You are on page 1of 19

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KEJANG DEMAM

Definisi.
      Kejang Demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh ( suhu
rectal lebih dari 38oC ) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang
( konvulsi ) merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol  dari sel saraf
korteks cerebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran,
aktifitas motorik dan atau gangguan fenomena sensori.

     Pedoman untuk membuat diagnosa kejang demam sederhana ialah :


1.      Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2.      Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3.      Kejang bersifat umum.
4.     Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5.     Frekuensi  bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.      

Etiologi
  Hingga kini belum diketahui dengan pasti.  Demam sering disebabkan infeksi saluran
pernafasan atas, otitis    media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. 
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang – kadang demam yang tidak
begitu tinggi dapat menyebabkan demam.

Penatalaksanaan
Pemberantasan kejang secepat mungkin
Segera diberikan diazepam intravena                                 dosis rata-rata  0,3 mg/kg
Atau                                                                                                                        dosis   
10 kg : 5 mg
diazepam rectal                                                                                     dosis ≥  10 kg : 10
mg
bila kejang tidak berhenti                                                                 
tunggu 15 menit

dapat diulang dengan cara/dosis yang sama

                               

                                                                berikan dosis awal fenobarbital


kejang berhenti.                                                    dosis         :               neonatus               
:               30 mg I.M
                                                                                                                bulan – 1 tahun    
:               50 mg I.M
                                                                                                                                  1
tahun              :               75 mg I.M
Pengobatan fase akut
Seringkali kejang berhenti sendiri.  Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk
mencegah aspirasi ludah atau muntahan.  Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi
terjamin.  Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan
dan fungsi jantung.  Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres dingin dan
pemberian antipiretik. 

Pengobatan Profilaksis.
-       Profilaksis Intermiten saat demam
Diberikan Diazepam secara oral dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3
dosis saat pasien demam. Diazepam dpt pula diberikan secara intra rektal tiap 8 jam
sebanyak 5 mg bila BB < 10 kg dan 10 mg bila BB > 10 kg setiap pasien menunjukkan
suhu lebih dari 38,5 oC.
-       Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari.
Berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan
kerusakan otak.  Profilaksis terus-menerus setiap hari dengan Fenobarbital dosis
maintenance  8-10 mg/kg BB dibagi  2 – 3 dosis pada hari pertama, kedua diteruskan 4-5
mg/kg BB dibagi
2 – 3 dosis pada hari berikutnya.

Pengobatan penunjang
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
-       Semua pakaian ketat dibuka
-       Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
-       Usahakan agar jalan napas bebas untuk menjamin  kebutuhan oksigen
-       Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen

ASUHAN KEPERAWATAN
 Pengkajian

a.        Aktifitas / Istirahat


Gejala              :  Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri/     orang
terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda             :  Perubahan tonus / kekuatan otot
   Gerakan involunter / kontraksi otot  ataupun sekelompok otot.

b.        Sirkulasi
Gejala              :  Hipertensi, peningkatan nadi sianosis.
Tanda           : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.

c.        Eliminasi
Gejala              :  Inkontinensia episodik.
Tanda        :  Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus
sfingter.

Otot relaksasi yg menyebabkan inkontenensia ( baik urine/fekal ).

d.       Makanan dan cairan

Gejala              :  Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang

                                           berhubungan dengan aktifitas kejang.

e.        Neurosensori
Gejala             :       Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauma
kepala, anoksia dan infeksi cerebral.

f.         Nyeri / kenyaman.


Gejala             :       Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.
Tanda            :       Sikap / tingkah laku yang berhati – hati. Perubahan pada tonus otot. Tingkah laku
distraksi / gelisah.

g.        Pernafasan
   Gejala             :        Apneu, gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat, peningkatan sekresi
mukus.
                      
2. Diagnosa Keperawatan.

 Diagnosa  keperawatan yang sering muncul


a.        Resiko terhadap bersihan jalan nafas / pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
relaksasi lidah sekunder akibat gangguan persyarafan otot.
b.        Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan gerakan tonik / klonik yang tidak
terkontrol selama episode kejang.
c.        Peningkatan suhu tubuh ( hypertermia ) berhubungan dengan proses penyakit.
d.       Resiko terjadinya kejang ulang berhubungan dengan hiperthermi.
e.        Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik berhubungan
dengan kurang pengetahuan ( orang tua ) tentang kondisi, pengobatan dan aktifitas 
kejang selama episode kejang.

3. Rencana Keperawatan

Menurut Carpenito ( 1999 ) , rencana keperawatannya meliputi :


a.         Resiko terhadap bersihan jalan nafas / pol tidak efektif berhubungan dengan relaksasi
lidah sekunder akibat gangguan persyarafan otot.
Intervensi :
1). Baringkan klien di tempat yang rata, kepala dimiringkan dan pasang   tongue spatel.
2).  Singkirkan benda – benda yang ada disekitar pasien, lepaskan pakaian yang mengganggu
pernafasan ( misal : gurita ).
3).  Lakukan penghisapan sesuai indikasi.
4).  Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian O2 dan obat anti kejang.

b.         Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan gerakan tonk / klonik yang tidak
terkontrol selama episode kejang.
Intervensi :
1).  Jauhkan benda – benda yang ada disekitar klien. 
2). Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak jatuh ke belakang, menyumbat jalan nafas.
3).  Awasi klien dalam waktu beberapa lama selama / setelah kejang.
4).  Observasi tanda – tanda vital setelah kejang.
5).  Kolaborasi dnegna dokter untuk pemberian obat anti kejang.

c.          Resiko terjadi kejang ulang berhubungan dengan hipertermi.


