You are on page 1of 11

JABARIAH DAN QODARIAH

A. JABARIAH

Kata jabariah berasal dari kata “jabara” yang artinya “memaksa”. Secara istilah
Jabariah adalah suatu golongan yang mengatakan segala perbuatan manusia
sesunggungnya datang dari Allah dengan kata lain segala perbuatan manusia terpaksa
dilakukan.

Ayat yang menjadi alas an orang ini adalah :

Artinya ;

“Allah menciptaan kamu dan apa yang kamu perbuat” (Q.S. Ash-Shaffat: 96)

Doktrin-doktrin Jabariah

a. Golongan Ekstrim

Mengatakan bahwa segala sesuatu perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan


yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan pada dirinya.

Pendapat Jham bin Shofyan orang dari khurasan dan tinggal di Khuffah mengatakan
tentang teologi Jabariah Ekstrim adalah:

1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai pilihan.
2. Surga dan neraka tidak kekal, tidak ada yang kekal selain Tuhan
3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
4. Al-qur’an adalah makhluk.

b. Golongan Moderat
Mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baikn perbuatan
baik dan buruk, tetapi manusia mempunyai bagian didalamnya.

Pendapat An-Najjar (wafat : 230 H) diantara pendapatnya dari Jabariah Moderat dari
golongan Jabariah Moderat adalah :

1. Tuhan menciptakan segala sesuatu perbuatan manusia, tetapi manusia


mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.

2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat nanti, tetapi Tuhan bisa saja memindahka
hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.

B. QODARIAH

Qodariah berasal dari bahasa Arab yaitu qadara artinya kemampuan dan kekuatan,
sedangkan arti terminologinya adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan
atau perbuata manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.

DOKTRIN-DOKTRIN QODARIAH

Golongan ini menyatakan bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala
perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan, seperti ayat Qur’an menyatakan :

Artinya :

“ Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau (beriman) beriman lah
ia, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir (Q.S. Al-Kahf : 29)

Firman Allah :

Artinya :

“ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa, kecuali mereka
mengubah keadaan diri mereka sendiri. (Q.S. Ar-Ra’ad : 11)
DUA MAZHAB BESAR TEOLOGI KLASIK

(Kejabariahan dan Keqadariahan dalam Dunia Islam Masa Kini)


