You are on page 1of 6

Mengapa Modal Minimum Bank Harus Rp100 Miliar1

Oleh : Dr. Agus Sugiarto2

Beberapa minggu setelah Gubernur Bank Indonesia mengumumkan implementasi


Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada tanggal 9 Januari 2004 lalu, telah muncul
berbagai tanggapan dan komentar dari berbagai pihak. Salah satu komentar dan silang
pendapat yang dirasakan sangat dominan adalah mengenai rekomendasi API untuk
meningkatkan permodalan bank umum menjadi minimum Rp100 miliar. Rencana
imlementasi modal minimum Rp100 miliar bagi bank umum tersebut telah menimbulkan pro
dan kontra tidak hanya dari kalangan perbankan sendiri, melainkan juga dari stakeholders
lainnya.

Beberapa pihak berpendapat bahwa rencana penerapan modal minimum sebesar


Rp100 miliar tersebut memberatkan bank-bank kecil dan sama sekali tidak berpihak pada
golongan kecil. Bank-bank kecil tersebut selama ini dianggap tidak pernah membebani
pemerintah karena sewaktu krisis moneter terjadi pada tahun 1998 bank-bank tersebut tidak
direkap dan tetap dapat hidup pada saat bank-bank besar dan menengah bertumbangan.
Sebaliknya beberapa pihak berpendapat bahwa peningkatan modal minimum Rp100 miliar
tersebut merupakan suatu langkah bagus untuk lebih memperkuat fundamental perbankan
nasional dalam jangka panjang.

Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas perbankan nasional melalui API telah
merekomendasikan bank umum (baik konvensional maupun syariah) untuk memiliki modal
minimum sebesar Rp100 miliar selambat-lambatnya sampai akhir tahun 2010, sehingga pada
tanggal 1 Januari 2011 semua bank umum yang beroperasi telah memiliki modal minimum
Rp100 miliar. Batasan modal minimum Rp100 miliar yang direkomendasikan di dalam API
tersebut adalah modal bank dalam bentuk modal tier-1 dan tier-2. Sementara itu, ketentuan
modal sebesar Rp3 triliun untuk mendirikan bank baru masih tetap berlaku sampai dengan
tahun 2011.

1
Artikel ini telah dimuat di harian Kompas tanggal 31 Januari 2004
2
Peneliti Bank Senior, Tim Arsitektur Perbankan Indonesia, Direktorat Penelitian dan Pengaturan
Perbankan, Bank Indonesia Jakarta.
2

Kinerja bank dengan modal dibawah Rp100 miliar

Bank-bank yang memiliki modal Rp100 miliar saat ini jumlahnya ada sekitar 55 bank
atau 40% dari total 138 bank yang ada. Dari 55 bank yang memiliki modal dibawah Rp100
miliar tersebut ada sekitar 15 bank yang modalnya sangat rendah yaitu dibawah Rp20 miliar.
Meskipun jumlahnya 40% dari total bank yang ada, total aset dari 55 bank tersebut hanyalah
Rp24,5 triliun atau 2,2% dari seluruh aset perbankan nasional. Begitu halnya dengan aktivitas
lending, ke-55 bank tersebut hanya memiliki porsi kecil sekali yaitu hanya 2,8% dari
keseluruhan kredit yang disalurkan oleh perbankan. Dengan demikian, bank-bank yang
memiliki modal Rp100 miliar tersebut sebenarnya tidak memiliki systemic risk di dalam
sistem perbankan, mengingat kontribusinya tidak begitu besar bagi industri perbankan
nasional.

Jumlah Bank dengan Modal di bawah Rp100 Miliar (Posisi Juni 2003)

Jumlah Modal (Tier 1 + Tier 2) Jumlah Bank

Modal di bawah Rp20 Miliar 15

Rp20 Miliar s.d. Rp50 Miliar 19

Rp50 Miliar s.d. Rp100 Miliar 21

Modal di bawah Rp100 Miliar 55

Sumber data : Bank Indonesia

Bank-bank yang memiliki modal dibawah Rp100 miliar tersebut pada umumnya
mempunyai aset yang tidak begitu besar dan aset-aset tersebut sebagian besar ditanamkan
dalam bentuk surat-surat berharga seperti SBI maupun penanaman pada antar bank (antar
bank aktiva), sedangkan aktivitas pemberian kreditnya sangat kecil. Dengan melihat kondisi
seperti ini profitabilitas bank-bank tersebut yang diukur dengan return on assets (ROA)
hanya sebesar 1,3%, lebih rendah dibandingkan dengan keseluruhan industri perbankan yang
memiliki ROA sebesar 2,2%. Sedangkan tingkat efisiensi bank-bank yang memiliki modal
dibawah Rp100 miliar tersebut juga tidak sebagus bank-bank lainnya. Tingkat efisiensi yang
diukur dengan rasio biaya operasional dibandingkan dengan pendapatan operasional (BOPO)
3

