You are on page 1of 24

PENDAHULUAN

Asma adalah suatu penyakit paru-paru yang ditandai dengan pembengkakkan dan

penyempitan saluran napas akibat dari beberapa faktor yang disebut sebagai faktor pencetus atau

pemicu. Pemicu gejala ini dapat berupa kelelahan pikiran (gangguan emosi), kelelahan jasmani,

perubahan lingkungan (cuaca, kelembaban temperatur, asap (terutama rokok) dan bau yang

merangsang), infeksi saluran napas terutama penyakit influenza tertentu, dan reaksi alergi dari

bahan yang terhirup atau dimakan.

Tingkat kepekaan saluran napas ini diawali dari gejala yang ringan (berupa pilek/bersin

atau batuk yang sering berulang/kambuh sampai dengan gejala yang berat berupa serangan

Asma. Gejala kepekaan biasanya diawali sejak masa kanak. Sekitar 50% gejala akan sembuh

dengan sendirinya, walaupun pada suatu saat gejala ini akan muncul lagi pada tingkat yang lebih

berat. Keadaan ini lebih dikenal sebagai Asma. Sekitar 55-60% penyakit alergi pernapasan

diturunkan dan sisanya diakibatkan karena adanya polusi lingkungan hidup yang kurang atau

masih belum mendapatkan perhatian, karena itu gejala baru muncul setelah dewasa

[1]
ASMA

1. Pemeriksaan

a. Anamnesis

 Riwayat keluarga

 Perkembangan penyakit atau pengobatan.

 Batuk, sesak, rasa berat pada dada, sputum banyak, serangan terutama

pada malam hari dan dini hari.

 Serangan bersifat episodik, umumnya reversible dan respon terhadap

pengobatan.

b. Pemeriksaan Fisik

 Pemeriksaan fisik meliputi seluruh badan, mulai dari kepala sampai ke

kaki.

 Kelainan fisik pada penderita asma tergantung pada obstruksi saluran

napas (beratnya serangan) dan saat pemeriksaan.

 Pada saat serangan, tekanan darah bisa naik, frekuensi pernapasan dan

denyut nadi juga meningkat, mengi (wheezing) sering dapat terdengar

tanpa statoskop, ekpirasi memanjang (lebih dari 4 detik atau 3 kali lebih

panjang dari inspirasi) disertai ronki kering dan mengi.

[2]
 Hiperinflasi paru yang terlihat dengan peningkatan diameter

anteroposterior rongga dada, dimana pada perkusi akan terdengan

hipersonor. Pernapasan cepat dan susah, ditandai dengan pengaktifan otot-

otot bantu pernapasan, sehingga tanpak retraksi suprasternal,

supraklavicula dan sel iga dan pernapasan cuping hidung.

c. Pemeriksaan Penunjang

 Pada pemeriksaan darah tepi, terutama jumlah eosinofil total sering

meningkat pada pasien asma, dan hal ini dapat membantu untuk

membedakan asma dengan bronchitis kronik. Jumlah eosinofil menurun

dengan pemberian kortikosteroid, sehingga dipakai juga untuk patokan

cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pada pasien asma.

Pada pemeriksaan sputum, dimana sputum eosinofil sangat karakteristik

untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronchitis kronik.

Selain untuk melihat adanya eosinofil, Kristal Charcot-Leyden, dan

Spiral Curschmann, pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya

miselium Aspergillus fumigates.

Pemeriksaan analisis gas darah, hanya dilakukan pada asma yang berat.

Pada fase awal serangan terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35

mmHg) kemudian pada fase yang lebih berat PaCO2 justru mendekati

normal sampai normokapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat

terjadinya hiperkapnia (PaCO2 > 45 mmHg), hipoksemia dan asidosis

respiratorik

[3]
 Pemeriksaan Spirometri ; Spirometri merupakan alat yang digunakan

untuk mengukur faal ventilasi paru. Pemeriksaan ini sangat penting baik

dalam diagnostic dan penilaian beratnya asma maupun dalam pengololaan

dan penilaian keberhasilan pengobatan, sama dengan tensimeter dalam

diagnostic dan pengelolaan hipertensi atau glukometer pada diabetes

mellitus.

Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma

adalah dengan melihat respons pengobatan dengan bronkodilator.

Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri khas asma

dapat dinilai dengan meningkatnya FEV1 dan atau FVC sebanyak 20%

atau lebih sesudah pemberian bronkodilator. Tetapi tidak adanya

peningkatan sebesar 20% tidak berarti bukan asma. Hal ini dapat dijumpai

pada penderita yang sudah normal atau mendekati normal. Respons

mungkin juga tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang berat

oleh karena dosis tunggal aerosol tidak cukup memberikan efek seperti

yang diharapkan mungkin perlu pemberian obat kombinasi (agonis beta 2,

teofilin dan kortikosteroid).

 Foto rontgen; selama episode akut rontgen dada dapat menunjukkan

hiperinflasi dan pendataran diafragma. Hasil pemeriksaan rontgen paru

dapat memperlihatkan jika ada sumbatan pada saluran pernafasan yang

merupakan indikasi asma.

[4]
 Pemeriksaan fungsi paru, dapat ditemukan menurunnya tidal volume,

kapasitas vital, eosinofil biasanya meningkat dalam darah atau sputum.

Pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur kemampuan bernafas.

 Pemeriksaan alergi; test kulit + yang menyebabkan reaksi melepuh dan

hebat yang dapaat mengidentifikasikan allergen spesifik.

 Pulse oximetry ; ditemukan saturasi O2 perifer menurun ( cyanosis )

 Analisa gas darah; menunjukkan hipoksia selama serangan akut, awalnya

terdapat hipokapnea dan respirasi alkalosis, PCO2 yang rendah

1. Diagnosis

a. Gejala Klinis

 Pernafasan berbunyi (wheezing/mengi/bengek) terutama saat

mengeluarkan nafas (exhalation). Tidak semua penderita asma memiliki

pernafasan yang berbunyi, dan tidak semua orang yang nafasnya terdegar

wheezing adalah penderita asma.

 Adanya sesak nafas sebagai akibat penyempitan saluran bronki

(bronchiale).

 Batuk berkepanjangan di waktu malam hari atau cuaca dingin.

 Adanya keluhan penderita yang merasakan dada sempit.

 Serangan asma yang hebat menyebabkan penderita tidak dapat berbicara

karena kesulitannya dalam mengatur pernafasan.


[5]
 Pada usia anak-anak, gejala awal dapat berupa rasa gatal dirongga dada

atau leher. Selama serangan asma, rasa kecemasan yang berlebihan dari

penderita dapat memperburuk keadaannya. Sebagai reaksi terhadap

kecemasan, penderita juga akan mengeluarkan banyak keringat.

b. Working Diagnosis

 Asma

c. Differensial Diagnosis

 Emfisema

o Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah

penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di

paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan

yang luas.

o Pada awal gejalanya serupa dengan bronkhitis Kronis yaitu napas

terengah-engah disertai dengan suara seperti peluit, dada berbentuk

seperti tong, otot leher tampak menonjol, penderita sampai

membungkuk, bibir tampak kebiruan, berat badan menurun akibat

nafsu makan menurun dan batuk menahun.

 Cystic fibrosis

o penyakit kegagalan fungsi badan yang diwarisi. Ini disebabkan

percantuman gen yang tidak normal. Serangan sistik fibrosis

[6]
melibatkan kegagalan sistem penghadaman dan bahagian paru-

paru. Penyakit ini merupakan penyakit genetik yang biasa dihadapi

di kalangan orang berkulit putih (Kaukasia).

