You are on page 1of 11

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Poliomyelitis atau yang lebih dikenal dengan penyakit polio adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus yang menyerang sistem saraf dan dapat
menyebabkan kelumpuhan. Virus ini adalah virus RNA termasuk dalam famili
Picornaviridae, dan terdiri dari 3 serotipe virus yaitu serotipe 1, serotipe 2 dan
serotipe 3. Perbedaan ketiga tipe ini adalah pada sekuen nukleotidanya. Virus polio
tipe 1 (VP1) adalah antigen yang paling dominan membentuk antibodi netralisasi,
paling paralitogenik dan sering menimbulkan wabah. Sedangkan tipe 2 adalah yang
paling jinak Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur tetapi yang paling
rentan adalah umur < 3 tahun (50-70 % dari keseluruhan kasus polio).

Tinjauan Pustaka
Vaksin polio telah digunakan secara luas di seluruh dunia untuk melawan
penyakit poliomyelitis. Vaksin ini ditemukan oleh Jonas Salk (1952, metode injeksi)
dan Albert Sabin (1957, metode peroral).
Vaksin metode injeksi pertama kali dikembangkan oleh Jonas Salk tahun
1952, di mana vaksin tersebut merupakan poliovirus yang sudah diinaktifasi (IPV-
Inactivated Polio Virus). IPV dibuat berdasarkan tiga strain, yaitu Poliovirus 1,
Poliovirus 2 dan Poliovirus 3. Vaksin ini akan memberikan imunitas yang
diperantarai IgG pada aliran darah sehingga mencegah viremia dan kerusakan saraf
motorik. Vaksin ini pertama kali dicobakan secara massal pada tahun 1954 dan
hasilnya IPV terbukti 60-70% efektif mencegah infeksi strain Poliovirus 1, 90%
efektif mencegah infeksi Poliovirus 2 dan 3 serta 94% efektif mencegah polio
bulbaris, sehingga IPV kemudian memperoleh lisensi (Amerika 1987) sebagai vaksin
untuk mencegah poliomyelitis.

Sedangkan vaksin metode peroral (OPV-oral poliovirus vaccine)


dikembangkan oleh Albert Sabin (1958) di mana vaksin tersebut merupakan virus
yang dilemahkan. Virus polio tersebut dilemahkan dengan cara menempatkan pada

i
sel-non-manusia dengan temperatur sub-fisiologis sehingga mengalami mutasi dan
dapat dijadikan vaksin. OPV mendapat lisensi di Amerika pada tahun 1961-1963.
Pada umumnya OPV mengandung 10-20 dosis vaksin. Satu dosis tunggal OPV
(biasanya dua tetes) mengandung satu juta unit Sabin 1 (untuk melawan PV1),
100.000 unit Sabin 2, 600.000 unit Sabin 3 serta antibiotik (neomyicin dan
streptomycin). Penelitian menunjukkan bahwa satu dosis OPV memproduksi imunitas
untuk ketiga serotipe poliovirus pada 50% pasien dan tiga dosis OPV memproduksi
imunitas untuk ketiga tipe poliovirus pada 95% pasien. OPV bekerja dengan cara
memproduksi imunitas di sistem gastrointestinal (tempat perlekatan poliovirus)
sehingga efektif untuk mencegah infeksi poliovirus wild strain pada daerah-daerah
endemik.

Tujuan

Dalam penulisan Karya Tulisan Ilmiah ini penulis memiliki dua tujuan, antara
lain :

Tujuan subjektif

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bioteknologi.

Tujuan Objektif

Untuk mengetahui jenis vaksin pada penyakit polio yang dapat mencegah
timbulnya virus polio dan cara pembuatan vaksin polio.

