Professional Documents
Culture Documents
(DKIJ):
ANTARA PERENCANAAN DAN
PELAKSANAAN
Oleh :
Kelompok 2/PSL
Abstrak:
Sebagaimana kota metropolitan lainnya DKI Jakarta mengalami berbagai masalah dalam
pengelolaan sampah. Salah satu permasalahan yang ditemukenali adalah adanya inkosistensi
pemerintah DKIJ dalam mengimplementasikan pelaksanaan dan kebijakan yang telah dirumuskan
Makalah ini mengevaluasi hal tersebut dari aspek kebijakan dan peraturan perundangan, aspek
institusional, aspek teknis dan operasional, keuangan, dan partisipasi masyarakat.
I. PENDAHULUAN
Jakarta sebagai Kota Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia merupakan kota
dengan jumlah penduduk terbesar diantara kota-kota metropolitan di seluruh Indonesia.
Pengaturan Kota Jakarta secara khusus diatur dalam UU NO. 34 / 1999 tentang Pemerintahan
Propinsi Daerah khusus Ibukota Negara Republik Indonesia dimana berdasarkan UU tersebut
DKIJ merupakan satu-satunya daerah otonomi tingkat Propinsi yang bagian-bagian
wilayahnya tidak mempunyai otonomi di dalam mengurus wilayahnya kecuali hanya
administrasi saja.
Sebagai Ibu Kota Negara dan dalam usaha menghadapi persaingan dengan kota-kota
lain di dunia, pemerintah Daerah DKIJ menetapkan sebuah visi Pembangunan Kota Jakarta
tahun 1998 – 2002 yaitu “ Terwujudnya Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia
yang sejajar dengan kota-kota Negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan
berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan “ sedangkan misi yang diemban
adalah : “ Membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat (Community Base
Development : CBD), mengembangkan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan
(Sustainable Development), mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa (service city) skala
nasional dan internasional.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka timbul pertanyaan
sampai sejauh mana ketidaksesuaian antara perencanaan terhadap pelaksanaan dan kebijakan
pengelolaan sampah di DKIJ. Ketidak konsistenan ini menimbulkan berbagai dampak negatif
baik langsung maupun tidak langsung.
Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat baik berupa zat
organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak terurai dan dianggap
sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke lingkungan (Menteri Negara lingkungan
Hidup, 2003). Segala macam organisme yang ada di alam ini selalu menghasilkan sampah
atau bahan buangan. Sebagian besar sampah yang dihasilkan oleh organisme yang ada di
alam ini bersifat organik, kecuali sampah yang berasal dari aktifitas manusia yang dapat
bersifat organik maupun anorganik. Contoh sampah organik adalah: sisa-sisa bahan makanan
yang berasal dari tumbuhan atau hewan, kertas, kayu, bambu, dan lain-lain. Sedangkan
sampah anorganik misalnya plastik, logam, gelas, dan karet.
Tidak ada organisme di alam ini yang menghasilkan sampah sebanyak manusia.
Ditinjau dari kepentingan kelestarian lingkungan, sampah yang bersifat organik lebih
menguntungkan karena dengan mudah dapat didegradasi atau dipecah oleh mikroorganisme,
menjadi bahan yang mudah menyatu dengan alam tanpa menimbulkan pencemaran pada
lingkungan. Sebaliknya sampah anorganik relatif sukar didegradasi.
Penempatan TPA harus menghindari timbulnya dampak lingkungan. Oleh karena itu,
agar dipertimbangkan pula kemungkinan dampaknya. Namun dalam kenyataannya, sering
terjadi TPA tersebut menimbulkan permasalahan dengan masyarakat sekitarnya seperti kasus
TPA Bantargebang ataupun TPA di kota-kota metropolitan lainnya. Untuk itu perlu diketahui
dampak pencemaran sampah yang dapat dibagi dua yaitu dampak langsung dan tidak
langsung.
Dampak pencemaran sampah yang secara langsung dirasakan oleh manusia adalah
pembuangan limbah padat organik yang berasal dari kegiatan rumah tangga dan juga kegiatan
industri olahan bahan makanan. Limbah padat organik yang didegradasi oleh
mikroorganisme dalam kondisi anaerobik akan menimbulkan bau yang tidak sedap (busuk)
akibat penguraian limbah menjadi bagian-bagian yang kecil disertai dengan pelepasan gas.
