You are on page 1of 18

RISK-BASED SUPERVISION

Konsep, Model dan Masalah Pokok


dalam Aplikasinya di Indonesia1

Sukarela Batunanggar

“Risiko, bila ditulis dalam alfabet Cina, terdiri dari dua karakter.
Yang pertama berarti ancaman dan yang kedua berarti peluang” (John F. Kennedy)

Pengantar
Sistem keuangan dan lembaga-lembaga yang bertugas mengawasinya telah
berkembang selama beberapa tahun terakhir ini sebagai respons terhadap
tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh kompetisi, globalisasi dan tehnologi.
Otoritas pengawasan bank memiliki peran yang sangat strategis dalam
menciptakan suatu sistem keuangan yang sehat dan tangguh dalam lingkungan
global yang terus bergolak (turbulance). Sejalan dengan itu, model-model dan
tehnik pengawasan yang digunakan juga terus dikembangkan untuk meningkatkan
efektivitas pengawasan bank.

Akhir-akhir ini, pengawasan bank di negara-negara maju seperti Inggris, Amerika


Serikat, dan Australia makin mengarah pada pendekatan risiko. Tulisan ini
membahas konsep pengawasan berdasarkan risiko (risk-based supervision)
tersebut. Pembahasan diawali dengan tinjauan tentang model-model pengawasan
bank dibeberapa negara dan dilanjutkan dengan uraian ringkas mengenai
kerangka pengawasan bank berdasarkan risiko, gambaran model pengawasan
risiko yang diadopsi oleh Bank of England (BoE) dan sekilas mengenai model
pengawasan bank oleh Bank Indonesia (BI), dan diakhiri dengan beberapa
masalah pokok (key issues) dalam implementasi pendekatan baru dalam sistem
perbankan Indonesia.

Model-Model Pengawasan Bank Seputar Dunia


Model-model pengawasan dari satu negara ke negara lainnya memiliki perbedaan
yang mendasar, baik dalam hal pengaturan ketentuan (jurisdiksional) dan dalam
pendekatan atau tehnik pengawasan. Perbedaan-perbedaan tersebut
mencerminkan faktor-faktor historis, politik dan filosofis suatu negarai.

1Dimuat
dalam PENGEMBANGAN PERBANKAN, Insitut Bankir Indonesia, JULI-
AGUSTUS NO.72 1998.

Pengawas bank di Direktorat Pengawasan Bank 2, Bank Indonesia, Jakarta. Pandangan yang
dikemukakan dalam tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis dan tidak mesti mewakili
pandangan Bank Indonesia. E-mail Address: batunanggars@usa.net atau
batunanggar@hotmail.com
Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

Dalam kebanyakan negara, bank sentral banyak terlibat dalam pengawasan bank,
baik sebagai pengawas tunggal atau dengan membagi tanggung jawab dengan
lembaga atau badan lain. Di beberapa negara, pengawasan bank-bank ditangani
oleh suatu badan di luar bank sentral yang kadang kala juga mengawasi lembaga-
lembaga keuangan lainnya dengan berperan sebagai “mega regulator”ii.

Praktek pendekatan pengawasan bank di setiap negara dapat sangat tergantung


pada kekuatan infrastruktur legal dan akunting. Di negara-negara dimana konsep
dan praktek akunting tidak dikembangkan dengan baik, para pengawas bank
umumnya tidak dapat bersandar pada data yang diberikan oleh bank-bank dan
mereka harus mencurahkan banyak sumberdaya untuk mendeteksi kejahatan
(fraud) dan praktek akunting yang tidak benar.

Amerika Serikat memiliki suatu sistem pengawasan bank yang sangat kompleks
dan intensif. Tim-tim pemeriksa dari Federal Reserve Bank, the Office of the
Comptroller, State Banking Department, Federal Deposit Insurance Coorporation
secara rutin menghabiskan waktu yang panjang di bank-bank untuk memeriksa
secara detil transaksi-transaksi dan pinjaman-pinjaman individualiii.
Pada spektrum lain, Selandia Baru memberikan hampir seluruh penekanannya
pada kewajiban bagi bank -bank untuk mempublikasikan secara terbuka kondisi
keuangan mereka setiap tiga bulan sehingga para deposan dapat mengetahui
informasi yang memadai untuk melakukan penilaianiv. Di Australia, public
disclosure dipandang sebagai penunjang dari pengawasan bank tapi bukan suatu
substitusi yang potensial. Sedangkan di Indonesia, bank-bank juga diwajibkan
untuk menerbitkan laporan keuangan secara triwulanan. Tampaknya data dan
informasi yang disajikan dalam laporan tersebut perlu disempurnakan agar lebih
transparan dan informatif sejalan dengan jiwa reformasi.

Kerangka Pengawasan Berdasarkan Risiko (PBR)


Pengawasan bank, khususnya di negara-negara maju telah mengarah ke
pendekatan berdasarkan risiko (risk-based approach). Dalam beberapa tahun
terakhir ini, badan-badan pengaturan (regulatory bodies) nasional dan
internasional telah mengintensifkan kerjasama mereka untuk memperkuat sistem
keuangan internasional. Krisis Meksiko dan Barings merupakan pendorong bagi
para pemimpin negara G-7 untuk meningkatkan kerjasama internasional guna
mengembangkan pengaman-pengaman, standar-standar, transparansi dan sistem-
sistem yang diperlukan untuk memantau dan mengakomodasi risiko-risiko secara
global dan terintegrasi.
Prinsip-prinsip Pokok Pengawasan Bank yang Efektif
The Basle Committee on Banking Supervision (the Committee)v, yang dibentuk
oleh para gubernur bank sentral negera-negara Group Ten, secara kontiniu
mengembangkan sistem-sistem dan pendekatan pengawasan bank untuk
diterapkan secara internasional. Komite telah berhasil merumuskan suatu prinsip
pokok pengawasan yang efektif (the core principles for effective banking
supervision) pada September 1997vi. Prinsip-prinsip pokok tersebut terdiri dari
duapuluh lima persyaratan minimum yang diperlukan agar sistem pengawasan

 S. Batunanggar, May 1998 2


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

efektif. Prinsip-prinsip tersebut dibagi dalam tujuh kelompok utama sebagaimana


ditunjukkan pada Box berikut:

