You are on page 1of 10

Sejarah Keperawatan (Florence Nightingale/1820 - 1910)

Dua bayi perempuan dilahirkan di tengah keluarga William (W.E.N) dan Fanny Nightingale
dalam suatu perjalanan panjang keliling Eropa. Parthenope, anak pertama, lahir di Napoli,
Yunani. Putri kedua diberi nama sesuai dengan nama sebuah kota di Italia, tempat dia dilahirkan
pada tanggal 12-Met 1820: Florence.
Florence Nightingale dibesarkan dalam sebuah keluarga kaya yang tinggal di luar kota London,
dikelilingi pesta-pesta yang terus berlangsung, sebuah rumah musim panas bernama Lea Hurst,
dan tamasya ke Eropa. Tetapi pada tahun 1837, pada usia tujuh belas tabun, dia menulis di buku
hariannya, "Pada tanggal 7 Februari, Tuhan berbicara kepadaku dan memanggilku untuk
melayani-Nya." Tetapi pelayanan apa?

Dia menyadari bahwa dirinya merasa bersemangat dan sangat bersukacita -- bukan karena status
sosial keluarga kaya -- saat dia merawat keluarga-keluarga miskin yang hidup di gubuk gubuk
sekitar Embley, rumah keluarganya.

Pada saat Florence berusia dua puluh empat tahun, dia merasa yakin bahwa panggilannya adalah
merawat orang sakit. Tetapi pada tahun 1840-an, para gadis Inggris terhormat tidak akan bersedia
menjadi perawat. Pada masa itu, perawat tidak melebihi fungsi sebagai pembantu yang
melakukan semua pekerjaan di rumah sakit -- rumah sakit umum (para orang kaya dirawat di
rumah sendiri) -- dan dianggap sebagai peminum atau pelacur.

Tetapi Florence, yang belum menikah dan masih tinggal bersama orang tuanya, merasa hampir
gila karena ketidakproduktifan dan rasa frustrasi. Dia bertanya kepada seorang dokter tamu dari
Amerika, dr. Samuel Howe, "Apakah pantas bagi seorang gadis Inggris mencurahkan hidupnya
untuk menjadi seorang perawat?" Dia menjawab, "Di Inggris, semua yang tidak biasa dianggap
tidak layak. Tetapi bukanlah sesuatu yang tidak mungkin terjadi atau tidak wajar bagi seorang
wanita terhormat bila melakukan suatu pekerjaan yang membawa kebaikan bagi orang lain."

Florence sering bertanya-tanya, mengapa gereja Protestan tidak seperti Catholic Sisters of Charity
-- suatu jalan bagi para wanita untuk mencurahkan hidupnya dengan melayani orang lain. Dr.
Howe menceritakan kepadanya tentang Kaiserworth di Jerman, didirikan oleh Pendeta Theodor
Fliedner. Tempat itu mempunyai rumah sakit yang dilengkapi ratusan tempat tidur, sekolah
perawatan bayi, sebuah penjara berpenghuni dua belas orang, sebuah rumah sakit jiwa untuk para
yatim, sekolah untuk melatih para guru, dan sekolah pelatihan untuk para perawat disertai ratusan
diaken. Setiap kegiatan selalu diikuti dengan doa.

Bahkan sebelum dia memutuskan untuk pergi, dengan semangat tinggi Florence menanggapi
bahwa Kaiserworth adalah tujuannya.

Tahun 1846, Florence melakukan perjalanan ke Roma bersama teman-temannya, Charles dan
Selina Bracebridge. Pada perjalanan ini, dia bertemu dengan Sidney Herbert dan istrinya, Liz.
Mereka adalah orang Kristen yang taat. Kemudian dia menjadi Menteri Perang dan seorang
teman serta pendorong, semangat bagi Florence Nightingale.

