You are on page 1of 19

Abdul Aziz

C01207020/ASA

Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama

A. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama


1) Asas Bebas Merdeka
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara hukumRepublik Indonesia.
Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang
digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan
atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah
merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini
menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini
mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman
yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara
lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau
rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali
dalam hal yang diizinkan undang-undang.”
2) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia
adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-
undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila.
3) Asas Ketuhanan
Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu
berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga
pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan
kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
4) Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun
asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang
tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU
Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu,
pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan
berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang
dihadapi para pihak tersebut.
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah
difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada
formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan.
Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-
belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.
Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan
hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang
diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk
kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya
digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila
segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak
ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil
putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka
untuk umum.
Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara
logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain
di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab
tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan
bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
5) Asas Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di
luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal
sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga
setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud akan dipidana.
6) Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak
membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2),
pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama.Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut
hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang,
sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan
derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama
tidak terabaikan.Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak
perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan
hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka
menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar
atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan,
pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan
eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak
boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut
kehendak dan kemauan hukum.

B. Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama


1) Asas Personalitas Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan
peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya
beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU
nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun
1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia
ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi
kewenangan peradilan agama.
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang
asas personalitas ke-islaman adalah :
• Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama
Islam.
• Perkara perdata yang disengketakan mengenai
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
• Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum
islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan
hukum Islam.
Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai
ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama
adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan
dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan
perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan,
perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan
agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi
(murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat
menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada
saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap
penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar
hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan
berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa.
Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat
terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-
Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa
mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika
seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah
melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan
dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain.
Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman
berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua
syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua
pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum
yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan
hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan
hukum Islam.
2) Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal
82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU
No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo.
Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.Islam menyuruh untuk menyelesaikan
setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena
itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn
fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu
putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa
perdamaian.
3) Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7
Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006
Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun
2004.
Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah
terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain
atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita
acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara
keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding
tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama
yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan
dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai
gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah
dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).
4) Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah
sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan
yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative
maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang
fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada
setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :
a. Persamaan hak dan derajat dalam proses
pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the
law”.
b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau
“equal protection on the law”
c. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah
hukum atau “equal justice under the law”.
5) Asas “Aktif” memberi bantuan
Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah
pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum
acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum
acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan
Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU
No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
6) Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan
banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
7) Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak
yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
8) Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat
hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-
undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat
dilakukan peninjauan kembali.
9) Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan
dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Cara Membuat Surat Gugatan


- Setiap orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan
terhadap pihak yang dianggap merugikan lewat pengadilan.
- Gugatan dapat diajukan secara lisan (ps 118 ayat 1 HIR 142 ayat 1)
atau tertulis (ps 120 HIR 144 ayat 1 Rbg) dan bila perlu dapat minta
bantuan Ketua Pengadilan Negeri
- Gugatan itu harus diajukan oleh yang berkepentingan
- Tuntutan hak di dalam gugatan harus merupakan tuntutan hak yang
ada kepentingan hukumnya, yang dapat dikabulkan apabila
kabenarannya dapat dibuktikan dalam sidang pemeriksaan
- Mengenai persyaratan tentang isi daripada gugatan tidak ada
ketentuannya, tetapi kita dapat melihat dalam Rv Psl 8 No.3 yang
mengharuskan adanya pokok gugatan yang meliputi :
1) Identitas dari pada para pihak
2) Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang
merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan. Dalil-
dalil ini lebih dikenal dengan istilah fundamentum petendi
3) Tuntutan atau petitum ini harus jelas dan tegas. HIR dan Rbg
sendiri hanya mengatur mengenai cara mengajukan gugatan

- Identitas Para Pihak


Yang dimaksud dengan identitas adalah cirri-ciri daripada
penggugat dan tergugat ialah nama, pekerjaan, tempat tinggal.

