You are on page 1of 34

PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA KASUS

PEMBEDAHAN DARURAT TRAUMA ABDOMEN


I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun.Trauma abdomen
penyebab signifikans morbiditas dan mortalitas pasien. Sekitar 75-78%berupa trauma
tumpul dengan kematian sekitar 5-9%. Trauma tembus akibat peluru (80-95%) dengan
kematian 5%. Kematian berkaitan dengan waktu yaitu triple peak death time (mendadak,
segera, dan lambat ). Penanganan yang cepat dan tepat, kondisi pasien praoperasi dan
derajat operasi akan mempengaruhi keluaran pasien.1
Diagnosa dini diperlukan untuk pengelolaan secara optimal. Evaluasi awal sangat
bermanfaat tetapi terkadang cukup sulit karena adanya jejas yang tidak jelas pada area
lain yang terkait.
Pelaksanaan Pembedahan pada trauma abdomen pun biasanya dilakukan dengan
pembedahan darurat, sehingga memerlukan penanganan khusus dalam bidang anestesi
karena terdapat perbedaan mencolok untuk persiapan pre operasi darurat dengan elektif.2
Operasi yang direncanakan secara elektif tersedia waktu berhari-hari untuk
pemeriksaan klinik dan laboratorik, serta persiapan operasinya sehingga teknik Anestesi
dapat direncakan dalam keadaan tidak terburu-buru. Jalan dan luasnya operasi sudah
dapat direncanakan. Pada bedah gawat darurat, faktor waktu yang sangat berharga ini
tidak ada lagi. Dokter anestesi dihadapkan kepada tugas dengan waktu persiapan yang
sangat singkat, mungkin 1 jam atau kurang. Sehingga harus dicapai kompromi antara
pendekatan ideal dan kondisi anestesi optimal yang dapat diberikan untuk menunjang
intervensi bedah gawat darurat ini.1
Untuk diagnosis yang belum jelas, Ahli Anestesi dapat menyiapkan cara-cara
anestesi untuk kebutuhan bedah. Dengan kata lain waktu untuk operasi elektif terdapat di
pihak ahli anestesi.1,5
Penundaan resusitasi dan persiapannya lebih sering menguntungkan, walaupun
demikian penundaan hanya diperbolehkan untuk memperbaiki keadaan penderita. Seperti
contoh, jika terjadi perdarahan masif yang kontinu seperti pada ruptur lien, ketika tranfusi
tidak dapat berlomba dengan kehilangan darah, dan bahkan jika tekanan darah meningkat
maka kehilangan darah dapat meningkat lebih lanjut sehingga lebih baik menghentikan
perdarahan organ pembedahan dan setelah itu baru tranfusikan darah.1,5

1
I.2.Tujuan
Tindakan bedah darurat yang kecil dapat membawa risiko anestesi besar yang
tidak terlihat dengan jelas pada permulaan. Oleh karena itu penilaian klinis yang baik,
serta kemampuan untuk mengenal dan mempersiapkan diri untuk situasi - situasi yang
berbahaya adalah sangat berharga.
Oleh sebab itu pada penulisan refrat ini akan membahas tentang penatalaksanaan
anestesi pada kegawat daruratan trauma abdomen.
II. TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional.
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan
emosional yang hebat.
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan
tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja .3
ETIOLOGI
Ada bermacam-macam penyebab trauma abdomen, diantaranya akibat luka
tusuk, luka tembak, pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, dan kompresi pada
penggunaan sabuk pengaman.3
KLASIFIKASI
Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi.
1. Kontusio
dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding
abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis
atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai
tumor.2
2. Laserasi
Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga
abdomen harus di eksplorasi atau terjadi karena trauma penetrasi. Trauma
Abdomen adalah terjadinya kerusakan pada organ abdomen yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme,
kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.2

PATOFISIOLOGI
Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam.
Pada trauma tumpul dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya
menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velisitas tinggi sering
menimbulkan kerusakan organ multipel, seperti organ padat ( hepar, lien, ginjal ) dari
pada organ-organ berongga.2,3

3
TANDA DAN GEJALA
1. Trauma tembus
adalah trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritoneum yang
menyebabkan hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ,respon stress
simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri dan kematian
sel.
2. Trauma tumpul
adalah trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritoneum yang
menyebabkan kehilangan darah, memar/jejas pada dinding perut dan kerusakan
organ-organ. Dapat diketahui dengan adanya nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas
dan kekakuan (rigidity)dinding perut. 3

KOMPLIKASI
- Perforasi
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia
atau mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung, maka terjadi
perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma dan timbul gejala peritonitis hebat.
Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon, mula-mula timbul gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak. Baru setelah 24 jam
timbul gejala-gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.
Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil akhirnya adalah faeses, maka jika
kolon terluka dan mengalami perforasi perlu segera dilakukan pembedahan. Jika tidak
segera dilakukan pembedahan, peritonium akan terkontaminasi oleh bakteri dan faeses.
Hal ini dapat menimbulkan peritonitis yang berakibat lebih berat.2,3
- Perdarahan
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, trauma tajam, dan tembak) dapat
menimbulkan perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada trauma adalah alat-
alat parenkim, mesenterium, dan ligamenta; sedangkan alat-alat traktus digestivus pada
trauma tumpul biasanya terhindar. Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit
dibandingkan dengan trauma tajam, lebih-lebih pada taraf permulaan. Penting sekali
untuk menentukan secepatnya, apakah ada perdarahan dan tindakan segera harus
dilakukan untuk menghentikan perdarahan tersebut.2,3
Sebagai contoh adalah trauma tumpul yang menimbulkan perdarahan dari limpa.
Dalam taraf pertama darah akan berkumpul dalam sakus lienalis, sehingga tanda-tanda
umum perangsangan peritoneal belum ada sama sekali. Dalam hal ini sebagai pedoman
untuk menentukan limpa robek (ruptur lienalis) adalah :
• Adanya bekas (jejas) trauma di daerah limpa
• Gerakkan pernapasan di daerah epigastrium kiri berkurang
• Nyeri tekan yang hebat di ruang interkostalis 9 - 10 garis aksiler depan kiri.8

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
• Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ;
kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi,
adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
• Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.

• Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.

• IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran


kencing.
• Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang
diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang
disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum
pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran
bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli
terlebih dahulu.
• Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan
cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga
peritonium.8

PENATALAKSANAAN ANESTESI TRAUMA ABDOMEN


A. PEMERIKSAAN AWAL
Pemeriksaan awal untuk pasien trauma dapat dilakukan di tempat kejadian, di
ruang gawat darurat, atau lebih jarang, di kamar operasi. Perawatan distandarisasi
berdasarkan Advanced Trauma Life Support (ATLS), yang dikembangkan oleh American
Collage of Surgeon, yang protocol pertamanya berlaku tahun 1980. Idealnya, evaluasi
trauma meliputi evaluasi yang terkoordinasi dengan baik oleh dokter jaga dan atau dokter
bedah, perawat khusus dan radiografer dengan kapabilitas yang sesuai. Dokter bedah
saraf dan bedah ortopedi harus siap kapanpun diperlukan. Tujuan utama anestesiologis

5
adalah untuk mempertahankan fungsi sistem saraf, memelihara pertukaran gas respirasi
yang adekuat dan homeostasis sirkulasi.7
Berdasarkan protocol ATLS, eveluasi awal harus meliputi tiga komponen:
penilaian cepat, survey primer dan survey sekunder .
• Penilaian cepat : fase ini harus mengambil waktu beberapa detik saja dan
harus dapat menentukan apakah pasien stabil, tidak stabil, meninggal atau
kritis.
• Survey primer: evaluasi yang lebih detail dalam hal fungsi fisiologis yang
penting untuk kehidupan, yang meliputi jalan napas, pernapasan dan
sirkulasi. Jika terdapt ganguan dari ketiga fungsi ini maka tindakan
penanganan harus dilkukan segera. Penilaian disabilitas yang difokuskan
pada pemeriksaan neurologis juga dilakukan pada fase ini.
• Survey sekunder: evaluasi yang detail dan sistemik dari setiap regio
anatomi. Disposisi ditentukan. Informasi dari pasien atau dari orang-orang
di sekitar pasien didapatkan untuk memperoleh data tentang penyakit lain
yang dialaminya.7
B. MANAGEMEN JALAN NAFAS
Anestesiologis memainkan peran penting dalam manjemen dini untuk pasien
trauma untuk mengamankan jalan napasnya dan berperan pula sebagai konsultan untuk
personel kegawatan yang lain. Evaluasi membutuhkan diagnosis trauma jaringan lunak,
penilaian potensi obstruksi akut dan prediksi bertambah parahnya cidera yang mungkin
akibat intervensi jalan napas yang menyebabkan :

Hipoksia
Hipoksia pada sering trauma pada umumnya disebabkan oleh obstruksi jalan
napas, apneu, cidera thorax, dan status sirkulasi yang buruk. Sianosis kadang sulit untuk
dideteksi pada pasien yang anemis, hipovolemik dan pasien yang berpigmen kulit gelap.
Pulse oxymetri sering diperlukan untuk menilai oksigenasi dan analisis gas darah arterial
harus didapatkan secara dini jika terdapat keraguan. Oksigen supplemental harus
diberikan, dan intervensi jalan napas definitif diambil jika terdapat kecurigaan oksigenasi
jaringan yang tidak adekuat. 6
Obstruksi jalan napas sering disebabkan oleh laserasi, sekresi, benda asing,
fraktur, atau laksitas jaringan pada pasien yang tidak sadar. Intrervensi awal meliputi
oksigen supplemental, chin lift dengan jaw thrust, pembersihan orofaring dan
pamasangan jalan napas oral atau nasal. Ventilasi harus dibantu jika diperlukan dengan
menggunakan kantung yang dapat mengembag sendiri serta imobilisasi spinal cervical. 6