Intervensi :
1).  Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat.
2).  Observasi tanda vital tiap 4 jam atau lebih.
3).  Kaji saat timbulnya demam.
4). Berikan penjelasan pada keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan.
5).  Anjurkan pada keluarga untuk memberikan masukan cairan 1,5 liter/hari.
6).  Beri kompres dingin terutama bagian frontal dan axila.
7).  Kolaborasi dalam pemberian terapi cairan dan obat antipiretik.

d.         Peningkatan suhu tubuh ( hypertermia ) berhubungan dengan proses penyakit.


Intervensi :
1).  Observasi tanda vital tiap 4 jam atau lebih.
2). Kaji saat timbulnya demam.
3). Berikan penjelasan pada keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan.
4). Anjurkan pada keluarga untuk memberikan masukan cairan 1,5 liter/hari.
5). Beri kompres dingin terutama bagian frontal dan axila.
6). Kolaborasi dalam pemberian terapi cairan dan obat antipiretik.

e.          Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik  berhubungan


dengan ketidakcukupan pengetahuan ( orang tua ) tentang kondisi, pengobatan, aktifitas,
kejang selama perawatan.
Intervensi :
1.         Jelaskan pada keluarga tentang pencegahan, pengobatan dan aktifitas selama kejang.
2.        Jelaskan pada keluarga tentang faktor – faktor yang menjadi pencetus timbulnya kejang,
misal : peningkatan suhu tubuh.
3.        Jelaskan pada keluarga, apabila terjadi kejang berulang atau kejang terlalu lama
walaupun diberikan obat, segera bawa klien ke rumah sakit terdekat.
Abtrak

Rumah Sakit Jiwa Semarang Pasien Tahunan tergambar bahwa 56% Dari Yang Masuk
adalah rumah sakit mempunyai ANTARA Usia 24-44 years Yang Kita ketehui termasuk
Usia Produktif. Dari Laporan menurut mereka, Pergi pulang rata-rata rumah sakit ke Satu
Sampai Sepuluh ADA kali.Menurut Kesehatan Mentri 25% Orang indonesi sakit jiwa
(2008). Saat Suami BANYAK Yang mempunyai keluaraga Orang sakit jiwa cenderung
mengandalkan penyembuhannya Dari sakit jiwa Artikel Baru Hanya obat-obatan.
Sedangkan BANYAK Masalah Yang berkaitan Artikel Baru adaptasi psikologi regular
tidak dipahami mereka Dibuat. Semantara ITU Orang sakit jiwa Yang Baru pulang Dari
Rumah Sakit perlu di bantu keluargaya Dibuat dan Masyarakat untuk beradaptasi dan
Suami Sangat membantu proses penyembuhan menggambarkan Suami pasien.Tulisan
Tentang Masalah-Masalah Yang muncul akibat masuknya Pasien di rumah sakit dan
sama pentingnya kerja jangka pendek dan rumah sakit untuk pelayanan Kesehatan
Masyarakat Yang berkelanjutan

A. PENDAHULUAN:

Banyak orang dengan pengalaman penyakit mental utama konsep diri yang buruk dan
telah mengurangi kesempatan untuk mengalami makna dalam hidup mereka. Bachrach,
(1986) menyatakan bahwa pasien dengan penyakit mental pengalaman berbagai masalah
yang berdampak pada kemampuan mereka untuk hidup sukses dalam masyarakat.
Mereka termasuk berkurang jaringan sosial, stigma, kemiskinan, pengangguran dan
kurangnya milik umum. Hal ini jelas disorot di kampung saya di Semarang Indonesia, di
mana individu, yang memiliki penyakit mental, selalu kembali ke rumah sakit setelah
habis. Bagaimana mereka hidup dalam masyarakat dengan bergantung pada keluarga
mereka, pengangguran. Dari penulis yang berpengalaman, ada berbagai faktor yang
mempengaruhi situasi termasuk penarikan sosial, keterasingan dari teman-teman karena
stigma mental yang sakit dan atas perlindungan dari orang tua.

Hume, (1994, hal.1) menyatakan bahwa "rehabilitasi adalah proses melalui mana
seseorang dibantu untuk menyesuaikan diri dengan keterbatasan cacatnya. Mana
keterampilan yang hilang mungkin kembali, atau strategi penanganan yang baru
berkembang, sehingga orang tersebut mencapai kompetensi. Sifat dari penurunan nilai
tersebut menentukan fokus khusus rehabilitasi, tetapi pada setiap waktu orang harus
diperlakukan sebagai "individu. Ketika seseorang berpikir tentang kecacatan yang timbul
dari sakit mental dalam istilah-istilah ini ukuran besar masalah rehabilitasi menjadi jelas.

pelayanan kesehatan mental telah direformasi di Australia dan ini telah berlangsung sejak
1992. Model perawatan telah diganti dari perawatan institusional untuk perawatan
berbasis masyarakat. Staf yang bekerja dengan cara-cara baru (Queensland Health, 1994).
Pendekatan yang berorientasi masyarakat baru penyediaan layanan kesehatan mental
telah meningkatkan tantangan menanggapi semua kehidupan individu kebutuhan dalam
masyarakat (Commonwealth of Australia, 1995). Di Semarang, ada layanan komunitas
tidak bagi orang yang sakit mental, yang dapat memberikan dukungan sosial, mungkin
bermanfaat. Menurut Mueller (1980) peningkatan manfaat dukungan sosial kepada
orang-orang dengan penyakit mental ini penting karena orang dengan kekal masalah
kesehatan mental diketahui telah membatasi jaringan sosial. Satu keluarga mengatakan
bahwa ketika dokter menyatakan bahwa anak saya direncanakan untuk pulang, saya
merasa sedih karena saya tidak bisa melakukan semuanya dan ia membuat sadar diri
dalam hidup sehari-hari dan saya malu dengan tetangga saya.

