You are on page 1of 19

SEJARAH KERAJAAN 

SRIWIJAYA
Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang banyak berpengaruh di
Nusantara.[1] Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang
pendeta Tiongkok, I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 selama 6
bulan.[2][3] Prasasti pertama mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti
Kedukan Bukit di Palembang, Sumatra, pada tahun 683. Kerajaan ini mulai jatuh sekitar
tahun 1200 – 1300 karena berbagai faktor, termasuk ekspansi kerajaan Majapahit.Dalam
bahasa Sansekerta, sri berarti “bercahaya” dan wijaya berarti “kemenangan”.

Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui keberadaan
kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis
George Coedès dari École française d’Extrême-Orient.

Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya
berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi
Sumatra Selatan, Indonesia).

Historiografi

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya
yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern
yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George
Coedès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia.
Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “Sanfoqi”, sebelumnya dibaca
“Sribhoja”, dan prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.

Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatra awal, dan kerajaan besar yang dapat
mengimbangi Majapahit di timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi
oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara
sebelelum kolonialisme Belanda.[6]

Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Sanfotsi atau
San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan
Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabag dan Khmer menyebutnya Melayu. Banyaknya
nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.

Berikut ini adalah beberapa sumber sejarah yang diketahui berkaitan dengan Sriwijaya:

Berbahasa Sanskerta atau Tamil

- Prasasti Ligor di Thailand


- Prasasti Kanton di Kanton
- Prasasti Siwagraha
- Prasasti Nalanda di India
- Piagam Leiden di India
- Prasasti Tanjor
- Piagam Grahi
- Prasasti Padang Roco
- Prasasti Srilangka

Sumber berita Tiongkok

- Kronik dari Dinasti Tang


- Kronik Dinasti Sung
- Kronik Dinasti Ming
- Kronik Perjalanan I Tsing
- Kronik Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua
- Kronik Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan
- Kronik Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei
- Kronik Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan

Prasasti berbahasa Melayu Kuno

- Prasasti Kedukan Bukit tanggal 16 Juni 682 Masehi di Palembang


- Prasasti Talang Tuo tanggal 23 Maret 684 Masehi di Palembang
- Prasasti Telaga Batu abad ke-7 Masehi di Palembang
- Prasasti Palas Pasemah abad ke-7 Masehi di Lampung Selatan
- Prasasti Karang Brahi abad ke-7 Masehi di Jambi
- Prasasti Kota Kapur tanggal 28 Februari 686 Masehi di P. Bangka
- Prasasti Sojomerto abad ke-7 Masehi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah

Pembentukan dan pertumbuhan

Tidak banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan Menurut Prasasti
Kedukan Bukit, kekaisaran Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Çri Yacanaca (Dapunta
Hyang Sri Jayanasa). Ia memimpin 20.000 tentara (terutama tentara darat dan beberapa ratus
kapal) dari Minanga Tamwan ke Palembang, Jambi, dan Bengkulu. Menurut sebagian
sejarawan, Minanga Tamwan merujuk pada daerah di sekitar hulu sungai Kampar di
Kabupaten Lima Puluh Kota sekarang. Tambo Minangkabau mencatat bahwa keluarga
Dapunta Hyang turun dari gunung Marapi ke hulu sungai Kampar, yang kemudian
keturunannya meluaskan rantau ke selatan Sumatra.

Kerajaan ini adalah pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tidak
memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian
berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar
Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang, Sumatra. Kerajaan ini terdiri atas
tiga zona utama – daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi
yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu
menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas
yang berharga untuk pedagang Tiongkok. Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa,
sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu lokal.

Pada tahun 680 di bawah kepemimpinan Jayanasa, Kerajaan Melayu takluk di bawah
imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Melayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise
kerajaan. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera
dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa
kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di Jawa Tengah berada di
bawah dominasi Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur, imperium menguasai bagian
selatan Sumatera hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China
Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung
Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang
terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Ekspansi kerajaan ke Jawa dan semenanjung Melayu, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua
pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan
candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah
timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal
tersebut, maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di
Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali
Palembang. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer
Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad
yang sama.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792
sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan
ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa.
Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa yang selesai pada
tahun 825.