 Bronkiektasis

o Bronkiektasis bukan merupakan penyakit tunggal, dapat terjadi

melalui berbagai cara dan merupakan akibat dari beberapa keadaan

yang mengenai dinding bronkial, baik secara langsung maupun

tidak, yang mengganggu sistem pertahanannya. Keadaan ini

mungkin menyebar luas, atau mungkin muncul di satu atau dua

tempat.

o Secara khusus, bronkiektasis menyebabkan pembesaran pada

bronkus yang berukuran sedang, tetapi bronkus berukuran kecil

yang berada dibawahnya sering membentuk jaringan parut dan

menyempit. Kadang-kadang bronkiektasis terjadi pada bronkus

yang lebih besar, seperti yang terjadi pada aspergilosis

bronkopulmoner alergika (suatu keadaan yang disebabkan oleh

adanya respon imunologis terhadap jamur Aspergillus)

o Gejalanya bisa berupa: - batuk menahun dengan banyak dahak

yang berbau busuk - batuk darah - batuk semakin memburuk jika

penderita berbaring miring - sesak napas yang semakin memburuk

jika penderita melakukan aktivitas - penurunan berat badan - lelah

- clubbing fingers (jari-jari tangan menyerupai tabuh genderang) -


[7]
wheezing (bunyi napas mengi/bengek) - warna kulit kebiruan -

pucat - bau mulut

 Bronkhitis kronis

o Penyakit dengan gangguan batuk kronik dengan dahak yang

banyak terjadi hampir tiap hari minimal tiga bulan dalam setahun

selama dua tahun berturut-turut. Produksi dahak yang berlebihan

ini tidak disebabkan oleh penyakit tuberkulosis atau bronkiektasis.

Penyakit bronkitis kronik sering terdapat bersama-sama emfisema

dan dikenal dengan nama bronkitis emfisema.

o Batuk produktif yang susah sembuh dan dispnea. Demam dan

rinore dapat terjadi jika ada infeksi bakteri atau proses radang.

2. Etiologi

a. Faktor penjamu, faktor pada pasien

 Aspek genetic

 Kemungkinan alergi

 Saluran napas yang memang mudah terangsang

 Jenis kelamin

 Ras/etnik

b. Faktor lingkungan

[8]
 Bahan-bahan di dalam ruangan

o Tungau debu rumah

o Binatang, kecoa

 Bahan-bahan di luar ruangan

o Tepung sari bunga

o Jamur

 Makanan-makanan tertentu, Bahan pengawet, penyedap,

pewarna makanan

 Obat-obatan tertentu

 Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray )

 Ekspresi emosi yang berlebihan

 Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

 Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

 Infeksi saluran napas

 Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika

melakukan aktivitas fisik tertentu

 Perubahan cuaca

[9]
3. Epidemiologi

a. Asma adalah penyakit yang dapat terjadi pada siapa saja dan dapat timbul segala

usia.

b. Umumnya asma lebih sering terjadi pada anak-anak usia dibawah lima tahun dan

orang dewasa pada usia sekitar tigapuluh tahunan.

c. Para ahli asma mempercayai bahwa asma merupakan penyakit keturunan dan

sebagian besar orang yang menderita asma karena allergi terhadap sumber allergi

tertentu.

4. Patogenesis

a. Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas dimana banyak sel dan

mediator-mediator yang berperan, yang ditandai oleh peningkatan kepekaan

trakea dan saluran napas terhadap berbagai rangsangan dengan menimbulkan

penyempitan saluran napas menyeluruh dengan derajat yang berubah secara

spontan atau dengan pengobatan.

b. Peningkatan kepekaan disebut sebagai hiperreaktivitas bronkus, merupakan

kelainan dasar pada asma. Dulu, asma dianggap suatu manifestasi alergi semata-

mata, ternyata rangsangan yang tidak spesifikpun dapat menimbulkan serangan

asma, di samping itu orang yang mempunyai riwayat alergi tidak selalu

berkembang menjadi penderita asma.

[10]
c. Obstruksi saluran napas yang terjadi secara patologis ditandai dengan spasme otot

polos, hipersekresi dan peradangan saluran napas. Proses ini terjadi karena

lepasnya mediator seperti histamin, prostaglandin dan slow reacting substance of

anaphylaxis (SRS—A). Mediator-mediator ini dapat bekerja langsung pada otot

polos bronkus atau secara tidak langsung melalui sistem para simpatis

(kolinergik).

d. Pada waktu serangan asma saluran napas akan menyempit akibat spasme otot

bronkus, mukosa sembab, infiltrasi sel-sel radang dan sekresi mukus yang

meningkat. Karena obstruksi ini tahanan jalan napas akan meningkat,

menyebabkan terjadinya perlambatan aliran udara ekspirasi. Dengan berlanjutnya

serangan volume residu akan meningkat; karena volume rongga dada meningkat

untuk mempertahankan udara ventilasi dan tingkat yang optimal, terjadi

hiperinflasi. Ini disebabkan karena terjadi penyempitan saluran napas.

e. Penyempitan saluran napas yang terjadi pada penyakit asma merupakan suatu hal

yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang

banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di

bawah membran basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast.

f. Selain sel mast sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag

alveolar. eosinofil, sel epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit.

Inhalasi alergen akan mengaktitkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,

nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal

menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan

[11]
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan

memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi

yang terjadi.

g. Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan

serangan asma, melalui sel efektur sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan

limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti

lekotriens, tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma.

Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas

bronkus.

h. Reaksi asma ada dua macam yaitu reaksi asma awal (early asthma reaction =

EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction = LAR). Pada reaksi asma

awal, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10–15 menit setelah rangsangan

dan menghilang secara spontan. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons

terhadap mediator-mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung

pada otot polos bronkus atau melalui refleks vagal. Keadaan ini mudah diatasi

dengan beta-2 agonis.

i. Pada reaksi asma lambat, reaksi terjadi setelah 3–4 jam rangsangan oleh alergen

dan bertahan selama 16–24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu.

Fase ini disertai dengan reaktivasi sel mast dan aktivasi netrofil sehingga timbul

inflamasi akut berupa edema mukosa, hipersekresi lendir, infla-masi netrofil,

rusaknya tight junction epitel bronkus dan spasme bronkus. Pada fase ini peran

[12]
spasme bronkus kecil, akibatnya reaksi ini sukar diatasi dengan pemberian beta-2

agonis.

j. Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut

menjadi reaksi inflamasi subakut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi

di bronkus dan sekitarnya, berupa:-

 Infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah

besar ke dinding dan lumen bronkus.

 Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan

 Edema mukosa dan eksudasi plasma

 Hipersekresi lendir yang kental dari kelenjar submukosa yang mengalami

hipertrofi.

k. Pada beberapa keadaan reaksi asma dapat juga terjadi tanpa melibatkan sel mast

misalnya pada waktu hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.

Pada keadaan ini reaksi asma terjadi melalui reteks saraf. Rangsang ujung saraf

eferen vagal (c.fiber) yang ada di mukosa menyebabkan lepasnya neuropeptid

sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).

Neuropeptid inilah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema

bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi.

l. Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas penyakit asma,besarnya

hipereaktivitas bronkus ini dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini

merupakan parameter objektif untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus


[13]
yang ada pada seseorang penderita. Berbagai cara digunakan untuk mengukur

hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi

udara dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.

m. Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui secara pasti,

namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah

inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan7. Sel inflamasi yang berperan

terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, magrofag, neutrofil dan sel epitel.

Sedangkan factor lingkungan dan berbagai factor lain berperan sebagai penyebab

atau pencetus suatu inflamasi saluran napas pada penderita asma.

n. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran napas, akan ditangkap oleh

makrofag yang bekerja sebagai APC (antigen presenting cell). Setelah diproses,

antigen (setiap benda asing yang masuk kedalam tubuh disebut antigen) akan

dipresentasikan ke sel Th0 (T helper nol) oleh APC dengan melepaskan IL-1

(interleukin-1). Selanjutnya sel Th0 yang sudah aktif, akan berdiffernsiasi

menjadi Th2. Th2 meberikan sinyal pada sel limfosit B untuk berproliferasi dan

differensiasi menjadi sel plasma, membentuk IgE (immunoglobulin E) yang

spesifik untuk allergen tersebut dengan bantuan IL-2 B Cell Growth Factor dan B

Cell Differensiatial Factor.

o. IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit di jaringan terutama bronkus.

