Professional Documents
Culture Documents
Beberapa kesesuaian sifat fisik tanah untuk kelapa sawit antara lain :
Mempunyai solum yang tebal sekitar 80 cm. Walaupun kenyataan bahwa penyebaran akar kelapa sawit yang terbanyak dijumpai sampai
kedalaman 60 cm, namun ujung akar masih mencapai kedalaman 90 cm atau lebih, sehingga dibutuhkan untuk perkembangan akar yang baik.
Tanpa lapisan padas dan bertekstur tanah ringan dengan kandungan pasir 20-60 %, debu 10-40 % dan liat 20-50%.
Perkembangan struktur yang kuat, konsistensi gembur sampai agak teguh dengan permeabilitas yang sedang sampai baik.
Permukaan air harus berada di bawah 80 cm dan semakin dalam semakin baik.
Tanah yang kurang cocok adalah tanah pantai berpasir dan tanah gambut tebal.
SEJARAH
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari
Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika.
Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang
dibawa dari Mauritus dan Amesterdam dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Tahun 1878 kelapa sawit mulai dikembangkan di Bogor sebagai tanaman hias. Tahun
1884 mulai ditanam disekitar perkebunan tembakau Deli sebagai tanaman hias pula. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial
tahun 1911.
Perintis perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang Belgia. Budidaya yang dilakukan diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya
perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang.
Kebun kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas arealnya mencapai 5.123 ha. Indonesia pertama kali mengekspor
minyak sawit tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara eropa, kemudian tahun 1923 mengekspor minyak Inti sawit sebesar 850 ton.
Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang cukup besar. Indonesia menggeser dominasi ekspor negara
Afrika pada waktu itu. Hasil perolehan ekspor minyak sawit hanya meningkatkan perekonomian negara asing termasuk Belanda.
Memasuki pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan menyusutan 16 % dari totol luas lahan yang ada, produksi
minyak sawit hanya mencapai 56.000 ton tahun 1948 - 1949. Padahal tahun 1940 Indonesia sudah sanggup mengekspor 250.000 ton minyak sawit.
Tahun 1957, pemerintah mengambil alih perkebunan dengan alasan politik dan keamanan. Perubahan manajemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik
serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif, menyebabkan produksi mengalami penurunan. Pada periode itu, posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit
dunia tergeser oleh malaysia.
Masa pemerintah ORBA, pembangunan perkebunan terus diarahkan dan terus mendorong pembukan lahan baru untuk perkebunan. Sejak saat itu lahan
perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat