You are on page 1of 4

BAWA MOBIL:

Sebuah Interpretasi
Esei
Oleh : Abu Jihad

Seorang teman menawariku motornya untuk dijual, masih baru, dua bulan dipakai
setelah itu disimpan di garasi, baru menempuh beberapa puluh kilometer, bahkan baru
empat kali ia mengisi bensin full dan belum habis. Ketika kutanya kenapa ia menjual
motornya, ia bilang “Gw sekarang bawa mobil”.
Seorang dosen masuk kelas sambil ngedumel bahwa dia putar-putar kampus untuk
cari lahan parkir, setelah tiga puluh menit – dia bilang memang selama itu – dan tidak
menemukan lahan kosong, dia parkir mobilnya di depan gerbang kampus. Sehingga Pak
Satpam terpaksa mendorong mobil Pak Dosen setiap kali ada mobil lain yang akan
melewati gerbang.
Lagi, cerita tentang seorang teman yang biasa membawa mobil setiap kali ke
kampus. Ketika kutanya di mana dia tinggal, rupanya dia mengekost di daerah belakang
Monumen yang jaraknya ke kampus tidak lebih dari dua kilometer.
Sebuah gaya hidup dan simbol kemodernan, itulah gambaran yang kita dapat jika
melihat semakin banyaknya pengguna mobil pribadi. Tapi bukankankah syarat adanya
suatu modernisasi dalam diri seseorang tidak hanya ditandai dengan penggunaan alat-alat
modern tapi juga ditandai dengan kemampuan orang tersebut dalam berpikir secara
ilmiah dan kritis terhadap permasalahan di lingkungan sekitarnya?
Pada tahun 2000 saja jumlah kendaraan roda empat di Kota Bandung sebanyak
210.426 buah kendaraan. Dari jumlah tersebut, 131.325-nya merupakan mobil
penumpang pribadi dan sisanya adalah mobil barang dan bus sebanyak 79.101. Jika
sebuah mobil diasumsikan menghasilkan 8,22 kilogram karbondioksida per hari
sementara sebuah pohon setinggi 1 meter dapat menyerap 1,881 kilogram per hari. Atas
perhitungan tersebut, maka dibutuhkan lima pohon untuk menetralisasi karbondioksida
yang dikeluarkan sebuah mobil. Maka setiap pemilik sebuah mobil memiliki tangung
jawab untuk menanam dan merawat lima buah pohon setinggi satu meter. Tapi apa daya?
Jangankan menanam dan merawat lima pohon setinggi satu meter, untuk parkir mobilnya
saja terpaksa di pingir jalan dengan resiko dicuri orang.
Maka tidak heran kalau Bandung yang dulunya sejuk kini menjadi panas hingga
30 derajat di waktu siang. 70% polusi di Kota Bandung diakibatkan oleh kendaraan
bermotor dan menurut standar internasional dari WHO, ambang batas kewajaran polusi
udara adalah 250 miligram kubik dengan beban timbal 1 miligram kubik. Sedangkan di
wilayah Kota Bandung, kadar polusi udaranya telah mencapai 350 miligram kubik
dengan beban timbal 2,4 sampai 2,6 miligram kubik. Kadar polusi tersebut, jika dihitung
dengan Index Standar Pencemaran Udara (ISPU) sesuai Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup No.45 tahun 1997, kondisinya sudah termasuk kategori "sedang", ini berarti bahwa
kategori tersebut – walaupun tidak berpengaruh banyak terhadap manusia dan hewan –
berpengaruh pada tumbuhan dan tanaman sehingga menyebabkannya cepat kering. Jadi
potensi tanaman dalam menyerap karbondioksida semakin berkurang.
Memang, peraturan mengenai lingkungan hidup tidak melarang seseorang untuk
menggunakan kendaraan pribadinya selama tidak bertentangan dengan hukum, malah hal
ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) Perda Bandung No. 3 Thn. 2005 yang menyebutkan
mengenai hak seseorang “menikmati kenyamanan berjalan, berlalulintas dan mendapat
perlindungan dari Pemerintah”. Dan bukankah menikmati kenyamanan berlalulintas
dengan mobil pribadi menjadi lebih berasa bahkan berasa lebih?
Kita bisa saja tidak peduli tentang berapa pohon yang menjadi kewajiban kita
untuk merawatnya, atau keadaan lingkungan yang semakin parah karena polusi udara,
sebab ada pemerintah di atas sana yang menerima gaji dari pajak kendaraan yang kita
miliki. Bukankah kewajiban pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang nyaman
dan bersih diatur lebih rinci dalam perundang-undangan? Lihat saja pada UU No. 23 Thn.
1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kewajiban masyarakat terhadap
