You are on page 1of 9

A.

Inersia uterus hipotonik (Hypotonic Uterine Inertia)


Definisi
Kontraksi uterus kurang dari normal, lemah dan dalam durasi yang pendek

Etiologi
Hingga saat ini masih belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa factor yang
dapat mempengaruhi
a. Faktor umum
1. Primigravida terutama pada usia tua
2. Anemia dan asthenia
3. Perasaan tegang dan emosional
4. Pengaruh hormonal karena kekurangan prostaglandin atau oksitosin
5. Ketidaktepatan penggunaan analgetik
b. Faktor lokal
1. Overdistensi uterus
2. Perkembangan anomali uterus misal hipoplasia
3. Mioma uterus
4. Malpresentasi, malposisi, dan disproporsi cephalopelvik
5. Kandung kemih dan rektum penuh

Tipe
1. Inersia Primer : Kontraksi uterus lemah sejak awal
2. Inersia Sekunder : Inersia berkembang setelah terdapat kontraksi uterus yang
sebelumnya baik

Gambaran klinis
1. Waktu persalinan memanjang
2. Kontraksi uterus kurang dari normal, lemah atau dalam jangka waktu pendek
3. Dilatasi serviks lambat
4. Membran biasanya masih utuh
5. Lebih rentan terdapatnya placenta yang tertinggal dan perdarahan paska
persalinan karena intarsia persisten
6. Tokografi : Gelombang kontraksi kurang dari normal dengan amplitude
pendek

Penatalaksanaan
a. Pemeriksaan umum :
1. Pemeriksaan untuk menentukan disproporsi, malresentasi atau
malposisi dan tetalaksana sesuai dengan kasus
2. Penatalaksaan kala 1 yang baik
3. Pemberian antiobiotik pada proses persalinan yang memanjang
terutama pada kasus dengan membrane plasenta telah pecah
b. Amniotomi
1. Bila cervik telah berdilatasi > 3 cm
2. Bila presentasi bagian terbawah janin telah berada pada bagian bawah
uterus
3. Ruptur membrane buatan (artificial) yang dapat menyebabkan
augmentasi kontraksi uterus. Hal ini terjadi karena pelepasan prostaglandin,
dan terdapatnya reflex stimulasi kontraksi uterus ketika bagian presentasi
bayi semakin mendekati bagian bawah uterus.
c. Oksitosin
5 unit oksitosin (syntocinon) dalam 500 cc glukosa 5% diberikan IV. Tetesan
infuse mulai dari 10 tetes/menit, dan kemudian meningkat secara bertahap
sehingga mendapatkan kontraksi uterus rata – rata 3x dalam 10 menit.

d. Metode persalinan
1. Persalinan per vaginam : Dengan menggunakan forceps, vakum atau
ekstraksi. Hal ini bergantung kepada bagian presentasi bayi, cerviks telah
pembukaan lengkap.
2. Operasi cesar sesario diindikasi pada : (1) Kegagalan denga metode
tersebut, (2) Kontraindikasi terhadap infuse oksitosin, missal pada kasus
disproporsi, (3) Distres fetal sebelum terjadi dilatasi cervical.

B. Inersia uterus hipertonus (Uncoordinated Uterine Action)


Tipe
a. Colicky uterus : Terjadi kontraksi uterus dari bagian uterus yang berbeda
dan tidak terdapat koordinasi yang baik
b. Segmen uterus bagian bawah hiperaktif : Sehingga dominasi bagian atas
uterus menjadi hilang.

Manifestasi Klinis
a. Persalinan menjadi memanjang
b. Kontaksi uterus tidak teratur dan lebih nyeri. Nyeri dirasakan sebelum dan
selama kontraksi
c. Tekanan istirahat intrauterine tinggi
d. Dilatasi cerviks lama
e. Ketuban pecah dini
f. Distress fetal dan maternal

Penatalaksaan
a. Pemeriksaan umum : Sama seperti inersia hipouteri
b. Pemberian analgesic dan antispasmodic, missal pethidine
c. Analgesia epidural memiliki keuntungan yang baik
d. Operasi cesar diindikasikan pada”
1. Kegagalan metode sebelumnya
2. Disproporsi
3. Distal fetus sebelum mengalami pembukaan sepertu

2.2.4. Faktor-faktor yang berpengaruh pada disfungsi uterus


a. Analgesia epidural
b. Perlu diperhatikan bahwa analgesia epidural dapat menyebabkan perlambatan
proses persalinan (Sharma and Leveno, 2000). Seperti yang tertera pada table
berikut, analgesia dapat memperlambat persalinan kala 1 dan kala 2

c. Korioamnionitis
Karena pada banyak kasus terdapat hubungan antara pemanjangan waktu
persalinan dengan infeksi intrapartum, beberapa klinisi menyimpulkan bahwa
infeksi dapat menyebankan aktivitas uterus yang tidak normal. Satin dkk (1992)
mempelajari efek korioamnionitis terhadap 266 stimulasi persalinan dengan
oksitosin. Korioamnionitis yang terdeteksi terlambat pada persalinan merupakan
marker untuk operasi sexio, namun korioamnitis yang ditemukan dini pada masa
persalinan tidak diasosiasikan dengan hal tersebut. Empat puluh persen wanita
yang menderita korioamnionitis setelah mendapatkan oksitosin untuk distosia
persalinan pada akhirnya membutuhkan sexio. Namun beberapa ahli berpendapat
bahwa infeksi uterus merupakan konsekuensi dari persalinan yang lama, bukan
penyebab distosia.

