You are on page 1of 16

http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/03/definisi-revitalisasi.

html

DEFINISI REVITALISASI
Diposkan oleh Caray Label: Artikel

Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup,
akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses
revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi
harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat)
(Danisworo, 2002). Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja,
tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk
melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar ikut serta
untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat
tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas (Laretna, 2002)

TEORI REVITALISASI DAN RANCANG KOTA

Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun
waktu tertentu serta meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Intervensi fisik Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi
perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem
tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan (urban realm). Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya
dengan kondisi visual kawasan, khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu
dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun
sudah semestinya memperhatikan konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka
panjang.
2. Rehabilitasi ekonomi Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus mendukung
proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa
mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu
memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P. Hall/U. Pfeiffer, 2001)*. Dalam konteks revitalisasi perlu
dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).
3. Revitalisasi sosial/institusional Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan
lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan
tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga
(public realms). Sudah menjadi sebuah tuntutan yang logis, bahwa kegiatan perancangan dan pembangunan
kota untuk menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri (place making) dan hal ini pun selanjutnya perlu
didukung oleh suatu pengembangan institusi yang baik.
(*) http://www.vetschools.co.uk/EpiVetNet/epidivision/Pfeiffer/refpubs.htm

2001

Macchi,C., Pomroy,W.E., Morris,R.S., Pfeiffer,D.U. and West,D.M. (2001): Consequences of anthelmintic


resistance on liveweight gain of lambs on commercial sheep farms. New Zealand Veterinary Journal 49, 48-53;

Edwards,D.S., Johnston,A.M. and Pfeiffer,D.U. (2001): A comparison of (the effect of) commonly used ear
tags on the ear damage of sheep. Animal Welfare 10, 141-151;

Huttner,K., Leidl,K., Pfeiffer,D.U., Jere,F.B. and Kasambara,D. (2001): Farm and personal characteristics of
the clientele of a community-based animal-health service programme in northern Malawi. Tropical Animal
Health and Production 33(3):201-18;

Corner LA, Buddle BM, Pfeiffer DU, Morris RS. (2001): Aerosol vaccination of the brushtail possum
(Trichosurus vulpecula) with Bacille Calmette-Guérin: the duration of protection. Veterinary Microbiology
81(2):181-91;

Lamb,C.R., Wikeley,H., Boswood,A. and Pfeiffer,D.U. (2001): Use of breed-specific ranges for vertebral heart
scale as an aid to the radiographic diagnosis of cardiac disease in dogs. Veterinary Record 148, 707-711;

Price,J.S., Jackson,B.F., Gray,J.A., Harris,P.A., Wright,I.M., Pfeiffer,D.U., Robins,S.P., Eastell,R. and


Ricketts,S.W. (2001): Biochemical markers of bone metabolism in growing thoroughbreds: a longitudinal
study. Research in Veterinary Science 71(1):37-44;

Hüttner,K., Leidl,K., Pfeiffer,D.U., Kasambara,D. and Jere,F.B.D. (2001): The effect of a community based
animal health service programme on livestock mortality, off-take and selected husbandry applications - a field
study in northern Malawi. Livestock Production Science 72(3): 263-278;

http://www.litbang.deptan.go.id/special/rppk/

Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan merupakan salah satu dari “Triple Track Strategy” Kabinet Indonesia
Bersatu dalam rangka pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan daya saing ekonomi nasional.
Target penurunan kemiskinan dari dari 16,6 % tahun 2004 menjadi 8,2 % tahun 2009 dan penurunan pengangguran
terbuka dari dari 9,7 % tahun 2004 menjadi 5,1% tahun 2009, mengharuskan dilakukannya berbagai usaha
pembangunan ekonomi untuk mencapai antara lain pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga 6,6 % per tahun. Disamping
itu rasio investasi terhadap GDP harus naik dari 16,0 % pada tahun 2004 menjadi 24,4 % pada tahun 2009; dan rata-
rata pertumbuhan pertanian, perikanan dan kehutanan mencapai 3,5 %/ tahun (sumber pidato Menko Perekonomian
saat RPPK). Pertanian, perikanan, dan kehutanan memegang peran sangat penting dalam pencapaian target-target
tersebut mengingat peran ketiga kegiatan tersebut signifikan dalam ekonomi Indonesia. Disamping itu terkait dengan
pertanian, perikanan, dan kehutanan, terdapat pula strategis lain seperti ketahanan pangan, kelestarian lingkungan, dan
pembangunan pedesaan.

Disadari bahwa permasalahan yang dihadapi sektor berbasis sumberdaya alam di Indonesia semakin banyak dan
kompleks yang harus dipecahkan di luar sektor yang bersangkutan, maka pembangunan pertanian, perikanan, dan
kehutanan tidak lagi hanya dapat dilakukan melalui kebijakan di dalam sektor pertanian, tetapi juga harus dengan
kebijakan untuk pertanian. Oleh sebab itu Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) merupakan tekad
dan komitmen pemerintah untuk mendorong dan memajukan pertanian, perikanan, dan kehutanan, sekaligus suatu
kebijakan dan strategi umum yang komprehensif, memadukan pandangan jangka panjang dan kepentingan jangka
pendek, dan diharapkan dapat menjadi pemandu untuk menerapkan berbagai kebijakan operasional lintas departemen
yang terkoordinasi. RPPK juga menyertakan dunia usaha dan kalangan petani/nelayan/petani-hutan sendiri, serta
akademisi dan lembaga masyarakat, baik dalam penyusunannya dan dalam proses implementasinya. Koordinasi dan
sikronisasi berbagai pihak yang terkait akan menjadi faktor yang sangat menentukan, baik dalam perumusan RPPK
maupun dalam mewujudkannya menjadi langkah bersama demi kesejahteraan rakyat.

Hak Cipta © 1997-2010 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian


(Indonesian Agency for Agricultural Research and Development)
Jl. Ragunan 29 Pasar Minggu Jakarta Selatan 12540, Indonesia
Telp. (021) 7806202 Fax. (021) 7800644 e-mail: info@litbang.deptan.go.id

http://www.kadin-depok.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=14%3Aanalisis-ekonomi-
&catid=16%3Aarticle&Itemid=19&limitstart=1

ANALISIS EKONOMI

ANALISIS EKONOMI -
Kemiskinan,Bank Dunia...

Written by kadin   

Saturday, 18 April 2009 13:50

Kemiskinan, Bank Dunia, dan Revitalisasi Pertanian


BUSTANUL ARIFIN
Setelah menjadi debat publik sebulan terakhir, minggu lalu Bank Dunia secara resmi meluncurkan hasil studi tentang
kemiskinan di Indonesia. Studi itu menghasilkan estimasi jumlah orang miskin hampir 109 juta (49 persen) dari total
penduduk Indonesia dan salah satunya menyarankan pemerintah untuk lebih serius melaksanakan strategi revitalisasi
pertanian.

Menariknya, sumber kontroversi bukan tentang ukuran indikator garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia sebesar 2
dollar AS per hari, melainkan tentang keterkaitan kemiskinan dengan kenaikan harga beras dan kesejahteraan petani.
Masyarakat kemudian menjadi sangat resisten terhadap simplifikasi hubungan sebab-akibat antara harga beras dan
kemiskinan karena karakter komoditas beras sebagai hajat hidup penduduk Indonesia yang tentu saja bersifat
multidimensi.