Di abad ke-12, wilayah imperium Sriwijaya meliputi Sumatera, Sri Lanka, semenanjung
Melayu, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Philipina. Dengan penguasaan
tersebut, kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang hebat hingga abad ke-13.

Budha Vajrayana

Sebagai pusat pengajaran Budha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana
dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Ching, yang melakukan
kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India pada tahun
671 dan 695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Budha asal Benggala yang berperan
dalam mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet. I Ching melaporkan bahwa Sriwijaya
menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha. Pengunjung yang datang ke pulau ini
menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan.

Relasi dengan kekuatan regional

Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa menyatakan
bahwa pada abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas seluruh Sumatra, Jawa
Barat, dan beberapa daerah di semenanjung Melayu. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat
Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan
lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Palembang mengakumulasi
kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok,
Melayu, dan India.

Kerajaan Jambi merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya yang akhirnya
dapat ditaklukkan pada abad ke-7 dan ke-9. Di Jambi, pertambangan emas merupakan
sumber ekonomi cukup penting dan kata Suwarnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada
hal ini. Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh
Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian Barat. Pada abad ke-11 pengaruh
Sriwijaya mulai menyusut. Hal ini ditandai dengan seringnya konflik dengan kerajaan-
kerajaan Jawa, pertama dengan Singasari dan kemudian dengan Majapahit. Di akhir masa,
pusat kerajaan berpindah dari Palembang ke Jambi.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand sebagai ibu kota terakhir
kerajaan, walaupun klaim tersebut tak mendasar. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bagunan
pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi
menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti
tertahun 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada
Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di India selatan cukup baik dan
menjadi buruk setelah terjadi peperangan di abad ke-11.

Masa keemasan

Setelah terjadi kekacauan perdagangan di Kanton antara tahun 820 – 850, pemerintahan
Jambi menyatakan diri sebagai kerajaan merdeka dengan mengirimkan utusan ke China pada
tahun 853 dan 871. Kemerdekaan Jambi bertepatan dengan dirampasnya tahta Sriwijaya di
Jawa dengan diusirnya raja Balaputradewa. Di tahun 902, raja baru mengirimkan upeti ke
China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan
Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan
informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan dengan Arab yang
memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan.[20]

Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya
Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari
perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibn Batutah sangat terkesan dengan
kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit
Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.

Penurunan

Tahun 1025, Rajendra Chola, raja Chola dari Koromandel, India selatan menaklukkan Kedah
dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan
penaklukannya selama 20 tahun berikutnya keseluruh imperium Sriwijaya. Meskipun invasi
Chola tidak berhasil sepenuhnya, tetapi invasi tersebut telah melemahkan hegemoni
Sriwijaya yang berakibat terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk kerajaan sendiri,
seperti Kediri, sebuah kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.

Antara tahun 1079 – 1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan duta
besar dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan 1088, Jambi mengirimkan lebih dari dua
duta besar ke China. Pada periode inilah pusat Sriwijaya telah bergeser secara bertahap dari
Palembang ke Jambi. Ekspedisi Chola telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah
menggantikannya sebagai pusat kerajaan.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[23]yang ditulis pada tahun 1178,
Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang
sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia menemukan bahwa
rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat Sriwijaya memeluk Budha.
Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin
melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di utara Sumatra) dan beberapa koloni di
semenanjung Malaysia. Pada masa itu wilayah Sriwijaya meliputi; Pong-fong (Pahang),
Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an
(?), Ji-lo-t’ing (Jelutong), Ts’ien-mai (?), Pa-t’a (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor),
Kia-lo-hi (Grahi, bagian utara semenanjung Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t’o
(Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan (Srilanka?).