Oleh Akmal
A. Latar belakang masalah
Dalam tradisi Islam dikenal ada beberapa aliran teologi yang berkembang sejak
awal kehadiran Islam. Diantara aliran-aliran teologi tersebut, pada umumnya hanya
memiliki dua pilihan pemikiran khususnya yang terkait dengan wacana “tentang
kehendak” dan “perbuatan” manusia.
Pilihan pertama mempertegas bahwa manusia memiliki kehendak bebas dalam
menentukan perbuatannya sendiri, setelah sebelumnya manusia dibebani dengan
potensi untuk berbuat. Pilihan kedua mempertahankan kesan bahwa manusia hanya
melakukan perbuatan berdasarkan ketentuan Tuhan tanpa kemampuan memilih
perbuatannya sendiri. Kedua gaya pemikiran tersebut berlaku cukup ekstrim diantara
ragam aliran-aliran teologi yang ada tesebut. Bahwa manusia memiliki kekendak untuk
menentukan perbuatannya; cara berpikir teologi ini selanjutnya disebut qadariah.
Pemahaman teologi, bahwa manusia hanya melakukan perbuatan bedasarkan ketentuan
Tuhan tanpa kemampuan memilah disebut qadariah.
Pada perkembagan selanjutnya, nampaknya kedua paham ini sama-sama
memilih gerbongnya sendiri. Baik jabariah maupun qadariah berkembang sesuai lajur
rel yang terlanjur dikokohkan sejak masa awal Islam. Ummat Islampun terpecah dalam
dua pilihan teologis tersebut dan keduanya melaju pada gerbong yang berbeda di atas
rel yang berbeda pula. Hingga di masa kini dua paham teologis ini tak jauh beranjak
dari situasi yang sebelumnya telah terlanjur mapan. Terhadap realitas kehidupan ummat
Islam di masa kini yang terkait dengan idealisasi dua paham teologi tersebut,
nampaknya susah dibaca, kecuali jika kedua pemahaman ini dikaitkan dengan fase
perkembang paham sejarah ummat manusia secara global.
Sebab pendekatan teologi an sich, dalam menilai ummat masa kini tidak mudah
diberlakukan hanya dengan melihat korelasi kemajuan social budaya dan ekonomi
ummat Islam dengan pemahaman teologinya, tanpa membaca kemungkinan lain,
semisal kemajuan teknologi informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan lainnya.
Kendala lainnya adalah sifat dari pembahasan teologi bersifat melangit, dalam artian
wacana-wacana teologi biasanya hanya dibincang terbatas di ruang-ruang sempit
formal ilmiah. Hingga dengan demikian studi tentang dua mazhab teologi Islam klasik
yaitu jabariyah dan qadariahpun terbatas hanya pada kalangan elit ilmuan Islam dan
kejadian serupa ini terjadi hingga sekarang.
Membaca khazanah dua mazhab besar teologi klasik (jabariyah dan qadariah)
dalam optic masa kini atau kejabariahan dan keqadariahan dalam dunia Islam masa kini
memerlukan kaitan-kaitan realitas yang kaya dari hanya sekedar mendekatan
skripturalis yang biasanya dominan dalam pendekatan wacana teologi Islam.
B. Rumusan masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah bagaimana perkembangan paham
jabariyah dan qadariah dalam dunia Islam masa kini? Sub masalah :
a. Bagaimana konsepsi kedua paham ini?
b. Sejauh mana peran dua teologi ini dalam dunia Islam masa kini?
I. PEMBAHASAN
A. Konsepsi Paham Jabariah
Secara etimologis jabariyah mengandung arti memaksa yang berarti Tuhan
sebagai yang maha kuasa bersifat, berkehendak mutlak atas manusia. Dalam kotegori
inilah manusia melakukan segala sesuatu secara tepaksa (majbur) berdasarkan
ketentuan Tuhan. Manusia tidak memiliki kehendak. Segala yang diperbuatnya telah
ditentukan sebelumnya atas kuasa takdir (qada’ dan qadar) Tuhan. Berdasarkan
deskripsi tersebut maka paham jabariah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini
adalah paham yang mengerdilkan hingga menghilangkan semua kemampuan dan
kebebasan manusia dalam berkehendak. Berdasarkan definisi tersebut, maka paham
jabariah terkadang dianggap sebagai paham yang patalism atau paham yang melihat
manusia yang tak memiliki celah ihtiar dalam melakukan kehendaknya.
Harun Nasution melihat latar sejarah munculnya paham ini berdasarkan anilisis
