You are on page 1of 48

PENGELOLAAN SAMPAH DKI JAKARTA

(DKIJ):
ANTARA PERENCANAAN DAN
PELAKSANAAN

Oleh :

Kelompok 2/PSL

Alex Abdi Chalik - Nrp :P-


062034084

Djoko Wijanto - Nrp : P -


062034234

Kemas Fachrudin - Nrp : P -


062034254

Lina Warlina - Nrp : P -


062034034
Raymond Marpaung - Nrp : P -
062034064

Sri Listyarini - Nrp : P –


062034024 listyarini@mail.ut.ac.id

Abstrak:

Sebagaimana kota metropolitan lainnya DKI Jakarta mengalami berbagai masalah dalam
pengelolaan sampah. Salah satu permasalahan yang ditemukenali adalah adanya inkosistensi
pemerintah DKIJ dalam mengimplementasikan pelaksanaan dan kebijakan yang telah dirumuskan
Makalah ini mengevaluasi hal tersebut dari aspek kebijakan dan peraturan perundangan, aspek
institusional, aspek teknis dan operasional, keuangan, dan partisipasi masyarakat.

I. PENDAHULUAN

Jakarta sebagai Kota Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia merupakan kota
dengan jumlah penduduk terbesar diantara kota-kota metropolitan di seluruh Indonesia.
Pengaturan Kota Jakarta secara khusus diatur dalam UU NO. 34 / 1999 tentang Pemerintahan
Propinsi Daerah khusus Ibukota Negara Republik Indonesia dimana berdasarkan UU tersebut
DKIJ merupakan satu-satunya daerah otonomi tingkat Propinsi yang bagian-bagian
wilayahnya tidak mempunyai otonomi di dalam mengurus wilayahnya kecuali hanya
administrasi saja.

Sebagai Ibu Kota Negara dan dalam usaha menghadapi persaingan dengan kota-kota
lain di dunia, pemerintah Daerah DKIJ menetapkan sebuah visi Pembangunan Kota Jakarta
tahun 1998 – 2002 yaitu “ Terwujudnya Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia
yang sejajar dengan kota-kota Negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan
berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan “ sedangkan misi yang diemban
adalah : “ Membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat (Community Base
Development : CBD), mengembangkan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan
(Sustainable Development), mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa (service city) skala
nasional dan internasional.

Perkembangan kota Jakarta, yang dilandasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi


yang begitu pesat menimbulkan berbagai persoalan seperti sosial, politik dan ekonomi serta
lingkungan. Salah satu faktor dominan di dalam persoalan-persoalan tersebut adalah
pertumbuhan penduduk DKIJ yang begitu pesat akibat urbanisasi yang berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik (2000) pertumbuhan rata-rata penduduk Jakarta sebesar 2,24% per
tahun. Jika dalam tahun 1990 penduduk Jakarta baru mencapai 8.2 juta jiwa maka pada tahun
1999 penduduknya telah berkembang menjadi 9,9 juta jiwa, dengan tingkat kepadatan
penduduk mencapai 200 orang / Ha. Jumlah penduduk dan tingkat kepadatan yang begitu
besar menimbulkan permasalahan-permasalahan di dalam penanganan pemenuhan prasarana
dan sarana dasar perkotaan, dimana penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang saat ini
disediakan (supply), masih jauh dari kebutuhan nyata (demand) yang diperlukan masyarakat.

Di samping itu pertumbuhan dan perkembangan wilayah Jakarta dengan segala


aktifitas dan kegiatan masyarakatnya, menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan.
Salah satu persolalan yang dihadapi oleh pemerintah DKIJ adalah masalah pengelolaan
sampah, disamping biaya operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana yang begitu besar
juga pada akhir-akhir ini pemerintah DKIJ menghadapi komplain dari masyarakat yang
bertempat tinggal di sekitar wilayah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah
Bantargebang yang menimbulkan dampak pencemaran lingkungan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka timbul pertanyaan
sampai sejauh mana ketidaksesuaian antara perencanaan terhadap pelaksanaan dan kebijakan
pengelolaan sampah di DKIJ. Ketidak konsistenan ini menimbulkan berbagai dampak negatif
baik langsung maupun tidak langsung.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memaparkan adanya ketidak konsistenan


kebijakan maupun perencanaan pengelolaan sampah DKIJ terhadap pelaksanaannya.
Dampak negatif akibat ketidak konsistenan kebijakan ini juga akan dibahas, terakhir
diberikan kesimpulan dan saran bagi pengelolaan sampah di DKIJ untuk masa yang akan
datang.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sampah dan Dampak Pencemarannya

Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat baik berupa zat
organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak terurai dan dianggap
sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke lingkungan (Menteri Negara lingkungan
Hidup, 2003). Segala macam organisme yang ada di alam ini selalu menghasilkan sampah
atau bahan buangan. Sebagian besar sampah yang dihasilkan oleh organisme yang ada di
alam ini bersifat organik, kecuali sampah yang berasal dari aktifitas manusia yang dapat
bersifat organik maupun anorganik. Contoh sampah organik adalah: sisa-sisa bahan makanan
yang berasal dari tumbuhan atau hewan, kertas, kayu, bambu, dan lain-lain. Sedangkan
sampah anorganik misalnya plastik, logam, gelas, dan karet.

Tidak ada organisme di alam ini yang menghasilkan sampah sebanyak manusia.
Ditinjau dari kepentingan kelestarian lingkungan, sampah yang bersifat organik lebih
menguntungkan karena dengan mudah dapat didegradasi atau dipecah oleh mikroorganisme,
menjadi bahan yang mudah menyatu dengan alam tanpa menimbulkan pencemaran pada
lingkungan. Sebaliknya sampah anorganik relatif sukar didegradasi.

Pencemaran daratan umumnya berasal dari limbah berbentuk padat yang


dikumpulkan pada suatu tempat penampungan yang disebut dengan Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) atau Dump Station. Bahan buangan padat ini terdiri dari berbagai macam
komponen baik yang bersifat organik ataupun anorganik. Bahan buangan padat kota besar
berbeda dengan bahan buangan kota kecil ataupun daerah industri. Sebaiknya pewadahan
sampah dilakukan pemilahan-pemilahan berdasarkan sifat dan jenisnya untuk macam
buangan organik dan anorganik. Ini dapat bermanfaat untuk membantu proses daur ulang
bahan buangan sehingga menjadi bermanfaat.

Penempatan TPA harus menghindari timbulnya dampak lingkungan. Oleh karena itu,
agar dipertimbangkan pula kemungkinan dampaknya. Namun dalam kenyataannya, sering
terjadi TPA tersebut menimbulkan permasalahan dengan masyarakat sekitarnya seperti kasus
TPA Bantargebang ataupun TPA di kota-kota metropolitan lainnya. Untuk itu perlu diketahui
dampak pencemaran sampah yang dapat dibagi dua yaitu dampak langsung dan tidak
langsung.
Dampak pencemaran sampah yang secara langsung dirasakan oleh manusia adalah
pembuangan limbah padat organik yang berasal dari kegiatan rumah tangga dan juga kegiatan
industri olahan bahan makanan. Limbah padat organik yang didegradasi oleh
mikroorganisme dalam kondisi anaerobik akan menimbulkan bau yang tidak sedap (busuk)
akibat penguraian limbah menjadi bagian-bagian yang kecil disertai dengan pelepasan gas.
Limbah organik yang mengandung protein akan lebih banyak menghasilkan bau yang lebih
tidak sedap lagi, karena protein yang mengandung gugus amin akan terurai menjadi gas
ammonia. Dampak langsung lain adalah adanya timbunan limbah padat dalam jumlah besar
yang akan menimbulkan pemandangan yang tidak sedap, kotor dan kumuh. Kesan kotor ini
secara psikis akan mempengaruhi penduduk di sekitar TPA tersebut.

Untuk mengatasi bau busuk dan timbunan sampah ini, Jepang telah memanfaatkan
teknologi baru dalam pengolahan sampah yaitu dengan memanfaatkan natural zeolite.
Teknologi ini dapat menghilangkan bau dan menyusutkan volume sampai dengan 70%
(Media Indonesia, 2002).