Pada bulan Juli 1850, di usianya yang ke-30, akhirnya Florence pergi ke Kaiserworth di Jerman
selama dua minggu. Setahun kemudian, dia pulang ke rumah dan tinggal selama tiga bulan. Dia
pulang dengan sikap baru. Sekarang dia tahu bahwa dirinya harus membebaskan diri dari
kehidupannya yang terkekang.
Tiga tahun kernudian, dia melaksanakan pekerjaan keperawatannya yang pertama sebagai
pengawas di Institute for the Care for Sick Gentle Woman in Distressed Circumstances. Dia
memasukkan pemikiran-pemikiran baru ke dalam institusi itu dan menerapkan beberapa ide yang
revolusioner, seperti pipa air panas ke setiap lantai, elevator untuk mengangkut makanan pasien,
dan para pasien dapat langsung memanggil para perawat dengan menekan bel. Dia juga
menetapkan bahwa institusi tersebut bukan institusi sekte -- menerima semua pasien dari semua
denominasi dan agama. (Komite institusi ini menginginkan agar institusi tersebut hanya
menerima jemaat Gereja Inggris).

Pada tahun 1854, ketika Inggris dan Perancis mengumumkan perang terhadap Rusia untuk
menguasai Crimea dan Konstantinopel -- pintu gerbang menuju Timur Tengah -- Sidney Herbert,
sebagai Menteri Perang, meminta Florence untuk mengepalai sebuah tim perawat bagi rumah
sakit militer di Scutari, Turki. Florence menggunakan kesempatan ini. Dia tiba bersama sebuah
tim pilihan yang terdiri dari 38 orang perawat. Hanya 14 orang perawat yang mempunyai
pengalaman di lapangan; 24 orang lainnya adalah anggota lembaga keagamaan yang terdiri dari
Biarawati Katolik Roma, Dissenting Deaconnesses, perawat rumah sakit Protestan, dan beberapa
biarawati Anglikan yang berpengalaman di bidang penyakit kolera. Teman-temannya, Charles
dan Selina Bracebridge juga turut bersama tim tersebut untuk mendorong semangatnya.

Selama perang berlangsung, Florence menghadapi pertempuran berat untuk meyakinkan para
dokter militer bahwa para perawat wanita pun diperlukan di sebuah rumah sakit militer. Perang
Crimea telah membongkar sistem kemiliteran Inggris yang ternyata mengirim ribuan prajurit
untuk menjemput kematiannya sendiri akibat kekurangan gizi, penyakit, dan diabaikan. Sebanyak
60.000 prajurit Inggris dikirim ke Crimea. Sejumlah 43.000 meninggal, sakit, atau terluka, dan
hanya 7.000 yang terluka oleh musuh. Sisanya merupakan korban akibat lumpur, kekacauan, dan
penyakit.

Pada saat perang akan berakhir, laporan dan saran Florence Nightingale membuat Inggris seperti
dilanda badai. Dia menjadi pahlawan wanita negara tersebut. Pada tahun 1860, Sekolah
Keperawatan Nightingale dibuka di London dan kelas pertamanya berisi lima belas orang murid
wanita muda. Sepanjang hidupnya, sebelum dia meninggal saat sedang tidur pada usia sembilan
puluh tahun di tahun 1910, dia bekerja tanpa lelah untuk mengadakan perubahan-perubahan di
kemiliteran yang berhubungan dengan perawatan kesehatan dan medis.

Sebab dia telah bersumpah, "Semua yang terjadi di Crimea, tidak boleh terulang kembali."

Florence Nightingale (lahir di Florence, Italia, 12 Mei 1820 – meninggal di London,


Inggris, 13 Agustus 1910 pada umur 90 tahun) adalah pelopor perawat modern, penulis dan ahli
statistik.[1] Ia dikenal dengan nama Bidadari Berlampu (bahasa Inggris The Lady With The Lamp)
atas jasanya yang tanpa kenal takut mengumpulkan korban perang pada perang Krimea, di
semenanjung Krimea, Rusia.

