You are on page 1of 8

GEOMORFOLOGI REGIONAL SEMARANG

Menurut Nugroho dan Dwiyanto (1998), secara geomorfologi Kota


Semarang dan sekitarnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa satuan, yang
secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Satuan Dataran Pantai
Satuan ini menyembur secra lateral mulai dari bagian timur
sampai barat sepanjang pantai dengan lebar berkisar 500 m- 1000 m.
Sbagian besar satuan ii digunakan sebagai areal budidaya tambak,
tanaman bkau dan jika difungsikan areal ini akan berubah menjadi rawa
yang dipengaruhi proses pasang surut. Elevasi satuan ini berkisar dari
0.50 m 1.50 m dengan kelerengan dari 3%.
2. Satuan Dataran Aluvial
Satuan ini mempunyai penyebaran dari bagian timur Trimulya,
Bangetayu, Pedurungan Tengah kemudian ke arah barat tengah kota di
Mluyu Barat, Widiharjo, Karangturi, dan Wonodri. Di bagian barat
melampar dari panggung, Tambakharjo, tugurejo, dan mangkang. Satuan
ini mempunyai elevasi 1 m – 5 m dengan kelerengan 3 - 4 %.
3. Satuan Dataran Limpasan Banjir
Satuan geomorfologi ini menyisip pada satuan dataran pantai dan
dataran aluvial, yaitu sepanjang aliran sungai di wilayah Semarang Timur,
Semarang Utara dan sebagian wilayah Semarang Barat. Di bagian
tenggara dijumpai Kali Pengkol. Satuan ini berelevasi 0.5 m – 1.5 m.
4. Satuan Perbukitan Lereng Curam
Satuan ini disebut juga sebagai satuan perbukitan sedimen
vulkanik Karanganyar Gunung – karang Kumpul dengan kelerengan 3 –
10 % dan elevasi 25 m – 150 m m diatas permukaan air laut.
5. Satuan Perbukitan Bergelombang
Satuan perbukitan lereng sedang ini melampar di sekitar Gunung
pasepan, Gunung Bubak dan Tinjomoyo dengan kelerengan 15 –30 %
serta elevasi 100 m – 150 m.
6. Satuan Dataran Tinggi
Satuan ini juga disebut juga Plato dengan penyebaran disekitar
wilayah Banyumanik, Gunungpati dan Mijen. Kelerengan satuan ini
kurang dari 15% dengan elevasi 150 m – 300 m.
Sungai yang ada di daerah Semarang dan sekitarnya membentuk pola radial
dari Gunung Ungaran yang ada pada akhir bermuara ke laut jawa melalui Kali
Garang, Kali Kreo, Kali Kripik, Kali Bade, Kali Lana dan Kali Pengkol.
Morfologi daerah studi berdasarkan pada bentuk topografi dan kemiringan
lerengnya dapat dibagi menjadi 7 (tujuh) satuan morfologi yaitu:

1. Dataran

Merupakan daerah dataran aluvial pantai Dan sungai dan setempat di


bagian baratdaya merupakan punggungan lereng perbukitan, bentuk lereng
umumnya datar hingga sangat landai dengan kemiringan lereng medan antara 0 -
5% (0-3°), ketinggian tempat di baruan utara antara 0 - 25 m dpl dan di baguan
baratdaya ketinggiannya antara 225 - 275 m dpl. Luas penyebaran sekitar 164,9
km² (42,36%) dari seluruh daerah studi.

2. Daerah Bergelombang

Satuan morfologi ini umumnya merupakan punggungan, kaki bukit dan


lembah sungai, mempunyai bentuk permukaan bergelombang halus dengan
kemiringan lereng medan 5 - 10% (3-9°), ketinggian tempat antara 25 - 200 m
dpl. Luas penyebarannya sekitar 68,09 km2. (17,36%) dari seluruh daerah studi.
3. Pebukitan berlereng landai

Satuan morfologi ini merupakan kaki dan punggungan perbukitan,


mempunyai bentuk permukaan bergelombang landai dengan kemiringan lereng
10 - 15 % dengan ketinggian wilayah 25 - 435 m dpl. Luas penyebaran sekitar
73,31 km2 (18,84%) dari seluruh daerah pemetaan.

4. Pebukitan belereng Agak Terjal

Satuan morfologi ini merupakan lereng dan puncak perbukitan dengan


lereng yang agak terjal, mempunyai kemiringan lereng antara 15 - 30%,
ketinggian tempat antara 25 - 445 m dpl. Luas penyebarannya sekitar 57,91Km2
(14,8%) dari seluruh daerah studi.

5. Perbukitan Berlereng Terjal

Satuan morfologi ini merupakan lereng dan puncak perbukitan dengan


lereng yang terjal, mempunyai kemiringan lereng antara 30 - 50%, ketinggian
tempat antara 40 - 325 m dpl. Luas penyebarannya sekitar 17,47 Km2 (4,47%)
dari seluruh daerah studi.