Dampak tak langsung akibat pencemaran sampah adalah dampak yang dirasakan oleh
manusia melalui media lain yang ditimbulkan akibat pencemaran tersebut. Jadi media lain
inilah yang merupakan dampak langsung pencemaran yang selanjutnya memberikan
dampaknya pada manusia. Sebagai contoh dampak tak langsung dari tempat pembuangan
sampah, baik tempat penimbunan sementara maupun tempat pembuangan akhir, akan
menjadi pusat berkembang biaknya tikus dan serangga yang merugikan manusia, seperti lalat
dan nyamuk. Tempat pembuangan sampah merupakan tempat yang kumuh namun
menyediakan makanan yang cukup bagi perkembangan tikus, yang berupa limbah organik
terutama sisa-sisa makanan yang dibuang ke tempat itu. Ruang yang ada dicelah-celah
sampah dapat berupa ban, kaleng bekas, kardus, dan lain-lain merupakan tempat yang ideal
bagi persembunyian dan perkembangbiakan tikus (Wardhana, 1995). Akibat banyaknya tikus
di areal TPA akan menyebabkan timbulnya penykit pes.

Lalat pada umumnya berkembangbiak pada sampah organik, terutama pada sampah
yang banyak mengandung protein, seperti sisa makanan. Proses degradasi sampah organik
menimbulkan panas yang dapat dipakai untuk menetaskan telur-telur lalat (Wardhana, 1995).
Banyaknya lalat di TPA akan menyebarkan penyakit desentri dan kaki gajah.
2.2. Pengelolaan Sampah

Ada tiga kemungkinan pengelolaan sampah, yaitu dikubur, dibakar, dan sanitary
landfill. Sistem dikubur yaitu dengan membuat galian pada kedalaman tertentu lalu diberi
penadah plastik dan diisi tanah setinggi 0,5 (setengah) meter. Resiko dari sistem ini adalah
hancurnya plastik oleh pelarut kimia (Noriko, 2003).

Sistem pembakaran dengan incenerator pada suhu 1100 oC. Lama pembakaran, suhu
dan pencampuran oksigen yang tepat dapat menghancurkan 99% sampah. Asap yang
terbentuk diolah lebih dahulu sebelum dibuang ke udara. Resiko sistem pembakaran yang
tidak mencapai tingkat suhu tersebut adalah timbulnya dioksin yang sangat beracun dan
menimbulkan berbagai jenis kanker.

Sistem sanitary landfill adalah metode pembuangan akhir sampah dengan metode
tertentu sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan membahayaakan kesehatan. Sistem ini
membuang dan menumpuk sampah pada suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah
tersebut kemudian menutupnya dengan tanah. Metode ini dapat menghilangkan polusi udara,
sedangkan polusi di tanah dan air dapat diminimalisir dengan meletakan lapisan geotextile
untuk menjegah meresapnya air lindi ke air tanah. Gambar di bawah ini memperlihatkan
proses sanitary landfill yang terletak di atas air tanah dan menimbulkan kontaminasi air
tanah.
Gambar 1. Proses sanitary landfill yang terletak di atas air tanah

Sumber: Kompas, 10 Januari 2004

III. PENGELOLAAN SAMPAH DKIJ

3.1. Kebijakan Pengelolaan Sampah di DKIJ

Dalam usaha melakukan penglolaan sampah yang memperhatikan aspek lingkungan


pemerintah daerah DKIJ menetapkan kebijakan penglolaan sampah yang dituangkan dalam
Peraturan Daerah DKIJ Nomor 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
DKI Jakarta 2010 yang mengemukakan pokok-pokok pengelolaan persampahan DKIJ
sebagai berikut :
a. Pengembangan prasarana persampahan diarahkan untuk meminimalkan
volume sampah dan pengembangan prasarana pengolahan sampah dengan
teknologi yang berwawasan lingkungan hidup.

b. Pengembangan prasarana persampahan ditujukan untuk mencapai tingkat


penanganan 90% dari total sampah, yang dilakukan baik pada sumbernya,
proses pengangkutannya maupun pengolahannya di TPA.

c. Pengelolaan prasarana sampah dilakukan dengan teknologi tepat guna untuk


meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sampah.

d. Pengembangan prasarana sampah bahan berbahaya dan beracun (B3) serta


pengelolaannya dilakukan dengan teknologi yang tepat.

Dalam pasal 71 mengenai pengembangan prasarana dan sarana persampahan di masing-


masing kotamadya secara keseluruhan ditetapkan sebagai berikut :

a. Pengembangan penggunaan teknologi pengelolaan sampah, diantaranya


penggunaan incinerator yang ditempatkan pada kawasan permukiman padat di
sisi bantaran sungai yang belum sepenuhnya terlayani.

b. Pengadaan lokasi penampungan sementara pada setiap kelurahan.

c. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan


penerapan konsep 3 R (Reduce, Reused dan Recycling).

d. Peningkatan kapasitas transfer station di Sunter dan pembangunan transfer


station di Pluit, Sunter Utara dan Cilincing.

e. Penampungan sampah /limbah di perairan laut.

f. Pembangunan transfer station di bagian selatan jalan lingkar luar.

g. Peningakatn kapasitas transfer station di Cakung dan pembangunan transfer


station di bagian selatan lingkar luar.
Sebelum ditetapkannya Perda No. 6 / 97 ini, pada tahun 1986 Pemerintah DKIJ telah
menyusun suatu Rencana Induk pengelolaan Sampah DKI dengan maksud :

a. Menetapkan konsep umum pengelolaan sampah yang akan dicapai oleh Pemda DKI
di masa yang akan datang.
b. Menetapkan konsep dasar strategi untuk mencapai tujuan.
c. Konsep langkah nyata yang dijabarkan dari konsep strategi.
d. Menetapkan target pencapaian tujuan secara kuantitatif.

Di dalam kajian ini ditetapkan kebijakan untuk membangun 2 (dua) lokasi sanitary
landfill yang terletak di luar wilayah DKIJ yaitu: TPA Bantargebang di Kotamadya Bekasi
yang dibangun pada tahun 1990 dan TPA Ciangir di Kabupaten Tangerang yang
direncanakan dibangun pada tahun 1993, dimana Bantargebang akan melayani buangan
sampah dari wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Kota Bekasi.
Sedangkan TPA Ciangir akan melayani buangan sampah dari wilayah Jakarta Selatan, Jakarta
Barat, dan Kota Tangerang.

Rencana jumlah sampah dan tempat pembuangan sampai dengan tahun 2005 adalah
sebagaimana tabel 1 berikut :

Tabel 1. Rencana jumlah sampah dan Tempat Pembuangan Akhir

Tahun TPA Bantargebang TPA Ciangir Dibuang di dalam Kota Total (ton / hari)

1988 - - 5700 5700

1990 3.430 - 2730 6160

1995 4.165 3.525 - 7.690

2000 4.960 4.320 - 9.250


2005 6.050 5.380 - 11.430

Sumber : JICA, 1987

Sedangkan proyeksi timbulan Sampah DKIJ sebagaimana ditunjukkan pada tabel 2 berikut :
Tabel 2. Proyeksi timbulan Sampah DKIJ

Wilayah Timbulan Sampah (ton / hari)

1985 1995 2005

Jakarta Pusat 1.050 1.360 1.830

Jakarta Utara 770 1.120 1.530

Jakarta Barat 930 1.420 2.070

Jakarta Selatan 1.110 1.770 2.410

Jumlah DKIJ 4.930 7.360 10.120

Sumber : JICA, 1987

3.2. Kondisi Saat ini dan Permasalahannya

3.2.1. Penanganan Sampah DKIJ

Secara garis besar alur penanganan sampah di DKIJ sejak dari sumber sampah
sampai ke TPA dapat dilihat pada bagan berikut :
Gambar 2. Alur penanganan sampah DKI Jakarta

Sumber sampah:

RUMAH TANGGA

51,22%

PASAR TEMPORER

(5,7%)

P.D. PASAR JAYA

11,20%

KOMERSIAL

16,71%

JALAN

0,95%

INDUSTRI

(15,22%)

TPS
DIPERGUNAKAN KEMBALI

TPA BANTARGE BANG: SISTEM

SANITARY LANDFILL

STASIUN PERALIHAN ANTARA


PENGOLAHAN SENDIRI

(PLI)