Dengan garis kemiskinan Bank Dunia yang "agak baru" itu, jumlah orang miskin menjadi "meledak" hampir tiga kali lipat
dari angka resmi pemerintah. Untuk simplifikasi, indikator kemiskinan yang umum digunakan dalam literatur ekonomi
pembangunan saat ini adalah 1 dollar AS per hari. Garis kemiskinan 2 dollar AS per hari umumnya digunakan untuk
menunjukkan betapa besar penduduk di suatu negara yang sangat rentan terhadap perubahan pendapatan,
sebagaimana digunakan Bank Dunia dalam studi terakhir kemiskinan di Indonesia.

Selama ini Indonesia menggunakan garis kemiskinan yang diturunkan dari kebutuhan dasar kalori minimal 2.100 kkal
atau sekitar Rp 152.847 per kapita per bulan. Tepatnya, garis kemiskinan itu Rp 175.324 untuk perkotaan dan Rp 131.256
untuk pedesaan. Angka resmi penduduk miskin, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2006 adalah 39,1 juta
orang atau 17,75 persen dari total penduduk Indonesia. Di dalam negeri, angka itu sempat menghebohkan, terutama
karena peningkatan yang signifikan jumlah orang miskin dari 36 juta orang pada 2004 atau saat Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menerima mandat dari rakyat. Pada 2004 itu BPS masih menggunakan garis kemiskinan di perkotaan sebesar
Rp 143.455 dan di pedesaan sebesar Rp 108.725 per kapita per bulan.

Apa pun indikator yang digunakan, persoalan angka kemiskinan yang sangat besar dan tingkat pengangguran yang
mencapai 11 juta orang adalah fakta yang tidak dapat dianggap ringan pemerintah, elite politik, dan elite ekonomi
Indonesia. Dua angka ini seakan meniadakan kinerja stabilitas ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi 5,6
persen, penurunan suku bunga BI Rate, inflasi rendah, nilai tukar yang relatif stabil, cadangan devisa dan sebagainya.
Indonesia dikhawatirkan sulit mencapai target Tujuan Pembangunan Abad Milenium (Millennium Development
Goals/MDGs), yaitu mengurangi jumlah kemiskinan menjadi separuhnya pada tahun 2015. Apalagi angka penderita gizi
buruk (sekitar 25 persen bayi usia di bawah lima tahun/balita) dan kematian ibu melahirkan (307 kasus per 100.000
kelahiran) masih sangat tinggi.

Sebenarnya cukup banyak substansi baru dalam rangkaian studi kemiskinan itu, misalnya tentang dimensi disparitas
pendapatan antarwilayah di Indonesia, dimensi nonpendapatan dari persoalan kemiskinan, akses terhadap pendidikan—
terutama pascapendidikan dasar—serta pelayanan kesehatan bagi kelompok marjinal. Bahkan, Bank Dunia masih
menyarankan untuk menerapkan subsidi tepat sasaran guna memecahkan masalah di atas, dalam kerangka strategi
besar "pertumbuhan untuk orang miskin, pelayanan dasar untuk orang miskin serta anggaran negara dan daerah untuk
orang miskin".
Revitalisasi pertanian

Apabila diperhatikan dengan saksama, Presiden Yudhoyono berharap banyak terhadap revitalisasi pertanian untuk dapat
mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan. Dalam konteks ini revitalisasi pertanian
dianggap sebagai strategi yang pro-poor, di samping strategi pro-growth dan pro-jobs sebagaimana dikenal sebagai
strategi tiga jalur Kabinet Indonesia Bersatu. Dalam tata birokrasi dan ekonomi politik seperti saat ini, tidak mungkin
tidak menerjemahkan strategi propertumbuhan revitalisasi pertanian itu menjadi langkah kebijakan lebih konkret, dari
tingkat pusat sampai tingkat daerah.

Misalnya, dari 39,1 juta orang miskin di Indonesia, sebanyak 24,8 juta orang miskin tinggal di pedesaan, sedangkan 14,3
juta lagi tinggal di perkotaan. Sebagian besar dari kelompok miskin di pedesaan bekerja di sektor pertanian, baik sebagai
petani maupun sebagai buruh tani, dan sisanya di sektor nonpertanian. Fenomena kemiskinan di sektor pertanian lebih
banyak berhubungan dengan struktur dan pola kepemilikan lahan. Sebagian besar petani hanya menguasai lahan di
bawah 0,5 hektar sehingga sangat sensitif terhadap fluktuasi harga gabah dan beras.

Studi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) terbaru (2006) menunjukkan, saat ini pasar gabah dan
pasar beras yang tidak terintegrasi secara vertikal sangat kontras dengan kinerja integrasi pasar pada masa Orde Baru.
Dalam analisis lain, studi itu menunjukkan pasar beras semakin tidak terintegrasi secara horizontal menurut daerah
pasca-1998, terutama sejak diterapkannya pasar bebas seperti disarankan Dana Moneter Internasional. Segmentasi
pasar beras terjadi akibat sarana infrastruktur yang kurang baik, penyelundupan yang makin marak, dan lalu lintas
barang yang tidak lancar akibat dari hambatan peraturan daerah. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa kemiskinan
petani pasti sangat berhubungan dengan struktur dan tingkah laku pasar beras.

Debat akademik, studi sejenis dan pembahasan terhadap hasil studi kemiskinan Bank Dunia masih harus dilanjutkan,
sebelum diadopsi pemerintah menjadi rekomendasi kebijakan.
Pemerintahan yang rasional tentu akan mempertimbangkan juga studi dan rekomendasi perubahan kebijakan dari
peneliti Indonesia, lembaga studi di dalam negeri, dan universitas atau perguruan tinggi yang tersebar dari Aceh sampai
Papua.

http://barifin.multiply.com/journal/item/18/Kemiskinan_Bank_Dunia_dan_Revitalisasi_Pertanian_Analisis_Ekonomi_K
OMPAS_11_Desember_2006

Analisa Ekonomi
Kemiskinan, Bank Dunia, dan Revitalisasi Pertanian
BUSTANUL ARIFIN

Setelah menjadi debat publik sebulan terakhir, minggu lalu Bank Dunia secara resmi meluncurkan hasil studi tentang
kemiskinan di Indonesia. Studi itu menghasilkan estimasi jumlah orang miskin hampir 109 juta (49 persen) dari total
penduduk Indonesia dan salah satunya menyarankan pemerintah untuk lebih serius melaksanakan strategi revitalisasi
pertanian.

Menariknya, sumber kontroversi bukan tentang ukuran indikator garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia sebesar 2
dollar AS per hari, melainkan tentang keterkaitan kemiskinan dengan kenaikan harga beras dan kesejahteraan petani.
Masyarakat kemudian menjadi sangat resisten terhadap simplifikasi hubungan sebab-akibat antara harga beras dan
kemiskinan karena karakter komoditas beras sebagai hajat hidup penduduk Indonesia yang tentu saja bersifat
multidimensi.

Dengan garis kemiskinan Bank Dunia yang "agak baru" itu, jumlah orang miskin menjadi "meledak" hampir tiga kali lipat
dari angka resmi pemerintah. Untuk simplifikasi, indikator kemiskinan yang umum digunakan dalam literatur ekonomi
pembangunan saat ini adalah 1 dollar AS per hari. Garis kemiskinan 2 dollar AS per hari umumnya digunakan untuk
menunjukkan betapa besar penduduk di suatu negara yang sangat rentan terhadap perubahan pendapatan,
sebagaimana digunakan Bank Dunia dalam studi terakhir kemiskinan di Indonesia.