0100090000032a0200000200a20100000000a201000026060f003a03574d4643010000
00000001002ae00000000001000000180300000000000018030000010000006c00000000
00000000000000350000006f0000000000000000000000be1000009117000020454d4600
000100180300001200000002000000000000000000000000000000c0120000101a0000cb
0000001a010000000000000000000000000000c0190300504f0400160000000c00000018
0000000a0000001000000000000000000000000900000010000000f40300009105000025
0000000c0000000e000080250000000c0000000e000080120000000c0000000100000052
0000007001000001000000a4ffffff00000000000000000000000090010000000000000440
0022430061006c0069006200720069000000000000000000000000000000000000000000
000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000011008c55
110010000000f05811007056110052516032f0581100e85511001000000058571100d458
110024516032f0581100e85511002000000049642f31e8551100f058110020000000ffffffff
7c2d2001d0642f31ffffffffffff0180ffff01800fff0180ffffffff000000000008000000080000d
4fbec0401000000000000005802000025000000372e90010000020f0502020204030204ef
0200a07b20004000000000000000009f00000000000000430061006c0069006200720000
00000080c64d0470a060321dca27755c2d20010c48d8001c5611009c3827310a00000001
0000005856110058561100e87825310a000000805611007c2d2001647600080000000025
0000000c00000001000000250000000c00000001000000250000000c0000000100000018
0000000c0000000000000254000000540000000000000000000000350000006f00000001
00000055558740764087400000000057000000010000004c000000040000000000000000
000000f50300009105000050000000200014003600000046000000280000001c00000047
44494302000000fffffffffffffffff4030000920500000000000046000000140000000800000
04744494303000000250000000c0000000e000080250000000c0000000e0000800e00000
0140000000000000010000000140000000400000003010800050000000b0200000000050
000000c02f100ab00040000002e0118001c000000fb020300010000000000bc020000000
00102022253797374656d000000000000000000000000000000000000000000000000000
0040000002d010000040000002d01000004000000020101001c000000fb02f0ff00000000
00009001000000000440002243616c696272690000000000000000000000000000000000
0000000000000000040000002d010100040000002d010100040000002d0101000500000
00902000000020d000000320a0f0000000100040000000000ab00f10020b509000400000
02d010000040000002d0100000300000000000100090000032a0200000200a201000000

7
00a201000026060f003a03574d464301000000000001002ae00000000001000000180300
000000000018030000010000006c0000000000000000000000350000006f000000000000
0000000000be1000009117000020454d4600000100180300001200000002000000000000
000000000000000000c0120000101a0000cb0000001a0100000000000000000000000000
00c0190300504f0400160000000c000000180000000a0000001000000000000000000000
000900000010000000f403000091050000250000000c0000000e000080250000000c0000
000e000080120000000c00000001000000520000007001000001000000a4ffffff00000000
0000000000000000900100000000000004400022430061006c0069006200720069000000
000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
000000000000000000000000000011008c55110010000000f05811007056110052516032
f0581100e85511001000000058571100d458110024516032f0581100e855110020000000
49642f31e8551100f058110020000000ffffffff7c2d2001d0642f31ffffffffffff0180ffff01800
fff0180ffffffff000000000008000000080000d4fbec0401000000000000005802000025000
000372e90010000020f0502020204030204ef0200a07b20004000000000000000009f0000
0000000000430061006c006900620072000000000080c64d0470a060321dca27755c2d20
010c48d8001c5611009c3827310a000000010000005856110058561100e87825310a0000
00805611007c2d20016476000800000000250000000c00000001000000250000000c0000
0001000000250000000c00000001000000180000000c0000000000000254000000540000
000000000000000000350000006f00000001000000555587407640874000000000570000
00010000004c000000040000000000000000000000f50300009105000050000000200014
003600000046000000280000001c0000004744494302000000fffffffffffffffff4030000920
50000000000004600000014000000080000004744494303000000250000000c0000000e0
00080250000000c0000000e0000800e00000014000000000000001000000014000000040
0000003010800050000000b0200000000050000000c02f100ab00040000002e0118001c0
00000fb020300010000000000bc02000000000102022253797374656d000000000000000
0000000000000000000000000000000000000040000002d010000040000002d01000004
000000020101001c000000fb02f0ff0000000000009001000000000440002243616c69627
26900000000000000000000000000000000000000000000000000040000002d010100040
000002d010100040000002d010100050000000902000000020d000000320a0f000000010
0040000000000ab00f10020b50900040000002d010000040000002d01000003000000000
0
Manajemen Jalan Napas Definitif
Kontrol definitif jalan napas adalah penting untuk melindungi pasien dari aspirasi
pulmoner dan obstruksi jalan napas, serta untuk mempertahankan perrtukaran gas selama
dilakukannya resusitasi. Indikasi mutlak untuk intubasi segera antara lain GCS kurang
dari 9, ancaman shock, obstruksi jalan napas, pasien yang gelisah dan membutuhkan
sedasi, trauma dada dengan hipoventilasi, hipoksia, dan henti jantung. Jika keputusan
untuk melakukan intubasi telah dibuat, peran selang napas oral atau nasal hanya diberikan
sementara untuk mempertahankan jalan napas sampai selang endotrakheal terpasang.11,12
Fraktur spinal cervical harus selalu dicurigai pada pasien trauma meskipun tidak
didapatkan cukup tanda yang menunjukkan adanya cidera di atas clavicula.Collar cervical
diperlukan namun tidak dapat memberikan imobilisasi penuh dan bahkan dapat
mengakibabtkan kerusakan kulit dengan penggunaan yang lama. 11
Resiko Aspirasi
Aspirasi isi lambung sewaktu induksi anestesi atau sewaktu akan sadar kembali
harus sejauh mungkin dicegah. Waktu pengosongan memanjang oleh makanan berlemak
tinggi (8—10 jam), gangguan emosionil, dan obat narkotik. Interval waktu makan
terakhir dengan awal sakit Sangat penting sebab lambung berhenti bekerja waktu
timbulnya nyeri.9,10
Hiperventilasi atau gangguan pernafasan, menyebabkan penderita menelan udara
sehingga timbul perut kembung, yang memudahkan regurgitasi atau muntah.Sekalipun
telah dipasang maagslang, pengosongan lambung secara lengkap melalui slang tidak
dapat dijamin.
Rasa nyeri dan takut memperpanjang waktu pengosongan lambung.Isi perut
terdorong ke arah kepala, menekan sfingter kardia dan memudahkan regurgitasi atau
muntah. Pasien dalam keadaan coma atau setengah sadar, mudah aspirasi. Bila akan
menguras lambung maka jalan pernafasan harus diamankan dulu dengan tube endotrakeal
yang memakai cuff. Sekalipun ada reflek batuk, hal ini tidak menjamin perlindungan
terhadap aspirasi.10,11

9
Gambar 3.Aspirasi Lambung

Teknik anestesi pasien yang dicurigai mempunyai lambung penuh. Intubasi


dalam keadaan sadar. Dilakukan Crash induction,
dengan cara seperti di bawah ini :
Posisi Trendelenburg.
1. Posisi Trendelenburg dalam, sehingga isi lambung akan turun ke farings daripada
ke paru-paru.
2. Oksigenasi minimal 5 menit
3. Tubokurarin 3 mg atau pankuronium 1 mg disuntikkan secara intravena untuk
mencegah fasikulasi yang menaikkan tekanan intragastrik dan menimbulkan
regurgitasi.
4. Obat induksi anestesi disuntikkan dengan cepat, diikuti oleh suksinilkolin (bila
tidak ada kontra indikasi).
5. Jangan diventilasi, dan pembantu harus menekan trakhea secara keras terhadap
esofagus segera setelah pasien tidur.
6. Segera setelah otot lemas maka tube endoktrakheal harus dimasukkan ke dalam,
dan balonnya segera ditiup.
7. Syarat penting bahwa alat pengisap disiapkan setiap saat.6
Paling aman jika kita beranggapan bahwa setiap penderita yang akan menjalani
anestesi darurat mempunyai lambung yang terisi dan bertindak dengan tepat.
Beberapa kewaspadaan yang dapat dilakukan :
1. Pipa nasogastrik (NGT; ukuran 16 untuk orang dewasa) dapat dimasukkan.
Sesungguhnya NGT berguna dalam mengeluarkan cairan atau gas. Jika dibiarkan
ditempatnya, NGT tersebut dapat menyebabkan inkompetensi sfingter esofagus
bagian bawah dan menaikkan resiko aspirasi. Pemakaian pipa orogastrik dengan
lubang berukuran besar mungkin dapat ditoleransi oleh penderita yang mabuk
atau tidak sadarkan diri.
2. Metoklopramid (10 mg intramuskular atau intravena) akan meningkatkan
motilitas lambung dan meningkatkan tonus sfingter esofagus inferior, tetapi
keefektifannya berkurang karena pemberian atropin sebelumnya. Disritmia dapat
terjadi jika suntikan intravena terlalu cepat.
3. Sekresi asam dalam cairan lambung dapat dikurangi oleh penghambat reseptor
histamin H2. Kerusakan paling buruk terhadap jaringan paru berasal dari inhalasi
isi lambung dengan pH kurang dari 2,5. Obat yang paling memuaskan adalah
ranitidin 150 mg intramuskular, atau melalui mulut sekurang-kurangnya dua jam
sebelum pembedahan. Simetidin 300 mg (intravena secara lambat, intramuskular
atau melalui mulut), yang mula kerjanya lebih cepat tetapi lama kerjanya singkat,
dapat juga digunakan, tetapi kurang begitu efektif. Penghambat reseptor H2 ini
mengurangi volume dan keasaman cairan lambung yang disekresikan setelah obat
tersebut diberikan tetapi jelas tidak akan mempunyai pengaruh pada asam
lambung yang telah disekresikan.
4. Antasid dapat diberikan tetapi harus dipilih dengan cermat. Magnesium trisiklat
telah digunakan sejak dulu, tetapi bercampur secara buruk dalam cairan lambung,
dan menimbulkan kerusakan paru jika teraspirasi, dan walaupun bekerja sebagai
dapar yang baik, kefektifannya dapat rusak bila disimpan lama. Antasid ini
dicampur dengan natrium sitrat (20-30 ml larutan 0,3 molar yang diberi zat rasa
mint dan sakarin). Natrium sitrat bekerja dengan cepat tetapi hanya sementara, zat
ini relatif tidak menggangu jika teraspirasi ke dalam paru dan paling baik
diberikan dalam waktu 20 menit sebelum induksi anestesi. 20 ml natrium
bikarbonat 8,4% (larutan yang selalu tersedia karena zat tersebut digunakan untuk
resusitasi jantung) juga efektif.10,11
Perhatian Pada Penanganan lambung penuh harus lebih difokuskan pada
keamanan dan penetalaksanaan yang cepat untuk jalan napas, dibandingkan dengan
kepentingan untuk menurunkan resiko aspirasi secara farmakologis.
Denitrogensi paru dengan pemberian oksigen 100% harus diberikan. Penekanan
cricoid yang sesuai (manuver Sellick), dengan stabilisasi satu garis pada spinal cervical,
dapat menurunkan resiko aspirasi pulmoner (gambar 16-4 dan 16-5). Jalan napas dengan

