Professional Documents
Culture Documents
BIOAVAILABILITAS OBAT
Pada tahun 1960-an diketahui bahwa produk obat yang kandungan
zat berkasiatnya sama atau setara, memberikan efek terapetik yang
berbeda. Terbukti dua produk obat yang secara kimia setara (pada
penilaian in vitro) dapat memberikan perbedaan jumlah kadar obar
yang dicapai dalam plasma darah (penilaian in vitro). Hal ini
disebabkan perbedaan jumlah zat berkhasiat yang tersedia untuk
memberikan efek terapetik.
Syarat terpenting suatu produk obat adalah zat aktifnya dapat
mencapai bagian tubuh tempat obat itu diharapkan bekerja, serta
dalam jumlah yang cukup untuk memberikan respon farmakologis.
Syarat ini disebut ketersediaan obat secara biologis atau
bioavailabilitas (biological availability).
Biological availability (ketersediaan biologis) adalah jumlah relatif
obat atau zat aktif suatu produk obat yang diabsoprsi, serta
kecepatan obat itu masuk ke dalam peredaran darah sistemik. Obat
dinyatakan available (tersedia) jika setelah diabsoprsi obat tersebut
tersedia untuk bekerja pada jaringan yang dituju dan memberikan
efek farmakologis setelah berikatan dengan reseptor di jaringan
tersebut.
Pharmaceutical availability (ketersediaan farmasetik) adalah ukuran
untuk bagian obat yang in vitro dilepaskan dari bentuk sediaannya
dan siap diabsorpsi. Dengan kata lain, kecepatan larut obat yang
tersedia in vitro.
Dari penelitian pharmaceutical availability sediaan tablet diketahui
bahwa setelah ditelan, tablet akan pecah (terdesintegrasi) di dalam
lambung menjadi granul-granul kecil. Setelah granul pecah, zat aktif
terlepas dan melarut (terdisolusi) di dalam cairan lambung atau
usus. Setelah melarut, obat tersedia untuk diabsorpsi. Peristiwa ini
disebut fase ketersediaan farmasetik.
PARTICLE SIZE
Kecepatan disolusi obat berbanding lurus dengan luas permukaan
yang kontak dengan cairan. Semakin kecil partikel, semakin luas
permukaan obat, semakin mudah larut. Dengan memperkecil ukuran
partikel, dosis obat yang diberikan dapat diperkecil pula, sehingga
signifikan dari segi ekonomis. Terdapat hubungan linier antara
kecepatan absorpsi obat dengan logaritma luas permukaan. Sebagai
contoh, pemberian 500 mg griseofulvin bentuk mikro memberikan
kadar plasma yang sama dengan 1 g griseofulvin bentuk serbuk.
Bahan-bahan obat yang memberikan perbedaan absorpsi antara
bentuk halus dan tidak halus antara lain, acetosal, barbiturate,
calciferol, chloramphenicol, digoxin, griseofulvin,
hydroxyprogesterone acetate, nitrofurantoine, spironolactone,
sulfadiazine, sulfamethoxine, sulfathiazole, sulfasoxazole,
tetracycline, tolbutamide
DRUG SOLUBILITY
Pengaruh daya larut obat bergantung pada sifat kimia (atau
modifikasi kimiawi obat) dan sifat fisika (atau modifikasi fisik obat)
EXCIPIENT
Obat jarang diberikan tunggal dalam bahan aktif. Biasanya dibuat
dalam bentuk sediaan tertentu yang membutuhkan bahan-bahan
tambahan (excipients). Obat harus dilepaskan (liberated) dari
bentuk bentuk sediaannya sebelum mengalami disolusi, sehingga
excipients dapat mengakibatkan perubahan disolusi dan absorpsi
obat.
Contoh kasus pengaruh excipient pada bioavailabilitas terjadi pada
tahun 1971 di Australia. Banyak pasien yang mengkonsumsi tablet
fenitoin memperlihatkan gejala keracunan, meskipun kadar fenitoin
tablet tersebut tepat. Ternyata bahan pengisi pada formula tablet
tersebut menggunakan laktosa, sebelumnya kalsium sulfat.
Penggantian Laktosa menyebabkan peningkatan bioavailabilitas
sehingga terjadi efek toksis.
Zat-zat aktif permukaan (seperti tween dan span) atau zat hidrofil
yang mudah larut dalam air (polivinil pirolidon, carbowax), dapat
meningkatkan kecepatan disolusi tablet. Sebaliknya, zat-zat
hidrofob yang digunakan sebagai lubricant (misal magnesium
stearat) dapat menghambat disolusi. Kini lebih umum digunakan
aerosol sebagai lubricant karena tidak menghambat disolusi
Zat pengikat (pada tablet) dan zat pengental (pada suspensi),
seperti gom dan gelatin umumnya juga memperlambat disolusi.
Sebaliknya zat penghancur seperti amilum justru mempercepat
disolusi.
Pemilihan basis suppositoria juga mempengaruhi kecepatan absorpsi
obat. Kini lebih umum basis sintetis dibandingkan oleum cacao.
Tetapi bberapa obat sukar dilepaskan dari basis ini. Sehingga
indometasin dan kloralhidrat lebih baik dibuat dalam basis
carbowax, sedangkan aminofilin dalam basis oleum cacao.
BENTUK SEDIAAN
Kecepatan disolusi sangat dipengaruhi oleh bentuk sediaan obat.
Kecepatan disolusi dari berbagai sediaan oral menurun dengan
urutan berikut :
Larutan < suspensi < emulsi < serbuk < kapsul < tablet < film coated
(salut film) < dragee (salut gula) < enteric coated (salut selaput) <
sustained release/retard
Dapat dilihat bahwa tablet, meskipun murah dan praktis, lebih
rendah efektivitasnya dibandingkan sediaan cair, serbuk, dan kapsul.
PENUTUP
Beberapa dekade lalu, Farmasis hanya memberikan sedikit perhatian
terhadap evaluasi biofarmasetik obat ketika melansir produk obat
baru. Di masa mendatang, perizinan produk obat baru seharusnya
disertai dengan evaluasi biofarmasetika dan farmakoninetika,
termasuk bioavailabilitas obat. Keharusan in telah diberlakukan oleh
beberapa negara. Bioekivaensi in vivo pada manusia merupakan
keharusan untuk obat-obat dengan therapeutical window sempit,
yaitu perbandingan LD50/ED50 kurang dari dua.
http://hwarnida.blogspot.com/2010_05_01_archive.html