You are on page 1of 4

0109

Perpustakaan Digital Sebagai


Pemenuhan Kebutuhan Masyarakat Masa Kini
“Akrab dengan Perpustakaan Digital”
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Manusia memiliki peradaban yang mengubah kehidupan primitif masa lalu. Peradaban tersebut sangat dikenal luas
bermula dari bangsa Sumeria yang telah mengenalkan tulisan meskipun belum pada media kertas. Tanpa tulisan,
manusia tidak dapat dikatakan memiliki peradaban hingga sekarang. Lambat laun, manusia menemukan material
tahan lama, efektif, dan efisien untuk dijadikan media berisi informasi/ilmu pengetahuan atau minimal pengalaman
seseorang (penulis) yang disampaikan kepada orang lain (pembaca).
Media yang dikenal sebagai buku itu mengalami masa pasang surut sehubungan dengan isi yang terdapat di
dalamnya. Jika kita pernah mendengar cerita tentang Laut Hitam, itu adalah bukti nyata betapa buku memiliki kekuatan
yang luar biasa bahkan mewarnai sejarah bangsa-bangsa di dunia. Buku, pada dasarnya merupakan kumpulan kertas
berisi pesan yang hendak diungkapkan penulis buku tersebut. Tentu saja banyak yang bisa didapat dari buku. Dengan
demikian, buku merupakan sarana penting bagi orang yang senantiasa mengembangkan dirinya dengan mencari
informasi sebanyak-banyaknya.
Buku, juga tentu saja memiliki keterbatasan. Kondisi geografis, ekonomi, sosial, dan buaya seseorang bisa saja
membatasi orang tersebut mendapatkan buku. Terciptalah perpustakaan yang memberi solusi atas keterbatasan
tersebut. Pengelolanya biasa disebut pustakawan yang idealnya merupakan lulusan sekolah tinggi bidang
perpustakaan, namun tidak menutup kemungkinan jika yang ditemui di lapangan tidak demikian. Asalkan bisa
mengelola perpustakaan dengan baik dan bermodalkan jiwa sosial, siapa pun bisa mengembangkan perpustakaan.
Perpustakaan tentu saja memiliki keberadaan yang sangat penting bagi dunia akademik. Setiap penugasan dari
guru/dosen di bangku sekolah/kuliah pasti memerlukan sumber informasi yang bisa didapat dari buku-buku yang ada di
perpustakaan. Mengunjungi perpustakaan dan membaca buku dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang dimiliki
siswa. Idealnya, tak hanya kaum akademis yang membutuhkan buku. Masyarakat umum pun sebenarnya
membutuhkan hanya saja kurang peduli. Contohnya, seorang petani yang bukan sarjana pertanian bisa saja
menemukan cara terbaik agar ia bisa memanen padi empat kali dalam setahun jika ia membaca buku-buku pertanian.
Sayangnya, Indonesia masih belum memiliki angka nol persen untuk buta huruf. Akibatnya, perpustakaan identik
dengan sekolah, pelajar, kaum intelek, dan orang-orang yang memiliki kepentingan di bidang akademis semata.
Sekitar tahun 1822, bangsa Barat mulai memperkenalkan teknologi komputer. Menyusul kemudian tahun 1969
ditemukan teknologi berupa jaringan yang bisa menghubungkan seseorang dengan orang lain yang memiliki jarak luar
biasa jauhnya dengan memanfaatkan media elektronik komputer. Kita mengenalnya dengan istilah internet. Dengan
internet, semua informasi bisa didapat dengan mudah dan murah bagi sebagian kalangan. Tak hanya memengaruhi
pola komunikasi manusia dalam artian sempit (seseorang bisa berkomunikasi dengan orang lain yang jutaan kilometer
jauh dengannya), internet juga berdampak pada kebiasaan manusia dalam mencari informasi. Kemudahan dalam
mengunduh bahan yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah/kuliah menjadi prioritas utama sebagian
siswa/mahasiswa dibandingkan mengunjungi perpustakaan dan membuka buku.
Memang tidak semua kalangan telah menikmati kemudahan internet memberikan informasi. Akan tetapi, ibarat
media massa cetak (koran/suratkabar, tabloid, dan majalah) yang tergerus dengan munculnya media massa elektronik
(radio dan televisi) dan media on-line, perpustakaan konvensional akan kalah saing bahkan tidak diminati jika tetap
demikian dan tidak mengikuti perkembangan teknologi. Seyogianya, perpustakaan kini memiliki fasilitas lain yang lebih
memudahkan pengunjung mendapatkan informasi yang ia cari dengan cara yang lebih mudah dan lebih murah, yaitu
dengan membuat perpustakaan digital atau sering juga disebut dengan digital library. Bukan mustahil suatu pengelola
memiliki dua bentuk dari perpustakaan.
1. 2 Permasalahan
Di Indonesia, beberapa perguruan tinggi dan lembaga, baik negara maupun swasta telah memiliki perpustakaan
digital. Akan tetapi, kesulitan-kesulitan untuk mengenalkannya dan mengembangkannya tetap hadir di tengah-tengah
keberadaan perpustakaan digital itu. Di antaranya:
a. Komunikasi masih mahal;
b. Infrastruktur kurang memadai;
c. Aspek birokrasi dan politis;
d. Kondisi sosial masyarakat pengguna informasi; dan
e. Aspek Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
1. 3 Tujuan
Yogyakarta merupakan salah satu daerah istimewa dan lembaga perguruan tinggi tertua ada di sana. Tak jarang,
Yogyakarta dijuluki kota pelajar. Dengan demikian, bukan suatu hal yang mustahil jika perpustakaan tumbuh dan
berkembang di daerah tersebut. Kebutuhan masyarakat akan informasi sangat tinggi, baik masyarakat pendatang
(pelajar dan pengusaha) maupun masyarakat asli/penduduk setempat (sehubungan dengan Yogyakarta sebagai salah
satu kota tujuan bagi para wisatawan). Oleh karena itu, dengan dikemukakannya wacana pengembangan
perpustakaan digital, diharapkan pemerintah provinsi setempat beserta kelompok-kelompok masyarakat dari
pustakawan dapat bekerjasama membangun selanjutnya memperkenalkan secara luas kepada masyarakat mengenai
perpustakaan digital.
1. 4 Landasan Teori
Konsep pengembangan perpustakaan dari digital menuju konvensional didasarkan pada pendekatan ilmu
perkembangan media baru dan ekonomi pemasaran. Dalam perkembangan media baru dikenal istilah inovasi yang
berarti penemuan, revolusi, asli, modernisasi, perbaikan, dan pengembangan. Sedangkan dalam ekonomi pemasaran
terdapat suatu strategi pemasaran agar meningkatkan keuntungan, yakni memberikan layanan yang berbeda kepada
konsumen agar tidak kalah dengan pesaing lain. Dalam hal ini, pengelola perpustakaan saya anggap sebagai
produsen atau pun distributor yang harus memberikan pelayanan semaksimal mungkin kepada konsumennya, yakni
pengunjung/user perpustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Apa dan Bagaimana Perpustakaan Digital Itu?
Vannevar Bush adalah orang pertama yang menggagas adanya perpustakaan digital, tepatnya Juli 1945. Ia
mengeluhkan penyimpanan informasi manual yang menghambat akses terhadap penelitian yang sudah
dipublikasikan. Untuk itu, Bush mengajukan ide untuk membuat catatan dan perpustakaan pribadi (untuk buku,
rekaman/dokumentasi, dan komunikasi) yang termekanisasi. (Understanding Digital Libraries. Michael Lesk, 2005: 1)
Pada awal 1990-an hampir seluruh fungsi perpustakaan ditunjang dengan otomasi dalam jumlah dan cara tertentu.
Fungsi-fungsi tersebut antara lain, pembuatan katalog, sirkulasi, peminjaman antarperpustakaan, pengelolaan jurnal,
penambahan koleksi, kontrol keuangan, manajemen koleksi yang sudah ada, dan data pengguna. Dalam periode ini
komunikasi data secara elektronik dari satu perpustakaan ke perpustakaan lainnya semakin berkembang dengan
cepat. Pada tahun 1994, Library of Congress mengeluarkan rancangan National Digital Library dengan menggunakan
tampilan dokumen elektronik, penyimpanan dan penelusuran teks secara elektronik, dan teknologi lainnya terhadap
koleksi cetak dan noncetak tertentu. Selanjutnya pada September 1995, enam universitas di Amerika diberi dana
untuk melakukan proyek penelitian perpustakaan digital. Penelitian yang didanai NSF/ARPA/NASA ini melibatkan
peneliti dari berbagai bidang, organisasi penerbit dan percetakan, perpustakaan-perpustakaan, serta pemerintah
Amerika sendiri. Proyek ini cukup berhasil dan menjadi dasar penelitian perpustakaan digital di dunia.

 
Sementara itu, perpustakaan digital memiliki beragam definisi. Salah satunya menganggap perpustakaan digital
sebagai suatu perpustakaan yang menyimpan data baik itu buku (tulisan), gambar, maupun suara dalam bentuk file
elektronik dan mendistribusikannya dengan menggunakan protokol elektronik melalui jaringan komputer. Yang lain
menganggap bahwa perpustakaan digital merupakan koleksi informasi yang diorganisir dan ditampilkan dalam bentuk
digital, memberikan kita kekuatan/kemudahan yang tidak kita miliki pada perpustakaan tradisional (“A digital library,
collection of information which is both digitized and organized, gives us power we never had with traditional libraries.”)
(Understanding Digital Libraries. Michael Lesk, 2005: 2)
Hal terpenting adalah kita harus memahami karakteristik perpustakaan digital, yaitu manajemen sumber daya
menggunakan komputer, dan komunikasi serta pemenuhan kebutuhan antara penyedia dengan pengguna informasi
melalui kanal elektronik. Dengan demikian, materi yang disajikan (format konten) dapat berupa artikel, jurnal, white
paper, presentasi, majalah on-line, dan e-book dalam format word, pdf, HTML, dan lain-lain. Sedikit rumit
membayangkannya karena harus mengubah teks buku cetak ke dalam bentuk digital kecuali memiliki softcopy teks
tersebut.
Akan tetapi, banyak kelebihan yang akan dinikmati users dengan adanya perpustakaan digital ini. Di antaranya,
pencarian sumber informasi bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, sama persis dengan karakteristik internet,
bisa disalin tanpa eror, mengeluarkan biaya yang relatif lebih murah (tidak membutuhkan kertas), dan mengurangi
penggunaan ruangan yang semakin terbatas dan mahal. Selain itu, users bisa menikmati informasi dalam bentuk
multimedia, yakni teks, suara, dan gambar. (Understanding Digital Libraries. Michael Lesk, 2005: 2-3)
2.2 Mengapa Belum Banyak Yang Mengadopsi?
Beberapa kelebihan yang ditawarkan perpustakaan digital tampaknya belum terlalu serius diminati oleh lembaga-
lembaga tertentu, terutama lembaga pendidikan. Di Indonesia, baru sebagian kecil yang memiliki perpustakaan digital.
Sebut saja sekolah Bina Nusantara, Jakarta yang telah menerapkan konsep tersebut. Tentu saja hal tersebut
berkaitan dengan kendala yang menghambat berkembangnya perpustakaan digital di Indonesia. Katakanlah lima hal
berikut menjadi kendala kita saat ini; komunikasi masih mahal, infrastruktur kurang memadai, aspek birokrasi dan
politis, kondisi sosial masyarakat pengguna informasi, serta aspek Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
Pertama, komunikasi memang masih mahal bagi sebagian besar kalangan. Pengguna internet di Indonesia
memang tidak lebih banyak daripada orang yang tidak menggunakannya. Akan tetapi, jika kita melihat lebih jauh lagi,
mayoritas pengguna jasa perpustakaan konvensional pun adalah masyarakat yang peduli akan budaya membaca
sehingga kemungkinan besar mereka adalah masyarakat yang melek teknologi. Kedua, infrastruktur kita memang
kurang memadai karena dana keterbatasan dana. Perpustakaan digital memang memerlukan biaya yang sangat
besar pada awal pendiriannya, namun tidak seterusnya. Jika dibandingkan merawat dan mengelola perpustkaan
konvensional dalam kurun waktu tertentu, perpustakaan digital bisa dianggap lebih efisien. Untuk menangani kendala
ini, beberapa lembaga sebaiknya bekerja sama membangun perpustakaan digital agar biaya bisa sedikit ringan.
Ketiga, kendala ini bisa diminimalisir dengan adanya peran pemerintah, baik pusat maupun setempat. Selaiknya
pemerintah memberikan bantuan untuk pembuatan perpustakaan digital dengan proses/birokrasi yang tidak rumit.
Keempat, seperti yang telah dijelaskan pada bagian kendala pertama, masyarakat bisa diajak mempelajari cara
mengakses perpustakaan digital lambat laun. Memang hal tersebut seolah-olah memiliki makna bahwa perpustakaan
digital hanya ditujukan untuk kalangan tertentu. Tanpa dipungkiri hal tersebut memang terjadi karena konsepnya
menggunakan komputer dan internet sebagai alat pendukung. Terakhir, hak kekayaan intelektual masih banyak
menjadi perdebatan dalam pengelolaan perpustakaan digital. Hal terbaik adalah meminta izin kepada pemilik
sumber/meminta izin atas hak cipta.
