You are on page 1of 9

A.

Sejarah Kebudayaan Bacson-Hoabinh

Awalnya masyarakat Bacson-Hoabinh hanya menggunkan alat dari


gerabah yang sederhana berupa serpihan-serpihan batu tetapi pada tahun
Kelompok 1:
600 SM mengalami dalam bentuk batu-batu yang menyerupai kapak yang
-Dimas Setyo
berfungsi sebagai alat pemotong. Bentuknya
-Fakhri Kurniawanada yang lonjong, segi empat,
-M. Azzamul
segitiga, dan ada yang berbentuk Haq
berpinggang. Ditemukan pula alat-alat
-Nanda
serpih, batu giling dari berbagai Agustian
ukuran, alat-alat dari tulang dan sisa-sisa
-Rizki Parulian
tulang belulang manusia yang dikuburkan dalam posisi terlipat serta ditaburi
zat warna merah
Ditemukan dalam  penggalian di pegunungan batu kapur di daerah
Vietnam bagian utara, yaitu di daerah Bacson pegunungan Hoabinh.
Istilah bacson-hoabinh ini dipergunakan sejak tahun 1920-an yaitu untuk
menunjukan suatu tempat pembuatan alat-alat batu yang khas dengan ciridari
peninggalan kebudayaan bacson-hoabinhditemukan diseluruh wilayah asia
tenggara,hingga myanmar (burma)
Di barat dan ke utara hingga propinsi-propinsi selatan dan kurun waktu
antara 1800 dan 3.000 tahun yang lalu. Namun pembuatan kebudayaan
bacson-hoabinh masih terus berlangsung di beberapa kawasan, sampai
masa yang lebih baru.

B. Hubungan dengan Bangsa Indonesia

Di Indonesia, alat-alat dari kebudayaan Bacson-Hoabinh dapat ditemukan


di daerah Sumatera, Jawa (lembah Sungai Bengawan Solo), Nusa Tenggara,
Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua (Irian Jaya). Di Sumatera letaknya di
daerah Lhokseumawe dan Medan.

2
Penyelidikan tentang persebaran kapak Sumatera dan kapak Pendek
membawa kita melihat daerah Tonkin di Indocina dimana ditemukan pusat
kebudayaan Prasejarah di pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh yang
letaknya saling berdekatan.
Alat-alat yang ditemukan di daerah tersebut menunjukkan kebudayaan
Mesolitikum. Dimana kapak-kapak tersebut dikerjakan secara kasar. Terdapat
pula kapak yang sudah diasah tajam, hal ini menunjukkan kebudayaan Proto
Neolitikum. Diantara kapak tersebut terdapat jenis pebbles yaitu kapak
Sumatera dan kapak pendek.
  Mme Madeline Colani, seorang ahli prasejarah Perancis menyebutkan/
memberi nama alat-alat tersebut sebagai kebudayaan Bacson-Hoabinh.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa Tonkin merupakan pusat
kebudayaan Asia Tenggara. Dari daerah tersebut kebudayaan ini sampai ke
Indonesia melalui Semenanjung Malaya (Malaysia Barat) dan Thailand.

 
C. Kebudayan Bacson-Hoabinh

Menurut C.F. Gorman dalam bukunya The Hoabinhian and After:


Subsistance Patterns in South East Asia during the latest pleistocene and
early recent periods ( 1971 ).menyatakan bahwa penemuan alat-alat dari batu
paling banyak ditemukan dalam penggalian pegununggan batu kapur di
daerah Vietnam bagian utara, yaitu daerah Bacson pegunungan Hoabinh.
Disamping alat-alat dari batu yang berhasil ditemukan, juga ditemukan
alat-alat serpih batu giling dari berbagai ukuran, alat-alat dari tulang dan sisa-
sisa tulang belulang manusia yang dikuburkan dalam posisi terlipat dan
ditaburi zat warna merah.
Sementara itu, didaerah Vietnam ditemukan tempat-tempat pembuatan
alat-alat batu,sejenis alat-alat batu dari kebudayaan Bacson-Hoabinh. Bahkan
di Gua Xom Trai ( dalam buku Pham Ly Houng ; Radiocarbon Dates of The
Hoabinh Culture in Vietnam, 1994 ) ditemukan alat-alat batu yang sudah
diasah pada sisi yang tajam.
Alat-alat batu dari Gua Xom Trai tersebut diperkirakan berasal dari 18000

3
tahun yang lalu. Kemudian dalam perkembangannya,alat-alat dari batu atau
yang dikenal dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh, tersebar dan berhasil
ditemukan, hampir diseluruh daerah Asia Tenggara, baik daratan maupun
kepulauan, termasuk wilayah Indonesia
Di wilayah Indonesia, alat-alat batu dari kebudayaan Bacson-Hoabinh
dapat ditemukan pada daerah Sumatra, Jawa , Nusa Tenggara, Kalimantan,
Sulawesi sampai Ke Papua ( Irian Jaya ). Di daerah Sumatra alat-alat batu
sejenis kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di Lhokseumawe dan
Medan. Benda-benda itu berhasil ditemukan pada bukit-bikit sampah kerang
yang berdiameter sampe 100 meter dengan kedalaman 10 meter. Lapisan
kerang tersebut diselang selingi dengan tanah dan abu.