Pendekatan Pemenuhan Modal berdasarkan Risiko Pasar (Market-risk Capital


Box 1. Prinsip-prinsip Pokok Pengawasan Bank yang Efektif
1. Prekondisi bagi pengawasan bank yang efektif Prinsip pertama ini menekankan
perlunya suatu kerangka sasaran dan tanggung jawab yang jelas, dapat dicapai dan
konsisten bagi badan-badan yang terlibat dalam pengawasan bank.
2. Perizinan dan struktur yang memfokuskan pada proses perizinan, struktur
kepemilikan dan lingkup bisnis dari bank-bank dan grup perbankan.
3. Persyaratan dan peraturan-peraturan kehati-hatian (prudensial) yang
menekankan perlunya untuk mengidentifikasi berbagai tipe risiko yang dihadapi bank, dan
metode-metode untuk menjamin bahwa risiko-risiko tersebut dipantau dan dikendalikan
secara tepat. Pengembangan dan penekanan (enforcement) dari pengawas atas pedoman-
pedoman prudensial merupakan bagian integral dari proses ini. Pedoman tersebut harus
meliputi kecukupan modal (capital adequacy), cadangan kerugian kredit (loan loss
reserves), konsentrasi asset, likuiditas, manajemen risiko dan kontrol-kontrol intern, yang
dapat bersifat kuantitatif dan/atau kualitatif.
4. Metode pengawasan bank yang berkesinambungan (on-going banking
supervision) Prinsip-prinsip ini menyatakan bahwa baik pengawasan langsung (on-site)
maupun tidak langsung (off-site) harus digunakan. Yang terakhir meliputi analisa atas
laporan-laporan dan kondisi dari bank-bank dan entitas terafiliasinya atas dasar
konsolidasi dan juga individual. Disini ditekankan pentingnya validasi data secara
independen dan perlunya berhubungan dengan manajemen bank untuk menjamin bahwa
operasi bank dimengerti sepenuhnya.
5. Persyaratan-persyaratan informasi Setiap bank harus memelihara catatan-catatan
yang memadai yang dihasilkan sesuai dengan kebijakan akunting yang konsisten sehingga
memungkinkan pengawas untuk memperoleh pandangan yang obyektif atas kondisi
keuangan dan profitabilitas bank. Bank-bank dan harus menerbitkan laporan keuangan
berkala yang secara obyektif mencerminkan kondisinya.
6. Wewenang formal pengawas Pengawas harus memiliki wewenang yang memadai
untuk melakukan tindakan korektif jika bank gagal memenuhi standar-standar prudensial,
atau jika kepentingan para deposan terancam.
7. Perbankan lintas batas (cross-border banking) Prinsip-prinsip ini menilai peranan
supervisor negara asal (home) dan setempat (host), dan menekankan perlunya
pengawasan secara konsolidasi atau global dan wewenang untuk bertukar membagi
informasi dengan para pengawas lainnya.
Sumber: BIS, The Core Principles for Effective Banking Supervision, September 1997

Approach)

Faktor modal sangat vital bagi kelangsungan usaha bank. Sejalan dengan itu,
pada awal 1996 the Basle Committe telah mengembangkan suatu model
pemenuhan modal berdasarkan risiko pasar (market risk capital requirements).
Model 1996 ini merupakan penyempurnaan dari model 1988 yang selama ini telah
diterapkan secara internasional dan dikenal sebagai pendekatan ‘asset berisiko’
(risk asset approach) yang hanya mencakup perhitungan terhadap risiko kredit.
Implementasi model ‘baru’ tersebut direncanakan pada akhir tahun 1997.

Komponen mendasar dari kerangka ini adalah adanya kesempatan bagi bank-bank
untuk menggunakan model-model value-at-risk (VaR) sebagai dasar perhitungan
market-risk capital. VaR mengukur kerugian atas suatu portofolio untuk tingkat
keyakinan (level of confidence) tertentu jika terjadi pergerakan negatif dalam

 S. Batunanggar, May 1998 3


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

harga-harga pasar. Pada dasarnya, VaR dihitung dengan metode statistik seperti:
variance-covariance, simulasi historis, dan simulasi Montecarlo. Untuk menguji
kinerja model ini digunakan suatu tehnik yang ini disebut sebagai backtesting
techniques yakni perbandingan antara angka-angka yang dihasilkan oleh VaR
dengan keuntungan dan kerugian aktual. VaR merupakan suatu alat yang sangat
berguna, tetapi bukan berarti tanpa kelemahan, karena itu harus didukung
dengan tehnik-tehnik manajemen risiko lainnya.

Sejalan dengan perkembangan konsep tersebut, akhir-akhir ini praktek penilaian


risiko bank juga makin mengarah pada pendekatan nilai pasar (mark-to-market
framework)vii. Sebagai contoh, RiskMetrics dan CreditMetrics yang diciptakan JP
Morgan memberikan metodologi, data dan software untuk mengevaluasi risiko-
risiko kredit secara individual, atau seluruh fortofolio. Penciptanya
mengantisipasi bahwa produk ini akan mengawali suatu cara pemikiran baru
tentang risiko kredit. CreditMetrics ditujukan untuk menghasilkan suatu ‘risk-
based capital allocation system’ dan suatu ‘risk-based credit pricing model’ yang
pada intinya memungkinkan bank untuk mendeteksi pengaruh konsentrasi dan
diversifikasi dalam portofolio kredit. Berikut ini akan dibahas secara ringkas
suatu model pengawasan berdasarkan risiko yang akan diadopsi oleh Bank of
England (BoE).

Pengawasan Berdasarkan Risiko Model BoE


Perkembangan industri perbankan dan beberapa pengalaman pahit seperti kasus
kolaps-nya Barings Bank telah mendorong Bank of England (BoE) untuk
menyempurnakan strategi dan sistem pengawasan bank yang dilakukannya agar
mampu melaksanakan tanggungjawabnya secara lebih efektifviii. Evaluasi selama
satu tahun atas aktivitas BoE oleh Arthur Andersen telah menghasilkan suatu
‘consultation paper’, A Risk-Based Approach to Supervision, yang diterbitkan
pada bulan Maret 1997 laluix. Pendekatan ‘baru’, yang direncanakan untuk
dilaksanakan pada tahun ini, ditujukan untuk mendeteksi risiko-risiko yang
melekat (inherent risks) dalam suatu kelompok bank di tingkat pengawas.

Pendekatan tersebut dinamakan ‘RATE’ (Risk Assessment, Tools of supervision


and Evaluation) yang didasarkan pada dua prinsip. Pertama, pengawasan harus
dilakukan pada bidang-bidang tertentu secara konsisten; dan kedua, manajemen
bank-bank harus menyadari mengapa suatu alat atau tehnik digunakanx. Dengan
menghubungkan alat pengawasan dengan bidang-bidang risiko tertentu, BoE
berharap dapat mencapai kedua sasaran tersebut (lihat Diagram 1).