Florence Nightingale menghidupkan kembali konsep penjagaan kebersihan rumah sakit


dan kiat-kiat juru rawat. Ia memberikan penekanan kepada pemerhatian teliti terhadap keperluan
pasien dan penyusunan laporan mendetil menggunakan statistik sebagai argumentasi perubahan
ke arah yang lebih baik pada bidang keperawatan di hadapan pemerintahan Inggris.
Masa kecil

Florence Nightingale lahir di Firenze, Italia pada tanggal 12 Mei 1820 dan dibesarkan dalam
keluarga yang berada. Namanya diambil dari kota tempat ia dilahirkan.[2] Nama depannya,
Florence merujuk kepada kota kelahirannya, Firenze dalam bahasa Italia atau Florence dalam
bahasa Inggris.

Semasa kecilnya ia tinggal di Lea Hurst, sebuah rumah besar dan mewah milik ayahnya, William
Nightingale yang merupakan seorang tuan tanah kaya di Derbyshire, London, Inggris. Sementara
ibunya adalah keturunan ningrat dan keluarga Nightingale adalah keluarga terpandang. Florence
Nightingale memiliki seorang saudara perempuan bernama Parthenope.

Pada masa remaja mulai terlihat perilaku mereka yang kontras dan Parthenope hidup sesuai
dengan martabatnya sebagai putri seorang tuan tanah. Pada masa itu wanita ningrat, kaya, dan
berpendidikan aktivitasnya cenderung bersenang-senang saja dan malas, sementara Florence lebih
banyak keluar rumah dan membantu warga sekitar yang membutuhkan.

Perjalanan ke Jerman

Di tahun 1846 ia mengunjungi Kaiserswerth, Jerman, dan mengenal lebih jauh tentang rumah
sakit modern pionir yang dipelopori oleh Pendeta Theodor Fliedner dan istrinya dan dikelola oleh
biarawati Lutheran (Katolik).

Di sana Florence Nightingale terpesona akan komitmen dan kepedulian yang dipraktekkan oleh
para biarawati kepada pasien.

Ia jatuh cinta pada pekerjaan sosial keperawatan, serta pulang ke Inggris dengan membawa
angan-angan tersebut.

Belajar merawat

Florence Nightingale sewaktu masih muda.

Pada usia dewasa Florence yang lebih cantik dari kakaknya, dan sebagai seorang putri tuan tanah
yang kaya, mendapat banyak lamaran untuk menikah. Namun semua itu ia tolak, karena Florence
merasa "terpanggil" untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan.

Pada tahun 1851, kala menginjak usia 31 tahun, ia dilamar oleh Richard Monckton Milnes
seorang penyair dan seorang ningrat (Baron of Houghton), lamaran inipun ia tolak karena ditahun
itu ia sudah membulatkan tekad untuk mengabdikan dirinya pada dunia keperawatan.

Ditentang oleh keluarga

Keinginan ini ditentang keras oleh ibunya dan kakaknya. Hal ini dikarenakan pada masa itu di
Inggris, perawat adalah pekerjaan hina dan sebuah rumah sakit adalah tempat yang jorok. Banyak
orang memanggil dokter untuk datang ke rumah dan dirawat di rumah.
Perawat pada masa itu hina karena:

• Perawat disamakan dengan wanita tuna susila atau "buntut" (keluarga tentara yang
miskin) yang mengikuti kemana tentara pergi.
• Profesi perawat banyak berhadapan langsung dengan tubuh dalam keadaan terbuka,
sehingga dianggap profesi ini bukan profesi sopan wanita baik-baik dan banyak pasien
memperlakukan wanita tidak berpendidikan yang berada di rumah sakit dengan tidak
senonoh
• Perawat di Inggris pada masa itu lebih banyak laki-laki daripada perempuan karena
alasan-alasan tersebut di atas.
• Perawat masa itu lebih sering berfungsi sebagai tukang masak.

Argumentasi Florence bahwa di Jerman perawatan bisa dilakukan dengan baik tanpa
merendahkan profesi perawat patah, karena saat itu di Jerman perawat juga biarawati Katolik
yang sudah disumpah untuk tidak menikah dan hal ini juga secara langsung melindungi mereka
dari perlakuan yang tidak hormat dari pasiennya.