11
masker laryngeal dapat digunakan untuk menjembatani selama dilakukannya intubasi
sulit sebelum usaha pemasangan fiberoptik atau trakheotomi.10
Tekanan cricoid diperlukan untuk menurunkan resiko aspirasi. Scope fiberoptik
dapat disisipkan lelalui jalan napas masker laryngeal, yang dapat membantu
mengidentiifikasi plica vokalis dan mempertahankan ventilasi masker. Intubasi cepat
dengan agen hipnotik dan relaksan otot merupakan teknik yang lebih disukai pada pasien
stabil tanpa cidera oral, maksilofasial atau cervical yang parah.11,12
Adapun Tehnik yang biasanya digunakan pada pasien dengan risiko yang
mengalami aspirasi lambung dan risiko terjadinya intubasi sulit yaitu dengan Rapid
Sequence Induction (RSI). Reflek jalan nafas yang ditumpulkan dengan pemberian obat
anestesia, pada pasien lambung penuh sangat berisiko mangalami aspirasi lambung (asam
atau makanan yang belum tercerna) akan menghasilkan morbiditas dan mortalitas. Risiko
aspirasi asam berkaitan dengan volume ( >0,4 ml/kg) dan keasaman ( pH < 2,5) dari
cairan lambung. Aspirasi dari material partikel menyebabkan obstruksi jalan napas.11

Tehnik Rapid Sequence Induction 11

Teknik melakukan RSI berbeda dari induksi yang rutin dilakukan, yaitu
1. Pasien selalu dilakukan preoksigenasi sebelum dilakukan induksi. 4 kali tarikan
nafas maksimal dari oksigen sudah cukup untuk denitrogenasi paru normal.
Pasien dengan penyakit paru memerlukan 3-5 menit preoksigenasi.
2. Prekurarisasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi mungkin mencegah
peningkatan tekanan intraabdomen yang berhubungan dengan fasikulasiyang
disebabkan oleh suksinilkolin. Tahap ini sering ditinggalkan, meski tahap ini
dapat menurunkan tonus spingter oesophagus bagian bawah. Jika recorunium
dipilih untuk relaksasi, dosis p[riming kecil (0,1 mg/kgbb) diberikan 2-3 menit
sebelum induksi mungkin mempercepat onset dari aksi.
3. Blade yang besar dan tube endotracheal disiapkan sebelumnya. Sebaiknya
dimulai dengan memakai stilet dan nomor tube endotracheal satu sampai
setengah nomor dibawah biasanya, untuk memeaksimalkan kemudahan
melakukan intubasi.
4. Asisten melakukan penekanan ringan diatas kartilago krikoid sesaat setelah
induksi (Sellick’s Manuver). Karena kartilago krikoid terbentuk cincin yang tidak
putus dan tidak kempes, tekanan diatas menekan jaringan dibawahnya.
Oesophagus lalu kolaps, dan secra pasif regurgitasi cairan lambung tidak dapat
mencapai hipofaring. Tekanan pada krikoid yang berlebihan (lebih keras daripada
yang ditoleransi orang pada umumnya) dapat menyebabkan ruptur dinding
oesophagus posterior.
5. Tidak ada pemberian tes dosis dari tiopental. Dosis induksi diberikan secara
bolus. Seharusnya dosis ini dimodifikasi bila ada indikasi bahwa sistem
kardiovaskular pasien tidak stabil. Agen RSI lain dapat menggantikan thiopental.
(seperti propofol, ketamin)
6. Suksinilkolin (1,5 mg/kgbb) atau recuronium (0,9 -1,2 mg/kgbb) dapat diberikan
segera setelah tiopenthal, walaupun pasien belum hilang kesadarannya.
7. Pasien tidak dilakukan ventilasi secara artifisisal, untuk menghindari pengisian
udara perut dimana hal ini dapat meningkatkan risiko emesis. Setelah reflek
spontan pasien berhenti atau respon otot terhadap rangsang hilang, pasien segera
mulai di intubasi. Penekanan pada cricoid dipertahankan sampai cuff tube
endotracheal sudah dikembangkan dan posisi tube sudah pasti. Modifikasi dari
RSI klasik memperbolehkan ventilasi yang gentle selama tekan krikoid
dipertahankan.
8. Bila intubasi mengalami kesulitan, tekanan pada krikoid dipertahankan sampai
dan pasien diventilasi secara gentle dengan oksigen sampai usaha intubasi
berikutnya dapat dilakukan. Bila intubasi tetap tidak berhasil, spontan ventilasi
seharusnya diadakan dan dilakukan intubasi sadar.
9. Setelah selesai pembedahan, pasien harus diekstubasi setelah reflek-reflek jalan
napas kembali dan kesadaran sudah pulih.

Procedure Rapid Sequence Induction 8

1. Preparasi
Obat : Thiopenthone, suxamethonium, efedrin, atropin
Endotracheal tube : dengan ukuran yang ada dan bervariasi, dan dicek ( yakin
insersi cuffnya intake, tidak bocor.
Laringoskope : dengan 2 ukuran blade yang bervariasi
Suction
Stilet : bila endotracheal tube mengalami kesulitan untuk penempatannya.

13
Canule intravenous
2. Monitoring
Blood presure, ECG, pulse oximetry, end tidal CO2 (jika ada)
3. Assisten
Seseorang yang diperlukan untuk memberikan krikoid pressure selama proses
RSI. Krikoid kartilago adalah kartilago yang berbentuk cincin dibawah larinks.
Jika dipindahkan lebih posterior dan dibentuk sirkuler dan solid, ini akan
menekan dan menutup esopagus. Ini mencegah regurgitasi pasif dari isi lambung.
4. Induction
Pasien diberikan preoxigenasi secara penuh dalam waktu 3 menit untuk
membuang semua nitrogen dari paru dan memberikan kembali O2.
Thiopenthone diberikan,siikuti dengan cricoid pressure, kemudian diberikan
suxametonium.
Penekanan krikotiroid (perasat Sellick). Krikoid adalah tulang rawan laring
yang melingkari laring secara menyeluruh. Krikoid berbentuk segi tiga pada
potongan melintang dengan permukaan posterior datar. Tekanan langsung ke
belakang pada krikoid, diarahkan ke arah vertebrae servikalis yang kemudian
akan menyumbat esofagus dan mencegah cairan memasuki laring. Walaupun
perasat ini tampak mudah tetapi membutuhkan keahlian dan ketepatan
penempatan tangan asisten yang bisa saja menyumbat laringoskop sehingga
menggangu anatomi normal laring atau gagal menutup esofagus.Jika penderita
muntah secara aktif penekanan krikoid harus dihilangkan karena esofagus dapat
menjadi ruptur. Penderita yang dapat muntah pada saat antara pemberian agen
induksi dan suksametonium, biasanya masih dapat mempertahankan kerja refleks
untuk menjaga saluran pernafasannya sendiri, dan akan menjadi aman bila
diberikan perelatan penyedot efektif yang dapat membersihkan muntahan dari
dalam faring,Sebelum ia menarik nafas, yang mungkin saja, yang terakhir.11
Pasien tidur ketika reflek bulu mata hilang, dan relaxasi setelah hilangnya
fasikulasi. Pasien di intubasi kemudian cuff diinflasikan dan tube terkunci.
Cricoid presure tidak dilepaskan sebelum anesthesi yakin bahwa tube sudah tepat
penempatannya. Untuk meyakinkan bisa didengarkan suara nafas bilateral,
diamati gerakan kedua dada, dan bekas CO2 (jika ada).
5. Anesthesia
Ketika anesthesilog yakin dengan jalan nafas yang sudah dikuasai, kemudian
akan memberikan agent : fentanyl, depolarising, volatil agent (isoflurane) untuk
maintanance anesthesia. Non depolarisasi sekarang dapat ditambahkan untuk
menjaga selama relaksasi otot.