 S. Batunanggar, May 1998 4


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

Sebenarnya, selama ini


pendekatan BoE dalam
pengawasan telah berdasarkan
risiko (risk-based). Program
pengawasan tahunan dan Risk asessment using
nine evaluation factors

prioritisasi dari kegiatan


devise supervisory action plan; formal
feedback to banks (and other regulations)

pengawasan yang tercakup di


dalamnya telah didasarkan pada Risk
suatu penilaian terhadap besar Assesment
dan tingkat risiko yang dihadapi
oleh suatu bank. Pada dasarnya,
formula baru merumuskan Tools of
supervision
secara lebih eksplisit hal-hal Evaluation
yang implisit dalam sistem lama. Stocktake of supervisory

Dan meskipun BoE bersikukuh action and results


Execute supervisory plan
including tools of supervision
(ensuring appropriate
bahwa dia telah memiliki semua remedial action)

informasi pengawasan yang


diperlukan untuk beroperasi
Normal Supervisory practices
berdasarkan suatu dasar ‘risiko-
yang-disesuaikan’ (risk-adjusted
Diagram RATE
basis), namun pentingnya Sumber: A Risk Based Approach to Supervision (the RATE framework),
Aconsultative paper by theBank of England, March 1997
kunjungan langsung (on-site)
dalam formula Rate tampaknya
menandai suatu perubahan
kearah pengumpulan informasi
secara langsung ketimbang
bersandar pada laporan-laporan
rutin.

BoE mengakui bahwa “beban tugas pengawasan aktif selama fase penilaian risiko
akan terpaksa dilakukan secara sangat selektif untuk kelompok-kelompok bank
besar dan beragam (diverse)”. Dengan berlakunya formula Rate, ‘UK-
incorporated banks’ akan menghadapi penilaian risiko secara formal sekali
selama periode pengawasan yang ditetapkan, yang dilanjutkan dengan
serangkaian penilaian informal. Setiap audit risiko formal meliputi sembilan
faktor evaluasi, mulai dari ‘exposure’ risiko pasar hingga efektivitas manajemen.

Karena itu, komunikasi merupakan suatu ‘kata-kunci’ bagi pengawas. BoE lebih
menekankan pada pemeriksaan struktur manajemen bank daripada legalitas
organisasinya, sehingga mereka dapat memahami ukuran (benchmark) yang tepat
untuk menilai efektivitas manajemen risiko dari suatu bank secara lebih baik.
Setelah setiap penilaian selesai pengawas akan mengkomunikasikan temuannya
dalam surat pembinaan kepada dewan direksi bank. Surat tersebut memuat
pokok-pokok masalah yang perlu diperhatikan dan merinci tindakan perbaikan
(remedial action) yang diinginkan BoE untuk dilakukan bank.

Jumlah dan insentisitas pengawasan akan tergantung pada profil risiko yang
diperkirakan dari suatu bank. Lamanya periode pengawasan adalah krusial untuk
dikemukakan. Meskipun periode pengawasan standar akan berlangsung selama
setahun, bank yang memiliki profil risiko tinggi akan menghadapi suatu siklus
pengawasan baru untuk setiap enam bulan. Sebaliknya, suatu bank yang memiliki

 S. Batunanggar, May 1998 5


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

profil risiko yang sangat rendah, mungkin hanya akan mendapat kunjungan resmi
dari pengawas sekali dua tahun. Kunjungan-kunjungan insidental akan tetap
dilakukan untuk menjaga agar informasi pengawasan up to date.

Formula Rate tidak semuanya bersifat ‘keras’. Jika menemukan adanya bidang-
bidang penting yang dinilai dibawah-standar, BoE memiliki tiga pilihan yang
tersedia: pertama, meminta bank untuk meningkatkan modal, kedua,
membatasi bank dari kelompoknya, dan ketiga, dalam kasus ekstrim, mencabut
izin bank dengan Financial Services Acts.

Proses penilaian risiko didasarkan lima faktor kuantitatif dan empat faktor
kualitatif. Pada sisi kuantitatif, ukuran-ukuran yang digunakan meliputi capital,
assets, market risk, earnings and liabilities - yang secara kolektif dikenal sebagai
CAMEL. Camel akan dikombinasikan dengan suatu ukuran risiko bisnis yang
dihitung secara kualitatif untuk menetapkan profil risiko bisnis bank. secara
menyeluruh.

Exposure risiko bisnis akan dihitung berdasarkan penilaian kualitatif dari standar-
standar kontrol yang dimiliki bank. Faktor kualitatif yang dinilai merupakan
aspek-aspek internal organisasi bank yang meliputi internal kontrol, organisasi
dan manajemen (COM) disamping faktor bisnis (B) yang merupakan evaluasi atas
lingkungan eksternal organisasi bank.

Kualifikasi unit bisnis yang masuk dalam penilaian risiko adalah yang memiliki
kontribusi lebih dari lima persen dari laba kotor grup, menggunakan lebih dari
lima persen modal wajib bank, atau memiliki ‘exsposure’ lebih dari sepuluh
persen dari modal bank. Jika unit-unit bisnis adalah bersifat non-keuangan – yang
berada dibawah pengawasan lembaga lainnya – BoE akan mempertimbangkan
prosedur pengawasan tersebut sewaktu menggunakan formula Rate.

Proses penilaian risiko oleh BoE meliputi delapan langkah seperti digambarkan
dalam Diagram 2 berikut :

 S. Batunanggar, May 1998 6


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

Diagram 2. Langkah-langkah Penilaian Risiko

Apakah terdapat suatu grup


Jika Tidak Jika Ya

Laksanakan Laksanakan
RATE RATE
Secara Baik secara
individual konsolidasi

Langkah 1 Pertimbangkan unit-unit yang signifikan


dengan mengggunakan pedoman
Qualitative Consolidated Supervision

Langkah 2 Dapatkan informasi pra-kunjungan termasuk


dengan menghubungi otoritas pengawas lain

Langkah 3 Rencanakan dan susun tugas pemeriksaan

Langkah 4 Laksanakan pemeriksaan

Laksanakan penilaian risiko formal


Langkah 5 menggunakan faktors CAMELB dan COM

Langkah 6 Persiapkan program pengawasan

Langkah 7 Yakinkan konsistensi

Langkah 8
Umpan-balik formal kepada bank
(dan otoritas pengawas lain)

Sumber: A Risk Based Approach to Supervision (the RATE framework),


A Consultative Paper by the Bank of England, March 1997

Apa Manfaat Pendekatan PBR?

Setidaknya, terdapat tujuh buah manfaat yang dapat dipetik dari pendekatan
baru tersebut yakni sebagai berikut :

1. Dengan penetapan kerangka yang lebih sistematis dan meluangkan waktu


yang lebih banyak untuk kunjungan bank, BoE (baca: pengawas) akan
memperoleh pemahaman yang lebih baik atas kualitas manajemen,
karakteristik bisnis dan risiko-risiko yang dihadapi bank. Hal ini akan

 S. Batunanggar, May 1998 7


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

meningkatkan konsistensi bank untuk menjabarkan tugas-tugas pengawasan


dan menilai secara lebih sistematis apakah bank senantiasa memenuhi
kriteria minimum otorisasi.