Walaupun ayahnya setuju bila Florence membaktikan diri untuk kemanusiaan, namun ia tidak
setuju bila Florence menjadi perawat di rumah sakit. Ia tidak dapat membayangkan anaknya
bekerja di tempat yang menjijikkan. Ia menganjurkan agar Florence pergi berjalan-jalan keluar
negeri untuk menenangkan pikiran.

Tetapi Florence berkeras dan tetap pergi ke Kaiserswerth, Jerman untuk mendapatkan pelatihan
bersama biarawati disana. Selama empat bulan ia belajar di Kaiserwerth, Jerman di bawah
tekanan dari keluarganya yang takut akan implikasi sosial yang timbul dari seorang gadis yang
menjadi perawat dan latar belakang rumah sakit yang Katolik sementara keluarga Florence adalah
Kristen Protestan.

Selain di Jerman, Florence Nightingale juga pernah bekerja di rumah sakit untuk orang miskin di
Perancis.

Kembali ke Inggris

Pada tanggal 12 Agustus 1853, Nightingale kembali ke London dan mendapat pekerjaan sebagai
pengawas bagian keperawatan di Institute for the Care of Sick Gentlewomen, sebuah rumah sakit
kecil yang terletak di Upper Harley Street, London, posisi yang ia tekuni hingga bulan Oktober
1854. Ayahnya memberinya ₤500 per tahun (setara dengan ₤ 25,000 atau Rp. 425 juta pada masa
sekarang), sehingga Florence dapat hidup dengan nyaman dan meniti karirnya.

Di sini ia beragumentasi sengit dengan Komite Rumah Sakit karena mereka menolak pasien yang
beragama Katolik. Florence mengancam akan mengundurkan diri, kecuali bila komite ini
merubah peraturan tersebut dan memberinya izin tertulis bahwa;

“ rumah sakit akan menerima tidak saja pasien yang beragama Katolik, tetapi
juga Yahudi dan agama lainnya, serta memperbolehkan mereka menerima
kunjungan dari pendeta-pendeta mereka, termasuk rabi, dan ulama untuk orang
Islam ”

Komite Rumah Sakit pun merubah peraturan tersebut sesuai permintaan Florence.
Perang Krimea

Pada 1854 berkobarlah peperangan di Semenanjung Krimea. Tentara Inggris bersama tentara
Perancis berhadapan dengan tentara Rusia. Banyak prajurit yang gugur dalam pertempuran,
namun yang lebih menyedihkan lagi adalah tidak adanya perawatan untuk para prajurit yang sakit
dan luka-luka.

Keadaan memuncak ketika seorang wartawan bernama William Russel pergi ke Krimea. Dalam
tulisannya untuk harian TIME ia menuliskan bagaimana prajurit-prajurit yang luka
bergelimpangan di tanah tanpa diberi perawatan sama sekali dan bertanya, "Apakah Inggris tidak
memiliki wanita yang mau mengabdikan dirinya dalam melakukan pekerjaan kemanusiaan yang
mulia ini?".

Hati rakyat Inggrispun tergugah oleh tulisan tersebut. Florence merasa masanya telah tiba, ia pun
menulis surat kepada menteri penerangan saat itu, Sidney Herbert, untuk menjadi sukarelawan.

Pada pertemuan dengan Sidney Herbert terungkap bahwa Florence adalah satu-satunya wanita
yang mendaftarkan diri. Di Krimea prajurit-prajurit banyak yang mati bukan karena peluru dan
bom, namun karena tidak adanya perawatan, dan perawat pria jumlahnya tidak memadai. Ia
meminta Florence untuk memimpin gadis-gadis sukarelawan dan Florence menyanggupi.

Pada tanggal 21 Oktober 1854 bersama 38 gadis sukarelawan yang dilatih oleh Nightingale dan
termasuk bibinya Mai Smith,[3] berangkat ke Turki menumpang sebuah kapal.