memperlihatkan bahwa bank-bank yang bermodal Rp100 miliar kebawah cenderung tidak
efisien karena rasio BOPO-nya mencapai 136,8%. Dengan rasio BOPO diatas 100% tersebut
berarti pendapatan operasional yang diperoleh bank akan habis dimakan biaya-biaya
operasional. Sebaliknya rasio BOPO untuk industri perbankan nasional telah mencapai
91,5%, sehingga lebih efisien dibandingkan dengan bank-bank yang memiliki modal kecil.

Dengan melihat gambaran seperti tersebut diatas, maka sudah sewajarnya apabila
bank-bank kecil yang memiliki permodalan dibawah Rp100 miliar untuk ditingkatkan
kemampuannya. Peningkatan kemampuan tersebut bukan hanya untuk memperbesar
profitabilitas bank-bank tersebut, melainkan juga untuk memperbaiki efisiensi usahanya.
Selama ini banyak pengamat yang beranggapan bahwa “small is beautiful” sehingga seakan-
akan terlihat bahwa bank kecil lebih menguntungkan dan lebih efisien, padahal dalam
kenyataannya tidak selamanya seperti itu.

Pertumbuhan ekonomi

Keberadaan API di dalam perekonomian nasional sangat jelas karena API memiliki
tujuan untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk membantu
mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 5%-6% setiap tahunnya, diperlukan dukungan
kredit perbankan sebesar 22% setiap tahunnya. Namun demikian, potensi permodalan
perbankan saat ini hanya sanggup untuk mendorong pertumbuhan kredit maksimum 16%
saja, sehingga untuk mencapai target pertumbuhan kredit sebesar 22% setiap tahunnya
diperlukan adanya penambahan modal perbankan. Tanpa adanya dukungan peningkatan
modal perbankan rasanya sangat sulit untuk meningkatkan kemampuan “lending” perbankan
pada level 22% setiap tahunnya. Dengan demikian bank-bank yang memiliki tingkat
permodalan yang masih rendah, khususnya bank-bank dengan modal dibawah Rp100 miliar,
perlu ditingkatkan tingkat modalnya menjadi minimum Rp100 miliar sehingga akan memiliki
kapasitas “lending” yang semakin besar.

Persyaratan kehati-hatian

Modal bank merupakan motor penggerak bagi kegiatan usaha bank, sehingga besar
kecilnya modal bank sangat berpengaruh terhadap kemampuan bank untuk melaksanakan
kegiatan operasinya. Dengan modal sedikit maka kapasitas usaha bank menjadi terbatas
4

mengingat modal merupakan “proxi” dari pada kemampuan bank untuk mengcover risiko-
risiko usaha yang dihadapi. Bank dengan modal sedikit tentunya akan mengalami kesulitan
untuk memiliki kegiatan usaha yang sangat bervariasi atau memiliki risiko tinggi seperti
kegiatan derivatif. The New Basel Accord atau Basel II sendiri pada Pilar 2 telah menegaskan
bahwa jumlah modal bank harus sesuai dengan risiko yang dihadapi oleh bank sehingga
memungkinkan bank tersebut untuk mengcover risikonya dengan baik. Untuk itu, modal
Rp100 miliar merupakan syarat minimum yang diperlukan untuk mengakomodir risiko-
risiko yang dihadapi oleh bank, baik itu risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas maupun
risiko lainnya.

Selain itu, dengan modal Rp100 miliar juga memungkinkan bank umum untuk
meningkatkan skala usahanya secara efisien maupun memperbaiki “skill level” sumber daya
manusianya. Konsekuensinya bank-bank tersebut akan mampu bersaing dengan bank-bank
umum lainnya dari segi efisiensi dan pelayanan. Dibandingkan dengan bank perkreditan
rakyat (BPR), bank umum memiliki kegiatan yang lebih luas dan kompleks. Jadi secara
teoritis bank umum seharusnya memiliki modal yang lebih besar dibandingkan dengan BPR.
Namun dalam prakteknya banyak BPR yang telah memiliki modal diatas Rp100 miliar, lebih
tinggi dari modal beberapa bank umum padahal BPR hanya memiliki kegiatan usaha yang
terbatas. Jadi ironis sekali apabila bank umum memiliki modal yang lebih kecil dibandingkan
dengan BPR. Kondisi seperti ini sebenarnya cukup memprihatinkan kita dan perlu untuk
segera dibenahi karena bank umum yang memiliki kegiatan lebih luas dari BPR seharusnya
mempunyai modal yang lebih besar lagi.