2. Kedua, bank-bank akan memperoleh manfaat dari pengawasan BoE yang lebih
terfokus dan dari alat-alat pengawasan yang bersasaran lebih spesifik pada
bidang-bidang yang berisiko terbesar dan mendapat perhatian utama dalam
bank-bank individual.

3. Hubungan yang lebih eksplisit dari alat-alat pengawasan dengan bidang-


bidang risiko atau perhatian memampukan (enable) manajemen bank-bank
untuk lebih memahami mengapa suatu alat digunakan. Begitu manajemen
bank dan para pengawas telah memiliki persepsi yang sama bahwa risiko-
risiko telah diidentifikasi dengan tepat dan bahwa sistem-sistem kontrol yang
memadai dan efektif telah ditetapkan, diharapkan tugas-tugas pengawasan
yang dijalankan akan bermanfaat bagi kedua belah pihak.

4. Baik BoE dan manajemen bank harus mencurahkan sumberdaya atas penilaian
risiko awal. Secara khusus, BoE akan perlu meluangkan lebih banyak waktu
kunjungan (on-site) mendiskusikan masalah-masalah dengan manajemen
senior bank.

5. BoE akan dapat memutuskan secara lebih tepat intensitas pengawasannya


dengan pemahaman yang lebih baik atas profil risiko bank. Intensitas
pengawasan dan besarnya tindakan pengawasan akan meningkat sejalan
dengan penilaian profil risiko suatu bank. Satu keuntungan hal ini bagi bank
adalah biaya pengawasan -- dalam bentuk waktu manajemen atau biaya-
biaya langsung (seperti jasa akuntan) -- akan lebih rendah bagi bank dengan
profil risiko yang lebih rendah. Sebaliknya, suatu bank yang berisiko tinggi
akan menanggung biaya yang lebih tinggi.

6. Dari perspektif BoE, penggunaan sumberdaya akan lebih efisien karena


alokasi sumberdayanya berdasarkan risiko dimana upaya pengawasan yang
dicurahkan akan lebih besar kepada bank-bank yang berisiko tinggi. Hal ini
memampukan bank BoE untuk mentargetkan dan memprioritaskan
penggunaan sumberdaya spesialis, seperti Traded Market and Review Teams,
secara lebih efektif.

7. Lebihlanjut, pemahaman yang lebih baik atas profil risiko bank akan
membantu BoE dalam memfokuskan tindakan-tindakan pengawasannya dan
dalam menetapkan tindakan perbaikan (remedial actions) yang dibutuhkan.
Jika tindakan perbaikan tidak segera dilakukan bank dan tidak memuaskan
BoE, maka tindakan lainnya dapat dilakukan seperti peningkatan rasio modal
bank, atau dalam kasus ekstrim peninjauan kembali perizinan bank.

Lalu, di Indonesia sendiri bagaimana konsep dan praktek PBR tersebut? Berikut
ini akan diuraikan secara ringkas mengenai kebijakan dan pendekatan
pengawasan bank yang diadopsi oleh BI yang berwenang sebagai pengawas dan
pembina sistem perbankan Indonesiaxi.

 S. Batunanggar, May 1998 8


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

Sekilas mengenai Perkembangan Kebijakan Perbankan di Indonesia


Sebelum membahas model pengawasan BI, ada baiknya disinggung sekilas
mengenai perkembangan kebijakan perbankan di Indonesia. Kebijakan
pengawasan bank di Indonesia telah berevolusi sejalan dengan perkembangan
berbagai kebijakan moneter dan perbankan yang telah diimplementasikan oleh
pemerintah; yang dapat dibagi kedalam enam periode utamaxii. Yang pertama,
periode rehabilitasi ekonomi dan stabilisasi moneter (1968-1972); kedua,
stabilisasi moneter (1973-1983); ketiga, liberalisasi perbankan pertama (1983-
1988) dengan kebijakan deregulasi Juni (Pakjun) 1983xiii; keempat, liberalisasi
perbankan kedua (1988-1990) dengan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) 1988xiv;
kelima, regulasi perbankan prudensial (1991-1997) dimana diberlakukan Paket
Kebijakan Februari (Pakfeb) 1991 serta paket-paket lanjutannya; dan keenam
reformasi perbankan dan stabilisasi moneter (1997-sekarang). Tulisan ini tidak
bermaksud untuk membahas kebijakan-kebijakan tersebut diatas satu persatu.
Yang lebih difokuskan disini adalah kebijakan regulasi prudensial yang diterapkan
dalam periode kelima.

Sebagai langkah adaptif dan antisipatif terhadap berbagai masalah aktual dan
potensial dalam sistem perbankan sebagai dampak dari kebijakan deregulasi
perbankan kedua pada dekade 80an, pemerintah dalam dekade 90an
memperkuat regulasi sistem perbankan. Pada bulan Februari 1991 pemerintah
menetapkan paket kebijakan perbankan berdasarkan prinsip kehati-hatian
(prudential banking policies) mengacu pada norma-norma internasional yang
ditetapkan oleh the Basle Committee on Banking Supervision, the Bank for
International Settlements (BIS). Pada intinya, kebijakan prudensial tersebut
meliputi penerapan kewajiban pemenuhan modal yang diukur dengan suatu 'risk-
weighted capital adequacy ratio' yang diadopsi dari model the Basle Committee,
penetapan penyisihan minimum kerugian aktiva produktif (loan-loss provisions)
dan batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit) yang mengatur
eksposur bank kepada peminjam individual dan pihak-pihak terafiliasi dengan
bank. Selanjutnya, sejak pertengahan tahun 1990-an BI menempuh strategi self-
regulatory banking dengan mewajibkan bank-bank untuk menyusun dan
melaksanakan sistem-sistem dan prosedur operasinya secara konsisten
berdasarkan acuan-acuan yang ditetapkan oleh BI.

Pengawasan Perbankan Model BI


Secara konseptual, sistem pengawasan yang diadopsi oleh BI adalah sama dengan
yang dimiliki oleh negara-negara yang telah maju seperti Amerika dan Inggris,
meskipun terdapat perbedaan-perbedaan tehnis dalam prakteknya. Pada
dasarnya, pengawasan yang dilakukan oleh BI dilakukan melalui dua metode.
Pertama adalah pengawasan (off-site supervision) yakni pengawasan terhadap
operasi bank melalui laporan-laporan yang wajib disampaikan oleh bank-bank
kepada BI. Yang kedua adalah pemeriksaan (on-site examination) yakni
penelitian setempat terhadap kegiatan bank yang dilakukan secara rutin dimana
frekuensi dan lama pemeriksaan tergantung pada kondisi dan masalah yang
dihadapi oleh masing-masing bank. Tugas-tugas supervisi off-site dan on-site
dilakukan secara simultan dan berkesinambungan. Tujuannya adalah untuk
mengecek kepatuhan bank-bank terhadap ketentuan yang berlaku, untuk

 S. Batunanggar, May 1998 9


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

memastikan bahwa tidak terdapat rekayasa atau kejahatan (fraud) dalam operasi
bank serta untuk menilai kinerja dan kondisi bank secara menyeluruh.

