Professional Documents
Culture Documents
I Pendahuluan
Kekalahan Indonesia di forum Mahkamah Internasional (International Court of
Justice) “melawan” Malaysia telah menimbulkan pendapat pro-kontra di masyarakat
karena dianggap Indonesia kehilangan dua pulau Sipadan dan Ligitan yang dijadikan
objek sengketa antarnegara tersebut. Banyak masyarakat menilai bahwa kekalahan
tersebut karena Pemerintah lalai dan tidak serius mengurus kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tetapi ada juga yang menyikapi bahwa putusan tanggal 17 Desember
2002 tersebut memberikan hikmah bahwa mulai saat ini Pemerintah dan seluruh
komponen bangsa untuk lebih peduli mengurus Negara kepulauan ini sehingga tidak
terjadi lagi kasus-kasus seperti itu.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki laut terluas,
yaitu 5, 9 juta km2 atau ¾ total wilayah Indonesia, sehingga menuntut perhatian besar
untuk menjaganya termasuk di dalamnya setiap daerah punya peranan penting dalam
memelihara dan menegakkan hukum kedaulatan NKRI di pulau-pulau terluar Indonesia
sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam menentukan batas-batas
kedaulatan NKRI dengan negara-negara tetangga itu memang hukum yang berlaku
adalah hukum internasional, tetapi hukum nasional pun mempunyai peranan penting
dalam menjaga dan mengelola wilayah Indonesia di pulau-pulau terluar tersebut yang
selama ini masyarakat mengkhawatirkan akan terulangnya kasus Sipadan-Ligitan.
Sengketa perbatasan negara sering terjadi baik di negara-negara maju yang
mempunyai wilayah laut atau tidak maupun sengketa perbatasan di negara-negara
berkembang seperti Indonesia dengan negara-negara tetangga. Penyelesaian sengketa
perbatasan negara tersebut tidak jarang menyulut perang, tetapi pada umumnya
1
Makalah ini dipresentasikan di Kantor Bupati Pemerintah Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau
12 Desember 2006 dalam rangka Seminar Hasil Penelitian Tata Ruang Pembangunan di Kawasan
Perbatasan RI-Negara Tetangga.
2
Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Mahasiswa Program Doktor
2006 Pascasarjana Universitas Padjadjaran
2
diselesaikan dengan cara-cara damai melalui forum internasional yang sudah diatur oleh
hukum internasional atau sesuai dengan kesepakatan para pihak yang bersengketa untuk
memilih forum yang tepat bagi mereka. Tulisan ini membahas dasar-dasar ketentuan
hukum internasional tentang penyelesaian sengketa perbatasan negara terutama
Konvensi Hukum Laut 1982 yang sudah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1985 dan implikasi sederhananya bagi kedaulatan NKRI di pulau-pulau
terluar serta peran daerah menjaga kedaulatan Indonesia tersebut.
Penetapan batas-batas satu negara dengan negara lain terutama di laut yang sulit
dilakukan karena menyangkut kedaulatan negara atau faktor lainnya akan menimbulkan
sengketa berkepanjangan yang tidak jarang diselesaikan melalui penggunaan kekuatan
atau perang. Menurut hukum internasional penggunaan kekuatan militer untuk
menyelesaikan sengketa tersebut dilarang karena pada dasarnya hanya dengan cara damai
yang harus dilakukan oleh negara-negara tersebut sesuai dengan aturan hukum
internasional yang terdapat dalam Piagam PBB. Penyelesaian sengketa internasional
(settlement of international disputes) termasuk sengketa perbatasan negara itu telah diatur
oleh Piagam PBB, yaitu penyelesaian sengketa secara damai (Pacific Settlement of
Disputes) dalam Bab VI Pasal 33 yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 33 Piagam PBB menyatakan bahwa para pihak yang bersengketa diminta
untuk tidak mengganggu perdamaian dan keamanan internsional, sehingga harus segera
3
3
JG Starke, Introduction to International Law, Butterworths, London, 1989, hlm. 485-486.
4
Ibid., hlm. 519.
4
Pasal 3 dan 4 Piagam PBB tersebut adalah bahwa setiap Negara harus
menyelesaikan sengketanya dengan cara damai sehingga tidak membahayakan
perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan dan setiap Negara harus
menahan diri untuk tidak mengancam dan menggunakan kekuatan terhadao
integritas territorial atau kemerdekaan politik setiap Negara atau dengan cara
apapun yang bertentangan dengan tujuan PBB.