- Fundamentum Petendi
Fundamentum petendi adalah dalil-dalil posita konkret tentang
adanya hubungan yang merupakan dasar serta ulasan daripada
tuntutan

- Petitum atau Tuntutan


a. Petitum atau Tuntutan adalah apa yang dimintakan atau
diharapkan penggugat agar diputuskan oleh hakim. Jadi tuntutan
itu akan terjawab didalam amar atau diktum putusan. Oleh
karenanya petitum harus dirumuskan secara jelas dan tegas
b. Tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat
barakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Demikian pula
gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan
satu sama lain disebut abscuur libel ( guagatan yang tidak jelas
dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak oleh pihak
tergugat sehungga menyebabkan ditolaknya gugatan) berakibat
tidak diterimanya gugatan tersebut.
c. Sebuah tuntutan dapat dibagi 3 (tiga) ialah :
• Tuntutan primer atau tuntutan pokok yang langsung
berhubungan dengan pokok perkara.
• Tuntutan tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih
ada hubungannya dengan pokok perkara.
• Tuntutan subsidiair atau pengganti.
- Meskipun tidak selalu tapi seringkali di samping tuntutan pokok
masih diajukan tuntutan tamabahan yang merupakan pelengkap
daripada tuntutan pokok.
- Biasanya sebagai tututan tambahan berwujud :
 Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya
perkara.
 Tuntutan “uivoerbaar bij voorraad” yaitu tuntutan agar
putusan dapat dilaksanakan lebih dulu meskipun ada
perlawanan, banding atau kasasi. Didalam praktik
permohonan uivoerbaar bij voorraad sering dikabulkan.
Namun demikian Mahkamah Agung mengintruksikan
agar hakim jangan secara mudah memberikan putusan
uivoerbaar bij voorraad.
 Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar
bunga (moratoir) apabila tuntutan yang demikian oleh
penggugat berupa sejumlah uang tertentu.
 Tuntutan agar tergugat dihukum untuk mambayar uang
paksa (dwangsom), apabila hukuman itu tidak berupa
pembayaran sejumlah uang selama ia tidak memenuhi
isi putusan
 Dalam hal gugat cerai sering disertai juga dengan
tuntutan nafka bagi istri atau pembagian harta.
- Mengenai tuntutan subsidiair selalu diajukan sebagai pengganti
apabila hakim berpendapat lain. Biasanya tuntutan subsidiair itu
berbunyi “ agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar”
atau “ mohon putusan yang seadil-adilnya” (aequo et bono)
- Jadi tujuan daripada tuntutan subsidiair adalah agar apabila
tuntutan primer ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya
gugatan yang didasarkan atas kebebesan hakim serta keadilan.
- Didalam berpekara di Pengadilan kita mengenal gugatan biasa/
pada umumnya dan gugatan yang bersifat referte.
- Sebuah gugatan dapat dicabut selama putusan pengadilan belum
dijatuhkan dengan catatan :
- Apabila gugatan belum sampai dijawab oleh tergugat, maka
penggugat dapat langsung mengajukan pencabutan gugatan.
- Apabila pihak tergugat sudah memberikan jawaban maka
pencabutan gugatan dapat dilaksanakan apabila ada persetujuan
dari tergugat.
Prosedur Pendaftaran Perkara Perdata
Untuk Gugatan/ Permohonan
1. Pihak berperkara datang ke Pengadilan Negeri dengan membawa
surat gugatan atau permohonan.
2. Pihak berperkara menghadap petugas Meja Pertama dan
menyerahkan surat gugatan atau permohonan, 4 (empat)
rangkap. Untuk surat gugatan ditambah sejumlah Tergugat.
3. Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang
dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan dan
menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam
Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya
perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk
menyelesaikan perkara tersebut, didasarkan pada pasal 182 ayat
(1) HIR.
Catatan :
1. Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo
(cuma-cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan
melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa
setempat yang dilegalisasi oleh Camat.
2. Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp.
0,00 dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM),
didasarkan pasal 237 – 245 HIR.
3. Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau
berperkara secara prodeo. Perkara secara prodeo ini ditulis
dalam surat gugatan atau permohonan bersama-sama (menjadi
satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau
permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk
berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.
4. Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau
permohonan kepada pihak berperkara disertai dengan Surat
Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).
5. Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR)
surat gugatan atau permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM).
6. Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) kepada pihak berperkara sebagai dasar penyetoran
panjar biaya perkara ke bank.
7. Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip
penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank
tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM),
seperti nomor urut, dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian
pihak berperkara menyerahkan slip bank yang telah diisi dan
menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam slip bank
tersebut.
8. Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah
divalidasi dari petugas layanan bank, pihak berperkara
menunjukkan slip bank tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa
Untuk Membayar (SKUM) kepada pemegang kas.
9. Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan
kembali kepada pihak berperkara. Pemegang kas kemudian
memberi tanda lunas dalam Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) dan menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli
dan tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)
serta surat gugatan atau permohonan yang bersangkutan.
10. Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas Meja Kedua
surat gugatan atau permohonan sebanyak jumlah tergugat
ditambah 2 (dua) rangkap serta tindasan pertama Surat Kuasa
Untuk Membayar (SKUM).
11. Petugas Meja Kedua mendaftar/mencatat surat gugatan atau
permohonan dalam register bersangkutan serta memberi nomor
register pada surat gugatan atau permohonan tersebut yang
diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang
kas.
12. Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap
surat gugatan atau permohonan yang telah diberi nomor register
kepada pihak berperkara.
13. Menerima Pangilan sidang secara patut dan Resmi. (patut
yang dimaksudkan adalah tidak boleh kurang dari tiga hari,
Resmi yang dimaksudkan adalah surat gugatan langsun
diserahkan kepada pihak yang berperkara).