Dengan reorganisasi bidang pengawasan perbankan pada tahun 1994, unit kerja
pengawasan dengan unit kerja pemeriksaan yang sebelumnya terpisah
digabungkan kedalam satu atap yang dibagi menjadi beberapa urusan terkait
yang terdiri dari tim-tim pengawas (dedicated team). Masing-masing dedicated
team bertanggungjawab penuh atas pengawasan (termasuk pemeriksaan) dan
pembinaan terhadap beberapa bank. Pengawas berperan sebagaimana layaknya
seorang account officer bagi bank yangdiawasinya. Keuntungan dari struktur
seperti ini adalah bahwa tugas-tugas pengawasan dapat dilaksanakan secara
lebih efisien dan efektif. Dengan sistem ini, diharapkan masalah-masalah
potensial bank akan dapat diidentifikasi secara cepat sehingga tindakan-tindakan
korektif atas permasalahan bank pun seyogianya akan dapat dilakukan dengan
cepat pulaxv.

Pengawasan Prudensial Model BI

Sejalan dengan implementasi Pakfeb 1991, pengawasan bank di Indonesia oleh BI


mulai diarahkan ke pendekatan risiko. BI telah mengembangkan suatu sistem
yang mengacu pada sistem CAMEL (Capital, Asset Quality, Management,
Earnings, Liquidity) USAxvi. Dengan sistem ini, kondisi suatu bank dinilai secara
rutin Pada intinya, sistem CAMEL ini menghasilkan dua produk pengawasan yakni
perama, tingkat kesehatan bank; dan kedua, analisis kondisi dan permasalahan
bank. Sistem ini berfungsi sebagai suatu alat deteksi dini (early warning system)
atas masalah yang dihadapi bank baik yang aktual maupun potensial. Dengan
berhasilnya identifikasi masalah bank secara dini, kemudian dapat dilakukan
tindak lanjut pengawasan dan pembinaan bank yang diperlukan (cease and desist
order).

Dalam tahun-tahun terakhir, BI terus mengembangkan dan mengimplementasikan


pendekatan pengawasan berdasarkan risiko (risk-driven supervision). Penilaian
tingkat kesehatan bank yang baru -- yang mulai diberlakukan per April 1997 –
telah menetapkan secara lebih eksplisit mengenai penilaian manajemen risiko
bank. Berdasarkan model baru tersebut penilaian manajemen dibagi menjadi dua
aspek yakni manajemen umum dan manajemen risiko yang dinilai secara
kualitatifxvii.

Pada hakekatnya, penilaian manajemen umum merupakan evaluasi terhadap


efektivitas organisasi bank. Dalam hal ini, faktor-faktor yang dinilai meliputi
enam aspek yakni strategi/sasaran, struktur, sistem dan sumberdaya manusia,
kepemimpinan dan budaya kerja dari organisasi bankxviii. Sedangkan penilaian
manajemen risiko bank meliputi evaluasi terhadap enam aspek yaitu risiko
likuiditas, risiko pasar, risiko kredit, risiko operasional, risiko hukum dan risiko
pemilik dan pengurus.

Pada dasarnya, formula Camel BoE adalah sama dengan Camel-nya BI. Namun,
ditinjau dari komponen yang dievaluasi, terdapat dua perbedaan mendasar
antara keduanyaxix (lihat Tabel berikut).

 S. Batunanggar, May 1998 10


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

Tabel 1. Perbandingan antara CAMEL BoE dan BI


FAKTOR BoE BI
EVALUASI (”CAMEL + BCOM”) (“CAMEL”)
Faktor CAMEL: (5) CAEL: (4)
kuantitatif 1) Capital 1) Capital
2) Assets 2) Assets
3) Market Risk 3) Earning
4) Earning 4) Liquidity
5) Liabilities

Faktor Business and Manajemen: (2)


kualitatif Management (4) 1) Manajemen Umum (6)
1) Business (Strategi/Sasaran, struktur, sistem,
2) Internal Controls sumberdaya manusia, kepemimpinan,
3) Organisation budaya kerja
4) Management 2) Manajemen Risiko (6)
(Risiko likuiditas, risiko pasar, risiko kredit,
risiko operasional, risiko hukum, risiko
pemilik dan pengurus).

Pertama, dalam formula Camel terdapat dua faktor evaluasi yang berbeda
dimana dalam sistem BI M adalah manajemen dan L adalah likuiditas sedangkan
dalam sistem BoE M adalah market risk dan L adalah liabilities. Dalam sistem
BoE market risk dinilai secara kuantitatif bersama dengan empat faktor lainnya
(capital, assets, earning and liabilities). Sementara itu, sistem Camel BI
memasukkan faktor risiko pasar dalam aspek manajemen yang dinilai secara
kualitatif. Kedua, disamping penilaian kualitatif terhadap efektivitas fungsi-
fungsi manajemen dalam memanajemeni risiko, model BoE juga mencakup
penilaian terhadap lingkungan eksternal atau bisnis bank; sedangkan dalam
sistem Camel BI faktor bisnis tidak tercakup secara rinci.

Beberapa Masalah Pokok dalam Aplikasi PBR di Sistem Perbankan


Indonesia
Krisis ekonomi Indonesia memang tidak semata-mata disebabkan oleh
ketimpangan dalam sistem perbankan. Namun disadari bahwa berbagai masalah
yang dihadapi oleh sektor perbankan telah menjadi pemicu krisis tersebut.
Karena itu, pembenahan sistem perbankan merupakan salah satu kebijakan
prioritas sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi nasional. Sejalan dengan
itu, reformasi perbankan (banking reform) merupakan suatu tuntutan yang harus
segera dilaksanakan. Gubernur BI dalam salah satu sambutannya mengemukakan
bahwa terdapat empat pilar utama yang menjadi acuan dalam langkah-langkah
reformasi perbankan yang harus dilakukan. Pertama, meningkatkan pelaksanaan
prinsip kehati-hatian perbankan (prudential banking regulation); kedua,
memperkuat sistem pengawasan oleh Bank Indonesia; ketiga, menyempurnakan
ketentuan dan perangkat hukum perbankan; dan keempat, melaksanakan
program restrukturisasi kelembagaan bank (banking retructuring)xx.