II. Konvensi Hukum Laut 1982 (The 1982 United Nations Convention on
the Law of the Sea- UNCLOS) dan Rejim-Rejimnya yang Berlaku
Penetapan batas-batas Negara sering menjadi sengketa internasional
karena belum adanya kesepakatan dengan para pihak yang terlibat, tetapi
umumnya sengketa internasional dalam hal penentuan batas-batas Negara tersebut
diselesaikan lewat cara-cara damai, yaitu melalui negosiasi, jasa-jasa baik (good
offices), mediasi, konsiliasi, penyelidikan (enquiry), arbitrase, dan Mahkamah
Internasional (International Court of Justice). Penyelesaian sengketa termasuk
sengketa batas-batas negara di laut telah dilakukan melalui arbitrasi seperti kasus
landas kontinen antara Perancis dan Inggris tahun 1977 -1978, kasus batas
maritim antara Guinea dan Guinea-Bissau tahun 1985, dan kasus batas maritim
antara Kanada dan Prancis tahun 1992. Kasus-kasus penyelesaian sengketa batas-
batas maritim atau status kepemilikan suatu pulau banyak diselesaikan di forum
Mahkamah Internasional seperti dalam kasus Sipadan-Ligitan antara Indonesia
dan Malaysia yang diputuskan tanggal 17 Desember 2002.
Penyelesaian sengketa di bidang hukum laut sekarang sudah ada
pengadilan khusus berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 yang di dalamnya
menunjuk beberapa forum termasuk forum Mahkamah Internasional yang selama
5
5
pantai sepanjang 81.000 km, tetapi dengan kekayaan tersebut banyak pihak
menyatakan bahwa laut belum memberikan manfaat secara optimal kepada
masyarakat, padahal seharusnya laut dijadikan harapan bangsa masa sekarang dan
mendatang karena merupakan kekayaan sumber daya alam hayati dan non-hayati,
yang seharusnya pula memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional
atau daerah sejalan dengan berlakunya otonomi daerah sebagaimana diatur oleh
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dari segi juridis Indonesia berhasil “mengharumkan” namanya melalui
Konvensi Hukum Laut 1982, melalui perjuangan Mochtar Kusumaatmadja, yang
keahlian hukum lautnya diakui dunia, dan karenanya Indonesia telah meratifikasi
Konvensi tersebut dengan UU No. 17/1985. Konvensi Hukum Laut 1982 terdiri
dari 17 Bab, 320 Pasal, dan 9 Lampiran (Annex). Dengan telah diratifikasinya
Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut, maka sesuai dengan materi yang diatur
dalam Konvensi Hukum Laut 1982, timbul beberapa rezim hukum laut yang
berlaku, yaitu sebagai berikut :
1. Laut Teritorial
Berdasarkan rejim hukum ini Indonesia menjadi sebuah negara kepulauan
(archipelagic state) yang memiliki kedaulatan atas perairan pedalaman, perairan
kepulauan, dan laut teritorial sejauh 12 mil sebagaimana ditentukan oleh Pasal 3
Konvensi Hukum Laut 1982 yang berbunyi : “Every State has the right ti
establish the breadth of its territorial sea up to a limit not exceeding 12 nautical
miles measured from baselines determined in accordance with this Convention”.
Kedaulatan atas laut wilayah tersebut mencakup dasar laut dan tanah di bawahnya
(seabed and subsoil), ruang udara di atasnya, dan segala kekayaan sumber daya
alam (hayati dan non-hayati) yang ada di dalamnya, sehingga Indonesia harus
menetapkan batas-batasnya, seperti lebar laut teritorial (territorial sea), zona
tambahan (contiguous zone), zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone),
dan landas kontinen (continental shelf). 6
2. Hak lintas damai (right of innocent passage)
5
Rokhmin Dahuri, Dkk., Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2001, hlm. 1.
6
Pengertian negara kepulauan dan garis pangkal kepulauan di atur lebih lengkap dalam Bab IV Pasal 46-54
Konvensi Hukum Laut 1982, akan di jelaskan secara singkat di bawah ini.
7
7
Pasal 17-19, 52 Konvensi Hukum Laut 1982.
8
8
Pasal 22 Konvensi Hukum Laut 1982.
9
Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan
Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan. Berdasarkan PP No. 37/2002 ini,
Indonesia sebagai Negara Kepulauan telah menetapkan tiga jalur Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI), yaitu ALKI I dengan Cabang ALKI IA, ALKI II,
ALKI IIIA dengan Cabang IIIB, IIIC, IIID, dan IIIE sebagaimana terdapat dalam
Lampiran-lampiran PP tersebut. Pasal 11 ayat (1)menyatakan bahwa ALKI I
untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudra Hindia atau sebaliknya
melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda, sedangkan
ayat (2) adalah ALKI IA untuk pelayaran dari Selat Singapura melalui Laut
Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda ke Samudra Hindia atau
sebaliknya atau melintasi Laut Natuna ke Laut Cina Selatan atau sebaliknya.
