Professional Documents
Culture Documents
7/10/2008 6:23:33
26 Juni 2008
2. Hadits ke - 4.787
Dari ‘Âisyah ra, bahwasanya Rasulullah SAW berkata kepada beliau ra :
" ••• ••••••••• , ••••••••• ! ••••••• ••••••••• •••• •••••• ••• •••••• ••••• •••••• ••••••• , ••••• ••••••
•••• •••••• ••••• •••••• ••••••• “
Artinya : ” Wahai ‘Aisyah, Bersikaplah lemah lembut ! Sesungguhnya kelembutan
tidak terjadi pada sesuatu kecuali dia menjadikannya indah, dan kelembutan itu
tidak tercabut dari sesuatu kecuali menjadikannya jelek ”.
3. Hadits ke - 4.788
Dari Jâbir ibnu ‘Abdillah ra, telah bersabda Rasulullah SAW :
" •••• •••••••• ••••••••• •••••••• •••••••• ••••••• "
Artinya : ” Barangsiapa yang menjauhi kelembutan, maka berarti menjauhi semua
kebajikan ”.
Kekerasan adalah cerminan dari dua sikap ; Pertama, cerminan dari kekasaran
sikap dan kebengisan hati. Kedua, cerminan dari ketegasan sikap dan ketegaran
prinsip.
Untuk yang pertama, jelas dilarang karena bertolak belakang dengan prinsip
kelembutan yang diajarkan Islam. Sedang untuk yang kedua, sama sekali tidak
bertentangan dengan prinsip kelembutan, karena ia hanya merupakan tindak lanjut
dari suatu proses amar ma’ruf nahi munkar dengan kelembutan yang tak
terselesaikan.
Saat mana tercipta suatu kondisi bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidak bisa
berjalan kecuali dengan sikap tegas dan keras, maka berlakulah kaidah fiqih :
" ••• ••• ••••••• •••••••••• •••••• •••• •••••• ••••••• "
Artinya : ” Apa-apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya,
maka ia ikut menjadi wajib ”.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban, dan jika ia tidak bisa ditegakkan
dengan sempurna kecuali dengan sikap tegas dan keras, maka sikap tersebut
menjadi wajib demi tegak dan sempurnanya kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.
Lihat kaidah tersebut dalam kitab Mabâdi’ Awwaliyyah, karya Al-Ustâdz ‘Abdul
Halîm Hakîm, Kaidah ke – 28.
Al-Imâm Muhammad Abu Zahroh dalam kitabnya, Ushûlul Fiqh, halaman 167,
menyatakan bahwasanya kaidah tersebut sejalan dengan kaidah lain yang
berbunyi :
Sikap tegas dan keras pada kondisi seperti ini bukan kekerasan yang tercela,
bahkan terpuji karena menjadi wasilah perjuangan yang lazim demi sempurnanya
amar ma’ruf nahi munkar yang sedang diperjuangkan. Karenanya, kekerasan
terpuji semacam ini dibenarkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan merupakan
bagian tak terpisahkan dari perjuangan Islam semenjak zaman permulaan hingga
saat ini.
Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang membenarkan sikap keras dengan pengertian
” tegas sikap dan tegar prinsip ” tidak kalah banyaknya dengan nash tentang
kelembutan sebagaimana telah kita bahas dan uraikan, antara lain :
I. Nash Qur’ani
1. Q.S.48. Al-Fath : 29
" ••••••••• •••••••• ••••••• •••••••••••• •••••• ••••••••• ••••• ••••••••••• ••••••••• •••••••••• "
Artinya : ” Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama
dengan dia adalah keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka ”.
" ••••••••••• •••••••••• ••••••••• •••••••••• •••••••••• •••••••••••• •••• ••••••••••• •••••••••••••
•••••••• •••••••• •••••••••••• ••••• ••••••• •••• •••••••••••••• "
Artinya : ” Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di
sekitar kamu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan dari padamu, dan
ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa ”.
Ketiga ayat di atas secara tegas dan gamblang membimbing umat Islam agar
bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang memusuhi dan memerangi
mereka, begitu pula orang-orang munafiqin yang berusaha mencelakakan mereka.
Ada pun Nushûsh Nabawiyyah tentang sikap tegas dan keras dalam berda’wah
banyak tak terhingga. Hampir semua kitab hadits merekam fakta sejarah tentang
bagaimana tegas dan kerasnya perjuangan Rasulullah SAW dan para Shahabatnya
yang mulia dalam memerangi kemusyrikan, kemunkaran dan berbagai jenis
kebathilan.
Sebagai bukti nyata tak terpungkiri, lihatlah bagaimana Allah SWT merestui Nabi
SAW untuk mengangkat pedang memerangi orang-orang kafir, dan tercatat dalam
sejarah Islam tidak kurang dari 29 peperangan yang terjadi di zaman Nabi SAW
antara kaum muslimin melawan kaum kafirin, mulai dari Perang Abwa’ pada
tahun ke - 2 Hijriyyah jauh sebelum Perang Badar hingga Perang Tabuk pada
tahun ke - 9 Hijriyyah.
