You are on page 1of 6

Teori Belajar 

Kognitif
March 1, 2009 by Farida Nurhasanah

Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya
mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar
merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar
seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan
tingkah laku, sikap,dan ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran
behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada
pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu
yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti
yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses
usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu
proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996:
53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam
interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif
dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha
yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses
interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk
pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan
berbekas.
Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung
termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat dilihat
langsung dalam konteks perubahan tingkah laku. Berikut adalah beberapa teori belajar
kognitif menurut beberapa pakar teori belajar kognitif:
Teori Belajar Piaget
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat
terkenal dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada
anak.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut
tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur
tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya.
Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a. Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami
lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan
menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta
motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut
mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya.
Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.
b. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu
mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan
bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek
anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan
yang berbeda dengannya.
c. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya
mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada
informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi
konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh
pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi
misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi
jarang mengetahui bila membuat kesalahan.
d. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai
gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif
pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan
pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang
besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang
bersifat abstrak.
Berdasarkan uraian diatas, Piaget membagi tahapan perkembangan kemampuan
kognitif anak menjadi empat tahap yang didasarkan pada usia anak tesebut.
Taxonomy SOLO
Teori belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan
teori pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik
melakukan analisis serta memperluas teori tersebut. salah satu kritik yang cukup tajam
terhadap teori Piaget adalah berkenaan dengan asumsi bahwa pengertian akan suatu struktur
yang sama akan diperoleh pada usia yang sama dalam berbagai domain intelektual. Implikasi
dari hal ini adalah ketika seorang anak sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan
mengenali bahwa besaran dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara
rasional dapat diduga akan mengawetkan konsep berat, karena struktur antara konsep besaran
dan berat sama. Ternyata bersadar pada studi eksperimental yang dilakukan oleh para peneliti
hal ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah penyimpangan.
Penyimpangan yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara dalam memperoleh sebuah
struktur yang sama oleh seorang individu. Dari beberapa hasil pengembangan penelitian
dalam teori ini ternyata penyimpangan ini lazim terjadi sebagaimana diungkapkan oleh Biggs
dan Collis (1982). Fakta ini memicu sebuah pengembangan teori dari teori Piaget yang
dikenal dengan neo-Piagetian theories.
Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar
Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan dengan struktur
kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed Learning Outcomes (SOLO).
Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized cognitive structure” atau
struktur kognitif umum anak dengan “actual respon” atau respon langsung anak ketika
diberikan perintah-perintah. Mereka menerima kebeadaan konsep struktur kognitif umum
namun mereka menyakini bahwa hal tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu
mengacu pada sebuah “hypothesized cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif
hipotesis. Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari
pengaruh pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam
menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat penting seperti
yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan seseorang sangatlah beragam
dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan erat dengan logika
yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi penyimpangan yang dalam model
ini dikatakan:
Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada
pada level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa berada pada
level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada level yang konkrit pada
topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak dapat mengindikasikan terdapatnya
“pertukaran” dalam perkembangan kognitif yang berlangsung, tetapi sedikit pertukaran
terjadi pada konstruksi yang lebih  proximal , pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs
& Collis (1991:60)
Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan
pada analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan butir-butir
rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak difokuskan untuk melihat
kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada melihat struktur alamiah dari respon siswa
dan perubahannya dari waktu ke waktu.
Untuk menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif
yang tidak biasa diantara anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991: 60)menyediakan suatu
level tersendiri yang diberi nama “post formal mode”. Bagaimanapun juga terdapat satu
perbedaan penting dari teori yang dikemukakan Piaget yaitu ketika mode atau level baru
mulai muncul, ini tidak akan menggantikan level yang lama begitu saja melainkan dapat
berkembang bersamaan. Oleh karena itu mode-model tersebut tumbuh sejak lahir hingga
dewasa. Level terakhir adalah batas tertinggi dari proses abstraksi yang dapat ditunjukkan
anak, bukan seluruh penampilan yang harus menyesuaikan dengan level-nya. Secara khusus,
ketika semakin banyak mode yang memungkinkan maka multi-modal fungsioning menjadi
normanya.
Berikut adalah 5 mode yang diutarakan oleh Biggs dan Collis:
1. Mode Sensorimotor
Focus perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak
membangun kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur interaksinya dengan
lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan pada mode ini ditunjukkan oleh
kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnya tacit knowledge.
2. Mode Iconic
Pada mode ini symbol-simbol dan gambar digunakan untuk merepresentasikan
elemen-elemen yang diperolehnya pada mode sensorimotor. Tanda-tanda tersebut digunakan
sebagai peran pengganti dari komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak yang berada pada mode ini
antara lain sering menggunakan strategi menebak, senang menggunakan alat peraga dan
senang membuat gambaran-gambaran mental. Mode sensorimotor dan iconic adalah mode-
mode alamiah dari seorang manusia yang berkembang secara alamiah juga. Sedangkan target