ALKI II untuk pelayaran dari Laut Sulawesi melintasi Selat Makasar, Laut Flores
dan Selat Lombok ke Samudra atau sebaliknya. ALKI IIIA untuk pelayaran dari
Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai
dan Laut Sawu sebelah Barat Pulau Sawu ke Samudra Hindia atau sebaliknya.
ALKI Cabang IIIB untuk pelayaran dari Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku,
Laut Seram, Laut Banda dan Selat Leti ke Laut Timor atau sebaliknya. ALKI
Cabang IIIC untuk pelayaran dari Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut
Seram dan Laut Banda ke Laut Arafura atau sebaliknya. ALKI Cabang IIID
untuk pelayaran dari Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut
Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudra
Hindia atau sebaliknya. ALKI Cabang IIIE untuk pelayaran dari Laut Sulawesi
melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu
sebelah Barat Pulau Sawu atau Laut Sawu sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudra
Hindia atau sebaliknya, atau melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda,
Selat Leti dan Laut Timor ke Samudra Hindia atau sebaliknya, atau Laut Seram
dan Laut Banda ke Laut Arafura atau sebaliknya.
4. Zona Tambahan
Zona tambahan (contiguous zone) bagi setiap negara pantai adalah sejauh
24 mil yang diukur dari garis pangkal sebagaimana mengukur luas laut teritorial.
10
Rights, jurisdiction and duties of the coastal State in the exclusive economic zone
1. In the exclusive economic zone, the coastal State has:
9
Pasal 33 Konvensi Hukum Laut 1982.
10
Pasal 34-36 Konvensi Hukum Laut 1982.
11
Pasal 37-39 Konvensi Hukum Laut 1982.
12
Lebih lanjut perhatikan Pasal 55- 75 Konvensi Hukum Laut 1982.
11
the coastal State in accordance with the provisions of this Convention and other
rules of international law in so far as they are not incompatible with this Part.
Maksud ketentuan Pasal 58 ini adalah bahwa semua Negara baik Negara
pantai maupun tidak berpantai menikmati kebebasan, penerbangan, dan
pemasangan kabel-kabel bawah laut dan pipa, serta penggunaan lainnya yang sah
secara internasional, tetapi harus mentaati hukum dan peraturan perundang-
undangan di ZEE yang dibuat oleh Negara pantai itu sesuai dengan Konvensi ini
dan aturan hukum internasional lainnya. Sedangkan Pasal 59 menyatakan
penyelesaian apabila terjadi konflik mengenai pelaksanaan hak dan jurisdiksi di
ZEE suatu negara sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 59 Konvensi yang
berbunyia sebagai berikut :
“In cases where this Convention does not attribute rights or jurisdiction to the
coastal State or to other States within the exclusive economic zone, and a conflict
arises between the interests of the coastal State and any other State or States, the
conflict should be resolved on the basis of equity and in the light of all the
relevant circumstances, taking into account the respective importance of the
interests involved to the parties as well as to the international community as a
whole.”
Pasal 58 Konvensi ini menegaskan bahwa dalam hal terjadinya sengketa
antara Negara pantai dan negara tidak berpantai, maka harus diselesaikan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip keadilan (the basis of equity) dan keadaan-
keadaan yang relevan dengan masyarakat internasional secara menyeluruh.
Adapun Pasal 60 Konvensi menguraikan hak eksklusif Negara pantai di pulau-
pulau buatan, instalasi, dan bangunan-bangunan sebagai berikut :
1. In the exclusive economic zone, the coastal State shall have the exclusive right
to construct and to authorize and regulate the construction, operation and use of:
(a) artificial islands;
(b) installations and structures for the purposes provided for in
article 56 and other economic purposes;
(c) installations and structures which may interfere with the
exercise of the rights of the coastal State in the zone.
2. The coastal State shall have exclusive jurisdiction over such artificial islands,
installations and structures, including jurisdiction with regard to customs, fiscal,
health, safety and immigration laws and regulations.
3. Due notice must be given of the construction of such artificial islands,
installations or structures, and permanent means for giving warning of their
13
13
kelanjutan alamiah dari daratan setiap negara pantai (coastal State). Pasal 76
Konvensi Hukum Laut 1982 menentukan beberapa cara penarikan delimitasi
landas kontinen sebagai berikut :
1. The continental shelf of a coastal State comprises the seabed and subsoil of the
submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural
prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or
to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of
the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin
does not extend up to that distance.
2. The continental shelf of a coastal State shall not extend beyond the limits
provided for in paragraphs 4 to 6.
3. The continental margin comprises the submerged prolongation of the land
mass of the coastal State, and consists of the seabed and subsoil of the shelf, the
slope and the rise. It does not include the deep ocean floor with its oceanic ridges
or the subsoil thereof.