sosial dengan penekanan pada situasi lingkungan kehidupan bangsa Arab yang sangat
ekstrim di masa itu. Suasa padang pasir dengan panasnya yang terik dan hamparan
tanah yang enggan ditumbuhi tanaman, membuat bangsa Arab merasa tidak memiliki
kemampuan kecuali menyerah pada kehendak natur. Dengan demikian manusia merasa
dirinya lemah dan sekaligus tidak mempunyai kemampuan mengubah. Analisa
demikian nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran perubahan social Aguste Comte yang
mendasarkan tahapan-tahapan perubahan social bermula dari kesalahan manusia
melihat alam hingga kebangkitan agama (monoteisme) yang mengantar lahirnya
tahapan pamungkas yaitu peradaban positivisme. Dengan demikian latar belakang
ihwal lahirnya paham jabariah dalam tradisi Islam dalam versi Harun Nasution
nampaknya bias dari pendekatan europasentrisme. Sebab jika hanya berdasarkan pada
situasi lingkungan yang melahirkan paham jabariah, maka tradisi (paradigma)
kejabariahan tidak akan terjadi dilingkungan yang subur, seperti Indonesia misalnya.
Tetapi faktanya tidak demikian.
Melacak latar historis sebuah paham sebaiknya ditelusuri berdasarkan latar
epistemologis mengapa paham tersebut lahir. Dalam pandangan penulis lacakan
epistemologi memuat keseluruhan peristiwa lahirnya sebuah paham, jauh lebih
komprehensif dibandingkan jika penelusuran hanya berdasarkan pada analisis sosial
semata, seperti yang diuraikan oleh Harun Nasution tentang latar belakang jabariah
lahir sebagai sebuah paham. Pendekatan epistemologis mencakup dimensi sejarah dan
realitas manusia dalam melahirkan paradigma dalam era tertentu.
Jabariah lahir di saat bangsa Arab sangat diuntungkan oleh kehadiran teks kitab
suci Alquran. Dimana setiap teks dianggap memiliki otoritas dalam menentukan setiap
pikiran dan tindakan ummat. Tetapi konsepsi itu mengalami pergeseran setelah
kewafatan nabi Muhammad saw. Makna teks yang sebelumnya absolute tunggal, di
bawah otoritaf Muhammad saw, bergeser dari absolute kemakna interpretative, hingga
makna teks menjadi plural. Dalam keadaan demikian teks-teks yang sebelumnya tidak
dipertentangkan menjadi dipertentangkan karena diinterpretasi secara berbeda,
demikian juga dengan teks yang berdimensi teologis maknanya telah menjadi tidak
tunggal (disepakati). Perbedaan interpretasi atas teks mengandung makna lain yaitu
adanya cara atau metodologi yang berbeda dalam mehamai sebuah teks.
Dalam tradisi Islam pengetahuan atas teks lebih dikenal dengan istilah berpikir
dengan pendekatan bayani atau epistemologi bayani. Metode bayani adalah metode
rasional atau deduktif yang dalam masyarakat Islam metode tersebut lebih lekat dengan
tradisi teks yang sering kali dipakai sebagai sumber menjustifikasi kebenaran. Metode
semacam ini, membatasi wilayahnya pada hal-hal yang telah diketahui secara umum,
untuk kemudian digeneralisasi dalam bentuk proposisi-propsisi yang menghasilkan
kongklusi. Dalam pandangan al-Jabiri, metode semacam ini biasanya lemah dalam
menentukan sebuah sebuah makna, karena makna (teks) sering kali keluar dari konteks
(ahistoris). Dalam tradisi masyarakat muslim, metode ini memuncak pada zaman
pengkodifikasian ilmu pengetahuan dalam Islam, disekitar pertengahan abad II hijriah.
Selanjutnya dinamika pengetahuan Islam, mengalami sebuah stagnasi metodologis,
hingga kemunculan metodologi alternatif dari berbagai sumber-sumber non-muslim,
meski pun kemudian hanya bermain di wilayah pinggiran saja.
Ciri metode bayani ini, dapat dilihat dari apa yang disebut oleh Adnin Armas,
sebagai metode ilmu pengetahuan dalam Islam yang bersumber dari wahyu (teks),
dengan saluran-saluran sebagai berikut:
1. Panca indera (hawas): Panca indera eksternal: sentuhan (touch), penciuman
(smell), rasa (taste), penglihatan (sight) dan pendengaran (hearing). Panca
indera internal: akal sehat (common sense), representasi (representation),