6. Emergence
Jika pembedahan sudah selesai, semua agent anesthesia diturunkan dan kemudian
dimatikan, oksigen 100 % diberikan, neuromuskular blok dekembalikan, dan
pasien di bangunkan dari aneshesia. Permulaan risiko terjadinya regurgitasi isi
lambung sangat besar. Jalan nafas dibersihkan secara hati-hati dengan
menggunakan suksion, dan ET tetap ditinggalkan sebalum pasien sadar penuh

Pemilihan agen hipnotik untuk intubasi didasarkan pada status hemodinamik


pasien. Propofol atau thiopental dapat diterima pada pasien euvolemik dimana depresi
myokardial dan vasodilatasi bisanya dapat ditoleransi dengan baik. Etomidate dan
ketamin lebih disukai pada pasien dengan hipovolemia sedang dan parah. Penggunaan

15
relaksan otot tergantung pada kondisi klinis pasien. Suksinilkolin merupakan pilihan yang
jelas karena onset aksinya yang cepat namun harus dihindari pada pasien dengan luka
bakar atau cidera medulla spinalis lebih dari 24 jam dari cidera karena potensi terjadinya
respon hiperkalemia massif.
Rocuronium (1-1,5 mg/kg) memberikan kondisi intubasi pada 60-90 detik dan
dapat diberikan jika suksinilkolin dikontraindikasikan. Diskusi lebih lanjut tentang agen-
agen ini akan dibahas dalam induksi anestesi.
Penggunaan obat-obat hipnosis dan opioid untuk RSI serta penggunaan
premedikasi, dipengaruhi oleh pemilihan obat pelumpuh otot. Obat anestesi mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas intubasi ketika RSI dicapai tanpa
menggunakan pelumpuh otot. Premedikasi sangat penting, selama penggunaan propofol
dosis besar (2,5mg/kgbb atau lebih) dan opioid aksi pendekseperti alfentanil (30-40
µg/kgbb) atau remifentanil (sampai 4 µg/kgbb). Juga diperlihatkan bahwa lidokain
intravena dapat menghasilkan kondisi intubasi. 10,11,12
Ketika pelumpuh otot digunakan pemilihan dari obat anestesi tergantung dari
onset aksi dari obat pelumpuh otot. Dengan komponen aksi cepat seperti recuronium pada
dosis 0,6 mg/kgbb, obat hipnosis diperlukan sebagai suplemen dan hanya dengan dosis
kecil opioid. Misal afentanil 10-20 µg/kgbb. Ketika suksinil 1,5 mg/kgbb, recuronium
0,6mg/kgbb atau rapacuronium 1,5mg/kgbb digunakan, kondisi intubasi yang optimal
mungkin dicapai dengan dosis yang relatif lebih rendah dari obat anestesi meski tanpa
opioid. Bagaimanapun juga hemodinamik dan perubahan tekanan intraokuler lebih baik
dikontrol dengan pemberian dosis kecil opioid.3
Pencegahan regurgitasi dan aspirasi selama anestesi. Terdapat tiga cara untuk
mengatasi masalah regurgitasi dan aspirasi.
1. Induksi inhalasi dengan kepala diekstensikan ke belakang dan penderita
dimiringkan. Cara ini sudah kuno tapi merupakan metode yang baik untuk dicoba
dan masih berguna, terutama jika penderita dalam keadaan mendekati ajal. Cara
ini banyak digunakan sebelum dikenalnya relaksan otot, tetapi meningkatkan
bahaya regurgitasi pasif.
2. Intubasi secara sadar dibawah anestesi lokal. Cara ini dahulu banyak digunakan
di Amerika Serikat, tetapi menjadi tidak nyaman bagi penderita yang tidak
ditolong oleh seorang pakar.
3. Induksi cepat secara berurutan, metode yang hampir secara universal
dipraktikkan di Inggris. Praoksigenasi, induksi intravena, relaksasi dengan
suksametonium, intubasi. Induksi berurutan cepat, sekarang kadang-kadang
disertai (sebuah cara yang tepat) dengan penekanan krikotiroid (perasat Selick)
untuk menghalangi esofagus.11
Risiko yang paling banyak dari RSI yaitu terjadinya paralisis atau hilangnya
kontrol dari jalan nafas (seperti cerebral iskemik,dan jalan nafas pada saat pembedahan).
Meskipun tidak ada kontraindikasi absolut pada RSI, ada sedikit penanganan secara
klinis yang berbeda. RSI seharusnya digunakan secara hati-hati pada pasien tergantung
dengan gerakan otot-otot jalan nafas untuk menjaga patensi jalan nafas pada kondisi
seperti obstruksi parsial jalan nafas.
Paralisis dapat terjadi pada hilangnya gerakan otot-otot fisiologis, dan obstruksi
parsial jalan nafas dapat berkembang menjadi obstruksi total jalan nafas. Pada pasien
dengan kondisi ini sebaiknya pemberian sedasi dilakukan secara hati-hati, dan yang lebih
disukai yaitu intubasi sadar. Sehingga alat-alat untuk pengganti kontrol jalan nafas
seperti kit pembedahan atau alat-alat fiberoptik harus tersedia. RSI tidak diperlukan pada
pasien dengan cardiac arrest atau suatu keadaan koma yang berat atau yang tidak respon
terhadap laringoskop dan dengan penggunaan sedasi serta paralisis yang berlebihan. Pada
pasien ini dibutuhkan segera endotrachel tube dan selanjutnya dilakukan resusitasi.8,9,10

C. MANAJEMEN VENTILASI
Jika jalan napas telah diamankan, maka perhatian selanjutnya difokuskan pada
ventilasi dan oksigenasi. Hampir semua pasien yang mengalami cidera yang kritis
membutuhkan bantuan ventilasi atau ventilasi mekanis. Alat masker/ kantung yang dapat
mengembang sendiri yang non breathing digunakan pada pasien yang bernapas spontan
dan dapat dipasangkan pada selang endotrakhal pada pasien yang terintubasi. Jika
keparahan cidera tidak begitu akut dan jalan napas intak, pengangkutan oksigen melalui
kanula nasal atau masker terbuka dalah mencukupi selama pasien sadar, dengan refleks
protektif positif. Kerika terintubasi, ventilasi tekanan positif harus diberikan hanya jika
posisi selang telah diferifikasi dengan CO2 tidal akhir, pengembangan dada bilateral, dan
auskultasi. Pemeriksaan gas darah arterial dapat membantu menentukan adekuatnya
ventilasi dan oksigenasi. 1
Adanya fraktur pada sekurangnya tiga costae yang berurutan, dengan fraktur
sternal atau pemisahan costochondral, merupakan tanda sugestif untuk flail chest.
Pergerakan dada paradioksikal dapat terlihat dan kombinasi dengan radiografi daapt
memastikan diagnosis. Kontusi pulmoner yang berhubungan dengannya dan hemothorax

17
dapat memperbutuk insufisiensi respirasi yang disebabkan oleh pergerakan dada
paradoksikal.4,5
Penilaian kembali psien-pasien tersebut secara sering dan seksama diperlukan
untuk menyingkirkan insufisiensi ventilasi yang bermakna, namun flail chest bukan
semata-mata indikasi untuk diberikannya ventilasi mekanis. Penggunaan ventilasi
mekanis yang tidak sesuai dapat meningkatkan resiko komplikasi pulmoner dan
morbiditas pasien tersebut. Analgesia yang adekuat dapat menunda atau membatalkan
diperlukannya ventilasi mekanis dengan mengurangi tahanan dan kesulitan napas.
Analgesia epidural thoraksik merupakan pilihan terbaik untuk memperbaiki ventilasi
sebab dapat menurunkan resiko depresi respirasi seperti jika digunakan opioid parenteal.
Profil koagulasi harus diukur sebelum dilakukan pemsangan anestesi epidural. Observasi
klinis, analisis gas darah arterial secara serial, dan penilaian kapasitas vital dan daya
inspirasi menentukan keutuhan dari intubasi endotrakheal.