Limbah organik yang mengandung protein akan lebih banyak menghasilkan bau yang lebih
tidak sedap lagi, karena protein yang mengandung gugus amin akan terurai menjadi gas
ammonia. Dampak langsung lain adalah adanya timbunan limbah padat dalam jumlah besar
yang akan menimbulkan pemandangan yang tidak sedap, kotor dan kumuh. Kesan kotor ini
secara psikis akan mempengaruhi penduduk di sekitar TPA tersebut.
Untuk mengatasi bau busuk dan timbunan sampah ini, Jepang telah memanfaatkan
teknologi baru dalam pengolahan sampah yaitu dengan memanfaatkan natural zeolite.
Teknologi ini dapat menghilangkan bau dan menyusutkan volume sampai dengan 70%
(Media Indonesia, 2002).
Dampak tak langsung akibat pencemaran sampah adalah dampak yang dirasakan oleh
manusia melalui media lain yang ditimbulkan akibat pencemaran tersebut. Jadi media lain
inilah yang merupakan dampak langsung pencemaran yang selanjutnya memberikan
dampaknya pada manusia. Sebagai contoh dampak tak langsung dari tempat pembuangan
sampah, baik tempat penimbunan sementara maupun tempat pembuangan akhir, akan
menjadi pusat berkembang biaknya tikus dan serangga yang merugikan manusia, seperti lalat
dan nyamuk. Tempat pembuangan sampah merupakan tempat yang kumuh namun
menyediakan makanan yang cukup bagi perkembangan tikus, yang berupa limbah organik
terutama sisa-sisa makanan yang dibuang ke tempat itu. Ruang yang ada dicelah-celah
sampah dapat berupa ban, kaleng bekas, kardus, dan lain-lain merupakan tempat yang ideal
bagi persembunyian dan perkembangbiakan tikus (Wardhana, 1995). Akibat banyaknya tikus
di areal TPA akan menyebabkan timbulnya penykit pes.
Lalat pada umumnya berkembangbiak pada sampah organik, terutama pada sampah
yang banyak mengandung protein, seperti sisa makanan. Proses degradasi sampah organik
menimbulkan panas yang dapat dipakai untuk menetaskan telur-telur lalat (Wardhana, 1995).
Banyaknya lalat di TPA akan menyebarkan penyakit desentri dan kaki gajah.
2.2. Pengelolaan Sampah
Ada tiga kemungkinan pengelolaan sampah, yaitu dikubur, dibakar, dan sanitary
landfill. Sistem dikubur yaitu dengan membuat galian pada kedalaman tertentu lalu diberi
penadah plastik dan diisi tanah setinggi 0,5 (setengah) meter. Resiko dari sistem ini adalah
hancurnya plastik oleh pelarut kimia (Noriko, 2003).
Sistem pembakaran dengan incenerator pada suhu 1100 oC. Lama pembakaran, suhu
dan pencampuran oksigen yang tepat dapat menghancurkan 99% sampah. Asap yang
terbentuk diolah lebih dahulu sebelum dibuang ke udara. Resiko sistem pembakaran yang
tidak mencapai tingkat suhu tersebut adalah timbulnya dioksin yang sangat beracun dan
menimbulkan berbagai jenis kanker.
Sistem sanitary landfill adalah metode pembuangan akhir sampah dengan metode
tertentu sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan membahayaakan kesehatan. Sistem ini
membuang dan menumpuk sampah pada suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah
tersebut kemudian menutupnya dengan tanah. Metode ini dapat menghilangkan polusi udara,
sedangkan polusi di tanah dan air dapat diminimalisir dengan meletakan lapisan geotextile
untuk menjegah meresapnya air lindi ke air tanah. Gambar di bawah ini memperlihatkan
proses sanitary landfill yang terletak di atas air tanah dan menimbulkan kontaminasi air
tanah.
Gambar 1. Proses sanitary landfill yang terletak di atas air tanah
a. Menetapkan konsep umum pengelolaan sampah yang akan dicapai oleh Pemda DKI
di masa yang akan datang.
b. Menetapkan konsep dasar strategi untuk mencapai tujuan.
c. Konsep langkah nyata yang dijabarkan dari konsep strategi.
d. Menetapkan target pencapaian tujuan secara kuantitatif.
Di dalam kajian ini ditetapkan kebijakan untuk membangun 2 (dua) lokasi sanitary
landfill yang terletak di luar wilayah DKIJ yaitu: TPA Bantargebang di Kotamadya Bekasi
yang dibangun pada tahun 1990 dan TPA Ciangir di Kabupaten Tangerang yang
direncanakan dibangun pada tahun 1993, dimana Bantargebang akan melayani buangan
sampah dari wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Kota Bekasi.
