Professional Documents
Culture Documents
A. Pendahuluan
Dalam melaksanakan puja bhakti kepada Brahman, umat Hindu diberikan kebebasan untuk
dapat mewujudkan bentuk Śraddhā tersebut. Secara umum bentuk Bhakti umat Hindu dapat
dilakukan dengan menggunakan: mantra, yantra, tantra, yajña, dan yoga. Mantra adalah doa-
doa yang harus diucapkan oleh umat kebanyakan, pinandita, pandita sesuai dengan
tingkatannya. Yantra adalah alat atau simbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai
kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian. Tantra adalah kekuatan suci dalam diri yang
dibangkitkan dengan cara-cara yang ditetapkan dalam kitab suci. Yajña yaitu pengabdia yang
ulus ikhlas atas dasar kesadaran untuk dipersembahkan sehingga dapat meningkatkan kesucian.
Dan Yoga artinya mengendalikan gelombang-gelombang pikiran dalam alam pikiran untuk
dapat berhubungan dengan Tuhan, yang dapat dilakukan melalui Astangga Yoga (yama,
niyama, asana, pranayama, prathyahara, dharana, dhyana, dan samadhi) (Bhagavan Shri Sathya
Sai Baba, 1995: 12).
——————————————————————————————————————
————–
B. Mantra
Berkaitan dengan pengucapan Mantra, apakah mantra itu?. Mantra berasal dari suku kata Man
(Manana) dan kata Tra (Trana) yang berarti pembebasan dari ikatan samsara atau dunia
phenomena ini. Dari kombinasi Man dan Tra itulah disebut mantra yang berarti dapat
memanggil datang (Amantrana). Mantra merupakan sebuah kata atau kombinasi beberapa
buah kata yang sangat kuat atau ampuh, yang didengar oleh orang bijak dan yang dapat
membawa seseorang yang mengucapkannya melintasi lautan kelahiran kembali, inilah yang
merupakan arti mantra yang tertingi. Arti mantra yang lebih rendah adalah rumusan gaib untuk
melepaskan berbagai kesulitan atau untuk memenuhi bermacam-macam keinginan duniawi,
tergantung dari motif pengucapan mantra tersebut. Mantra adalah sebuah kekuatan kata yang
dapat dipergunakan untuk mewujudkan keinginan spiritual atau keinginan material, yang
dapat dipergunakan demi kesejahteraan ataupun penghancuran diri seseorang. Mantra seperti
energi atom yaitu suatu tenaga yang bertindak sesuai dengan rasa bhakti seseorang yang
mempergunakannya. Sabda adalah Brahman, karena itu ya menjadi penyebab Brāhmanda
manifestasi chit sakti itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Vishvasara Tantra, yaitu
”Parabrahman itu sebagai sabda Brahman yang substansinya semua adalah mantra, dan
yang berada di dalam wujud jivātma”. Bentuk itu sebagian tidak beraksara (Dhvani), sebagian
lagi beraksara (Varna). Yang tidak beraksara itulah yang memunculkan yang beraksara, dan
itulah aspek yang halus dari Śākti yang menghidupkan jiwa itu (Svami Rama: 1984: 24).
Sedangkan Prapancha Sara mengatakan bahwa: ’ Brāhmanda diresapi oleh sakti, yang terdiri
atas Dhvani, yang juga disebut Nada, Prana, dan sebagainya”. Manifestasi dari Sabda menjadi
wujud kasar (Sthūla) itu tidak bisa terjadi terkecuali Sabda itu ada dalam wujud halus
(Suksma). Dari penjelasan tersebut, dapata dipahami bahwa Mantra merupakan aspek dari
Brahman dan seluruh manfestasi Kulakundalini. Secara filosofis sabda itu adalah guna dari
Akasa atau ruang ethernal. Tetapi sabda itu bukan produksi Akasa. Sabda memanifestasikan
diri di dalam Akasa. Sabda itu adalah Brahman, seperti halnya di antariksa, gelombang bunyi
dihasilkan oleh gerakan-gerakan udara (Vāyu); karena itu di dalam rongga jiwa atau di rongga
tubuh yang menyelubungi jiwa gelombang bunyi dihasilkan sesuai dengan gerakan-gerakan
Praṇa vāyu dan preses menarik napas dan mengeluarkan napas.