Selama ini Indonesia menggunakan garis kemiskinan yang diturunkan dari kebutuhan dasar kalori minimal 2.100 kkal
atau sekitar Rp 152.847 per kapita per bulan. Tepatnya, garis kemiskinan itu Rp 175.324 untuk perkotaan dan Rp
131.256 untuk pedesaan. Angka resmi penduduk miskin, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2006 adalah
39,1 juta orang atau 17,75 persen dari total penduduk Indonesia. Di dalam negeri, angka itu sempat menghebohkan,
terutama karena peningkatan yang signifikan jumlah orang miskin dari 36 juta orang pada 2004 atau saat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menerima mandat dari rakyat. Pada 2004 itu BPS masih menggunakan garis kemiskinan di
perkotaan sebesar Rp 143.455 dan di pedesaan sebesar Rp 108.725 per kapita per bulan.

Apa pun indikator yang digunakan, persoalan angka kemiskinan yang sangat besar dan tingkat pengangguran yang
mencapai 11 juta orang adalah fakta yang tidak dapat dianggap ringan pemerintah, elite politik, dan elite ekonomi
Indonesia. Dua angka ini seakan meniadakan kinerja stabilitas ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi 5,6 persen,
penurunan suku bunga BI Rate, inflasi rendah, nilai tukar yang relatif stabil, cadangan devisa dan sebagainya. Indonesia
dikhawatirkan sulit mencapai target Tujuan Pembangunan Abad Milenium (Millennium Development Goals/MDGs), yaitu
mengurangi jumlah kemiskinan menjadi separuhnya pada tahun 2015. Apalagi angka penderita gizi buruk (sekitar 25
persen bayi usia di bawah lima tahun/balita) dan kematian ibu melahirkan (307 kasus per 100.000 kelahiran) masih
sangat tinggi.

Sebenarnya cukup banyak substansi baru dalam rangkaian studi kemiskinan itu, misalnya tentang dimensi disparitas
pendapatan antarwilayah di Indonesia, dimensi nonpendapatan dari persoalan kemiskinan, akses terhadap pendidikan—
terutama pascapendidikan dasar—serta pelayanan kesehatan bagi kelompok marjinal. Bahkan, Bank Dunia masih
menyarankan untuk menerapkan subsidi tepat sasaran guna memecahkan masalah di atas, dalam kerangka strategi
besar "pertumbuhan untuk orang miskin, pelayanan dasar untuk orang miskin serta anggaran negara dan daerah untuk
orang miskin".

Revitalisasi pertanian

Apabila diperhatikan dengan saksama, Presiden Yudhoyono berharap banyak terhadap revitalisasi pertanian untuk dapat
mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan. Dalam konteks ini revitalisasi pertanian
dianggap sebagai strategi yang pro-poor, di samping strategi pro-growth dan pro-jobs sebagaimana dikenal sebagai
strategi tiga jalur Kabinet Indonesia Bersatu. Dalam tata birokrasi dan ekonomi politik seperti saat ini, tidak mungkin tidak
menerjemahkan strategi propertumbuhan revitalisasi pertanian itu menjadi langkah kebijakan lebih konkret, dari tingkat
pusat sampai tingkat daerah.

Misalnya, dari 39,1 juta orang miskin di Indonesia, sebanyak 24,8 juta orang miskin tinggal di pedesaan, sedangkan 14,3
juta lagi tinggal di perkotaan. Sebagian besar dari kelompok miskin di pedesaan bekerja di sektor pertanian, baik sebagai
petani maupun sebagai buruh tani, dan sisanya di sektor nonpertanian. Fenomena kemiskinan di sektor pertanian lebih
banyak berhubungan dengan struktur dan pola kepemilikan lahan. Sebagian besar petani hanya menguasai lahan di
bawah 0,5 hektar sehingga sangat sensitif terhadap fluktuasi harga gabah dan beras.

Studi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) terbaru (2006) menunjukkan, saat ini pasar gabah
dan pasar beras yang tidak terintegrasi secara vertikal sangat kontras dengan kinerja integrasi pasar pada masa Orde
Baru.

Dalam analisis lain, studi itu menunjukkan pasar beras semakin tidak terintegrasi secara horizontal menurut daerah
pasca-1998, terutama sejak diterapkannya pasar bebas seperti disarankan Dana Moneter Internasional. Segmentasi
pasar beras terjadi akibat sarana infrastruktur yang kurang baik, penyelundupan yang makin marak, dan lalu lintas
barang yang tidak lancar akibat dari hambatan peraturan daerah. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa kemiskinan
petani pasti sangat berhubungan dengan struktur dan tingkah laku pasar beras.

Debat akademik, studi sejenis dan pembahasan terhadap hasil studi kemiskinan Bank Dunia masih harus dilanjutkan,
sebelum diadopsi pemerintah menjadi rekomendasi kebijakan.

Pemerintahan yang rasional tentu akan mempertimbangkan juga studi dan rekomendasi perubahan kebijakan dari
peneliti Indonesia, lembaga studi di dalam negeri, dan universitas atau perguruan tinggi yang tersebar dari Aceh sampai
Papua.

http://bataviase.co.id/detailberita-10380643.html

REVITALISASI PERIKANAN UNTUK KESEJAHTERAAN NELAYAN


09 Dec 2009

 Business News
 Nasional

Jakarta, 8 Desember 2009 (Business News)


Sejak Juni 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan program pembangunan perikanan
yang terangkum dalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Namun setelah program
tersebut berjalan selama hampir lima tahun, para pemangku kepentingan (stakeholders) disektor perikanan,
khususnya para nelayan, belum mampu merasakan manfaat dari program Revitalisasi Perikanan tersebut Alih-
alih untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, Revitalisasi Perikanan justru lebih banyak
dinikmati kalangan industri dan pedagang.

Masyarakat nelayan tetap harus bergelut dengan kemiskinan dan termaginalkan di tengah kebutuhan hidup
yang makin menjerat leher. Pasalnya, program Revitalisasi Perikanan yang berjalan saat ini lebih difokuskan
pada peningkatan hasil produksi (tangkapan) perikanan dalam rangka mengejar angka-angka pertumbuhan
ekonomi. Banyak bukti menunjukkan, paket-paket program pengentasan kemiskinan bagi masyarakat nelayan
pun lebih banyak berorientasi pada peningkatan produksi melalui stimulan modal usaha berbunga rendah
daripada untuk tujuan pendistribusian kesejahteraan (we/fare equity).

Meski tujuan bantuan permodalan dan teknologi yang diberikan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat nelayan, namun dibalik itu tujuan yang sebenarnya adalah untuk meningkatkan angka-angka
produksi demi kepentingan ekspor dan perolehan devisa negara. Sungguh suatu yang memilukan sekaligus
memalukan. Untuk menuntaskan permasalahan perikanan umumnya dan nelayan khususnya, maka Revitalisasi
Perikanan tidak harus menuntut atau memfokuskan diri pada peningkatan volume atau produksi hasil tangkapan
ikan secara besar-besaran. Ini mengingat peningkatan produksi perikanan belum tentu diikuti oieh pemekaran
pangsa pasar.

Beberapa hal yang harus dilakukan demi terciptanya Revitalisasi Perikanan. Pertama, membenahi data-data
perikanan Indonesia.Bagaimana memutuskan suatu kebijakan pembangunan perikanan secara tepat, kalau data
perikanannya saja lemah. Misalnya, untuk data perikanan tangkap, apabila data yang tersedia tidak akurat,
maka dikhawatirkan terjadi over-fishingyang justru akan mengukuhkan kemiskinan nelayan. Begitu juga
dengan data perikanan budi daya, lemahnya kelayakan data lahan dikhawatirkan akan menciptakan tambak-
tambak idle yang semakin menambah dan melengkapi data kerusakan lahan di sekitar pesisir. Kedua,
sinkronisasi peraturan dan koordinasi institusi.