Bagi kalangan yang sudah mengenal perpustakaan digital, mungkin ada suatu hambatan lain sehingga mereka
malas mengaksesnya, seperti pembedaan fasilitas kepada users. (Effective Library and Information Centre
Management. Jo Bryson Gower. 1994: 127). Biasanya, pelanggan dari suatu perpustakaan digital dibagi ke dalam dua
golongan, yaitu member (anggota) dan nonmember (nonanggota). Anggota biasanya dapat mengakses semua
informasi yang ada dan dapat melakukan transaksi perpustakaan sedangkan yang bukan anggota hanya dapat
melihat isi katalog dan tidak dapat melakukan transaksi perpustakaan (hanya bisa melihat koleksi-koleksi tertentu

 
yang layak untuk diketahui umum). Oleh karena itu, banyak pula mahasiswa yang enggan menggunakan fasilitas
tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Tulisan ini tidak bermaksud menggurui atau pun memaksakan diri agar seluruh lembaga di Indonesia
hendaknya mengganti konsep perpustakaan konvensional (berupa rak-rak) dengan perpustakaan digital. Penulis
pun mengakui bahwa banyak hal yang perlu dipertimbangkan untuk mulai membangun perpustakaan tersebut.
Namun, penulis juga yakin bahwa Yogyakarta merupakan kota maju dengan kondisi sosial masyarakat yang relatif
berpendidikan.
Dengan demikian, bukan suatu masalah besar bagi pemerintah provinsi memberikan fasilitas baru dalam
dunia pendidikan dan fasilitas umum, yaitu mendirikan perpustakaan digital. Tinggal bagaimana pemerintah dan
pengelola tertentu mengelolanya dengan baik. Ada pun pelaksanaannya, perpustakaan yang telah ada
(konvensional) dikembangkan menjadi perpustakaan digital. Jadi, terdapat dua fasilitas yang bisa diberikan. Ada
yang bentuknya masih terletak di dalam suatu gedung atau ruangan, ada juga yang bisa diakses lewat internet.
Mengapa demikian? Karena toh belum semua masyarakat bisa diperlakukan dengan fasilitas yang serba
mengedepankan teknologi.
Maksud dari ditulisnya artikel ini adalah mendorong perkembangan teknologi baru yang
diadopsi/digunakan dalam dunia perpustakaan. Mungkin masyarakat Yogyakarta secara khusus dan masyarakat
Indonesia secara umum belum semuanya siap menerima terpaan demikian. Hanya saja, bagi penulis tidak ada
salahnya jika semuanya itu dipersiapkan dari sekarang karena bisa jadi memerlukan proses yang sangat panjang
untuk menyosialisasikan dan menyukseskan perpustakaan digital. Jika dimulai dari sekarang, bukankah itu lebih
baik?
Ada pun lembaga-lembaga yang telah memiliki fasilitas perpustakaan digital, sebaiknya terus digencarkan
pemanfaatan perpustakaan tersebut. Selain memperkaya kualitas sumber daya manusia, prinsip good service juga
laik diperhatikan. Berikan kemudahan-kemudahan bagi pengakses/users. Hal tersebut bisa mempercepat
tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap hadirnya perpustakaan digital.
3.2 Saran
1. Pemerintah provinsi setempat terus memicu perkembangan perpustakaan digital dengan memberikan
beragam jenis bantuan, misalnya memberikan anggaran dan birokrasi sederhana kepada lembaga yang
hendak membangun perpustakaan digital.
2. Lembaga-lembaga yang telah memiliki perpustakaan digital lebih giat lagi mengembangkan dan
menyosialisasikan perpustakaan tersebut.
3. Masyarakat yang telah mengenal perpustakaan digital dan menjadi pengguna/users diharapkan turut serta
dalam pengembangan perpustakaan digital dengan memberikan kritik/saran terhadap pengelola perpustakaan
yang bersangkutan.
4. Seluruh elemen masyarakat yang memiliki potensi untuk mengembangkan perpustakaan digital, seperti
sarjana Ilmu Informasi dan Perpustakaan dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat dengan ikut
mengembangkan konsep perpustakaan yang masih terbilang baru dan belum tersebar luas di Indonesia ini.

You might also like