You are on page 1of 17

MAKALAH STUDY ISLAM

‘TASAWUF’

KELOMPOK SI / 2B :

1. BIMORIO
2. AHMAD FAQIH

Fakultas Sain dan Teknologi

Prodi Sistem Informasi

Tahun Ajaran 2009-2010


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB 1 : PENDAHULUAN i
A. Latar Belakang 3

BAB 2 : PEMBAHASAN 4
A. Pengertian Tasawuf 4
B. Asal Kata Sufi 5
C. Asal Usul Tasawuf 6
D. Tujuan Tasawuf 8
E. Sejarah Pertumbuhan Tasawuf 9
F. Jalan Pendekatan Diri Kepada Tuhan 11
G. Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf 12
H. Perkembangan Tasawuf dan Thariqat 13

BAB 3 : KESIMPULAN 12

2
KATA PENGANTAR

puja dan puji syukur kami kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat,
anugerah dan karunia yang melimpah, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun guna melengkapi tugas dalam mata kuliah Study Islam jurusan
Sistem Informasi Universitas Islam Negeri, adapum judul penulisan makalah ini adalah
“Tasawuf”. Walaupun banyak kasulitan yang dihadapi ketika menyusun penulisan
makalah ini, namum berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, akkhirnya tugas
ini dapat diselesaikan dengan baik.

Jakarta, 2 juni 2009

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu islam yang menekankan dimensi atau aspek
spiritual dalam islam, dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek
rohaninya ketimbang aspek jasmaninya. Dalam kaitannya dalam kehidupan, ia lebih
menekankan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana.

Orang yang ahli dalam tasawuf disebut dengan seorang sufi. Seorang sufi
menekankan aspek kehidupan rohaninya dari pada aspek jasminanya. Seorang sufi selalu
dekat dengan Tuhannya. Dan untuk mencapai itu, terdapat tingkatannya, yaitu tobat,
zuhud, sabar, kefakiran, kerendahan hati, taqwa, keleraan, cinta, dan ma’rifat. Dan dalam
makalah ini juga akan mencoba membahas tentang pengertian tasawuf, sejarah
pertumbuhan dan perkembangan tasawuf, penyebaran serta perjalanan tasawuf.

4
BAB II

PEMBAHASAN

B. Pengertian Tasawuf

Bermacam-macam pendapat tentang asal kata tasawuf, ada yang mengatakan tasawuf
berasal dari kata . Dari perkataan terdapat perubahan kata sebagai berikut
: dan seterusnya. Kata berarti bersih (murni).

Ada pula yang mengambil kata tasawuf dari perkataan : artinya


serambi mesjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di mesjid Nabi yang didiami
oleh sekelompok para sahabat nabi yang sangat fakir dan tidak mempunyai tempat
tinggal yang dikenal dengan ahli Suffah. Mereka adalah orang menyediakan seluruh
waktunya untuk berjihad dan berda’wah serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat
duniawi.1

Secara umum kata Dr. Ibrahim Hilal : Tasawuf itu adalah memilih jalan hidup secara
zuhud, menjauhkan diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Tasawuf itu adalah
bermacam-macam ibadat, wirid dan lapar, berjaga di waktu malam dengan membanyakan
sholat dan wirid, sehingga lemah lah unser jasmaniah dalam diri seseorang dan semakin
kuatlah unsur rohaninya. Tasawuf adalah menundukan jasmani dan rohani dengan jalan
yang disebutkan sebagai usaha mencapai hakekat kempurnaan rohani dan mengenal dzat
Tuhan dengan segala kesempurnaaNya. Inilah yang mereka gambarkan dengan mengenal
hakikat.2

Meskipun demikian banyaknya defenisi tersebut tidaklah didapati sebuah defenisi


yang mencakup pengertian secara menyeluruh Hal ini disebabkn para ahli tasawuf tidak
ada memberikan defenisi tentang ilmu sebagaimana para ahli filsafat. Ahli tasawuf hanya
menggambarkan tentang suatu keadaan yang dialaminya dalam kehidupan tasawuf dalam
keadaan tertentu.