Best practices

Persyaratan modal minimum Rp100 miliar yang dtetapkan di dalam API tersebut
sebenarnya masih kecil apabila dibandingkan dengan best practices di beberapa negara
tetangga kita maupun negara Asia lainnya. Malaysia, tetangga terdekat kita telah menerapkan
persyaratan modal minimum sebesar US$500 juta atau kurang lebih Rp4 triliun, sama
besarnya dengan persyaratan modal minimum di Thailand. Sedangkan persyaratan modal
minimum di Singapore sudah mencapai US$855 juta atau sekitar Rp7 triliun, jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan persyaratan modal kita yang hanya Rp100 miliar. Negara Asia
lainnya seperti Korea juga memiliki persyaratan modal minimum yang juga lebih tinggi dari
kita yaitu sebesar US$82 juta atau sekitar700 miliar. Dari contoh-contoh negara lain tersebut
5

jelas sekali bahwa tingkat permodalan bank-bank yang ada di Indonesia saat ini masih lemah
sehingga dalam jangka panjang perlu untuk ditingkatkan secara bertahap.

Studi empiris

Industri perbankan merupakan suatu industri yang bersifat capital intensive, sangat
berbeda dengan industri lainnya yang bersifat skill intensive seperti indutri information
technology (IT) atau industri yang bersifat labour intensive seperti pabrik. Industri perbankan
yang bersifat capital intensive tersebut merupakan sesuatu yang logis karena bank harus
mengelola dana masyarakat dengan segala macam risikonya, sehingga bank tentunya harus
memiliki kapasitas dan kemampuan yang memadai untuk menanggung kerugian yang timbul
dari risiko-risiko yang muncul. Untuk itu, permodalan bank sebagai “buffer” dari risiko yang
dihadapi oleh bank harus diperkuat dan terus ditingkatkan sejalan dengan besarnya risiko
yang dihadapi oleh masing-masing bank.

Dari hasil studi empiris diketahui bahwa bank dapat melakukan kegiatan secara
efisien apabila memiliki kisaran aset sekitar US$2 miliar sampai dengan US$10 miliar.
Sedangkan untuk mencapai total aset seperti pada kisaran tersebut, diperlukan modal sekitar
US$130 juta atau kurang lebih Rp1 triliun. Namun demikian, apabila jumlah modal Rp1
triliun tersebut diterapkan di Indonesia, maka banyak bank yang tidak mampu mencapainya.
Oleh karena itu batas minimum modal bank sebesar Rp100 miliar dinilai merupakan suatu
langkah yang realistis dengan melihat kondisi perbankan saat ini yang baru saja pulih dari
krisis. Penetapan modal minimum Rp100 miliar tersebut juga telah memperhatikan
kemampuan bank-bank di Indonesia untuk mencapainya serta mempertimbangkan potensi
pertumbuhan yang kemungkinan terjadi dalam jangka panjang.

Cara pencapaian

Ketentuan modal minimum Rp100 miliar mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2011,
sehingga bank-bank yang memiliki modal dibawah Rp100 miliar masih memiliki waktu
kurang lebih tujuh tahun untuk mencapainya. Bank-bank yang memiliki modal dibawah
Rp100 miliar tidak perlu panik karena apabila mereka tidak bisa mencapai target pada tahun
2011 nanti, bank-bank tersebut tidak akan dilikuidasi atau ditutup melainkan akan menjadi
bank dengan kegiatan terbatas (downgrade). Oleh karena itu, bank-bank yang bermodal
6

dibawah Rp100 miliar sudah harus membenahi struktur permodalannya. Ada berbagai cara
untuk mencapainya, apakah itu dengan melakukan merger dengan bank lain, menambah
setoran modal, mencari partner baru yang dapat menyuntikkan modal tambahan, menerbitkan
sub ordinated loan,maupun cara-cara lainnya. Bagi bank-bank yang masih memiliki modal
dibawah Rp100 miliar harus membuat rangkaian kegiatan serta tahapan-tahapan yang
terencana untuk mencapai target tersebut. Rencana pencapaian tersebut sudah harus dimulai
di dalam penyusunan business plan bank-bank untuk tahun 2004-2005 yang saat ini sedang
dibuat ataupun dengan membuat rencana jangka panjang (7 tahun) mengenai tahapan
pencapaian modal baru sebesar Rp100 miliar.

You might also like