4. (a) For the purposes of this Convention, the coastal State shall establish the
outer edge of the continental margin wherever the margin extends beyond
200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial
sea is measured, by either:
(i) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference
to the outermost fixed points at each of which the thickness of
sedimentary rocks is at least 1 per cent of the shortest distance
from such point to the foot of the continental slope; or
(ii) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference
to fixed points not more than 60 nautical miles from the foot of the
continental slope.
(b) In the absence of evidence to the contrary, the foot of the continental
slope shall be determined as the point of maximum change in the gradient
at its base.
5. The fixed points comprising the line of the outer limits of the continental shelf
on the seabed, drawn in accordance with paragraph 4 (a)(i) and (ii), either shall
not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the breadth of the
territorial sea is measured or shall not exceed 100 nautical miles from the
2,500 metre isobath, which is a line connecting the depth of 2,500 metres.
6. Notwithstanding the provisions of paragraph 5, on submarine ridges, the outer
limit of the continental shelf shall not exceed 350 nautical miles from the
baselines from which the breadth of the territorial sea is measured. This
paragraph does not apply to submarine elevations that are natural components of
the continental margin, such as its plateaux, rises, caps, banks and spurs.
13
Pasal 76-85 Konvensi Hukum Laut 1982.
15
7. The coastal State shall delineate the outer limits of its continental shelf, where
that shelf extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which the
breadth of the territorial sea is measured, by straight lines not exceeding
60 nautical miles in length, connecting fixed points, defined by coordinates of
latitude and longitude.
8. Information on the limits of the continental shelf beyond 200 nautical miles
from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured shall
be submitted by the coastal State to the Commission on the Limits of the
Continental Shelf set up under Annex II on the basis of equitable geographical
representation. The Commission shall make recommendations to coastal States
on matters related to the establishment of the outer limits of their continental
shelf. The limits of the shelf established by a coastal State on the basis of these
recommendations shall be final and binding.
9. The coastal State shall deposit with the Secretary-General of the United
Nations charts and relevant information, including geodetic data, permanently
describing the outer limits of its continental shelf. The Secretary-General shall
give due publicity thereto.
10. The provisions of this article are without prejudice to the question of
delimitation of the continental shelf between States with opposite or adjacent
coasts.
Sedangkan hak negara pantai di landas kontinen ini sebagaimana diatur oleh Pasal
77 Konvensi adalah :
1. The coastal State exercises over the continental shelf sovereign rights for the
purpose of exploring it and exploiting its natural resources.
2. The rights referred to in paragraph 1 are exclusive in the sense that if the
coastal State does not explore the continental shelf or exploit its natural
resources, no one may undertake these activities without the express consent of
the coastal State.
3. The rights of the coastal State over the continental shelf do not depend on
occupation, effective or notional, or on any express proclamation.
4. The natural resources referred to in this Part consist of the mineral and other
non-living resources of the seabed and subsoil together with living organisms
belonging to sedentary species, that is to say, organisms which, at the harvestable
stage, either are immobile on or under the seabed or are unable to move except in
constant physical contact with the seabed or the subsoil.
8. Laut Lepas
Laut lepas (high seas) adalah bagian laut (all parts of the sea) yang tidak
termasuk ZEE, Laut Teritorial, Perairan Pedalaman, atau bagian laut setelah batas
ZEE. Di laut lepas setiap negara, baik negara pantai maupun tidak berpantai
(landlocked state), memiliki kebebasan, yang salah satunya adalah kebebasan
16
menangkap ikan (freedom of fishing, yang lebih lanjut diatur dalam Section 2
mengenai Conservation and Management of the Living Resources of the High
Seas. 14
9. Kawasan
Kawasan (the Area), yaitu suatu resources, kekayaan mineral berupa
padat, cair atau gas (solid, liquid and gaseous) termasuk polymetallic nodules
yang terdapat di bawah dasar laut yang diatur lebih lanjut oleh International
Seabed Authority (ISA). Dalam Kawasan ini berlaku prinsip Common heritage of
mankind (warisan bersama umat manusia), artinya tidak ada negara yang boleh
melaksanakan kedaulatannya di Kawasan tersebut, tetapi Kawasan adalah untuk
kepentingan penelitian ilmiah dan tujuan damai bagi seluruh umat manusia. 15
Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 itu Indonesia harus menundukkan diri terikat
dan harus menetapkan batas-batas wilayah negara di berbagai zona maritim sesuai
dengan rezim-rezimnya, yaitu sebagai berikut :
(ISA)
IV. Prinsip - prinsip Penetapan Batas Negara di Laut Teritorial, Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinen menurut Konvensi Hukum Laut 1982
dan Putusan Hakim dari Kasus-Kasus
“Where the coasts of two States are opposite or adjacent to each other, neither of
the two States is entitled, failing agreement between them to the contrary, to
extend its territorial sea beyond the median line every point of which is
equidistant from the nearest points on the baselines from which the breadth of the
territorial seas of each of the two States is measured. The above provision does
not apply, however, where it is necessary by reason of historic title or other
special circumstances to delimit the territorial seas of the two States in a way
which is at variance therewith.”