estimasi (estimation), retensi (retention), rekoleksi (recollection) dan khayalan
(imagination).
2. Riwayat benar (khabar sadiq) berdasar kepada otoritas (naql): otoritas mutlak
(absolute authority), otoritas Tuhan (divine authority) seperti Alqur’an, otoritas
kenabian (prophetic authority), yaitu Nabi.
3. Otoritas relatif
4. Ijma para ulama (tawatur)
5. Riwayat orang-orang yang amanah secara umum
6. Intelek (aql)
7. Akal sehat (ratio)
8. Intuisi (hads, wijdan).
Saluran-saluran pengetahuan demikan nampaknya belum memadai untuk
melegitimasi sebuah kehadiran ilmu pengetahuan secara sempurna. Karena apa yang
dimaksudkan barulah terjadi pada tahap interpretasi teks semata. Pada metode semacam
ini, akal dipandang tidak dapat memberi pengetahuan dan mengambil keputusan
kecuali didasarkan pada teks Alquran. Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani
adalah teks (nas) dan yang dimaksud nas adalah teks Alquran dan Hadis.
Paham teologi jabariah lahir dan berkembang atas dasar epistemologi bayani,
fakta demikian dapat dilihat dari argument-argumen teks yang dibangun atasnya.
Meskipun di antara teks tersebut terdapat makna yang mengarah pada arti qadariah
namun konsekwensi nalar bayani yang terlanjur lekat dalam struktur berfikir bangsa
Arab telah mengabaikan unsure lain di luar teks hingga ungkapan teks secara pasti akan
mendukung kemahamutlakan Tuhan terhadap manusia (semua ciptaanNya).
Dengan pendekatan nalar bayani unsure kemutlakan Tuhan serasa sangat
dominan dalam keseluruhan teks Alquran. Dengan demikian jastifikasi paham jabariah
tidak dapat dipungkiri didukung penuh oleh nalar bayani bangsa Arab di masa tersebut.
Pengaruh lingkungan seperti yang diungkapkan oleh Harun Nasution bukanlah sebab
utama mengapa paham jabariah itu muncul kepermukaan. Boleh jadi hal tersebut sama
sekali tidak mempengaruhi lahirnya paham ini.
Nalar bayani telah membentuk konsepsi paham jabariah secara mendalam.
Pendekatan skipturalis berlaku mutlak dalam memahami kehendak bebas mutlak
Tuhan. Hingga tema-tema teologis mengenai kebebasan, kehendak, perbuatan, takdir,
nilai baik dan buruk hingga pengenalan manusia dengan Tuhan hanya bisa dipahami
berdasarkan keterangan teks. Pendekatan lain tidak memungkinkan dikarenakan realitas
ditundukkan di bawah otoritas teks. Dengan demikian paham ini mengabaikan hukum
kausalitas dan dimensi lain di luar teks. Jabariah beranggapan bahwa segala hal yang
terjadi tidak memerlukan hukum sebab akibat tetapi langsung terjadi begitu saja
bedasarkan kewenangan Tuhan.
Gambaran demikian semakin mengukuhkan kemapanan paham jabariah yang
wacananya diproduksi berdasarkan pendekatan bayani. Hal ini menutupi kemungkinan
pendekatan lain, selain cara bayani tersebut. Sehingga dengan mudah klaim-klaim
teologi yang muncul dari paham ini mengikuti alur teks dalam Alquran maupun hadist
secara tekstual. Pendekatan sejarah dalam formulasi tersebut kelihatannya diabaikan.
Hingga kini paham jabariah sebagai salah satu paham teologi dalam Islam
mengalami stagnasi wacana dan hampir dipastikan tidak ada pengetahuan baru atas
konsepsi teologinya. Yang ada adalah wacana teologi yang diproduksi terus-menerus
secara berulang-ulang.
B. Konsepsi paham qadariah
Qadariah berbendapat beda dengan jabariyah. Menurut paham ini manusia
mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya hingga paham ini dikatakan
menganut paham free will atau free act. Paham ini dimulai dari seorang yang bernama
Ma’bad Aljuhaini (w. 699 M) dan Abu Warwan Ghailan ibn Warwan al-Dimasqi al-
Qutbi (w. 730 M) sekitar tahun 80 H. Menurut Ghailan manusia mempunyai kekuatan
untuk menentukan perbuatannya sendiri, termasuk kemampuan menentukan yang baik
dan yang buruk hingga setiap pebuatan manusia baik jahat maupun baik dilaksanakan
dengan dayanya sendiri. Dari pandangan ini dapat dilihat betapa konsepsi free wil
