Professional Documents
Culture Documents
Ilmu Kehutanan,
Kehutanan, Pendidikan dan
Kiprah Rimbawan Indonesia
Disampaikan pada
Seminar Nasional Rekonstruksi Paradigma Kehutanan Sosial Menuju Pengelolaan Sumber Daya
Hutan Indonesia yang Berkelanjutan dan Berkeadilan
Oleh:
Prof. Dr. Ir. Hasanu Simon
Guru Besar Ilmu Perencanaan Hutan Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada
Yang terhormat Bapak Rektor UGM, bapak Dekan Fakutas Kehutanan, Ketua Senat Fakultas
Kehutnaan, para Ketua Jurusan, tamu undangan hadirin yang berbahagia.
Ilmu kehutanan sebenarnya sudah lahir sejak ribuan tahun yang lalu, setidaknya ketika kerajaan
Babylonia mengalami kejayaan sekitar 3.000 tahun SM. Dua rajanya yang sangat terkenal adalah
HAMMURABI (1728-1686 SM) dan NEBUCHATNEZZAR (1128-1107 SM). Kerajaan ini menjadi
super power lebih dari 30 abad. Babylonia runtuh sekitar 500 tahun SM di tangan kerajaan
Persia.
Bandingkan sukses rimbawan Belanda tersebut dengan apa yang dilakukan oleh rimbawan
Republik Indonesia selama berlakunya penebangan hutan di luar Jawa dengan sistem HPH.
Beberapa titik penting selama perjalanan HPH itu adalah:
1. Rapat kerja di Yogyakarta tahun 1967, untuk membicarakan bagaimana Direktorat
Jenderal Kehutanan melaksanakan penebangan hutan alam di luar Jawa sebagaimana
yang diminta oleh pemerintah.
2. Pertemuan di Yogyakarta itu mendorong dikeluarkannya Undng-undang Nomer 5/1967
tentang Pokok-pokok Kehutanan. Tempo yang tersedia untuk menyusun UU ini sangat
singkat, hanya beberapa bulan saja, sehingga kualitasnya boleh dikatakan rendah.
Bandingkan dengan Boschordonantie yang konsepnya selesai tahun 1965, tahun 1927
baru dikeluarkan secara resmi (62 tahun).
3. Dengan UU Nomer 5/1967 itu pelaksanakan tebangan hutan di luar Jawa oleh para
pemegang HPH berlangsung sangat cepat. Kekurangan UU Nomer 5/1967 sebenarnya
segera nampak setelah HPH beroperasi, tetapi tidak ada yang peduli dan tidak ada yang
berupaya untuk memperbaiki kekurangan yang ada. Akibatnya, proses kerusakan hutan
alam juga berlangsung begitu cepat; hanya dalam kurun waktu 25 tahun, 64 juta hektar
hutan alam produksi di luar Jawa mengalami kehancuran.
4. Awal kerja pemegang HPH dilandaskan pada data potensi kayu yang tercantum di dalam
Green Book. Data tersebut kecermatannya sangat rendah, sebagai hasil inventore tegakan
yang dilakukan secara serampangan oleh pejabat Direktorat Jenderal Kehutanan, dengan
melibatkan tenaga dosen dari IPB dan UGM. Tidak satupun di antara tenaga-tenaga yang
melakukan inventore dalam rangka menyusun Green Book itu yang menguasai dasar-
dasar inventore hutan yang benar.
5. Dalam era HPH itu pemerintah mendirikan PT Inhutani sebagai BUMN bidang
Kehutanan, tetapi syarat maupun cara kerjanya dibiarkan berjalan sendiri-sendiri. Hal ini
sangat berbeda dengan didirikannya Perusahaan Jati (Djtibedrijfs) tahun 1890 yang
akhirnya mampu berperan besar dalam pembangunan hutan tanaman jati di Jawa. Ketika
Oleh karena itu dapat dirumuskan bahwa tujuan pengelolaan hutan Indonesia adalah:
1. Membangun dan menjaga hutan yang baik (full-stock) mirip dengan kedaan asli ketika
dicaptakannya hutan yang terdiri atas berbagai tipe tersebut (fitroh).
2. Karena tugas utamanya memaksimumkan penyerapan enerji matahari dam menjaga
kelestarian ekosistem, maka yang dimaksud dengana hutan yang baik di sini adalah hutan
campuran (polikultur), tersusun atas berbagai strata, dapat melindungi kaneka-ragaman
flora dan fauna. Berbeda dengqan paradigma timber management, hutan yang baik adalah
yang paling tinggi menghasilkan kayu, itupun untuk jangka pendek.
Perlu ditambahkan di sini bahwa enerji matahari yang sampai dan menjadi input sistem buma,
terbagi menjadi empat bagian, yaitu yang diserap oleh:
1. Atmosfer.
2. Selimut bumi, yaitu bagian terbawah atmosfer dan bagian teratas litosfer tempat tinggal
semua makhluk hidup di bumi.
3. Litosfer.
4. Magma.
Pembagian empat enerji tersebut menjadi stabil setelah vegetasi di muka bumi mencapai
formasi klimaks. Sekuensi terbentuknya formasi klimaks itu terbentuk sebagai berikut:
1. Formasi klimaks itu terwujud ketika vegetasi di muka bumi didominasi oleh tumbuhan
berbunga (Spermatophyta).