“Dalam hal pantai dua Negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan
satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan
diantara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis
tengah yang titik-titiknya sama jarak dari titik-titik terdekat pada garis-garis
pangkal dimana lebar laut teritorial masing-masing Negara diukur. Tetapi
ketentuan di atas tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan
khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara
16
kedua Negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan di atas.”
16
Pasal 15 Konvensi Hukum Laut 1982 : “Where the coasts of the States are opposite or adjacent to each
other , neither of the two States is tittle, failing agreement between them to the contrary, to extend its
18
Ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa penetapan batas wilayah negara di laut
teritorial adalah sebagai berikut : (1)ditetapkan melalui persetujuan; (2)batasnya
berupa suatu garis tengah (median line) yang diukur sama jarak (equidistance)
dari titik-titik terdekat pada garis pangkal masing-masing negara; (3) ditetapkan
batas-batasnya dengan memperhatikan adanya hak historis (historical tittle) atau
keadaan khusus lainnya. Ketentuan Pasal 15 Konvensi ini sudah diadopsi oleh
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yaitu Pasal 10
yang berbunyi : ayat (1) Dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau
berdampingan dengan negara lain, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis
batas laut teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah
yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal
darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur; ayat (2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak
historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas
laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berbeda dengan
ketentuan tersebut. Ketentuan Pasal 10 UU No.6/1996 sama persis dengan
ketentuan Pasal 15 Konvensi Hukum Laut 1982. Ketentuan lebih lanjut mengenai
titik pangkal garis pangkal adalah Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002
tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Pangkal Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia. Pasal 16 Konvensi menyatakan bahwa penetapan batas laut teritorial
ini harus dicantumkan dalam peta dengan skala yang memadai penetapan garis
posisinya, atau membuat daftar titik-titik koordinat geografis yang menjelaskan
datum geodetik (geodatic datum). Setelah itu diumumkan sebagaimana mestinya
dan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini
harus dilakukan oleh Indonesia, mendaftarkan data wilayah termasuk semua
pulau yang berada di bawah kedaulatan NKRI di PBB, sehingga tidak terulang
kasus pulau Sipadan-Ligitan yang menjadi milik Malaysia karena Indonesia kalah
telak di forum Mahkamah Internasional tanggal 17 Desember 2002 itu. Beberapa
kasus penyelesaian sengketa perbatasan negara di zona maritim ini misalnya :
territorial sea beyond the median line every point of which is equidistant from the nearest points on the
baselines from which the breadth of the territorial seas of each of the two States is measured. The above
provision does not apply, however, where it is necessary by reason of historical title or other special
circumstances to delimit the territorial seas of the two States in a way which is at variance therewith.”
19
1. The delimitation of the exclusive economic zone between States with opposite
or adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis of international
law, as referred to in Article 38 of the Statute of the International Court of
Justice, in order to achieve an equitable solution.
2. If no agreement can be reached within a reasonable period of time, the States
concerned shall resort to the procedures provided for in Part XV.
3. Pending agreement as provided for in paragraph 1, the States concerned, in a
spirit of understanding and cooperation, shall make every effort to enter into
provisional arrangements of a practical nature and, during this transitional
period, not to jeopardize or hamper the reaching of the final agreement. Such
arrangements shall be without prejudice to the final delimitation.
4. Where there is an agreement in force between the States concerned, questions
relating to the delimitation of the exclusive economic zone shall be determined in
accordance with the provisions of that agreement.
Negara Pantai harus menunjukkan batas-batas negaranya di Zona Ekonomi
Eksklusif dengan daftar kordinat geografis dan skala petanya (Charts and lists of
geographical coordinates) yang diakui oleh negara pantai tersebut sebagai
diminta oleh Pasal 75 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu yang berbunyi :
21
1. Subject to this Part, the outer limit lines of the exclusive economic zone and the
lines of delimitation drawn in accordance with article 74 shall be shown on
charts of a scale or scales adequate for ascertaining their position. Where
appropriate, lists of geographical coordinates of points, specifying the geodetic
datum, may be substituted for such outer limit lines or lines of delimitation.
2. The coastal State shall give due publicity to such charts or lists of
geographical coordinates and shall deposit a copy of each such chart or list with
the Secretary-General of the United Nations.