D. MANAJEMEN SIRKULASI DAN SHOCK


Hipotensi pada pasien trauma merupakan kejadian yang palng banyak terjadi
sebagai akibat hipovolemia dan hipoventilasi. Etilogi lain diantaranya tamponade
pericardial, kontusi jantung, penyakit koroner yang sudah ada sebelumnya, pneumothorax
tekan dan cidera medulla spinalis.
Variabel hemodinamik merupakan kunci dari evaluasi awal dari status volume
pasien. Pemeriksaan frekwensi denyut jantung, tekanan darah, tekanan nadi, volume
keluaran urin, kecepatan respirasi dan status mental dengan tidak adanya trauma kepala
merupakan parameter yang paling sederhana dan dapat dipercaya untuk menentukan
status sirkulasi. Respon sistemik terhaddap perdarahan meliputi peningkatan produksi
renin plasma, sekresi hormon antidiuretik, dan aktivitas katekolamin yang berakibat
terjadinya takikatrdi dan vasokonstriksi arteriolar. Mekanisme ini dilakukan untuk
mempertahankan tekanan darah sampai penurunan tekanan darah sebesar 30-40%. Oleh
karena itu, pasein yang mengalami hipovolemia yang parah mungkin masih memiliki
tekanan darah yang normal. Namun jika perkiraan kehilangan darah meleihi 40% maka
mekanisme kompensasi akan gagal dan terjadilah shock hipovolemik. Gangguan perfusi
yang persisten menyebabkan iskemia organ, hilangnya integritas membran dan hipoksia
intraseluler yang progresif. Dikembangkan oleh American College of Surgeon.
Bagian terbesar penderita bedah darurat (Trauma abdomen) mengalami gangguan
hemodinamik berupa perdarahan atau fluid loss.4,5,6
1. Secara umum kehilangan darah 10% dari Estimated Blood Volume dapat ditolerir
tanpa perubahan-perubahan yang serius (EBV dewasa 70 cc/kg BB), anak < 2 th
(80 cc/kg BB). Kehilangan > 10% memerlukan penggantian berupa Ringer
Laktat. Batas penggantian darah dengan Ringer Laktat adalah sampai Kehilangan
20% EBV atau Hematokrit 28% atau Hemoglobin ± 8 gr%.
Jumlah cairan masuk harus 2- 4 x jumlah perdarahan. Cara hemodilusi begini
bukan untuk menggantikan tempat transfusi darah, tetapi untuk :
a. Tindakan sementara, sebelum darah datang.
b. Mengurangi jumlah transfusi darah sejauh transpor oksigen masih memadai.
c. Menunda pemberian transfusi darah sampai saat yang lebih baik (misalnya pemberian
transfusi perlahanlahan/postoperatif setelah penderita sadar, agar observasi lebih baik
kalau-kalau terjadi reaksi transfusi).
d.Cairan Ringer Laktat mengembalikan sequestrasi/third space loss yang terjadi pada
waktu perdarahan/shock.Jumlah darah yang hilang tidak selalu dapat diukur na mun
dengan melihat akibatnya pada tubuh penderita, jumlah darah yang hilang dapat
diperkirakan sbb. :
— preshock : kehilangan s/d 10%
— shock ringan : kehilangan 10 - 20%.
Tekanan darah turun, nadi naik, perfusi dingin, basah, pucat.
— shock sedang : kehilangan 20 - 30%.
Tekanan darah turun sampai 70 mmHg. Nadi naik sampai diatas 140. Perfusi
buruk, urine berhenti.
— shock berat : kehilangan lebih dari 35% :
Tekanan Darah sampai tak terukur, nadi sampai tak teraba

2. Untuk fluid lose pada kasus-kasus abdomen akut diberikan Ringer Laktat dengan
pedoman Berkurangnya volume cairan intersisial menyebabkan terjadinya tanda-
tanda interssisial yaitu : turgor kulit jelek, mata cekung, ubun-ubun cekung,
selaput lendir kering. Berkurangnya volume plasma menyebabkan terjadinya
"tanda-tanda plasma" yaitu : takhikardia, oli-guria, hipotensi,shock.
Cara terapi dan monitoring
1. Apabila defisit berat berikan 20 ml/kg Ringer Laktat atau 0,9% NaCl cepat. Jika
setelah itu shock belum dapat diatasi, ulangi lagi. Tujuan tindakan pertama ini adalah
memulihkan volume darah/plasma dan mengatasi shock.

19
2. Berikutnya dalam 8 jam Pertama 50% dari defisit yang diperhitungkan diberikan. 16
jam berikutnya diberikan sisa 50% dari defisit. Setelah shockdapat diatasi, cairan
maintenance dapat diberikan bersama-sama dengan terapi defisit.
Cairan maintenance : dewasa 50 cc/kg BB dengan Natrium 2 – 4 mEq/lg BB; sisanya
sebagai larutan dextrosa.
3. Jika produksi urine sudah ada, kalau perlu dapat dibe- rikan Kalium 1 – 2 mEq/kg
dalam 24 - 36 jam.
4. Adakan evaluasi keadaan penderita secara berkala tiap 4-6 jam.
5. Sebagai tanda bahwa sirkulasi dan perfusi sudah baik adalah telapak tangan atau kaki
hangat, merah dan kering (sebagai kebalikannya pada waktu defisit dingin, kelabu dan
lembab).
6. Bila dapat dipasang CVP kateter, maka dilakukan "5- 2 fluid challenge. sampai
hemodinamik terbaik dengan CVP yang optimal. Cara ini sangat bermanfaat pada kasus-
kasus sulit (tua, sakit jantung dan sebagainya).1,6

Akses Intravena
Penempatan segera kanula intravena berlumen lebar sangat penting. Sekurangnya
digunakan jarum intravena dengan ukuran gauge-14 atau 16 yang idealnya dipasangkan
di atas atau di bawah diafragma pada cidera yang berat untuk memberikan volume pada
keajadian cidera vena cava superior atau inferior. Pemasangan monitor infasif telah
sebatas dilakukan selama resusitasi awal dan tidak boleh menunda terapi suportif. Kateter
vena jugularis interna, vena subclavia atau vena femoralis memberikan akses yang
sempurna, terutama pada keadaan perdarahan yang masif dimana pemasangan kanula
sulit dilakukan. Monitoring tekanan vena sentralis di ruang operasi juga bermanfaat untuk
membantu memperkirakan status volume secara umum.
Monitoring arterial invasive harus dipasang sesegera mungkin pada keadaan
perdarahan yang terus berlangsung atau ketidakstabilan hemodinamik. Kateter arteri
pulmoner jarang diindikasikan pada resusitasi awal pada pasien trauma. Penempatan
selanjutnya untuk monitor ini berguna pada keadaan cidera myocardial, sepsis, atau
ketidakstabilan hemodinamik yang parah dimana pengukuran tekanan pengisisian
jantung, curah jantung dan saturasi oksigen vena dapat mempengaruhi
penatalaksanaannya. 1,5

Pemilihan Cairan
Kontroversi masih berlangsung dalam hal apakah cairan kristaloid ataukah koloid
yang lebih dipilih untuk resusitasi awal. Tidak ada konsensus yang jelas mengenai hal ini.
Banyak dokter yang meyakini bahwa koloid tidak memiliki manfaat yang besar pada
keadaan akut. Resusitasi cairan awal harus dimulai dengan larutan garam seimbang
seperti ringer laktat, sementara itu dilakukan pemerikasaan golongan darah dan reaksi
silang. Normal saline pada volume yang sangat beasr berhubungan dengan kelebihan
beban klorida dan dapat memperparah asidosis intraseluler. Terdapat penelitian yang
membandingkan antara penggunaan larutan garam hipertonik saja dengan larutan garam
dikombinasikan dengan latrutan kooloid, meskipun penggunaannya sudah banyak
dipakai.5,7
Pada umumnya, infus 2.000 mL ringer laktat dalam 15 menit aharus
mengembalikan tanda vital pada pasien yang kehilangan 10-20% volume darahnya. Jika
normalisasi ini transient, maka kemungkinan 20-40% atau lebih darah yang hilang akan
terjadi. Tidak ada perbaikan dengan bolus kristaloid pada awal jika perdarahan yang
terjadi melebihi 40% dari volume daarah total. Pada keadaan ini, darah, koloid dan
kristaloid harus diberikan untuk mengisi kembali komparteman interstitial secara cepat
dan efisien. Jika tersedia koloid, albumin 5% dan hidroxyetyl starch merupakan larutan
yang paling direkomendasikan. Larutan starch harus dibatasi sebesar 20 mL/kg karena
kewaspadaan terjadinya disfungsi perdarahan transient.
Keberhasilan penggantian cairan ditunjukkan dengan penurunan denyut jantung
di bawah 100 kali/menit, tekanan nadi lebih besar dari 30 mmHg, urine output lebih dari
1 mL/kg/jam, perbaikan status mental dan minimlnya sidosis metabolic.7

Pengangkutan Oksigen
Penentuan kadar hematokrit serum harus dilakukan segera pada saat pasien
datang dan dilakukan secara frekuen jika dicurigai terjadi perdarahan. Interpretasi
hematokrit serum harus mempertimbangkan sudah atau belum dilakukannya resusitasi
cairan sebelum pengukuran diambil. Hematokrot serum dapat meningkat palsu sebelum
diberikan resusitasi yang mencukupi, sedangkan perdarahan terus berlangsung secara
bermakna, yang pengukuran postresusitasi sangat diperlukan.5,6
Pada keadaan perdarahan yang berat, terapi sel darah merah harus dimulai untuk
mempertahankan kapasitas pengangkutan oksigen yang optimal. PRC golongan O
negative diberikan jika keadaan tidak memungkinkan untuk memberikan darah yang
spesifik pada kasus dimana 50-70% volume sel darah merah pasien telah digantikan