Sedangkan TPA Ciangir akan melayani buangan sampah dari wilayah Jakarta Selatan, Jakarta
Barat, dan Kota Tangerang.
Rencana jumlah sampah dan tempat pembuangan sampai dengan tahun 2005 adalah
sebagaimana tabel 1 berikut :
Tahun TPA Bantargebang TPA Ciangir Dibuang di dalam Kota Total (ton / hari)
Sedangkan proyeksi timbulan Sampah DKIJ sebagaimana ditunjukkan pada tabel 2 berikut :
Tabel 2. Proyeksi timbulan Sampah DKIJ
Secara garis besar alur penanganan sampah di DKIJ sejak dari sumber sampah
sampai ke TPA dapat dilihat pada bagan berikut :
Gambar 2. Alur penanganan sampah DKI Jakarta
Sumber sampah:
RUMAH TANGGA
51,22%
PASAR TEMPORER
(5,7%)
11,20%
KOMERSIAL
16,71%
JALAN
0,95%
INDUSTRI
(15,22%)
TPS
DIPERGUNAKAN KEMBALI
SANITARY LANDFILL
(PLI)
B-3
Sedangkan penanggung jawab dari jenis sampah dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Institusi Penanggung Jawab Sesuai dengan Sumber Sampah
Instansi yang
memutuskan
SUMBER Pengumpulan Awal Transportasi Pengolahan (bertanggung
SAMPAH dan jawab)
Pembuangan
Sampah Dinas K Dinas K
Domestik
Dinas K Dinas K Dinas K
(R. Tangga)
RW Tempat Pemb.
Sendiri
Dinas K
RT / RW
RT / RW
Sampah Pasar Dinas K Dinas K Dinas K Dinas K
Pembuangan
sendiri di
tempat
Sampah
Saluran/Sung
ai DPU DPU Dinas K DPU
Sampah Dinas Pertamanan Dinas Dinas K Dinas
Taman Kota Pertamanan Pertamanan
Komposisi sampah yang dibuang ke TPA Bantargebang berdasarkan data dari Dinas
Kebersihan DKI (1999) terdiri dari sampah Organik 65,05% dan Sampah Non Organik
34,95%.
Pengelolaan sampah di DKIJ saat ini menghadapi berbagai persoalan, mulai dari
aspek teknis, operasional, institusi, keuangan, peraturan perundangan serta partisipasi
masyarakat, secara ringkas masalah indikasi dan penyebabnya dapat dilihat pada tabel 4.
beberapa tempat.
2.
Kerjasama / peran Swasta masyarakat
masih rendah.
ASPEK TEKNIS Pengumpulan di pengumpulan sampah belum 1. Kurang efisien dalam pengumpulan,
memadai masih terlihat gerobak dan TPS-TPS
kosong.
1. Kurangnya petugas.
3. Kurangnya kontrol
penimbangan sampah yang
dikumpulkan.
4. Kurangnya pemeliharaan
kendaraan.
2. Kurangnya kendaraan
Penyapuan Jalan pengangkut untuk effisiensi
INSTITUSI 2. Struktur Suku Dinas yang kurang memadai. 3. Masih adanya tugas yang
tumpang tindih antar seksi di dalam
Struktur Dinas Kebersihan.
Personil
1. Tidak jelasnya
tanggungjawab yang berkaitan dengan
Sumber pembuangan sampah.
PARTISIPASI
MASYARAKAT
Beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah DKIJ telah dirumuskan dengan
baik artinya telah memperhatikan prinsip-prinsip dalam pengelolaan sampah, seperti
misalnya melakukan 3R (Reduce, Reuse dan Recycling) pada sumbernya. Namun
implementasi kebijakan tersebut yang tidak dilaksanakan. Hal ini nampak pada sistem
penempatan sampah yang dilakukan oleh seluruh masyarakat masih belum memperhatikan
prinsip 3R tersebut. Untuk melaksanakan proses 3R masyarakat melakukan pemilahan
sampah pada sumbernya yang harus didukung dengan peraturan perundangan.
Peraturan perundangan yang ada pada saat ini masih belum memadai untuk
melakukan pengelolaan sampah secara terintegrasi (Integrated Solid Waste Management)
yang melibatkan seluruh pemegang kepentingan (stakeholders). Kondisi ini mengakibatkan
tidak jelasnya hak dan kewajiban para pihak yang terkait dengan persampahan.
Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa pengelolaan sampah yang dilakukan belum
ditunjang dengan peralatan, petugas dan dana operasi yang memadai disamping kurang
efisiennya penanganan sampah oleh berbagai pihak sebagaimana terlihat pada tabel 3,
terdapat beberapa instansi yang menanagani persampahan yang bergantung pada jenis dan
asal sampah.
Dalam aspek operasional pengelolaan sampah DKIJ masih belum memadai dalam
melakukan kontrol terhadap beberapa kegiatan seperti penghitungan volume sampah yang
masuk ke TPA Bantargebang, kurangnya pemeliharaan peralatan-peralatan yang digunakan
terutama alat-alat berat yang rusak dan tidak dapat dipergunakan sebelum masa ekonomis
peralatan tersebut berakhir, yang pada gilirannya pengoperasian pengaangkutan dan
pengolahan sampah kurang effektif dilakukan.
5.1. Kesimpulan
Dari permasalahan dan persoalan yang timbul dalam pengelolaan sampah baik aspek
kebijakan, aspek teknis, keuangan, peraturan perundangan, serta peranserta masyarakat dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebijakan yang dibuat tidak cukup hanya sampai pada tersusunnya suatu kebijakan
sampai dengan diundangkannya kebijakan tersebut, namun implementasinya harus
dibarengi dengan rencana tindak (action plan) yang mengarah kepada dicapainya
tujuan akhir dari apa yang diinginkan.
2. Terdapat inkonsistensi pelaksanaan terhadap perencanaan yang dilakukan oleh
pemerintah DKIJ dalam pengelolaan sampah. Hal ini terlihat jelas dalam skenaraio
perencanaan dimana ditetapkannya 2 (dua) TPA yaitu Bantargebang dan Ciangir-
Tangerang, yang pada kenyataanya DKIJ hanya membangun TPA Bantargebang saja.
3. Timbulnya keluhan masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Bantargebang
diakibatkan oleh Dinas Kebersihan DKIJ yang tidak mengoperasikan TPA tersebut
secara Sanitary Landfill, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan yang
berdampak pada ditolaknya pembangunan TPA Ciangir oleh masyarakat.
4. Lemahnya aparatur yang menangani pengelolaan persampahan menimbulkan
minimnya kinerja pengelolaan sampah di DKIJ.
5. Adanya tumpang tindih antar institusi yang bertanggung jawab dalam menangani
masalah sampah.
5.2. Saran
Dari kesimpulan yang ada, disarankan kepada Pemerintah Daerah DKIJ untuk
melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan
kinerja pengelolaan persampahan DKIJ sebagai berikut:
3. Konsisten terhadap hasil kajian yang telah dilakukan untuk menghindari timbulnya
keputusan-keputusan sesaat yang tidak berdasarkan kepada kajian secara ilmiah.
5. Mengubah paradigma TPA sebagai suatu pekerjaan sosial menjadi suatu industri
pengelolaan sampah yang berbasis manajemen industri secara profesional.
1. Chalik A. Alex, (2000), Tesis Magister ITB : Evaluasi Pengelolaan Sampah DKI
Jakarta pada TPA Sampah Bantargebang, Bandung.
2. JICA, (1987), Study on Solid Waste Managemnt System Improvment Project in the
City of Jakarta in Indonesia, Jakarta.
3. Kompas, (10 Januari 2004), Sampah dan Pemerintah, www.kompas.com/kompas-
cetak/0401/10/Fokus/791775.htm, dikunjungi 19/03/2004.
4. Media Indonesia, (2002), Jabotabek: Teratasi Bau Busuk Sampah di TPA Bantar
Gebang, http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2002090504345953,
dikunjungi 08/03/2004.
5. Menteri Negara Lingkungan Hidup, (2003), Japan International Cooperation Agency
(JICA): Draft Naskah Akademik Peraturan Pengelolaan Sampah, Yayasan Pesantren
Islam Al Azhar, Jakarta.
6. Noriko, Nita, (2003), Tinjauan Ekologis Tempat Pemusnahan Akhir Bantar Gebang,
Bekasi, http://www.rudyct.tripod.com/sem2_023/nita_noriko.htm, dikunjungi
08/03/2004.
7. Soekmadi, Budihardjo, (2003), Pengalaman memimpin DKI Jakarta di Era
Reformasi, paper, Jakarta.