C. Asal Kata Sufi

Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab
yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:

1
Drs. Asmaran As, MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996 hal.42-3
2
Dr. Ibrahim Hilal

5
1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi
banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama
salat dan puasa.
3

2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf
pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca
ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini
adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.

3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan
meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang
miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah,
(pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik
serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.

4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan
kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena
kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin
dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.

5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan
tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain
wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan
kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.

Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai
asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri
dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama
memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).

Adapun tentang definisi tasawuf itu sendri ada beberapa pendapat yang dikemukakan
oleh sejumlah tokoh sufi. Bebebrap diantarany sebagai berikut :

Zakaria Al-Anshori : ’’ tasawuf adalah suatu ilmu yang menjelalskan hal ihwal
pembersih jiwa dan penyatun akhlak baik lahir maupun batin, guna menjauhi bid’ah dan
tidak meringankan ibadah”

Abuk Qosim Al-Qashairi : (W.456H/1072M) : “ Tasawuf adalah menerapkan ajaran


Al-Quran dan Sunah Nabi secara tepat berusaha menekan hawa nafsu guna menjauhi
bid’ah dan tidak meringankan ibadah”

Bisyr bin HAris Al-Hafi ( W.227H/841M) : “ Seorang Sufi ialah yang telah bersih
hatinnya, semat-mata hanya untuk Allah SWT”.

6
Abu Husain An-Nuri (W295H/908M) : “ Kaum Sufi ialah kaum yang hatiny suci dari
kotoran basariyah ( hawa nafsu kemanusiaan ) dan kesalahan pribadi. Ia harus mampu
membebaskan diri dari syahwat sehingga ia berada pada shaft pertama dan mencapai
derajat yang mulia dalam kebenaran”.

Harun Nasution dalam bukunya falsafat dan mistisme dalam islam menjelaskan
bahwa,
“ Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf
atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam bisa sedekat mungkin
dengan Tuhan”.4

Dari berbagai defenisi yang berbeda-beda tersebut kiranya dapat ditarik suatu
kesimpulan pengertian tasawuf itu sebagai berikut : “ Tasawuf ialah suatu ilmu
pengetahuan yang membahas dan mempelajari tentang jalan atau cara yang di tempuh
dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jalan atau cara yang dimaksud dengan
melalui pembersihan rohani, penigkatan amal shaleh, berakhlak mulia dan tekun
melakukan ibadah menurut contoh Rasulullah SAW disertai dengan melakukan zuhud,
berkhalwat da kontemplasai”.5

D. Asal Usul Tasawuf

Tasawuf Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis
Nabi SAW. berbicara tentang hubungan antara Allah dengan hamba-Nya manusia,
diantaranya seperti tertulis pada pendahuluan di atas.

Secara umum Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan
kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah inilah
kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup
besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi
dan sahabatnya. Lebih jauh, al-Qur’an berbicara tentang kemungkinan manusia dan
Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) seperti dalam al-Maidah: 54; perintah agar
manusia senantiasa bertaubat (at-Tahrim: 8); petunjuk bahwa manusia akan senantiasa
bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada (al-Baqarah: 110); Allah dapat
memberikan cahaya kepada orang yang dikehendaki (an-Nur: 35); Allah mengingatkan
manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda
(al-Hadid, al-Fathir: 5); dan senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendakatan diri
kepada Allah SWT (Ali Imron: 3).

Begitu juga perintah Allah untuk ikhlas semata mengharap ridha-Nya dalam
beribadah (al-Bayinah: 5); berperilaku jujur (al-Anfal: 58), adil, taqwa (al-Maidah: 6);
yakin, tawakal (al-Anfal: 49); qonaah, rendah hati dan tidak sombong (al-Isra’:37);

4
Drs. Harun Nasution. Falsafah dan Mistisme dalam Islam
5
Abudin Nata, Dr. MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002

7
beribadah dengan penuh pengharapan terhadap ridha-Nya (raja’) (al-Kahfi: 110), takut
terhadap murka Allah atas segala dosa (khauf) (at-Tahrim: 6); menahan hawa nafsu
(Yusuf: 53); amar ma’ruf nahi munkar (Ali Imron: 104); dan banyak lagi konsep akhlak
dan amal diajarkan dalam al-Qur’an kesemuanya adalah sumber tasawuf dalam Islam.

Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an, as-Sunnah pun banyak berbicara
tentang kehidupan rohaniah. Teks hadis qudsi berikut dapat dipahami dengan pendekatan
tasawuf:
! "# $ #$

“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku menjadikan makhluk agar
mereka mengenal-Ku”.

Hadis tersebut memberi petunjuk bahwa alam raya, termasuk manusia adalah
merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya
melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi
ketuhanan yang dapat didayagunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam
raya ini pada hakikatnya adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sebagaimana
firman-Nya dalam al-Baqarah: 156:

“Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi


wa innaa ilaihi raaji'uun" Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah
Kami kembali.”

dan al-Baqarah 45-46:

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang


demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang
yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan
kembali kepada-Nya.”

Benih-benih tasawuf dipraktekkan langsung oleh Muhammad SAW. dalam


kehidupan kesehariannya. Perilaku hidup Nabi SAW sebelum diangkat menjadi Rasul,
berhari-hari beliau berkhalawat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana
Nabi SAW banyak berzikir dan bertafakur mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pengasingan diri Nabi SAW. di gua Hira’ ini merupakan acuan utama para sufi dalam
berkhalawat. Puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah terjadi ketika beliau melakukan
Isro’ wal mi’roj. Dikisahkan Nabi berdialog langsung dengan Allah ketika menerima
perintah Shalat lima waktu.

8
Perikehidupan (sirah) Nabi SAW juga merupakan benih-benih tasawuf, yaitu pribadi
Nabi yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona oleh kemewahan dunia. Dalam
salah satu do’anya nabi bermohon:
“Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang
miskin.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim). Pada suatu waktu Nabi SAW datang ke rumah
istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Shidiq, ternyata di rumahnya tidak ada makanan.
Keadaan seperti ini diterimanya dengan sabar, lalu beliau menahan laparnya dengan
berpuasa (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai). Nabi juga sering mengganjal perutnya
dengan batu sebagai penahan lapar.

Cara beribadah Nabi SAW juga merupakan cikal-bakal tasawuf. Nabi SAW adalah
orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan
bahwa pada suatu malam Nabi SAW mengerjakan shalat malam; di dalam shalat lututnya
bergetar karena panjang, banyak rakaat serta khusu’ dalam shalatnya. Tatkala ruku’ dan
sujud terdengar suara tangisnya, namun beliau tetap terus melakukan shalat sampai suara
azan Bilal bin Rabah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi SAW demikian tekun
melakukan shalat, Aisyah bertanya:
“Wahai junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan akan datang telah diampuni
Allah, kenapa engkau masih terlalu banyak melakukan shalat?”
Nabi SAW menjawab:
‘Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur”. 6

Akhlak Nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tiada bandingannya. Akhlak Nabi
bukan hanya dipuji oleh manusia termasuk musuh-musuhnya, tetapi juga oleh Allah
SWT. Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
(QS. 68:4).
Dan ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW, ia menjawab:
“Akhlaknya adalah al-Qur’an”. 7

Ajaran rasul tentang bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari banyak
diikuti oleh para sahabatnya, dilanjutkan oleh para tabi’in, tabiit tabi’in dan seluruh
Muslim hingga saat ini . Mereka mengikuti firman Allah:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.”
(Al-Ahzab: 21).

E. Tujuan Tasawuf

Adapun tujuan tasawuf adalah:

6
(HR. Bukhari dan Muslim).
7
(HR. Ahmad dan Muslim).

9
1. Menurut Harun Nasution, tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat
mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya
dapat bersatu dengan Roh Tuhan.

2. Menurut K. Permadi, tujuan tasawuf ialah fana untuk mancapai makrifatullah,


yaitu leburnya diri pribadi pada kebaqaan Allah, dimana perasaan keinsanan lenyap
diliputi rasa ketuhanan.