Leff et al (1982) menyatakan bahwa Pada pertengahan 1950 obat seperti Largactil
menciptakan terobosan penting dalam pengobatan skizofrenia. Efek samping dari
psikotropika dapat terjadi di hingga 100% dari pasien yang dirawat dan mengakibatkan
penghentian obat di sekitar 5% -10%. Efek samping, mereka juga dapat menyebabkan
kerusakan neurologis permanen, dan bahkan kematian (Dewan, 1989) Ditampilkan
penelitian telah menunjukkan bahwa pendidikan dan dukungan dari penjaga, dengan
obat-obatan yang tepat, mengurangi kecepatan relaps bagi penderita. Link ini pernyataan
dengan situasi di Semarang. Sebuah keluarga menyatakan bahwa anak mereka tidak
bekerja sama untuk mengambil obatnya. Mereka tidak pernah berpikir bahwa selain obat,
ada beberapa hal penting, yang dapat membantu anak mereka untuk pulih. Ini adalah
keluarga dan sosial yang mendukung dalam masyarakat. Ada stigma bahwa orang-orang
penyakit mental tidak bisa bekerja. Oleh karena itu, orang-orang dalam masyarakat selalu
mengisolasi mereka. Keluarga yang memiliki anggota dengan penyakit mental mengirim
mereka ke rumah sakit. Manajemen masalah pasien kemudian akan tergantung pada
ketentuan dalam rumah sakit. Proses rehabilitasi memerlukan keterlibatan sejumlah
orang. Keluarga dan teman-teman, sesama pasien dan staf rumah sakit, semua
memainkan peran mereka (Lakey dan Simpkins, 1994: xv).

Jelas mereka membutuhkan program rehabilitasi, namun keluarga dihindari mencari


untuk memecahkan masalah. Ini karena, mereka tidak tahu, setelah pulang, bagaimana
keluarga dapat membantu orang dengan penyakit mental. Dan masyarakat memiliki
stigma bahwa penyakit mental merupakan kutukan dan membuat masalah di masyarakat.

Di rumah sakit jiwa, di Semarang, laporan tahunan rumah sakit (1998/1999) statistik
menyoroti bahwa lebih dari setengah jumlah pasien (56%) adalah antara 25-44 tahun.
Orang-orang ini, karena mereka masih muda, bisa mandiri dan produktif dalam hidup
mereka. Namun, meskipun potensi mereka beberapa dari mereka telah sering kembali
dari satu sampai sepuluh kali ke rumah sakit. Tampaknya ada masalah dengan
pelembagaan. , Jennings (1983) menunjukkan bahwa untuk setiap 100 000 penduduk usia
antara 15, dan 64 antara 24 dan 36 orang dewasa pada tahun 1979, ada kemungkinan baru
direkrut pasien lama-tinggal. Banyak pasien sehingga tetap tergantung pada pelayanan
rumah sakit dan tidak bisa direhabilitasi untuk hidup mandiri. Bukti menunjukkan bahwa
bahkan ketika lama tinggal pasien habis, beberapa mencapai kemerdekaan penuh dari
pelayanan rumah sakit (Norman dan Parker, 1990). Beberapa pasien setelah
meninggalkan rumah sakit memilih untuk mengikuti program perawatan hari, ini berarti
bahwa, mereka bisa bekerja di rumah sakit seperti di dapur, di kantor rumah sakit dan
workshop. Beberapa orang tua memberikan gaji kepada anak-anak mereka tidak rumah
sakit. Laporan rumah sakit (1998/1999) menyatakan bahwa ada 57 perempuan dan 57
laki-laki mengikuti program ini. Semua program rehabilitasi berfokus pada rumah sakit.
Dari situasi ini, masalah yang diabadikan dalam masyarakat; stigma diperkuat pada
keluarga. Ini mendukung keyakinan yang salah bahwa orang dengan penyakit mental
dianggap sub-manusia. Penulis telah mengamati bahwa beberapa keluarga dengan
seorang anggota dengan penyakit mental yang selalu menutup pintu dan jendela. Selain
itu, mereka mengalami kesulitan dalam membuat hubungan dengan tetangga mereka.

Rumah sakit ini memiliki program yang kunjungan rumah. pekerja sosial dan staf dari
rumah sakit mengunjungi keluarga pasien. Alasan ini, karena, keluarga tidak pernah
mengunjungi pasien di rumah sakit dan beberapa keluarga, tidak pernah menghubungi
rumah sakit (rumah sakit jiwa laporan, 1998/1999). Dalam masyarakat tidak ada
pendidikan dan informasi untuk membantu keluarga memahami masalah dengan penyakit
mental. Jadi dengan informasi dan mengarahkan pendidikan untuk mengubah perilaku
dan menjembatani kesenjangan antara rumah sakit dan masyarakat. Hamilton et al (1989)
berpendapat bahwa keluarga intervensi program yang ditujukan untuk mendidik keluarga
dan membantu mereka mengatasi lebih efektif dengan penyakit pasien telah
menunjukkan efek positif pada kursus skizofrenia. Berdasarkan laporan ini, penulis
bermaksud untuk menyiapkan strategi untuk meningkatkan pelayanan rehabilitasi pindah
dari rumah sakit ke masyarakat dengan pendidikan dan informasi dari orang-orang
dengan penyakit mental kepada keluarga dan tetangga di masyarakat, Semarang,
Indonesia.