dalam paham jabariah menjadi dasar keyakinan teologi kaum qadariah.
Jika dilihat dari penyataan paham qadariah tentang kebebasan manusia dalam
melakukan perbuatannya sendiri, nampaknya cara berpikir demikian tidak otentik
dengan tradisi awal Islam. Pemahaman teologi dengan paradigma demikian telah
melibatkan metodologi filsafat di mana alur logika teologis yang terbentuk telah
melibatkan pandangan-pandangan akal (selain teks).
Dalam Islam hubungan antara teks (wahyu) dan akal seringkali mengalami
ketegangan, seperti yang terjadi dalam kontroversi muktazilah (paham qadariah) dan
asyariah (paham jabariyah), walaupun dalam sejarahnya, akal dan wahyu tidak pernah
benar-benar diposisikan pada domain yang saling berbenturan atau saling meniadakan.
Safi mengemukakan, bahwa akal adalah sebuah body of knowledge yang
meliputi; klaim-klaim transendental tempat kebenaran dipostulasikan. Akal dalam
pengertian ini memiliki struktur yang serupa dengan wahyu. Karena itu hubungan akal
dan wahyu dapat ditinjau dalam dua cara. Pertama, akal bekerja dari dalam, sebagai
sarana organik ketika berbicara soal wahyu. Kedua, akal bekerja dari luar kedalam
wahyu. Implikasi keduanya berbeda secara metodologis. Yang pertama, menurut safi,
mencerminkan cara pandang Islam, dan yang kedua mencerminkan cara pandang
sekuler. Pilihan seperti ini kelihatannya berlaku secara dikotomis, menempatkan teks
sebagai otoritas akal, ataukah menjadikan akal sebagai terpisah secara mekanis sesuai
dengan alurnya yang otonom. Dengan demikian akal dalam konteks ini bukanlah
sebagai sumber tetapi lebih sebagai cara atau metode, mengungkapkan pengetahuan.
Dalam paham teologi qadariah, peranan akal sangat urgen dalam menentukan klaim-
klaim teologisnya, sebab akal ditempatkan sebagai penjelasan teks-teks (wahyu).
Terkait dengan kontroversi antara paham jabariah dan paham qadariah akibat
perbedaan dalam mengintrodisir teks dan kemampuan akal dalam melahirkan klaim
teologis, nampaknya epistemologi bayani yang dominan pada paham jabariyah
dianggap belum cukup memberikan makna “benar” terhadap teks sebagai sumber
pengetahuan teologis. Karena itu dibutuhkan cara lain untuk meraih kebenaran-
kebenaran yang belum sampai di raih oleh metode bayani dalam menentukan makna
teks.
Teks sebagai sumber pengetahuan teologi jabariyah dalam hal ini, nampaknya
belum cukup sebagai sumber, dan epistemologi bayani, sebagai metode dalam
mengungkapkan kebenaran teks nampaknya masih terkendala pada persoalan, sejarah
dan kultur kecendikiawan umat Islam. Sebagaimana Nasr Hamid mengkritik: bahwa
mereka (para ulama), membuat sejumlah ukuran dan persyaratan. Hal ini karena
mereka mempunyai konsepsi bahwa pengetahuan tentang makna Alquran, hanya dapat
diketahui melalui naql dan periwayatan, dalam hal ini tidak ada tempat untuk berijtihad
(akal). oleh karena itu, mereka membatasi wilayah ijtihad dengan cara bagaimana
menghadapi dan mentarjih riwayat-riwayat yang ada.”
Menurutnya, bahwa pendekatan pola bayani model ini mempunyai banyak
kelemahan jika dihadapkan dengan kondisi yang berkembang. Masalah periwayatan
baru muncul pada masa tabi’in, yang juga berarti pemaham pada masa itu menyangkut
kondisi internal dan eksternal teks (riwayat) yang diterima melalui perantara sahabat
tidak semakna dengan teks pertama.
Faktor ini bisa jadi karena zaman dan juga kelalaian sebagai manusia biasa.
Faktor lain adalah pada masa tabi’in itu adalah era pertarungan politis yang
mempengaruhi kondisi intelektual para tabi’in. Sehingga menetapkan para rawi yang
terpercaya tidak terlepas dari bias ideologis masing-masing periwayat terhadap
periwayat yang lain. Tawaran dari sanggahan ini, adalah, hak ijtihad dengan mentarjih
riwayat-riwayat yang beda secara lebih signifikan, yaitu dengan bersandar pada
sejumlah unsur dan tanda-tanda eksternal dan internal yang membentuk teks.