Pemaparan oleh allergen yang sama untuk kesekian kalinya akan diikat oleh IgE

yang spesifik pada permukaan sel mastosit yang akan menyebabkan degranulasi.

Degranulasi ini aka melepaskan sejumlah mediator seperti histamine, ECF-A,

[14]
NCF, tryptase dan kinin (perform mediator). Penglepasan mediator histamine

akan menyebabkan obstruksi bronkus yang terjadi segera setelah pemaparan

(sekitar 10 menit) dan berakhir sekitar 1 jam sesudahnya. Reaksi ini disebut fase

awal (early phase).

p. Membran mastosit yang kecil mengandung fasfolipid akan diubah mejadi asam

arakidonat oleh fosfolipase. Selanjutnya asam arachidonat dengan bantuan

siklooksigenase dan lipooksigenase akan membentuk prostaglandin, leukotrin dan

tromboksan. Mediator ini desebut newly generated mediator yang menyebabkan

obstruksi bronkus yang terjadi setelah 4-24 jam kemudian. Reaksi inilah yang

disebut reaksi fase lambat (late phase)

q. Asma diklasifikasikan kepada :-

 Asma alergi  disebabkan oleh allergen misalnya serbuk sari, binatang,

amarah, makanan, dan jamur.

 Asma idiopatik atau non alergik  misalnya common cold, infeksi traktus

respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan yang dapat

menimbulkan serangan, agen farmakologis : aspirin dan agens anti

inflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis beta-adrenergik, dan

agens sulfit.

 Asma gabungan  merupakan bentuk asma yang paling umum. Asma ini

mempunyai karakterisstik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik

atau nonalergik.

[15]
r. Tingkatan pada penyakit asma :-

 Tingkat I  Secara klinis normal, tanpa kelainan pemeriksaan fisik

maupun fungsi paru. Pafa penderita ini timbul gejala bila ada faktor

pencetus.

 Tingkat II  Penderita tanpa keluhan dan kelainan pada pemeriksaan

fisisk tetapi fungsi paru menunjukan obstruksi jalan nafas dan sering

ditemukan setelah sembuh dari asma.

 Tingkat III  Pada penderita tanpa keluhan tetapi pada pemeriksaan fisik

dan fungsi paru menunjukan kelainan yaitu obstruksi jalan nafas, biasanya

pasien yang telah sembuh dari asma tetapi tidak berobat secara teratur.

 Tingkat IV  Penderita sesak nafas, butuh, nafas berbunyi pada

pemeriksaan fisik dan obstruksi jalan nafas.

 Tingkat V  Penderita pada stadium status asmatikus dimana keadaan

asma berat dan perlu pertolongan medis darurat.

5. Komplikasi

a. Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan asma adalah pneumotoraks,

atelektasis, gagal nafas, bronkhitis dan fraktur iga.

6. Penatalaksanaan

a. Medikamentosa

 Agonis Reseptor Beta-2 Adrenergik


[16]
o Merupakan obat terbaik untuk mengurangi serangan penyakit asma

yang terjadi secara tiba-tiba dan untuk mencegah serangan yang

mungkin dipicu oleh olahraga.

o Bronkodilator ini merangsang pelebaran saluran udara oleh

reseptor beta-adrenergik.

o Bronkodilator yang bekerja pada semua reseptor beta-2 adrenergik

(misalnya adrenalin), menyebabkan efek samping berupa denyut

jantung yang cepat, gelisah, sakit kepala dan tremor (gemetar) otot.

o Bronkodilator yang hanya bekerja pada reseptor beta-2 adrenergik

(yang terutama ditemukan di dalam sel-sel di paru-paru), hanya

memiliki sedikit efek samping terhadap organ lainnya.

o Bronkodilator ini (misalnya albuterol), menyebabkan lebih sedikit

efek samping dibandingkan dengan bronkodilator yang bekerja

pada semua reseptor beta-2 adrenergik.

o Sebagian besar bronkodilator bekerja dalam beberapa menit, tetapi

efeknya hanya berlangsung selama 4-6 jam. Bronkodilator yang

lebih baru memiliki efek yang lebih panjang, tetapi karena mula

kerjanya lebih lambat, maka obat ini lebih banyak digunakan untuk

mencegah serangan.