6. Perbukitan Berlereng Sangat Terjal

Satuan morfologi ini merupakan lereng bukit dan tebing sungai dengan
lereng yang sangat terjal, mempunyai kemiringan lereng antara 50 - 70%,
ketinggian tempat antara 45 - 165 m dpl. Luas penyebarannya sekitar 2,26 Km2
(0,58%) dari seluruh daerah studi.

7. Perbukitan Berlereng Curam

Satuan morfologi ini umumnya merupakan tebing sungai dengan lereng


yang curam, mempunyai kemiringan >70%, ketinggian tempat antara 100 - 300 m
dpl. Luas penyebarannya sekitar 6,45 Km2 (1,65%) dari seluruh daerah studi.
Penggunaan lahan di wilayah Kotamadya Semarang terdiri dari wilayah
terbangun (Build Up Area) yang terdiri dari pemukiman, perkantoran perdagangan
dan jasa, kawasan industri, transportasi. Sedangkan wilayah tak terbangun terdiri dari
tambak, pertanian, dan kawasan perkebunan dan konservasi.

Secara Geomorfologi, Kota Semarang dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)


satuan morfologi, yaitu:

• Daerah Rendah (Low Land Area).

Dataran rendah membentang sejajar garis pantai Laut Jawa, dengan


lebar 2,5 km - 10 km, dengan ketinggian tempat < 10 m di atas permukaan air
laut. Daerah ini membentuk kawasan luapan banjir pada sisi sungai dengan
aluvial hidromorf yang berupa kerikil, pasir, lanau dan lempung. Pertemuan
dengan garis pantai, endapan aluvial membentuk delta berupa pasir, lanau dan
lempung. Akibat gelombang dan pasang surut air laut, maka endapan tersebut
menyebar ke arah Timur Laut dan Barat Daya, dan membuat garis pantai
semakin maju.

• Dataran Tinggi (High Land Area),

Daerah Dataran Tinggi merupakan bagian Satuan Wilayah Sungai Kali


Garang yang berhulu di Kaki Gunung Ungaran. Anak sungai berpola
meranting, dan masih terus mengikis tegak lurus kebawah kearah hulu dengan
kuat, membentuk daerah yang mempunyai derajat erosi yang tinggi dan luas.

• Dataran Antara (Plateau dan Perbukitan).

Daerah antara, terletak diantara Daerah rendah dan Daerah Tinggi.


Morfologi daerah antara ini, umumnya berupa daerah perbukitan dengan
kelerengan yang sedang hingga terjal, dan dibeberapa tempat dijumpai
perbukitan yang berbentuk plateau.
Secara geomorfologis kawasan pantai Kota Semarang merupakan pantai
berelief rendah yang tersusun oleh endapan aluvium pantai marin dan rawa.
Karakteristik garis pantai merupakan pantai dataran lumpur, pantai berpasir dan
pantai berbatuan yang terbentuk baik secara alamiah, maupun akibat adanya
interaksi dengan manusia. Sebagai dataran rendah yang secara alami selalu
menerima material-material endapan hasil kiriman dari erosi maka akan timbul
gejala pencairan tanah yang dapat menyebabkan pemadatan dan amblesan pada
permukaan tanah.

Sumber : Sri Astuti, MT1

Angka Sudut Kelerengan dan Gerak Massa


Topografi Kota Semarang terdiri dari daerah pantai, dataran rendah dan
perbukitan. Adanya daerah-daerah tersebut menjadikan Kota Semarang memiliki
wilayah yang disebut sebagai kota bawah dan kota atas. Topografi Kota
Semarang menunjukkan adanya berbagai macam kemiringan dan tonjolan
(relatif) kemiringan antara 0% sampai 2% (0 - 2%), sedangkan dibagian selatan
yang merupakan daerah dataran tinggi memiliki kemiringan yang sangat
bervariasi, yaitu antara 2 - 40%. Dataran pantai mempunyai ketinggian antara 0 –
0,75 m dpl dan meliputi sekitar 1% dari wilayah Kota Semarang. Daerah
Simpanglima dan pusat kota mempunyai ketinggian antara 0,75 – 3,50 m dpl,
dari perbukitan atau dataran tinggi yang meliputi kawasan Jatingaleh, 259 m dpl
dengan luas sekitar 60%. Diantara kawasan perbukitan tersebut wilayah
Gunungpati sebelah barat merupakan kawasan tertinggi di wilayah Kota
Semarang. Selain itu terdapat juga kawasan tanah bergerak.
Gerakan Tanah

Dari hasil analisis kemantapan lereng diketahui bahwa tanah pelapukan


batu lempung mempunyai sudut lereng kritis paling kecil yaitu 14,85°. pelapukan
napal sudut lereng kritisnya adalah 19,5° , Pelapukan batu pasir tufaan
mempunyai sudut lereng kritis 20,8° dan pelapukan breksi sudut lereng kritisnya
23,5°.

Berdasarkan analisis di atas maka daerah Kotamadya Semarang dapat


dibagi menjadi 4 zona kerentanan gerakan tanah, yaitu Zona Kerentanan Gerakan
Tanah sangat Rendah, Rendah, Menengah dan Tinggi.