Dengan demikian inti dari ajaran tasawuf adalah menempatkan Allah sebagai pusat
segala aktivitas kehidupan dan menghadirkan-Nya dalam diri manusia sebagai usahah
memperoleh keridaan-Nya

f. Sejarah Pertumbuhan Tasawuf

Sebenarnya kehidupan shufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad saw. Dimana
dalam kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, disamping
menghabiskan waktunya untukk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah
swt. Bahkan seperti diketahui, bahwa sebelum beliau diangkat sebagai Rasul Allah,
beliau seringkali melakukan kegiatan shufi dengan melakukan uzlah di Gua Hira selama
berbulan-bulan lamanya sampai beliau menerima wahyu pertama saat diangkat sebagai
Rasul Allah. Setelah Beliau resmi diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara
hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan, meskipun beliau berada
dalam lingkaran keadaan hidup yang serba dapat terpenuhi semua keinginan lantaran
kekuasaannya sebagai Nabi yang menjadi kekasih Tuhan-Nya. Pada waktu malam sedikit
sekali tidur, waktunya dihabiskan untuk bertawajjuh kepada Allah dengan
memperbanyak dzikir kepada-Nya. Tempat tidur beliau terdiri dari balai kayu biasa
dengan alas tikar dari daun kurma, tidak pernah memakai pakaian yang terdiri dari wool,
meskipun mampu membelinya. Pendek kata beliau lebih cinta hidup dalam suasana
sederhana ( meskipun pangkatnya Nabi ) Daripada hidup bermewah-mewah.8

Kehidupan Nabi semacam itu langsung ditiru oleh shahabatnya, Tabi’in, Tabi’it
Tabi’in dan terus turun temurun sampai sekarang. Bahkan para shahabat beliau banyak
yang melakukan kehidupan shufi dengan hidup sederhana dan selalu bertaqarrub dengan
Allah. Kehidupan mereka sangat sederhana bahkan serba kekurangan, tetapi dalam
dirinya tumbuh memancar sinar kesemangatan beribadah. Hal seperti itu tampak dalam
kehidupan para shahabat beliau, semisal Abu Hurairah, Abu Darda’, Salman Al Farisy,
Abu Bakar, Umar Bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar dan sebagainya.
Dapat dicontohkan disini, seperti kehidupan Abu Hurairah ra. Yang dalam sejarah
disebutkan bahwa beliau tidak mempunyai rumah, hanya tidur di emperan Masjidil
Haram Makkah, pakaiannya hanya satu melekat di badan, makannya tidak pernah merasa

8
al-Ghazali. Ihya’ Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

10
kenyang, bahkan sering tidak makan. Sampai pada suatu hari beliau duduk-duduk di
pinggir jalan sedang ia sangat lapar. Tatkala Abu Bakar ra. Lewat disitu ia bertanya ayat
apa yang harus dibacanya dari Al-Qur’an untuk menekan laparnya. Abu bakar tidak
menjawab dan berjalan terus. Kemudian lewat pula Umar Bin Khathab. Abu Hurairah
meminta pula padanya, ditunjukkan Ayat Al-Qur’an yang dapat menahan laparnya..
Umar tidak berbuat apa-apa dan meneruskan perjalanannya. Kemudian lewatlah disitu
pula Rasulullah saw, Nabi tersenyum melihat Abu Hurairah, Nabi tersenyum karena
mengetahui apa yang terkandung dalam dirinya dan yang tersirat di mukanya, Nabi
mengajak Abu Hurairah mengikuti. Tatkala sampai di rumah, Nabi mengeluarkan sebuah
bejana susu dan disuruh minum pada Abu Hurairah, sehingga tidak dapat
menghabiskannya.