Bahkan sejumlah peperangan terjadi pada bulan-bulan haram / suci ( Rajab, Dzul
Qi’dah, Dzul Hijjah dan Muharram ) yang seharusnya tidak boleh ada peperangan.
Dan tentu saja, kita tidak bisa memungkiri bahwa perang adalah tindak
kekerasanyang mengakibatkan pertumpahan darah, kemusnahan harta benda,
bahkan mengorbankan nyawa. Namun ternyata dilakukan oleh Rasulullah SAW,
bahkan di bulan haram pula.
Sekali pun harus kita akui dari 29 peperangan tersebut hanya 5 peristiwa yang
betul-betul terjadi perang sesungguhnya, yaitu perang : Badar, Uhud, Khaibar,
Mu’tah dan Hunain. Sedangkan 24 perang lainnya, hampir tidak ada pertumpahan
darah besar selain Perang Quraizhoh yang diakhiri dengan pelaksanaan hukuman
mati atas sejumlah pengkhianat Yahudi.
Perang lain terhindar dari pertumpahan darah besar tidak terlepas dari
kepiawaian Rasulullah SAW mengatur strategi, sekaligus sebagai bukti hikmah
dan rahmah yang diberikan Allah SWT kepadanya. Perang-perang ini ada yang
diakhiri dengan perjanjian , ada pula dengan larinya musuh, dan ada lagi dengan
pertahanan kaum muslimin yang tak bisa ditembus musuh.
Hal ini dikupas dengan sangat baik oleh DR. Muhammad Al-Habsy dalam kitab
Sîroh Rosûlillah SAW, hal. 332. Kitab ini merupakan kumpulan ceramah Asy-
Syeikh Ahmad Kaftâru, Mufti Syria, yang dihimpun dan disusun dengan apik oleh
sang penulis kitab.
Dan sikap inilah yang telah diteladani oleh para Al-Khulafâ’ Ar-Râsyidîn ra.
Lihatlah bagaimana Sayyidunâ Abu Bakar Ash-Shiddîq ra tanpa ragu-ragu
memerangi kaum murtadîn dan mereka yang tidak mau membayar zakat, setelah
terlebih dahulu diajak untuk bertaubat dengan penuh kelembutan.
Dan lihat pula bagaimana Sayyidunâ ‘Ali Al-Murtadhâ krw dengan tegas
menindak kaum bughât yang durhaka terhadap Imam yang haq, setelah terlebih
dahulu diajak untuk kembali kepada persatuan umat dan mentaati pimpinan.
Itu semua merupakan sikap tegas dan keras yang terpuji. Dan semua itu tidak
dilakukan kecuali setelah sikap lembut dan ramah dikedepankan dan didahulukan.
Sungguh tidak masuk akal, bila kekerasan secara mutlak divonis sebagai sesuatu
yang tercela dan terlarang. Bukankah sudah menjadi kesepakatan masyarakat
internasional, bahwa tentara suatu negara dibenarkan untuk menyerang dan
menembak, bahkan membunuh musuh dalam membela kedaulatan bangsa dan
negara. Dan polisi suatu negara juga dibenarkan menembak mati para penjahat
tatkala tak ada pilihan lain untuk mengatasinya. Semua itu merupakan kekerasan
yang terpuji, bahkan kekerasan yang menjadi keharusan demi melindungi
kedamaian dan kelembutan.
Disini kita tertantang untuk mengkaji ulang definisi tindak kekerasan, agar tidak
terjadi pembusukan makna dengan menggeneralisir bahwa semua kekerasan itu
tercela dan patut dikecam serta dilaknat. Dengan pendefinisian yang benar
nantinya kita mudah memilah mana kekerasan yang terpuji dan mana yang
tercela, sehingga kita tidak lagi memposisikan dalil-dalil kelembutan sebagai lawan
dari dalil-dalil kekerasan yang menjadi cerminan ketegasan sikap dan ketegaran
prinsip.
Seharusnya kedua macam dalil yang zhâhirnya terjadi kontradiksi tersebut, kita
padukan agar saling mengisi dan melengkapi serta saling menyempurnakan satu
sama lainnya, bukan saling dibenturkan dan dipertentangkan. Karena pada
prinsipnya tidak ada kontradiksi dalil dalam syari’at, kalau pun kita jumpai dalil-
dalil syar’i yang zhâhirnya bertentangan, pasti ada jawaban untuk itu.