21
dengan darah golongan O negative, pemberian lanjutan direkomendasikan untuk
mencegah terjadinya hemolisis intravaskuler dari antibody anti A atau anti B jika darah
jenis spesifik diberikan. Selalu diutamakan untuk pemberian setidaknya golongan darah
yang sesuai untuk mencegah keadaan ini. Selanjutnya disarankan untuk diberikan sel
darah merah dengan jenis spesifik dan telah disaring, dimana serum disaring untuk
antibody kelompok darah utama (membutuhkan waktu 15 menit). Reaksi silang lengkap
memakan waktu 45 menit dan terdiri atas pencampuran sel donor dengan serum resipien
untuk menyingkirkan adanya reaksi antigen-antibodi.5
Nilai ambang yang pasti untuk tranfusi tergantung dari ada atau tidaknya
kehilangan darah yang masih teraus beralangsung, umur pasien, dan komorbiditas,
termasuk penyakit jantung atau vaskuler yang besar. Pasien usia lanjut dan mereka yang
mempunyai penyakit kardiovaskuler yang parah harus dipertahankan pada atau di atas
30%, sedangkan pada pasien muda dan sehat dapat mentoleransi kadar serendah 20%,
selama hemostasis masih dapat dipertahankan.7
Koagulasi
Ketika volume darah yang besar telah diganti, trombositopeni delusional dan
kadar faktor pembekuan yang rendah dapat terlihat. Penggantian cairan harus dipandu
dengan evaluasi laboratorium yang sesuai. Trombosit umumnya diperlukan jika angka
trombosit kurang dari 50.000 dengan bukti kliniis terjadinya perdarahan mikrovaskuler.
Fresh frozen plasma diberikan untuk iregularitas pada prothrombin time (PT) atau
Partial Thromboplastin Time (PTT), ketika telah mencapai 1,5 kali nilai normal.
Cryoprecipitate, yang mengandung factor VII, fibrinogen, fibronectin dan factor XIII
diindikaiskan untuk mengkoreksi defisiensi factor koagulasi tertentu atau kadar
fibrinogen di bawah 80-100 mg/dL. Dengan transfusi yang massif dan bukti-bukti adanya
perdarahan mikrovaskuler, maka penggantian faktor dapat dimulai sebelum dilakukannya
pemeriksaan waktu perdarahan. Penggantian kalsium diindikasikan jika kadar kalsium
terion menurun sekunder dari chelasi sitrat, atau jika hipotensi terjadi meskipun telah
dilakukan penggantian cairan yang mencukupi.8,9

E. MANAJEMEN ASAM BASA DAN STATUS ELEKTROLIT


Asidemia
Kelainan asam basa yang paling banyak dialami pada pasien trauma adalah
asidemia dengan etiologi metabolik maupun respirasi. Asidosis respiratorik sering terjadi
pada keadaan hipoventilasi yang ditandai dengan penurunan kesadaran, atelaktasis,
pneumothorax dan kontusio pulmoner. Penempatan ventilasi mekanik atau bantuan jalan
napas definitive dengan cukupnya ventilasi menit akan memperbaiki kejadian asidosis
respiratorik.
Asidosis metabolic (pH<7,35, HCO3<21 mEq) sering disebabkan oleh curah
jantung yang rendah akibat hipovolemia dan perdarahan. Pengecualian antara lain kontusi
jantung, tamponade atau pneumothorax tekan yang dapat mengakibatkan penurunan
curah jantung dengan volume intravaskuler yang realatif normal. Pertimbangan lain
diantaranya asidosis laktat alkoholik atau ketoasidosis, ketoasidosis diabetic, dan cidera
termal akibat karbonmonoksida. Untuk membedakan ketiga etiologi tersebut dibutuhkan
pemeriksaan laktat serum, kadar keton urin, glucose darah, dan monitoring volume
intravaskuler. Keparahan dari asidemia dapat dinilai dari pemeriksaan gas darah arterial,
bikarbonat serium, dan defisit basa. Pada defisit basa -10mEq, efek kardiovaskuler
menjadi bukti, termasuk disritmia, penurunan kontraktilitas, peningkatan resistensi
vaskuler pulmoner, hipotensi dan resistensi dari katekolamin eksogen. Kadar -14 atau
lebih mengindikasikan hipovolemi yang parah. Tingginya kadar laktat serum meyakinkan
adanya aktivitas anaerobik dan asam laktat, namun, nilai ini dapat membaik secara
perlahan setelah dilalkukannya koreksi pH.1,2,6
Terapi definitif untuk asidosis metabolic membutuhkan koreksi dari etiologi yang
mendasarinya. Langkah awal meliputi penatalaksanaan hypoxemia, ekspansi volume
intravaskuler, memperbaiki kapasitas pengangkutan oksigen, dan memaksimalisasi kerja
jantung.
Terdapat perdebatan pendapat menganai penggunaan natrium bikarbonat pada
kasus asidosis metabaolik yang parah yang berubah dari pengukuran korektif inisial.
Pendekatan tradisional adalah pemberian natrium bikarabonat jika pH menurun di bawah
7,2. Hal ini didasarkan pada konsep bahwa alkalinisasi akan memperbaiki hemodinamik
sistemik, dan akan merespon dengan katekolamin. Hanya sdikit data yang mendukung
penggunaan natrium bikarbonat ini untuk mengatasi asidosis laktat, dan tidak ada
penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan hasil. Pada penelitian dengan model
binatang, natrium bikarbonat dapat sementara meningkatkan tekanan darah sistemik dan
pH, namun pH intraseluler tidak dapat diperbaiki.2
Asidemia bahkan dapat memburuk dangan perubahan enzimatik pada natrium
bikarbonat, dan meningkatkankan kadar PaCO2. Ventilasi mekanis dan aliran darah
pulmoner yang adekuat adalah penting untuk mengatasi peningkatan PaCO2 ini dan

23
natrium bikarbonat harus digunakan dengan penuh kehati-hatian pada pasien yang tidak
diventilasi. Pergeseran ke kiri pada kurva disosiasi oksihemoglobin yang menurunkan
pengangkutan oksigen jaringan merupakan faktor yang merugikan dari natrium
bikarbonat, dan dapat memperburuk hipoksemia. Hipernatremia, yang disebabkan oleh
keadaan hiperosmoolar, serta hiperkalemia, merupakan faktor berbahaya lain dari
pemberian natrium bikarbonat.4,6
Meskipun data pendukung yang tersedia sedikit, natrium bikarbonat masih secara
luas digunakan sebagai penanganan sementara sebelum etiologi yang mendasari dapat
dipastikan. Pengukuran defisit basa tubuh total (berat badan/kg x 0,3 x deficit bsa) dapat
menjadi panduan terapi. Setengah dari defisit ini dikoreksi di awal dan diikuti oleh
pengukuran gas darah ulangan.
Elektrolit
Gangguan kalium sering terjadi pada psien trauma. Hipoklemia terjadi jika
alkalosis metabolic atau respiratorik (biasanya iatrogenic dari resusuitasi) menyebabkan
perpindahan kalium ke dalam sel yang bertukar dengan ion hidrogen dan atau ketika
katekolamin endogen dilepaskan sebagai respon terhadap shock yang diaktivasi oleh
pompa Na+K+ yang mentransfer kalium ke dalam sel. Hiperkalemia dapat terlihat pada
hubungannya dengan disritmia pada keadaaan shock hipovolemik dengan asidosis
metabolic dan harus diterapi secara agrsif selama resusitasi. Hiperkalemia juga
merupakan perhatian teoritis pada tranfusi yang massif, meskipun kalium juga memasuki
sel darah merah ketika mereka dihangatkan oleh suhu tubuh. Manajemen lanjut dari
elektrolit harus difokuskan pada normalisasi kadar glukosa, kalsium dan magnesium,
terutama pada trannsfusi multipel.8,9

F. PELAKSANAAN ANESTESI PADA TRAUMA ABDOMEN


Setelah pasien memasuki ruang operasi, monitor harus dipasang berdasarkan
pada bagaimana cidera yang dialami pasien, status hemodinamik, dan kondisi yang
menyertai. Anestesi umum bisanya merupakan teknik yang dipilih, sedangkan
pendekatan regional dipersiapkan untuk cidera ekstremitas perifer saja. Tujuan dari
anestesi umum adalah pemeliharaan yang adekuat dari ventilasi dan oksigenasi, stebilitas
kardiovaskuler, control hipertensi intracranial, normalisasi asam-basa/ elektrolit dan
pencegahan untuk terjadinya hipotermia dan koagulopati

Obat- Obat Yang Digunakan :


1. Obat induksi 1,2,10,11
a. Thiopental
Diskripsi : thiopental adalah obat golongan barbiturat dengan aksi ultra pendek,
mempunyai onset cepat dengan induksi dari hipnosis dan amnesia tapi bukan analgesia,
dan tiopental tidak menimbulkan nyeri. Pulih sadar setelah pemberian bolus adalah cepat
dan baik, meski pemberian dosis ulangan mungkin menimbulkan akumalasi dan
pemanjangan durasi. Depresi jantung dan vasodilatasi dengan hipotensi bisa menjadi
berat. Thiopental merupakan pendepresi pernapasan yang poten. Thiopental menurunkan
aliran darah ke otak, dan juga menurunkan laju metabolik otak untuk oksigan dan
glukosa. Meski demikian, kejadian hipotensi lebih menonjol daripada penurunan
konsumsi osksigen, dan sudah seharusnya hipotensi dicegah pada trauma cedera otak.
Indikasi : obat induksi, anti kejang, sedatif, pengontrol tekanan intrakranial.
Kontraindikasi : Poriphiria.
Peringatan:Tiopental menyebabkan hipotensi dan depresi jantung dan harus menjadi
peringatan atau pengurangan dosis jika digunakan pada pasien dengan risiko hipovolemia
dan atau hipotensi, hipertensi, riwayat penyakit jantung dan pasien tua.
Dosis: Dewasa 3-5mg/kg, pediatrik/neonatus 5-6mg/kg. Rute: Intravena

b. Etomidate
Deskripsi : Obat induksi non barbiturat yang kurang memiliki analgesik yang baik.
Etomidate mempunyai efek minimal terhadap kardiovaskular dan menjaga tekanan dara.
Juga memiliki efek depresi pernapasan yang poten. Etomidate dilaporkan menurunkan
hormon steroid adrenal. Myoklonus(kontraksi otot) mungkin terlihat setelah pemberian
etomidate. Etomidate mempunyai onset cepat dengan durasi aksi pendek.
Indikasi : Induksi, terutama berguna pada pasien hipovolemik dengan penyakit jantung
atau hipertensi.
Peringatan: pasien dengan hipertensi, hipovolemia, atau pasien tua mungkin memerlukan
pengurangan dosis.
Dosis : 0,1-0,4mg/kgbb, rute: intravena