Satu contoh lagi adalah yang terjadi pada shahabat Nabi yang bernama Abu Darda’.
Suatu hari Salman Al-Farisi mengunjungi rumah Abu Darda’, yang telah dipersaudarakan
Nabi dengan dia. Maka didapatinya bermurung, tak gembira seperti biasanya. Tatkala
ditanya, istrinya menceritakan, bahwa Abu Darda’ sejak ingin meninggalkan segala
kesenangan dunia ini, ia ingin meninggalkan makan dan minum, karena dianggapnya
dapat mengganggu ibadah dan taqwanya kepada Allah.. Mendengar cerita itu, Salman Al-
Farisi murka, lalu sambil menyajikan makanan ke Abu Darda’ berkata dengan geramnya
: “Aku perintahkan kepadamu supaya kamu makan. Sekarang juga!”. Abu Darda’ lalu
makan. Tatkala waktu tidur Salman memberi perintah lagi : “Aku perintahkan kepadamu
supaya engkau pergi beristirahat dengan istrimu!”. Dan tatkala sampai waktu
sembahyang ia membangunkan saudaranya itu sambil berkata : “Hai, Abu Darda’,
bangunlah engkau sekarang dari tidurmu dan sembahyanglah engkau mengagungkan
Tuhan”. Kemudian kepada Abu Darda’ dijelaskan oleh Salman dengan katanya :
“Kuperingatkan kepadamu, bahwa beribadat kepada Tuhanmu merupakan suatu
kewajiban, merawat dirimupun merupakan suatu kewajiban, melayani keluargamupun
merupakan suatu kewajiban pula untukmu. Penuhilah segala kewajiban itu menurut
haknya masing-masing”. Tatkala keesokan harinya, kelakuan Abu Darda’ dilaporkan
kepada Rasulullah saw, Nabi bersabda : “Benar sungguh apa yang dikatakan Salman”.

Begitulah kehidupan shufi yang terjadi pada diri Rasulullah saw, dan para
shahabatnya dan diikuti pula oleh para Thabi’in, Tabi’it Tabi’in sampai turun temurun
pada generasi selanjutnya hingga sekarang ini. Sedang diantara shahabat Nabi saw yang
mempraktekkan ibadah dalam bentuk Thariqat ini adalah Hudzaifah Al Yamani.

Dan perkembangannya shufi ini kemudian dilanjutkan oleh para generasi dari
kalangan Thabi’in, diantaranya adalah Imam Hasan Al Basyri, seorang ulama besar
Thabi’in murid Hudzaifah Al Yamani. Beliau inilah yang mendirikan pengajian
Tashawwuf di Bashrah. Diantara murid-muridnya adalah Malik bin Dinar, Tsabit Al
Bannay, Ayyub As Sakhtiyany dan Muhammad bin Wasik.

Setelah berdirinya madrasah Tashawwuf itu, disususl pula dengan berdirinya


madrasah di tempat lain, seperti di Irak yang dipimpin oleh sa’id bin Musayyab dan di
Khurasan yang dipimpin olehIbrahim bin Adham. Dengan berdirinya madrasah-madrasah

11
ini, menambah jelaslah kedudukan dan kepentingan tashawwuf dalam masyarakat islam
yang sangat memerlukannnya. Sejak itulah pelajaran ilmu Tashawwuf telah mendapatkan
kedududukan yang tetap dan tidak akan terlepas dari masyarakat Islam sepanjang masa.
Dan pada Abad-abad berikunya ilmu Tashawwuf semakin berkembang sejalan dengan
perkenbangan agama islam di beberapa daerah. Bahkan menurut sejarah, pengembangan
agama islam ke Afrika, ke segenap pelosok Asia yang luas ini, Asia kecil, Asia Timur,
Asia Tengah, sampai ke negara-negara yang berada di tepi lautan Hindia, semuanya
dibawa oleh propaganda-propaganda islam dari kaum Tashawwuf. Sifat dan cara hidup
mereka yang sangat sederhana, kata-kata mereka yang mudah difahami , kelakuan yang
sangat tekun beribadah, semuanya itu lebih menarik dari ribuan kata-kata yang hanya
teori adanya.

Merekalah sebenarnya propaganda islam yang sebenar-benarnya. Pengikut-pengikut


mereka merupakan sukarelawan yang ikhlas yang beribu-ribu jumlahnya, bahkan
berpuluh-puluh ribu yang telah menyerahkan segala apa yang ada padanya, hartanya,
jiwanya sekalipun untuk membawa agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW
lewat orang-orang sufi itu. Karena gerakan mereka mendekati gerakan nabi-nabi atau
wali-wali, maka orang-orang yang di hadapinya, baik Khalifah-khalifah, Raja-raja,
pembesar-pembesar raja dan orang-orang awam takut dan hormat kepada shufi itu.