Mantra disusun dengan menggunakan akṣara-akṣara tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga
menghasilkan suatu bentuk bunyi, sdangkan huruf-huruf itu sebagai perlambang-perlambang
dari bunyi tersebut. Untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan
dengan cara yang tepat, sesuai dengan svara (ritme) dan varna (bunyi). Huruf-huruf
penyusunannya pada dasarnya ialah mantra sastra, karena itu dikatakan sebagai perwujudan
Śastra dan Tantra yang terdiri atas Mantra adalah Paramātma., Veda sebagai Jivātma,
Dharsana sebagai indriya, Puraṇa sebagai jasad, dan Smṛti sebagai anggota. Karena itu Tantra
merupakan Śākti dan kesadaran, yang terdiri atas mantra. Mantra tidak sama dengan doa-doa
atau kata-kata untuk menasehati diri (Ātmanivedana)
Dalam Nitya Tantra, disebutkan berbagai nama terhadap mantra menurut jumlah suku katanya.
Mantra yang terdiri dari satu suku kata disebut Pinda. Mantra tiga suku kata disebut Kartari,
yang terdiri dari empat suku kata smpai sembilan suku kata disebut Vija Mantra, sepuluh
sampai duapuluh suku kata disebut Mantra, dan yang terdiri lebih dari duapuluh suku kata
disebut Mālā. Tetapi istilah Vija juga diberikan kepada mantra yang bersuku kata tunggal.
C. Jenis-jenis Mantra
Berdasarkan sumbernya mantra ada bermacam-macam jenis yang secara garis besar dapat
dipisahkan menjadi; Vedik mantra, Tantrika mantra, dan Puraṇik mantra. Sedangkan
berdasarkan sifatnya mantra dapat terbagi menjadi; Śāttvika mantra (mantra yang diucapkan
guna untuk pencerahan, sinar, kebijaksanaan, kasih sayang Tuhan tertinggi, cinta kasih dan
perwujudan Tuhan), Rājasika mantra (mantra yang diucapka guna kemakmuran duniawi serta
kesejahteraan anak-cucu), Tāmasika mantra (mantra yang diucapkan guna mendamaikan roh-
roh jahat, untuk menghancurkan atau menyengsarakan orang lain, ataupun perbuatan-
perbuatan kejam lainnya/Vama marga/Ilmu Hitam). Disamping itu mantra juga dapt dibagi
menjadi:
1. Mantra: yang berupa sebuah daya pemikiran yang diberikan dalam bentuk beberapa
suku kata atau kata, guna keperluan meditasi dari seorang guru (Mantra Diksa)
2. Stotra: doa-doa kepada para devata, Stotra ada yang bersifat umum, yaitu; yang
dipergunakan untuk kepentingan umum yang harus datang dari Tuhan sesuai dengan
kehendakNya, misalnya doa-doa yang diucapkan oleh para rohaniawan ketika
memimpin persembahyangan, sedangkan Stotra yang bersifat khusus adalah doa-doa
dari seoarang pribadi kepada Tuhan untuk memenuhi beberapa keinginan khususnya,
misalnya doa memohon anak, dan sebagainya.
3. Kāvaca Mantra: mantra yang dipergunakan untuk benteng atau perlindungan dari
berbagai rintangan.
Dalam kitab Nirukta Vedangga, mantra dapat dibagi menjadi 3 sesuai dengan tingkat
kesukarannya, yaitu:
1. Paroksa Mantra, yaitu mantra yang memiliki tingkat kesukaran yang paling tinggi. Hal
ini disebabkan mantra jenis ini hanya dapat dijangkau arti dan maknanya kalau
diwahyukan oleh Tuhan. Tanpa sabda Tuhan mantra ini tidak mungkin dapat dipahami.
2. Adyatmika Mantra, yaitu mantra yang memiliki tingkat kesukaran yang lebih rendah.
Mantra ini dapat dicapai maknanya melalui proses pensucian diri. Orang yang
rohaninya masih kotor, tidak mungkin dapat memahami arti dan fungsi jenis mantra ini.
3. Pratyāksa Mantra, yaitu mantra yang lebih mudah dipahami. Untuk menjangkau
makna mantra ini dapat hanya mengandalkan ketajaman pikiran dan indriya.