Gedung Barak Rumah Sakit di Scutari sekarang

Pada tanggal November 1854 mereka mendarat di sebuah rumah sakit pinggir pantai di Scutari.
Saat tiba disana kenyataan yang mereka hadapi lebih mengerikan dari apa yang mereka
bayangkan.

Beberapa gadis sukarelawan terguncang jiwanya dan tidak dapat langsung bekerja karena cemas,
semua ruangan penuh sesak dengan prajurit-prajurit yang terluka, dan beratus-ratus prajurit
bergelimpangan di halaman luar tanpa tempat berteduh dan tanpa ada yang merawat.

Dokter-dokter bekerja cepat pada saat pembedahan, mereka memotong tangan, kaki, dan
mengamputasi apa saja yang membahayakan hidup pemilik, potongan-potongan tubuh tersebut
ditumpuk begitu saja diluar jendela dan tidak ada tenaga untuk membuangnya jauh-jauh ke
tempat lain. Bekas tangan dan kaki yang berlumuran darah menggunung menjadi satu dan
mengeluarkan bau tak sedap.

Florence diajak mengelilingi neraka tersebut oleh Mayor Prince, dokter kepala rumah sakit
tersebut dan menyanggupi untuk membantu.

Florence melakukan perubahan-perubahan penting. Ia mengatur tempat-tempat tidur para


penderita di dalam rumah sakit, dan menyusun tempat para penderita yang bergelimpangan di
luar rumah sakit. Ia mengusahakan agar penderita yang berada di luar paling tidak bernaung di
bawah pohon dan menugaskan pendirian tenda.
Ilustrasi Rumah Sakit di Scutari

Penjagaan dilakukan secara teliti, perawatan dilakukan dengan cermat;

• Perban diganti secara berkala.


• Obat diberikan pada waktunya.
• Lantai rumah sakit dipel setiap hari.
• Meja kursi dibersihkan.
• Baju-baju kotor dicuci dengan mengerahkan tenaga bantuan dari penduduk setempat.

Akhirnya gunungan potongan tubuh, daging, dan tulang-belulang manusiapun selesai


dibersihkan, mereka dibuang jauh-jauh atau ditanam.

Dalam waktu sebulan rumah sakit sudah berubah sama sekali, walaupun baunya belum hilang
seluruhnya namun jerit dan rintihan prajurit yang luka sudah jauh berkurang. Para perawat
sukarelawan bekerja tanpa kenal lelah hilir-mudik di bawah pengawasan Florence Nightingale.

Ia juga menangani perawat-perawat lain dengan tangan besi, bahkan mengunci mereka dari luar
pada malam hari. Ini dilakukan untuk membuktikan pada orang tua mereka di tingkat ekonomi
menengah, bahwa dengan disiplin yang keras dan di bawah kepemimpinan kuat seorang wanita,
anak-anak mereka bisa dilindungi dari kemungkinan serangan seksual.

Ketakutan akan hal inilah yang membuat ibu-ibu di Inggris menentang anak perempuan mereka
menjadi perawat, dan menyebabkan rumah sakit di Inggris ketinggalan dibandingkan di benua
Eropa lainnya dimana profesi keperawatan dilakukan oleh biarawati dan biarawati-biarawati ini
berada dibawah pengawasan Biarawati Kepala.

Pada malam hari saat perawat lain beristirahat dan memulihkan diri, Florence menuliskan
pengalamannya dan cita-citanya tentang dunia keperawatan, dan obat-obatan yang ia ketahui.

Namun, kerja keras Florence membersihkan rumah sakit tidak berpengaruh banyak pada jumlah
kematian prajurit, malah sebaliknya, angka kematian malah meningkat menjadi yang terbanyak
dibandingkan rumah sakit lainnya di daerah tersebut. Pada masa musim dingin pertama Florence
berada disana sejumlah 4077 prajurit meninggal dirumah sakit tersebut. Sebanyak 10 kali lipat
prajurit malah meninggal karena penyakit seperti; tipes, tifoid, kolera, dan disentri dibandingkan
dengan kematian akibat luka-luka saat perang. Kondisi di rumah sakit tersebut menjadi sangat
fatal karena jumlah pasien melimpah lebih banyak dari yang mungkin bisa ditampung, hal ini
menyebabkan sistem pembuangan limbah dan ventilasi udara memburuk.