B-3

Sedangkan penanggung jawab dari jenis sampah dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Institusi Penanggung Jawab Sesuai dengan Sumber Sampah

Instansi yang
memutuskan
SUMBER Pengumpulan Awal Transportasi Pengolahan (bertanggung
SAMPAH dan jawab)
Pembuangan
Sampah Dinas K Dinas K
Domestik
Dinas K Dinas K Dinas K
(R. Tangga)
RW Tempat Pemb.
Sendiri

Dinas K

RT / RW

RT / RW
Sampah Pasar Dinas K Dinas K Dinas K Dinas K

PD. Pasar PD. Pasar Dinas K P.D. Pasar


Sampah Dinas K Dinas K Dinas K
Komersial
Pengumpulan Sendiri Diangkut Dinas K Dinas K
Sendiri
Persh Swasta
Persh Swasta
Dinas K
Sampah Dinas K Dinas K Dinas K Dinas K
Industri
Pengumpulan sendiri Diangkat Dinas K Masing-masing
Sendiri pabrik
Pembuangan
sendiri

Pembuangan
sendiri di
tempat
Sampah
Saluran/Sung
ai DPU DPU Dinas K DPU
Sampah Dinas Pertamanan Dinas Dinas K Dinas
Taman Kota Pertamanan Pertamanan

sumber : JICA, 1987

Komposisi sampah yang dibuang ke TPA Bantargebang berdasarkan data dari Dinas
Kebersihan DKI (1999) terdiri dari sampah Organik 65,05% dan Sampah Non Organik
34,95%.

3.2.2. Permasalahan Dalam Pengelolaan Sampah DKIJ

Pengelolaan sampah di DKIJ saat ini menghadapi berbagai persoalan, mulai dari
aspek teknis, operasional, institusi, keuangan, peraturan perundangan serta partisipasi
masyarakat, secara ringkas masalah indikasi dan penyebabnya dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Persoalan Pengelolaan Sampah di DKIJ


ASPEK PERMASALAHAN PENYEBAB

UMUM 1. Masih timbulnya pengotoran lingkunagn dan 1.


masalah estetika.
Tidak memadainya pengumpulan dan

2. Masih ada sampah yang belum tertampung di pelayanan pembangunan sampah.

beberapa tempat.
2.
Kerjasama / peran Swasta masyarakat
masih rendah.
ASPEK TEKNIS Pengumpulan di pengumpulan sampah belum 1. Kurang efisien dalam pengumpulan,
memadai masih terlihat gerobak dan TPS-TPS
kosong.

2. Kurangnya peralatan pengumpul.

3. System Pengumpulan yang


dilakukan oleh berbagai pihak
cenderung tidak effisien

1. Kurangnya petugas.

2. Tidak effisiennya cara penyapuan


Penyapuan jalan
jalan.
Masih terlihat kurang memuaskannya penyapuan
jalan

1. Kurangnya pemahaman petugas


dalam melakukan pengelohan secara
Sanitary Landfill.
Tempat Pembuangan Akhir

2. Kurangnya biaya operasional


Cara pembuangan dan pegolahan sampah tidak sesuai
dengan kaidah Sanitary Landfill
3. Kurangnya tenaga teknis.

4. Kurangnya alat berat


ASPEK Pengumpulan
OPERASIONAL
1. Jumlah pengumpulan sampah yang dilakukan
1. Waktu tempuh yang panjang
oleh truk pengangkut rendah.
yang diakibatkan jarak yang jauh serta
2. Rendahnya frekuensi pengangkutan kemacetan.

2. Kurang memadainya kontrol


jam kerja.

3. Kurangnya kontrol
penimbangan sampah yang
dikumpulkan.

4. Kurangnya pemeliharaan
kendaraan.

5. Jangaka waktu pemeliharaan


kendaraan yang telah lama.

1. Kurangnya kontrol jam kerja.

2. Kurangnya kendaraan
Penyapuan Jalan pengangkut untuk effisiensi

Waktu yang pendek dan produksifitasnya rendah penyapuan jalan.

1. Kurang memadainya kontrol


terhadap kendaraan yang datang di

Tempat Pembuangan Akhir TPA.

1. Tidak adanya kontrol terhadap jumlah 2. Kurangnya perlengkapan yang


sampah di TPA.
diperlukan.
2. Pembongkaran sampah di TPA memakan
waktu yang lama.

1. Bagian Suku Dinas lemah,


diakibatkan oleh terkonsentrasinya
personil yang memiliki kemampuan
di Dinas.
Organisasi
2. Kurangnya pendelegasian tugas dan
1. Suku Dinas tidak mampu mengatasi persoalan
wewenang pada Suku Dinas
sampah di wilayahnya (5 suku Dinas). Kebersihan.

INSTITUSI 2. Struktur Suku Dinas yang kurang memadai. 3. Masih adanya tugas yang
tumpang tindih antar seksi di dalam
Struktur Dinas Kebersihan.

1. Kesenjangan tenaga kerja.

2. Kesulitan mendapatkan tenaga yang


mumpuni akibat tidak adanya
kewenganan untuk pengadaan
karyawan.

Personil

1. Pemerintah kota tidak mempunyai


1. Kurangnya pekerja.
kapasitas keuangan yang cukup.
2. Kapasitas pekerja yang rendah
2. Partisipasi masyarakat yang rendah.
3. Kekurangan tenaga teknis

3. Rendahnya motivasi pengumpulan


retribusi.

1. Tidak jelasnya
tanggungjawab yang berkaitan dengan
Sumber pembuangan sampah.

1. Biaya Investasi yang kurang memadai untuk


peralatan dan fasilitas. 2. Tidak adanya Standard
atau pengaturan mengenai TPA milik
2. Retribusi
Swasta.

Rendahnya pengumpulan retribusi.

1. Rendahnya tingkat pemahaman


KEUANGAN
masyarakat tentang permasalahan
pembuangan sampah.
Peraturan 2. Tidak adanya usaha baik dalam
pendidikan maupun pemberian
Tidak memadainya peraturan perundangan mengenai
aktivitas sektor swasta dan pembuangan sampah. informasi mengenai sampah pada
masyarakat.

PERATURAN Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembuangan


PERUNDANGAN dan penyapuan sampah.

PARTISIPASI
MASYARAKAT

IV. EVALUASI PENGELOLAAN SAMPAH DKIJ


4.1. Aspek Kebijakan dan Peraturan Perundangan

Penyusunan kebijakan dalam pengelolaan sampah di DKIJ nampaknya kurang selaras


dengan Master Plan Pengelolaan Sampah yang telah dibuat sebelumnya yaitu pada tahun
1987, hal ini nampak dengan tidak adanya sinkronisasi antara skenario yang ada di dalam
kebijakan pembangunan perkotaan yang tertuang dalam Peraturan Daerah No.6/1999 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKIJ-2010 dengan Master Plan Pengelolaan Sampah
DKIJ. Sebagai contoh di dalam Master Plan Pengelolaan Sampah dijelaskan bahwa sistem
pengolahan sampah dilakukan secara sanitary landfill yang biayanya jauh lebih murah dari
incenerator, namun di dalam kebijakan RTRW dijelaskan adanya upaya untuk
menyelenggarakan pengolahan sampah yang ditempatkan di kawasan padat dengan
menggunakan incenerator.

Dari sisi perubahan lingkungan strategis penyusunan RTRW tidak memperhatikan


munculnya Undang-Undang No 22/1999 mengenai Pemerintahan Daerah, serta kurang
memperhatikan aspirasi masyarakat setempat yang menolak dioperasikannya TPA
Bantargebang. Hal ini nampak dalam penentuan TPA Sampah Pemerintah Daerah DKIJ yang
menganggap lokasi TPA Bantargebang dan Ciangir masih memungkinkan untuk dijadikan
TPA Sampah DKIJ.

Beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah DKIJ telah dirumuskan dengan
baik artinya telah memperhatikan prinsip-prinsip dalam pengelolaan sampah, seperti
misalnya melakukan 3R (Reduce, Reuse dan Recycling) pada sumbernya. Namun
implementasi kebijakan tersebut yang tidak dilaksanakan. Hal ini nampak pada sistem
penempatan sampah yang dilakukan oleh seluruh masyarakat masih belum memperhatikan
prinsip 3R tersebut. Untuk melaksanakan proses 3R masyarakat melakukan pemilahan
sampah pada sumbernya yang harus didukung dengan peraturan perundangan.