B. TINJAUAN LITERATUR

Individu penyandang cacat kejiwaan memiliki tujuan yang sama dan mimpi sebagai
orang lain. Hal ini termasuk tempat yang layak untuk hidup, lingkungan kerja yang tepat,
kegiatan sosial dan teman-teman (Palmer-Erbs & Anthony, 1995). Misi rehabilitasi
kejiwaan adalah "untuk membantu individu penyandang cacat kejiwaan untuk
meningkatkan fungsi mereka sehingga mereka berhasil dan puas dalam lingkungan
pilihan mereka dengan paling sedikit intervensi profesional yang berkelanjutan"
(Anthony et al, 1990., Hal.151 ). . Anthony et al, 1990 menyatakan bahwa tujuan
program rehabilitasi yang berfokus pada:

* Berfungsi (Kinerja kegiatan sehari-hari)

* Sukses, (memenuhi kebutuhan orang lain di dunia klien)

* Kepuasan (perasaan klien kebahagiaan)

* Lingkungan spesifisitas (konteks khusus tempat tinggal orang, belajar, socialises atau
karya),

* Pilihan (tujuan diri ditentukan),

* Orientasi Hasil (evaluasi berdasarkan hasil klien), dukungan (bantuan yang diberikan
selama dibutuhkan dan diinginkan) dan

* Pertumbuhan potensi (peningkatan fungsi dan status).


Bukti dari studi (Gibbon et al 1984) menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga hidup
dengan seseorang dengan pengalaman keluhan lama psikiatri kesulitan emosional dan
fisik yang cukup. Keluarga sering membutuhkan bimbingan tentang bagaimana bereaksi
dan berperilaku seperti mereka mungkin berhubungan dengan perilaku dan emosi yang
baru dan menakutkan.

Keterlibatan pasien dalam perencanaan perawatan mereka sendiri telah menjadi tema
utama kebijakan Pemerintah dalam masyarakat dan pelayanan kesehatan terus sepanjang
tahun 1990 (DOH, 1995). Bukti juga menunjukkan bahwa "pasien sering tidak cukup
terlibat dalam keputusan tentang rehabilitasi" (Audit Commission, 1996). Jelas, penting
bahwa berbagai macam layanan rehabilitasi harus tersedia. Tetapi juga penting bahwa
staf klinis dan perawatan meningkatkan keterlibatan pasien dan penjaga dalam penilaian
kebutuhan dan perumusan dan pelaksanaan rencana pengobatan.

C. MASALAH INSTUTIONALISATION

Masalah pelembagaan dua macam:

1. Kelembagaan sindrom. Menurut Barton (1959) dan Goffman (1961) dalam Pullen
(1994), menyatakan bahwa "sindrom kelembagaan, yang dicirikan oleh: apatis, kurang
inisiatif, kehilangan minat, tunduk, kurangnya ekspresi perasaan, kehilangan
individualitas dan penurunan dalam kebiasaan pribadi. Di rumah sakit jiwa, ada banyak
peraturan, yang membuat hidup pasien tidak seperti mereka. Pasien harus bangun di pagi
hari, ambil sarapan, dan mandi. Perawat harus memonitor aktivitas mereka dalam
kehidupan sehari-hari. Meskipun perawat selalu berusaha untuk merawat pasien sebagai
manusia. Namun, ada bukti dalam hubungan institutalisation bahwa menurut Alaszewski
(1986) "ada beberapa cara di mana hubungan ini dipertahankan, melalui sistem
klasifikasi pasien, rutinitas sehari-hari dari pelayanan dasar dan, ketika semuanya gagal,
melalui penguasaan fisik ". Dari pernyataan ini, memberikan bukti bahwa pasien di
rumah sakit jiwa mengalami kesulitan untuk berkembang menjadi mandiri.

2. Mere masuk ke unit psikiatris stigmatises pasien. Pullen (1994) menyatakan bahwa
"sikap dan harapan pasien, serta orang-orang tentang dia, perubahan sebagai hasil dari
berada di rumah sakit. Hal ini mempengaruhi kemungkinan penyesuaian berhasil kembali
ke masyarakat ". Di rumah sakit jiwa, sebagai penyedia memiliki sikap dan stigma serta
orang-orang di masyarakat, ini memiliki dampak langsung terhadap pemulihan pasien di
rumah sakit. Penyedia dalam praktek kesehatan harus memiliki harapan untuk membantu
orang dengan penyakit mental untuk menjadi orang normal. Harapannya dapat
mempengaruhi motivasi untuk orang dengan penyakit mental untuk menjadi orang
normal di masyarakat.

Masalah yang muncul adalah sejumlah kecil pasien jiwa dewasa yang masih
membutuhkan perawatan untuk waktu yang lama meskipun pengobatan aktif dan
rehabilitasi. Nikkonen, (1995) menyatakan bahwa "sebagai jumlah tempat tidur kesehatan
mental telah berkurang, belum ada penurunan kejadian penyakit jiwa pada masyarakat
umum". , Karena keluarga dan masyarakat tidak siap untuk menerima orang dengan
penyakit mental. King (1997) menyatakan bahwa "hal itu juga tidak realistis diharapkan
bahwa keluarga sekarang akan merawat kerabat yang telah dilembagakan untuk jangka
hidup mereka". Tampaknya tidak mudah untuk berpindah dari rumah sakit untuk
masyarakat. Selain itu, kolaborasi antara rumah sakit dan komunitas menjadi bagian
penting dalam pelayanan rehabilitasi.