1. Zona Kerentanan Gerakan Tanah Sangat Rendah

Daerah ini mempunyai tingkat kerentanan sangat rendah untuk


terjadi gerakan tanah. Pada zona ini sangat jarang atau tidak pernah terjadi
gerakan tanah, baik gerakan tanah lama maupun gerakan tanah baru,
terkecuali pada daerah tidak luas di sekitar tebing sungai.

Merupakan daerah datar sampai landai dengan kemiringan lereng


alam kurang dari 15 % dan lereng tidak dibentuk oleh endapan gerakan tanah,
bahan timbunan atau lempung yang bersifat mengembang.

Lereng umumnya dibentuk oleh endapan aluvium (Qa), batu pasir


tufaan (QTd), breksi volkanik (Qpkg), dan lava andesit (Qhg).

Daerah yang termasuk zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah


sebagian besar meliputi bagian utara Kodya Semarang, mulai dari Mangkang,
kota Semarang, Gayamsari, Pedurungan, Plamongan, Gendang,
Kedungwinong, Pengkol, Kaligetas, Banyumanik, Tembalang, Kondri dan
Pesantren, dengan luas sekitar 222,8 Km2 (57,15%) dari seluruh daerah studi
2. Zona Kerentanan Gerakan Tanah Rendah

Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan rendah untuk terjadi


gerakan tanah. Umumnya pada zona ini jarang terjadi gerakan tanah jika tidak
mengalami gangguan pada lereng dan jika terdapat gerakan tanah lama,
lereng telah mantap kembali. Gerakan tanah berdimensi kecil mungkin dapat
terjadi, terutama pada tebing lembah (alur) sungai.

Kisaran kemiringan lereng mulai dari landai (5 - 5%) sampai sangat


terjal (50 - 70%). Tergantung pada kondisi sifat fisik dan keteknikan batuan
dan tanah pembentuk lereng. Pada lereng terjal umumnya dibentuk oleh tanah
pelapukan yang cukup tipis dan vegetasi penutup baik cukup tipis dan
vegetasi penutup baik, umumnya berupa hutan atau perkebunan.

Lereng pada umumnya dibentuk oleh breksi volkanik (Qpkg), batu


pasir tufaan (QTd), breksi andesit (Qpj) dan lava (Qhg).

Daerah yang termasuk zona ini antara lain Jludang, Salamkerep,


Wonosari, Ngaliyan, Karangjangkang, Candisari, Ketileng, Dadapan, G.
Gajahmungkur, Mangunsari, Prebalan, Ngrambe, dan Mijen dengan luas
penyebaran 77,00 km2 (19,88%) dari luas daerah studi.

3. Zona Kerentanan Gerakan Tanah Menengah

Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan menengah untuk terjadi


gerakan tanah. Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah terutama pada daerah
yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir tebing jalan atau jika lereng
mengalami gangguan. Gerakan tanah lama dapat aktif kembali akibat curah
hujan yang tinggi.

Kisaran kemiringan lereng mulai dari landai (5 - 15%) sampai


sangat terjal (50 - 70%). Tergantung pada kondisi sifat fisik dan keteknikan
batuan dan tanah sebagai material pembentuk lereng. Umumnya lereng
mempunyai vegetasi penutup kurang.

Lereng pada umumnya dibentuk oleh batuan napal (Tmk),


perselingan batu lempung dan napal (Tmkl), batu pasir tufaan (QTd), breksi
volkanik (Qpkg), lava (Qhg) dan lahar (Qpk).

Penyebaran zona ini meliputi daerah sekitar Tambakaji, Bringin,


Duwet, Kedungbatu, G. Makandowo, Banteng, Sambiroto, G. Tugel, Deli,
Damplak, Kemalon, Sadeng, Kalialang, Ngemplak dan Srindingan dengan
luas sekitar 64,8 Km2 (16,76%) dari seluruh daerah studi.

4. Zona Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi

Daerah yang mempunyai tingkat kerentanan tinggi untuk terjadi


gerakan tanah. Pada zona ini sering terjadi gerakan tanah, sedangkan gerakan
tanah lama dan gerakan tanah baru masih aktif bergerak akibat curah hujan
tinggi dan erosi yang kuat.

Kisaran kemiringan lereng mulai landai (5 - 15%) sampai curam


(>70%). Tergantung pada kondisi sifat fisik dan keteknikan batuan dan tanah.
Vegetasi penutup lereng umumnya sangat kurang.

Lereng pada umumnya dibentuk oleh batuan napal (Tmkl),


perselingan batu lempung dan napal (Tmk), batu pasir tufaan (QTd) dan
breksi volkanik (Qpkg).

Daerah yang termasuk zona ini antara lain: Pucung, Jokoprono,


Talunkacang, Mambankerep, G. Krincing, Kuwasen, G. Bubak, Banaran,
Asinan, Tebing Kali Garang dan Kali Kripik bagian tengah dan selatan,
Tegalklampis, G. Gombel, Metaseh, Salakan dan Sidoro dengan luas
penyebaran sekitar 23,6 km2 (6,21%) dari seluruh daerah studi.

Sumber : Djadja, Bustami Usman, dan Sugalang

You might also like