You are on page 1of 9

PENDAHULUAN

Biofarmasetika mengkaji penerapan ilmu fisika, kimia, dan biologi


terhadap obat, bentuk sediaan obat dan absorpsi obat.
Pertimbangan biofarmasetika berperan penting dalam keberhasilan
merancang bentuk sediaan obat. Evaluasi dan interpretasi studi
biofarmasetika merupakan bagian integral dari pengembangan obat
(drug product design).
Hal-hal yang dikaji dalam bidang biofarmasetika antara lain :
Pengaruh dan interaksi antara formulasi obat dan teknologi
Pembuatan obat menjadi berbagai bentuk sediaan sangat
menentukan kerja obat sesuai dengan sifat fisikokimianya.
Pengaruh dan interaksi antara obat dan lingkungan biologik pada
site absorpsi dan cara pemberian obat → menentukan disposisi zat
aktif dalam tubuh
Pengaruh dan interaksi antara zat aktif dengan tubuh →
menentukan bioavailabilitas obat secara biologis

Studi biofarmasetika merupakan studi interdisipliner, membuka


cakrawala pandang baru bagi ilmu farmasi dan biomedik.
Biofarmasetika lebih mendalami pemberian obat secara
ekstravaskuler. Cara pemberian ekstravaskuler yang terpenting
adalah pemberian per oral.
Fase biofarmasi obat per oral meliputi : pembebasan obat dari
bentuk sediaan, disintegrasi dan disolusi di dalam cairan tubuh,
absorpsi obat ke dalam peredaran sistemik, sehingga obat tersedia
secara biologis untuk bekerja.

Cara pemberian per oral merupakan cara pemberian obat yang


paling lazim, karena :
Praktis, melalui saluran alamiah tubuh
Aman, tidak merusak jaringan tubuh
 Mudah, dapat dilakukan sendiri, tanpa bantuan tenaga medis
Menyenangkan untuk anak-anak dan pemberian dalam jangka
waktu lama
Efektif untuk terapi penyakit saluran cerna
Obat yang diberikan secara per oral dapat diabsorpsi, atau tidak
diabsorpsi. Obat yang tidak diabsorpsi ditujukan untuk efek lokal di
dalam saluran cerna. Contohnya adalah antasida dan laksansia.
Obat yang diabsorpsi masuk ke dalam sistem sirkulasi darah melalui
membran saluran cerna untuk memberikan efek sistemik. Sebagian
obat dan atau metabolitnya dieksresikan melalui urine, faeces,
keringat, air susu ibu (ASI), saliva, dan paru.

BIOAVAILABILITAS OBAT
Pada tahun 1960-an diketahui bahwa produk obat yang kandungan
zat berkasiatnya sama atau setara, memberikan efek terapetik yang
berbeda. Terbukti dua produk obat yang secara kimia setara (pada
penilaian in vitro) dapat memberikan perbedaan jumlah kadar obar
yang dicapai dalam plasma darah (penilaian in vitro). Hal ini
disebabkan perbedaan jumlah zat berkhasiat yang tersedia untuk
memberikan efek terapetik.
Syarat terpenting suatu produk obat adalah zat aktifnya dapat
mencapai bagian tubuh tempat obat itu diharapkan bekerja, serta
dalam jumlah yang cukup untuk memberikan respon farmakologis.
Syarat ini disebut ketersediaan obat secara biologis atau
bioavailabilitas (biological availability).
Biological availability (ketersediaan biologis) adalah jumlah relatif
obat atau zat aktif suatu produk obat yang diabsoprsi, serta
kecepatan obat itu masuk ke dalam peredaran darah sistemik. Obat
dinyatakan available (tersedia) jika setelah diabsoprsi obat tersebut
tersedia untuk bekerja pada jaringan yang dituju dan memberikan
efek farmakologis setelah berikatan dengan reseptor di jaringan
tersebut.
Pharmaceutical availability (ketersediaan farmasetik) adalah ukuran
untuk bagian obat yang in vitro dilepaskan dari bentuk sediaannya
dan siap diabsorpsi. Dengan kata lain, kecepatan larut obat yang
tersedia in vitro.
Dari penelitian pharmaceutical availability sediaan tablet diketahui
bahwa setelah ditelan, tablet akan pecah (terdesintegrasi) di dalam
lambung menjadi granul-granul kecil. Setelah granul pecah, zat aktif
terlepas dan melarut (terdisolusi) di dalam cairan lambung atau
usus. Setelah melarut, obat tersedia untuk diabsorpsi. Peristiwa ini
disebut fase ketersediaan farmasetik.

Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa obat yang diberikan dalam


bentuk larutan, mencapai ketersediaan farmasetik lebih cepat
dibandingkan sediaan tablet, karena tidak mengalami tahap
desintegrasi.
Pharmaceutical availability ditentukan secara in vitro di
laboratorium dengan mengukur kecepatan melarut zat aktif dalam
waktu tertentu (dissolution rate). Pengukuran ini menggunakan
metode dan alat yang ditetapkan oleh USP untuk meniru seakurat
mungkin keadaan alami di dalam saluran cerna. Sayangnya, cara
penelitian yang praktis ini jarang memberikan hasil yang berkorelasi
dengan kadar obat dalam plasma in vivo, sehingga perlu dilanjutkan
dengan pengukuran bioavailabilitas obat.
Biovailabilitas diukur secara in vivo dengan menentukan kadar
plasma obat setelah tercapai keadaan tunak (steady state). Pada
keadaan ini, terjadi kesetimbangan antara kadar obat di semua
jaringan tubuh dan kadar obat di plasma relatif konstan karena
jumlah obat yang diabsorpsi dan dieliminasi adalah sama. Umumnya
terdapat korelasi yang baik antara kadar plasma dan efek terapetik
obat.
Beberapa tahun terakhir ini, dilakukan penelitian untuk menentukan
kadar obat di dalam saliva (air liur), yang lebih mudah dan
sederhana dibandingkan penentuan kadar dalam plasma. Ternyata,
terdapat korelasi pula antara kadar obat di dalam air liur dan kadar
obat di dalam plasma.
Biovailabilitas obat sangat bergantung pada 2 faktor, yaitu faktor
obat dan faktor pengguna obat. Terdapat kemungkinan obat yang
sama diberikan pada orang yang sama, dalam keadan berbeda,
memberikan kurva dosis-respon yang berbeda.
Faktor obat
Kelarutan obat
Ukuran partikel
Bentuk fisik obat
Dosage form
Teknik formulasi
 Excipient
Faktor Pengguna
Umur, berat badan, luas permukaan tubuh
 Waktu dan cara obat diberikan
Kecepatan pengosongan lambung
Gangguan hepar dan ginjal
Interaksi obat lain
Berikut akan dibahas lebih lanjut tentang pengaruh faktor obat
terhadap biovailabilitas. Faktor penderita tidak disinggung lebih
lanjut karena berada di luar ranah biofarmasetika.

PARTICLE SIZE
Kecepatan disolusi obat berbanding lurus dengan luas permukaan
yang kontak dengan cairan. Semakin kecil partikel, semakin luas
permukaan obat, semakin mudah larut. Dengan memperkecil ukuran
partikel, dosis obat yang diberikan dapat diperkecil pula, sehingga
signifikan dari segi ekonomis. Terdapat hubungan linier antara
kecepatan absorpsi obat dengan logaritma luas permukaan. Sebagai
contoh, pemberian 500 mg griseofulvin bentuk mikro memberikan
kadar plasma yang sama dengan 1 g griseofulvin bentuk serbuk.
Bahan-bahan obat yang memberikan perbedaan absorpsi antara
bentuk halus dan tidak halus antara lain, acetosal, barbiturate,
calciferol, chloramphenicol, digoxin, griseofulvin,
hydroxyprogesterone acetate, nitrofurantoine, spironolactone,
sulfadiazine, sulfamethoxine, sulfathiazole, sulfasoxazole,
tetracycline, tolbutamide

DRUG SOLUBILITY
Pengaruh daya larut obat bergantung pada sifat kimia (atau
modifikasi kimiawi obat) dan sifat fisika (atau modifikasi fisik obat)