(1)Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara Negara yang pantainya
berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan berdasarkan
hukum internasional untuk mencapai solusi yang adil; (2)Apabila tidak dapat
dicapai persetujuan, Negara-negara tersebut harus menggunakan ketentuan Bab
XV (Settlement of Disputes); (3)Apabila belum ada persetujuan, Negara-negara
tersebut harus membentuk pengaturan sementara (provisional arrangement) untuk
mencapai penetapan akhir mengenai perbatasan di zona ekonomi eksklusif.
Penetapan batas di zona ekonomi eksklusif ini harus dicantumkan dalam peta
dengan skala daftar titik-titik koordinat geografis yang kemudian diumumkan dan
disampaikan kepada Sekjen PBB, seperti halnya ketentuan Pasal 16 Konvensi
Hukum Laut 1982 mengenai perbatasan di laut teritorial. Jadi berbeda dengan
cara penetapan batas laut teritorial, penetapan batas di zona ekonomi eksklusif ini
hanya dengan persetujuan di antara negara-negara tersebut. Beberapa kasus
berkenaan dengan zona ini adalah, misalnya, kasus Franco-Canadian Fisheries
Arbitration tahun 1985.
Penentuan batas negara di Zona Ekonomi Eksklusif mengacu pada hukum
kebiasaan international yang dikembangkan oleh Mahkamah Internasional dan
pengadilan arbitrasi lainnya, seperti dalam kasus Greenland/Jan Mayen, Gulf of
Maine tahun 1984 antara AS dan Kanada. Dalam kasus Gulf of Maine, Mahkamah
menegaskan dua norma dasar dalam menyelesaikan sengketa delimitasi maritim,
yaitu sebagai berikut :
(1) No martime delimitation between States with opposite or adjacent coasts may
be effected unilaterally by one of those States. Such delimitation must be
sought and effected by means of an agreement, following negotiations
conducted in good faith and with athe genuine intention of achieving a
22
kasus North Sea Continental Shelf. Dalam kasus Laut Utara ini Jerman menolak
menggunakan prinsip sama jarak (equidistance principle) karena Jerman menilai
prinsip ini tidak adil baginya disebabkan Jerman memiliki keadaan khusus
(special circumstances). Apabila ada keadaan khusus tersebut, maka pengukuran
landas kontinen berdasarkan prinsip sama jarak dapat disimpangi karena tidak adil
bagi negara tersebut, seperti pada Jerman. Ketentuan delimitasi landas kontinen
dalam kasus Laut Utara ini mengacu pada Konvensi Landas Kontinen (Konvensi
Jenewa 1958) dalam Pasal 6 berbunyi sebagai berikut : “… the boundary of the
continental shelf appertaining to such States shall be determined by agreement
between them. In the absence of agreement, and unless another boundary line is
justified by special circumstances … the boundary shall be determined by
application of the principle of equidistance from the nearest points of the
baselines …”
Desember 2002 semula dari landas kontinen yang ketika itu akan diukur oleh
Indonesia dan Malaysia. Dalam kasus Sipdan-Ligitan tersebut Mahkamah
memutuskan bahwa kedaulatan atas kedua pulau itu adalah menjadi milik
Malaysia. Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa persoalan perbatasan wilayah
di landas kontinen adalah persoalan yang sangat pelik dan penting bagi negara-
negara bahkan mungkin dapat menjadi sengketa bersenjata. Sedangkan
pembentukan hukum kebiasaan internasional melalui pengadilan-pengadilan
arbitrasi misalnya kasus the Anglo-French Continental Shelf tahun 1977, kasus
the Dubai/Sharjah Border Arbitration tahun 1981, dan kasus the Delimitation of
Maritime Areas between Canada and the French Republic tahun 1992 mengenai
batas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif 200 mil laut.
17
Article 38 of the Statute of the International Court of Justice : (a)international convention;
(b)international customary; (c)the general principles of law; (d)judicial decision and the teachings of the
most highly qualified publicists of the various nations as subsidiary means.
27
18
Pasal 33 Piagam PBB : “the parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the
maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry,
mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or
other peaceful means of their own choice”.
28
(the Scilly Isles) dengan setengah effek (half effect), yaitu garis perbatasan dibagi
dua atau setengah dari keduanya (halfway between). Demikian juga dalam kasus
Tunisia/Libya. Mahkamah memberikan tindakan sepenuh efek dalam kasus Libya
/Malta dan Greenland/Jan Mayen.
mercu suar atau instalasi serupa yang permanen. Dalam menentukan garis
pangkal ini dapat diperhitungkan kepentingan ekonomi yang khusus yang
kenyataan dan pentingnya secara jelas dibuktikan oleh praktik yang berlangsung
lama. Pasal 7 ini juga menegaskan bahwa sistem penarikan garis pangkal lurus
tidak boleh digunakan, sehingga memotong laut teritorial Negara lain dari laut
lepas atau zona ekonomi eksklusif.
Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baselines)
Pasal 46-47 Konvensi Hukum Laut 1982 menjelaskan pengertian Negara
Kepulauan dan garis pangkal kepulauan. Pasal 46 huruf (a) berbunyi : (a)
"archipelagic State" means a State constituted wholly by one or more
archipelagos and may include other islands”, yaitu bahwa Negara kepulauan
berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan
dapat mencakup pulau-pulau lain, sedangkan arti kepulauan terdapat dalam huruf
(b) yang berbunyi : “archipelago" means a group of islands, including parts of
islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely
interrelated that such islands, waters and other natural features form an intrinsic
geographical, economic and political entity, or which historically have been
regarded as such. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau termasuk bagian pulau,
perairan diantaranya dan wujud alamiah lainnya yang hubungan satu sama lain
demikian erat, sehingga perairan dan wujud alamiah lainnya merupakan suatu
kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang hakiki atau secara historis dianggap
demikian.
Penarikan garis pangkal ini tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi
umum kepulauan tersebut. Garis pangkal kepulauan tidak boleh ditarik ke dan
dari elevasi surut kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercusuar atau
instalasi yang secara permanen berada di atas permukaan laut atau apaabila
elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang
tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau terdekat. Penarikan garis pangkal
kepulauan tidak boleh memotong laut teritorial Negara lain dari laut lepas atau
zona ekonomi eksklusif. Garis pangkal kepulauan ini harus dicantumkan pada
peta dengan skal yang memadai menegaskan posisinya, atau sebagai gantinya
dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas merinciu datum
geodetik. Negara Kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta
atau daftar koordinat geografis dan harus mendepositkan salinannya pada
Sekretaris Jenderal PBB.
Pasal 14 Konvensi Hukum Laut 1982 berbunyi : “the Coastal State may
determine baselines in turn by any of the methods provided for in the foregoing
articles to suit different condition”, yang maksudnya adalah bahwa Negara Pantai
dapat menetapkan garis pangkal secara bergantian dengan menggunakan cara
penarikan manapun yang diatur dalam Konvensi. Penetapan garis pangkal baik
garis pangkal normal, garis pangkal lurus, maupun garis pangkal kepulauan secara
bergantian ini telah dilakukan oleh Indonesia sebagai negara pantai dan sekaligus
Negara Kepulauan sebagaimana terdapat dalam aturan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia. Pasal 3 dari PP tersebut ditegaskan bahwa di antara
pulau-pulau terluar dan karang kering terluar kepulauan Indonesia, garis pangkal
untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis pangkal lurus kepulauan.
Berdasarkan PP ini ada Pulau Dana yang merupakan pulau terluar yang termasuk
Propinsi Nusa Tenggara Timur (dekat Pulau Roti) yang tidak berpenduduk tidak
ada suar yang berbatasan dengan Australia di Karang Ashmore (Ashmore reef).
Pulau Dana ini terletak di titik dasar 121 52’ 22’’ Bujur Timur dengan jarak 65.43
mil dan di pulau terluar ini Indonesia menggunakan garis pangkal lurus
kepulauan.
32
1974)
10 Persetujuan Perpanjangan Indonesia - New Delhi, 14 Ratifikasi dgn
Batas Landas Kontinen India Januari 1977 Keppres No.
6/1973 (8
Desember
1973)
11 Persetujuan Penetapan Indonesia – Jakarta, 22 Juni Ratifikasi dgn
Titik Pertemuan Tiga Thailand - India 1978 Keppres No.
Garis Batas & Penetapan 24/1978
Garis Batas Landas
Kontinen
12 Persetujuan Batas Indonesia - Jakarta, 13 Ratifikasi dgn
Maritim dan Kerjasama PNG Desember 1980 Keppres No.
tentang Masalah-Masalah 21/1982
bersangkutan RI – PNG
13 Persetujuan Garis Batas Indonesia - Perth, 16 Maret Belum berlaku
ZEE dan Dasar Laut Australia 1997 karena belum
Tertentu RI - Australia diratifikasi
14 Persetujuan Garis Batas Indonesia - Hanoi, 26 Juni Belum berlaku
Landas Kontinen RI - Vietnam 2003 karena belum
Vietnam diratifikasi
15 Batas RI – Australia di
ZEE sedang
dirundingkan
pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat
menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.
(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat:
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur
selaku wakil Pemerintah; atau
c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah
dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas
pembantuan.
Kewenangan provinsip diatur oleh Pasal 13 UU No. 32/2004, yaitu sebagai berikut :
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan
urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang
-undangan.