Kelautan dan perikanan merupakan multi sektor dan lintas departemen, sehingga banyak peraturan perundang-
undangan yang tumpang tindih di sektor ini. Akibatnya, hingga saat ini, koordinasi antar institusi negara yang
terlibat dalam Revitalisasi Perikanan juga masih menyisakan permasalahan. Ketiga, pembenahan terhadap
Perda-perda yang hanya mengejar PAD semata.

Sistem pemerintahan yang terdesentralisasi telah memposisikan kepala daerah sebagai "raja-raja kecil",
sehingga dengan seenaknya membuat aturan sendiri-sendiri yang dapat menghambat jalannya program.
Keempat memahami permasalahan mendasar perikanan.Ketika berbicara mengenai Revitalisasi Perikanan,
maka pelaku utama yang harus diperhatikan dan menjadi prioritas pembangunan adalah masyarakat nelayan,
bukannya kalangan industri. Adapun kalangan industri berperan dalam mendukung fasilitas yang dibutuhkan
oleh masyarakat nelayan. Sejauh ini nelayan senantiasa dijadikan tumbal pembangunan akibat
ketidakberdayaan mereka terlibat dalam penyusunan pembuatan kebijakan yang akan

dilaksanakan di wilayah pesisir dan laut. Ironisnya, ketidakberdayaan dalam bargaining position dengan pihak
lain, menjadikan masyarakat nelayan sebagai masyarakat penerima (objek pembangunan).Jika kalangan industri
didahulukan daripada nelayan, maka pembangunan perikanan melalui Revitalisasi Perikanan tidak akan pernah
tercapai, karena permasalahan mendasar dari perikanan adalah kemiskinan yang melilit masyarakat nelayan itu
sendiri.

Faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan sangat kompleks, baik dari pendekatan struktural maupun kultural.
Departemen Kelautan Perikanan (DKP) mencatat, beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan
yaitu, rendahnya tingkat teknologi penangkapan, kecilnya skala usaha, belum efisiennya sistem pemasaran hasil
ikan dan status nelayan yang sebagian besar adalah buruh. Jika demikian, diperlukan strategi kebijakan
pembangunan yang efektif dan komprehensif.

Peningkatan pendapatan masyarakat nelayan telah menjadi salah satu program 100 hari DKP. Hal yang sangat
urgen sekarang ini, yang harus dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad beserta jajaran
dibawahnya, adalah melakukan pemberdayaan terhadap nelayan. Yang penting dilakukan untuk
memberdayakan nelayan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya dengan antara lain, memberikan bantuan
permodalan dan sarana kerja yang memadai, sehingga mereka bisa mengembangkan usaha seperti yang
diharapkan. Bantuan tersebut selain harus melalui prosedur sederhana, juga bunganya harus lebih rendah dari
yang diberikan tengkulak agar nelayan itu bisa lepas dari jeratan tengkulak.

Hal yang tidak kalah penting adalah perlunya dilakukan rehabilitasi lingkungan pesisir yang rusak. Jika hal
tersebut dibiarkan, dikhawatirkan dapat berakibat selain semakin rusaknya lingkungan pesisir laut, sumber daya
perikanannya juga akan semakin berkurang, padahal jumlah nelayan justru terus bertambah banyak. Pembinaan
dan penyuluhan yang diberikan kepada nelayan harus disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga apa yang
disuluhkan benar-benar bermanfaat dan bisa diaplikasikan. Hal ini sangat penting untuk lebih meningkatkan
kemampuan dan kemandirian nelayan.

Selain pengetahuan praktis seperti penanganan pasca panen dan pengolahan hasil laut, hal yang tidak kalah
penting dalam memberdayakan nelayan, khususnya anak-anak dan generasi muda adalah perlunya pemerintah
mendirikan sekolah-sekolah di lingkungan tempat tinggal nelayan, sehingga mereka tetap dapat mengikuti
pelajaran di sekolah sebagaimana anak-anak seusia mereka lainnya. Kalau saja upaya pemberdayaan di atas
dapat dilakukan, maka program wajib belajar di lingkungan nelayan pun bisa tercapai.

Di sisi lain, harapan akan adanya peningkatan kesejahteraan dan kemampuan nelayan pun akan semakin nyata.
Jika saja peningkatan kemampuan sumber daya manusia nelayan Ini bisa dilaksanakan melalui program yang
baik, konsisten dan berkesinambungan, diharapkan dalam waktu tidak terlalu lama para nelayan tradisional
yang serba kekurangan bisa naik kelas menjadi nelayan modern seperti yang diharapkan. ( ST)

http://www.brighten.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=61&joscclean=1&comment_id=4

REVITALISASI PERTANIAN: MULAI


DARI MANA?
Written by D.S. Priyarsono   
Thursday, 21 August 2008 16:19

Niat untuk merevitalisasi peranan sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian


nasional sudah diisyaratkan oleh duet Yudhoyono-Kalla (SBY-JK) sejak masa kampanye menjelang pemilu
kepresidenan yang lalu. Isyarat itu semakin terungkap dari topik yang dipilih SBY untuk disertasinya yang
berjudul Pembangunan Pertanian sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-
Politik Kebijakan Fiskal.

Secara resmi upaya merevitalisasi pertanian dan pedesaan tertuang dalam Visi, Misi, dan Program Kepresidenan
SBY-JK yang disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 10 Mei 2004. Dalam
dokumen itu disebutkan bahwa revitalisasi pertanian dan pedesaan diarahkan untuk memperbaiki dua hal
sekaligus, yakni meningkatkan kesejahteraan sebagian besar rakyat dan menciptakan landasan yang kokoh bagi
pembangunan ekonomi (halaman 68).

Walaupun dapat dipahami bahwa Program 100 Hari kabinet mana pun sangat sulit menghasilkan sesuatu yang
konkret, penilaian media massa terhadap kinerja seratus hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu cenderung
kurang menggembirakan. Departemen Pertanian tidak terkecuali; banyak rencananya yang oleh media massa
dinilai masih mengawang-awang selama kurun waktu tersebut.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 yang disiapkan oleh para menteri
Kabinet Indonesia Bersatu dimaksudkan untuk menguraikan Visi, Misi, dan Program Kepresidenan tersebut di
atas. Rencana revitalisasi pertanian dan pedesaan dijabarkan dalam Bab 19 dan 25. Bila bagian SASARAN pada
Bab 19 dicermati, kesan kuat yang muncul adalah bahwa visi meningkatkan kesejahteraan sebagian besar rakyat
yang semestinya berfokus pada kesejahteraan petani dan keluarganya telah bergeser menjadi meningkatkan
produktivitas sektor pertanian.