D. TAHAP REHABILITASI KE RUMAH SAKIT DAN MASYARAKAT

Di rumah sakit

layanan Rehabilitasi harus dimulai dari rumah sakit. Tahap pertama adalah,
mempersiapkan untuk bergerak di unit lain atau di masyarakat. Bagi seseorang yang baru
dirawat di rumah sakit, rehabilitasi dimulai dengan diagnosis, itu berarti, sebagai
pengobatan penyakit akut dimulai, rencana umum untuk manajemen di masa depan harus
didiskusikan (Hume, 1994). Tahap kedua adalah menjembatani kesenjangan.
Rehabilitasi, tidak berakhir dengan debit, pasien harus berhadapan dengan realitas dan
masalah kehidupan di masyarakat. Mereka perlu untuk membantu adaptasi dengan
situasi. Dukungan dari orang-orang, yang dikenal dan dipercaya orang, akan membantu
mereka selama fase bridging (Hume, 1994). Tahap terakhir adalah dukungan masyarakat,
"melanjutkan dukungan akan diperlukan untuk mempertahankan kemajuan, memberikan
bantuan pada saat krisis dan mencegah kerusakan" (Hume, 1994). Salah satu
kemungkinan solusi untuk masalah pasien kronis 'yang disarankan oleh kertas 1975 putih
(DHSS 1975) adalah hostel rumah sakit. Ini dimaksudkan untuk memberikan pengobatan
dan perawatan terus 24 jam, tetapi dengan lebih menekankan pada rehabilitasi dan
berkualitas tinggi perawatan dalam pengaturan lebih domestik dan kurang kelembagaan
dari rumah sakit (Norman dan Parker, 1990). Ada kesepakatan yang berkembang bahwa
pelayanan kesehatan mental harus membantu orang dengan penyakit mental serius
memaksimalkan kesempatan mereka untuk hidup mandiri dan bermakna (Stein, 1999).

Berdasarkan pernyataan di atas, layanan rehabilitasi harus dimulai dari masuk ke


perencanaan pulang. Dalam rangka untuk memindahkan pelayanan rehabilitasi dari
rumah sakit untuk perencanaan debit masyarakat sangat penting.

E. PERENCANAAN DEBIT.

Setelah debit pasien dari rumah sakit, mereka memiliki hak untuk melanjutkan hidup
mereka sebagai orang normal di masyarakat. Pasien berangkat dari rumah sakit, perlu
dipersiapkan melalui perencanaan debit, yang harus dilakukan oleh perawat / tim di
rumah sakit (Bean & Mounser, 1993).

Discharge perencanaan dilakukan dengan keyakinan bahwa transisi horisontal dari rumah
sakit ke rumah adalah sebagai diperlukan untuk pasien (Rorden & Taft, 1990). Ryan
(1994) menyatakan bahwa unsur-unsur kunci dari perencanaan pulang adalah:

Paten * / pengasuh keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan.


* Cukup pemberitahuan debit kepada pasien dan wali

* Menjembatani kesenjangan komunikasi antara rumah sakit dan masyarakat

* Pendidikan pasien dan penjaga.

Tampak bahwa perawat perlu mempersiapkan pasien dan keluarga dalam jangka waktu
memindahkan mereka kembali ke masyarakat.

DEBIT F. Perencanaan SEBAGAI PROSES A.

Rorden & Taft (1990, p 22) menyatakan bahwa perencanaan pulang sebagai "suatu
proses terdiri dari beberapa langkah atau fase yang segera tujuannya adalah untuk
mengantisipasi perubahan dalam kebutuhan perawatan pasien dan jangka panjang yang
tujuannya adalah untuk memastikan kesinambungan pelayanan kesehatan". Mungkin
mereka butuhkan untuk perhatian medis untuk pertama kalinya, mungkin juga dominan
semua kekhawatiran lainnya dan perlu. Namun, kesadaran akan kekuatan pribadi pasien
dan kebutuhan psikososial parsial didorong ke bagian dalam aspek darurat medis.
Diagram menunjukkan bahwa dalam fase ini ada faktor-faktor seperti sumber daya
keuangan, dukungan keluarga dan sistem sosial dapat mempengaruhi masalah pasien,
yang harus diakui. Pada tahap ini, pasien, latar belakang pengalaman dan keyakinan
tentang kesehatan mereka terus mempengaruhi pengambilan keputusan.

Transisi fase

Memasuki pada tahap transisi, kebutuhan baru muncul. Meskipun kebutuhan untuk
perawatan akut tetap ada. Untuk mulai merencanakan positif untuk melanjutkan
perawatan yang baik mendukung dan frustasi. Pemeriksaan terhadap kekuatan pribadi
pasien, sumber daya yang tersedia, dan kualitas keluarga dan sistem dukungan sosial
secara logis akan bergerak Facebook keprihatinan mengenai apakah kebutuhan mereka
akan terpenuhi dalam setelan yang lain. Mereka mengizinkan pasien otonomi untuk
merencanakan jujur dan rasional untuk perawatan melanjutkan mereka.

Fase melanjutkan perawatan.

Sekarang rencana yang telah dibuat dalam mengantisipasi kebutuhan mulai dilaksanakan.
Jika debit pasien adalah untuk rumah dan masyarakat peduli. Pasien kebutuhan keluarga
dan dukungan sosial, untuk membantu dalam adaptasi dengan kehidupan mereka.

Dari proses perencanaan debit menunjukkan bahwa ruang lingkup dan kompleksitas
perencanaan debit perlu memahami, untuk membantu perawat untuk membuat debit
rencana untuk mempersiapkan pasien kembali ke masyarakat.