(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Sedangkan kewenangan daerah untuk kabupaten/kota terdapat dalam ketentuan Pasal
14, yaitu sebagai berikut :
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat;
37
Daerah yang mempunyai wilayah laut diatur kewenangannya menurut ketentuan Pasal 18
UU No. 32/2004 sebagai berikut :
(1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola
sumber daya di wilayah laut.
(2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah
dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
b. pengaturan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
(4) Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke
arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga)
dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
(5) Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil,
kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur
38
sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk
kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap
penangkapan ikan oleh nelayan kecil.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Pendudukan biasanya terjadi pada wilayah yang belum ada pemerintahan, terra
nullius. Wilayah yang di dalamnya terdapat suku atau masyarakat asli yang mempuyai
hubungan sosial dan politik tidak dapat disebut sebagai terra nullius. (Advisory Opinion
of the ICJ on the Western Sahara 1975). Pendudukan atas sebuah wilayah ada atau
tidak ada bergantung pada prinsip keefektivan (principle of effectiveness) terhadap
sebagian besar wilayah tersebut. Dalam kasus Eastern Greenland tahun 1933
Mahkamah Permanen Internasional (PCIJ) menyatakan bahwa pendudukan harus efektif
dengan memenuhi dua unsur, yaitu pertama adanya maksud atau keinginan untuk
bertindak sebagai yang berdaulat (an intention or will to act as sovereign) dan yang
kedua adalah adanya pelaksanaan yang memadai atau menunjukkan adanya kedaulatan
(the adequate exercise or display of sovereignty). Dalam kasus Eastern Greenland
antara Norwegia dan Denmark itu, menurut PCIJ Denmark telah menunjukkan dua syarat
tersebut. Padahal Norwegia secara resmi membuat deklarasi tanggal 10 Juli 1931 bahwa
Eastern Greenland adalah milik Norwegia, tetapi Mahkamah memandang bahwa
deklarasi tersebut tidak efektif. Unsur keinginan dapat dilaksanakan secara resmi dalam
notifikasi resmi kepada para pihak yang berkepentingan dan melakukan kontrol,
sedangkan syarat kedua adalah adanya tindakan ril secara fisik sebagai bukti kepemilikan
atau adanya tindakan simbolik baik oleh eksekutif maupun legislatif yang mempengaruhi
wilayah yang diklaim itu, atau dengan adanya perjanjian dengan negara lain yang
mengakui klaim kedaulatan tersebut yang di dalamnya ada penetapan batas-batas negara
dan sebagainya.
Dalam kasus Clipperton Island Arbitration tahun 1931 antara Prancis dan
Meksiko dengan Arbitrator King Victor Emmanuel dari Itali yang menyatakan sebagai
berikut : “ … an actual manifestation of sovereignty on the locus of the territory may
serve to create a stronger title than a historic claim of right, unsupported by such a
concrete act. In point of fact, the actual award indicated also that importance was
attached to the circumstance, inter alia, that France, the claimant by virtue of the
symbolic act, had given due notice to the world of what it had done by the publication of
a declaration of sovereignty in English in a journal in Hawaii”.
Dalam kasus Minquiers and Ecrehos antara Inggris dan Prancis yang mengklaim
pulau kecil Channel, Mahkamah Internasional tahun 1953 menyatakan bahwa …”the
41
VII. Penutup
42
Daftar Pustaka
Buku :
43
Chairul Anwar, 1989, Hukum Internasional : Horizon Baru Hukum Laut Internasional
Konvensi Hukum Laut 1982, Djambatan, Jakarta.
Churchill and Lowe AV, 1999, The Law of the Sea, Juris Publishing, Manchester
University Press.
Etty R. Agoes, 1991, Konvensi Hukum Laut 1982 : Masalah Pengaturan Hak Lintas
Kapal Asing, Abardin, Bandung.
Harris, DJ., 1991, Cases and Materials on International Law, Fourth Edition, Sweet&
Maxwell, London.
Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Bandung, 1978.
------------------, Indonesia and the Law of the Sea, Centre for Strategic and International
Studies, Jakarta, 1995.
Komar Kantaatmadja, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional, Alumni,
Bandung, 1982.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Bandung, 1978.
Rokhmin Dahuri, dkk., 2001, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta.
Starke, JG., 1999, Introduction to International Law, Tenth Edition, Butterworths,
London, 1989.
Jurnal :
Fordham International Law Journal, Vol. 24, Number 5, June 2001, hlm. 1480-1482.
Democratic Governance and International Law Journal, Cambridge University Press,
hlm. 239-240.
Jurnal Hukum Internasional, Vol. 1 No. 2 Agustus 2002, Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
Dokumen :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahana
Konvensi Hukum Laut (United Nations Covention on the Law of the Sea) 1982
Piagam PBB 1945 (United Nations Charter) dan Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum
Internasional 1970
Peraturan Perundang-undangan Indonesia