Tempat penemuan bukit kerang ini pada daerah dengan ketinggian yang
hampirsama dengan permukaan air laut sekarang dan pada kala Holosen.
Daerah tersebut merupakan garis pantai. Namun, ada beberapa penemuan
yang pada saat sekarang telahberada di bawah permukaan laut. Tetapi
kebanyakan tempat-tempat penemuan alat-alat dari batu disepanjang pantai
telah terkubur dibawah endapan tanah, sebagai akibat terjadinya proses

4
pengendapan yang berlangsung selama beberapa milenium yang lalu.

Banyak benda-benda peralatan budaya dari batu yang berhasil


dikumpulkan oleh para ahli dari bukit sampah kerang di Sumatra.sebagian
besar dari peralatan yang ditemukan berupa alat-alat batu yang diserpih pada
satu sisi dengan lonjong atau bulat telur.
Pada daerah jawa, alat-alat kebudayaan batu sejenis dengan
kebudayaan Bacson-Hoabinh berhasil ditemukan didaerah lembah sungai
bengawan solo. Penemuan alat-alat dari batu ini dilakukan ketika penggalian
untuk menemukan fosil-fosil (tulang belulang) manusia purba. Peralatan batu
yang berhasil ditemukan memiliki usia yang jauh lebih tua dari peralatan batu
yang berhasil ditemukan memiliki usia jauh lebih tua dari peralatanbatu yang
ditemukan pada bukit-bukit sampah kerang di Sumatra hal ini terlihat dari cara
pembuatannya.
Peralatan batu yang berhasil ditemukan di daerah lembah Bengawan
Solo (Jawa)dibuat dengan cara dengan sangat sederhana dan belum diserpih
atau di asah. Dimana batu kali yang telah dibelah langsung di gunakan
dengan cara menggengamnya. Bahkan menurut Fon Koenigswand (1935–
1941), peralatan dari batu itu digunakan oleh manusia purba Indonesia
sejenis Pithecanthropus Erectus dan juga berdasarkan penelitiannya,
peralatan-peralatan dari batu itu berasal dari daerah Bacson-Hoabinh.

D. Hasil Kebudayaan Bacson-Hoabinh

Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu


kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger
arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger
adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai
ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger
ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan
Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia

5
purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van
Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya
banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper
(kapak genggam Palaeolithikum).Kapak genggam yang ditemukan di dalam
bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera
(Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera.
Untuk dapat mengetahui bentuk dari kapak Sumatera silahkan Anda amati
gambar 5 berikut ini.

Setelah Anda mengamati gambar 5 coba Anda bandingkan pebble


dengan chopper maupun dengan flakes! Bagaimana menurut pendapat
Anda?

Bentuk pebble seperti yang Anda lihat pada gambar 5 dapat dikatakan
sudah agak sempurna dan buatannya agak halus. Bahan untuk membuat
kapak tersebut berasal dari batu kali yang dipecah-pecah. Selain pebble yang
ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan sejenis kapak tetapi
bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan Hache Courte

6
atau kapak pendek. Kapak ini cara penggunaannya dengan menggenggam.

Di samping kapak-kapak yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga


ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan
selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk
menghaluskan cat merah, bahan cat merah yang dihaluskan berasal dari
tanah merah.
Mengenai fungsi dari pemakaian cat merah tidak diketahui secara pasti,
tetapi diperkirakan bahwa cat merah dipergunakan untuk keperluan
keagamaan atau untuk ilmu sihir.
Kecuali hasil-hasil kebudayaan, di dalam Kjokkenmoddinger juga
ditemukan fosil manusia yang berupa tulang belulang, pecahan tengkorak
dan gigi, meskipun tulang-tulang tersebut tidak memberikan gambaran yang
utuh/lengkap, tetapi dari hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa
manusia yang hidup pada masa Mesolithikum adalah jenis Homo Sapiens.
Manusia pendukung Mesolithikum adalah Papua Melanosoide. Untuk
selanjutnya Anda dapat mempelajari uraian materi berikutnya.

Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal
manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat
perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris
Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa
Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur.

Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu
seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang
berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.

Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak


adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung
Bone Culture/kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung
tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari
kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga

7
ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap
goa di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren.

Untuk dapat mengetahui bentuk Abris Sous Roche silahkan Anda


amati salah satu contoh Abris Sous Roche ini.

Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama


di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan
flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa
tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasin
dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap
sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah.
Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan
Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum
yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM.

Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga
ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut
dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung
mata panah yang terbuat dari batu indah.

E. Kesimpulan

8
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kebudayaan Bacson-
Hoabinh pada zaman Mesolithikum sesungguhnya memiliki 3 corak
kebudayaan yang terdiri dari:

a. Kebudayaan pebble/pebble culture di Sumatera Timur.

b. Kebudayaan tulang/bone culture di Sampung Ponorogo.

c. Kebudayaan flakes/flakes culture di Toala, Timor dan Rote.

Selain itu dari kebudayaan Bacson-Hoabinh menghasilkan ras Papua


Melanosoid. Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide
di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para
arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak
pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua
Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble
dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di
Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan
di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon
(Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal
dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan
Philipina.

Dari uraian materi yang telah disajikan, maka tentu Anda dapat
membandingkan penyebaran kebudayaan Mesolithikum lebih banyak
dibandingkan dengan penyebaran kebudayaan Palaeolithikum. Dengan
demikian masyarakat prasejarah selalu mengalami perkembangan.
Pergantian zaman dari Mesolithikum ke zaman Neolithikum membuktikan
bahwa kebudayaannya mengalami perkembangan dari tingkat sederhana ke
tingkat yang lebih kompleks.

You might also like