Pada tahun 1288, Singasari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan Palembang dan
Jambi selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit pengganti Singasari,
memerintah Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan tanggung jawab tersebut kepada
Pangeran Adityawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi
pemberontakan terhadap Majapahit, tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan
walaupun di selatan Sumatra sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.

Dimasa berikutnya, terjadi pengendapan pada sungai Musi yang berakibat tertutupnya akses
pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan.
Penurunan Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang di sebarkan oleh
pedagang-pedagang Arab dan India. Di akhir abad ke-13, kerajaan Pasai di bagian utara
Sumatra berpindah agama Islam.

Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan kesultanan Malaka
di semenanjung Malaysia.

Perdagangan dan Perekonomian

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan
Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat
bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kamper, kayu gaharu, cengkeh, pala,
kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.

Pengaruh budaya

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya agama Hindu dan
kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Srivijaya pada
tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-
raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melewati perdagangan dan penaklukkan dari
kurun abad ke-7 hingga abad ke-9.

Pada masa yang sama, agama Islam memasuki Sumatra melalui Aceh yang telah tersebar
melalui hubungan dengan pedagang Arab dan India. Pada tahun 1414 pangeran terakhir
Sriwijaya, Parameswara, memeluk agama Islam dan berhijrah ke Semenanjung Malaya dan
mendirikan Kesultanan Melaka.

Agama Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana disebarkan di pelosok
kepulauan nusantara dan Palembang menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pada tahun
1017, 1025, dan 1068, Sriwijaya telah diserbu raja Chola dari kerajaan Colamandala(India)
yang mengakibatkan hancurnya jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025, raja Sri
Sanggramawidjaja Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah kehilangan
monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya kemegahan Sriwijaya
menurun. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah
naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya.


KERAJAAN MATARAM HINDU-BUDHA

Kerajaan Mataram Kuno atau disebut dengan Bhumi Mataram. Pada awalnya terletak di
Jawa Tengah. Daerah Mataram dikelilingi oleh banyak pegunungan seperti pegunungan
serayu, gunung prau, gunung sindoro, gunung sumbing, gunung ungaran, gunung merbabu,
gunung merapi, pegunungan kendang, gunung lawu, gunung sewu serta gunung kidul.
Daerah ini juga  banyak mengalir sungai besar diantaranya sungai Progo, Bogowonto, Elo,
dan Bengawan Solo. Kerajaan ini sering disebut dengan Kerajaan Mataram Kuna sebagai
pembeda dengan Mataram Baru atau Kesultanan Mataram (Islam). Kerajaan Mataram
merupakan daerah yang subur yang memudahkan terjadinya pertumbuhan penduduk yang 
cukup pesat dan merupakan kekuatan utama bagi Negara darat..

Kerajaan Mataram berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan antara abad ke-8 dan abad ke-10.
Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.

A.   Mataram Hindu – Wangsa Sanjaya (732 M)

1. Sejarah dan Lokasi

Prabu Harisdarma seorang raja dari Kerajaan Sunda. Ia juga merupakan penerus 
Kerajaan Galuh yang sah. Ayahnya bernama Bratasenawa yang merupakan raja ketiga
Kerajaan Galuh. Saat pemerintahan Bratasenawa pada tahun 716 M, Kerajaan Galuh
dikudeta oleh Purbasora. Purbasora dan Bratasena adalah saudara satu ibu, tetapi lain
ayah.  Bratasenawa beserta keluarga melarikan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda,
dan meminta bantuan pada Tarusbawa. Tarusbawa sendiri adalah teman dekat Prabu
Harisdarma sendiri adalah suami dari cucu Tarusbawa.

Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh menyerang Purbasora yang saat itu
menguasai Kerajaan Galuh dengan bantuan dari Tarusbawa dan berhasil
melengserkannya. Prabu Harisdarma pun menjadi raja Kerajaan Sunda Galuh. Prabu
Harisdarma yang juga ahli waris dari Kalingga, kemudian menjadi penguasa Kalingga
Utara yang disebut Bumi Mataram dan dikenal dengan nama Sanjaya pada tahun 732
M. Sanjaya atau Prabu Harisdarma, raja kedua Kerajaan Sunda (723-732 M), menjadi
raja Kerajaan Mataram (Hindu) (732-760 M). ia adalah pendiri Kerajaan Mataram
Kuno sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya.

2. Sumber Sejarah

      Prasasti Canggal

Prasasti yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal berangka
Tahun 732 M dalam bentuk Candrasangkala. Menggunakan huruf pallawa dan bahasa
sangsekerta. Isi dari prasasti tersebut menceritakan tentang pendirian Lingga
(lambang Syiwa) yang merupakan agama Hindu beraliran Siwa di desa Kunjarakunja
oleh Raja Sanya serta menceritakan bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah sena
yang kemudian digantikan oleh Sanjaya.

Prasasti Metyasih/Balitung

Prasasti ini ditemukan di desa Kedu, berangka tahun 907 M.  Prasasti Metyasih yang
diterbitkan oleh Rakai Watukumara Dyah Balitung (Wangsa Sanjaya ke-9) terbuat
dari tembaga.. Prasasti ini dikeluarkan sehubungan dengan pemberian hadiah tanah
kepada lima orang patihnya di Metyasih, karena telah berjasa besar terhadap Kerajaan
serta memuat nama para raja-raja Mataram Kuno.

3. Kehidupan Ekonomi, Sosial, Politik dan Budaya

Dari prasasti Metyasih tersebut, didapatkan nama-nama raja dari Wangsa Sanjaya
yang pernah berkuasa, yaitu :

 1.            Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M)


Masa Sanjaya berkuasa adalah masa-masa pendirian candi-candi siwa di
Gunung Dieng. Kesusasteraan tidak menjadi monopoli kelas profesional.
Pendidikan puisi merupakan pendidikan yang wajib diikuti oleh umum, terlebih
bagi kalangan pegawai istana dan pemuka masyarakat.

Sanjaya memberikan wejangan-wejangan luhur untuk anak cucunya. Apabila


sang Raja yang berkuasa memberi perintah, maka dirimu harus berhati-hati
dalam tingkah laku, hati selalu setia dan taat mengabdi pada sang raja. Bila
melihat gerak lirik raja, tenagkanlah dirimu menerima perintah dan tindakan dan
harus menangkap isinya. Bila belum mampu mengadu kemahiran menagkap
tindakan, lebih baik duduk terdiam dengan hati ditenangkan dan jangan gentar
dihadapan sang raja.

Sanjaya selalu menganjurkan perbuatan luhur kepada seluruh punggawa dan


prajurit kerajaan. Ada empat macam perbuatan luhur untuk mencapai kehidupan
sempurna, yaitu :

        Tresna (Cinta Kasih)

        Gumbira (Bahagia)

        Upeksa (tidak mencampuri urusan orang lain)

        Mitra (Kawan, Sahabat, Saudara atau Teman) 

Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya mangkat kira-kira pertengahan abad ke-8
M. Ia digantikan oleh putranya Rakai Panangkaran.

2.            Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760-780 M)

Rakai Panangkaran yang berarti raja mulia yang berhasil mengambangkan


potensi wilayahnya. Rakai Pangkaran berhasil mewujudkan cita-cita
ayahandanya, Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya dengan mengambangkan
potensi wilayahnya.
Nasehatnya yang terkenal tentang kebahagiaan hidup manusia  adalah :

        Kasuran (Kesaktian)

        Kagunan (Kepandaian)

        Kabegjan (Kekayaan)

        Kabrayan (Banyak Anak Cucu)

        Kasinggihan (Keluhuran)

        Kasyuwan (Panjang Umur)

        Kawidagdan (Keselamatan)

Menurut Prasati Kalasan, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran dibangun


sebuah candi yang bernama Candi Tara, yang didalamnya tersimpang patung
Dewi Tara. Terletak di Desa Kalasan, dan sekarang dikenal dengan nama Candi
Kalasan.