pertama dari sekolah formal ada pada mode concrete symbolic.
3. Mode Concrete Symbolic
Pada mode ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka mulai
merepresentasikan dunia fisik melalui bahasa oral ke dalam bentuk tulisan, yaitu sebuah
system symbol yang akan mereka gunakan dalam kehidupannya di dunia.
Sebuah system symbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat
memfasilitasi sebuah hubungan antara sistem simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya.
Sistem symbol yang digunakan di sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa.
Mode concrete symbolic adalah mode terbesar sebagai target dari matematika sekolah.
Karena dalam matematika anak menggambarkan dan mengoperasikan objek-objek yang
berada di sekitarnya.
4. Mode Formal
Pada mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan
mengkonstruksi teori tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan berpikir pada tahap
ini meliputi membuat formula hipotesis dan membuat penalaran yang proporsional. Oleh
karena itu kemampuan ini dituntut pada mahasiswa-mahasiswa di Perguruan Tinggi.
5. Mode Post Formal
Keberadaan mode ini lebih menekankan pada pembuatan hipotesis secara deduktif
dari pada penyusunan teori berdasarkan bukti-bukti empiris. Karakteristik terpenting dari
mode ini adalah kemampuan untuk bertanya tentang prinsip-prinsip mendasar dari sesuatu
hal.
Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan
perkembangan kemampuan berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di berbagai
bidang.
Berikut adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi SOLO;
1. Tahap Pre-Structural.
Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang bahkan tidak saling
berhubungan, sehingga tidak membentuk sebuah kesatuan konsep sama sekali dan tidak
mempunyai makna apapun.
2. Tahap Uni-Structural.
Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu konsep dengan
konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum dipahami. Beberapa kata kerja
yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini adalah; mengindentifikasikan, mengingat
dan melakukan prosedur sederhana.
3. Tahap Multi-Structural.
Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih bersifat
terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman secara komprehensif.
Beberapa koneksi sederhana sudah terbentuk namun demikian kemampuan meta-kognisi
belum tampak pada tahap ini. Adapun beberapa kata kerja yang mendeskripsikan kemampuan
siswa pada tahap ini antara lain; membilang atau mencacah, mengurutkan,
mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar, menggabungkan dan melakukan
algoritma.
4. Tahap relational.
Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta tindakan dan
tujuan. Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman beberapa komponen dari satu
kesatuan konsep, memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah dapat
mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun kata kerja yang
mengidikasikan kemampuan pada tahap ini antara lain; membandingkan, membedakan,
menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan, menganalisis, mengaplikasikan,
menghubungkan.
5. Tahap  Extended Abstract
Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada konsep-konsep
yang sudah diberikan saja melainkan dengan konsep-konsep diluar itu. Dapat
membuat generalisasi serta dapat melakukan sebuah perumpamaan-perumpamaan
pada situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang merefleksikan kemampuan pada tahap
ini antara lain, membuat suatu teori, membuat hipotesis, membuat generalisasi,
melakukan refleksi serta membangun suatu konsep.
Teori Belajar Van Hiele
Dalam belajar pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh
Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam belajar
geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam
pegajaran geometri. Hasil penelitiannya itu, yang dirumuskan dalam disertasinya, diperoleh
dari kegiatan tanya jawab dan pengamatan.
Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu,
materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan
dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahapan berpikir dalam belajar
geometri yaitu;
a.Tahap Pengenalan
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara keseluruhan,
namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu.
Sebagai contoh jika kepada seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui
sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus itu. Ia belum menyadari bahwa kubus
mempunyai sisi-sisi yang berupa bujur sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah.
b.Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai dapat mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geomeri yang
diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri
tersebut. Misalnya disaat dia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat
dua pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap
ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri
dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujur sangkar
adalah persegi panjang, bahwa bujur sangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
c.Tahap Pengurutan
Pada tahap ini anak telah mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang dikenal dengan
sebutan berpikir deduktif, namun kemapuan ini belum berkembang secara penuh. Pada tahap
ini anak telah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mulai mengenali bahwa bujur
sangkar adalah jajargenjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang. Demikian pula
dalam pengenalan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok juga,
dengan keistimewaannya, yaitu bahwa semua sisinya berbentuk bujursangkar. Pola pikir anak
pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang
itu sama panjang. Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari
dua segitiga yang kongruen.
d.Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan
kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Mereka juga telah
mengerti peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang telah
didefinisiskan. Misalnya anak telah mampu memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak
telah mampu menggunakan postulat atau aksioma yang digunakan dalam pembuktian.
Postulat dalam pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-
sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa
postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara
pebuktian dua segitiga yang sama dan sebangun(kongruen).
e.Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak telah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip
dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui pentingnya aksioma-
aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir
yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua anak,
meskipun sudah duduk dibangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap
berpikir ini.
Paparan di atas baru beberapa teori pembelajaran kognitif, selain itu masih banyak teori
belajar konitif yang diungkapkan oleh beberapa pakar seperti Bruner, Bloom, Freudenthal
dan lain-lain.
Referensi:
Ahmadi, Abu dan Supriono, Widodo. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Atherton J S (2005) Learning and Teaching: SOLO Taxonomy[On-line] UK:
Available:http://www.learningandteaching.info/learning/solo.htmAccessed: diakses
tanggal 17 January 2009.
Biggs, J.B & Collis, K.F. (1982). Evaluating the Quality of Learning: the SOLO Taxonomy.
New York: Academic Press
Biggs, J. B. and Collis, K. F. (1991). Multimodal learning and the quality of intelligent
behaviou. In H.Rowe (ed.).
Crowley, L Mary.(1987). “The Van Hiele Model of the development of Geometric
Thought.” Dalam Learning and teaching Geometry, K-12. National of Teacher of
mathematics (NCTM). United State of America.
Karso, et.al.(1993). Dasar-Dasar Pendidikan MIPA. Jakarta: Depdikbud.
Suherman, Erman & Winataputra, Udin S. (1992). Strategi Belajar Mengajar Matematika.
Depdikbud. Jakarta.
Winkel, W.S. (1996). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

You might also like