Peraturan perundangan yang ada pada saat ini masih belum memadai untuk
melakukan pengelolaan sampah secara terintegrasi (Integrated Solid Waste Management)
yang melibatkan seluruh pemegang kepentingan (stakeholders). Kondisi ini mengakibatkan
tidak jelasnya hak dan kewajiban para pihak yang terkait dengan persampahan.

4.2. Aspek Institusional

Salah satu persoalan di dalam pengelolaan persampahan adalah terjadinya


penanganan sampah yang dilakukan oleh beberapa institusi, Dinas Kebersihan, PD Pasar,
Dinas Taman dan Dinas pekerjaan Umum (lihat tabel 3), hal ini menimbulkan “Moral
Hazard” di dalam penanganan sampah, yaitu terjadinya saling lempar tanggung jawab ketika
terjadi persoalan atau komplain dari masyarakat mengenai adanya sampah yang mengganggu
lingkungan permukiman.

4.3 Aspek Teknis dan Operasional

Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa pengelolaan sampah yang dilakukan belum
ditunjang dengan peralatan, petugas dan dana operasi yang memadai disamping kurang
efisiennya penanganan sampah oleh berbagai pihak sebagaimana terlihat pada tabel 3,
terdapat beberapa instansi yang menanagani persampahan yang bergantung pada jenis dan
asal sampah.

Dalam aspek operasional pengelolaan sampah DKIJ masih belum memadai dalam
melakukan kontrol terhadap beberapa kegiatan seperti penghitungan volume sampah yang
masuk ke TPA Bantargebang, kurangnya pemeliharaan peralatan-peralatan yang digunakan
terutama alat-alat berat yang rusak dan tidak dapat dipergunakan sebelum masa ekonomis
peralatan tersebut berakhir, yang pada gilirannya pengoperasian pengaangkutan dan
pengolahan sampah kurang effektif dilakukan.

4.4. Aspek Keuangan

Pemerintah DKIJ menghadapi permasalahan dalam menyediakan dana operasi dan


pemeliharaan prasarana persampahan. Dalam tahun Anggaran 96/97 Dinas Kebersihan
mengalami defisit biaya operasional sebesar Rp.27,2 milyar. Hal ini diakibatkan kurangnya
efisiensi pengumpulan biaya retribusi sampah.

4.5. Aspek Partisipasi Masyarakat

Masyarakat DKIJ umumnya tidak atau kurang memahami permasalahan yang


sesungguhnya terjadi dalam pengelolaan sampah mulai dari pengumpulan penempatan,
pemindahan, pengangkutan dan pengolahan sampah di TPA. Kurangnya pengertian
masyarakat mengenai pengelolaan sampah ini mengakibatkan kurangnya kesadaran
masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Dalam aspek penempatan dan pengumpulan
sampah timbul suatu sindrome yang disebut dengan NIMBY ( not in my back yard)
sindrome, yaitu suatu penyakit masyarakat yang tidak perduli terhadap sampah, yang
mempunyai pandanagan bahwa: ”yang penting asal sampah tidak berada di halaman
rumahnya persoalan sampah dipandang telah selesai”.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari permasalahan dan persoalan yang timbul dalam pengelolaan sampah baik aspek
kebijakan, aspek teknis, keuangan, peraturan perundangan, serta peranserta masyarakat dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kebijakan yang dibuat tidak cukup hanya sampai pada tersusunnya suatu kebijakan
sampai dengan diundangkannya kebijakan tersebut, namun implementasinya harus
dibarengi dengan rencana tindak (action plan) yang mengarah kepada dicapainya
tujuan akhir dari apa yang diinginkan.
2. Terdapat inkonsistensi pelaksanaan terhadap perencanaan yang dilakukan oleh
pemerintah DKIJ dalam pengelolaan sampah. Hal ini terlihat jelas dalam skenaraio
perencanaan dimana ditetapkannya 2 (dua) TPA yaitu Bantargebang dan Ciangir-
Tangerang, yang pada kenyataanya DKIJ hanya membangun TPA Bantargebang saja.
3. Timbulnya keluhan masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Bantargebang
diakibatkan oleh Dinas Kebersihan DKIJ yang tidak mengoperasikan TPA tersebut
secara Sanitary Landfill, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan yang
berdampak pada ditolaknya pembangunan TPA Ciangir oleh masyarakat.
4. Lemahnya aparatur yang menangani pengelolaan persampahan menimbulkan
minimnya kinerja pengelolaan sampah di DKIJ.
5. Adanya tumpang tindih antar institusi yang bertanggung jawab dalam menangani
masalah sampah.
5.2. Saran

Dari kesimpulan yang ada, disarankan kepada Pemerintah Daerah DKIJ untuk
melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan
kinerja pengelolaan persampahan DKIJ sebagai berikut:

1. Melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan pengelolaan persampahan


sebagaimana yang tertuang dalam RTRW tahun 1999 khususnya mengenai
penggunaan incenerator yang akan ditempatkan di wilayah-wilayah padat di tepi
bantaran sungai dengan melakukan tinjauan kembali apa yang telah dirumuskan di
dalam Master Plan Persampahan DKIJ oleh JICA pada tahun 1987.

2. Melakukan sosialisasi mengenai pengelolaan persampahan kepada seluruh


stakeholders, khususnya masyarakat, secara kontinyu. Hal ini penting untuk
mendorong masyarakat sebagai elemen terbesar di dalam sistem persampahan agar
melakukan prinsip-prinsip 3R yang proses awalnya adalah pemilahan sampah dalam
penempatan sampah. Masyarakat perlu diberdayakan agar memiliki komitmen di
dalam mengelola sampah, misalnya community organizer (CO) pada tingkat RW.
Sampah-sampah yang masuk ke TPA sebaiknya sudah dipisahkan menjadi sampah
organik dan anorganik.

3. Konsisten terhadap hasil kajian yang telah dilakukan untuk menghindari timbulnya
keputusan-keputusan sesaat yang tidak berdasarkan kepada kajian secara ilmiah.

4. Memberlakukan UU 22/99 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga Pemerintah DKI


harus melakukan pendekatan dan kerjasama yang baik dengan pemerintah daerah di
sekitarnya (Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi) untuk melakukan pembangunan
TPA bersama yang dapat diterima masyarakat.

5. Mengubah paradigma TPA sebagai suatu pekerjaan sosial menjadi suatu industri
pengelolaan sampah yang berbasis manajemen industri secara profesional.

6. Melaksanakan sinergi antar instansi yang terkait dalam mengambil keputusan


sehingga tidak terjadi tumpang tindih kebijakan yang pada akhirnya akan merugikan
semua stakeholders.
DAFTAR PUSTAKA

1. Chalik A. Alex, (2000), Tesis Magister ITB : Evaluasi Pengelolaan Sampah DKI
Jakarta pada TPA Sampah Bantargebang, Bandung.
2. JICA, (1987), Study on Solid Waste Managemnt System Improvment Project in the
City of Jakarta in Indonesia, Jakarta.
3. Kompas, (10 Januari 2004), Sampah dan Pemerintah, www.kompas.com/kompas-
cetak/0401/10/Fokus/791775.htm, dikunjungi 19/03/2004.
4. Media Indonesia, (2002), Jabotabek: Teratasi Bau Busuk Sampah di TPA Bantar
Gebang, http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2002090504345953,
dikunjungi 08/03/2004.
5. Menteri Negara Lingkungan Hidup, (2003), Japan International Cooperation Agency
(JICA): Draft Naskah Akademik Peraturan Pengelolaan Sampah, Yayasan Pesantren
Islam Al Azhar, Jakarta.
6. Noriko, Nita, (2003), Tinjauan Ekologis Tempat Pemusnahan Akhir Bantar Gebang,
Bekasi, http://www.rudyct.tripod.com/sem2_023/nita_noriko.htm, dikunjungi
08/03/2004.
7. Soekmadi, Budihardjo, (2003), Pengalaman memimpin DKI Jakarta di Era
Reformasi, paper, Jakarta.
8. Wardhana, Wisnu Arya, (1995), Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Offset,
Yogyakarta.