Disamping itu ada juga jenis mantra yang ditulis baik dalam buku, kitab, lontar yang disebut
Varnātmaka Sabda, yang terdiri dari suku kata, kata ataupun kalimat. Sedangkan mantra yang
diucapkan disebut Dhvanyātma Sabda, yang merupakan nada atau perwujudan dari pikiran
melaui suara tertentu, yang dapat berupa suara saja atau kata-kata yang diucapkan ataupun
dilagukan dan setiap macamnya dipergunakan sesuai dengan keperluan, kemampuan serta
motif pelaksana.
1. Vāikari, yaitu mengucapkan mantra dengan mengeluarka suara dan dapat didengar oleh
orang lain, kekuatan mantra yang diucapkan dengan cara ini akan mampu memecah
guna tāmas (kelambanan), ketakutan yang ada pada diri seseorang. Cocok dipakai bagi
para sadhaka pemula dan dapat menghancurkan energi negatif yang ada di sekitar
pengucapnya.
2. Upaṁsu, yaitu mantra yang diucapkan yang hanya didengar oleh orang yang
mengucapkannya saja (berbisik-bisik), kekuatan mantra yang diucapkan dengan teknik
ini dapat memurnikan guna rājas (nafsu). Jika mantra ini diucapkan dengan cara ini
juga dapat memberikan perlindungan (kāvaca) dari berbagai gangguan (lingkungan,
energi negatif, roh jahat, dan sebagainya).
3. Mānasika, yaitu mantra yang diucapkan dalam hati, bermeditasi pada jiwa dari mantra
serta arti dari kata-kata suci tersebut tanpa menggerakkan lidah ataupun bibir. Kekuatan
mantra ini akan dapat menumbuhkan kesadaran illahi pada diri yang mengucapkannya,
sedangkan yang bermeditasi pada irama pernapasan dengan menggunakn mantra
disebut Ajapajapa.
E. Kualitas Mantra
1. Sattvika mantra (Produktif); yaitu dipakai dalam rangka meningkatkan kesadaran illahi,
semata-mata untuk memuliakan kebesaran Brahmandengan segala prabavaNya,
sehingga muncul perasaan welas asih, cinta, dan pengabdian, terbebas dari ego
kepemilikian dan nafsu, dipakai sebagai media untuk menyebrangkan sang jiwa
melewati lautan samsara/penderitaan kelahiran-kematian.
2. Rajasika Mantra (Protektif); yaitu kualitas mantra yang dipakai untuk kelangsungan
hidup secara duniawi, memenuhi keinginan (kama), memperoleh artha, keturunan,
kemuliaan, kemewahan, kesehatan, kewibawaan, kedudukan, dan sebagainya.
3. Tamasika Mantra (Destruktif); kualitas mantra yang dipakai untuk kegiatan
menundukkan lawan, menghancurkan penyakit, mencelakakan orang lain, termasuk
ilmu hitam. (Sudarma, 2003: 164)
Terlepas dari hal tersebut di atas, sebuah mantra akan dapat memberikan manfaat maksimal
(śākti, śiddhi, suci) baik kepada uyang mengucapkannya maupun orang lain dan lingkungan
dalam bentuk vibrasi dipengaruhi oleh beberapa hal prinsip, yaitu:
1. Śraddhā; keyakinan yang mendalam terhadap sebuah mantra yang dipakai media untuk
merealisasikan tujuan tersebut. Tanpa keyakinan, sama halnya ketika sakit lalu pergi ke
dokter dan minta diobati tetapi kita tidak yakin terhadap resep dan anjuran dokter
tersebut, tentu kita tidak akan sembuh.
2. Bhakti; perasaan hormat, rindu, cinta kasih, yang mendalam terhadap mantra tersebut,
memperlakukan mantra itu seperti kita merawat diri sendiri, Dia adalah istri yang
sesungguhnya yang dengan setia menyertai langkah kita. Tanpa bhakti mantra apapun
akan menjadi bumerang buat kita. Kasih dan hormat pada mantra dengan keyakinan
pada hasil yang dijanjikannya jauh lebih penting daripada sekedar pengulang-ulangan
secara mekanis dengan pikiran ngelantur kemana-mana.