Pada bulan bulan Maret 1855, hampir enam bulan setelah Florence Nightingale datang, komisi
kebersihan Inggris datang dan memperbaiki sistem pembuangan limbah dan sirkulasi udara, sejak
saat itu tingkat kematian menurun drastis.

Namun Florence tetap percaya saat itu bahwa tingkat kematian disebabkan oleh nutrisi yang
kurang dari suplai makanan dan beratnya beban pekerjaan tentara. Pemikiran ini baru berubah
saat Florence kembali ke Inggris dan mengumpulkan bukti dihadapan Komisi Kerajaan untuk
Kesehatan Tentara Inggris (Royal Commission on the Health of the Army), akhirnya ia diyakinkan
bahwa saat itu para prajurit di rumah sakit meninggal akibat kondisi rumah sakit yang kotor dan
memprihatinkan.
Hal ini berpengaruh pada karirnya di kemudian hari dimana ia gigih mengkampanyekan
kebersihan lingkungan sebagai hal yang utama. Kampanye ini berhasil dinilai dari turunnya
angka kematian prajurit pada saat damai (tidak sedang berperang) dan menunjukkan betapa
pentingnya disain sistem pembuangan limbah dan ventilasi udara sebuah rumah sakit.

Bidadari berlampu

Pada suatu kali, saat pertempuran dahsyat di luar kota telah berlalu, seorang bintara datang dan
melapor pada Florence bahwa dari kedua belah pihak korban yang berjatuhan banyak sekali.

Florence menanti rombongan pertama, namun ternyata jumlahnya sedikit, ia bertanya pada
bintara tersebut apa yang terjadi dengan korban lainnya. Bintara tersebut mengatakan bahwa
korban selanjutnya harus menunggu sampai besok karena sudah terlanjur gelap.

Florence memaksa bintara tersebut untuk mengantarnya ke bekas medan pertempuran untuk
mengumpulkan korban yang masih bisa diselamatkan karena bila mereka menunggu hingga esok
hari korban-korban tersebut bisa mati kehabisan darah.

Saat bintara tersebut terlihat enggan, Florence mengancam akan melaporkannya kepada Mayor
Prince.

Berangkatlah mereka berenam ke bekas medan pertempuran, semuanya pria, hanya Florence
satu-satunya wanita. Florence dengan berbekal lentera membalik dan memeriksa tubuh-tubuh
yang bergelimpangan, membawa siapa saja yang masih hidup dan masih bisa diselamatkan,
termasuk prajurit Rusia.

Malam itu mereka kembali dengan membawa lima belas prajurit, dua belas prajurit Inggris dan
tiga prajurit Rusia.

Semenjak saat itu setiap terjadi pertempuran, pada malam harinya Florence berkeliling dengan
lampu untuk mencari prajurit-prajurit yang masih hidup dan mulailah ia terkenal sebagai
bidadari berlampu yang menolong di gelap gulita. Banyak nyawa tertolong yang seharusnya
sudah meninggal.

Selama perang Krimea, Florence Nightingale mendapatkan nama "Bidadari Berlampu".[4] Pada
tahun 1857 Henry Longfellow, seorang penyair AS, menulis puisi tentang Florence Nightingale
berjudul "Santa Filomena", yang melukiskan bagaimana ia menjaga prajurit-prajurit di rumah
sakit tentara pada malam hari, sendirian, dengan membawa lampu.

