, doktrin-doktrin keagamaan dan
lainnya yang sekilas bersifat ideal dan normative. Karena itu, kita
tidak bisa secara langsung mengambil doktrin-doktrin ajaran lepas
dari koteksnya. Begitu pula, kita tidak bisa membaca teks-teks
keagamaan tanpa memperhatikan situasi politik dan social yang
mengintarinya. Wallahu a’lam.
**
Disampaikan dalam acara short-course kajian keislaman di Lembaga Kajian al-Qur’an dan Sains (LKQS)
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, tanggal 1-2 Desember 2007.
1
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta, Kota Kembang, 1989), 34-37.
2
Syibli Nukman, Umar Yang Agung, (Bandung, Pustaka, 1981), 264-276
3
A Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung, Rusyda, 1987), 87. Tentang perubahan gelar khalifah Ustman dan
reaksi shahabat, lihat Mahmoud Ayub, The Crisis of Muslim History, (Bandung, Mizan, 2004).
4
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, 58-62. Untuk perkembangan awal empat aliran teologi
Islam ini, lihat Louis Gardet dan Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dini, I, (Beirut, Dar al-Ilmi, 1987), 50 dan seterusnya
5
Hasan Ibrahim Hasan, ibid, 91; Harun Nasution, Islam di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, I, (Jakarta, UI Press,
1985), 62
6
Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, 2, (Jakarta, Pustaka al-Husna, 1987), 90-91
7
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam Tinjauan Kritis, (Yogya, Tiara Wacana, 1990), 27-8
8
Uraian secara detail tentang tragedy Karbala ini, lihat Sayyid Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, (Bandung,
Pustaka Hidayah, 1989).
9
Uraian lengkap tentang hal ini, lihat Louis Gardet dan Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dini, I, (Beirut, Dar al-Ilmi,
1987), 70 dan seterusnya
10
O Hasem, Saqifah Awal Perselihan Umat, (Lampung, YAPI, 1987). Lihat juga semua buku sejarah kodifikasi
hadis.
11
Al-Ghazali, “al-Munqidz min al-Dlalâl”, dalam Majmûah Rasâil, (Beirut, Dar al-Fikr, 1996), 548
12
Watt, Kejayaan Islam Tinjauan Kritis, 104
13
Ibid, 68
14
Renan, Averroes et l’Averroeisme, (Paris, 1887), 88; Duhem, Le systeme du monde, (Paris, 1917), 321,
sebagaimana dikutip Ibrahim Madkur, Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi, (Jakarta, Rajawali Press, 1996), 11; Oliver
Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah, (Jakarta, Rajawali Pres, 1988), 8.
15
Sabra, “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar”, dalam Jurnal al-Hikmah,
(edisi 6, Oktober 1992), 90.
16
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (New York, Martin Press, 1986), 363. Watt mencatat bahwa sebelum Hunain
ibn Ishaq, penterjemahan karya-karya Yunani ini umumnya dilakukan dari edisi bahasa Syiria, sementara Hunain ibn Ishaq
langsung menterjemahkan dari bahasa Yunani. Lihat, MM. Watt, Islamic Philosophy and Theology, (Edinburg, Edinburg
University Press, 1992), 38. Ini pula yang menjadi catatan al-Ghurabi tentang banyaknya karya filsafat Yunani yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab bercampur dengan pandangan Neo-Platonis Kristen Syiria. Lihat Ali Musthafa al-
Ghurabi, Târikh al-Firâq al-Islami, (Kairo, Maktabah wa Mathba`ah, tt), 128-9.
17
Louis Gardet Falsafah al-Fikr al-Dîni, II, 76; Ahmad Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1974), 53-
56; Watt, Pemikiran Teologi & Filsafat Islam, (Jakarta, P3M, 1979), 73-86.
18
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9; Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”, dalam
Jurnal al-Hikmah, (edisi 4, Februari 1992), 56.
19
Lihat antara lain, Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 8; Louis Gardet Falsafat al-Fikr al-Dini, 77; CA.
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1991), 30; al-Jabiri, Takwîn al-Aql
al-Arabi, (Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), 57.
20
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9. Lihat pula, Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif
Sejarah, (Jakarta, P3M, 1987), 4-8.
21
Selain berdasarkan renungan atas teks-teks suci, menurut Gardet, persoalan teologis ini juga didorong oleh
adanya polemik antara Kriten dan Yahudi di Syiria saat itu. Masalah yang dibahas , antara lain, adalah soal kebebasan dan
keterpaksaan manusia (taqdir) dan soal al-Qur`an sebagai firman yang tidak ciptakan. Kaum muslimin ikut terlibat dalam
kajian rumit ini dan berusaha membela dan mempertahankan doktrinya dari serangan luar, sehingga pembahasan kalâm
(teologi Islam) bersifat apologis. Sampai perkembangannya yang cukup jauh, sifat apologis tersebut ternyata belum juga
hilang. Lihat Machasin, Kelahiran dan Pertumbuhan Ilmu Teologi, makalah pengantar pada mata kuliah studi ilmu teologi,
pada semester I program pascasarjana (S-2), IAIN Yogya, 1997, tidak diterbitkan.
