You are on page 1of 7

Aku adalah Anak Angin dan Awan

Sinopsis:
Aku adalah Wahid, seorang penghuni yayasan yatim piatu Kasih Ibu. Bagiku, Ayahku adalah
angin, yang menuntun kemana kakiku harus melangkah. Bisikan ayahku menguatkanku,
seolah berkata, “Nak, teruslah berjuang! Teruslah melangkah! Ayah selalu ada di sampingmu”.

Sedangkan Ibuku adalah awan, yang melindungiku dari sengatan matahari. Ibu yang
membuatku tenang ketika aku menatapnya. Ibu yang lembut. Ibu yang meneteskan air matanya
ketika aku berbuat nakal. Ibu yang rela meluluh ketika aku terbakar terik kota.

Aku menganggap mereka orang tuaku yang sejati, karena yang lain tak ada yang menyayangiku
seperti mereka menyayangiku.

Aku adalah Anak Angin dan Awan

“Wahid, itu tadi ibumu menelepon. Katanya dia mau datang besok menjengukmu!”, suara Mbak
Astri, pembina yayasan yatim piatu tempat aku tinggal, membuyarkan lamunanku. Beberapa detik
diperlukan oleh stimulus itu untuk merambat di sepanjang impuls syarafku.

“Ibu yang mana, Mbak?”

“Ya ibu kandungmu, toh Hid..”

“Oo, iya, Mbak”, aku mencoba menjawab sedatar mungkin.

Wajar saja aku bertanya begitu, setidaknya hingga saat ini aku telah memiliki empat orang ibu.

Aku Wahid. Hanya Wahid. Aku bersama dua puluh anak lainnya tinggal di sebuah yayasan Yatim
Piatu Kasih Ibu, sejak belasan tahun yang lalu. Mbak Astri adalah salah satu pengasuh anak-anak di
yayasan ini. Ia mendaftar menjadi pengasuh ketika aku berusia tiga tahun. Jarang sekali ada orang
yang ingin menjadi pengasuh sebuah yayasan yatim piatu. Apalagi penghuni yayasan kami,
Yayasan Kasih Ibu, terkenal paling dihindari se-Jabotabek. Karena itu pula, yayasan kami
menawarkan gaji yang cukup besar untuk karyawannya. Mbak Astri ingin melanjutkan kuliah, tapi
tidak memiliki uang. Makanya ia sepakat menjadi pengasuh kami, para monster cilik.

Kami sepakat, seharusnya yayasan ini tidak diberi nama “Kasih Ibu”. Kami ada di sini toh, karena
tidak ada kasih sayang ibu untuk kami. Kami diserahkan – bahasa halus untuk dibuang – sejak kami
masih bayi. Kebanyakan karena ibu kami tidak akan sanggup merawat kami.

Baiklah, sekarang aku akan bercerita tentang ibu-ibuku.

Ibu pertama yang kukenal adalah Ibu Reni, orang yang pertama kali menemukanku di depan pintu
yayasan. Katanya dia menemukanku dalam kardus makanan ringan, berselimut berlapis-lapis kain
handuk. Katanya pula, Bu Dokter bilang, kalau aku terlambat beberapa menit diselamatkan dari
gemulan handuk-handuk itu, aku akan mati sesak napas. Kadang-kadang aku berpikir, aku ingin
ditemukan beberapa menit lebih lambat. Entahlah, pikiran seperti itu datang ketika aku sedang
putus asa dan merasa dibuang.

Aku dianggap anak yang paling nakal di yayasan. Aku selalu mengganggu anak-anak lain yang
lebih kecil dariku. Aku juga selalu mencari masalah dengan anak-anak besar. Aku paling suka
mengganggu anak perempuan. Aku senang melihat mereka merengek dan marah-marah gara-gara
boneka merah jambu mereka kurusak. Pernah pula aku kabur dari yayasan, dan menghilang dua-
tiga hari. Orang-orang bilang aku hanya suka cari perhatian, makanya aku jadi bandel. Tidak,
sebenarnya aku anak baik. Hanya saja keadaan menyuruhku untuk menjadi tidak baik.

Ibuku yang kedua adalah Mama Habibah, yang memiliki seorang suami bernama Anwar. Dengan
begitu, Papa Anwar adalah ayah pertamaku. Aku diadopsi oleh Mama Habibah ketika aku berusia
enam tahun. Mereka tinggal di sebuah rumah besar di perumahan elit Jakarta Selatan. Aku cukup
senang tinggal di sana. Kamar tidurku luas, kasurnya empuk, warna dindingnya biru laut. Papa
Anwar kerja di sebuah perusahaan elektronik internasional. Sedangkan Mama memiliki sebuah
usaha butik.

Hampir setiap hari Minggu, mereka membawaku jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Walaupun
mereka sering mengabaikanku jika di rumah, mereka mengijinkanku membeli apa saja yang kumau.
Aku cukup senang dimanjakan di sana. Di yayasan, kami dilatih untuk hidup prihatin, harus
menerima apa yang diberikan tanpa pilih-pilih. Namun hidup bergelimang kemewahan seperti itu
hanya dapat kunikmati sebentar. Mungkin anak sepertiku hanya boleh berangan-angan sebentar.
Beberapa bulan kemudian, mereka semakin sering pergi ke pusat perbelanjaan. Tapi aku tidak
diajak. Biasanya mereka akan pulang malam hari, dengan membawa banyak baju-baju longgar
untuk wanita, dan beberapa baju kecil. Yang pasti, baju itu tidak akan pas untukku.

Ketika aku bertanya, “mana yang punyaku, Ma?”, maka dia akan tersenyum kikuk dan menyuruhku
tidur, atau mengerjakan PR, atau menyikat gigi, atau memanggilkan Bi Juni, atau merapikan
mainan, atau pekerjaan pengalih perhatian lainnya. Yang pasti, pertanyaanku tidak akan dijawab
dan aku tidak akan mendapat ‘jatahku’.

Baru beberapa saat kemudian aku tahu, aku dicampakkan kembali. Mbak Astri bercerita padaku di
kamarku di yayasan. Setelah genap setahun bersama mereka, aku dikembalikan ke yayasan. Mereka
akan memiliki bayi. “Mereka cuma pengen mancing anak, Hid”, katanya. Aku senang Mbak Astri
selalu jujur dan terbuka padaku. Itu menandakan ia menganggap aku sudah dewasa dan bisa
dipercaya. Aku menganggap Mbak Astri seperti kakakku sendiri. Bahkan pernah ku berpikir, jika
aku sedikit lebih tua, aku akan bersedia menikah dengan Mbak Astri (tentu saja pikiran ini datang
ketika aku menginjak usia lima belas tahun dan hormonku sudah mulai berkembang).

Tapi tetap saja aku sedih dan merasa terbuang. ‘Mancing anak’ adalah istilah yang biasa kami
gunakan. Jika ada sepasang suami-istri yang sudah lama menikah, namun tak kunjung memiliki
buah hati, maka mereka akan mengadopsi seorang anak. Harapannya, anak adopsi tersebut akan
memancing lahirnya anak kandung mereka. Aneh juga pemikiran seperti itu. Mungkin aku dianggap
umpan atau yang semacamnya bagi mereka. Sekarang aku berharap, aku benar-benar menjadi
umpan ikan. Setidaknya, umpan ikan tidak perlu merasa sedih.

Sejak saat itu aku mulai lebih sering kabur dari yayasan. Sekali aku pergi lebih dari seminggu,
sebelum akhirnya petugas yayasan menemukanku. Aku mengatakan pada mereka, bahwa aku
sedang mencari harta karun. Mereka tidak percaya dan terus saja menyeretku masuk ke dalam
mobil. Padahal aku benar-benar menemukan harta karun yang sangat berharga. Aku akan
menceritakannya nanti.

Sesampainya di yayasan, aku melihat sebuah mobil kijang hitam terparkir. Mbak Astri
menyambutku di depan pintu utama, dengan senyum yang dipaksakan.