PEMBAHASAN

Definisi Polio

Poliomyelitis atau Polio adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang


disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan
poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini
dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan

ii
melemahnya otot dan kadang kelumpuhan. Virus Polio termasuk genus enteroviorus,
famili Picornavirus. Bentuknya adalah ikosahedral tanpa sampul dengan genome
RNA single stranded messenger molecule. Single RNA ini membentuk hampir 30
persen dari virion dan sisanya terdiri dari 4 protein besar (VP1-4) dan satu protein
kecil (Vpg). Polio adalah penyakit menular yang dikategorikan sebagai penyakit
peradaban. Polio menular melalui kontak antar manusia. Virus masuk ke dalam tubuh
melalui mulut ketika seseorang memakan makanan atau minuman yang
terkontaminasi feses. Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain
berbeda dan amat menular. Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat
terjadi dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen
kasus terjadi pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun.

Kekebalan karena Vaksin


Selama vaksinasi, vaksin yang mengandung virus, bakteri atau organisme lain
yang telah mati atau dilemahkan disuntikkan ke dalam tubuh (kiri). Vaksin kemudian
merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi untuk melawan
organisme tersebut (tengah). Lain waktu saat organisme tersebut kembali menyerang
tubuh, antibodi dari sistem kekebalan akan menyerang dan akan menghentikan
infeksi (kanan).
Hasil kekebalan yang disebabkan oleh vaksin didapat setelah menerima
vaksin. Vaksin memicu kemampuan sistem kekebalan berjuang melawan infeksi
dengan tanpa kontak langsung dengan kuman yang menghasilkan penyakit. Vaksin
berisi kuman yang telah dimatikan atau dilemahkan atau derivatifnya. Jika diberikan
kepada orang sehat, vaksin memicu respon kekebalan tubuh. Vaksin memaksa tubuh
berpikir bahwa sedang diserang oleh organisme spesifik, dan sistem kekebalan
bekerja untuk memusnahkan penyerbu dan mencegahnya menginfeksi lagi.
Jika terekspos terhadap penyakit saat telah divaksin, kuman yang menyerbu
akan menghadapi antibodi. Kekebalan anda berkembang mengikuti vaksinasi mirip
kekebalan yang diperoleh dari infeksi alami.
Beberapa dosis vaksin mungkin diperlukan untuk jawaban kebal yang penuh.

iii
Beberapa orang gagal mendapatkan kekebalan penuh saat dosis pertama vaksin, tetapi
memberi hasil pada dosis lanjutan. Sebagai tambahan, kekebalan yang didapatkan
dari beberapa vaksin, seperti tetanus dan pertussis, tidak untuk seumur hidup. Karena
respon kekebalan mungkin berkurang dengan berjalannya waktu, mungkin perlu
dosis vaksin tambahan untuk memulihkan atau menambah kekebalan.

Vaksin Virus Polio

Dalam proses imunisasi polio, ada dua macam vaksin yang digunakan, yaitu
IPV (inactivated poliovirus vaccine) dan OPV (oral poliovirus vaccine). Kedua jenis
vaksin ini berasal dari virus polio yang dikulturkan pada sel Vero yang berasal dari
Monkey kidney dan keduanya mengandung vaksin virus polio serotype 1, 2, dan 3.
Perbedaan kedua vaksin ini adalah jika IPV merupakan virus yang sudah
dinonaktifkan (inactivated) dengan formaldehyde, sehingga sifat virusnya hilang
termasuk sifat perkembang biakannya, sedangkan OPV adalah virus yang masih
hidup.

Pada IPV yang berfungsi sebagai vaksin (antigen) adalah protein-protein dari
virus tersebut, terutama protein kapsid (capsid protein) yang mengandung gugusan
epitop antigen (antigenic epitope). Berlawanan dengan IPV, OPV adalah virus yang
masih hidup dan mempunyai kamampuan untuk berkembang biak, tetapi hampir tidak
bersifat patogen karena sifat patogennya sudah dilemahkan. Oleh karena itu OPV
juga dinamakan live-attenuated poliovirus vaccine. Pada OPV yang berfungsi sebagai
antigen adalah virus itu sendiri. Karena OPV mampu berkembang biak setelah
vaksinasi, virus akan berkembang biak di usus penerima vaksin (resepien) dan
menyebar ke seluruh tubuh melalui saluran darah. Oleh karena itu, OPV akan
membuat daya imun yang lama dan bahkan dikatakan bisa untuk seumur hidup.
Selain itu, virus yang terekresi oleh resepien akan terinfeksi kepada orang-orang yang
berhubungan dengan resepien dan otomatis berkembang biak dan memberi daya imun
terhadap orang-orang tersebut.

