Professional Documents
Culture Documents
1
Sementara itu, perpustakaan digital memiliki beragam definisi. Salah satunya menganggap perpustakaan digital
sebagai suatu perpustakaan yang menyimpan data baik itu buku (tulisan), gambar, maupun suara dalam bentuk file
elektronik dan mendistribusikannya dengan menggunakan protokol elektronik melalui jaringan komputer. Yang lain
menganggap bahwa perpustakaan digital merupakan koleksi informasi yang diorganisir dan ditampilkan dalam bentuk
digital, memberikan kita kekuatan/kemudahan yang tidak kita miliki pada perpustakaan tradisional (“A digital library,
collection of information which is both digitized and organized, gives us power we never had with traditional libraries.”)
(Understanding Digital Libraries. Michael Lesk, 2005: 2)
Hal terpenting adalah kita harus memahami karakteristik perpustakaan digital, yaitu manajemen sumber daya
menggunakan komputer, dan komunikasi serta pemenuhan kebutuhan antara penyedia dengan pengguna informasi
melalui kanal elektronik. Dengan demikian, materi yang disajikan (format konten) dapat berupa artikel, jurnal, white
paper, presentasi, majalah on-line, dan e-book dalam format word, pdf, HTML, dan lain-lain. Sedikit rumit
membayangkannya karena harus mengubah teks buku cetak ke dalam bentuk digital kecuali memiliki softcopy teks
tersebut.
Akan tetapi, banyak kelebihan yang akan dinikmati users dengan adanya perpustakaan digital ini. Di antaranya,
pencarian sumber informasi bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, sama persis dengan karakteristik internet,
bisa disalin tanpa eror, mengeluarkan biaya yang relatif lebih murah (tidak membutuhkan kertas), dan mengurangi
penggunaan ruangan yang semakin terbatas dan mahal. Selain itu, users bisa menikmati informasi dalam bentuk
multimedia, yakni teks, suara, dan gambar. (Understanding Digital Libraries. Michael Lesk, 2005: 2-3)
2.2 Mengapa Belum Banyak Yang Mengadopsi?
Beberapa kelebihan yang ditawarkan perpustakaan digital tampaknya belum terlalu serius diminati oleh lembaga-
lembaga tertentu, terutama lembaga pendidikan. Di Indonesia, baru sebagian kecil yang memiliki perpustakaan digital.
Sebut saja sekolah Bina Nusantara, Jakarta yang telah menerapkan konsep tersebut. Tentu saja hal tersebut
berkaitan dengan kendala yang menghambat berkembangnya perpustakaan digital di Indonesia. Katakanlah lima hal
berikut menjadi kendala kita saat ini; komunikasi masih mahal, infrastruktur kurang memadai, aspek birokrasi dan
politis, kondisi sosial masyarakat pengguna informasi, serta aspek Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
Pertama, komunikasi memang masih mahal bagi sebagian besar kalangan. Pengguna internet di Indonesia
memang tidak lebih banyak daripada orang yang tidak menggunakannya. Akan tetapi, jika kita melihat lebih jauh lagi,
mayoritas pengguna jasa perpustakaan konvensional pun adalah masyarakat yang peduli akan budaya membaca
sehingga kemungkinan besar mereka adalah masyarakat yang melek teknologi. Kedua, infrastruktur kita memang
kurang memadai karena dana keterbatasan dana. Perpustakaan digital memang memerlukan biaya yang sangat
besar pada awal pendiriannya, namun tidak seterusnya. Jika dibandingkan merawat dan mengelola perpustkaan
konvensional dalam kurun waktu tertentu, perpustakaan digital bisa dianggap lebih efisien. Untuk menangani kendala
ini, beberapa lembaga sebaiknya bekerja sama membangun perpustakaan digital agar biaya bisa sedikit ringan.
Ketiga, kendala ini bisa diminimalisir dengan adanya peran pemerintah, baik pusat maupun setempat. Selaiknya
pemerintah memberikan bantuan untuk pembuatan perpustakaan digital dengan proses/birokrasi yang tidak rumit.
Keempat, seperti yang telah dijelaskan pada bagian kendala pertama, masyarakat bisa diajak mempelajari cara
mengakses perpustakaan digital lambat laun. Memang hal tersebut seolah-olah memiliki makna bahwa perpustakaan
digital hanya ditujukan untuk kalangan tertentu. Tanpa dipungkiri hal tersebut memang terjadi karena konsepnya
menggunakan komputer dan internet sebagai alat pendukung. Terakhir, hak kekayaan intelektual masih banyak
menjadi perdebatan dalam pengelolaan perpustakaan digital. Hal terbaik adalah meminta izin kepada pemilik
sumber/meminta izin atas hak cipta.