2. Spermatophyta sendiri baru mulai terbentuk sekitar 130 juta tahun yang lalu, dan
mencapai klimaks beberapa puluh ribu tahun yang lalu.
3. Munculnya Spermatophyta diiukti dengan lahirnya binatang menyusui, dimana manusia
merupakan bagian darinya.
4. Puncak perkembangan binatang menyusui adalah lahirnya Homo sapiens yang diawali
dengan diciptakannya Adam oleh Alloh sebagai bapak manusia.
Pada awalnya komunitas manusia tidak banyak mempengaruhi keadaan ekosistem di muka
bumi dengan hutan klimaks sebagai pengendalinya. Akan tetapi setelah terbentuk komunitas
manusia berupa sistem pemerintahan, perlahan-lahan kerusakan hutan terjadi. Manusia
membentuk sistem pemerintahan yang pertama di Mesir, kemudian diikuti dengan prestasi
besarnya oleh kerajaan Mesopotamia. Seperti dikatakan di atas, di sini telah mulai kerusakan
hebat terhadap hutan klomaks, yang akhirnya membuat daerah di sekitar Mesopotamia menjadi
padang rumput dan padang pasir. Kerusakan hutan terus berjalan dengan cepat setelah penemuan
mesin uap oleh James Watt pada tahun 1782, yang menandai dimulainya revolusi industri.
Rusaknya hutan Indonesia merupakan keganasan revolusi industri yang terakhir, yang terjadi
antara tahun 1970-1995.
Kembali kepada masalah pembangunan hutan, perencanaan nasional perlu disusun untuk
jangka 50 tahun pertama yang dibuat per pulau atau kepulauan. Oleh karena itu akan diperlukan
rencana tujuh regional, yaitu untuk pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulewesi, Nusa
Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua Barat. Penyusunan rencana regional ini dilakukan oleh
Brigade Perencanaan Tingkat I. Selanjutnya dari setiap rencana regional dapat disusun rencana
regional tingkat DAS besar, yang disusun oleh Brigade Perencanaan Tingkat II. Di setiap
wilayah Brigade Perencanaan Tingkat II ada beberapa Seksi Perencanaan Daerah, yang bertugas
untuk menyusun rencana 10 tahunan bagi sekitar lima distrik hutan. Pelaksanaan rencana-
rencana distrik tersebut diserahkan kepada organisasi mesin-mesin pengelolaan hutan, baik yang
dikendalikan langsung oleh Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, BUMN, BUMS, Koperasi,
Kelompok maupun individu masyarakat setempat.
Untuk pembinaan sdm kehutanan, tanggung jawab pertama ada di tangan Departemen
Kehutanan, dengan dibantu oleh Dinas Kehutanan Propinsi. Hanya sdm kehutanan yang telah
mendapat sertifikasi dari Departemen Kehutanan yang dapat diangkat menjadi Kepala Dinas
maupun direktur mesin-mesin pengelola hutan. Di dalam memberi sertifikasi tersebut, di
samping ijazah juga perlu diperhitungkan pengalaman kerja untuk memberi penilaian tentang
prestasi sdm yang bersangkutan.
Sebagai rangkuman, dari apa yang diuraikan di atasm langkah-langkah yang harus ditempuh
untuk mewujudkan pembangunan hutan nasional adalah:
1. Pembentukan Undang-undang Kehutanan baru yang menganut paradigma social forestry,
dan dengan sendirinya menitik-beratkan kepentingan daerah sesuai dengan undang-
undang otonomi daerah.
2. Depolitisasi pengelolaan hutan di semua tingkat, mulai dari Departemen sampai tingkat
distrik, dengan menekankan perlunya menempatkan the right man on the right place. Hal
ini mengingatkan kita pada apa yang dikatakan oleh Nabi Muhannad Saw yaitu:”kalau
sesuatu ditangani oleh bukan ahlinya, tunggu saja kehancurannya.” Semua orang Islam
harus committed dengan prinsip ini, termasuk ketua partai dan para tokoh-tokhnya.
3. Perlu disusun rencana pembangunan hutan yang bersifat terpadu (integrated), bottom-up,
menyeluruh (holistic), dan secara akademik dapat dipertanggung-jawabkan. Rencana
nasional berpegang pada prinsip-prinsi jangka panjang (50) tahun, yang diikuti dengan
rencana 25 tahun untuk Propinsi atau DAS besar, dan rencana kerja 10 tahunan.
4. Pembianaan sdm kehutanan yang profesional, dan dilandasi oleh jiwa rimbawan,
kejujuran dan etos kerja yang kuat.
DAFTAR BACAAN
Anonim, 1995, Buku Kenangan Dies Natalis Universitas Gadjah Mada Ke-46, UGM
Yogyakarta.
Barraclough, Geoffrey, 1982, Concise Atlas of World Histrory, Hammond Incorporated,
Maplewood, New Jersey, viii-184
Collier, Williem L., 1981, Agricultural Evolution in Java, dalam Agricultural and Rural
Development in Indonesia, 147-173
Conway, Gordon R., 1983, Agro-ecosystem Anaiysis, ICCET Series E No: 1-1983, Centre for
Environmental Technology and Department of Pure and Applied Biology, The Imperial
College of Science and Technology, London SW7 ILU, United Kingdom
Duerr, William A., Dennis E. Teeguarden, Neils B. Christiansen, Sam Gutenberg, 1979, Forest
Resource Management: Decision Making Principles and Cases, W.B. Saunders Company,
Philadelphia, 612