o Bronkodilator tersedia dalam bentuk tablet, suntikan atau inhaler

(obat yang dihirup) dan sangat efektif. Penghirupan bronkodilator

[17]
akan mengendapkan obat langsung di dalam saluran udara,

sehingga mula kerjanya cepat, tetapi tidak dapat menjangkau

saluran udara yang mengalami penyumbatan berat.

o Bronkodilator per-oral (ditelan) dan suntikan dapat menjangkau

daerah tersebut, tetapi memiliki efek samping dan mula kerjanya

cenderung lebih lambat. Jenis bronkodilator lainnya adalah

teofilin. Teofilin biasanya diberikan per-oral (ditelan); tersedia

dalam berbagai bentuk, mulai dari tablet dan sirup short-acting

sampai kapsul dan tablet long-acting.

o Pada serangan penyakit asma yang berat, bisa diberikan secara

intravena (melalui pembuluh darah). Jumlah teofilin di dalam

darah bisa diukur di laboratorium dan harus dipantau secara ketat,

karena jumlah yang terlalu sedikit tidak akan memberikan efek,

sedangkan jumlah yang terlalu banyak bisa menyebabkan irama

jantung abnormal atau kejang.

o Pada saat pertama kali mengkonsumsi teofilin, penderita bisa

merasakan sedikit mual atau gelisah. Kedua efek samping tersebut,

biasanya hilang saat tubuh dapat menyesuaikan diri dengan obat.

Pada dosis yang lebih besar, penderita bisa merasakan denyut

jantung yang cepat atau palpitasi (jantung berdebar). Juga bisa

terjadi insomnia (sulit tidur), agitasi (kecemasan, ketakuatan),

muntah, dan kejang.

[18]
 Kortikosteroid

o Kortikosteroid menghalangi respon peradangan dan sangat efektif

dalam mengurangi gejala penyakit asma. Jika digunakan dalam

jangka panjang, secara bertahap kortikosteroid akan menyebabkan

berkurangnya kecenderungan terjadinya serangan penyakit asma

dengan mengurangi kepekaan saluran udara terhadap sejumlah

rangsangan.

o Tetapi penggunaan tablet atau suntikan kortikosteroid jangka

panjang bisa menyebabkan:

a. gangguan proses penyembuhan luka

b. terhambatnya pertumbuhan anak-anak

c. hilangnya kalsium dari tulang

d. perdarahan lambung

e. katarak premature

f. peningkatan kadar gula darah

g. penambahan berat badan

h. kelaparan

i. kelainan mental

[19]
o Tablet atau suntikan kortikosteroid bisa digunakan selama 1-2

minggu untuk mengurangi serangan penyakit asma yang berat.

Kortikosteroid per-oral (ditelan) diberikan untuk jangka panjang

hanya jika pengobatan lainnya tidak dapat mengendalikan gejala

penyakit asma.

o Untuk penggunaan jangka panjang biasanya diberikan inhaler

kortikosteroid karena dengan inhaler, obat yang sampai di paru-

paru 50 kali lebih banyak dibandingkan obat yang sampai ke

bagian tubuh lainnya.

 Cromolin dan Nedocromil

o Kedua obat tersebut diduga menghalangi pelepasan bahan

peradangan dari sel mast dan menyebabkan berkurangnya

kemungkinan pengkerutan saluran udara. Obat ini digunakan untuk

mencegah terjadinya serangan, bukan untuk mengobati serangan.

o Obat ini terutama efektif untuk anak-anak dan untuk penyakit asma

karena olah raga. Obat ini sangat aman, tetapi relatif mahal dan

harus diminum secara teratur meskipun penderita bebas gejala.

 Obat Antikolinergik

o Obat ini bekerja dengan menghalangi kontraksi otot polos dan

pembentukan lendir yang berlebihan di dalam bronkus oleh

asetilkolin.

[20]
o Lebih jauh lagi, obat ini akan menyebabkan pelebaran saluran

udara pada penderita yang sebelumnya telah mengkonsumsi agonis

reseptor beta2-adrenergik.

o Contoh obat ini yaitu atropin dan ipratropium bromida.