Karena para penyebar agama Islam itu pada umumnya terdiri dari kalangan Ulama’
shufi, maka dengan sendirinya melalui ajaran yang di bawanya itu dipengaruhi pula oleh
Tashawwuf. Dengan demikan, para propagandis tersebut juga secara langsung
mengembangkan pula ajaran thariqat di berbagai daerah yang menjadi sasaran
Da’wahnya. Pada akhirnya ajaran Tashawwuf tersebut tumbuh dan berkembang dengan
cepat sejalan dengan perkembangan Islam dan Thariqat.

G. Jalan Pendekatan Diri Kepada Tuhan

Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata
hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikan panjang dan penuh duri. Bertahun-
tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang
yang bisa sampai pada puncak tujuan Tashawwuf. Jalan itu disebut Thariqah (bahasa
Arab), dan dari sinilah berasal kata Tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang
intinya adalah penyucian diri, di bagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam
bahasa Arab disebut maqamat-tempat calon seorang sufi menunggu sambil berusaha
keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya.
Sebagaimana telah disebut di atas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama
puasa, shalat, membaca Al-Qur’an dan dzikir. Maka, seirang calon sufi banyak
melaksanakan Ibadat. Tujuan semua ibadat dalam islam ialah mendekatkan diri itu,
terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.9

9
Asmaran As, Drs. MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996

12
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan
seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam Tashawwuf
adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang
dilakukannya. Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil,
kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang
dimaksud adalah tobat nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-
dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun.
Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia
pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi
dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat,
membaca al-qur’an dan zikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan
membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan
kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadah. Pakaiannya sederhana. Ia
menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia
dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, itu diperolehnya dalam
berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur’an dan berdzikir.

Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tidak bisa menggodanya lagi, ia keluar
dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa,
melakukan shalat, membaca al-qur’qn dan berdzikir.10 Ia juga akan selalu naik haji.
Sampailah ia ke stasion wara’. Di stasion ini ia dijauhkan tuhan dari perbuatan-perbuatan
syubhat. Dalam literature tashawwuf di sebut bahwa al-muhasibi menolak makanan,
karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke
arah makanan yang berisi syubhat.

Dari stasion wara’, ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup
kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk
dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta
sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.

Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya
dalam menjalankan perintah-perintah tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan
tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat
yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari
Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakal. Ia menyerahkan diri senulat-bulatnya kepada
kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari
ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tentram. Kendatipun ada
padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari
padanya. Ia bersikap seperti telah mati. Dari stasiion tawakkal, ia meningkat ke stasion
ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima
dengan senang hati. Ia tidak minta masuk syurga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam
hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka
turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini
10
Permadi, K.Drs. S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004

13
ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan
dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan. Karena stasion-stasion
tersebut di atas baru merrupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan
Tashawwuf, ia senarnya belunlah menjadi sufi, tapi barulah menjadi zahid atau calon
sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-
pengalaman tasawuf.

H. Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf

1. Tasawuf Akhlaqi

o Takhalli: membersihkan diri dari sifat2 tercela


o Tahalli: mengisi diri dengan sifat2 terpuji
o Tajalli: terungkapnya nur gaib untuk hati

a. Munajat: melaporkan aktivitas diri pada Allah


b. Muraqabah dan muhasabah: selalu memperhatikan dan
diperhatikan Allah dan menghitung amal
c. Memperbanyak wirid dan zikr
d. Mengingat mati
e. Tafakkur: merenung/meditasi

2. Tasawuf 'Amali

a. Beberapa Istilah praktis


1. Syari'ah: mengikuti hukum agama
2. Thariqah: perjalanan menuju Allah
3. Haqiqah: aspek batiah dari syari'ah
4. Ma'rifah: pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati
b. Jalan Mendekatkan diri kepada Allah
1. Maqamat: tahapan, tingkatan
a. Taubah: pembersihan diri dari dosa
b. Zuhd: sederhana dalam hal duniawi
c. Sabr: pengendalian diri
d. Tawakal: berserah diri sepenuhnya kepada Allah
e. Ridha: menerima qada dan qadar dengan rela
f. Mahabah: cinta kepada Allah
g. Ma'rifah: mengenal keesaan Tuhan
2. Ahwal: kondisi mental
a. Khauf: merasa takut kepada Allah
b. Raja': optimis terhadap karunia Allah
c. Syauq: rindu pada Allah
d. Uns: keterpusatan hanya kepada Allah
e. Yaqin: mantapnya pengetahuan tentang Allah