G. DALAM MASYARAKAT
Menurut Taylor dan Gunn (1999) pada 1990-an pertanyaan tentang apakah orang dengan
masalah mental harus di rumah sakit atau di masyarakat luas tampaknya telah bergeser
hanya untuk menjadi lebih dari dilema kelas. Orang sikap dalam masyarakat kadang-
kadang membuat hidup bisa sangat frustasi bagi orang-orang dengan penyakit mental.
Masyarakat adalah lingkungan yang lebih terbuka dan kacau dari lembaga. Robert (1998)
menyatakan bahwa sementara banyak klien diragukan lagi manfaat dari perawatan dalam
komunitas dibandingkan dengan perawatan dalam sebuah institusi karena itu memberikan
mereka kebebasan, namun itu adalah kasus yang yang merasa rapuh sering merasa tidak
aman di masyarakat. Akibatnya, untuk membuat pelayanan rehabilitasi pindah dari rumah
sakit kepada masyarakat. Ada beberapa aktivitas untuk mempersiapkan orang-orang
dalam pengaturan masyarakat harus direncanakan, ini adalah:

1. Keluarga harus disiapkan (Elliot, 1994).

Telah lama diakui bahwa beberapa jenis interaksi antara pasien dan keluarga mereka
dapat menghambat proses rehabilitasi dan menghasilkan kembali anmission (Vaughn &
Leff 1976). Orang dengan penyakit mental memerlukan dukungan terutama dari keluarga
mereka. Tetapi beberapa keluarga memiliki kecemasan karena mereka tidak tahu apa
peran keluarga untuk membantu mereka. (1994) menyatakan bahwa keluarga juga
didorong untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah mereka untuk
menghindari situasi stres Elliot.

Tampaknya bahwa keluarga harus diberi informasi dan pendidikan untuk menangani
mereka.

2. Pentingnya gambar media (Philo, 1996)

Hal ini diakui bahwa media memiliki peran positif untuk bermain dalam mendorong
sikap yang kondusif untuk kesehatan yang baik (DOH, 1992). Birch (1991) telah menulis
tentang bagaimana stigma media gambar dapat menginformasikan lingkaran respon
negatif, baik dalam pengguna dan jasa dan pada mereka yang merawat mereka. Media
cakupan cakupan penderita skizofrenia seperti berinteraksi, pembantu profesional
mereka, dan keluarga mereka, dalam satu set terbatas tanggapan terhadap penyakit. Dari
laporan menunjukkan bahwa isi media foto dan menggambarkan memiliki dampak pada
publik

keyakinan, pada perasaan dan pengalaman pengguna pelayanan kesehatan mental dan
pada sikap dan tanggapan dari wali. Tampaknya, peran media telah mempengaruhi
masyarakat, di mana orang memiliki keyakinan yang salah tentang orang-orang dengan
penyakit mental. Sebagai hasil orang dengan penyakit mental mengalami kesulitan untuk
menjadi orang normal di masyarakat. Namun masyarakat juga dapat menggunakan
produk media, untuk membuat publik dapat lebih sadar orang penyakit mental sebagai
kondisi manusia. Mereka dapat pulih dan mereka dapat kembali berfungsi normal (King,
1995 di Philo, 1996)

3. Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui informasi dan pendidikan (Jenny, 1978).


Jenny (1978) daftar tiga prinsip pasien / masyarakat belajar bahwa ia percaya mendasari
program pendidikan kesehatan apapun, ini adalah sebagai berikut:

persepsi Nya sendiri, dunia dan bagaimana ia berhubungan dengan dunia mengatur
perilaku seseorang. Tugas awal perawat karena itu untuk memastikan bahwa klien
memiliki persepsi realistis situasinya.

Orang-orang cenderung berperilaku dengan cara yang memungkinkan mereka untuk


menghindari perasaan pribadi dalam kecukupan. Tantangan utama bagi perawat karena
itu untuk membantu klien merasa bahwa ia dapat mengatasi tugas-tugas belajar yang
terbentang di kepala.

Kebutuhan dirasakan langsung mendapat perhatian seseorang pertama. Masalah paling


penting dalam pikiran klien sehingga harus ditangani dengan sebelum ia akan
mengarahkan perhatiannya untuk eventualities lebih jauh. Namun, membutuhkan alat
untuk memberikan informasi.

Tampaknya orang dengan penyakit membutuhkan dukungan mental dari masyarakat. Di


Indonesia perlu jaringan sosial untuk membantu mereka. Namun, masyarakat diperlukan
untuk membuat jaringan sosial. Keluarga yang memiliki anggota dengan orang-orang
sakit mental tidak membutuhkan obat terlalu banyak, dan menghabiskan terlalu banyak
uang untuk membantu pasien. Tapi mereka membutuhkan dukungan dari masyarakat.
Selain itu masyarakat perlu memahami orang dengan penyakit mental melalui informasi
dan pendidikan.

Tujuan: Manager dan staf keperawatan mengetahui permasalahan institusionalisasi di


rumah sakit jiwa. Dan mereka membuat sebuah program untuk memindahkan pelayanan
rehabilitasi dari rumah sakit kepada masyarakat.

Tujuan:

Masyarakat memahami dan kejiwaan penerimaan kesulitan orang dari rumah sakit.

program rehabilitasi menggunakan sumber daya dari masyarakat, termasuk sumber daya
manusia.

1. Mereka membentuk tim untuk membuat jaringan sosial dan tim ini akan menggunakan
sumber daya di masyarakat.

2. Tim membuat program informasi dan pendidikan di masyarakat.

Bagaimana meningkatkan pelayanan rehabilitasi dari rumah sakit ke masyarakat di


Semarang?