“Wahid, lihat, ada ibu yang akan mengadopsimu lagi!”, itulah kata sambutannya yang pertama.
Lalu ibu itu keluar dari pintu yayasan. Ia memakai blazer putih gading dan bersanggul anggun di
belakang tengkuknya. Perawakannya tegap dan wajahnya tegas. Alisnya dicukur hingga
menyerupai celurit yang biasa dibawa preman di Pasar Minggu. Pipi dan bibirnya merah karena
riasan yang tidak ingin setengah-setengah menampang di wajahnya. Ia menatapku tajam.

Aku merasa ditatap oleh Dewi Kejahatan Hera dari cerita Hercules. Merinding. Ia kah yang akan
menjadi ibuku?

Mbak Astri mengajak kami masuk dan duduk di sofa lapuk ruang penyambutan tamu. Ia
memperkenalkan sang Dewi Kejahatan tersebut padaku. Namanya Bu Lulu. Mbak Astri tidak
menyebut-nyebut bahwa Bu Lulu ingin aku memanggilnya mama atau apa. Jadi aku tetap
memanggilnya Bu Lulu di keseharian, dan Dewi Hera di dalam hati.

Bu Lulu adalah seorang agen penyalur pekerja, mulai dari pembantu, tukang kebun, hingga juru
masak restoran. Ia pernah sekali menikah, namun suaminya telah meninggal dunia. Aku iseng
berpikir, mungkin sang Dewi mengubah suaminya menjadi katak.

Tapi, bisa dibilang aku cukup senang dapat menemukan ibu baru. Biasanya sangat jarang ada orang
yang mau mengadopsi anak panti berusia sepuluh tahun. Aku merasa beruntung.

Setelah sebulan tinggal bersama Bu Lulu, aku menyesal telah merasa beruntung. Aku tidak
dianggap sebagai anak-untuk-disayang-dan-dimanja olehnya. Sebenarnya ia membutuhkan seorang
pekerja untuk membantu membersihkan rumah, mengangkat-angkat barang, dan membenarkan
bagian rumah yang rusak. Ia bahkan tidak mengijinkanku bersekolah.

Jika pekerjaanku tidak benar, maka ia akan membentakku dengan kasar dan tidak memberiku
makan malam. Sekali itu, ia sangat marah gara-gara aku tidak kuat mengangkut vas bunga barunya.
Alih-alih berhasil memindahkannya ke dalam rumah, aku malah memecahkannya berkeping-
keping. Hari itu aku dicaci maki habis-habisan. Ia mengataiku bermacam hal, mulai dari isi kebun
binatang, hingga isi neraka. Aku sejak dahulu tidak suka dikata-katai. Aku sudah tahu aku adalah
anak paling hancur sedunia. Tapi cukuplah pengetahuan itu ada dalam benakku, tak perlu
diteriakkan lima senti meter dari dari telingaku.
Aku marah dan mengobrak-abrik seluruh isi rumah. Bu Lulu menelepon pembina yayasan, merepet
seakan-akan habis diserang gajah lepas. Otomatis, tepat sejam kemudian mobil van hijau yayasanku
tiba di depan halaman rumah si Dewi Hera. Aku dengan tas koper dijinjing di tangan, diseret
menuju mobil ditemani omelan panjang pendek dari pembina yayasan.

Dengan begitu, berakhirlah nasibku sebagai anak angkat Bu Lulu. Atau lebih tepat, berakhirlah
karirku sebagai pekerja rodi Bu Lulu.

Ibu keempat yang kukenal adalah ibu kandungku sendiri. Sebenarnya aku belum terlalu
mengenalnya. Aku hanya pernah mendengar suaranya lewat telepon. Ia mulai meneleponku
beberapa minggu belakangan ini. Kata Mbak Astri, ibuku melahirkanku ketika ia akan masuk SMA.
Ayahku? Tiada yang tahu ia siapa dan ada di mana. Hanya sekian yang dapat kuceritakan tentang
orang tua kandungku.

Dari semua ibuku di atas, Ibu Reni lah yang paling baik dan kusayangi. Mungkin karena itu pula
lah, ia yang paling cepat meninggalkan dunia. Mbak Astri bilang, “orang baik disayang Tuhan.
Makanya, Tuhan ingin segera menemui Bu Reni.” Aku bertanya, kenapa Tuhan tidak ingin
menemuiku juga.