22
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 10.
23
Lebih detail tentang masalah ini, lihat al-Hasan dan Donald Hill, Teknologi dalam Sejarah Islam, (Bandung,
Mizan, 1993).
24
Nama lengkapnya Ahmad ibn Yahya ibn Ishaq al-Rawandi, lahir di Rawan, dekat Isfahan, tahun 825 M, dari
keturunan Yahudi. Kapan meninggalnya tidak diketahui pasti, tetapi menurut Ibrahim Madkur, Ibn Rawandi pernah
berhubungan dengan kaum Muktazilah dan dianggap sebagai salah satu muridnya yang paling cerdas, sebelum kemudian
balik menyerang Muktazilah. Ibn Rawandi termasuk tokoh yang masih asing dalam discorsus filsafat Islam. Lihat Ibrahim
Madkur, Filsafat Islam Metode dan Penerapannya, (Jakarta, Rajawali, 1996), 104.
25
Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi, lahir di Ray, Persia, tahun 865 M. dan meninggal
di Baghdad tahun 925 M. Selain filosof, ia dikenal juga sebagai dokter dan ahli kimia. Tentang riwayat hidupnya, lihat MM.
Syarif, Para Filosof Muslim, 31; Natsir Arsyad, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah, (Jakarta, Srigunting, 1995), 88.
26
Lihat Syarif, Para Filosof Muslim, 47; Ibrahim Madkur, Filsafat Islam, 109-118; Hasyim Hasan, Al-Asâs al-
Manhajiyah Libina al-Aqidah al-Islâmiyah, (Kairo, Dar al-Fikr, tt), 71. Disampin kedua tokoh diatas, Husaen Nashr
menyebut tokoh lain sebagai ingkar kenabian, yakni Ahmad ibn Thayib al-Syarkhasi, hidup antara tahun 833-899 M.
Awalnya ia adalah murid utama al-Kindi dan guru khalifah al-Mu`tadhid (892-902 M) kemudian berubah menjadi orang
yang durhaka kepada kenabian Muhammad saw. Lihat Husain Nahr, Tiga Pemikir Islam, terj. A. Mujahid, (Bandung,
Risalah, 1986), 7.
27
George N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, (Bandung, Pustaka, 1983), 4.
28
Al-Ghazali, al-Munqidz, 560
29
Atiyeh, Al-Kindi, 7.
30
Watt, Pemikiran Teologi, 100
31
Al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, edit dan catatan kaki oleh Sulaiman Dunya, (Mesir, Dar al-Maarif, 1966). Kitab
ini diselesaikan pada 11 Muharram 488 H/ 21 Januari 1095 M. Dalam kitab ini diuraikan 20 persoalan filsafat yang
dianggap merupakan bid’ah, yang tiga diantaranya bahkan merupakan kekufuran bagi penganutnya.
Tentang al-Munqid, lihat al-Ghazali, al-Munqid min al-Dlalâl, (Bairut, Al-Maktabah al-Sab’iyah, tt) yang diedit
dan diberi catatan kaki oleh Mustafa Abu al-Ula. Kitab ini ditulis sekitar lima tahun sebelum kematian al-Ghazali, setelah ia
mengalami krisis epistemologi --bukan krisis keyakinan-- dan setelah kembali mengajar di perguruan tinggi Al-Maimunah
al-Nidlamiyah di Naisabur, Lihat Osman Bakar, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani L, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1995), 51.
32
Hasan Hanafi, Al-Yasar Islâmî, (Kairo, Hilyubulis, 1981)
33
Diskusi menarik soal ini, lihat Jabiri, Tragedi Intelektual Perselingkuhan Politik dan Agama, (Yogya, Pustaka
Alif, 2003), 217 dan seterusnya
34
Al-Ghazali, al-Munqid, 49.
35
Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), 438.
36
Lebih jelas tentang tiga masalah ini, juga 17 masalah lain yang dianggap bid’ah oleh al-Ghazali lihat cacatan kaki
yang diberikan Sulaiman Dunya dalam Tahafutnya al-Ghazali diatas. Lihat pula, Abbad Mahmud Aqqad, Filsafat
Pemikiran Ibn Sina, (Solo, Pustaka Mantiq, 1988), 100-105; Khudori Soleh, Kegelisahan Al-Ghazali Sebuah Otobiografi
Intelektual, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997), 32-c.
37
Khudori Soleh, Ibid, 28-30.
38
Ketidaktepatan klasifikasi ini bisa disebabkan oleh ketidakcermatan al-Ghazali sendiri, atau bisa juga karena
kesalahan umum saat itu. Yakni, bahwa kajian para filosof terhadap Aristoteles tidak dilakukan secara langsung atas
karyanya sendiri tetapi telah melalui penafsiran neo-platonisme, sehingga apa yang diduga sebagai pemikiran Aristoteles
sebenarnya telah tercampuri oleh ide-ide neo-platonisme. Lihat Nurchalis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, 24.
39
Amin Abdullah, “Pengantar” dalam Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogya, Pustaka Pelajar, 2004),
viii

You might also like