Asy-Syeikh ‘Abdul Wahhâb Khollâf dalam kitabnya, Ushûlul Fiqh, halaman 230,
menyatakan :
" •••••••• •••••••••• ••••••••••••• •••• ••••••• ••• •••••••• ••••••••• ••••••••••• •••••• ••••••••• ,
•••• •••••• •••••••••••• •••••••••••• , •••• •••••• ••••• •••••••••• •••••••• . ••••••• ••••• •••••••••
•••••• ••••••••• •••• ••••• ••••••••••• •••••••••• •••• ••••••••• •••••••••• •••••• •••••••• •••
••••••••• ••••••••••••• , •••••••• ••••••••••• ••••••••••• , •••••• •••••••••• ••••••••• •••••••••• •••
•••••••• •••• •••••••• •••••• •••••••• ••••••••• ••••••• ••• ••••••••• , •••••••••• •••••• ••••••••
•••••••• ••••• ••••••••• ••• ••••••••••• ••••••••• ••••••• ••••••••• ••• •••••••• ••••••••• "
Artinya : ” Dari pada bagian yang harus diperhatikan, bahwasanya tidak ada
Kontradiksi Haqîqi antara dua ayat, atau antara dua hadits shahih, atau antara
suatu ayat dan suatu hadits shahih. Apabila tampak kontradiksi antara dua nash
dari nushush tersebut, maka sesungguhnya itu hanya Kontradiksi Zhâhiri sesuai
dengan apa yang tampak bagi akal kita, jadi bukan Kontradiksi Haqîqi. Karena
Pembuat Syariat Yang Maha Esa lagi Bijaksana, tidak mungkin keluar dari-Nya
dalil yang menunjukkan suatu hukum dalam suatu kondisi, kemudian keluar dari
pada-Nya pula dalil lain dalam kondisi yang sama yang menunjukkan hukum yang
berbeda dalam waktu bersamaan ”.
Wujud zhâhir pertentangan dalil syar’i bisa jadi timbul akibat adanya hubungan
takhshîshul 'âm (pengkhususan yang umum), atau taqyîdul muthlaq (pembatasan
yang mutlak), atau tafshîlul mujmal (perincian yang global), atau pula nâsikhul
mansûkh (pembatalan yang terdahulu), dan lain sebagainya. Di sinilah menjadi
kewajiban kita bersama untuk menguak hubungan tadi yang akan menafikan
segala zhâhir pertentangan dalam syari’at.
Dalam Q.S.4. An-Nisâ’ : 82, Allah SWT menjamin tidak adanya pertentangan
dalam kitab suci Al-Qur’an :
" ••••••• ••••••••••••••• •••••••••• •••••• ••••• •••• •••••• •••••• ••••••• ••••••••••• •••••
••••••••••• ••••••••• "
Artinya : ” Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ? Kalau kiranya
Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya. ”
" ••••• •••••••• •••• •••••••• •••• •••• •••••• •••••• ••••••• "
Artinya : ” Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan ( kepadanya ) .”
Kesimpulannya, lembut dan keras hanya soal teknis amar ma’ruf nahi munkar.
Lembut ada tempatnya dan keras ada saatnya. Kedepankan kelembutan dan
jadikan sikap keras dan tegas sebagai solusi yang paling akhir. Keduanya benar
selama berjalan di atas rel syari’at Nabi Muhammad SAW.
Sayyidunâ ‘Ali ibnu Abi Thâlib krw pernah menulis pesannya kepada para
pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan, antara lain berisi :
" ••••••••••• ••••••• ••••• ••• ••••••••• . ••••••••• •••••••••• ••••••••• •••• •••••••• , ••••••••• •••
••••• ••••••••• •••••••• . ••••••••••• •••••••••••• •••••• ••• ••••••• •••••• •••••• ••••••••• ".
Artinya : ” Mohonlah pertolongan Allah. Campurlah sikap keras dengan
segenggam kelembutan, lembutlah ketika kelembutan itu yang terbaik. Dan
mantapkan kekerasan saat engkau tidak lagi mendapatkan cara kecuali
kekerasan .”
Camkan baik-baik pesan tersebut, Insya Allah akan sangat besar manfaatnya bagi
kita semua. Pesan tersebut dituangkan oleh As-Sayyid Asy-Syarîf Ar-Rodhi ( 359 –
404 H ), dalam Nahjul Balâghoh, sebuah kitab himpunan ucapan dan pernyataan
Al-Imâm ‘Ali ibnu Abi Thâlib ra, Juz III, Hal.597, nomor ke 46, dengan tahqiq As-
Syeikh Muhammad ‘Abduh rhm ( 1849 – 1905 M ), seorang ulama besar Mesir
yang aktif dalam Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di abad XIX.
Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam, Jalan Petamburan 3/17, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Telp:021-534-1250.
Salurkan dana anda untuk mendukung FPI dalam perjuangan penegakan Amar Ma'ruf Nahi Munkar melalui Bank Muamalat No. Rekening 301.00360.15 Atas Nama
DPP-FPI.
Copyright@2008, All Rights Reserved. Comment and Suggestion, send to admin@fpi.org.
Developed By OYiE Creative.