3.            Sri Maharaja Rakai Panaggalan (780-800 M)

Rakai Pananggalan yang berarti raja mulia yang peduli terhadap siklus waktu.
Beliau berjasa atas sistem kalender Jawa Kuno. Rakai Panggalan juga
memberikan rambu-rambu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti
berikut ini “Keselamatan dunia supaya diusahakan agar tinggi derajatnya.
Agar tercapai tujuannya tapi jangan lupa akan tata hidup”

Visi dan Misi Rakai Panggalan yaitu selalu menjunjung tinggi arti penting ilmu
pengetahuan. Perwujudan dari visi dan misi tersebut yaitu Catur Guru. Catur
berarti empat Guru berarti berat. Jadi artinya empat guru yang mempunyai tugas
berat. Catur Guru terdiri dari :

        Guru Sudarma, orang tua yang melairkan manusia.


        Guru Swadaya, Tuhan

        Guru Surasa, Bapak dan Ibu Guru di sekolah 

        Guru Wisesa, Pemerintah pembuat undang-undang untuk kepentingan


bersama

Pemberian penghormatan dalam bidang pendidikan, maka kesadaran  hukum


dan pemerintahan di Mataram masa Rakai Pananggalan dapat diwujudkan.

4.            Sri Maharaja Rakai Warak (800-820 M)

Rakai Warak, yang berarti raja mulia yang peduli pada cita-cita luhur. Pada
masa pemerintahannya, kehidupan dalam dunia militer berkembang dengan
pesat. Berbagai macam senjata diciptakan. Rakai Warak sangat mengutamakan
ketertiban yang berlandaskan pada etika dan moral. Saat Rakai Warak berkuasa,
ada tiga pesan yang diberikan, yaitu :

1.      Kewajiban raja adalah jangan sampai terlena dalam menata, meneliti,
memeriksa dan melindungi.

2.      Pakaian raja adalah menjalankanlah dengan adil dalam memberi hukuman
dan ganjaran kepada yang bersalah dan berjasa.

3.      Kekuatan raja adalah bisa mengasuh, merawat, mengayomi dan memberi
anugrah.

5.            Sri Maharaja Rakai Garung  (820-840 M)

Garung memiliki arti raja mulia yang tahan banting terhadap segala macam
rintangan. Demi memakmurkan rakyatnya, Sri Maharaja Rakai Garung bekerja
siang hingga malam. Hal ini dilakukan tak lain hanya mengharap keselamatan
dunia raya yang diagungkan dalam ajarannya.
Dalam menjalankan pemerintahannya Rakai Garung memiliki prinsip tri kaya
parasada yang berarti tiga perilaku manusia yang suci. Tri Kaya Parasada yang
dimaksud, yaitu :

        Manacika yang berarti berfikir yang baik dan benar.

        Wacika yang berarti berkata yang baik dan benar.

        Kayika yang berarti berbuat yang baik dan benar.

6.            Sri Maharaja Rakai Pikatan (840 – 856 M)

Dinasti Sanjaya mengalami masa gemilang pada masa pemerintahan Rakai


Pikatan. Dalam Prasasti Tulang Air di Candi Perut (850 M) menyebutkan bahwa
Rakai Pikatan yang bergelar Ratu mencapai masa kemakmuran dan kemajuan.
Pada masa pemerintahannya, pasukan Balaputera Dewa menyerang wilayah
kekuasaannya. Namun Rakai Pikatan tetap mempertahankan kedaulatan
negerinya dan bahkan pasukan Balaputera Dewa dapat dipukul mundur dan
melarikan diri ke Palembang.

Pada zaman Rakai Pikatan inilah dibangunnya Candi Prambanan dan Candi
Roro Jonggrang. Pembuatan Candi tersebut terdapat dalam prasasti Siwagraha
yang berangka tahun 856 M. Rakai Pikatan terkenal dengan konsepnya Wasesa
Tri Dharma yang berarti tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia.