Modifikasi Kimiawi Obat


a. Pembentukan Garam
Obat yang terionisasi lebih mudah dalam air dari[pada bentuk tidak
terionisasi. Pembentukan garam ini terutama penting dalam hal zat
aktif berada dalam saluran cerna, kelarutan modifikasi sewaktu
transit di dalam saluran cerna, karena perbedaan pH lambung dan
usus.
Peningkatan kecepatan pelarutan obat dalam bentuk garam berlaku
untuk obat-obat berikut : penicilline, barbiturate, tolbutamide,
tetracycline, acetosal, dextromethorphane, asam salisilat,
phenytoine, quinidine, vitamin-vitamin larut aie, sulfa, quinine
b. Pembentukan Ester
Daya larut dan kecepatan melarut obat dapat dimodifikasi dengan
membentuk ester. Secara umum, pembentukan ester memperlambat
kelarutan obat. Beberapa keuntungan bentuk ester, antara lain :
1. Menghindarkan degradasi obat di lambung
Ester dari erythromycin (misalnya erythromycine succinat)
memungkinkan obat tidak rusak pada suasana asam di lambung. Ini
merupakan semacam pro-drug, dalam suasana lebih basa di usus,
terjadi hidrolisis erythromycine ethylsuccinat.

2. Memperlama masa kerja obat


Misalnya esterifikasi dari hormon steroid.
3. Menutupi rasa obat yang tidak enak
Contohnya adalah ester dari kloramfenikol. Kloramfenikol palmitat
dan Kloramfenikol stearat dihidrolisis di usus halus untuk
melepaskan kloramfenikol.

Modifikasi Bentuk Fisik Obat


a. Bentuk Kristal atau Amorf
Bentuk amorf tidak mempunyai struktur tertentu, terdapat
ketidakteraturan dalam tiga dimensinya. Secara umum, amorf lebih
mudah larut daripada bentuk kristalnya. Misalnya Novobiocin,
kelarutan bentuk amorf 10 x dari bentuk Kristal.
b. Pengaruh Polimorfisme
Fenomena polimorfisme terjadi jika suatu zat menghablur dalam
berbagai bentuk Kristal yang berbeda, akibat suhu, teakanan, dan
kondisi penyimpanan. Polimorfisme terjadi antara lain pada steroid,
sulanilamida, barbiturat, kloramfenikol. Kloramfenikol palmitat
terdapat dalam bentuk polimorf A, B, C, dan amorf. Tetapi hanya
bentuk polimorf B dan bentuk amorf yang dapat dihidrolisis oleh
usus.

c. Bentuk Solven dan Hidrat


Sewaktu pembentukan Kristal, cairan-pelarut dapat membentuk
ikatan stabil dengan obat, disebut solvat. Jika pelarutnya dalah air,
ikatan ini disebut hidrat. Bentuk hidrat memiliki sifat-sifat yang
berbeda dengan bentuk anhidrat, terutama kecepatan disolusi.
Ampisilina anhidrat lebih mudah larut daripada Ampisilian trihidrat.

FAKTOR FISIKA KIMIA LAIN


a. pKa dan Derajat Ionisasi
Obat berupa larutan dalam air dapat diklasifikasi menjadi 3
kategori, yaitu :
Elektrolit kuat ; seluruhnya berupa ion (contoh : Na, K, Cl)
Non elektrolit ; tidak terdisosiasi (contoh : gula, steroid)
 Elektrolit lemah ; campuran bentuk ion & molekul
Konsentrasi relatif bentuk ion/molekul bergantung pada pKa obat
dan pH lingkungan. Kebanyakan obat dalam bentuk asam lemah atau
basa lemah, yang terabsorpsi secara difusi aktif, sehingga hanya
bentuk molekul (tidak terionisasi) yang terabsorpsi. Akibatnya
perbandingan ion/molekul sangat menentukan absorpsi.
Konsentrasi ion dari obat berupa asam lemah (misal asetosal)
meningkat dengan peningkatan pH media air. Sebaliknya Konsentrasi
molekul dari obat berupa asam lemah (misal alkaloid)meningkat
dengan apeningkatan pH media air. Sehingga asam lemah lebih
banyak diabsorpsi pada suasana asam (di lambung, pH 1-3),
sedangkan basa lemah lebih banyak diabsorpsi di usus (pH 6-8).
b. Koefisien Partisi Lemak-Air
Koefisien partisi menunjukkan rasio konsentrasi obat dalam 2 cairan
yang tidak bercampur. Koefisien partisi merupakan indeks dari
solubilitas komparatif suatu zat dalam 2 solven. Koefisien partisi
lemak-air digunakan sebgai indikator penumpukan obat di dalam
lemak tubuh.
Normal lemak dalam tubuh adalah 10-25%, pada keadaan obesitas
dapat menjadi 50% atau lebih. Pada penderita obesitas, obat dengan
daya larut lemak tinggi akan menumpuk pada lemak-tubuh dalam
jumlah besardan menjadi depo di mana obat dilepaskan secara
perlahan. Pada pemberian barbiturate, pelepasan obat diperlama
dari depo, menyebabkan kondisi hang-over.
TEKNIK FORMULASI
Faktor-faktor manufaktur (pembuatan obat) dapat mengurangi
bioavailabilitas obat, diantaranya :
1. Peningkatan kompresi (tekanan) pada waktu pembuatan
meningkatkan kekerasan tablet. Hal ini menyebabkan waktu disolusi
dan disintegrasi menjadi lebih lama.
2. Penambahan jumlah bahan pengikat pada formula tablet atau
granul akan meningkatkan kekerasan tablet, mengakibatkan
perpanjangan waktu disintegrasi dan disolusi
3. Peningkatan jumlah pelincir (lubricant) pada formula tablet akan
mengurangi sifat hidrofilik tablet sehingga sulit terbasahi (wetted).
Hal ini memperpanjang waktu disintegrasi dan disolusi
4. Granul yang keras dengan waktu kompresi yang cepat serta
kekuatan yang tinggi akan menyebbakan peningkatan suhu kompresi,
sehingga obat yang berbentuk kristal mikro akan membentuk agregat
yang lebih besar.