Pergeseran demikian menjadikan kesejahteraan petani bukan lagi tujuan utama. Petani diperankan menjadi
sekadar salah satu faktor produksi. Padahal untuk meningkatkan produktivitas, tiap faktor produksi harus
didayagunakan seefisien mungkin (= memproduksi sejumlah tertentu dengan biaya serendah-rendahnya). Akibat
dari cara pandang ini sudah mulai bisa ditengarai, misalnya dalam diskusi tentang kebijakan perberasan akhir-
akhir ini (lihat tulisan Bustanul Arifin di KOMPAS, 14 Maret 2005, halaman 1).
Pada tanggal 2 Maret 2005 Menteri Pertanian mempresentasikan makalah yang berjudul Revitalisasi Pertanian
melalui Industrialisasi Pedesaan dalam sebuah acara di Lemhannas, Jakarta. Tercetus dalam presentasi itu
gagasan GERINDA 2020 (Gerakan Industrialisasi Pertanian di Pedesaan). Agak melegakan bahwa dari delapan
tujuan dan sasaran Gerakan ini yang menempati urutan pertama adalah meningkatkan nilai tambah hasil
pertanian dan dinikmati oleh keluarga dalam masyarakat pedesaan. Dikatakan agak dan bukannya sangat karena
tujuan itu ditetapkan untuk tahun 2020, jadi belum dapat diharapkan terwujud dalam lima tahun mendatang ini.
Yang agak mencemaskan dari makalah presentasi tersebut adalah ketidakjelasan hubungan antara tujuan dan
sasaran yang ditetapkan dengan strategi yang direncanakan untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut.
Kebijakan revitalisasi pertanian melalui industrialisasi pedesaan terkesan direduksi menjadi kebijakan
pembangunan pengolahan hasil pertanian (halaman 10). Tidak tampak rencana strategi untuk memastikan
keterkaitan antarindustri ke depan maupun ke belakang yang dapat menjamin terciptanya dampak pengganda
(multiplier effects) untuk percepatan pertumbuhan ekonomi yang memperluas kesempatan kerja dan pada
gilirannya mengurangi kemiskinan di pedesaan.

Mulai dari mana?

Dalam berbagai kesempatan Presiden Yudhoyono menegaskan triple track strategy untuk pembangunan
perekonomian nasional, yakni (1) pertumbuhan ekonomi yang dipacu oleh peningkatan investasi dan ekspor, (2)
penggiatan sektor riil untuk menciptakan kesempatan kerja, dan (3) revitalisasi pertanian dan pedesaan untuk
mengurangi kemiskinan.

Sementara itu di pihak lain kapasitas pendanaan serta ketersediaan berbagai sumberdaya yang dapat
dikendalikan pemerintah pada saat ini relatif sangat terbatas. Ruang manuver untuk kebijakan fiskal tidaklah
sangat lapang untuk dapat menggenjot kegiatan ekonomi. Persepsi kaum pebisnis internasional terhadap
keadaan dalam negeri Indonesia masih belum begitu menggembirakan untuk upaya percepatan penanaman
modal baru.

Mencermati berbagai kendala tersebut, percepatan pembangunan perekonomian nasional perlu lebih terfokus
pada potensi-potensi ekonomi yang selama ini belum didayagunakan, tidak terlalu banyak membutuhkan
kucuran dana investasi serta sumberdaya lainnya, namun di pihak lain harus sangat efektif mendukung triple
track strategy tersebut, yakni mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan kesempatan kerja, dan
mengurangi kemiskinan.
Khusus untuk sektor pertanian, sesungguhnya di Indonesia terdapat potensi ekonomi yang selama ini belum
termanfaatkan yang sangat besar, yakni lahan yang belum tergarap dan lahan yang memang diterlantarkan.

Lahan yang belum tergarap pada umumnya dianggap tidak layak secara agronomis karena sifat tanahnya yang
tidak cocok untuk budidaya pertanian, misalnya lahan rawa gambut. Studi Furukawa, Suwardi, dan kawan-
kawan (dosen-dosen IPB yang tergabung dalam Yayasan Properlink Darma, 2005) mengidentifikasi bahwa di
Indonesia terdapat 20 juta hektar lahan rawa gambut. Studi yang menggunakan tiga hektar lahan percobaan itu
juga berhasil menemukan teknologi baru yang bisa mengubah lahan yang sama sekali tidak produktif menjadi
lahan sawah dengan produktivitas 4-5 ton gabah kering panen per hektar, tidak berbeda dengan produktivitas
sawah beririgasi pada umumnya.

Memang studi itu belum tuntas melaporkan kelayakan ekonomisnya. Namun temuan sementara menunjukkan
bahwa bila skala produksinya cukup besar, maka biaya produksi bisa ditekan hingga mencapai kelayakan
ekonomis. Di sinilah pemerintah diharapkan berperanan menjadi lokomotif yang mampu men-scale-up dari aras
eksperimen ke aras lapangan yang layak secara ekonomis. Katakanlah pemerintah mampu mengubah 10% saja
dari lahan rawa gambut itu menjadi produktif, dan anggap bahwa sebuah keluarga dengan lima orang anggota
dapat ditopang hidupnya dengan dua hektar sawah produktif, maka upaya pemerintah itu mampu mengurangi
jumlah orang miskin sebanyak lima juta jiwa. Produksi beras nasional pun dapat meningkat secara signifikan
(lihat Gambar 1 dan 2). Manfaat totalnya dapat lebih besar lagi bila dampak pengganda yang ditimbulkannya
turut diperhitungkan.

Adapun lahan yang terlantar umumnya menjadi demikian oleh karena kelalaian pemiliknya, atau karena
kepemilikannya yang kurang jelas akibat adanya persengketaan. Studi Soetarto dan kawan-kawan (Brighten
Institute, 2005) mengidentifikasi adanya lebih dari 63 juta hektar hutan berstatus HPH dan lebih dari 2.9 juta
hutan berstatus HTI yang terlantar. Sementara itu lahan perkebunan berstatus HGU yang terlantar ditengarai
melebihi luas 1.2 juta hektar. Di luar itu semua masih ada lebih dari 28 juta hektar lahan sawah, tegalan, dan
lain-lain yang diterlantarkan. Ini belum lagi memperhitungkan lahan-lahan milik negara yang terlantar.

Lahan hutan yang terlantar sesungguhnya sebagian dapat dikonversi menjadi lahan perkebunan yang produktif,
misalnya untuk budidaya sawit. Pengamatan di P. Sumatra menunjukkan bahwa setiap hektar perkebunan sawit
membutuhkan tenaga kerja sebanyak 0.35 orang. Katakanlah pemerintah mampu mengubah 10% saja dari lahan
terlantar tersebut menjadi perkebunan sawit, maka upaya itu dapat menciptakan lapangan kerja baru untuk lebih
dari 2.1 juta tenaga kerja.

Adapun permintaan pasar dunia akan produk sawit saat ini sangat besar dengan harga yang sangat bagus pula.
Prospek pasar produk ini juga sangat cerah (lihat Gambar 3 dan 4). Apalagi jika Indonesia berhasil
mengembangkan industri hilir untuk produk ini, peranannya dalam perekonomian Indonesia menjadi semakin
signifikan.

Demikianlah beberapa contoh potensi besar yang bila digarap dapat memberikan hasil yang luar biasa baik
dalam upaya pengurangan kemiskinan, memperluas kesempatan kerja, dan pada saat yang sama memacu
pertumbuhan ekonomi. Bila ditekuni dengan baik, sesungguhnya Indonesia masih mempunyai banyak potensi
yang jika digarap dengan biaya yang relatif sedikit saja bisa menghasilkan sesuatu yang sangat signifikan bagi
pembangunan perekonomian nasional.