3. Sadhāna, cepat atau lambatnya sebuah mantra memberikan manfaat kepada kita adalah
karena Sadhāna (disiplin spiritual), Bagaimana mungkin mantra akan menjadi Śiddhi
apalagi Śākti kalau hanya diucapkan seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali,
sementara kita setiap saat berhubungan dengan dunia maya yang senantiasa
mengkontaminasi badan, emosi, dan jiwa kita. Lukakanlah Sadhāna dengan konsisten
dan berkesinambungan. Tidak perlu tahu banyak mantra tetapi kita tidak paham
terhadap arti, makna yang tersirat didalamnya, cukup satu mantra tetapi kita paham dan
memiliki Sadhāna . saat ini, banyak orang tahu banyak jenis mantra tersebut, hal seperti
itu tak ubahnya seperti tong kosong yang bunyinya nyaring tapi tidak memiliki
kekuatan.
4. Chānda; teknik pengucapan mantra sangat penting keberadaannya, karena jika sebuah
mantra salah memberikan penekanan dan pemenggalan sesuai dengan Chānda atau
guru laghu dan guru bhasanya, tentunya akan memiliki arti dan maksud yang berbeda.
Mengenai irama itu sesuai dengan bakat suara masing-masing sadhaka.
5. Kriya; kegiatan berupa pemujaan, baik luar maupun dalam dengan pengetahuan tentang
arti esoterik dan eksoteriknya, ataupun pemujaan dalam semacam pengorbanan ke-
akuan atau pembakaran segala keinginan. (Sudarma, 1998: 6).
F. Penggunaan Mantra
Menurut waktu penggunaannya mantra dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Nitya Karma Puja, yaitu pengucapan mantra yang dilaksanakan setiap hari secara rutin,
misalnya seperti Puja Tri Saṇdhya, yang dilaksanakan setiap hari. Nitya Karma Puja
ada dua jenis, yaitu:
1. a. Saṇdhyā Vandanā atau Saṇdhyŏpāsanā, yaitu pemujaan yang dilakukan
pada setiap pertemuan waktu, artinya doa dan pemujaan yang dipersembahkan
kepada Tuhan, pada pertemuan waktu (saṇdhi) malam hari dengan pagi hari,
tengah hari dan pertemuan antara sore hari dengan malam. Saṇdhyŏpāsanā
harus dilakukan pada saat Saṇdhya yang tepat, agar mendapat manfaat yang
sebesar-besarnya berupa Brahma Teja (Pencerahan Brahman), karena pada tiap-
tiap Saṇdhya itu terdapat perwujudan kekuatan khusus yang akan lenyap
apabila Saṇdhya tersebut berlalu. Kekuatan-kekuatan khusus tersebut dapat
memotong rantai saṁsara masa lalu dan mengubah seluruh situasi masa lalu
seseorang, serta memberikan kemurnian dan keberhasilan setiap usaha, dan
menjadikannya penuh daya serta ketenangan. Pelaksanannya Saṇdhya mutlak
diperlukan bagi seseorang yang menelusuri jalan kebenaran, karena pelaksanaan
Saṇdhya merupakan kombinasi dari Japa Upāsana, Svadhyāya, Meditasi,
Konsentrasi, Āsana,, Praṇāyāma, dan lain sebagainya. Pelaksanaan
Saṇdhyŏpāsanā bersifat wajib, perlu dipelajari tata tertib pelaksanaannya agar
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya; karena kalau tidak dilaksanakan
akan menimbulkan Pratyavaya Doṣa atau doda karena lalai, dan jelas akan
kehilangan Brahmma Teja atau kecemerlangan spiritual. Referensi bacaan:
Chandogya Upaniṣad II.24, I.24, III.16, I.7; Brahma Upaniṣad; Maitreya
Upaniṣad II.13-14; Jabalŏpaniṣad. 12,13, dan sebagainya.
2. Japa atau Namasmaranaṁ, yaitu pemujaan yang dilakukan untuk
mengagungkan nama-nama suci Tuhan dengan cara menyebut secara berulang-
ulang. Dapat pula dibantu dengan mala/rudraksa/ruas jari tangan atau
menuliskannya di buku secara terus-menerus/berulang-ulang.
2. Naimitika Karma Puja, yaitu pengucapan mantra yang dilakukan secara insidential
pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya: mantra yang diucapkan ketika upacara
abhiseka, peletakan batu pertama, dalam berbagai saṁskāra, Purnama, Tilem, dan
sebagainya. Dalam pelaksanaannya Naimitika Karma Puja ini ada yang berdasarkan
Panca Wara, Sapta Wara, Wuku, Sasih/Bulan, Varsa/tahun, dan berbagai kejadian yang
dianggap penting, seperti Gerhana Matahari, Gerhana Bulan, Wabah, tempat angker,
dan sebagainya.
Persiapan Sarana:
Persiapan rohani:
• Pemusatan pikiran dengan sikap: Padmasana (untuk pria), Bajrasana (unuk wanita),
Padasana (berdiri), Savasana (untuk orang sakit), dsb.
• Menyalakan dupa: Om Ang dupam samarpayami ya namah svaha – Ya Tuhan,
hamba puja Engkau dalam sinar suciMu sebagai Brahma, pengantar bhakti hamba
kepadaMu.
• Menghaturkan dupa: Om Ang dupa dipastra ya namah svaha – Ya Tuhan, hamba
puja Engkau sebagai Brahma, hamba mohon ketajaman sinar sucimu dalam
menyucikan dan menjadi saksi sembah hamba kepadaMu.
• Membersihkan bunga dengan asap dupa: Om puspa danta ya namah svaha – Ya
Tuhan, sucikanlah kembang ini dari segala kotoran.
PALET I
Upatti
Upatti ini dilaksanakan untuk membersihkan diri kita, agar dalam melaksanakan pemujaan
nanti kita bisa memberikan energi yang bagus terhadap tempat dimana kita akan memuja
sehingga bisa memberikan vibrasi yang bagus adapun tahap-tahap yang mesti dilaksanakan
dalam melakukan Upatti antara lain :
Asana
Karasodana
Om Sodha mam svaha
Pranayama
Tarik nafas : Om Ang namah
Penyembahan I
Tangan diatas ubun-ubun dengan sikap Anjali dengan maksud kita memuja Hyang Widhi
dengan tulus sehingga kita bisa mendapatkan keheningan pikiran.
Mensucikan Air I
Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha, dengan maksud untuk memohon
kepada Devi Gangga agar membersihkan air ini dari segala kekotoran.
Om Hrang Hring Sah Parama Siva Gangga Tirtha Amerta ya namah svaha
Mensucikan Air II
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Siva membersihkan air ini dari
segala kekotoran.
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Sadasiva membersihkan air ini
dari segala kekotoran.
Tangan di depan hulu hati dengan sikap deva pratistha, supaya Paramasiva membersihkan air
ini dari segala kekotoran.
Membersihkan badan
Kuta Mantra
Kuta mantra merupakan doa untuk mensucikan tempat dimana kita akan melakukan pemujaan
sehingga tempat tersebut memiliki nilai religius yang tinggi, adapun mantranya adalah :
Om Shriyam bhavantu
Sukham Bhavantu
Padmasana
Mantra atau doa yang dipanjatkan pada tahapan ini bertujuan untuk mensucikan padmasana,
padmasari, pelangkiran serta yang lainnya, doa yang di ucapkan adalah
Om I – Ba – Sa – Ta – A
Om Wa – Si – Ma – Na – Ya
Om Sa – Ba – Ta – A – I
Om Na – Ma – Si – Va – Ya
Deva pratistha merupakan mantra pemujaan yang ditujukan kepada para deva supaya berkenan
hadir dan berstana di tempat yang akan kita puja, adapun mantra yang di ucapkan adalah :
Mantram Genta:
Menyucikan Genta :
• Genta dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan memegang sekar dipakai memercikan
toya anyar pada Genta sebanyak 3 x mantra : Om Ung Visnu ya namah svaha.
• Selanjutnya Genta diukupi asep dengan tangan kanan sambil memutar kekanan
(Pradaksina) sebanyak 3 x mantra : Om Ang Dupa Astra ya namah. Kemudian
Sekar disuntingkan pada ujung tangkai Genta.
Ngastawa Genta
Genta dipegang dengan tangan kiri didepan dada, sedangkan tangan kanan memegang pentil
(sikap Deva pratista) dengan mantra :
PALET II
Ksama Puja:
Phalayasva Sadasiva
Trahimampundharikaksah
Sadasiva Namo’stute
Om Apsudeva Pavitrani
Toyane Parisuddhaya Te
Pancaksaram
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Pavitram Papanasanam
Om A Karasca U Karasca,
Gangga Stava
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Carmanvati Venuka
Pasupati Puja
Doa ini digunakan untuk memberikan energi pada air supaya memiliki kekuatan yang sangat
ampuh untuk menghidupkan air sehingga memiliki kekuatan illahi.