d. Posisi ibu sewaktu persalinan


Berjalan-jalan sewaktu persalinan kala 1 dapat memperpendek waktu persalinan,
menurunkan jumlah oksitosin yang dibutuhkan nantinya, menurunkan kebutuhan
analgesia, dan menurunkan frekuensi episiotomi (Flynn dkk, 1978). Menurut
Miller (1983), uterus akan berkontraksi lebih sering dengan intensitas yang lebih
kurang dengan posisi supide dibandingkan dengan posisi miring. Kebalikannya,
akan terjadi bila posisi ibu duduk atau berdiri. Namun Bloom dkk (1998)
membuktikan bahwa ambulansi (berjalan-jalan) tidak mempercepat maupun
memperlambat persalinan pada wanita nullipara dan wanita multipara. The
American College of Obstetricians and Gynecologist (2003) telah menyimpulkan
bahwa ambulasi tidak berbahawa dan mobilitas dapat membuat si ibu lebih
nyaman.

Pada kala 2 didapatkan banyak pendapat. Johnson dkk (1991) menemukan


bahwa penggunaan alat bantuan persalinan seperti kursi persalinan, pada
beberapa RCT tidak memiliki hasil yang dapat disimpulkan dan cenderung
subjektif. Ada juga yang melaporkan keuntungan dari menghindari posisi
litotomi, sehingga akan didapatkan pelvic outlet yang lebih luas. Russel (1969)
melaporkan daerah pelvic outlet akan lebih luas dengan posisi jongkok
dibandingkan dengan supine. Sementara gupta dkk (1991) melaporkan bawa
tidak ada perbedaan dimensi pelvic outlet dengan posisi supine atau jongkok.
Crowley (1991) melaporkan tidak ada keuntungan yang lebih dari penggunaan
kursi persalinan, dan hal ini malah meningkatkan kejadian perdarahan. De Jong
dkk (1997) menemukan bahwa tidak ada peningkatan frekuensi perdarahan pada
posisi duduk. Posisi berdiri/tegak juga tidak mempengaruhi hasil obstetri pada
persalinan kala 2, keuntungan yang didapatkan pada hal ini adalah nyeri ibu yang
lebih kurang dan kepuasan ibu terhadap pengalaman persalinan. Babayer dkk
(1998) melaporkan bahwa duduk atau jongkok yang terlalu lama pada persalinan
kala 2 dapat menyebabkan neuropati perineal.

e. Imersi air
Pendekatan ini ditujukan untuk mendapatkan relaksasi persalinan sehingga akan
menyebabkan persalinan yang lebih efisien dan lancar (Odent, 1983). Schorn dkk
(1993) melaporkan bahwa tekhnik ini tidak mempengaruhi dilatasi serviks, waktu
persalinan, rute kelahiranm atau penggunaan analgesia. Robertson dkk (1998)
melaporkan bahwa tekhnik imersi air tidak diasosiasikan dengan korioamnionitis
ataupun endometriosis. Kwee dkk (2000) melaporkan tekhnik imersi air dapat
menurunkan tekanan darah ibu dan tidak mempengaruhi tekanan darah fetus.
2.2.5. Diagnosis
Abnormalitas kontraksi uterus dibedakan berdasarkan fase menjadi:
1. Active Phase Disorder
Gangguan ini dibedakan lagi menjadi dua, yaitu protraction disorder dan arrest
disorder. Pada protraction disorder perkembangan yang terjadi lebih lambat
dari seharusnya (dilatasi serviks kurang dari 1 cm/ jam dalam pemantauan
minimal 4 jam), sedangkan pada arrest disorder , tidak ada perkembangan sama
sekali. Kedua diagnosis ini hanya dapat ditegakkan dalam keadaan wanita
berada dalam fase aktif dengan dilatasi minimal 4 cm. Delapan puluh persen
wanita dengan active phase disorder memiliki kontraksi uterus yang tidak
adekuat (kurang dari 180 montevideo unit).

2. Second Stage Disorder


Pada pembukaan lengkap, pada umumnya perempuan tidak dapat menahan rasa
ingin mendorong pada saat uterus berkonstraksi. Otot – otot abdomen akan
dikontraksikan berkali – kali untuk meningkatkan tekanan intra abdomen
berkali – kali untuk meningkatkan tekanan intra abdomen sepanjang kontraksi.
Kontraksi uterus dan otot abdomen mendorong janin keluar. Analgesia atau
sedasi berat dapat menurunkan reflex / rasa ingin berkonstraksi dan juga
menurunkan kemampuan perempuan untuk melakukan konstraksi otot
abdomen.