7.            Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (856 – 882 M)

Prasasti Siwagraha menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rakai Kayuwangi


memiliki gelar Sang Prabu Dyah Lokapala. Tugas utamanya yaitu
memakmurkan, mencerdaskan, dan melindungi keselamatan warga negaranya.

Pada masa pemerintahannya, Rakai Kayuwangi menuturkan bahwa ada  enam


alat untuk mencari ilmu, yaitu :
1.      Bersungguh-sungguh tidak gentar

Semua tutur kata dan budi bahasa dilakukan dengan baik, selaras dan
menyatu.

2.      Bertenggang rasa

Memperhatikan sikap yang kurang baik dengan kebenaran.

3.      Ulah pikiran

Menimbang-nimbang dengan memperhatikan tujuan kemampuan dan


kemauan yang diterapkan harus atas pemikiran yang tepat.

4.      Penerapan ajaran 

Dalam setiap melaksanakan kehendak harus dipertimbangkan, jangan


sampai tergesa-gesa. Jangan melupakan ajaran terdahulu, ajaran masa kini
perlu untuk diketahui

5.      Kemauan

Sanggup sehidup semati, mematikan keinginan dan membersihkan diri.


Dalam kata lain, tekad dan niat harus dilakukan dantidak segan-segan dalam
melakukan pekerjaan

6.      Menguasai berbagai bahasa

Memahami semua bahasa agar mampu mengatasi perhubungan serta mampu


mengakrabi siapa saja.

8.            Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882 – 899 M)

Sri Maharaja Rakai Watuhumalang memiliki prinsip dalam menjalankan


pemerintahannya. Prinsip yang dipegangnya adalah  Tri Parama Arta yang
berarti tiga perbuatan untuk mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan
orang lain. Tri Parama Arta terdiri dari :

1.      Cinta Kasih, menyayangi dan mengasihi sesama makhluk sebagaimana


mengasihi diri sendiri.

2.      Punian, perwujudan cinta kasih dengan saling tolong menolong dengan
memberikan sesuatu yang dimiliki secara ikhlas.

3.      Bakti, perwujudan hati nurani berupa cinta kasih dan sujud Tuhan, orang
tua, guru dan pemerintah.

9.            Sri Maharaja Watukumara Dyah Balitung (898 – 915 M)

Pada masa pemerintahannya beliau memiliki seorang teknokrat intelektual yang


handal bernama Daksottama. Pemikirannya mempengaruhi gagasan Sang Prabu
Dyah Balitung. Masa pemerintahannya duja menjadi masa keemasan bagi
Wangsa Sanjaya. Sang Prabu aktif mengolah cipta karya untuk mengembangkan
kemajuan masyarakatnya. Dalam mengolah cipta karya, tahun 907 Dyah
Balitung membuat Prasasti Kedu atau Metyasih yang berisikan nama-nama raja
Kerajaan Mataram Wangsa Sanjaya. Serta menjelaskan bahwa pertunjukan
wayang (mengambil lakon Bima di masa muda) untuk keperluan upacara telah
dikenal pada masa itu.

10.        Sri Maharaja Rakai Daksottama (915 – 919 M)

Daksottama yang berarti sorang pemimpin yang utama dan istimewa. Pada masa
pemerintahan Dyah Balitung, Daksottama dipersiapkan untuk menggantikannya
sebagai raja Mataram Hindu.

11.        Sri Maharaja Dyah Tulodhong (919 – 921 M)


Rakai Dyah Tulodhong mengabdikan dirinya kepada masyarakat menggantikan
kepemimpinan Rakai Daksottama. Keterangan tersebut termuat dalam Prasasti
Poh Galuh yang berangka tahun   809 M. Pada masa pemerintahannya, Dyah
Tulodhong sangat memperhatikan kaum brahmana

12.        Sri Maharaja Dyah Wawa ( 921 – 928 M)

Rakai Sumba Dyah Wawa dinobatkan sebagai raja Mataram pada tahun 921 M.
Beliau terkenal sebagai raja yang ahli dalam berdiplomasi, sehingga sangat
terkenal dalam kancah politik internasional.