Vaksin OPV berbentuk cairan sirup sehingga vaksinasi dengan OPV cukup
dengan meminum sirup tersebut tanpa memerlukan alat lain. Sementara vaksin IPV

iv
adalah berbentuk cairan harus disuntikan, sehingga dalam hal biayapun pemakaian
OPV jauh lebih murah dibandingkan dengan IPV. Adapun alasan kenapa vaksin IPV
tidak dibuat berbentuk sirup yang bisa diminum adalah karena protein-protein yang
berfungsi sebagai antigen pada IPV akan terurai di dalam lambung. Untuk
menghindari ini, IPV langsung disuntikan dan diharapkan bisa bereaksi langsung.

Dengan alasan-alasan ini, program eradikasi polio dipenjuru dunia


mengutamakan pemakaian OPV. Dengan pemakaian OPV, penderita polio berkurang
secara drastis dan virus polio liarpun sudah hampir mendekati kemusnahan. Ini
adalah keberhasilan yang gemilang yang dicapai oleh program eradikasi polio dengan
memakai OPV.

Vaksin OPV

OPV (Oral Polio Vaccine) adalah virus polio yang dilemahkan dan diberikan
melalui mulut dengan cara diteteskan. OPV mengandung virus polio strain Sabin
serotype 1, 2 dan 3 yang dibiakan pada kultur sel ginjal monyet, antibiotik neomisin
dan streptomicyn. Untuk menjamin khasiat dan keamanan vaksin polio, setiap
lot/batch vaksin polio yang diproduksi harus mendapat release dari Badan POM.
Pemberian vaksin OPV sebaiknya diberikan pada anak dalam kondisi sehat,
tidak boleh diberikan pada anak yang mengalami sakit gangguan kekebalan tubuh
atau defisiensi imun (leukimia, HIV/AIDS dan lain-lain), anak yang mendapat obat
golongan steroid jangka lama, anak yang sedang dirawat di rumah sakit. OPV
diberikan pada anak-anak dengan 4 dosis terbagi (masing-masing 2 tetes) sebelum
usia 1 tahun yaitu pada usia 0 bulan, saat pulang dari rumah bersalin, dilanjutkan
pada usia 3, 4 dan 5 bulan. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan
memberikan tambahan dosis pada umur 18 bulan dan 5 tahun untuk meyakinkan anak
mendapatkan dosis yang cukup. Total pemberian OPV adalah 6 dosis sebelum 5
tahun untuk mencapai dosis kekebalan maksimal. OPV membentuk antibodi dalam
darah, dapat mencegah penyebaran virus ke sistem saraf, dan segera dapat
membentuk kekebalan lokal sementara (selama 100 hari) di usus. Setelah mendapat 4

v
dosis atau lebih, baru terjadi kekebalan tubuh secara menyeluruh. Sistem kekebalan
tersebut akan mencegah penyebaran virus dari satu-orang ke orang lain, karena dapat
mencegah multiplikasi virus polio. Keuntungan OPV adalah mudah diberikan oleh
sukarelawan tidak memerlukan keahlian khusus dalam pemberiannya, tidak
memerlukan peralatan suntik yang steril, relatif lebih murah, dapat digunakan dalam
waktu bersamaan di daerah yang sangat luas termasuk daerah dengan kondisi sanitasi
yang kurang baik. OPV dapat mencegah penyebaran virus polio liar pada daerah yang
mengalami wabah (daerah KLB) polio.
Jenis vaksin Virus Polio Oral atau Oral Polio Vaccine (OPV) ini paling sering
dipakai di Indonesia. Vaksin OPV pemberiannya dengan cara meneteskan cairan
melalui mulut. Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild) hidup yang dilemahkan. OPV
di Indonesia dibuat oleh PT Biofarma Bandung. Komposisi vaksin tersebut terdiri
atas virus polio tipe 1, 2 dan 3 adalah suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah
dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan
distabilkan dalam sucrosa. Tiap dosis sebanyak dua tetes mengandung virus tipe 1,
tipe 2, dan tipe 3 serta antibiotika eritromisin tidak lebih dari 2 mcg dan kanamisin
tidak lebih dari 10 mcg.