Jalannya Persidangan Dalam Perkara Perdata Di Indonesia

A. Susunan Persidangan Terdiri Dari :


1. Hakim Tunggal atau Hakim Majelis terdiri dari satu ketua dan dua
anggota, yang dilengkapi oleh penitera sebagai pencatat jalannya
sidang.
2. Pihak penggugat dan tergugat duduk berhadapan dengan hakim
dan posisi tergugat disebelah kanan dan pengggugat sebelah kiri
hakim.
3. Apabila persidangan berjalan lancer maka jumlah persidangan lebih
kurang 8 kali yang terdiri dari sidang pertama sampai dengan
sidang putusan hakim.
B. Sidang Pertama
Setelah hakim ketua membuka sidang dengan menyatakan “sidang
dibuka untuk umum” dengan mengetuk palu, hakim memulai dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada penggugat dan tergugat.
a. Identitas penggugat
b. Identitas tergugat
c. Apa sudah mengerti maksud didatangkannya para pihak, dimuka
sidang pengadilan.
d. Hakim menghimbau agar dilakukan perdamaian.
Dalam hal ini meskipun para pihak menjawab bahwa tidak mungkin damai
karena usaha penyelesaian perdamaian sudah dilakukan berkali-kali
hakim agar dicoba lagi.
Jadi pada sidang pertama ini sifatnya merupakan cecking identitas para
pihak dan apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil
untuk menghadiri sidang.
Sebagai bukti identitasnya, para pihak menunjukan KTP masing-masing.
Apabila yang datang kuasa penggugat dan tergugat, maka hakim
mempersilakan para pihak untuk meneliti surat kuasa khusus pihak
lawan. Apabila tidak ditemukan kekurangan atau cacat hukum maka
sidang akan dilanjutkan.

Setelah para pihak dianggap sudah mengerti maka hakim menghimbau


agar kedua belah pihak mangadakan perdamaian, kemudian sidang
tangguhkan.

C. Sidang Kedua (Jawaban tergugat)


1. Apabila para pihak dapat berdamai maka ada dua kemungkinan.
a. Gugatan dicabut
b. Mereka mengadakan perdamaian diluar atau di depan sidang
2. Apabila perdamaian dilakukan diluar sidang, maka hakim tidak ikut
campur. Kedua belah pihak berdamai sendiri. Ciri dari perdamaian
diluar pengadilan ialah :
a. Dilakukan para pihak sendiri tanpa ikut campurnya hakim
b. Apabila salah satu pihak ingkar janji, permasalahannya dapat
diajukan lagi kepada Pengadilan Negeri.
3. Apabila perdamaian dilakukan dimuka hakim, maka cirri-cirinya :
a. Kekuasaan perdamaian sama dengan putusan pengadilan.
b. Apabila salah satu pihak ingkar janji, perkara tak dapat
diajukan kembali.
4. Apabila tak tercapai suatu perdamaian, maka sidang dilanjutkan
dengan penyerahan jawaban dari pihak tergugat. Jawaban ini dibuat
rangkap tiga. Lembaran pertama untuk penggugat, lembaran ke
dua untuk hakim, dan ketiga untuk arsip tergugat sendiri.

D. Sidang Ketiga (Replik)


Pada sidang ini penggugat menyerahkan replik, satu untuk hakim, satu
untuk tergugat dan satu untuk disimpan penggugat sendiri. Replik adalah
tanggapan penggugat terhadap jawaban tergugat.