Tanda-tanda ini bisa dicapai dari luar teks maupun dari dalam teks, apakah
dalam strukturnya yang unik atau dalam kaitannya dengan bagian-bagian lain dari teks
secara umum (realitas). Mayoritas ulama dulu, adalah bahwa mereka tidak
mendapatkan cara lain selain bergantung pada relaitas internal teks. Oleh karena itu
makna, baiknya diungkapkan dari dalam teks dengan tidak menafikan pengetahuan
melalui konsepsi eksternalnya. Analisa ini mengabungkan antara “luar” teks dengan
“dalam” teks yang masing-masing tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, tetapi harus
berjalan dalam gerak bolak-balik secara tepat dan cepat
Gambaran mengenai efektifitas teks sebagai sumber pengetahuan paham teologi
Islam, dapat dilihat dari posisi Alquran sebagai sumber utama (teks), yang nyatanya
tetap menyisakan debat, terutama dari segi cara memproduksi wacana teologis. Karena
pada posisi demikian Alquran, tidaklah berdiri sendiri sebagai teks suci. Nalar manusia
terlibat dalam mengungkapkan makna teks dengan melibatkan sejarah atau tuntutan
realitas disekitarnya. Alquran absolut dalam pengertian dari Allah swt., tetapi profan
dalam pengertian bagaimana Alquran memproduksi wacana teologis.
Nampaknya mayoritas teolog muslim, belum sampai pada “perdebatan” metode
tentang sejauh makna teks sebagai sumber dan tolak ukur pengetahuan dalam
melahirkan klaim-klaim teologis, bila teks dibenturkan dengan realitas (akal).
Posisi paham qadariyah justru lahir dari arena di luar teks, yaitu akal. Sehingga
klaim-klaim tentang kebebasan manusia dalam berkehendak dengan mudah dapat
dimengerti berdasarkan pretensi akal. Pendekatan ini lalu berkembang menjadi cirri
paripatetik yakni sebuah cara berpikir yang konon kabarnya melahirkan babakan
modern di Eropa. Cara berpikir ini dapat dengan mudah dijumpai pada tokoh-tokoh
pemikir Islam abad pertengahan, semisal ibnu Rusdy. Sedangkan cara berpikir
bedasarkan teks dapat dilihat pada pola berpikir Algazali. Ibn Rusdy bepikir ala
qadariyah dan Algazali dapat dianggap mewakili cara perpikir jabarianisme.
Implikasi dari cara berpikir aliran-aliran teologi tesebut antara jabariah dan
qadariah, berlaku dan dapat dilihat pada realitas social dan historis ummat Islam baik
secara individu maupun kelompok. Kedua cara berpikir teologi ini bisa jadi akan
berhubungan dengan etos kerja ummat Islam yang selanjutnya akan berimplikasi pada
kehidupan social ummat Islam secara luas hingga terbentuknya peradaban. Secara pasti
dua pemahaman ini memiliki konsekwensi bukan saja teologis, tetapi lebih dari sekedar
itu, kedua pemahaman ini akan sangat mempengaruhi sejarah tumbuhkembangnya
kehidupan ummat Islam. Hal demikian dapat terjadi bila wacana teologi dalam Islam
dapat menunjang zaman yang terus bergerak.
C. Kejabariahan dan Keqadariahan dalam Dunia Islam Masa Kini
Masalah teologi dalam Islam telah melewati sekian banyak tahapan sejarah
ummat manusia. Dari abad klasik hingga abad posmodernisme sekarang wacana teologi
Islam nyatanya tidak terlalu beranjak jauh dari bentuk lahirnya, baik tema maupun
bentuk metodologinya. Perdebatan transendental spekulatif mengenai sifat Tuhan,
kebebasan manusia, apakah Alquran mahluk atau bukan tetap saja menjadi tema pokok
dalam wacana teologi Islam. Hal ini bisa dipahami karena tema-tema pokok teologi
berdasar pada masalah tersebut. Tetapi masalahnya adalah mengapa wacana teologi
dalam Islam tidak beranjak dari tema-tema tersebut menuju pada tema yang lebih
historis social, yang lebih dekat pada sisi praktis kehidupan manusia sekarang,
misalnya tentang HAM, kemiskinan, demokrasi, kapitalisme, globalisasi ekonomi,
pemanasan global, masalah perempuan dan lain sebagainya.
Idealnya, seharusnya pengetahuan teologi dapat berdaya guna bagi kehidupan
manusia sebab fungsi utama dari keilmuaan teologi adalah mengarahkan manusia pada