8. Wardhana, Wisnu Arya, (1995), Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Offset,
Yogyakarta.
Kelompok 2/PSL
Abstrak:
Sebagaimana kota metropolitan lainnya DKI Jakarta mengalami berbagai masalah dalam
pengelolaan sampah. Salah satu permasalahan yang ditemukenali adalah adanya inkosistensi
pemerintah DKIJ dalam mengimplementasikan pelaksanaan dan kebijakan yang telah dirumuskan
Makalah ini mengevaluasi hal tersebut dari aspek kebijakan dan peraturan perundangan, aspek
institusional, aspek teknis dan operasional, keuangan, dan partisipasi masyarakat.
I. PENDAHULUAN
Jakarta sebagai Kota Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia merupakan kota
dengan jumlah penduduk terbesar diantara kota-kota metropolitan di seluruh Indonesia.
Pengaturan Kota Jakarta secara khusus diatur dalam UU NO. 34 / 1999 tentang Pemerintahan
Propinsi Daerah khusus Ibukota Negara Republik Indonesia dimana berdasarkan UU tersebut
DKIJ merupakan satu-satunya daerah otonomi tingkat Propinsi yang bagian-bagian
wilayahnya tidak mempunyai otonomi di dalam mengurus wilayahnya kecuali hanya
administrasi saja.
Sebagai Ibu Kota Negara dan dalam usaha menghadapi persaingan dengan kota-kota
lain di dunia, pemerintah Daerah DKIJ menetapkan sebuah visi Pembangunan Kota Jakarta
tahun 1998 – 2002 yaitu “ Terwujudnya Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia
yang sejajar dengan kota-kota Negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan
berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan “ sedangkan misi yang diemban
adalah : “ Membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat (Community Base
Development : CBD), mengembangkan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan
(Sustainable Development), mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa (service city) skala
nasional dan internasional.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka timbul pertanyaan
sampai sejauh mana ketidaksesuaian antara perencanaan terhadap pelaksanaan dan kebijakan
pengelolaan sampah di DKIJ. Ketidak konsistenan ini menimbulkan berbagai dampak negatif
baik langsung maupun tidak langsung.
Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat baik berupa zat
organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak terurai dan dianggap
sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke lingkungan (Menteri Negara lingkungan
Hidup, 2003). Segala macam organisme yang ada di alam ini selalu menghasilkan sampah
atau bahan buangan. Sebagian besar sampah yang dihasilkan oleh organisme yang ada di
alam ini bersifat organik, kecuali sampah yang berasal dari aktifitas manusia yang dapat
bersifat organik maupun anorganik. Contoh sampah organik adalah: sisa-sisa bahan makanan
yang berasal dari tumbuhan atau hewan, kertas, kayu, bambu, dan lain-lain. Sedangkan
sampah anorganik misalnya plastik, logam, gelas, dan karet.
Tidak ada organisme di alam ini yang menghasilkan sampah sebanyak manusia.
Ditinjau dari kepentingan kelestarian lingkungan, sampah yang bersifat organik lebih
menguntungkan karena dengan mudah dapat didegradasi atau dipecah oleh mikroorganisme,
menjadi bahan yang mudah menyatu dengan alam tanpa menimbulkan pencemaran pada
lingkungan. Sebaliknya sampah anorganik relatif sukar didegradasi.
Penempatan TPA harus menghindari timbulnya dampak lingkungan. Oleh karena itu,
agar dipertimbangkan pula kemungkinan dampaknya. Namun dalam kenyataannya, sering
terjadi TPA tersebut menimbulkan permasalahan dengan masyarakat sekitarnya seperti kasus
TPA Bantargebang ataupun TPA di kota-kota metropolitan lainnya. Untuk itu perlu diketahui
dampak pencemaran sampah yang dapat dibagi dua yaitu dampak langsung dan tidak
langsung.
Dampak pencemaran sampah yang secara langsung dirasakan oleh manusia adalah
pembuangan limbah padat organik yang berasal dari kegiatan rumah tangga dan juga kegiatan
industri olahan bahan makanan. Limbah padat organik yang didegradasi oleh
mikroorganisme dalam kondisi anaerobik akan menimbulkan bau yang tidak sedap (busuk)
akibat penguraian limbah menjadi bagian-bagian yang kecil disertai dengan pelepasan gas.