“ Pada jam-jam penuh penderitaan itu, datanglah bidadari berlampu


untukku. ”

Pulang ke Inggris

Florence Nightingale kembali ke Inggris sebagai pahlawan pada tanggal 7 Agustus 1857, semua
orang tahu siapa Florence Nightingale dan apa yang ia lakukan ketika ia berada di medan
pertempuran Krimea, dan menurut BBC, ia merupakan salah satu tokoh yang paling terkenal
setelah Ratu Victoria sendiri. Nightingale pindah dari rumah keluarganya di Middle Claydon,
Buckinghamshire, ke Burlington Hotel di Piccadilly. Namun, ia terkena demam, yang disebabkan
oleh Bruselosis ("demam Krimea") yang menyerangnya selama perang Krimea.[5] Dia memalangi
ibu dan saudara perempuannya dari kamarnya dan jarang meninggalkannya.

Sebagai respon pada sebuah undangan dari Ratu Victoria - dan meskipun terdapat keterbatasan
kurungan pada ruangannya - Nightingale memainkan peran utama dalam pendirian Komisi
Kerajaan untuk Kesehatan Tentara Inggris, dengan Sidney Herbert menjadi ketua. Sebagai
wanita, Nightingale tidak dapat ditunjuk untuk Komisi Kerajaan, tetapi ia menulis laporan 1.000
halaman lebih yang termasuk laporan statistik mendetail, dan ia merupakan alat implementasi
rekomendasinya. Laporan Komisi Kerajaan membuat adanya pemeriksaan tentara militer, dan
didirikannya Sekolah Medis Angkatan Bersenjata dan sistem rekam medik angkatan bersenjata.

Karier selanjutnya

Ketika ia masih di Turki, pada tanggal 29 November 1855, publik bertemu untuk memberikan
pengakuan pada Florence Nightingale untuk hasil kerjanya pada perang yang membuat
didirikannya Dana Nightingale untuk pelatihan perawat. Sidney Herbert menjadi sekretaris
honorari dana, dan Adipati Cambridge menjadi ketua. Sekembalinya Florence ke London, ia
diundang oleh tokoh-tokoh masyarakat. Mereka mendirikan sebuah badan bernama "Dana
Nightingale", dimana Sidney Herbert menjadi Sekertaris Kehormatan dan Adipati Cambridge
menjadi Ketuanya. Badan tersebut berhasil mengumpulkan dana yang besar sekali sejumlah ₤
45.000 sebagai rasa terima kasih orang-orang Inggris karena Florence Nightingale berhasil
menyeamatkan banyak jiwa dari kematian.

Florence menggunakan uang itu untuk membangun sebuah sekolah perawat khusus untuk wanita
yang pertama, saat itu bahkan perawat-perawat pria pun jarang ada yang berpendidikan.

Florence berargumen bahwa dengan adanya sekolah perawat, maka profesi perawat akan menjadi
lebih dihargai, ibu-ibu dari keluarga baik-baik akan mengijinkan anak-anak perempuannya untuk
bersekolah disana dan masyarakat akan lain sikapnya menghadai seseorang yang terdidik.

Sekolah tersebut pun didirikan di lingkungan rumah sakit St. Thomas Hospital, London. Dunia
kesehatan pun menyambut baik pembukaan sekolah perawat tersebut.

Saat dibuka pada tanggal 9 Juli 1860 berpuluh-puluh gadis dari kalangan baik-baik mendaftarkan
diri, perjuangan Florence di Semenanjung Krimea telah menghilangkan gambaran lama tentang
perempuan perawat. Dengan didirikannya sekolah perawat tersebut telah diletakkan dasar baru
tentang perawat terdidik dan dimulailah masa baru dalam dunia perawatan orang sakit. Kini
sekolah tersebut dinamakan Sekolah Perawat dan Kebidanan Florence Nightingale (Florence
Nightingale School of Nursing and Midwifery) dan merupakan bagian dari Akademi King
College London.

Sebagai pimpinan sekolah Florence mengatur sekolah itu dengan sebaik mungkin. Tulisannya
mengenai dunia keperawatan dan cara mengaturnya dijadikan bahan pelajaran di sekolah tersebut.