25
c. Ketamine
Deskripsi : ketamine adalah turunan phencyclidine yang menghasilkan aksi cepat
anestesia “disosiatif”, dengan sedasi, amnesia, menghasilkan analgesia dan immobilitas.
Mempunyai efek minimal depresi jantung dan meningkatan denyut nadi dan tekanan
darah melalui stimulasi sentral simpatis. Induksi dengan ketamine menyebabkan
peningkatan hampir 25% tekanan darah arteri. Ketamin merupakan bronkodilator dan
mempunyai efek minimal depresi pernapasn. Mempunyai karakteristik meningkatkan
sekresi saliva. Ketamine mempunyai efek analgesik
Indikasi: obat induksi, analgesik.
Indikasi: obat induksi, analgesia
Kontraindikasi : pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.
Perhatian : Hipotensi mungkin tampak pada pasien yang bergantung pada symphatetic
drive-nya, pasien dengan hipertensi dan penyakit jantung, halusinasi dan reaksi
emergence biasa terjadi
Dosis: 1-2mg/kgbb, Rute: intravena
d. Propofol
Deskripsi : putih seperti susu, emulsi alkohol yang menghasilkan onset cepat dengan
tanpa analgesik. Dimetabolisme dan diredistribusikan secara cepat sehingga memberikan
durasi aksi yang pendek. Propofol merupakan vasodilator poten depresi jantung dengan
hipotensi yang tampaksetelah pemberian. Propofol menghasilkan penurunan
arterisistemik hampir 30 % pada orang sehat dan lebih drastis lagi pad hipovolemia. Juga
pendepresi pernapasan yang poten.
Indikasi : agen induksi, sedatif
Kontraindikasi : pasien dengan alergi telur atau susu kedelai.
Perhatian: pasien tua, hipovolemia, hipertensi kurangi dosis jika diperlukan, mungkin
menyebabkan iritsi vaskular jika diberikan pada vena kecil, campuran emulsi memicu
pertumbuhan bakteri dan dianjurkan untuk sekali pemakain
Dosis : 1-2mg/kgbb. Rute:intravena

2. 2. Obat pelumpuh otot 1,2,10,11


a. Suksinilkolin
Deskripsi : Merupakan obat pelumpuh otot golongan depolarisasi. Dibentuk oleh
kombinasi dua molekul asetilkolin bersama-sama. Ini melepaskan reseptor asetilkolin dari
saraf dan menyebabkan saraf menjadi depolarisasi yang tampak sebagai fasikulasi otot.
Bukan obat yang kompetitif, sehingga akan menetap sampai di metabolisme oleh enzim
kolinesterase plasma. Merupakan obat yang mempunyai aksi ultrapendek hampir kurang
lebih 5 menit. Mempunyai onset aksi yang pendek dibanding obat vpelumpuh manapun.
Efek kardiovaskular minimal, meskipun bradikardi dan aritmia tampak. Fasikulasi dapat
menyebabkan peningkatan sementara konsentrasi kalium serum pada pasien normal.
Hanya sebagai agen pelumpuh, tidak mempunyai efek sedasi atau analgesi.
Indikasi: pelumpuh otot skeletal cepat.
Kontraindikasi: pasien dengan defisiensi enzim pseudokolinesterase, pasien riwayat atau
riwayat hipertermi maligna, trauma mata penetrasi.
Perhatian: digunakan dengan perhatian jika sama sekali, pada setiap pasiendicurigai
mempunyai jalan nafas sulit. Pada pasien dengan hiperkalemia, seperti: cedra tulang
belakang, luka bakar,stroke, crush injury masif, penyakit otot degeneratif, pasien yang
terekspos pada temperatur yang ekstrim dan kelumpuhan pada periode waktu lama yang
tidak diketahui, serta pasien penyakit ginjal, hiperkalemia menyebabkan fibrilasi ventrikel
dengan kolaps kardiovaskuler. Waktu puncak onset dari mulai timbul tidak diketahui
tetapi secara primer terlihat setelah 7 hari pasca cedrera, dan durasi dari respon tidak
diketahui. Secara umum aman diberikan dalam 24 jam dari cedera. Fasikulasi
menyebabkan tekanan intraokuler meningkat dan merusak bola mata terbuka; mungkin
juga meningkatkan tekanan intrakranial (secara klinis tidak signifikan)
Dosis: 1-2mg/kg . rute : intravena
b. Recuronium
Deskripsi : mempunyai onset cepat (60 detik). Onset dan durasi tergantung dosis. Secara
umum antara 15-20 menit untuk durasinya. Efek recuronium dilawan dengan pemberian
antikolinesterase dimana akan meningkatkan sejumlah asetilkolin pada resptor untuk
kompetisi dengan rocuronium. Efek kardiovaskular minimal, mungkin terlihat takikardi.
Recuronium mempunyai onset yang diharapkan sehingga menjadi obat pilihan untuk obat
RSI ketika suksinilkolin menjadi kontrainsikasi. Jika intubasi gagal dilakukan dan ini
menghasilkan keadaan ‘tidak dapat intubasi dan tidak bisa ventilasi, maka hal ini
mengapa suksinil tetap menjadi pilihan untuk RSI pada pasien trauma.
Indikasi : pelumpuh otot.
Perhatian : digunakan dengan perhatian, jika sama sekali, pada pasien dengan
kemungkinan intubasi sulit.
Dosis: intubasi pada RSI 1mg/kgbb, pemeliharaan 0,1mg/kgbb. Rute: Intravena

27
3. 3. Sedatif/ Analgesik 1,2,10,11
a. Midazolam
Deskripsi: Merupakan golongan benzodiazepin, sama seperti diazepam. Penggunaan
midazolam untuk induksi intravena memerlukan dosis tinggi yang mempunyai
korespondensi dengan efek kardivasculer yang dramatis. Mempunyai efek pendepresi
parnapasan yang baik. Efek dilawan dengan pemberian antagonis flumazenil. Golongan
benzodiazepin seharusnya tidak digunakan untuk obat induksi intravena RSI.
Indikasi: sedatif
Perhatian : depresi pernapasan mungkin memperburuk tekanan intrakranial. Gunakan
pengurangan dosis pada pasien tua dan hipovolemia.
Dosis: 0,5-1 mg/kgbb, titrasi untuk mencapai efek yang diharapkan.
Rute : intravena
b. Fentanyl
Deskripsi : merupakan analgesik opioid dengan potensi sangat tinggi. 100 kali lebih poten
dari morphin. Mempunyai onset cepat dan durasi aksi pendek. Pengaruh pada
kardiovaskular relatif stabil dan mendukung tekanan darah. Tidak bersifat mengeluarkan
histamin seperti morphin. Biasa terjadi depresi nafas dan tergantung dosis. Memiliki efek
sedasi. Efek fentanyl dapat dilawan dengan nalokson.
Indikasi: analgesik/sedasi, premedikasi sebelum dilakukan intubasi.
Perhatian : Pasien tua, hipovolemia atau pasien dengan obat sedatif lain harus ada
pengurangan dosis.
Dosis : 25-100mcg titrasi untuk memperoleh efek 3-5 mcg/kgbb 3-5 menit sebelum
dilakukan intubasi.
Rute :intravena.
c. Lidokain
Deskripsi: merupakan anestesi lokal golongan amida. Mekanisme aksi dengan stabilisasi
membran dari jaringan saraf melalui penghambatan jalur natrium yang diperlukan untuk
penjalaran impuls. Juga digunakan sebagai obat antidisritmia terutama untuk aritmia
ventrikel.
Indikasi: anestesi lokal, menumpulkan respon hemodinamik pada intubasi, pengobatan
aritmia ventrikel.
Perhatian : pasien dengan blokade jantung, hipovolemia berat, gagal jantung kongestif.
Dosis : 1-2mg/kgbb 3-5 menit sebelum dilakukan intubasi
Rute : intravena, endotracheal.
G. INDUKSI ANESTESI TRAUMA ABDOMEN1
Praoksigenasi Penting sebelum dilakukannya anestesi induksi berurutan
secara cepat.Tindakan ini memiliki tiga tujuan :
1. Nitrogen dihilangkan, sehingga dapat meningkatkan cadangan O2 dan
memungkinkan periode apnea yang lebih panjang.
2. Tangan ahli anestesi tidak perlu memegang masker untuk memberi ventilasi
pada penderita setelah hambatan neuromuskular berhasil dilaksanakan.
Sehingga tidak akan terjadi penundaan sebelum intubasi trakea, dan oksigen
tidak perlu dipaksa masuk kedalam lambung, yang dapat menimbulkan
peninggian tekanan intra gastrik dan resiko regurgitasi.
3. Pada waktu yang lebih lama, Nitrogen yang terdapat dalam saluran cerna
yang dapat menurun sehingga tekanan abdomen berkurang.11
Induksi cepat dengan menggunakan tipoental atau propofol dengan suksinilkolin,
sering dilakukan pada pasien yang stabil. Titrasi yang hati-hati dengan infus loading
mungkin dibutuhkan untuk meminimalisir efek samping kardiovaskuler. Tidak ada
konsensus yang dapat dijadikan acuan untuk pemilihan agen yang ideal untuk pasien
yang tidak stabil. Ketamin dan etomidate dapat diterima jika digunakan dengan sesuai.
Ketamin dapat memelihara tekanan darah melalui stimulasi simpatis indirek namun dapat
mengakibatkan hipotensi paradoksikal pada psien hipertensi kronik dengan deplesi
katekolamin. Ketamin tidak boleh diberikan pada pasien dengan cidera tertutup karena
kemampuannya untuk menigkatkan tekanan itrakranial (ICP). Etomidate memiliki
stabilitas kardiovaskuler yang lebih besar dari semua agen induksi sekunder dari efeknya
yang kecil pada system saraf simpatis dan refleks otonom. Induksi menghasilkan
penurunan yang minimal pada kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan resistensi
vaskuler sistemik.
Suksinilkolin (1-1,5 mg/kg) adalah relaksan otot pilihan untuk menghasilkan
paralysis otot dengan onset cepat yang dibutuhkan untuk laringoskopi dan intubasi.
Onsetnya kurang dari 60 detik dan durasi aksinya hanya 5-10 menit pda sebagain besar
kasus. Suksinilkolin berhubungan dengan kompliksi seperti hiperkalemia, aritmia,
peningkatan tekanan intrakranial dan tekanan intraokuler, serta hipertensi maligna. Saat
ini diyakini bahwa suksinilkolin aman untuk pasien dengan cidera yang terlihat jelas
namun harus dihindari pda cidera medulla spinalis atau luka bakar yang telah terjadi 24
jam atau lebih. Rocouronium (1-1,5 mg/kg) merupakan alternatif relaksan otot