PENGELOLAAN SAMPAH DKI JAKARTA


(DKIJ):
ANTARA PERENCANAAN DAN
PELAKSANAAN
Oleh :

Kelompok 2/PSL

Alex Abdi Chalik - Nrp :P-


062034084

Djoko Wijanto - Nrp : P -


062034234

Kemas Fachrudin - Nrp : P -


062034254

Lina Warlina - Nrp : P -


062034034

Raymond Marpaung - Nrp : P -


062034064

Sri Listyarini - Nrp : P –


062034024 listyarini@mail.ut.ac.id

Abstrak:
Sebagaimana kota metropolitan lainnya DKI Jakarta mengalami berbagai masalah dalam
pengelolaan sampah. Salah satu permasalahan yang ditemukenali adalah adanya inkosistensi
pemerintah DKIJ dalam mengimplementasikan pelaksanaan dan kebijakan yang telah dirumuskan
Makalah ini mengevaluasi hal tersebut dari aspek kebijakan dan peraturan perundangan, aspek
institusional, aspek teknis dan operasional, keuangan, dan partisipasi masyarakat.

I. PENDAHULUAN

Jakarta sebagai Kota Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia merupakan kota
dengan jumlah penduduk terbesar diantara kota-kota metropolitan di seluruh Indonesia.
Pengaturan Kota Jakarta secara khusus diatur dalam UU NO. 34 / 1999 tentang Pemerintahan
Propinsi Daerah khusus Ibukota Negara Republik Indonesia dimana berdasarkan UU tersebut
DKIJ merupakan satu-satunya daerah otonomi tingkat Propinsi yang bagian-bagian
wilayahnya tidak mempunyai otonomi di dalam mengurus wilayahnya kecuali hanya
administrasi saja.

Sebagai Ibu Kota Negara dan dalam usaha menghadapi persaingan dengan kota-kota
lain di dunia, pemerintah Daerah DKIJ menetapkan sebuah visi Pembangunan Kota Jakarta
tahun 1998 – 2002 yaitu “ Terwujudnya Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia
yang sejajar dengan kota-kota Negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan
berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan “ sedangkan misi yang diemban
adalah : “ Membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat (Community Base
Development : CBD), mengembangkan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan
(Sustainable Development), mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa (service city) skala
nasional dan internasional.

Perkembangan kota Jakarta, yang dilandasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi


yang begitu pesat menimbulkan berbagai persoalan seperti sosial, politik dan ekonomi serta
lingkungan. Salah satu faktor dominan di dalam persoalan-persoalan tersebut adalah
pertumbuhan penduduk DKIJ yang begitu pesat akibat urbanisasi yang berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik (2000) pertumbuhan rata-rata penduduk Jakarta sebesar 2,24% per
tahun. Jika dalam tahun 1990 penduduk Jakarta baru mencapai 8.2 juta jiwa maka pada tahun
1999 penduduknya telah berkembang menjadi 9,9 juta jiwa, dengan tingkat kepadatan
penduduk mencapai 200 orang / Ha. Jumlah penduduk dan tingkat kepadatan yang begitu
besar menimbulkan permasalahan-permasalahan di dalam penanganan pemenuhan prasarana
dan sarana dasar perkotaan, dimana penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang saat ini
disediakan (supply), masih jauh dari kebutuhan nyata (demand) yang diperlukan masyarakat.

Di samping itu pertumbuhan dan perkembangan wilayah Jakarta dengan segala


aktifitas dan kegiatan masyarakatnya, menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan.
Salah satu persolalan yang dihadapi oleh pemerintah DKIJ adalah masalah pengelolaan
sampah, disamping biaya operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana yang begitu besar
juga pada akhir-akhir ini pemerintah DKIJ menghadapi komplain dari masyarakat yang
bertempat tinggal di sekitar wilayah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah
Bantargebang yang menimbulkan dampak pencemaran lingkungan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka timbul pertanyaan
sampai sejauh mana ketidaksesuaian antara perencanaan terhadap pelaksanaan dan kebijakan
pengelolaan sampah di DKIJ. Ketidak konsistenan ini menimbulkan berbagai dampak negatif
baik langsung maupun tidak langsung.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memaparkan adanya ketidak konsistenan


kebijakan maupun perencanaan pengelolaan sampah DKIJ terhadap pelaksanaannya.
Dampak negatif akibat ketidak konsistenan kebijakan ini juga akan dibahas, terakhir
diberikan kesimpulan dan saran bagi pengelolaan sampah di DKIJ untuk masa yang akan
datang.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sampah dan Dampak Pencemarannya

Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat baik berupa zat
organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak terurai dan dianggap
sudah tidak berguna lagi sehingga dibuang ke lingkungan (Menteri Negara lingkungan
Hidup, 2003). Segala macam organisme yang ada di alam ini selalu menghasilkan sampah
atau bahan buangan. Sebagian besar sampah yang dihasilkan oleh organisme yang ada di
alam ini bersifat organik, kecuali sampah yang berasal dari aktifitas manusia yang dapat
bersifat organik maupun anorganik. Contoh sampah organik adalah: sisa-sisa bahan makanan
yang berasal dari tumbuhan atau hewan, kertas, kayu, bambu, dan lain-lain. Sedangkan
sampah anorganik misalnya plastik, logam, gelas, dan karet.

Tidak ada organisme di alam ini yang menghasilkan sampah sebanyak manusia.
Ditinjau dari kepentingan kelestarian lingkungan, sampah yang bersifat organik lebih
menguntungkan karena dengan mudah dapat didegradasi atau dipecah oleh mikroorganisme,
menjadi bahan yang mudah menyatu dengan alam tanpa menimbulkan pencemaran pada
lingkungan. Sebaliknya sampah anorganik relatif sukar didegradasi.

Pencemaran daratan umumnya berasal dari limbah berbentuk padat yang


dikumpulkan pada suatu tempat penampungan yang disebut dengan Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) atau Dump Station. Bahan buangan padat ini terdiri dari berbagai macam
komponen baik yang bersifat organik ataupun anorganik. Bahan buangan padat kota besar
berbeda dengan bahan buangan kota kecil ataupun daerah industri. Sebaiknya pewadahan
sampah dilakukan pemilahan-pemilahan berdasarkan sifat dan jenisnya untuk macam
buangan organik dan anorganik. Ini dapat bermanfaat untuk membantu proses daur ulang
bahan buangan sehingga menjadi bermanfaat.

Penempatan TPA harus menghindari timbulnya dampak lingkungan. Oleh karena itu,
agar dipertimbangkan pula kemungkinan dampaknya. Namun dalam kenyataannya, sering
terjadi TPA tersebut menimbulkan permasalahan dengan masyarakat sekitarnya seperti kasus
TPA Bantargebang ataupun TPA di kota-kota metropolitan lainnya. Untuk itu perlu diketahui
dampak pencemaran sampah yang dapat dibagi dua yaitu dampak langsung dan tidak
langsung.

Dampak pencemaran sampah yang secara langsung dirasakan oleh manusia adalah
pembuangan limbah padat organik yang berasal dari kegiatan rumah tangga dan juga kegiatan
industri olahan bahan makanan. Limbah padat organik yang didegradasi oleh
mikroorganisme dalam kondisi anaerobik akan menimbulkan bau yang tidak sedap (busuk)
akibat penguraian limbah menjadi bagian-bagian yang kecil disertai dengan pelepasan gas.
Limbah organik yang mengandung protein akan lebih banyak menghasilkan bau yang lebih
tidak sedap lagi, karena protein yang mengandung gugus amin akan terurai menjadi gas
ammonia. Dampak langsung lain adalah adanya timbunan limbah padat dalam jumlah besar
yang akan menimbulkan pemandangan yang tidak sedap, kotor dan kumuh. Kesan kotor ini
secara psikis akan mempengaruhi penduduk di sekitar TPA tersebut.

Untuk mengatasi bau busuk dan timbunan sampah ini, Jepang telah memanfaatkan
teknologi baru dalam pengolahan sampah yaitu dengan memanfaatkan natural zeolite.
Teknologi ini dapat menghilangkan bau dan menyusutkan volume sampai dengan 70%
(Media Indonesia, 2002).