Tabel 1 Pola persalinan Abnormal, Kriteria Diagnostik, dan


Penatalaksanaan
Kriteria Diagnostik
Pola Nullipara Multipara Penatalaksanaa Penatalaksanaan
Persalinan n khusus
Prolongation > 20 jam > 14 jam Tirah baring Oksitosin atau
Disorder section cesarean
(Pemanjanga pada keadaan
n Fase Laten) emergensi
Protraction
Disorders
1. Protracted < 1.2 cm / < 1.5 cm Manajemen CPD
active – jam ekspentansi
phase
dilatation
2. Protracted < 1.0 cm / < 2 cm / jam Manajemen CPD
descent jam ekspentansi
Arrest
Disorders
1. Prolonged > 3 jam > 1 jam Oksitosin tanpa Istirahat bila
deceleration CPD kelelahan
2. Secondary
arrest of
dilatatiom
3. Arrest if > 2jam > 2 jam Sectio Cesarea Section Cesarea
descent dngan CPD
Sumber : Cunningham F. Gary. Dystocia: abnormal labor. Wiliams Obstetrics. Edisi
22. USA:Mc Graw-Hill.2005

2.2.6. Penatalaksanaan
Diperlukan pengawasan dalam persalinan lama oleh sebab apa pun. Penatalaksanaan
mencakup pengukuran tekanan darah tiap 4 jam, pencatatan denyut jantung janin
tiap setengah jam dalam kala I dan lebih sering dalam kala II, pemberian infus
larutan glukosa 5% dan larutan NaCl isotonik secara intravena bergantian,
pemberian antinyeri berupa petidin 50 mg. Selain pemeriksaan di atas juga perlu
dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah persalinan sudah benar dimulai
atau tidak dan apakah terdapat disproporsi sefalopelvik atau tidak.
Penatalaksanaan terhadap hypotonic uterine contraction meliputi:
1. Pemeriksaan keadaan serviks, presentasi dan posisi janin, turunnya
kepala janin dalam panggul dan keadaan panggul
2. Memperbaiki keadaan umum ibu
3. Pengosongan kandung kencing serta rektum
4. Pemberian oksitosin, 5 satuan IU dalam laturan glukosa 5% diberikan
infus intravena dengan kecepatan 12 tetes per menit. Pemberian infus oksitosin
memerlukan pengawasan ketat. Infus dihentikan bila kontraksi uterus
berlangsung lebih dari 60 detik atau kalau denyut jantung janin melambat atau
menjadi lebih cepat. Oksitosin jangan diberikan pada grande multipara dan
pernah mengalami seksio sesarea karena dapat menyebabkan terjadinya ruptur
uteri.
LANDASAN TEORI
INERSIA UTERI

A. Pengertian

Distosia kelainan tenaga/his adalah his tidak normal dalam kekuatan / sifatnya
menyebabkan rintangan pada jalan lahir, dan tidak dapat diatasi sehingga menyebabkan
persalinan macet (Prof. Dr. Sarwono Prawirohardjo, 1993).

Menurut Prof. dr. Ida Bagus Gde Manuaba (1998) dalam persalinan diperlukan his
normal yang mempunyai sifat :

1. Kontraksi otot rahim mulai dari salah satu tanduk rahim.


2. Fundal dominan, menjalar ke seluruh otot rahim
3. Kekuatannya seperti memeras isi rahim
4. Otot rahim yang telah berkontraksi tidak kembali ke panjang semula sehingga terjadi
retraksi dan pembentukan segmen bawah rahim.

Jenis-jenis kelainan his menurut Prof. dr. Sarwono Prawirohardjo (1993) :

1. His Hipotonik

His hipotonik disebut juga inersia uteri yaitu his yang tidak normal, fundus berkontraksi
lebih kuat dan lebih dulu daripada bagian lain. Kelainan terletak pada kontraksinya yang
singkat dan jarang. Selama ketuban utuh umumnya tidak berbahaya bagi ibu dan janin.
Hisnya bersifat lemah, pendek, dan jarang dari his normal.
Inersia uteri dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Inersia uteri primer

Bila sejak awal kekuatannya sudah lemah dan persalinan berlangsung lama dan terjadi
pada kala I fase laten.

b. Inersia uteri sekunder

Timbul setelah berlangsung his kuat untuk waktu yang lama dan terjadi pada kala I fase
aktif. His pernah cukup kuat tetapi kemudian melemah. Dapat ditegakkan dengan
melakukan evaluasi pada pembukaan. Pada bagian terendah terdapat kaput, dan mungkin
ketuban telah pecah. Dewasa ini persalinan tidak dibiarkan berlangsung sedemikian lama
sehingga dapat menimbulkan kelelahan otot uterus, maka inersia uteri sekunder ini jarang
ditemukan. Kecuali pada wanita y

You might also like