Roda perekonomian pada masa pemerintahannya berjalan dengan pesat. Dalam


menjalankan pemerintahannya Dyah Wawa memiliki visiTri Rena Tata yang
berarti tiga hutang yang dimiliki manusia. Pertama hutang kepada Tuhan yang
menciptakannya, Kedua hutang jasa kepada leluhur yang telah melahirkannya.
Dan ketiga, hutang ilmu kepada guru yang telah mengajarkannya.

13.        Sri Maharaja Rakai Empu Sendok (929 – 930 M)

Empu Sendok, terkenal dengan kecerdasan, ketangkasan , kejujuran dan


kecakapannya. Manajemen dan Akuntansi dikuasai, psikologi diperhatikan.

4. Keruntuhan Wangsa Sanjaya

Pada abad ke-10, Dyah Wawa mempersiapkan stategi suksesi Empu Sendok yang
memiliki integritas dan moralitas sebagai calon pemimpin Mataram. Pada saat itulah
pemerintahan Dyah Wawa mengalami kemunduran. Empu Sendok yang memegang
pemerintahan setelah Dyah Wawa meninggal merasa khawatir terhadap serangan
yang dilancarkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Empu Sendok memindahkan pusat
pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur Sumber lain menyebutkan
perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh meletusnya gunung
merapi di Jawa Tengah.

B.  Mataram Budha – Wangsa Syailendra (752 M)


1.     Sejarah dan Lokasi

Syailendra adalah wangsa atau dinasti Kerajaan Mataram Kuno yang beragama
Budha. Wangsa Syailendra di Medang, daerah Jawa Tengah bagian selatan. Wangsa
ini berkuasa sejak tahun 752 M dan hidup berdampingan dengan Wangsa Sanjaya.

2.     Sumber Sejarah

Nama Syailendra pertama kali dijumpai dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun
778 M. Ada beberapa sumber yang menyebutkan asal-usul keluarga Syailendra, Yaitu
:

 Sumber India

Nilakanta Sastri dan Moes yang berasal dari India dan menetap di Palembang
menyatakah bahwa pada tahun 683 M keluarga Syailendra melarikan diri ke Jawa
karena terdesak oleh Dapunta Hyan.

Sumber Funan

Codes beranggapan bahwa Syailendra yang ada di Nusantara berasal dari Funan
(Kamboja). Kerusuhan yang terjadi di Funan mengakibatkan keluarga Kerajaan Funan
menyingkir ke Jawa dan menjadi penguasa di Mataram pada abad ke-8 M dengan
menggunakan nama Syailendra.

Sumber Jawa

Menurut Purbatjaraka, Keluarga Syailendra adalah keturunan dari Wangsa Sanjaya di


era pemerintahan Rakai Panangkaran. Raja-raja dari keluarga Sayilendra adalah asli
dari Nusantara sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi penganut agama
Budha Mahayana. Pendapatnya tersebut berdasarkan Carita Parahiyangan yang
menyebutkan bahwa Sanjaya menyerahkan kekuasaanya di Jawa Barat kepada
puteranya dari Tejakencana, yaitu Rakai Tamperan atau Rakeyan Panambaran dan
memintanya untuk berpindah agama.

Selain dari teori tersebut di atas dapat dilihat dari beberapa Prasasti yang ditemukan,
Yaitu :

Prasasti Sojomerto

Prasasti yang berasal dari pertengahan abad ke-7 itu berbahasa Melayu Kuno di desa
Sojomerto, Kabupaten Pekalongan yang menjelaskan bahwa Dapunta Syailendra
adalah penganut agamat Siwa

Prasasti Kalasan

Prasasti yang berangka tahun 778 M merupakan prasasti peninggala Wangsa Sanjaya.
Prasasti ini menceritakan tentang pendirian Candi Kalasan oleh Rakai Panagkaran
atas permintaan keluarga Syailendra serta sebagai penghadiahan desa Kalasan untuk
umat Budha.