Limbah organik yang mengandung protein akan lebih banyak menghasilkan bau yang lebih
tidak sedap lagi, karena protein yang mengandung gugus amin akan terurai menjadi gas
ammonia. Dampak langsung lain adalah adanya timbunan limbah padat dalam jumlah besar
yang akan menimbulkan pemandangan yang tidak sedap, kotor dan kumuh. Kesan kotor ini
secara psikis akan mempengaruhi penduduk di sekitar TPA tersebut.
Untuk mengatasi bau busuk dan timbunan sampah ini, Jepang telah memanfaatkan
teknologi baru dalam pengolahan sampah yaitu dengan memanfaatkan natural zeolite.
Teknologi ini dapat menghilangkan bau dan menyusutkan volume sampai dengan 70%
(Media Indonesia, 2002).
Dampak tak langsung akibat pencemaran sampah adalah dampak yang dirasakan oleh
manusia melalui media lain yang ditimbulkan akibat pencemaran tersebut. Jadi media lain
inilah yang merupakan dampak langsung pencemaran yang selanjutnya memberikan
dampaknya pada manusia. Sebagai contoh dampak tak langsung dari tempat pembuangan
sampah, baik tempat penimbunan sementara maupun tempat pembuangan akhir, akan
menjadi pusat berkembang biaknya tikus dan serangga yang merugikan manusia, seperti lalat
dan nyamuk. Tempat pembuangan sampah merupakan tempat yang kumuh namun
menyediakan makanan yang cukup bagi perkembangan tikus, yang berupa limbah organik
terutama sisa-sisa makanan yang dibuang ke tempat itu. Ruang yang ada dicelah-celah
sampah dapat berupa ban, kaleng bekas, kardus, dan lain-lain merupakan tempat yang ideal
bagi persembunyian dan perkembangbiakan tikus (Wardhana, 1995). Akibat banyaknya tikus
di areal TPA akan menyebabkan timbulnya penykit pes.
Lalat pada umumnya berkembangbiak pada sampah organik, terutama pada sampah
yang banyak mengandung protein, seperti sisa makanan. Proses degradasi sampah organik
menimbulkan panas yang dapat dipakai untuk menetaskan telur-telur lalat (Wardhana, 1995).
Banyaknya lalat di TPA akan menyebarkan penyakit desentri dan kaki gajah.
Ada tiga kemungkinan pengelolaan sampah, yaitu dikubur, dibakar, dan sanitary
landfill. Sistem dikubur yaitu dengan membuat galian pada kedalaman tertentu lalu diberi
penadah plastik dan diisi tanah setinggi 0,5 (setengah) meter. Resiko dari sistem ini adalah
hancurnya plastik oleh pelarut kimia (Noriko, 2003).
Sistem pembakaran dengan incenerator pada suhu 1100 oC. Lama pembakaran, suhu
dan pencampuran oksigen yang tepat dapat menghancurkan 99% sampah. Asap yang
terbentuk diolah lebih dahulu sebelum dibuang ke udara. Resiko sistem pembakaran yang
tidak mencapai tingkat suhu tersebut adalah timbulnya dioksin yang sangat beracun dan
menimbulkan berbagai jenis kanker.
Sistem sanitary landfill adalah metode pembuangan akhir sampah dengan metode
tertentu sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan membahayaakan kesehatan. Sistem ini
membuang dan menumpuk sampah pada suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah
tersebut kemudian menutupnya dengan tanah. Metode ini dapat menghilangkan polusi udara,
sedangkan polusi di tanah dan air dapat diminimalisir dengan meletakan lapisan geotextile
untuk menjegah meresapnya air lindi ke air tanah. Gambar di bawah ini memperlihatkan
proses sanitary landfill yang terletak di atas air tanah dan menimbulkan kontaminasi air
tanah.
Gambar 1. Proses sanitary landfill yang terletak di atas air tanah
a. Menetapkan konsep umum pengelolaan sampah yang akan dicapai oleh Pemda DKI
di masa yang akan datang.
b. Menetapkan konsep dasar strategi untuk mencapai tujuan.
c. Konsep langkah nyata yang dijabarkan dari konsep strategi.
d. Menetapkan target pencapaian tujuan secara kuantitatif.
Di dalam kajian ini ditetapkan kebijakan untuk membangun 2 (dua) lokasi sanitary
landfill yang terletak di luar wilayah DKIJ yaitu: TPA Bantargebang di Kotamadya Bekasi
yang dibangun pada tahun 1990 dan TPA Ciangir di Kabupaten Tangerang yang
direncanakan dibangun pada tahun 1993, dimana Bantargebang akan melayani buangan
sampah dari wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Kota Bekasi.