Rencana Strategis
Rumah sakit jiwa di Semarang, ada beberapa komite untuk meningkatkan mutu layanan.
Komite ini adalah:

1. Perawatan tim akreditasi

2. standar pemantauan tim

3. Pelatihan dan tim pengembangan.

Direksi rumah sakit, membentuk tim perbaikan pengendalian mutu untuk memantau
mutu praktek perawatan kesehatan. Pada tahun 1999, mereka memiliki program
rehabilitasi adalah: kunjungan Home, pameran seni, bepergian, penitipan, terapi
kelompok dan mengumpulkan keluarga (rumah sakit laporan, 1998/1999). Pemerintah
memberikan dana untuk program ini.

Rencana tindakan

1. Mengatur tim, ada orang-orang dari rumah sakit jiwa dan masyarakat.

orang kunci di masyarakat, ada guru, pemimpin agama dan pemimpin daerah dari
pemerintah dan sumber daya, ada pusat kesehatan masyarakat, Akademi keperawatan,
dan perusahaan. Mereka harus pertemuan untuk membahas bahwa orang dengan penyakit
mental memerlukan bantuan mereka. Mereka harus membuat kesepakatan untuk
membuat tim; tim ini adalah kesatuan antara rumah sakit jiwa dan masyarakat.
Pernyataan misi strategi, adalah orang-orang sakit mental perlu dukungan dalam
masyarakat, kami membantu mereka untuk menjadi manusia seperti diri kita sendiri.

2. kerangka operasional untuk mengidentifikasi orang masyarakat untuk memimpin


jaringan sosial. Tujuan dan tujuan dari jaringan sosial akan diidentifikasi dalam konteks
menawarkan dukungan, informasi dan perencanaan pulang pra untuk wali pasien dan
keluarga.

Kerangka untuk melaksanakan pelayanan rehabilitasi bergerak dari rumah sakit kepada
masyarakat.

Struktur Organisasi:

? Rumah Sakit manajer dan orang-orang kunci


? Tim bekerja.

????

? Perawat pekerja dokter keluarga pekerja sosial.

????

Komunitas

* Rumah Sakit manajer dan orang kunci memiliki tanggung jawab untuk proyek ini.
Mereka harus memilih beberapa tubuh sebagai manajer proyek.

* Teamwork terdiri dari orang-orang dari rumah sakit dan dari masyarakat, untuk bekerja
sama, tim ini terdiri dari perawat dari pusat kesehatan masyarakat, pekerja sosial, dokter
umum, keluarga dan pekerja. Mereka harus memiliki tanggung jawab untuk memberikan
pendidikan dan informasi di masyarakat.

* Masyarakat diberi pendidikan dan informasi dari tim kerja.

3. Mengatur sumber daya pendidikan untuk membantu penjaga keluarga dan pasien
melakukan transisi dari rumah sakit untuk pelayanan masyarakat. Pemerintah
memberikan dana ke rumah sakit untuk membuat program rehabilitasi

* Sebuah pamflet kecil yang dirancang untuk distribusi umum untuk meningkatkan
kesadaran dan mengurangi stigma. Ini berisi beberapa fakta dasar dan sumber bantuan.

* Literatur untuk kelompok mendukung Keluarga ', terdiri dari format selama tujuh
pertemuan mingguan berturut-turut. Kepustakaan ini meliputi: tujuan kelompok, surat
selamat datang, dan program untuk attainder.

Rumah Sakit manajer mengundang orang kunci dari communityDirector,


leaderHospitalTo berkolaborasi antara rumah sakit dan masyarakat untuk membuat
networkThere sosial adalah MOU (memori pemahaman) antara rumah sakit dan
masyarakat untuk membuat sosial networkThey membuat programsLeader dari
teamCommunityTo jaringan sosial membuat perencanaan strategis untuk meningkatkan
pelayanan rehabilitasi yang berbasis pada communityThere adalah deskripsi kerja antara
rumah sakit dan tim dari community.Discuss perawat peran untuk melaksanakan
program.Leader dari kualitas tim perawatan di hospital.HospitalTo membuat debit
rencana untuk mempersiapkan pindah pasien di community.There adalah debit
perencanaan yang perawat dibuat dan familyThey membuat jaringan sosial di
communityLeader dari sebuah komunitas communitycommunityTo mempersiapkan,
mereka harus melepaskan kebutuhan 'pasien ex-kejiwaan' itu untuk membantu dari
network.Hospital sosial membuat pelatihan pendidikan dan informasi untuk keluarga,
teman dan orang kunci dari communityKey yang orang dari masyarakat memberikan
pendidikan dan informasi untuk communityLeader, dan mempersiapkan pasien
networkCommunityTo sosial masyarakat tanda terima dari orang-orang hospitalThe
dalam buku penerimaan masyarakat, pamflet dan merekam video dari tim. Mereka
membahas masalah penyakit mental di communityMeeting untuk mengevaluasi
regularlyLeader, dan networkCommunityTo sosial meningkatkan rehabilitasi
anytimePeople pelayanan di masyarakat, sadar dan dukungan penyakit mental dari rumah
sakit, yang bisa hidup sebagai manusia.

Evaluasi;

Bagaimana mengevaluasi, proyek ini? Proyek ini harus dievaluasi, apakah sukses atau
tidak. Kriteria untuk mengevaluasi proyek ini adalah:

1. Para staf rumah sakit jiwa memahami masalah rehabilitasi dalam pekerjaan mereka,
masalah ini institunalisatation. Mereka bisa menjelaskan bagaimana dampak dari masalah
ini untuk pasien dan keluarga mereka.