lingkungan hanya diatur dalam Pasal 6 yang hanya berisi dua ayat, sedangkan mengenai
kewajiban Pemerintah terhadap lingkungan diatur dalam Pasal 8-10 dengan daftar
kewajiban yang lebih panjang, malah pada Pasal 10 terdapat sembilan kewajiban yang
dirinci dari a hingga i.
Barangkali kita harus mempertimbangkan lagi perkataan Soekarno yang
menjiplak perkataan JF. Kenndy: Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu,
tapi apa yang bisa kamu lakukan untuk negara. Karena sebagai manusia modern yang
berpikir kritis, mengomel mengenai kemacetan di jalan, buruknya udara kota, dan
sempitnya lahan parkir bukanlah solusi. Walaupun pemerintah pada akhirnya
membangun jalan baru dan memperluas lahan parkir, hal itu tidak akan menyelesaikan
masalah untuk jangka panjang, karena menurut salah satu penelitian, semakin nyamannya
fasilitas jalanan umum, semakin mendorong masyarakat untuk menggunakan lebih
banyak lagi kendaraan pribadi. Malah pembangunan jalan baru dapat menyebabkan
berkurangnya ruang terbuka untuk lahan hijau. Padahal Bandung dengan luas wilayah
16.777.99 ha, membutuhkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) 30% dari luas wilayah
keseluruhan dengan jumlah tegakan pohon 1.500.000 pohon. Saat ini hanya ada 1,6%
wilayah RTH dengan jumlah tegakan pohon kurang dari satu juta. Menurut Mubiar,
Ketua Dewan Pakar DPKLTS, oksigen di Kota Bandung pun sudah berkurang bagi
penduduknya karena kota ini kekurangan 650.000 pohon.
Rasanya tidak perlu jika pemerintah akhirnya mengeluarkan peraturan yang
menetapkan bahwa SIM A hanya dapat diberikan kepada seseorang berumur di atas 25
tahun seperti yang pernah diajukan oleh salah satu organisasi pemerhati lingkungan, atau
pemberlakuan sistem retribusi tambahan bagi kendaraan mobil pribadi yang melintasi
jalan-jalan tertentu seperti yang sudah dilaksanakan di kota London dan Teheran, atau
malah pemberlakuan retribusi parkir yang mahal hingga 250.000 rupiah per jam seperti
yang diberlakukan di Singapura. Hanya dengan kesadaran kita saja, untuk memberikan
sedikit waktu dan kesempatan kepada alam untuk merperbaharui diri, seperti yang
diinformasikan oleh Walhi Jabar, jika kita dapat menahan diri untuk tidak mengaktifkan
kendaraan kita hanya selama 55 hari dalam setahun, udara Kota Bandung akan menjadi
bersih bebas dari polusi.
Maka sebuah tantangan yang diajukan masa depan kepada kita: sanggupkah kita
merubah gaya hidup kita menjadi manusia modern yang natural, karena manusia modern
bukan berarti manusia yang tidak tradisional lagi, bukan manusia yang sepenuhnya lepas
dari alam. Manusia modern adalah manusia yang berteknologi dan berpikiran maju, yang
dengan teknologi dan cara berpikirnya dapat menciptakan lingkungan yang asri.
Memang tidak semudah itu: memarkir mobil dan mengunci garasi kemudian pergi
jalan kaki, berdesakan dalam angkot dan berpanas-panasan, atau menunggu angkutan
umum di pinggir jalan yang penuh dengan asap knalpot. Tapi sudah saatnya kita
bermimpi tentang masa depan yang hijau: jalan-jalan yang penuh dengan pohon rimbun,
menikmati udara bersama para pejalan kaki dan pengguna sepeda, atau duduk-duduk
berdiskusi di tengah taman dengan sungai yang mengalir jernih. Dari pada selalu
terbangun di pagi hari, masuk ke mobil, menutup jendela dan berpaling muka, bersejuk
ria dengan udara AC yang katanya lebih berbahaya dari pada udara luar yang berpolusi.

Sumber Data dan Informasi:


1. Gugun Gunawan, Jurnal Jalan-Jembatan, April 2007
2. Gugun Gunawan, Polusi Udara di Ruas Jalan Perkotaan, 2008
3. Kantor Litbang dan PPSDAL UNPAD, Ringkasan Eksekutif Pengkajian Pola
Penghijauan di Kota Bandung, 2003
4. Rudi Setiawan, Potensi Penerapan Fasilitas Antar Jemput Untuk Mengurangi
Penggunaan Mobil Pribadi, 2007
5. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1990
6. Harian Umum Kompas, Sabtu, 25 Juni 2005
7. www.hukumonline.com
8. www.okezone.com
9. www.walhi.com
10. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
11. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan
Ketertiban, Kebersihan, dan Ketertiban

You might also like