Bagi kalangan yang sudah mengenal perpustakaan digital, mungkin ada suatu hambatan lain sehingga mereka
malas mengaksesnya, seperti pembedaan fasilitas kepada users. (Effective Library and Information Centre
Management. Jo Bryson Gower. 1994: 127). Biasanya, pelanggan dari suatu perpustakaan digital dibagi ke dalam dua
golongan, yaitu member (anggota) dan nonmember (nonanggota). Anggota biasanya dapat mengakses semua
informasi yang ada dan dapat melakukan transaksi perpustakaan sedangkan yang bukan anggota hanya dapat
melihat isi katalog dan tidak dapat melakukan transaksi perpustakaan (hanya bisa melihat koleksi-koleksi tertentu
2
yang layak untuk diketahui umum). Oleh karena itu, banyak pula mahasiswa yang enggan menggunakan fasilitas
tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Tulisan ini tidak bermaksud menggurui atau pun memaksakan diri agar seluruh lembaga di Indonesia
hendaknya mengganti konsep perpustakaan konvensional (berupa rak-rak) dengan perpustakaan digital. Penulis
pun mengakui bahwa banyak hal yang perlu dipertimbangkan untuk mulai membangun perpustakaan tersebut.
Namun, penulis juga yakin bahwa Yogyakarta merupakan kota maju dengan kondisi sosial masyarakat yang relatif
berpendidikan.
Dengan demikian, bukan suatu masalah besar bagi pemerintah provinsi memberikan fasilitas baru dalam
dunia pendidikan dan fasilitas umum, yaitu mendirikan perpustakaan digital. Tinggal bagaimana pemerintah dan
pengelola tertentu mengelolanya dengan baik. Ada pun pelaksanaannya, perpustakaan yang telah ada
(konvensional) dikembangkan menjadi perpustakaan digital. Jadi, terdapat dua fasilitas yang bisa diberikan. Ada
yang bentuknya masih terletak di dalam suatu gedung atau ruangan, ada juga yang bisa diakses lewat internet.
Mengapa demikian? Karena toh belum semua masyarakat bisa diperlakukan dengan fasilitas yang serba
mengedepankan teknologi.
Maksud dari ditulisnya artikel ini adalah mendorong perkembangan teknologi baru yang
diadopsi/digunakan dalam dunia perpustakaan. Mungkin masyarakat Yogyakarta secara khusus dan masyarakat
Indonesia secara umum belum semuanya siap menerima terpaan demikian. Hanya saja, bagi penulis tidak ada
salahnya jika semuanya itu dipersiapkan dari sekarang karena bisa jadi memerlukan proses yang sangat panjang
untuk menyosialisasikan dan menyukseskan perpustakaan digital. Jika dimulai dari sekarang, bukankah itu lebih
baik?
Ada pun lembaga-lembaga yang telah memiliki fasilitas perpustakaan digital, sebaiknya terus digencarkan
pemanfaatan perpustakaan tersebut. Selain memperkaya kualitas sumber daya manusia, prinsip good service juga
laik diperhatikan. Berikan kemudahan-kemudahan bagi pengakses/users. Hal tersebut bisa mempercepat
tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap hadirnya perpustakaan digital.
3.2 Saran
1. Pemerintah provinsi setempat terus memicu perkembangan perpustakaan digital dengan memberikan
beragam jenis bantuan, misalnya memberikan anggaran dan birokrasi sederhana kepada lembaga yang
hendak membangun perpustakaan digital.
2. Lembaga-lembaga yang telah memiliki perpustakaan digital lebih giat lagi mengembangkan dan
menyosialisasikan perpustakaan tersebut.
3. Masyarakat yang telah mengenal perpustakaan digital dan menjadi pengguna/users diharapkan turut serta
dalam pengembangan perpustakaan digital dengan memberikan kritik/saran terhadap pengelola perpustakaan
yang bersangkutan.
4. Seluruh elemen masyarakat yang memiliki potensi untuk mengembangkan perpustakaan digital, seperti
sarjana Ilmu Informasi dan Perpustakaan dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat dengan ikut
mengembangkan konsep perpustakaan yang masih terbilang baru dan belum tersebar luas di Indonesia ini.
3