 Pengubah Leukotrien

o Merupakan obat terbaru untuk membantu mengendalikan penyakit

asma. Obat ini mencegah aksi atau pembentukan leukotrien (bahan

kimia yang dibuat oleh tubuh yang menyebabkan terjadinya gejala-

gejala penyakit asma).

o Contohnya montelucas, zafirlucas dan zileuton.

b. Non-medikamentosa

 Pendidikan pada penderita mengenai penyaktinya sehingga dia dapat

menyikapi penyakitnya dengan baik

 Menghindari penyebab/pencetus serangan (allergen), dan kontrol

lingkungan hidupnya

 Latihan relaksasi, kontrol terhadap emosi dan lakukan senam atau olah

raga yang bermanfaat memperkuat otot pernapasan, misalnya berenang

 Fisioterapi, sehingga lendir mudah keluar.

7. Pencegahan

[21]
a. Langkah tepat yang dapat dilakukan untuk menghindari serangan asma adalah

menjauhi faktor-faktor penyebab yang memicu timbulnya serangan asma itu

sendiri. Setiap penderita umumnya memiliki ciri khas tersendiri terhadap hal-hal

yang menjadi pemicu serangan asmanya.

b. Setelah terjadinya serangan asma, apabila penderita sudah merasa dapat bernafas

lega akan tetapi disarankan untuk meneruskan pengobatannya sesuai obat yang

diberi.

8. Prognosis

a. Prognosis baik ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien

yang penyakitnya ringan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang

menderita asma 7 sampai 10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26

sampai 78 persen, dengan nilai rata-rata 46 persen; akan tetapi persentase anak

yang menderita penyakit yang berat relative rendah (6 sampai 19 persen).

b. bila tidak diobati, pasien asma tidak terus menerus berubah dari penyakit yang

ringan menjadi penyakit yang berat seiring berjalannya waktu. Beberapa

penelitian mengatakan bahwa remisi spontan terjadi pada kira-kira 20 persen

pasien yang menderita penyakit ini di usia dewasa dan 40 persen atau lebih

diharapkan membaik dengan jumlah dan beratnya serangan yang jauh berkurang

sewaktu pasien menjadi tua.

[22]
PENUTUP

Asma bronkial merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang melibatkan

berbagai sel imun serta menyebabkan peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai

rangsangan.Konsep patogenesis asma bronkial adalah hipereaktivitas saluran napas yang didasari

oleh inflamasi alergik kronis. Inflamasi ini akan menyebabkan penyempitan saluran napas yang

bersifat reversibel, dan mebaik secara spontan ataupun dengan pengobatan. Gejala yang timbul

dapat berupa batuk berulang, mengi, dada terasa tertekan, dan sesak napas, terutama pada malam

dan/atau pagi hari. Dengan demikian pengobatan asma tidak hanya ditujukan untuk mengatasi

bronkokonstriksi tapi juga untuk mengatasi inflamasi alergi dan hiperreaktifitas bronkus.

Asma dapat timbul pada berbagai usia, terjadi pada laki-laki dan wanita. Berbagai

penelitian menunjukkan bahwa prevalensi asma di Indonesia diperikakan sekitar 2 – 8%.

Prevalensi morbiditas dan mortalilas asma akhir-akhir ini dilaporkan meningkat di seluruh dunia,

meskipun berbagai obat baru terus dikembangkan dan digunakan untuk mengobati penyakit ini.

[23]
Penatalaksanaan asma ada dua, yaitu: penatalaksanaan asma pada saat serangan (reliever)

dengan memakai obat bronkodilator (salbutamol, terbutalin, theophilin) termasuk

penatalaksanaan asma di rumah dan di rumah sakit dan penatalaksanaan asma di luar serangan

(controller) dengan memakai anti implamasi. Edukasi kepada penderita asma dan keluarganya

mutlak harus dilakukan dan ini memerlukan kerjasama yang erat antara dokter/tenaga medis

dengan penderita dan keluarganya.

[24]

You might also like