Dampak tak langsung akibat pencemaran sampah adalah dampak yang dirasakan oleh
manusia melalui media lain yang ditimbulkan akibat pencemaran tersebut. Jadi media lain
inilah yang merupakan dampak langsung pencemaran yang selanjutnya memberikan
dampaknya pada manusia. Sebagai contoh dampak tak langsung dari tempat pembuangan
sampah, baik tempat penimbunan sementara maupun tempat pembuangan akhir, akan
menjadi pusat berkembang biaknya tikus dan serangga yang merugikan manusia, seperti lalat
dan nyamuk. Tempat pembuangan sampah merupakan tempat yang kumuh namun
menyediakan makanan yang cukup bagi perkembangan tikus, yang berupa limbah organik
terutama sisa-sisa makanan yang dibuang ke tempat itu. Ruang yang ada dicelah-celah
sampah dapat berupa ban, kaleng bekas, kardus, dan lain-lain merupakan tempat yang ideal
bagi persembunyian dan perkembangbiakan tikus (Wardhana, 1995). Akibat banyaknya tikus
di areal TPA akan menyebabkan timbulnya penykit pes.

Lalat pada umumnya berkembangbiak pada sampah organik, terutama pada sampah
yang banyak mengandung protein, seperti sisa makanan. Proses degradasi sampah organik
menimbulkan panas yang dapat dipakai untuk menetaskan telur-telur lalat (Wardhana, 1995).
Banyaknya lalat di TPA akan menyebarkan penyakit desentri dan kaki gajah.

2.2. Pengelolaan Sampah

Ada tiga kemungkinan pengelolaan sampah, yaitu dikubur, dibakar, dan sanitary
landfill. Sistem dikubur yaitu dengan membuat galian pada kedalaman tertentu lalu diberi
penadah plastik dan diisi tanah setinggi 0,5 (setengah) meter. Resiko dari sistem ini adalah
hancurnya plastik oleh pelarut kimia (Noriko, 2003).
Sistem pembakaran dengan incenerator pada suhu 1100 oC. Lama pembakaran, suhu
dan pencampuran oksigen yang tepat dapat menghancurkan 99% sampah. Asap yang
terbentuk diolah lebih dahulu sebelum dibuang ke udara. Resiko sistem pembakaran yang
tidak mencapai tingkat suhu tersebut adalah timbulnya dioksin yang sangat beracun dan
menimbulkan berbagai jenis kanker.

Sistem sanitary landfill adalah metode pembuangan akhir sampah dengan metode
tertentu sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan membahayaakan kesehatan. Sistem ini
membuang dan menumpuk sampah pada suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah
tersebut kemudian menutupnya dengan tanah. Metode ini dapat menghilangkan polusi udara,
sedangkan polusi di tanah dan air dapat diminimalisir dengan meletakan lapisan geotextile
untuk menjegah meresapnya air lindi ke air tanah. Gambar di bawah ini memperlihatkan
proses sanitary landfill yang terletak di atas air tanah dan menimbulkan kontaminasi air
tanah.
Gambar 1. Proses sanitary landfill yang terletak di atas air tanah

Sumber: Kompas, 10 Januari 2004

III. PENGELOLAAN SAMPAH DKIJ

3.1. Kebijakan Pengelolaan Sampah di DKIJ

Dalam usaha melakukan penglolaan sampah yang memperhatikan aspek lingkungan


pemerintah daerah DKIJ menetapkan kebijakan penglolaan sampah yang dituangkan dalam
Peraturan Daerah DKIJ Nomor 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
DKI Jakarta 2010 yang mengemukakan pokok-pokok pengelolaan persampahan DKIJ
sebagai berikut :
a. Pengembangan prasarana persampahan diarahkan untuk meminimalkan
volume sampah dan pengembangan prasarana pengolahan sampah dengan
teknologi yang berwawasan lingkungan hidup.

b. Pengembangan prasarana persampahan ditujukan untuk mencapai tingkat


penanganan 90% dari total sampah, yang dilakukan baik pada sumbernya,
proses pengangkutannya maupun pengolahannya di TPA.

c. Pengelolaan prasarana sampah dilakukan dengan teknologi tepat guna untuk


meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sampah.

d. Pengembangan prasarana sampah bahan berbahaya dan beracun (B3) serta


pengelolaannya dilakukan dengan teknologi yang tepat.

Dalam pasal 71 mengenai pengembangan prasarana dan sarana persampahan di masing-


masing kotamadya secara keseluruhan ditetapkan sebagai berikut :

a. Pengembangan penggunaan teknologi pengelolaan sampah, diantaranya


penggunaan incinerator yang ditempatkan pada kawasan permukiman padat di
sisi bantaran sungai yang belum sepenuhnya terlayani.

b. Pengadaan lokasi penampungan sementara pada setiap kelurahan.

c. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan


penerapan konsep 3 R (Reduce, Reused dan Recycling).

d. Peningkatan kapasitas transfer station di Sunter dan pembangunan transfer


station di Pluit, Sunter Utara dan Cilincing.

e. Penampungan sampah /limbah di perairan laut.

f. Pembangunan transfer station di bagian selatan jalan lingkar luar.

g. Peningakatn kapasitas transfer station di Cakung dan pembangunan transfer


station di bagian selatan lingkar luar.
Sebelum ditetapkannya Perda No. 6 / 97 ini, pada tahun 1986 Pemerintah DKIJ telah
menyusun suatu Rencana Induk pengelolaan Sampah DKI dengan maksud :

a. Menetapkan konsep umum pengelolaan sampah yang akan dicapai oleh Pemda DKI
di masa yang akan datang.
b. Menetapkan konsep dasar strategi untuk mencapai tujuan.
c. Konsep langkah nyata yang dijabarkan dari konsep strategi.
d. Menetapkan target pencapaian tujuan secara kuantitatif.

Di dalam kajian ini ditetapkan kebijakan untuk membangun 2 (dua) lokasi sanitary
landfill yang terletak di luar wilayah DKIJ yaitu: TPA Bantargebang di Kotamadya Bekasi
yang dibangun pada tahun 1990 dan TPA Ciangir di Kabupaten Tangerang yang
direncanakan dibangun pada tahun 1993, dimana Bantargebang akan melayani buangan
sampah dari wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Kota Bekasi.
Sedangkan TPA Ciangir akan melayani buangan sampah dari wilayah Jakarta Selatan, Jakarta
Barat, dan Kota Tangerang.

Rencana jumlah sampah dan tempat pembuangan sampai dengan tahun 2005 adalah
sebagaimana tabel 1 berikut :

Tabel 1. Rencana jumlah sampah dan Tempat Pembuangan Akhir

Tahun TPA Bantargebang TPA Ciangir Dibuang di dalam Kota Total (ton / hari)

1988 - - 5700 5700

1990 3.430 - 2730 6160

1995 4.165 3.525 - 7.690

2000 4.960 4.320 - 9.250


2005 6.050 5.380 - 11.430

Sumber : JICA, 1987

Sedangkan proyeksi timbulan Sampah DKIJ sebagaimana ditunjukkan pada tabel 2 berikut :
Tabel 2. Proyeksi timbulan Sampah DKIJ

Wilayah Timbulan Sampah (ton / hari)

1985 1995 2005

Jakarta Pusat 1.050 1.360 1.830

Jakarta Utara 770 1.120 1.530

Jakarta Barat 930 1.420 2.070

Jakarta Selatan 1.110 1.770 2.410

Jumlah DKIJ 4.930 7.360 10.120

Sumber : JICA, 1987

3.2. Kondisi Saat ini dan Permasalahannya

3.2.1. Penanganan Sampah DKIJ

Secara garis besar alur penanganan sampah di DKIJ sejak dari sumber sampah
sampai ke TPA dapat dilihat pada bagan berikut :
Gambar 2. Alur penanganan sampah DKI Jakarta

Sumber sampah:

RUMAH TANGGA

51,22%

PASAR TEMPORER

(5,7%)

P.D. PASAR JAYA

11,20%

KOMERSIAL

16,71%

JALAN

0,95%

INDUSTRI

(15,22%)

TPS
DIPERGUNAKAN KEMBALI

TPA BANTARGE BANG: SISTEM

SANITARY LANDFILL

STASIUN PERALIHAN ANTARA


PENGOLAHAN SENDIRI

(PLI)