Relevan dengan langkah-langkah reformasi perbankan tersebut -- khususnya pilar


kedua --, agaknya pengembangan dan implementasi PBR perlu dijadikan sebagai

 S. Batunanggar, May 1998 11


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

salah satu agenda pokok BI. Untuk itu, menurut hemat penulis, terdapat
beberapa masalah pokok yang penting untuk dipertimbangkan.

1. Pengembangan Metode Penilaian Risiko Formal Dengan pesatnya


perkembangan produk-produk perbankan seperti ‘derivatives’, maka risiko
pasar termasuk risiko kredit perlu dinilai secara lebih akurat. Untuk itu, perlu
dikembangkan metode-metode penilaian risiko-risiko bisnis bank secara
formal. Metode-metode tersebut perlu diperkenalkan dan disosialisasikan
tidak hanya untuk para pengawas tetapi juga kepada manajemen dan pejabat
bank sehingga mereka dapat menggunakannya dalam menilai dan
memanajemeni risiko.

2. Pengembangan Alat-alat Pengawasan (tools of supervision). Sejalan


dengan pengembangan alat penilaian risiko dimaksud, pengembangan alat-
alat pengawasan (tools of supervision) merupakan upaya lainnya yang perlu
dilakukan. Tanpa dukungan sistem dan alat pengawasan yang memadai adalah
sulit untuk mengidentifikasi apalagi menilai risiko-risiko yang melekat dalam
operasi bank secara efektif. Sebagai perbandingan, BoE menggunakan lima
alat-alat pengawasan yaitu :

Reporting Accountants Report -- suatu laporan yang dipersiapkan oleh


akuntan (biasanya auditor eksternal bank) yang menilai sistem-sistem
internal dan kecukupan serta efektivitas kontrol bank. Dalam kasus
perbankan Indonesia, laporan akuntan publik lebih ditekankan pada audit
keuangan.

Traded Markets Team Visits – suatu kunjungan oleh staf ahli treasury BoE
yang memfokuskan pada bidang treasury bank dengan penekanan pada
manajemen risiko, sistem-sistem dan kecukupan control. Kunjungan diikuti
dengan surat pembinaan yang memuat bidang-bidang yang mendapat
perhatian khusus dan tindakan perbaikan yang diperlukan.

Review Team Visit – suatu kunjungan oleh staf ahli BoE dengan fokus pada
penilaian sistem-sistem dan kecukupan kontrol di bidang lainnya seperti
kredit.

Prudential Meetings – pertemuan dengan manajemen senior bank untuk


mendiskusikan kinerja keuangan bank, bisnis dan profil risikonya, strategi
dan lingkungan pasar yang lebih luas dimana dia beroperasi.

Ad hoc Meetings – pertemuan di BoE atau di bank untuk mendiskusikan


perkembangan bisnis atau rencana-rencana dan masalah-masalah yang
timbul dari proses penilaian risiko.

Dalam kaitan ini, tampaknya perlu bagi BI untuk lebih mengembangkan tim-
tim pengawas spesialis. Perkembangan industri perbankan khususnya di
bidang treasury dan kredit dengan berbagai inovasi produk-produk derivatif
tentunya memerlukan pengawas spesialis yang memahami bidang tugasnya
secara profesional.

 S. Batunanggar, May 1998 12


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

3. Adopsi Sistem dan Metode Pengawasan Internasional secara Lebih Luas BI


senantiasa berupaya untuk memperkuat sistem pengawasan bank di
Indonesia. Adopsi atas prosedur dan sistem pengawasan bank internasional
yang ditetapkan oleh the Basle Committee perlu dilaksanakan secara lebih
luas dan konsisten sebagaimana dinyatakan oleh Gubernur dan Direksi BI
dalam berbagai kesempatan akhir-akhir ini. Dalam mengadopsi sistem dan
metode tersebut perlu dipertimbangkan kondisi sistem perbankan Indonesia.
Dalam beberapa hal, tentunya perlu dilakukan penyesuaian (adjustment) agar
implementasinya efektif. Karena itu, dipandang perlu untuk meningkatkan
kegiatan penelitian, survey, studi banding khususnya di bidang perbankan
baik baik cakupan, kuantitas maupun kualitasnya, untuk dapat menghasilkan
kebijakan-kebijakan, sistem-sistem dan metode-metode pengawasan bank
yang teruji, obyektif dan berorientasi pasar (market oeriented). Hal ini
sejalan dengan research-based strategy BI yang perlu diimplementasikan
secara nyata.

4. Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM). Sistem bukanlah segalanya.


Sistem sebaik dan secanggih apapun bukanlah obat mujarab atau panacea.
Dia ibarat senjata – meski ‘sakti mandraguna’ - yang takkan bisa mengenai
sasaran apalagi melumpuhkan musuh dengan sendirinya. Sistem atau
kebijakan yang handal akan percuma jika hanya jadi pajangan atau sekedar
lip service belaka. Agar efektif dalam mencapai sasaran, suatu sistem
mensyaratkan kemampuan, kesungguhan (komitmen) dan konsistensi dari
para penggunanya. Manusia – the man behind the gun yang sering terabaikan –
merupakan faktor terpenting dari semuanya. Pendekatan PBR tidak hanya
memerlukan para pengawasan yang benar-benar memahami secara mendalam
karakteristik dan profil usaha bank termasuk penggunaan metode dan alat-
alat pengawasan yang diperlukan, tetapi juga mensyaratkan para pengawas
yang memiliki suatu professional judgement. Untuk itu, pengembangan
pengetahuan dan keterampilan para pengawas melalui pendidikan, pelatihan,
lokakarya dan sejenisnya tentunya harus dilakukan secara terencana dan
kontinu. Sejalan dengan itu, pengembangan SDM sektor perbankan juga perlu
terus ditingkatkan sehingga manajemen bank-bank diisi oleh SDM yang
kompeten dan bertanggung jawab (fit and proper).

5. Pembinaan Moral dan Law Enforcement Selanjutnya, perlu lebih disadari


bahwa para bankir dan pengawas adalah pihak-pihak yang dalam profesinya
bermain dalam suatu ‘arena berisiko tinggi’. Karena itu, kesadaran dan
ketaatan mereka terhadap kode etik profesinya masing-masing harus lebih
disosialisasikan dan ‘dipaksakan’ (enforce) agar terlaksana secara konsisten
dan konsekwenxxi. Untuk membentengi sistem perbankan dari momok kolusi
yang berbahaya itu, tidak hanya diperlukan ketentuan-ketentuan sebagai
sistem pengaman tetapi yang lebih penting adalah pembinaan moral dan ‘law
enforcement’! Dalam hal ini, diperlukan budaya organisasi yang mendukung
dan komitmen penuh serta kepemimpinan yang efektif dari manajemen.