E. Sidang Keempat (Duplik)


Dalam sidang ini, tergugat menyerahkan duplik yaitu tanggapan tergugat
terhadap replik penggugat.

F. Sidang Kelima (Pembuktian Dari Penggugat)


Sidang kelima ini dapat disebut sidang pembuktian oleh penggugat. Disini
penggugat mengajukan bukti-bukti yang memperkuat dalil-dalil
penggugat sendiri dan yang melemahkan dalil-dalil tegugat. Bukti-bukti
yang dimaksud terdiri dari surat-surat dan saksi-saksi.

Bukti-bukti surat (foto copy) harus di nazegelen lebih dahulu dan pada
waktu sidang dicocokan dengan aslinya oleh hakim maupun pihak
tergugat. Hakim mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dilanjutkan
oleh tergugat sedangkan pihak penggugat memberi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Terhadap saksi-saksi hakim mempersilakan penggugat mengajukan


pertanyaan lebih dahulu, kemudian hakim sendiri juga mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dalam rangka mendapatkan keyakinan.

Dalam sidang perdata justru dalam pembuktian ini ada Tanya jawab dan
perdebatan-perdebatan di bawah pimpinan hakim. Apabila pembuktian ini
belum selesai maka dilanjutkan pada sidang berikut. Sidang pembuktian
ini dapat cukup sehari, tetapi biasanya bisa dua tiga kali atau lebih
tergantung kapada kalancaran pembuktian.

Perlu dicatat disini bahwa ditanyakan serta memberi keteranga saksi


harus disumpah lebih dahulu dan tidak boleh masuk dala ruang sidang
bila belum dipanggil.
G. Sidang Keenam (Pembuktian Dari Tergugat)
Kalau sidang kelima merupakan sidang pembuktian penggugat, maka
sidang keenam ini adalah sidang pembuktian dari pihak tergugat.
Jalannya sidang sama dengan sidang kelima dengan catatan bahwa yang
mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi adalah tergugat sedangkan
tanyajawabnya kebalikan daripada sidang kelima.

H. Sidang ketujuh
Sidang ketujuh adalah sidang penyerahan kesimpulan. Disini kedua belah
pihak membuat kesimpulan dari hasil-hasil sidang tersebut. Isi pokok
kesimpulan sudah barang tentu yang menguntungkan para pihak sendiri.

I. Sidang kedelapan
Sidang kedelapan dinamakan sidang putusan hakim. Didalam sidang ini
hakim membaca putusan yang seharusnya dihadiri oleh para pihak.
Setelah selesai mambaca putusan maka hakim mengetukkan pali tiga kali
dan para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan banding apabila
tidak puas dengan putusan hakim. Pernyataan banding ini harus
dilakukan dalam jangka waktu 14 hari terhitung mulai sehari sehabis
dijauhkan putusan
Putusan Verstek

 adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak


pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang
penggugat hadir dan mohon putusan
 Verstek artinya tergugat tidak hadir
 Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau
sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan
jawaban tergugat, sepanjang tergugat/para tergugat semuanya belum
hadir dalam sidang padahal telah dipanggil dengan resmi dan patut
 Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat :
- Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam
sidang hari itu
- Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan
tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak
hadirannya itu karena suatu halangan yang sah
- Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai
kewenangan
- Penggugat hadir dalam sidang
- Penggugat mohon keputusan

 dalam hal tergugat lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka
dapat pula diputus verstek.
 Putusan verstek hanya bernilai secara formil surat gugatan dan
belummenilai secara materiil kebenaran dalil-dalil tergugat
 Apabila gugatan itu beralasam dan tidak melawan hak maka
putusan verstek berupa mengabulkan gugatan penggugat, sedang
mengenai dalil-dalil gugat, oleh karena dibantah maka harus dianggap
benar dan tidak perlu dibuktikan kecuali dalam perkara perceraian
 Apabila gugatan itu tidak beralasan dan atau melawan hak maka
putusan verstek dapat berupa tidak menerima gugatan penggugat
dengan verstek
 Terhadap putusan verstek ini maka tergugat dapat melakukan
perlawanan (verzet)
 Tergugat tidak boleh mengajukan banding sebelum ia
menggunakan hak verzetnya lebih dahulu, kecuali jika penggugat
yang banding
 Terhadap putusan verstek maka penggugat dapat mengajukan
banding
 Apabila penggugat mengajukan banding, maka tergugat tidak boleh
mengajukan verzet, melainkan ia berhak pula mengajukan banding
 Khusus dalam perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan
dulu kebenaran dalil-dalil tergugat dengan alat bukti yang cukup
sebelum menjatuhkan putusan verstek
 Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi
mentah dan pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya
 Perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat)
 Apabila perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim
berdasarkan hasil pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka
hakim akan membatalkan putusan verstek dan menolak gugatan
penggugat
 Tetapi bila perlawanan itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam
putusan akhir akan menguatkan verstek
 Terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding
 Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula
dimintakan banding, dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang
telah mempero;eh kekuatan hukum tetap