Virus dalam vaksin ini setelah diberikan dua tetes akan menempatkan diri di
usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun dalam dinding
luar lapisan usus yang mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus polio liar yang
akan masuk. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons antibodi
terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Setelah diberikan
dosis pertama dapat terlindungi secara cepat, sedangkan pada dosis berikutnya akan
memberikan perlindungan jangka panjang.

Virus polio ini dapat bertahan di tinja hingga enam minggu setelah pemberian
vaksin melalui mulut. Anak yang telah mendapatkan imunisasi OPV dapat
memberikan pengeluaran virus vaksin selama enam minggu dan akan melakukan
infeksi pada kontak yang belum diimunisasi. Untuk orang yang berhubungan
(kontak) dengan bayi yang baru diimunisasi harus menjaga kebersihan dengan
mencuci tangan setelah mengganti popok bayi.

vi
Sehingga, bila ada seorang kontak di rumah yang dalam keadaan kondisi
tubuh sedang turun, seperti pengobatan kortikosteroid (imunosupresan) atau
pengobatan radiasi umum, penyakit kanker atau keganasan yang berhubungan
dengan sistem retikuloendotelial (seperti limpoma, leucemia, penyakit hodgkin), anak
dengan mekanisme imunologik terganggu misalnya hipogamaglobulinemia dan
penderita infeksi HIV atau AIDS, sebaiknya menghindar dari bayi atau anak yang
divaksinasi polio paling tidak selama enam minggu sesudahnya.

Anggota keluarga yang belum pernah diimunisasi polio atau belum lengkap
imunisasinya dan mendapat kontak dengan anak yang mendapat vaksin OPV,
sebaiknya ditawarkan imunisasi dasar OPV pada waktu yang bersamaan dengan anak
tersebut.

Vaksin ini sangat stabil, namun sekali dibuka akan kehilangan potensi karena
perubahan pH setelah terpapar udara. Kebijakan Departemen Kesehatan
menganjurkan bahwa vaksin polio yang telah dibuka botolnya pada akhir sesi
imunisasi massal harus dibuang.

Vaksin OPV dapat disimpan beku. Apabila akan digunakan vaksin beku
tersebut dapat dicairkan dengan cepat, dengan ditempatkan antara dua telapak tangan
dan digulir-gulirkan, dijaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai
oranye muda sebagai indikatoir pH.
Keadaan yang tidak boleh divaksinasi OPV adalah Penyakit akut atau demam
(suhu lebih 38,5 C), Muntah atau diare, sedang menerima pengobatan kortikosteroid
(imunosupresan) dan pengobatan radiasi umum (termasuk kontak penerima), penyakit
kanker atau keganasan (termasuk kontak penerima) yang berhubungan dengan sistem
retikuloendotelial (seperti limpoma, leucemia, penyakit hodgkin) dan anak dengan
mekanisme imunologik yang terganggu misalnya hipogamaglobulinemia, dan
penderita infeksi HIV atau AIDS (termasuk kontak penerima)

OPV memiliki banyak kelebihan sehingga dipakai dalam program eradikasi


polio global. Walaupun demikian, OPV juga memiliki sedikit kelemahan, yaitu
kemungkinan berubah menjadi virus yang patogen. Karena OPV adalah virus hidup,

vii
dia memiliki kemungkinan berubah, termasuk berubah kembali menjadi patogen. Jika
terjadi, ini akan berisiko terhadap orang yang mendapatkan vaksinasi. Kasus polio
seperti ini dikenal dengan vaccine-associated paralytic poliomyelitis (VAPP).