6. Peningkatan Transparansi dan Komunikasi Diantara karakteristik utama


dari pendekatan PBR adalah perlunya transparansi dan komunikasi yang
efektif antara pengawas dengan bank. Dalam hal ini, penyamaan persepsi
atas metode atau alat pengawasan yang digunakan dan pembinaan komunikasi
yang baik diantara pengawas dan bank sangat penting untuk menjamin

 S. Batunanggar, May 1998 13


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

efektivitas dan obyektivitas penilaian. Dalam kenyataannya, untuk


mendapatkan kedua hal ini bukanlah hal yang mudah. Penyamaan persepsi
dan pemahaman atas sesuatu sistem atau model baru sering mensyaratkan
atau reorientasi pola pikir dan perubahan prilaku baik organisasi maupun
individunya. Untuk ini perlu suatu proses pengenalan, sosialisasi dan
institusionalisasi strategi dan sistem baru secara intensif dan
berkesinambungan.

7. Pengembangan Organisasi Pengawasan Bank Secara alamiah, perubahan-


perubahan mendasar dalam suatu tatanan (ekosistem) menuntut reformasi
dan reorientasi dari sistem-sistem tidak terkecuali subsistem-subsistem dan
para individu yang ada di dalamnya. Ini menjadi keharusan kalau ingin tetap
survive dalam lingkungan global yang terus bergolak. Penyesuaian atas kondisi
internal dan eksternal organisasi merupakan prasyarat utama efektivitas
suatu strategi dan sistem. Evaluasi yang kontinu dan pemahaman yang
mendalam atas kedua hal itu amatlah vital. Perubahan cepat yang telah dan
akan terus terjadi dalam sistem perbankan menuntut respons yang cepat -
kalau tidak ‘instant’ - dari otoritas pengawas. Dalam hal ini, reorganisasi bisa
menjadi salah satu langkah yang perlu dilakukan.

Penutup
Seperti ungkapan dalam kutipan di depan, risiko selalu berdimensi ganda. Satu
sisi adalah ancaman dan sisi lainnya merupakan peluang. Pada hakekatnya
keduanya memang pasangan yang sejati. Karena itu, tiada peluang tanpa
ancaman, ‘no gain no pain’!. Bercermin pada aksioma ini, krisis ekonomi dan
moneter yang melanda Indonesia, di satu sisi adalah pil terpahit yang harus kita
rasakan. Namun, di sisi lain dia telah membuka peluang baru dan kesadaran
(baca: keharusan) semua pihak untuk melakukan pembaharuan secara total yang
sekian lama terbelenggu. Dalam hal ini, pengembangan PBR sebagai bagian dari
reformasi perbankan merupakan suatu peluang sekaligus tantangan.

Akhirnya, para pengawas bank itu ibarat pendekar, perlu selalu diisi dengan
berbagai ilmu dan senjata yang sesuai dengan kondisi medan tempurnya. Dia
juga perlu terus berlatih agar mampu mengenali segala kekuatan dan
kelemahannya dirinya dan juga lawannya dengan baik. Kalau peribahasa Melayu
mengatakan : “tak kenal maka tak sayang”, peribahasa Cina akan mengatakan :
“tak kenal maka tak menang”. Karena itu, falsafah Cina klasik berikut ini relevan
untuk dijadikan refleksi. Sun Tzu, sang maha guru strategi sekaligus panglima
perang Cina legendaris, berkata :

“Orang yang mengenal diri dan musuhnya


takkan pernah menghadapi risiko besar dalam pertempuran;
Orang yang mengenal dirinya tapi tak mengenal musuhnya
kadang kala menang dan kadang kalah;
Orang yang tak mengenal baik dirinya sendiri maupun musuhnya
akan selalu menghadapi risiko besar dalam setiap pertempuran”.

 S. Batunanggar, May 1998 14


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

End Notes
iEllis,
Ross, "Prudential Supervision of Financial Institutions", Reserve Bank of Australia
Bulletin.

iiNegara-negara Scandinavia merupakan contoh dimana suatu "mega regulator" diluar


bank sentral yang mengawasi bank-bank, perusahaan asuransi, perusahaan sekuritas, dan
manajer investasi (fund managers). Canada juga mengarah ke jalan ini dengan 'the Office
of Superintendent of Financial Institutions (OSFI) yang mengawasi bank-bank dan
perusahaan asuransi. Singapura merupakan salah satu contoh bank sentral yang
bertindak sebagai "mega regulator". Di Indonesia sendiri, bank sentral diberi wewenang
untuk mengawasi bank-bank sedangkan lembaga-lembaga keuangan bukan bank berada
dibawah pengawasan Departemen Keuangan.

iiiSebagai
contoh, satu kantor cabang bank Australia di New York dengan sekitar seratus
staff mungkin dikunjungi oleh tim beranggotakan sepuluh pemeriksa dengan waktu
selama tiga minggu. Bank-bank besar US memiliki pemeriksa yang secara permanen
menetap di bank tersebut.

ivIdenya adalah agar semua orang akan mengetahui informasi sebanyak yang diketahui
oleh bank sentral, sehingga mestinya tidak ada alasan khusus untuk mengkambing-
hitamkan bank sentral jika suatu bank mendapat kesulitan. Masalahnya adalah bahwa
menilai stabilitas bank secara periodik bukanlah tugas yang mudah bagi deposan yang
tidak terampil. Namun demikian, terdapat para pengamat professional seperti badan-
badan pemeringkat (rating agencies), analis pasar modal, dan 'financial press' yang
melakukan penilaian untuk publik atas kondisi bank.

vThe Basle Committee on Banking Supervision dibentuk oleh Gubernur bank sentral negara-
negara Group Ten di tahun 1975. Komite ini beranggotakan wakil-waki senior dari otoritas
pengawasan dan bank-bank sentral dari Belgia, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang,
Luxemburg, Belanda, Swedia, Switzerland, Inggris dan Amerika Serikat. Komite biasanya
bertemu di the Bank for International Settlements (BIS) di Basle, Swiss dimana Sekretariat
berkedudukan secara permanen.

viBank for International Settlements, The Basle Committee on Banking Supervision, The
Core Principles for Effective Banking Supervision, September 1997.

viiAnon. (1997), ‘CreditMetrics: a new era for credit-risk management?, Financial


Derivatives, April 3, 1997 Issue 63.

viiiBatunanggar,
S., “Risk-Based Supervision: Suatu Tinjauan terhadap Model Pengawasan
Bank of England”, Majalah Intern Bank Indonesia, Gema Korps, Februari 1998.

Bank of England (1997), ‘A Risk Based Approach to Supervision (the RATE framework),
ix

A Consultative Paper by the Bank of England, March 1997.

xAnon. (1997), ‘Bank moves toward risk-based supervision’, Financial Derivatives, April 3,
1997 Issue 63.