B-3

Sedangkan penanggung jawab dari jenis sampah dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Institusi Penanggung Jawab Sesuai dengan Sumber Sampah

Instansi yang
memutuskan
SUMBER Pengumpulan Awal Transportasi Pengolahan (bertanggung
SAMPAH dan jawab)
Pembuangan
Sampah Dinas K Dinas K
Domestik
Dinas K Dinas K Dinas K
(R. Tangga)
RW Tempat Pemb.
Sendiri

Dinas K

RT / RW

RT / RW
Sampah Pasar Dinas K Dinas K Dinas K Dinas K

PD. Pasar PD. Pasar Dinas K P.D. Pasar


Sampah Dinas K Dinas K Dinas K
Komersial
Pengumpulan Sendiri Diangkut Dinas K Dinas K
Sendiri
Persh Swasta
Persh Swasta
Dinas K
Sampah Dinas K Dinas K Dinas K Dinas K
Industri
Pengumpulan sendiri Diangkat Dinas K Masing-masing
Sendiri pabrik
Pembuangan
sendiri

Pembuangan
sendiri di
tempat
Sampah
Saluran/Sung
ai DPU DPU Dinas K DPU
Sampah Dinas Pertamanan Dinas Dinas K Dinas
Taman Kota Pertamanan Pertamanan

sumber : JICA, 1987

Komposisi sampah yang dibuang ke TPA Bantargebang berdasarkan data dari Dinas
Kebersihan DKI (1999) terdiri dari sampah Organik 65,05% dan Sampah Non Organik
34,95%.

3.2.2. Permasalahan Dalam Pengelolaan Sampah DKIJ

Pengelolaan sampah di DKIJ saat ini menghadapi berbagai persoalan, mulai dari
aspek teknis, operasional, institusi, keuangan, peraturan perundangan serta partisipasi
masyarakat, secara ringkas masalah indikasi dan penyebabnya dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Persoalan Pengelolaan Sampah di DKIJ


ASPEK PERMASALAHAN PENYEBAB

UMUM 1. Masih timbulnya pengotoran lingkunagn dan 1.


masalah estetika.
Tidak memadainya pengumpulan dan

2. Masih ada sampah yang belum tertampung di pelayanan pembangunan sampah.

beberapa tempat.
2.
Kerjasama / peran Swasta masyarakat
masih rendah.
ASPEK TEKNIS Pengumpulan di pengumpulan sampah belum 1. Kurang efisien dalam pengumpulan,
memadai masih terlihat gerobak dan TPS-TPS
kosong.

2. Kurangnya peralatan pengumpul.

3. System Pengumpulan yang


dilakukan oleh berbagai pihak
cenderung tidak effisien

1. Kurangnya petugas.

2. Tidak effisiennya cara penyapuan


Penyapuan jalan
jalan.
Masih terlihat kurang memuaskannya penyapuan
jalan

1. Kurangnya pemahaman petugas


dalam melakukan pengelohan secara
Sanitary Landfill.
Tempat Pembuangan Akhir

2. Kurangnya biaya operasional


Cara pembuangan dan pegolahan sampah tidak sesuai
dengan kaidah Sanitary Landfill
3. Kurangnya tenaga teknis.

4. Kurangnya alat berat


ASPEK Pengumpulan
OPERASIONAL
1. Jumlah pengumpulan sampah yang dilakukan
1. Waktu tempuh yang panjang
oleh truk pengangkut rendah.
yang diakibatkan jarak yang jauh serta
2. Rendahnya frekuensi pengangkutan kemacetan.

2. Kurang memadainya kontrol


jam kerja.

3. Kurangnya kontrol
penimbangan sampah yang
dikumpulkan.

4. Kurangnya pemeliharaan
kendaraan.

5. Jangaka waktu pemeliharaan


kendaraan yang telah lama.

1. Kurangnya kontrol jam kerja.

2. Kurangnya kendaraan
Penyapuan Jalan pengangkut untuk effisiensi

Waktu yang pendek dan produksifitasnya rendah penyapuan jalan.

1. Kurang memadainya kontrol


terhadap kendaraan yang datang di

Tempat Pembuangan Akhir TPA.

1. Tidak adanya kontrol terhadap jumlah 2. Kurangnya perlengkapan yang


sampah di TPA.
diperlukan.
2. Pembongkaran sampah di TPA memakan
waktu yang lama.

1. Bagian Suku Dinas lemah,


diakibatkan oleh terkonsentrasinya
personil yang memiliki kemampuan
di Dinas.
Organisasi
2. Kurangnya pendelegasian tugas dan
1. Suku Dinas tidak mampu mengatasi persoalan
wewenang pada Suku Dinas
sampah di wilayahnya (5 suku Dinas). Kebersihan.

INSTITUSI 2. Struktur Suku Dinas yang kurang memadai. 3. Masih adanya tugas yang
tumpang tindih antar seksi di dalam
Struktur Dinas Kebersihan.

1. Kesenjangan tenaga kerja.

2. Kesulitan mendapatkan tenaga yang


mumpuni akibat tidak adanya
kewenganan untuk pengadaan
karyawan.

Personil

1. Pemerintah kota tidak mempunyai


1. Kurangnya pekerja.
kapasitas keuangan yang cukup.
2. Kapasitas pekerja yang rendah
2. Partisipasi masyarakat yang rendah.
3. Kekurangan tenaga teknis

3. Rendahnya motivasi pengumpulan


retribusi.

1. Tidak jelasnya
tanggungjawab yang berkaitan dengan
Sumber pembuangan sampah.

1. Biaya Investasi yang kurang memadai untuk


peralatan dan fasilitas. 2. Tidak adanya Standard
atau pengaturan mengenai TPA milik
2. Retribusi
Swasta.

Rendahnya pengumpulan retribusi.

1. Rendahnya tingkat pemahaman


KEUANGAN
masyarakat tentang permasalahan
pembuangan sampah.
Peraturan 2. Tidak adanya usaha baik dalam
pendidikan maupun pemberian
Tidak memadainya peraturan perundangan mengenai
aktivitas sektor swasta dan pembuangan sampah. informasi mengenai sampah pada
masyarakat.

PERATURAN Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembuangan


PERUNDANGAN dan penyapuan sampah.

PARTISIPASI
MASYARAKAT

IV. EVALUASI PENGELOLAAN SAMPAH DKIJ


4.1. Aspek Kebijakan dan Peraturan Perundangan

Penyusunan kebijakan dalam pengelolaan sampah di DKIJ nampaknya kurang selaras


dengan Master Plan Pengelolaan Sampah yang telah dibuat sebelumnya yaitu pada tahun
1987, hal ini nampak dengan tidak adanya sinkronisasi antara skenario yang ada di dalam
kebijakan pembangunan perkotaan yang tertuang dalam Peraturan Daerah No.6/1999 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKIJ-2010 dengan Master Plan Pengelolaan Sampah
DKIJ. Sebagai contoh di dalam Master Plan Pengelolaan Sampah dijelaskan bahwa sistem
pengolahan sampah dilakukan secara sanitary landfill yang biayanya jauh lebih murah dari
incenerator, namun di dalam kebijakan RTRW dijelaskan adanya upaya untuk
menyelenggarakan pengolahan sampah yang ditempatkan di kawasan padat dengan
menggunakan incenerator.

Dari sisi perubahan lingkungan strategis penyusunan RTRW tidak memperhatikan


munculnya Undang-Undang No 22/1999 mengenai Pemerintahan Daerah, serta kurang
memperhatikan aspirasi masyarakat setempat yang menolak dioperasikannya TPA
Bantargebang. Hal ini nampak dalam penentuan TPA Sampah Pemerintah Daerah DKIJ yang
menganggap lokasi TPA Bantargebang dan Ciangir masih memungkinkan untuk dijadikan
TPA Sampah DKIJ.

Beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah DKIJ telah dirumuskan dengan
baik artinya telah memperhatikan prinsip-prinsip dalam pengelolaan sampah, seperti
misalnya melakukan 3R (Reduce, Reuse dan Recycling) pada sumbernya. Namun
implementasi kebijakan tersebut yang tidak dilaksanakan. Hal ini nampak pada sistem
penempatan sampah yang dilakukan oleh seluruh masyarakat masih belum memperhatikan
prinsip 3R tersebut. Untuk melaksanakan proses 3R masyarakat melakukan pemilahan
sampah pada sumbernya yang harus didukung dengan peraturan perundangan.