14
3. Tasawuf Falsafi

a. Fana' dan Baqa': lenyapnya kesadaran dan kekal


b. Ittihad: persatuan antara manusia dengan Tuhan
c. Hulul: penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan
d. Wahdah al-Wujud: alam dan Allah adalah sesuatu yang satu
e. Isyraq: pancaran cahaya atau iluminasi.11

I. Perkembangan Tasawuf dan Thariqat

Semenjak drintis dengan berdiri madrasah shufi di bashra samapi pada abad-abad
berikutnya, tashawwuf terus menerus dikebangan oleh para tokohnya. Dan diantara para
tokoh tersebut kini membentuk suatu aloran-aliran tersendiri, seperti Qadiriah wan
Naqsabandiyah, Asy Syadziliyah, Ar Rifai’iyah, Maulawiyah, Badawiyah dan lain
sebagainya. Kini seluruhnya sudah mencapai jumlah sebanyak 41 aliran yang di pakai
sebagai Thariqat Mu’tabarah.
Dari 41 aliran thariqat diatas, yang paling e\terkenal dan paling banyak pengikutnya
dalam masyarakat adalah :

Thariqat Qadiriyah yang didirkan oleh Syekh Abdul Qadir Al Jailani, lahir pada
tahun 470 H. Wafat pada tahun 561 H. (1164 M.). Pengikutnya yang terbanyak adalah di
India, Afganistan, Baghdad dan Indonesia.

Thariqat Rifa’iyah yang diciptakan dan dibangsakan kepada Syekh Ahmad bin Abdul
Hasan Ar Rifa’I, wafat pada tahun 570 H, (1175 M.). Pengikutnya yang terbanyak di
daerah Maroko dan Al Jazair.

Thariqat Sah rawadiyah dibangsakan kepada Syekh Abil Hasan Ali bin Al
Sahrawadiyah yang wafat pada tahun 630 H. (1240 M.). Pengikutnya yang terbanyak dari
Afrika.

Thariqat Syadziliya yang dibangsakan kepada pendirinya, yaitu Syejh Abil Hasan Ali
bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy Syadzily, meninggal pada tahun 655 H. (1256 M.).
Pengikutnya

11
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/TasawufHN1.html

15
Bab III

KESIMPULAN

1. Tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri ialah al-Qur’an dan Sunah,
mengingat yang dipraktekkan Nabi SAW dan para sahabat. Namun setelah tasawuf itu
berkembang menjadi pemikiran, bisa saja ia mendapat pengaruh dari luar seperti filsafat
Yunani dan sebagainya. Dan andaipun terdapat persamaan dengan ajaran beberapa
agama, kemungkinan yang dapat terjadi adalah persamaan dengan agama-agama samawi
(Nasrani dan Yahudi), mengingat semua agama samawi berasal dari tuhan yang sama
Allah SWT yang dalam Islam diyakini sama mengajarkan tentang ketauhidan.

2. Tasawuf bukanlah sesuatu yang dengannya manusia dapat melakukan sebuah


pelarian, bukanlah sesuatu yang dengannya manusia dapat berpangku tangan terhadap
hidup. Melainkan, tasawuf adalah suatu metode penyucian jiwa dan pembening hati, yang
menjadi bekal utama manusia dalam menggeluti ranah kehidupannya yang, pada
dasarnya tidak pernah terlepas dari berbagia macam persoalan. Tasawuf membimbing
manusia dalam pengembangan kinerja ukhrawi dan sekaligus juga duniawi.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, Dr. MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002

al-Ghazali. Ihya’ Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Asmaran As, Drs. MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996

http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/TasawufHN1.html

Permadi, K.Drs. S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004

Rosihon Anwar, Drs. M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf.
Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada,


1996

17

You might also like