2. Rumah sakit jiwa akan memberi dana untuk proyek.

3. Ada buku, rekaman audio dan pamflet kecil menyebar di masyarakat untuk
memberikan informasi dan pendidikan di masyarakat.

4. Rumah sakit dan orang-orang kunci dalam pertemuan komunitas secara teratur untuk
mengevaluasi proyek ini.

5. Perawat di rumah sakit jiwa membuat perencanaan pulang untuk mempersiapkan


pasien untuk masyarakat. Ada formulir untuk menilai masalah pasien untuk
mempersiapkan pasien untuk masyarakat. Formulir ini termasuk formulir penilaian
kepada keluarga, pasien dan sumber daya di masyarakat, yang dapat membantu dan
mendukung pasien di masyarakat.

6. Orang-orang di masyarakat:

* Selalu diperhatikan orang dengan penyakit mental dan mereka harus bersedia untuk
mendiskusikan menstigmatisasi dan keyakinan yang salah mereka.

* Keluarga yang memiliki anggota dengan penyakit mental, mudah untuk membuat
hubungan dengan tetangga mereka.

Keluarga * selalu proaktif untuk membantu orang dengan penyakit mental di rumah
mereka.

7. Orang dengan kesehatan mental menyimpan dan bisa hidup sebagai manusia. Mereka
memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan serta mengembangkan kemampuan
mereka sebagai orang normal. Dan rumah sakit jiwa harus memberikan pembayaran
kepada orang penyakit mental yang telah bekerja di rumah sakit (bukan keluarga yang
memiliki anggota dengan penyakit mental
BAB II
LANDASAN TEORI

A. PENGETIAN

Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan
(Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam
bentuk yang berbeda.

B. PROSES KEHILANGAN
1. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu member makna
positif – melakukan konfensasi dengan kegiatan positif – perbaikan (beradaptasi dan
merasa nyaman).
2. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu member makna
– merasa tidak berdaya – marah dan berlaku agresi – diekspresikan ke dalam diri –
muncul gejala sakit fisik.
3. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu member makna
– merasa tidak berdaya – marah dan berlaku agresi – diekspresikan ke luar individu –
konpensasi dengan prilaku konstruktif – perbaikan (beradaptasi dan merasa nyaman).
4. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu member makna
– merasa tidak berdaya – marah dan berlaku agresi – diekspresikan ke luar individu –
konpensasi dengan prilaku destruktif – merasa bersalah – ketidakberdayaan.

D. TAHAP TAHAP KEHILANGAN

Elizabeth Kubler-rose,1969.h.51, membagi respon berduka dalam lima fase, yaitu :


pengikaran, marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.

Rentang Respon Kehilangan

Gambar rentang respon individu terhadap kehilangan (Kublier-rose,1969).

Fase Marah Fase Depresi

Fase Pengingkaran Fase Tawar-menawar Fase Menerima

1. Fase Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau
mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan
“ Tidak, saya tidak percaya itu terjadi “ atau “ itu tidak mungkin terjadi “. 
2. Fase Marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan
Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada
orang lain atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif,
berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh dokter-perawat yang tidak pecus. 

3. Fase Tawar-menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju
ke fase tawar-menawar dengan memohon kemurahan pada Tuhan. Respon ini sering
dinyatakan dengan kata-kata “ kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering
berdoa “.
4. Fase Depresi
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang sebagai pasien
sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada
keinginan bunuh diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak makan,
susah tidur, letih, dorongan libido manurun.
5. Fase Penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat
kepada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah
menerima kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau orang yang hilang
mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang
baru. 

E. ASUHAN KEPERAWATAN TENTANG KEHILANGAN

1. Pengkajian
Data yang dapat dikumpulkan adalah:
a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas

2. Diagnosa keperawatan
a. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis.
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan dengan koping individu
tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.

3. Intervensi Keperawatan

a. Diagnosa keperawatan : Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri
rendah : kronis
Tujuan Umum :
• Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
Tujuan Khusus :
• Klien dapat membina hubungan saling perbaya dengan perawat.
• Klien dapat memahami penyebab dari harga diri : rendah.
• Klien menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
• Klien dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, jujur dan terbuka.
• Klien mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukkan perbaikan komunikasi dengan
orang lain.

Intervensi :
• Bina hubungan saling percaya dengan klien. R/ Rasa percaya merupakan dasar dari
hubungan terapeutik yang mendukung dalam mengatasi perasaannya.
• Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan pikiran dan perasaannya. R/ Motivasi
meningkatkan keterbukaan klien.
• Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah. R/ Dengan mengetahui penyebab
diharapkan klien dapat beradaptasi dengan perasaannya.
• Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak menghakimi. R/ Empati
dapat diartikan sebagai rasa peduli terhadap perawatan klien, tetapi tidak terlibat secara
emosi.

b. Gangguan konsep diri; harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak
efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.

Tujuan :
• Klien merasa harga dirinya naik.
• Klien mengunakan koping yang adaptif.
• Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
Intervensi :

a. Merespon kesadaran diri dengan cara :


• Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
• Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
• Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
R/. Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat –
klien.

b. Menyelidiki diri dengan cara :


• Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
• Membantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain
melalui keterbukaan.
• Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada
klien.
R/. klien yang dapat memahami perasaannya memudahkan dalam penerimaan terhadap
dirinya sendiri.
c. Mengevaluasi diri dengan cara :
• Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.
• Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
R/. Respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah secara
konstruktif.
.

You might also like