Bogor, 22 Maret 2005


D.S. Priyarsono adalah Scholar pada Brighten Institute
dan Dosen pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Bogor
Tulisan ini adalah opini pribadi.

http://mitrafm.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=79:hari-nelayan-6-april-kemiskinan-yang-
menjerat-&catid=43:berita-bumi&Itemid=114

Hari Nelayan 6 April : Kemiskinan


Yang Menjerat
Written by Eti Wahyuni   
Monday, 30 March 2009 02:32
Bocah telanjang dada di pesisir
Tunggu kembalinya bapak tercinta
Yang pergi tebarkan jala disana
Berjuang di atas perahu tunggakan KUD

Ibu dengan kebaya yang kemarin


Setia dari balik dapur menanti
Suaminya yang seminggu pergi
Tinggalkan rumah
Tinggalkan sejengkal harapan

Langkah waktu lamban


Bagai kura-kura
Ikan yang datang mimpi
Siang ganti malam tetap sabar
Suami pun pulang, lelah

Sambil berlari sang bocah hampiri bapak


Tagih janji yang dipesan ketika pergi
Sementara istrinya hanya memandang
Dengan senyum pasti

Selintas terlintas
Hutang-hutang yang membelit
Sang bocah tak perduli
Menangis keras tetap tagih janji

Perahu tunggakan KUD belum terbayar


Belum lagi tagihan rentenir seberang jalan
Nelayan kecil hasil kecil nasibmu kecil

Terjerat jala dihantam kerasnya gelombang


Perahu tunggakan KUD belum terbayar
Hitam....hidup

Mungkin tidak banyak yang tahu, tanggal 6 April itu diperingati sebagai hari apa? Saya sendiri baru mengetahui
kalau ternyata pada hari itu diperingati sebagai Hari Nelayan. Momentum ini barangkali menjadi saat yang tepat
untuk sekedar berempati dengan nasib para nelayan yang hingga saat ini masih termarginalkan.
Nasib nelayan yang dilolongkan Iwan Fals dalam lagu berjudul Nelayan di atas rasanya bisa sedikit memberikan
gambaran kehidupan nelayan kecil. Sengaja saya tuliskan versi lengkapnya, karena lagu itu menceritakan
sebuah balada serang nelayan kecil dengan beragam problematikanya serta penghasilan yang pas-pasan.
Sementara tuntutan kehidupan begitu tinggi.

Dan memang begitulah faktanya. Ketika saya menelusuri sejumlah kampung-kampung nelayan, seperti
Belawan, Serdang Bedagai dan pesisir Langkat, ternyata jumlah nelayan yang memiliki alat produksi berupa
perahu dan jala itu sangat sedikit. Yang lebih banyak adalah buruh nelayan. Diupah melalui sistem bagi hasil
dengan pemilik alat produksi atau disebut toke. Satu hari seorang nelayan berpenghasilan antara Rp 20.000
hingga Rp 30.000.

Kenaikan harga ikan yang akhir-akhir ini terjadi ternyata tidak banyak pengaruhnya terhadap nelayan. Mereka
tetap saja terbelakang. Hidup di pinggiran laut dengan sanitasi yang buruk, pendidikan rendah dan hutang yang
melilit pinggang. Ancaman marginalisasi ini semakin memuncak disebabkan ancaman pukat harimau (nelayan
Belawan menyebutnya, Pei) di tengah laut.

Kendati telah ada aturan yang menetapkan pukat trawl memiliki zona sendiri untuk operasionalnya, tetapi tetap
saja pinggiran laut yang menjadi wilayah tangkapan nelayan tradisional ikut digarap pukat trawl yang umumnya
adalah nelayan pengusaha dengan modal yang tidak sedikit. Terumbu karang rusak dan yang lebih ironis adalah,
hasil laut yang sejatinya menjadi "jatah" nelayan tradisional ikut tergasak.

Operasional pukat trawl dan limbah industri yang mengalir jauh dari hulu dan berkumpul di laut telah
mengancam populasi hasil laut dan pada akhirnya kehidupan nelayan tradisionallah yang menjadi taruhannya.
Sangat ironis, ketika gambaran kehidupan nelayan yang sangat miskin dan terbelakang, di pihak lain, sektor
nelayan sebenarnya memberikan devisa yang cukup besar.

Departemen Perikanan mencatat, beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan yaitu, rendahnya
tingkat teknologi penangkapan, kecilnya skala usaha, belum efisiennya sistem pemasaran hasil ikan dan status
nelayan yang sebagian besar adalah buruh.

Saat ini persoalan nelayan masih harus ditambahi lagi dengan cuaca yang tidak menentu selama tiga hingga
empat tahun terakhir. Sepanjang itu, masa paceklik ikan seolah berlangsung sepanjang tahun dan hasil
tangkapan nelayan kecil menjadi menurun drastis. Harga BBM turut menambah daftar panjang itu. Kenaikan
harga BBM berarti adalah juga kenaikan biaya produksi. Sementara hasil tangkapan sudah pasti tidak
mengalami peningkatan.

Segala permasalahan nelayan ini akhirnya, dituturkan Edy Suntoro dari Departemen Pertanian menjadikan
nelayan terjerat dalam beberapa persoalan yaitu, dikuasai tengkulak. Dengan pendapatan rendah, nelayan sulit
meningkatkan kemampuan dan kemandiriannya. Ironisnya, kondisi nelayan tradisional tersebut tidak saja
dialami para orang tua nelayan yang notabene sudah puluhan tahun menjadi nelayan, tetapi anak-anak mereka
pun tidak sedikit yang mengalaminya.

Para nelayan mengakui peranan tengkulak dalam kehidupan tengkulak dalam kehidupan nelayan sangat
dominan bahkan terkesan telah mengendalikannya secara semena-mena oleh karena nelayan tidak lagi dapat
merasakan kepuasan dari pekerjaannya sebab terikat dengan peraturan yang ditetapkan tengkulak.

Sistem kerja para tengkulak ini memang sangat rumit, di satu sisi memberikan benturan modal sehingga nelayan
dapat melaut namun di sisi lain juga menetapkan persyaratan yang dampaknya mencekik batang leher para
nelayan. Memang untuk mendapatkan modal dari tengkulak ini ada dua cara yakni nelayan datang kepada
tengkulak untuk meminjam uang dan kedua, tengkulak tersebut yang mengumpulkan para nelayan agar
menerima bantuan modal.

Walaupun berbagai perhatian telah diberikan, dampaknya hingga kini belum banyak dirasakan nelayan
tradisional. Hal yang sangat urgen sekarang ini adalah melakukan pemberdayaan terhadap nelayan. Yang
penting dilakukan untuk memberdayakan nelayan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya dengan antara lain,
memberikan bantuan permodalan dan sarana kerja yang memadai, sehingga mereka bisa mengembangkan usaha
seperti yang diharapkan. Bantuan tersebut selain harus melalui prosedur sederhana, juga bunganya harus lebih
rendah dari yang diberikan tengkulak agar nelayan itu bisa lepas dari jeratan tengkulak.

Hal yang tidak kalah penting adalah perlunya dilakukan rehabilitasi lingkungan pesisir yang rusak. Jika hal
tersebut dibiarkan, dikhawatirkan dapat berakibat selain semakin rusaknya lingkungan pesisir laut, sumber daya
perikanannya juga akan semakin berkurang, padahal jumlah nelayan justru terus bertambah banyak.

Pembinaan dan penyuluhan yang diberikan kepada nelayan harus disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga apa
yang disuluhkan benar-benar bermanfaat dan bisa diaplikasikan. Hal ini sangat penting untuk lebih
meningkatkan kemampuan dan kemandirian nelayan.

Selain pengetahuan praktis seperti penanganan pascapanen dan pengolahan hasil laut, hal yang tidak kalah
penting dalam memberdayakan nelayan, khususnya anak-anak dan generasi muda adalah perlunya pemerintah
mendirikan sekolah-sekolah di lingkungan tempat tinggal nelayan, sehingga mereka tetap dapat mengikuti
pelajaran di sekolah sebagaimana anak-anak seusia mereka lainnya. Kalau saja upaya pemberdayaan di atas
dapat dilakukan, maka program wajib belajar di lingkungan nelayan pun bisa tercapai.

Di sisi lain, harapan akan adanya peningkatan kesejahteraan dan kemampuan nelayan pun akan semakin nyata.
Jika saja peningkatan kemampuan sumber daya manusia nelayan ini bisa dilaksanakan melalui program yang
baik, konsisten dan berkesinambungan, diharapkan dalam waktu tidak terlalu lama para nelayan tradisional yang
serba kekurangan bisa naik kelas menjadi nelayan modern seperti yang diharapkan.

Revitalisasi Perikanan
Kalau Revitalisasi Perikanan telah dicanangkan saat SBY baru saja menduduki kursi Presiden, - namun hingga
kini masih banyak yang mempertanyakan konsistensinya - program Revitalisasi Perikanan rencananya akan
dijalankan hingga 2009.

Melalui program ini, pemerintah berkomitmen untuk memfokuskan revitalisasi sumber-sumber pertumbuhan
ekonomi berupa berbagai kegiatan usaha bidang penangkapan ikan dan budidaya perikanan, serta
mengoptimalkan operasional unit usaha pengolahan ikan dalam negeri. Program itu juga diharapkan bisa
menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru berupa pemanfaatan peluang usaha perikanan yang
masih memiliki prospek cerah di masa yang akan datang.

Sumatera Utara dengan jumlah nelayan sekitar 320.000 yang tersebar di 13 kabupaten/kota adalah juga
merupakan daerah yang sangat mengharapkan adanya program-progam yang lebih ril untuk pemberdayaan.
Bayangkan saja, dari keseluruhan jumlah tersebut, 70% adalah nelayan tradisional yang kehidupannya masih di
bawah garis kemiskinan. Melalui program ini diharapkan, sumber daya alam yang selama ini menjadi mata
pencaharian nelayan dikelola dengan sebaik-baiknya dan bukan hanya mengutamakan kepentingan pemodal.

Lantas bagaimanakah program revitalisasi berakhir, kita tunggu komitmen dan konsistensi pemerintah, agar
kehidupan nelayan tidak terus menerus dalam lingkaran kemiskinan yang menjerat.
Last Updated on Thursday, 23 July 2009 06:59

http://aviliani.blogspot.com/2009/02/revitalisasi-sektor-pertanian.html

Revitalisasi Sektor Pertanian

Menjelang dua tahun pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Presiden


menyampaikan pidato kenegaraan pada Agustus 2005 dan Agustus 2006. Dalam pidato
tersebut, yang menjadi fokus adalah program pengentasan kemiskinan dan pengurangan
pengangguran melalui pembangunan infrastruktur dan revitalisasi pertanian, perikanan,
serta kehutanan.
Visi pemerintah sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat, khususnya di sektor
pertanian, karena hampir 70% masyarakat Indonesia bekerja di sektor pertanian. Namun
dalam perkembangannya belum terjadi perubahan mendasar di sektor pertanian sesuai
harapan pemerintah. Angka kemiskinan dan pengangguran justru terus meningkat.
Sedangkan revitalisasi pertanian, perkebunan, dan perikanan belum juga sesuai dengan
target. Itu tercermin pada kehidupan petani yang semakin memburuk, miskin, tertinggal,
dan termarginalkan. Selain itu, produksi nasional dan ekspor belum tumbuh signifikan.

Terhambatnya pengembangan revitalisasi pertanian akibat mekanisme pasar dibiarkan


membuat harga beli di tingkat petani tidak stabil.

Dalam praktik, pengumpul atau pedagang memanfaatkan situasi untuk membeli hasil
petani dengan harga murah, dan mereka menjualnya dengan harga mahal karena mereka
menguasai pasar dan informasi.

Petani adalah pihak yang dirugikan karena mereka tidak berdaya. Sejak anggaran subsidi
pemerintah menyusut, mereka harus menyediakan sendiri bibit, pupuk, dan sarana
produksi lain sehingga biaya tanam menjadi mahal. Dari sisi pembiayaan, perbankan
masih enggan menyalurkan kredit ke sektor pertanian karena dianggap kurang layak dari
sisi pengembalian, tingginya risiko, dan rendahnya kemampuan dalam replanting atau
peremajaan. Belum lagi adanya persaingan harga yang tidak fair karena pertanian di
negara-negara maju disubsidi.

Masalah struktural itu menyebabkan perbankan enggan menyalurkan kredit ke sektor


pertanian dan perkebunan. Per Juli 2006, kredit perbankan di sektor pertanian dan
perkebunan tidak lebih hanya 6% dari total kredit yang tersalur secara nasional. Selain
itu, nilai tambah (value added) yang diciptakan relatif rendah karena komoditas yeng
diekspor lebih banyak berupa bahan mentah.

Di Indonesia sektor pertanian dan perkebunan telah lama tidak memperoleh subsidi dan
penyediaan perlengkapan tanam. Ini bukan merupakan kebijakan popular. Indonesia
lebih mengikuti anjuran ekonom aliran kapitalis. Alasannya, proteksi menjadi penyebab
inefisiensi pertanian di negara berkembang. Padahal di negara-negara maju, petani
memperoleh subsidi. Petani AS, misalnya, memperoleh lebih dari US$ 150 per hektare.
Lalu petani Uni Eropa menerima US$ 300 per hektare (Bingsheng, 2001).

Selain itu, perusahaan multinasional sering menghambat kompetisi melalui exclusive


contract dengan host government. Mereka tidak melakukan reinvestasi yang proporsional
dengan keuntungan yang diperoleh, menekan tumbuhnya industri lokal dan
memperburuk keseimbangan desa-kota. Mereka juga membayar upah murah, tidak
kompatibel dengan rasa kemanusiaan dan tuntutan teknologi, juga menghindari pajak
lokal melalui transfer pricing, kontribusi pajak sering lebih rendah daripada nilai fasilitas
yang diberikan (Pakpahan, 2004).

Bila pemerintah ingin berhasil dalam mengentaskan kemiskinan maupun pengangguran


dan mencapai prestasi sesuai visi dan target pertumbuhan 6-7% per tahun, juga
peningkatan daya beli masyarakat, maka diperlukan berbagai upaya. Antara lain,
pertama, dukungan pendanaan terkait dengan subsidi bunga yang baru dianggarkan
pemerintah pada tahun 2007 sebesar Rp 1 triliun -- namun terbatas pada sektor energi
alternatif. Seharusnya subsidi juga diberikan pada sektor pertanian dan perkebunan yang
menjadi komoditas unggulan berorientasi ekspor. Dengan demikian, anggaran bantuan
langsung tunai (BLT) sebesar Rp 4 triliun dapat dialihkan pada sektor pertanian dan
perkebunan.

Kedua, bila tidak memungkinan bank-bank umum berkontribusi lebih besar pada sektor
pertanian dan perkebunan, maka perlu didirikan bank pertanian (Pakpahan, 2004) seperti
di negara lain (Malaysia dengan Bank Pertanian Malaysia, Thailand dengan Bank for
Agriculture and Agricultural Cooperative (BAAC), China dengan Agriculture Bank of
China). Dengan begitu indikator kesehatan bank dibuat berbeda dengan bank umum lain.

Ketiga, perlindungan petani atas bencana dan kekeringan dengan kompensasi asuransi
kerugian. Keempat, dukungan terhadap infrastruktur pertanian dan perkebunan. Untuk
perkebunan berpola perkebunan inti rakyat (PIR), inti plasma dapat dikembangkan lebih
baik melalui swasta dan BUMN untuk membeli hasil (output) petani atau sebagai lembaga
pasar. Dengan demikian, tercipta stabilisasi pendapatan petani, bukan sekadar stabilisasi
harga. Ini niscaya berdampak terhadap stabilitas pendapatan petani.