Om Ya namah svaha
Mantra Prayascita
Mantra Pangeresikan
Bungkak Gading
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om I – Ba – Sa – Ta – A
Om Sa – Ba – Ta – A – I
Om A – Ta – Sa – Ba – I
Natab
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Astra mantra
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Shriam bhavantu
Sukham Bhavantu
Memepersembahkan dupa
Dupa di pegang di epan hulu hati dengan sikap tangan deva pratistha
Surya Stava
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Adhityasya Paramjyotih
Sivagraha Samyuktam
Ghanaksaram Sadasiva
Akasa Stava
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Samodhaya Stava
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Samodhaya Sivaya
Om Perthivi ya namah
Basuki ya namah
Astra mantra
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Shriam bhavantu
Sukham Bhavantu
Memepersembahkan dupa
Dupa dipegang dengan kedua tangan di depan hulu hati
Prajapatir yogayusyam
Mantra Panyeneng/Tehenan/Pabuat
Mantra Peras
Om Pertama Sudha,
Dvitya Sudha
Tritya Sudha
Caturti Sudha
Pancami Sudha
Om Puspam Samarpayami
Om Dupam Samarpayami
Om Toyam Samarpayami
Mantra Segehan
Doa Ini dipakai bila sarananya hanya bunga, air dan dupa saja
Om Puspam Samarpayami
Om Dupam Samarpayami
Om Toyam Samarpayami
PALET V PENUTUP
Astra mantra
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Shriyam bhavantu
Sukham Bhavantu
Ngaksara Jagatnatha
Om Ksamasvamam Jagatnatha
Om Ksamasvamam Mahasakti
Yajnanga Nirmalatmakam
PALET VI
Sembahyang
Asana: Om prasada sthiti sarira Siva suci nirmala ya namah svaha – Ya Tuhan,
anugrahkanlah kepada hamba ketenangan dan kesucian dalam batin hamba.
• Menarik napas; Om Ang namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pencipta
dan sumber dari segala kekuatan, anugrahi hamba kekuatan batin
• Menahan napas: Om Ung namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pemelihara
dan sumber kehidupan anugrahi hamba ketenangan batin
• Mengeluarkan napas: Om Mang namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai
pelebur segala yang tidak berguna dalam kehidupan, anugrahi hamba kesempurnaan
batin.
Karasoddhana
Tangan kanan: Om Soddha mam svaha – Ya Tuhan, sucikanlah seluruh badan jasmani hamba
Tangan kiri: Om Ati soddha mam svaha – Ya Tuhan, sucikanlah seluruh badan rohani hamba
Ya Tuhan, yang menguasai ketiga dunia ini, Yang Mahasuci dan sumber dari segala
kehidupan, anugrahi hamba sinar penerangan dengan cahayaMu Yang Mahasuci
Ya tuhan, hamba puja Engkau sebagai Narayana pencipta alam semesta beserta isinya, Engkau
Mahagaib, tak berwujud, dan tak terbatas oleh waktu, dapat mengatasi segala kebingungan,
Engkau Mahasuci, Mahaesa, dan tidak ada duanya, dan dipuja oleh semua mahluk
Isvarah paramesvarah
Purusah parikirtitah
Ya Tuhan, Engkau hamba puja dalam sinar suci dan saktiMu sebagai Siva, Mahadeva, Isvara,
Paramesvara, Brahma, Visnu, dan juga Rudra, karena Hyang Widhi adalah sumber dari segala
yang ada
Om papo’ham papakarmaham
Papatma papasambhavah
Phalayasva sadasiva
Ya Tuhan, ampunilah hamba hyang Widhi, yang memberikan keselamatan semua mahluk,
ampuni hamba dari segala dosa, dan limpahkanlah perlindungan kepada hamba.
Ya Tuhan, ampunilah segala dosa hamba, baik yang berasal dari perbuatan, perkataan, dan
pikiran, maupun dari segala kesalahan hamba
Ya Tuhan, semoga ada kedamaian dalam hati, di dunia, dan semuanya damai untuk selamanya
atas anugrahMu.
Kramaning Sembah
Muspa Muyung: Om Atma tattvatma suddha mam svaha – Ya Tuhan, Engkau adalah
merupakan sumber Atman dari semua ciptaanMu, sucikanlah hambaMu.