EXCIPIENT
Obat jarang diberikan tunggal dalam bahan aktif. Biasanya dibuat
dalam bentuk sediaan tertentu yang membutuhkan bahan-bahan
tambahan (excipients). Obat harus dilepaskan (liberated) dari
bentuk bentuk sediaannya sebelum mengalami disolusi, sehingga
excipients dapat mengakibatkan perubahan disolusi dan absorpsi
obat.
Contoh kasus pengaruh excipient pada bioavailabilitas terjadi pada
tahun 1971 di Australia. Banyak pasien yang mengkonsumsi tablet
fenitoin memperlihatkan gejala keracunan, meskipun kadar fenitoin
tablet tersebut tepat. Ternyata bahan pengisi pada formula tablet
tersebut menggunakan laktosa, sebelumnya kalsium sulfat.
Penggantian Laktosa menyebabkan peningkatan bioavailabilitas
sehingga terjadi efek toksis.
Zat-zat aktif permukaan (seperti tween dan span) atau zat hidrofil
yang mudah larut dalam air (polivinil pirolidon, carbowax), dapat
meningkatkan kecepatan disolusi tablet. Sebaliknya, zat-zat
hidrofob yang digunakan sebagai lubricant (misal magnesium
stearat) dapat menghambat disolusi. Kini lebih umum digunakan
aerosol sebagai lubricant karena tidak menghambat disolusi
Zat pengikat (pada tablet) dan zat pengental (pada suspensi),
seperti gom dan gelatin umumnya juga memperlambat disolusi.
Sebaliknya zat penghancur seperti amilum justru mempercepat
disolusi.
Pemilihan basis suppositoria juga mempengaruhi kecepatan absorpsi
obat. Kini lebih umum basis sintetis dibandingkan oleum cacao.
Tetapi bberapa obat sukar dilepaskan dari basis ini. Sehingga
indometasin dan kloralhidrat lebih baik dibuat dalam basis
carbowax, sedangkan aminofilin dalam basis oleum cacao.

BENTUK SEDIAAN
Kecepatan disolusi sangat dipengaruhi oleh bentuk sediaan obat.
Kecepatan disolusi dari berbagai sediaan oral menurun dengan
urutan berikut :
Larutan < suspensi < emulsi < serbuk < kapsul < tablet < film coated
(salut film) < dragee (salut gula) < enteric coated (salut selaput) <
sustained release/retard
Dapat dilihat bahwa tablet, meskipun murah dan praktis, lebih
rendah efektivitasnya dibandingkan sediaan cair, serbuk, dan kapsul.

PENUTUP
Beberapa dekade lalu, Farmasis hanya memberikan sedikit perhatian
terhadap evaluasi biofarmasetik obat ketika melansir produk obat
baru. Di masa mendatang, perizinan produk obat baru seharusnya
disertai dengan evaluasi biofarmasetika dan farmakoninetika,
termasuk bioavailabilitas obat. Keharusan in telah diberlakukan oleh
beberapa negara. Bioekivaensi in vivo pada manusia merupakan
keharusan untuk obat-obat dengan therapeutical window sempit,
yaitu perbandingan LD50/ED50 kurang dari dua.

http://hwarnida.blogspot.com/2010_05_01_archive.html

You might also like