Saat tiba waktunya anak-anak didik pertama Florence menamatkan sekolahnya, berpuluh-puluh
tenaga pemudi habis diambil oleh rumah sakit sekitar, padahal rumah sakit yang lain banyak
meminta bagian.
Perawat lulusan sekolah Florence pertama kali bekerja pada Rumah Sakit Liverpool Workhouse
Infirmary. Ia juga berkampanye dan menggalang dana untuk rumah sakit Royal Buckinghamshire
di Aylesbury dekat rumah tinggal keluarganya.

Dengan perawat-perawat terdidik, era baru perawatan secara modernpun diterapkan ditempat-
tempat tersebut.

Dunia menjadi tergugah dan ingin meniru. Mereka mengirimkan gadis-gadis berbakat untuk
dididik di sekolah tersebut dan sesudah tamat mereka diharuskan mendirikan sekolah serupa di
negerinya masing-masing.

Pada tahun 1882 perawat-perawat yang lulus dari sekolah Florence telah tumbuh dan
mengembangkan pengaruh mereka pada awal-awal pengembangan profesi keperawatan.
Beberapa dari mereka telah diangkat menjadi perawat senior (matron), termasuk di rumah sakit-
rumah sakit London seperti St. Mary's Hospital, Westminster Hospital, St Marylebone
Workhouse Infirmary dan the Hospital for Incurables (Putney); dan diseluruh Inggris, seperti:
Royal Victoria Hospital, Netley; Edinburgh Royal Infirmary; Cumberland Infirmary; Liverpool
Royal Infirmary dan juga di Sydney Hospital, di New South Wales, Australia.

Orang sakit menjadi pihak yang paling beruntung di sini, disamping mereka mendapatkan
perawatan yang baik dan memuaskan, angka kematian dapat ditekan serendah mungkin. Buku
dan buah pikiran Florence Nightingale menjadi sangat bermanfaat dalam hal ini.

Pada tahun 1860 Florence menulis buku Catatan tentang Keperawatan (Notes on Nursing)
buku setebal 136 halaman ini menjadi buku acuan pada kurikulum di sekolah Florence dan
sekolah keperawatan lainnya. Buku ini juga menjadi populer di kalangan orang awam dan terjual
jutaan eksemplar di seluruh dunia.

Pada tahun 1861 cetakan lanjutan buku ini terbit dengan tambahan bagian tentang perawatan
bayi.

Pada tahun 1869, Nightingale dan Elizabeth Blackwell mendirikan Universitas Medis Wanita.

Pada tahun 1870-an, Linda Richards, "perawat terlatih pertama Amerika", berkonsultasi dengan
Florence Nightingale di Inggris, dan membuat Linda kembali ke Amerika Serikat dengan
pelatihan dan pengetahuan memadai untuk mendirikan sekolah perawat. Linda Richards menjadi
pelopor perawat di Amerika Serikat dan Jepang.

Pada tahun 1883 Florence dianugrahkan medali Palang Merah Kerajaan (The Royal Red Cross)
oleh Ratu Victoria.

Pada tahun 1907 pada umurnya yang ke 87 tahun Raja Inggris, di hadapan beratus-ratus
undangan menganugerahkan Florence Nightingale dengan bintang jasa The Order Of Merit dan
Florence Nightingale menjadi wanita pertama yang menerima bintang tanda jasa ini.

Pada tahun 1908 ia dianugrahkan Honorary Freedom of the City dari kota London.
Nightingale adalah seorang universalis Kristen.[6] Pada tanggal 7 Februari 1837 – tidak lama
sebelum ulang tahunnya ke-17 – sesuatu terjadi yang akan mengubah hidupnya: ia menulis,
"Tuhan berbicara padaku dan memanggilku untuk melayani-Nya."[7]

Meninggal dunia

Florence Nightingale meninggal dunia di usia 90 tahun pada tanggal 13 Agustus 1910.
Keluarganya menolak untuk memakamkannya di Westminster Abbey, dan ia dimakamkan di
Gereja St. Margaret yang terletak di East Wellow, Hampshire, Inggris.[

You might also like