Kelima, memanfaatkan koperasi atau BUMN terkait sebagai penyedia bibit, pupuk, dan
kelengkapan lain bagi petani agar tidak terjadi kelangkaan maupun stabilisasi harga pada
faktor input. Kelima, pengembangan teknologi agar kualitas hasil selalu memenuhi
permintaan pasar dan mampu bersaing.

Ke depan kita tidak hanya membanggakan potensi sumber daya alam di sektor migas,
tetapi memiliki daya saing tinggi di sektor nonmigas, khususnya pertanian dan
agroindustri. Yang utama adalah kesejahteraan masyarakat sesuai amanat konstitusi
harus diwujudkan.***

ANALISIS EKONOMI Faisal Basri

Tantangan Baru Perangi Kemiskinan

Pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin tercatat 34,5 juta orang atau 17,7 persen dari jumlah penduduk. Krisis
ekonomi membuat jumlah orang miskin naik tajam menjadi 50 juta jiwa atau hampir seperempat jumlah penduduk.

Setelah itu lambat laun berkurang hingga tinggal 16 persen pada tahun 2005. Dalam 10 tahun terakhir, hanya sekali saja
jumlah dan persentase penduduk miskin meningkat, yakni tahun 2006, akibat kebijakan pemerintah melonjakkan harga
bahan bakar minyak pada Oktober 2005. Tahun ini penduduk miskin kembali turun, menjadi 16,6 persen.

Sekalipun sudah menunjukkan kecenderungan menurun, kemajuan memerangi kemiskinan sangat lambat. Penduduk
miskin yang dewasa ini sekitar 37,2 juta jiwa bukanlah jumlah sedikit.

Ditambah kenyataan penduduk yang berada di atas garis kemiskinan absolut, sebetulnya, masih jauh dari hidup
sejahtera.
Jumlah penduduk miskin sewaktu-waktu bisa melonjak kalau terjadi gejolak kenaikan harga sebagaimana terjadi
berulang kali. Seandainya kenaikan harga-harga barang dan jasa yang menjadi acuan menghitung garis kemiskinan naik
20 persen, jumlah penduduk miskin akan naik dari 16,6 persen menjadi 29 persen.

Jika menggunakan headcount rate sebesar 2 dollar AS sehari, jumlah penduduk miskin naik berlipat ganda menjadi 42,6
persen atau 100,7 juta jiwa.

Gambaran kemiskinan itu sangat terasa jauh dari cita-cita kemerdekaan sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan
UUD 1945, alinea keempat. Salah satu dari empat butirnya, memajukan kesejahteraan umum. Atau pada ucapan Bung
Karno: Tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia merdeka.

Bukan sekadar etalase

Masalah kemiskinan bukan sekadar etalase statistik. Jika mengutik-utik statistik, percayalah, ikhtiar mengatasi
kemiskinan akan bersifat tambal sulam.

Pemerintah akan lebih sibuk mengamankan harga beras karena pengeluaran untuk beras penentu utama dalam
perhitungan garis kemiskinan. Pemerintah akan cenderung menekan harga beras sehingga merugikan petani. Kalau
muncul gelagat harga beras naik, pemerintah dengan sigap membuka keran impor.

Benar bahwa produksi beras petani lebih kecil ketimbang kebutuhan beras setahun. Harga beras lebih tinggi akan
membuat sebagian petani masuk ke dalam perangkap kemiskinan absolut.

Akan tetapi, apakah kita akan membiarkan keadaan yang mengarah pada zero sum game (buah simalakama) ini terus
berlangsung? Kunci mengatasi persoalan kemiskinan, revitalisasi sektor pertanian, bangun pedesaan.

Dengan meningkatkan daya beli dan kesejahteraan mayoritas penduduk yang berada di sektor pertanian dan pedesaan,
industri manufaktur kita akan maju karena pasar domestik akan menjadi andalan utama menyerap produk-produk
sektor ini.

Selama pemerintahan SBY-JK, sektor pertanian dan industri manufaktur terus tertekan. Pertumbuhan kedua sektor ini
terbata-bata, tidak stabil, dan jauh di bawah potensi. "Membiarkan" pertanian dan industri manufaktur tertekan,
pemerintah sebetulnya secara tidak langsung menerapkan kebijakan yang tidak prorakyat miskin. Sinyalemen ini
bertambah kuat jika kita mengamati, pemerintah makin kerap memberikan insentif kepada sektor jasa, terutama
keuangan.

Misalnya, insentif pajak bagi perusahaan yang masuk bursa, paket insentif oleh Bank Indonesia bagi perbankan yang
berkonsolidasi. Kita tidak menentang upaya-upaya ini. Yang kita tuntut, kebijakan yang dibiaskan bagi pro-poor, yang
kian tak mengemuka sejak 2002. Jika tidak, ketimpangan kian menganga.

Dalam empat tahun terakhir, koefisien gini—yang mengukur tingkat ketimpangan pendapatan—terus naik, dari 0,341
(tahun 2003) menjadi 0,376 (2007).

Banting setir

Kini tiba saatnya banting setir. Momentum baru, untuk kesekian kali, kembali muncul dan tak boleh lagi kita sia-siakan.

Dunia menghadapi ancaman krisis pangan yang serius. Harga-harga komoditas melambung, hampir tanpa kecuali.
Harga-harga sejumlah komoditas berlomba melahirkan rekor-rekor baru.
Departemen Pertanian Amerika Serikat baru saja mengeluarkan laporan, cadangan gandum mencapai titik terendah
dalam 60 tahun terakhir. Cadangan jagung dan kedelai juga menipis.

Kemerosotan produksi karena gagal panen akibat fenomena pemanasan global terjadi di hampir semua benua.
Sebaliknya, permintaan meningkat lebih cepat karena sebagian komoditas tersebut diserap untuk menghasilkan bahan
bakar nabati.

Penurunan stok dan meningkatnya kelangkaan sejumlah komoditas di kebanyakan negara Asia berpotensi menciptakan
gelombang guncangan harga baru di tahun 2008. Menjelang tutup tahun, "setruman" kenaikan harga pangan mulai
menuai korban. Laju inflasi di China hampir menembus 7 persen, tertinggi dalam 11 tahun. Pemicunya, harga-harga
makanan yang mencapai 18,2 persen. Di Vietnam lebih tinggi, menembus dua digit.

Negara-negara yang tidak meninggalkan sektor pertanian bernasib lebih baik. Thailand, misalnya, meski bukan produsen
dan pengekspor minyak, mampu meredam laju inflasi di tengah menggilanya harga minyak. Di sini laju inflasi hanya
sekitar 2 persen. Negara lain yang memanfaatkan sumber daya alam lebih bijak ialah Filipina. Di negara yang
perekonomiannya belum menunjukkan penguatan fundamental, laju inflasinya masih di bawah 3 persen.

Kita memiliki potensi yang jauh lebih lengkap ketimbang negara tetangga yang sejauh ini lebih beruntung. Produk
pertanian apa saja yang kita telah dan akan kembangkan niscaya bakal relatif mudah terserap di pasar domestik
maupun internasional. Berbekal penguatan sektor pertanian, kita bisa mewujudkan negara industri. Memajukan
kesejahteraan umum yang lebih merata bukanlah lamunan para pendiri bangsa. Kitalah yang abai mewujudkannya.
(Kompas, 14 Desember 2007). ►e-ti

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

You might also like