 S. Batunanggar, May 1998 15


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

xiBerdasarkan pengamatan penulis, publikasi tulisan atau hasil penelitian mengenai sistem
dan pendekatan pengawasan bank di Indonesia relatif sangat terbatas terutama jika
dibandingkan dengan kondisi di negara-negara maju. Umumnya, materi relevan yang
tersedia hanya berupa kebijakan-kebijakan pengawasan bank yang tertuang dalam
berbagai peraturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh BI.

xiiBatunanggar, S. "Strategic Management in Action: The Case of Bank Indonesia", MBA


Dissertation, School of Management and Finance, University of Nottingham, England
1996, page 21-23. Sebelumnya penulis menganalisis dan membagi perkembangan
kebijakan tersebut dalam lima periode utama disertai dengan pokok-pokok kebijakan dan
tujuannya beserta faktor-faktor kunci yang mendasarinya.

xiiiPakjun
1983 berintikan pembebasan suku bunga dan penghilangan pagu kredit serta
penerapan instrumen moneter tidak langsung.

xivPakto1988 pada intinya meliputi kebijakan penurunan likuiditas minimum (reserve


requirements dari 15% menjadi 2%, pembukaan kembali lisensi bagi bank umum dan
bank campuran, dan pemberian izin bagi BUMN untuk menyimpan 50% dana jangka
pendeknya di bank umum swasta selain bank BUMN.

xvPandangan kontra melihat adanya masalah potensial dalam fungsi kontrol. Alasannya
cukup sederhana sekaligus klasik. Kembali ke salah satu prinsip dasar pengawasan,
dimana harus ada pemisahan (segregation) antara fungsi pengawasan (off-site) dengan
fungsi pemeriksaan (on-site). Sebaliknya, kelemahan sistem pengawasan yang terpisah ini
adalah adanya masalah efisiensi, koordinasi dan integrasi. Tetapi masalah ini bukan
menjadi fokus dari tulisan ini.

xviMontgomery, John, The Indonesian Financial System: Its Contribution to Economic


Performance, and Key Policy Issues, Working Papers, International Monetary Fund, April
1997.

xviiSurat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/11/KEP/DIR tanggal 30 April 1997
tentang Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.

xviiiBatunanggar,S.,”Analisis Organisasi: The Seven Ss of McKinsey Revisited”, artikel,


belum/tidak dipublikasikan. Secara konseptual, model penilaian manajemen umum bank
oleh BI mengacu pada alat analisis organisasi yang populer dikenal sebagai the seven Ss
framework of McKinsey – srategy, structure, systems, staffs, skills and shared values yang
(Waterman et.al.,1980).

xixBatunanggar, S., “CAMEL BoE dan BI: Suatu Perbandingan”, Majalah intern Bank
Indonesia, Gema Korps, Februari 1998.

xxSambutan Gubernur BI dalam Diskusi Struktur dan Kebijakan Industri Perbankan


Indonesia Pasca Tahun 2000, disampaikan oleh Direktur BI Achwan, SE, MA,
Pengembangan Perbankan, Edisi No. 70 Maret-April 1998.

xxBatunanggar,S,“Bank Mismanagement”, Majalah Intern Bank Indonesia, Gema Korps,


Desember 1992.

 S. Batunanggar, May 1998 16


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

 S. Batunanggar, May 1998 17


Risk-based Supervision: Konsep, Model dan Masalah Pokok dalam Aplikasinya di Indonesia

Referensi
1. Anon., ‘Bank moves toward risk-based supervision’, and ‘CreditMetrics: a new era for
credit-risk management?, Financial Derivatives, April 3, 1997 Issue 63.
2. Bank of England, ‘A Risk Based Approach to Supervision (the RATE framework), A
Consultative Paper by the Bank of England, March 1997; and ‘A Risk Based Approach
to Supervising Foreign Exchange and Other Market Risk’, July 1997.
3. __________,‘Basic Principles of Banking Supervision’, Handbook in Central Banking,
Centre for Central Banking Studies, May 1996.
4. __________,’The Objectives, Standards and Process of Banking Supervision’,
February 1997.
5. Bank Indonesia, berbagai kebijakan dibidang perbankan.
6. Bank for International Settlements, The Basle Committee on Banking Supervision,
berbagai publikasi menyangkut pengawasan bank, capital accord dan risk
management, Dokumen No. 12a (July) 1994 s/d No. 37 (April 1998).
7. Batunanggar, S.,“Pengantar Organisasi dan Manajemen Bank”, Materi Kursus
Pengawas Bank I, Bank Indonesia, Juni 1998, tidak dipublikasikan.
8. __________,“Risk-Based Supervision: Suatu Tinjauan terhadap Model Pengawasan
Bank of England”, dan “CAMEL BoE dan BI: Suatu Perbandingan, Majalah Intern Bank
Indonesia”, Gema Korps, Februari 1998.
9. __________,”The Tao of Organization: Suatu Tinjauan Filosofis tentang Organisasi”,
Majalah Intern Bank Indonesia, Gema Korps, Juni 1997; dan “Analisis Organisasi: The
Seven Ss of McKinsey Revisited”, artikel, belum/tidak dipublikasikan.
10. __________,"Strategic Management in Action: The Case of Bank Indonesia", MBA
Dissertation, School of Management and Finance, University of Nottingham, England
1996.
11. __________,“Bank Mismanagement”, Majalah Intern Bank Indonesia, Gema Korps,
Desember 1992.
12. Board of Governor of the Federal Reserve System, Division of Banking Supervision
and Regulation, ’Trading and Capital-Market Activities Manual, February 1998; and
‘Commercial Bank Examination Manual’, May 1995.
13. Dale, Richard, International Banking Deregulation, the Great Banking Experiment,
Blackwell Publishers, 1992.
14. Gubernur BI, ‘Sambutan pada Acara Pembukaan Sekolah Staf dan Pimpinan Bank
Angkatan ke-18’, 13 April 1998 dan Sambutan dalam Diskusi Struktur dan Kebijakan
Industri Perbankan Indonesia Pasca Tahun 2000, disampaikan oleh Direktur BI,
Achwan, Pengembangan Perbankan, Edisi No. 70 Maret-April 1998.
15. Hall, Maximilian J.B, Handbook of Banking Regulation and Supervision, Woodhead-
Faulkner, 1989.
16. Montgomery, John, ‘The Indonesian Financial System: Its Contribution to Economic
Performance, and Key Policy Issues’, Working Papers, International Monetary Fund,
April 1997.
17. Reserve Bank of Australia, berbagai artikel mengenai pengawasan bank dan
perbankan dalam Reserve Bank of Australia Bulletin: Edisi December 1997, October
1997, Otober 1996 dan September 1996.

 S. Batunanggar, May 1998 18

You might also like