Bhaskaraya namo’stute
Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai sumber sinar yang bersinggasana di tempat paling
utama, hamba puja sebagai Siva penguasa semua mahluk, kepada devata yang bersemayam
pada tempat duduk bunga teratai di suatu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba memuja.
Om anugraha manoharam
Ya Tuhan, Engkau yang menarik hati pemberi anugrah, anugrah pemberian devata, pujaan
segala pujaan, hamba memujaMu sebagai pemberi segala anugrah, kemahasiddian pada deva
dan devi berwujud yajna suci. Kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari
rintangan, kegembiraan dan kemajuan rohani dan jasmani.
Ya Tuhan, hamba memuja Engkau devata yang tak terpikirkan, maha tinggi dan maha gaib. Ya
Tuhan, anugrahkanlah kepada hamba kedamaian, damai, di hati, damai di dunia, dan semoga
semuanya damai atas anugrahMu
PALET VII Mohon Tirta Vasuh Pada
Astra mantra
Tangan didepan hulu hati dengan sikap deva pratistha
Om Shriyam bhavantu
Sukham Bhavantu
Pancaka Tirtha
Pemercikan Tirtha
Om Om sarira ya namah
Om Om sadasiva ya namah
Om Om paramasiva ya namah
Ya Tuhan sebagai Siva, Sadasiva, Paramasiva, anugrahilah badan dan rohani ini air suci
Memasang bunga
PALET VIII
Purna Puja
H. Penutup
Demikian beberapa hal berkaitan dengan tata cara memuja yang dapat disampaikan, semoga
dapat dijadikan acuan standar minimal bagi para calon Pinandita. Dan apayang di bahas pada
kesempatan ini tidaklah harga mati, dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat kewenangan
para Pinandita sesuai dengan petunjuk Guru Nabe yang Ngaskara ketika Pawintenan.
Pūrṇa Pūja
Oṁ pūrṇaṁ adah pūrṇaṁ idam
pūrṇasya pūrṇamādhaya
Ya Tuhan mahasempurna, hamba yang tiada sempurna ini memujaMu, semoga itu menjadi
sempurna, yang ini menjadi sempurna, karena kesempurnaan hanya dapat muncul dari
sempurna. Semoga yang tidak sempurna menjadi sempurna, semoga yang ada hanyalah
kesempurnaan atas karuniaMu.
Beberapa sloka tentang para Brahmana (Pinandita) kaitannnya dengan Kelahiran &
Kematian:
Seorang Brahmana, yang sehari-harinya melaksanakan 6 kewajiban agama (sat karma) dan
makan sisa dari persembahan homanya setelah memuaskan para dewa dan para tamu, tak
pernah menderita nasib yang buruk dalam kehidupan (Parasaradharmasastra I.38)
Melaksanakan sandhya, penyucian, japa dan homa, mempelajari veda, pemujaan illahi,
melaksanakan upacara kematian dan kegiatan memmuaskan para tamu, merupakan 6
kewajiban agama sehari-hari yang diperintahkan kepada seorang brahmana.
(Parasaradharmasastra I.39)
Atah sudhim pravaksyami janane marane tata
Sekarang Aku akan menjelaskan tentang periode Atau masa ketidaksucian seseorang yang
berhubungan dengan kelahiran dan kematian (dari anggota keluarganya)
Masa kotor yang disebabkan oleh sebuah kelahiran atau kematian dalam keluarganya, bagi
kaum brahmana selama 3 hari, bagi ksatriya 12 hari, bagi vaisya 15 hari dan bagi sudra 30 hari,
seperti yang ditetapkan oleh Yang Suci Parasara. (Parasaradhamasastra III.1-2)
Para Brahmana menadi bersih melalui pemujaan dewata dan badannya dapat disentuh selama
masa kotor yang disebabkan suatu kelahiran dalam keluarganya. (parasaradharmasastra III.3)
Seorang Brahmana hanya dipengaruhi oleh hubungan pertalian mengenai kotor kelahiran atau
kematian. Bila tidak ada hubungan maka kekotoran juga tidak ada. (Parasaradharmasastra
III.26)
Seorang pengikut diksa, seorang Brahmana yang telah pantas diterangi api suci atau badannya
telah disucikan dengan pengucapan mantra Veda, seorang raja dan yang diharapkan menjadi
raja tak terpengaruh atau tak ternodai oleh kekotoran kelahiran (parasaradharmasastra III.30