29
nondepolarisasi yang lebih baik dibandingkan dengan suksinilkolin dalam hal onset
kerjanya, yang menghasilkan kondisi intubasi dalam 60-90 detik, namun memiliki durasi
aksi yang hampir sama dengan vecuronium (digunakan secara hati-hati pada pasien
dengan jalan napas yang sulit).

H. PEMELIHARAAN ANESTESI PADA TRAUMA ABDOMEN 10,11


Anestesi dipelihara dengan kombinasi oksigen, agen volatile, relaksan otot
nondepolarisasi, dan opioid aksi cepat. Agen inhalasi diantaranya isofluran, sevofluran,
dan desfluran. Semua agen volatile menghasilkan penurunan tekanan darah yang
tergantung dosis karena ia mempengaruhi tonus vaskuler dan atau curah jantung. Agen
yang dipilih harus dititrasi untuk memelihara tekanan aterial rata-rata dan tekanan perfusi
serebral. Nitrous Oxide harus diberikan dengan sangat selektif dan harus dihindari pada
kasus-kasus dimana terjadi pneumothorax, pneumocephali atau lengkung usus yang terisi
udara. Fentanil dan sufentanil merupakan narkotik yang sering diberikan kepada pasien-
pasien trauma dan memiliki efek samping minimal pda curah jantung. Pada keadaan
dimana terjadi hipotensi yang masih terus berlangsung, teknik narkotik dosis tinggi
dengan menggunakan benzodiazepine yang dititrasi, agen volatile minimal, dan inotropik
serta bantuan vasopresor mungkin dibutuhkan.
Hipotermia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien trauma, dan
berhubungan dengan peningkatan mortalitas. Konsekwensi dari hipotermia diantaranya
disritmia, pergesderan ke kiri dari kurva disosiasi oksihemoglobin, disfungsi trombosit,
gangguan fungsi ginjal, dan gangguan penyebuhan luka. Pencegahan membutuhkan
penghagatan cairan irigasi dan cairan intarvena, pelembabn gas, penghangatan ruang
operasi dan pemberian penghangat radian.
Penghentian anestesi ditentikan oleh kondisi fisik pasien sebelum pembedahan,
selama operasi dan hasil operasi.banyak pasien dengan cidera yang berat yang
membutuhkan intubasi postoperatif dan perawatan intensif yang lebih lama. Edema
pulomoner, sindrom distress respirasi, sepsis dan kegagalan organ multisistem sering
mengalami komplikasi postoperative. Ketika diekstubasi pada ruang operasi, pasien harus
dalam keadaan bangun dan bernapas secara spontan, memililki refleks batuk yang
adekaut, dan dapat mengikuti perintah.

I.PENGAWASAN TINDAKAN ANESTESI 10,11,12

Pengawasan Tindakan Anestesi yang wajib di awasi dari pasien adalah tanda
tanda vital, ukuran pupil, lakrimasi,kehilangan darah, uri yang keluar, cairan yang
masuk,dll. Hal lain yang tak kalah penting adalah perlunya pemasangan alat pulse
oximetri, monitoring end tidal CO2, ECG, CVP dan Temperatur.Mengawasi Fungsi
neuromuscular juga sangat membantu untuk pasien tersebut yang tidak dapat bernafas
setelah pemberian muscle relaxan.

Akhir dari pembedahan adalah tantangan tersendiri untuk pihak anastesi,ini


membutuhkkan perencanaan yang matang,misalnya dengan pemberian atropine dan
neostigmin supaya mendapatkan nafas spontan,kemudian suction mulut hingga faring dan
lakukan ekstubasi dengan halus dari pasien.

Table 14 Reversal ‘Countdown’

ÿ679; Check Equipment

● Check drugs

● Assistant ready

● Turn off agents

● Give 100% oxygen

● Suction

● Reverse relaxant

● Check Observations

● Wait for adequate breathing

● Wait until patient wakes up

● Extubate

● Give 100% O 2 by mask

● DO NOT LET THE PATIENT MISS A


BREATH

Perawatan Post OP dilakukan hingga pasien bernafas spontan dan pulih kembali.

Table 16 Recovery Care

● Check vital signs/monitors

● Check level of consciousness

31
● Continue oxygen

● Check wound

● Check urine output

● Check respiratory rate, sedation, pain score

● Check temperature

● Give analgesics as required IV

● Check fluids and IV sites

Pasien yang sudah di recovery harus terus mendapatkan suplai oksigen, harus
terus di monitor airway,breathing dan circulation nya,dan diberikan analgesic yang
dibutuhkan Masalah utama pot Op adalah Rasa Sakit Setelah Operasi, sehingga harus
terus diawasi karena kebanyakan pasien mengalami mual muntah yang hebat, harus
dipikirka penggantian cairan dan memulai mobilisasi awal dan merujuk fisioteraphy
untuk mencegah adanya komplikasi seperti atelektasis, pneumonia dan deep vena
trombosis.

III. PENUTUP
KESIMPULAN
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun.Trauma abdomen
penyebab signifikans morbiditas dan mortalitas pasien. Diagnosa dini diperlukan untuk
pengelolaan secara optimal. Pelaksanaan Pembedahan pada trauma abdomen pun
biasanya dilakukan dengan pembedahan darurat, sehingga memerlukan penanganan
khusus dalam bidang anestesi karena terdapat perbedaan mencolok untuk persiapan pre
operasi darurat dengan elektif.
Penanganan awal dimulai dari primary survey (Airway,
Breathing,Circulation,Disability, Exposure) hingga secondary survey yang juga meliputi
penanganan pada komplikasi kegawat daruratan trauma abdomen yaitu berupa
perforasi,perdarahan, syok dan juga peningkatan resiko regurgitasi lambung pada kasus
pembedahan darurat abdomen.
Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan
kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktor-faktor
pembedahan. Sehingga dapat dipertimbangkan pemekaian tehnik anestesi tersebut
menurut indikasi karena pada pembedahan darurat trauma abdomen tersebut pemakaian
anestesi umum memberikan risiko lebih besar daripada anestesi lokal dan risiko anestesi
spinal tidak lebih kecil daripada anestesi umum

DAFTAR PUSTAKA
1. Zuchradi,TB,dr. Anestesi Untuk Pembedahan Darurat Abdomen. Available
From: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_033_masalah_anestesi.pdf.
2. Bagus, Ide,dr. Gawat Abdomen. Available From : http://www.indoskripsi.com
3. Irfandi,Mochtar.TraumaAbdomen.Available From :

33
http://forbetterhealth.wordpress.com/2008/1ª 2/23/trauma-abdomen/

4. Marurt,Ukht. Bedah abdomen trauma dan nontrauma.Available From :


http://www.scribd.com/doc/4535626/BEDAH-ABDOMEN-TRAUMA-DAN-
NONTRAUMA

5. Ghozali,Imam.Anestesi untuk pembedahan darurat. Available From :


http://www.docstoc.com/docs/3536165/Anestesi-Untuk-Pembedahan-Darurat

6. Prasetijo,Tjatur Budi,Dr, SpAn. Tindakan Perioperatif.Available From :


http://209.85.175.132/search?
q=cache:U8YMT14BAmAJ:202.57.9.147/elib/Arsip/Departemen/Anaestesi/peri
operatif.pdf+premedikasi+bedah+darurat&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id

7. Marwan, Rustam.Komplikasi Trauma Abdomen. Available From


www.medicastore.com

8. Marwati,Said.Akut abdomen fk unmul 2004.Available From:


http://fkunmul04.files.wordpress.com/2008/10/akut-abdomen.pdf

9. Lafferty A.K., Rapid Sequence Induction, HONcode Principles of the Health On


the Net Foundation, June, 2006.
10. Stettner T., Rapid Sequence Induction and Pretreatment Medication, HONcode
Principles of the Health On the Net Foundation, Februari, 2006.
11. Darmawan,Iyan,Dr. Analgesi Umum dan Spinal dalam anestesiologi Edisi 9.
Jakarta : EGC, 1991. Hal : 171 -189.

12. Oswari, Jonatan,Dr. Kegawat daruratan bedah abdomen dalam Anestesiologi


Edisi 10. Jakarta: EGC,1994.Hal : 179 – 184.

You might also like