Vaksin IPV
IPV dihasilkan dengan cara membiakkan virus dalam media pembiakkan,
kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan pemanasan atau bahan kimia.
Karena IPV tidak hidup dan tidak dapat replikasi maka vaksin ini tidak dapat
menyebabkan penyakit polio walaupun diberikan pada anak dengan daya tahan tubuh
yang lemah. Vaksin yang dibuat oleh Aventis Pasteur ini berisi tipe 1, 2, 3 dibiakkan
pada sel-sel VERO ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan formadehid.
Selain itu, dalam jumlah sedikit terdapat neomisin, streptomisin dan
polimiksin B. IPV harus disimpan pada suhu 2 - 8 derajat C dan tidak boleh
dibekukan. Pemberian vaksin tersebut dengan cara suntikan subkutan dengan dosis
0,5 ml diberikan dalam empat kali berturut-turut dalam jarak dua bulan.

Untuk orang yang mempunyai kontraindikasi atau tidak diperbolehkan


mendapatkan OPV maka dapat menggunakan IPV. Demikian pula bila ada seorang
kontak yang mempunyai daya tahan tubuh yang lemah maka bayi dianjurkan untuk
menggunakan IPV.

IPV (Inactivated Polio Vaccine) yang diberikan secara suntikan hanya sedikit
memberikan kekebalan lokal di usus tetapi memberikan kekebalan yang kuat di
seluruh tubuh pada orang yang telah mendapat dosis lengkap. Total dosis yang
diberikan adalah 4 dosis. Diberikan pada anak yang mempunyai halangan/
kontraindikasi untuk mendapat OPV, pasien di luar daerah wabah, pasien yang ragu-
ragu tentang status imunisasi anak, orang dewasa yang melakukan perjalanan ke
daerah KLB/wabah, pekerja laboratorium yang menangani virus polio dan petugas
kesehatan yang merawat pasien polio. IPV tidak dapat mencegah penyebaran virus
polio karena tidak dapat mencegah terjadinya multiplikasi virus polio di usus seperti
pada OPV.

viii
Proses Pembuatan Vaksin IPV
Proses produksi vaksin ini melalui tahapan sebagai berikut :
1. Penyiapan medium (sel vero) untuk pengembangbiakan virus
2. Penanaman/inokulasi virus
3. Pemanenan virus
4. Pemurnian virus
5. Inaktivasi/atenuasi virus
Penyiapan media (sel vero) untuk pengembangbiakan virus dilakukan dengan
menggunakan mikrokarier, yaitu bahan pembawa yang akan mengikat sel tersebut.
Bahan tersebut adalah N,N diethyl amino ethyl (DEAE). Pada proses selanjutnya sel
vero ini harus dilepaskan dari mikrokarier menggunakan enzim tripsin yang berasal
dari babi.
Tahap selanjutnya adalah pembuangan larutan nutrisi. Hal ini dilakukan
dengan proses pencucian menggunakan larutan PBS buffer. Larutan ini kemudian
dinetralkan dengan menggunakan larutan serum anak sapi (calf serum). Larutan yang
tidak digunakan tersebut dibuang atau menjadi produk samping yang digunakan
untuk keperluan lain.
Sel-sel vero yang sudah dimurnikan dan dinetralisasi itu kemudian
ditambahkan mikrokarier yang baru dan ditempatkan di bioreactor yang lebih besar.
Di dalamnya ditambahkan zat nutrisi yang sedikit berbeda untuk menumbuhkan sel
vero dalam jumlah yang lebih besar. Sel vero yang
sudah bertambah jumlahnya ini kemudian dilepaskan lagi dari mikrokariernya dengan
tripsin babi lagi. Proses ini berlangsung secara berulang-ulang sampai dihasilkan sel
vero dalam jumlah yang diinginkan.
Titik kritis ditinjau dari sudut kehalalan dalam pembuatan sel vero ini adalah
penggunaan enzim tripsin. Tripsin digunakan dalam proses pembuatan vaksin sebagai
enzim proteolitik (enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisahan sel / protein).
Tripsin dipakai dalam proses produksi OPV (Oral Polio Vaccine) dan IPV
(Inactivated Polio Vaccine).
Masalahnya, enzim tripsin ini merupakan unsur derivat (turunan) dari
pankreas babi. Sebenarnya dalam setiap tahapan amplifikasi sel, tripsin harus dicuci
ix
bersih oleh karena Tripsin akan menyebabkan gangguan pada saat sel vero menempel
pada mikrokarier. Hal ini menyebabkan produk akhir vaksin yang dihasilkan tidak
akan terdeteksi lagi unsur babinya. Namun karena digunakan sebagai bahan penolong
dalam proses pembuatannya, inilah yang memerlukan kejelasan status kehalalannya.
Tahap selanjutnya dalam proses pembuatan vaksin ini adalah perbiakan sel vero
menjadi produk bulk yang siap digunakan. Dalam tahap ini dilakukan proses
amplifikasi (pembiakan sel dengan mikrokarier) , pencucian sel vero dari tripsin,
inokulasi virus, panen virus, filtrasi, pemurnian dan inaktivasi. Pada proses pencucian
hingga inaktivasi tersebut sebenarnya sudah tidak melibatkan unsur babi lagi.
Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa proses pembuatan vaksin
folio masih melibatkan unsur haram dalam proses pembuatannya sebagai bahan
penolong, yaitu penggunaan enzim tripsin. Sebenarnya pada tahap selanjutnya enzim
ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian dan penyaringan, hingga pada
produk akhirnya tidak terdeteksi lagi. Namun karena sudah tersentuh unsur haram
dan najis, maka hal ini masih menimbulkan keraguan pada status kehalalannya.