Prasasti Klurak

Prasasti yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan menyebutkan tentang


pembuatan Arca Manjusri yang merupakan perwujudan Sang Budha, Wisnu dan
Sanggha. Prasasti ini juga menyebutkan nama raja yang berkuasa saat itu yang
bernama Raja Indra.

Prasasti Ratu Boko

Prasasti berangka tahun 865 M menyebutkan tentang kekalahan Raja Balaputra Dewa
dalam perang saudara melawan kakaknya Pradhowardhani dan melarikan diri ke
Palembang.
 

Nama Syailendra juga muncul dalam Prasasti Klurak  (782 M)


“Syailendrawansantilakena”, Prasasti Abhayagiriwihara (792 M)
“Dharmmatunggadewasyasailendra”, Prasasti Kayumwunan (824 M)
“Syailendrawansatilaka”,

3.     Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Politik

Kehidupan sosial Kerajaan Mataram Dinasti Syailendra ditafsirkan telah teratur. Hal
ini dilihat dari pembuatan Candi yang menggunakan tenaga rakyat secara bergotong
royong. Dari segi budaya Kerajaan Dinasti Syailendra juga banyak meninggalkan
bangunan-bangunan megah dan bernilai.

Adapun Raja-raja yang pernah berkuasa, yaitu :

1.      Bhanu (752 – 775 M)

Raja Banu merupakan Raja pertama sekaligus pendiri Wangsa Syailendra

 2.      Wisnu (775 – 782 M)

Pada masa pemerintahannya, Candi Borobudur mulai dibangun tepatnya 778 M.

 3.      Indra (782 – 812 M)

Pada masa pemerintahannya, Raja Indra membuat Klurak yang berangka tahun
782 M, di daerah Prambanan

4.      Samaratungga ( 812 – 833 M)

Raja Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan


rakyatnya. Sebagai raja Mataram Budha, Samaratungga sangat menhayati nilai
agama dan budaya Pada masa pemerintahannya Candi Borobudur selesai
dibangun.
5.      Pramodhawardhani (883 – 856 M)

Pramodhawardhani adalah putri Samaratungga yang dikenal cerdas dan cantik.


Beliau bergelar Sri Kaluhunan, yang artinya seorang sekar kedhaton yang menjadi
tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodhawardhani kelak menjadi permaisuri raja
Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya.

6.      Balaputera Dewa (883 – 850 M)

Balaputera Dewa adalah putera Raja Samaratungga dari ibu yang bernama Dewi
Tara, puteri raja Sriwijaya. Dari Prasasti Ratu Boko, terjadi perebutan tahta
kerajaan oleh Rakai Pikatan yang menjadi suami Pramodhawardhani. Balaputera
Dewa merasa berhak mendapatkan tahta tersebut karena beliau merupakan anak
laki-laki berdarah Syailendra dan tidak setuju terhadap tahta yang diberikan
kepada Rakai  Pikatan yang keturunan Sanjaya. Dalam peperangan saudara
tersebut Balaputera Dewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Pelembang.

4.     Keruntuhan Wangsa Syailendra

Sejak terjadi perebutan kekuasaan dan dipimpin oleh Rakai Pikatan, agama Hindu
mulai dominan menggantikan agama Budha. Sejak saat itulah berakhirnya masa
Wangsa Syailendra di Bumi Mataram..

Dari kedua Wangsa yang berkuasa di Bhumi Mataram tersebut, sampai saat ini masih dapat
dilihat bangunan-bangunan suci yang berbentuk, yaitu :

Candi di pegunungan Dieng, Candi Gedung Songo, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi
Prambanan, Candi Sambi Sari dan masih banyak yang lainnya.

You might also like