Namun, ada yang kuanggap sebagai orang tuaku sesungguhnya. Harta karun yang kutemukan dalam
pengembaraan berhari-hari di jalanan kumuh Jakarta.

Di sana aku bertemu dengan seorang pengamen jalanan bernama Joko. Usianya lebih tua dua tahun
dariku. Kami sempat mengembara bersama selama tiga hari. Ia memiliki nasib yang sama
denganku. Ia dibuang ketika masih bayi di gerobak sampah. Kakek-kakek pengumpul sampah
menemukannya dan mengasuhnya hingga ia berusia sepuluh tahun. Pada usianya yang ke sebelas,
sang kakek meninggal dunia karena sakit. Ia pun memutuskan untuk mengembara.

Ia mengajarkanku banyak hal. Ia mengenalkanku pada ayah dan ibunya. Ayahnya adalah gitar kecil
miliknya, benda yang menghidupinya sebagai pengamen jalanan. Dan ibunya adalah aspal jalanan,
yang mengawasinya bertumbuh dewasa dengan penuh kesabaran. Karena keyakinan akan
keberadaan ayah dan ibunya itu, ia tetap tegar meneruskan hidup.
Kami berpisah di suatu malam, ketika ada razia pengamen. Kami panik dan lari berpencar. Aku
tidak tahu ia sekarang berada di mana. Kuharap ia tak tertangkap agar bisa terus bersama ayah dan
ibunya.

Di malam itu pula, aku memutuskan untuk mencari ayah-ibuku sendiri. Aku menemukannya sehari
sebelum aku dikembalikan paksa ke yayasan. Ayahku adalah angin, yang menuntun kemana kakiku
harus melangkah. Bisikan ayahku menguatkanku, seolah berkata, “Nak, teruslah berjuang! Teruslah
melangkah! Ayah selalu ada di sampingmu”.

Ibuku adalah awan, yang melindungiku dari sengatan matahari. Ibu yang membuatku tenang ketika
aku menatapnya. Ibu yang lembut. Ibu yang meneteskan air matanya ketika aku berbuat nakal. Ibu
yang rela meluluh ketika aku terbakar terik kota.

Sejak saat itu aku merasa lebih tenang. Aku merasa tidak sendirian lagi, karena mereka selalu ada.

Tapi sekarang, ibuku yang sesungguhnya akan datang. Haruskah aku melupakan orang tua awan
dan anginku sekarang?

Hari yang dinantikan pun tiba. Aku, anak laki-laki berusia enam belas tahun yang memakai kemeja
dan celana jins disterika rapi, sedang berdiri di pintu gerbang yayasan dengan harap-harap cemas.
Setiap orang yang lewat kuikuti dengan pandangan mataku, “apakah yang itu orangnya?”.

Hari sudah semakin sore. Tak juga nampak kehadiran ibuku itu. Menjelang maghrib, aku masuk ke
kamar dan mengunci pintu. Beberapa saat kemudian Mbak Astri mengetok pintuku. Aku membuka
pintu dengan berat hati. Aku tidak pernah tega membantah perintah Mbak Astri. “Mbak, aku benar-
benar anak buangan yang tidak diinginkan. Dia tidak datang, Mbak.”

“Dia sudah datang, Hid.. Dia ada di depanmu sekarang”, Mbak Astri terisak.

“Mana, Mbak?”, aku mengintip ke balik punggung Mbak Astri. Kosong. Jangan-jangan Mbak Astri
bercanda, dan ingin mengatakan bahwa ibuku sudah meninggal dan menjadi arwah yang tidak kasat
mata.

“Maafkan Ibu, Hid.. Ibu nggak tau bakal begini jadinya”, Mbak Astri jatuh bersimpuh di depanku
sambil menangis.
Aku terhenyak. Aku tidak percaya. Aku kecewa. Aku takut. Aku ingin lari. Ya, aku benar-benar
sedang berlari sekarang. Aku ingin lari menjemput kedua orang tuaku yang sebenarnya, angin dan
awan.

Menanggapi maraknya seks bebas di kalangan siswa SMP dan SMA saat ini.

You might also like