Jika Panitra Memanggil Pihak Berperkara maka bisa terjadi tiga


kemungkinan:
• Penggugat dan tergugat tidak hadir maka gugatan penggugat
dianggap gugur.
• Penggugat tidak hadir tetapi tergugat hadir maka gugatan
penggugat dianggap gugur.
• Penggugat hadir akan tetapi tergugat tidak hadir maka akan
dijatuhkan putuskan putusan Verstek.
• Putusan Verstek tidak bisa dibanding akan tetapi bisa di Verzet

Prosedur dan Proses Penyelesaian Perkara Banding

PROSEDUR :
Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding :
• Permohonan banding harus disampaikan secara tertulis atau lisan
kepada pengadilan agama/mahkamah syar'iyah dalam tenggang
waktu :
• 14 (empat belas) hari, terhitung mulai hari berikutnya dari hari
pengucapan putusan, pengumuman/pemberitahuan putusan
kepada yang berkepentingan;
• 30 (tiga puluh) hari bagi Pemohon yang tidak bertempat di kediaman
di wilayah hukum pengadilan agama/mahkamah syar'iyah yang
memutus perkara tingkat pertama (Pasal 7 UU No 20 Tahun
l947).
• Membayar biaya perkara banding (Pasal 7 UU No 20 Tahun 1947,
Pasal 89 UU No 7 Tahun 1989).
• Panitera memberitahukan adanya permohonan banding (Pasal 7 UU
No 20 Tahun 1947).
• Pemohon banding dapat mengajukan memori banding dan Termohon
banding dapat mengajukan kontra memori banding (Pasal 11 ayat
(3) UU No 20 Tahun 1947)
• Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah permohonan
diberitahukan kepada pihak lawan, Panitera memberi kesempatan
kepada kedua belah pihak untuk melihat surat-surat berkas
perkara di kantor pengadilan agama/mahkamah syar'iyah (Pasal 11
ayat(1) UU No 20 Tahun 1944).
• Berkas perkara banding dikirim ke pengadilan tinggi
agama,/mahkamah syar'iyah provinsi oleh pengadilan
agama/mahkamah syar'iyah selambat-lambatnya dalam waktu 1
(satu) bulan sejak diterima perkara banding.
• Salinan putusan banding dikirim oleh pengadilan tinggi
agama/mahkamah syar'iyah provinsi ke pengadilan
agama/mahkamah syar'iyah yang memeriksa perkara pada tingkat
pertama untuk disampaikan kepada para pihak.
• Pengadilan agama/hahkamah syar'iyah menyampaikan salinan
putusan kepada para pihak.
• Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka Panitera:
• Untuk perkara cerai talak :
1) Memberitahukan tentang Penetapan Hari Sidang penyaksian
ikrar talak dengan memanggil Pemohon dan Termohon;
2) Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-
lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari.
• Untuk perkara cerai gugat:
Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya
dalam waktu 7 (tujuh) hari.

PROSES PENYELESAIAN PERKARA :


• Berkas perkara banding dicatat dan diberi nomor register.
• Ketua pengadilan tinggi agama/mahkamah syar'iyah provinsi
membuat Penetapan Majelis Hakim yang akan memeriksa berkas.
• Panitera menetapkan panitera pengganti yang akan
membantu majelis.
• Panitera pengganti menyerahkan berkas kepada ketua majelis.
• Panitera pengganti mendistribusikan berkas perkara ke Majelis
Hakim Tinggi.
• Majelis Hakim Tinggi memutus perkara banding.
• Salinan putusan dikirimkan kepada kedua belah pihak melalui
pengadilan tingkat pertama.

You might also like