kehidupan yang baik dan benar. Dalam merespon tujuan tersebut wacana teologi wajib
mengikuti dinamika zaman, sebab jika tidak demikian, maka teologi dikatakan tidak
fungsional terhadap daya hidup ummat. Dengan demikian wacana teologi harus
berbanding lurus dengan sisi sejarah dan realitas ummat.
Pengembangan wacana teologi dari wacana dasarnya telah dilakukan oleh
beberapa kalangan terbatas, semisal apa yang dilakukan oleh Hasan Hanafi dengan
transfomasi teologi dari wacana transenden menuju wacana revolusi praktis untuk
menggerakkan masyarakat Islam untuk mendapatkan kembali kejayaan sosialnya
seperti yang pernah tecapai pada masa kejayaan Islam sebelumnya. Demikian juga apa
yang serukan oleh Fazlurrahman, seorang pemikir Islam yang terusir dari Pakistan,
kampung halamannya sendiri, menyatakan perlunya rekonstuksi sistematis pada
bangunan keilmuan teologi Islam yang ada sekarang. Upaya-upaya perubahan, baik
metode maupun tema teologi Islam telah diusahakan oleh pemikir-pemikir Islam neo
modernism, sekalipun hanya dalam kalangan terbatas.
Di antara usaha-usaha demikianlah, tema teologi Islam seharusnya menemukan
kembali relevansinya. Jika dinamika tersebut diamati dimanakah posisi paham-paham
teologi Islam di masa kini? Dan bagaimana seharusnya paham-paham tersebut berlaku?
Dan di mana relevansi paham-paham tersebut dalam era masa kini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya dimulia dari tinjauan
epistemologi paham atau aliran dari teologi yang dimaksud. Dalam hal ini penulis telah
menguraikan dengan singkat masalah epistemologi dari paham jabariah maupun
qadariah (yang menjadi tema dalam makalah ini). Dari pembahasan tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa baik jabariah maupun qadariyah mempunyai peristiwa
epistemologi yang berbeda. Epistemologi yang berbeda akan melahirkan cara pandang
dan aksi yang berbeda pula. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan dalam
pembahasan ini adalah pendekatan kronologis di masa pemerintahan khalifah
Alma’mun, di mana pada masa tersebut aliran teologi muktazilah diadopsi sebagai
paham resmi negara dan dapat dilihat beberapa kemajuan yang terkait dengan dimensi
pemahaman teologi liberal tersebut. Pada masa itu perkembangan ilmu pengetahuan
mengalami ekspansi hingga melewati batas-batas normative tradisi Islam sebelumnya.
Meskipun secara politis ada beberapa masalah, dintaranya kasus mihna. Tetapi
pengaruh aliran teologi muktazilah yang berpaham qadariah jelas memiliki implikasi
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa tersebut.
Terlepas dari perbedaan antara paham jabariah dan paham qadariah dalam
memahami kewenangan Tuhan, di mana tema semacam ini dianggap sebagai tema
pokok teologi Islam klasik, tetapi implikasi kedua paham ini akan ditinjau pada sisi
realitas empiric ummat Islam. Tentu saja pendekatan ini telah dianggap cukup
transformatif meskipun tetap saja masi diaggap kurang maksimal, karena realitas maju
mundurnya ummat Islam pada masa kini belum tentu digerakkan oleh pemahaman
apakah mereka berpaham jabariah ataukah berpaham qadariyah. Atinya korelasi paham
teologi dengan gerak sejarah ummat Islam abad post modern sekarang sangat komplek
untuk ditentukan. Hal itu terjadi karena abad ini adalah abad social-ekonomi dan politik
yang penuh dengan siliweran isme-isme.
Ada beberapa contoh yang dapat dilihat mengenai hal tersebut: di kampung
saya hampir dapat dipastikan masyarakatnya menganut paham jabariah ekstrim, tetapi
mereka mempunyai etos kerja yang sangat tinggi. Waktu (jam) kerja masyarakat
tersebut dimulai dari jam 05:30, setelah shalat subuh. Yang petani berangkat ke sawah
dan ladangnya yang pedagang berangkat ke pasar dan mereka masing-masing pulang
ke rumahnya setelah hampir magrib. Jam istirahat hanya di waktu makan dan shalat
saja. Penghasilan mereka rata-rata dibawah standar kehidupan ekonomi modern.