KESIMPULAN

Vaksinasi juga dikenali sebagai imunisasi. Vaksin membantu tubuh untuk


menghasilkan antibodi dengan itu tubuh akan berupaya untuk melawan penyakit
sekiranya terdedah kepada jangkitan.

Untuk memastikan seorang anak sehat, mestilah memastikan mereka


mendapat imunisasi yang lengkap. Bayi yang mendapat imunisasi yang lengkap akan
mempuyai antibodi dalam tubuh dan yang akan melindungi mereka dari penyakit
tertentu. Sekiranya mereka tidak dilindungi dan terdedah kepada sumber jangkitan,
mereka akan jatuh sakit atau mengalami komplikasi yang boleh membawa kematian.

Namun karena sudah tersentuh unsur haram dan najis, maka hal ini masih
menimbulkan keraguan pada status kehalalannya.Walaubagaimanapun, vaksin adalah
lebih efektif jika diberi pada masa yang sesuai. Didalam vaksin polio terbagi menjagi
2 jeis vaksin, yaitu vaksin IPV dan Vaksin OPV. Terdapat perbedaan dari kedua
vaksin ini adalah jika IPV merupakan virus yang sudah dinonaktifkan (inactivated)
x
dengan formaldehyde, sehingga sifat virusnya hilang termasuk sifat perkembang
biakannya, sedangkan OPV adalah virus yang masih hidup. Di dalam proses
pembuatan vaksin folio masih melibatkan unsur haram dalam proses pembuatannya
sebagai bahan penolong, yaitu penggunaan enzim tripsin. Namun karena sudah
tersentuh unsur haram dan najis, maka hal ini masih menimbulkan keraguan pada
status kehalalannya.

DAFTAR PUSTAKA

World Health Organization. Surveillance of adverse events following Immunization.


Filed guide for managers of Immunization programmers. Geneve WHO, 1997.

American Academy of Pediatric. Summaries of Infectious diseases, polio infection.


Red Book 2000. Report Committee on Infectious Disease. Elk Grove Village. 465-70.

Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and prevention of vaccine
preventable diseases, 1999. 85 – 104.

Buku Imunisasi di Indonesia. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, tahun
2001.

Anlar O, Tombul T, Arslan S, Akdeniz H, Caksen H, Gundem A, Akbayram S Report


of five children with Guillain-Barré syndrome following a nationwide oral polio
vaccine campaign in Turkey Neurologi India. 2003 : 51/4 ; 544-545.

xi

You might also like