Peraturan perundangan yang ada pada saat ini masih belum memadai untuk
melakukan pengelolaan sampah secara terintegrasi (Integrated Solid Waste Management)
yang melibatkan seluruh pemegang kepentingan (stakeholders). Kondisi ini mengakibatkan
tidak jelasnya hak dan kewajiban para pihak yang terkait dengan persampahan.

4.2. Aspek Institusional

Salah satu persoalan di dalam pengelolaan persampahan adalah terjadinya


penanganan sampah yang dilakukan oleh beberapa institusi, Dinas Kebersihan, PD Pasar,
Dinas Taman dan Dinas pekerjaan Umum (lihat tabel 3), hal ini menimbulkan “Moral
Hazard” di dalam penanganan sampah, yaitu terjadinya saling lempar tanggung jawab ketika
terjadi persoalan atau komplain dari masyarakat mengenai adanya sampah yang mengganggu
lingkungan permukiman.

4.3 Aspek Teknis dan Operasional

Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa pengelolaan sampah yang dilakukan belum
ditunjang dengan peralatan, petugas dan dana operasi yang memadai disamping kurang
efisiennya penanganan sampah oleh berbagai pihak sebagaimana terlihat pada tabel 3,
terdapat beberapa instansi yang menanagani persampahan yang bergantung pada jenis dan
asal sampah.

Dalam aspek operasional pengelolaan sampah DKIJ masih belum memadai dalam
melakukan kontrol terhadap beberapa kegiatan seperti penghitungan volume sampah yang
masuk ke TPA Bantargebang, kurangnya pemeliharaan peralatan-peralatan yang digunakan
terutama alat-alat berat yang rusak dan tidak dapat dipergunakan sebelum masa ekonomis
peralatan tersebut berakhir, yang pada gilirannya pengoperasian pengaangkutan dan
pengolahan sampah kurang effektif dilakukan.

4.4. Aspek Keuangan

Pemerintah DKIJ menghadapi permasalahan dalam menyediakan dana operasi dan


pemeliharaan prasarana persampahan. Dalam tahun Anggaran 96/97 Dinas Kebersihan
mengalami defisit biaya operasional sebesar Rp.27,2 milyar. Hal ini diakibatkan kurangnya
efisiensi pengumpulan biaya retribusi sampah.

4.5. Aspek Partisipasi Masyarakat

Masyarakat DKIJ umumnya tidak atau kurang memahami permasalahan yang


sesungguhnya terjadi dalam pengelolaan sampah mulai dari pengumpulan penempatan,
pemindahan, pengangkutan dan pengolahan sampah di TPA. Kurangnya pengertian
masyarakat mengenai pengelolaan sampah ini mengakibatkan kurangnya kesadaran
masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Dalam aspek penempatan dan pengumpulan
sampah timbul suatu sindrome yang disebut dengan NIMBY ( not in my back yard)
sindrome, yaitu suatu penyakit masyarakat yang tidak perduli terhadap sampah, yang
mempunyai pandanagan bahwa: ”yang penting asal sampah tidak berada di halaman
rumahnya persoalan sampah dipandang telah selesai”.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari permasalahan dan persoalan yang timbul dalam pengelolaan sampah baik aspek
kebijakan, aspek teknis, keuangan, peraturan perundangan, serta peranserta masyarakat dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kebijakan yang dibuat tidak cukup hanya sampai pada tersusunnya suatu kebijakan
sampai dengan diundangkannya kebijakan tersebut, namun implementasinya harus
dibarengi dengan rencana tindak (action plan) yang mengarah kepada dicapainya
tujuan akhir dari apa yang diinginkan.
2. Terdapat inkonsistensi pelaksanaan terhadap perencanaan yang dilakukan oleh
pemerintah DKIJ dalam pengelolaan sampah. Hal ini terlihat jelas dalam skenaraio
perencanaan dimana ditetapkannya 2 (dua) TPA yaitu Bantargebang dan Ciangir-
Tangerang, yang pada kenyataanya DKIJ hanya membangun TPA Bantargebang saja.
3. Timbulnya keluhan masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Bantargebang
diakibatkan oleh Dinas Kebersihan DKIJ yang tidak mengoperasikan TPA tersebut
secara Sanitary Landfill, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan yang
berdampak pada ditolaknya pembangunan TPA Ciangir oleh masyarakat.
4. Lemahnya aparatur yang menangani pengelolaan persampahan menimbulkan
minimnya kinerja pengelolaan sampah di DKIJ.
5. Adanya tumpang tindih antar institusi yang bertanggung jawab dalam menangani
masalah sampah.
5.2. Saran

Dari kesimpulan yang ada, disarankan kepada Pemerintah Daerah DKIJ untuk
melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan
kinerja pengelolaan persampahan DKIJ sebagai berikut:

1. Melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan pengelolaan persampahan


sebagaimana yang tertuang dalam RTRW tahun 1999 khususnya mengenai
penggunaan incenerator yang akan ditempatkan di wilayah-wilayah padat di tepi
bantaran sungai dengan melakukan tinjauan kembali apa yang telah dirumuskan di
dalam Master Plan Persampahan DKIJ oleh JICA pada tahun 1987.

2. Melakukan sosialisasi mengenai pengelolaan persampahan kepada seluruh


stakeholders, khususnya masyarakat, secara kontinyu. Hal ini penting untuk
mendorong masyarakat sebagai elemen terbesar di dalam sistem persampahan agar
melakukan prinsip-prinsip 3R yang proses awalnya adalah pemilahan sampah dalam
penempatan sampah. Masyarakat perlu diberdayakan agar memiliki komitmen di
dalam mengelola sampah, misalnya community organizer (CO) pada tingkat RW.
Sampah-sampah yang masuk ke TPA sebaiknya sudah dipisahkan menjadi sampah
organik dan anorganik.

3. Konsisten terhadap hasil kajian yang telah dilakukan untuk menghindari timbulnya
keputusan-keputusan sesaat yang tidak berdasarkan kepada kajian secara ilmiah.

4. Memberlakukan UU 22/99 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga Pemerintah DKI


harus melakukan pendekatan dan kerjasama yang baik dengan pemerintah daerah di
sekitarnya (Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi) untuk melakukan pembangunan
TPA bersama yang dapat diterima masyarakat.

5. Mengubah paradigma TPA sebagai suatu pekerjaan sosial menjadi suatu industri
pengelolaan sampah yang berbasis manajemen industri secara profesional.

6. Melaksanakan sinergi antar instansi yang terkait dalam mengambil keputusan


sehingga tidak terjadi tumpang tindih kebijakan yang pada akhirnya akan merugikan
semua stakeholders.
DAFTAR PUSTAKA

1. Chalik A. Alex, (2000), Tesis Magister ITB : Evaluasi Pengelolaan Sampah DKI
Jakarta pada TPA Sampah Bantargebang, Bandung.
2. JICA, (1987), Study on Solid Waste Managemnt System Improvment Project in the
City of Jakarta in Indonesia, Jakarta.
3. Kompas, (10 Januari 2004), Sampah dan Pemerintah, www.kompas.com/kompas-
cetak/0401/10/Fokus/791775.htm, dikunjungi 19/03/2004.
4. Media Indonesia, (2002), Jabotabek: Teratasi Bau Busuk Sampah di TPA Bantar
Gebang, http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2002090504345953,
dikunjungi 08/03/2004.
5. Menteri Negara Lingkungan Hidup, (2003), Japan International Cooperation Agency
(JICA): Draft Naskah Akademik Peraturan Pengelolaan Sampah, Yayasan Pesantren
Islam Al Azhar, Jakarta.
6. Noriko, Nita, (2003), Tinjauan Ekologis Tempat Pemusnahan Akhir Bantar Gebang,
Bekasi, http://www.rudyct.tripod.com/sem2_023/nita_noriko.htm, dikunjungi
08/03/2004.
7. Soekmadi, Budihardjo, (2003), Pengalaman memimpin DKI Jakarta di Era
Reformasi, paper, Jakarta.
8. Wardhana, Wisnu Arya, (1995), Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Offset,
Yogyakarta.

You might also like