Artinya keterkaitan antara paham jabariah yang dianut masyarakat di kampung saya
memang kelihatan berbanding lurus dengan kondisi keuangan mereka, karena mereka
dianggap fatalism. Tetapi variable ini tidak berlaku mutlak jika diadakan survey lebih
lanjut. Hasilnya adalah, kehidupan ekonomi mereka dapat saja lebih baik jika harga
dari hasil tani mereka dinilai lebih layak oleh pasar. Faktanya tidak demikian, karena
harga terkait dengan banyak variable lain, misalnya regulasi dan kebijakan pemerintah,
mazhab ekonomi, kemampuan kompetisi dan lain-lain.
Realitas ini membuktikan bahwa daya fungsi teologi Islam di masa sekarang,
baik jabariah maupun qadariya dan paham lainnya, tidak maksimal khususnya
dikalangan massa Islam. Hal ini dikarenakan perkembangan wacana teologi Islam
mengalami stagnasi pemikiran. Amin Abdulah melihat masalah tersebut diakibatkan
oleh beberapa factor. Yang petama, adalah hilangnnya daya kritis ummat terhadap
masalah-masalah keagamaan termasuk soal teologi. Kedua, akibat trauma perseteruan
pemikiran al-Gazali dan Ibnu Zina. Ketiga akibat dominasi pemikiran syariah
formalistic. Dan tidak berkembangnya pemikiran filosofis dikalangan ummat Islam
yang menghilangkan daya nalar ummat dalam melahirkan ide-ide segar. Keadaan ini
menjadikan pemikiran teologi ummat Islam stagnan ditempat dan kehilangan tema di
masa kini.
Dalam posisi demikianlah persoalan paham teologi dipandang dan dicermati.
Demikianpun tentang teologi jabariah maupun qadariah, tidak dapat dilepaskan dari
persoalan tersebut. Peranan kedua model teologi ini akan dirasakan jika tema-tema
yang diangkat bersentuhan langsung dengan problem massa Islam modern. Berbagai
masalah social kemanusian yang mengemuka harus ditransformasikan lewat issu-issu
teologi masyarakat. Sebab bagaimanapun potensi menggerakkan massa Islam harus
lahir dari inti kepercayaan agamanya. Dan sebaliknya pula roh ajaran agama ini harus
dapat mengubah dan mengantar ummatnya ke arah yang lebih baik.
Tawaran dari persoalan ini adalah :
• Harus dilakukakan upaya kritis terhadap teologi Islam
• Harus ada rekonstruksi pemahaman teologi Islam
• Harus ada transfomasi teologi dari transcendent spekulatif menuju teologi
fungsional.
• Wacana teologi harus terus berkembang baik tema maupun metodenya
• Ummat Islam harus terus kritis dan membuka wawasan berpikir dan berani
menerima gagasan globalisasi pemikiran dari kelompok manapun (pluralisme)
II. PENUTUP
a. Simpulan
simpulan makalah ini adalah :
1. Konsepsi paham jabariah menempatkan manusia pada posisi menerima segala
kehendaknya sebagai kehendak kemutlakan Tuhan. Hal ini dapat dipahami
berdasarkan cara paham teologi ini memproduksi klaim teologinya.
2. Konsepsi paham qadariyah menempatkan manusia sebagai mahluk bebas dalam
berkehendak. Paham ini menggunakan akal (di luar teks sebagai cara
memperoleh pengetahuan tentang kebebasan itu).
3. peran dua teologi ini dalam dunia Islam masa kini tidak maksimal dikarenakan
pada umumnya wacana teologi Islam tidak bersentuhan langsung dengan
konteks massa muslim dewasa ini.
b. Implikasi
Beberapa implikasi:
• Pada umumnya wacana teologi Islam belum beranjak dari suasana abad
pertengahan. Padahal diperlukan adanya formula teologi masa kinι
υν τ υ κ µενψ ι κ α π ι µασ α λ α η− µα σ α λ α η
ψα ν γ τερυσ βερ γ ε ρ α κ µαϕ υ, µ ι σ α λ ν ψ α ;
τεν τ α ν γ Η ΑΜ, ι σ σ υ γεν δ ε ρ, τεν τ α ν γ
πεµ β α ν γ υ ν α ν , λιν γ κ υ ν γ α ν ηιδ υ π,
κε τ ι µ π α ν γ α ν εκο ν ο µ ι δυν ι α
(κ α π ι τ α λ ι σ µ ε ) , τεν τ α ν γ ιµπλ ι κ α σ ι
κεµα ϕ υ α ν τεην ο λ ο γ ι ινφο ρ µ α σ ι,
τεν τ α ν γ ωα χ α ν α πασ χ α µο δ ε ρ ι σ µ ε ,
πλυ ρ α λ ι σ µ ε , νασ ι ο ν α λ ι σ µ ε δα ν λα ι ν
σεβ α γ α ι ν ψ α .
• Teolog muslim harus berani mengambil sikap melawan pakem atau arus yang
terlanjur mengkristal dalam wacana teologi Islam, lalu mengambil sikap baru
(ijtihad)

You might also like