Sedangkan TPA Ciangir akan melayani buangan sampah dari wilayah Jakarta Selatan, Jakarta
Barat, dan Kota Tangerang.
Rencana jumlah sampah dan tempat pembuangan sampai dengan tahun 2005 adalah
sebagaimana tabel 1 berikut :
Tahun TPA Bantargebang TPA Ciangir Dibuang di dalam Kota Total (ton / hari)
Sedangkan proyeksi timbulan Sampah DKIJ sebagaimana ditunjukkan pada tabel 2 berikut :
Tabel 2. Proyeksi timbulan Sampah DKIJ
Secara garis besar alur penanganan sampah di DKIJ sejak dari sumber sampah
sampai ke TPA dapat dilihat pada bagan berikut :
Gambar 2. Alur penanganan sampah DKI Jakarta
Sumber sampah:
RUMAH TANGGA
51,22%
PASAR TEMPORER
(5,7%)
11,20%
KOMERSIAL
16,71%
JALAN
0,95%
INDUSTRI
(15,22%)
TPS
DIPERGUNAKAN KEMBALI
SANITARY LANDFILL
(PLI)
B-3
Sedangkan penanggung jawab dari jenis sampah dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Institusi Penanggung Jawab Sesuai dengan Sumber Sampah
Instansi yang
memutuskan
SUMBER Pengumpulan Awal Transportasi Pengolahan (bertanggung
SAMPAH dan jawab)
Pembuangan
Sampah Dinas K Dinas K
Domestik
Dinas K Dinas K Dinas K
(R. Tangga)
RW Tempat Pemb.
Sendiri
Dinas K
RT / RW
RT / RW
Sampah Pasar Dinas K Dinas K Dinas K Dinas K
Pembuangan
sendiri di
tempat
Sampah
Saluran/Sung
ai DPU DPU Dinas K DPU
Sampah Dinas Pertamanan Dinas Dinas K Dinas
Taman Kota Pertamanan Pertamanan
Komposisi sampah yang dibuang ke TPA Bantargebang berdasarkan data dari Dinas
Kebersihan DKI (1999) terdiri dari sampah Organik 65,05% dan Sampah Non Organik
34,95%.
Pengelolaan sampah di DKIJ saat ini menghadapi berbagai persoalan, mulai dari
aspek teknis, operasional, institusi, keuangan, peraturan perundangan serta partisipasi
masyarakat, secara ringkas masalah indikasi dan penyebabnya dapat dilihat pada tabel 4.
beberapa tempat.
2.
Kerjasama / peran Swasta masyarakat
masih rendah.
ASPEK TEKNIS Pengumpulan di pengumpulan sampah belum 1. Kurang efisien dalam pengumpulan,
memadai masih terlihat gerobak dan TPS-TPS
kosong.
1. Kurangnya petugas.
3. Kurangnya kontrol
penimbangan sampah yang
dikumpulkan.
4. Kurangnya pemeliharaan
kendaraan.
2. Kurangnya kendaraan
Penyapuan Jalan pengangkut untuk effisiensi
INSTITUSI 2. Struktur Suku Dinas yang kurang memadai. 3. Masih adanya tugas yang
tumpang tindih antar seksi di dalam
Struktur Dinas Kebersihan.
Personil
1. Tidak jelasnya
tanggungjawab yang berkaitan dengan
Sumber pembuangan sampah.
PARTISIPASI
MASYARAKAT
Beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah DKIJ telah dirumuskan dengan
baik artinya telah memperhatikan prinsip-prinsip dalam pengelolaan sampah, seperti
misalnya melakukan 3R (Reduce, Reuse dan Recycling) pada sumbernya. Namun
implementasi kebijakan tersebut yang tidak dilaksanakan. Hal ini nampak pada sistem
penempatan sampah yang dilakukan oleh seluruh masyarakat masih belum memperhatikan
prinsip 3R tersebut. Untuk melaksanakan proses 3R masyarakat melakukan pemilahan
sampah pada sumbernya yang harus didukung dengan peraturan perundangan.
Peraturan perundangan yang ada pada saat ini masih belum memadai untuk
melakukan pengelolaan sampah secara terintegrasi (Integrated Solid Waste Management)
yang melibatkan seluruh pemegang kepentingan (stakeholders). Kondisi ini mengakibatkan
tidak jelasnya hak dan kewajiban para pihak yang terkait dengan persampahan.
Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa pengelolaan sampah yang dilakukan belum
ditunjang dengan peralatan, petugas dan dana operasi yang memadai disamping kurang
efisiennya penanganan sampah oleh berbagai pihak sebagaimana terlihat pada tabel 3,
terdapat beberapa instansi yang menanagani persampahan yang bergantung pada jenis dan
asal sampah.
Dalam aspek operasional pengelolaan sampah DKIJ masih belum memadai dalam
melakukan kontrol terhadap beberapa kegiatan seperti penghitungan volume sampah yang
masuk ke TPA Bantargebang, kurangnya pemeliharaan peralatan-peralatan yang digunakan
terutama alat-alat berat yang rusak dan tidak dapat dipergunakan sebelum masa ekonomis
peralatan tersebut berakhir, yang pada gilirannya pengoperasian pengaangkutan dan
pengolahan sampah kurang effektif dilakukan.
5.1. Kesimpulan
Dari permasalahan dan persoalan yang timbul dalam pengelolaan sampah baik aspek
kebijakan, aspek teknis, keuangan, peraturan perundangan, serta peranserta masyarakat dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebijakan yang dibuat tidak cukup hanya sampai pada tersusunnya suatu kebijakan
sampai dengan diundangkannya kebijakan tersebut, namun implementasinya harus
dibarengi dengan rencana tindak (action plan) yang mengarah kepada dicapainya
tujuan akhir dari apa yang diinginkan.
2. Terdapat inkonsistensi pelaksanaan terhadap perencanaan yang dilakukan oleh
pemerintah DKIJ dalam pengelolaan sampah. Hal ini terlihat jelas dalam skenaraio
perencanaan dimana ditetapkannya 2 (dua) TPA yaitu Bantargebang dan Ciangir-
Tangerang, yang pada kenyataanya DKIJ hanya membangun TPA Bantargebang saja.
3. Timbulnya keluhan masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Bantargebang
diakibatkan oleh Dinas Kebersihan DKIJ yang tidak mengoperasikan TPA tersebut
secara Sanitary Landfill, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan yang
berdampak pada ditolaknya pembangunan TPA Ciangir oleh masyarakat.
4. Lemahnya aparatur yang menangani pengelolaan persampahan menimbulkan
minimnya kinerja pengelolaan sampah di DKIJ.
5. Adanya tumpang tindih antar institusi yang bertanggung jawab dalam menangani
masalah sampah.
5.2. Saran
Dari kesimpulan yang ada, disarankan kepada Pemerintah Daerah DKIJ untuk
melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan
kinerja pengelolaan persampahan DKIJ sebagai berikut:
3. Konsisten terhadap hasil kajian yang telah dilakukan untuk menghindari timbulnya
keputusan-keputusan sesaat yang tidak berdasarkan kepada kajian secara ilmiah.
5. Mengubah paradigma TPA sebagai suatu pekerjaan sosial menjadi suatu industri
pengelolaan sampah yang berbasis manajemen industri secara profesional.
1. Chalik A. Alex, (2000), Tesis Magister ITB : Evaluasi Pengelolaan Sampah DKI
Jakarta pada TPA Sampah Bantargebang, Bandung.
2. JICA, (1987), Study on Solid Waste Managemnt System Improvment Project in the
City of Jakarta in Indonesia, Jakarta.
3. Kompas, (10 Januari 2004), Sampah dan Pemerintah, www.kompas.com/kompas-
cetak/0401/10/Fokus/791775.htm, dikunjungi 19/03/2004.
4. Media Indonesia, (2002), Jabotabek: Teratasi Bau Busuk Sampah di TPA Bantar
Gebang, http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2002090504345953,
dikunjungi 08/03/2004.
5. Menteri Negara Lingkungan Hidup, (2003), Japan International Cooperation Agency
(JICA): Draft Naskah Akademik Peraturan Pengelolaan Sampah, Yayasan Pesantren
Islam Al Azhar, Jakarta.
6. Noriko, Nita, (2003), Tinjauan Ekologis Tempat Pemusnahan Akhir Bantar Gebang,
Bekasi, http://www.rudyct.tripod.com/sem2_023/nita_noriko.htm, dikunjungi
08/03/2004.
7. Soekmadi, Budihardjo, (2003), Pengalaman memimpin DKI Jakarta di Era
Reformasi, paper, Jakarta.
8. Wardhana, Wisnu Arya, (1995), Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Offset,
Yogyakarta.