Professional Documents
Culture Documents
By andist
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya
masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk
minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masakini mereka
tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan
lainnya yang tersedia pada jaman modern.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-
negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan
Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an
pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropah. Pada masa itu kaum
miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani
yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka
umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya,
seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada
masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat
tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup
dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada
negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau
seperenam dari jumlah penduduknya tergolong miskin.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta
jiwa penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998).
Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta
jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka
tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin
sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah
penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah
dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang
terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan “buatan”
terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota
masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang
tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering
mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang
pemerataan.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai
aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya
interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya
pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah
mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme,
malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses
terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses
pengambil keputusan.
Lebih lanjut, garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Melalui pendekatan sosial masih sulit
mengukur garis kemiskinan masyarakat, tetapi dari indikator ekonomi secara teoritis
dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi,
pendapatan, dan pengeluaran. Sementara ini yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS)
untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekatan pengeluaran.
Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis kemiskinan penduduk
perkotaan ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per bulan dan penduduk miskin
perdesaan sebesar Rp. 72.780 per kapita per bulan. Dengan perhitungan uang tersebut
dapat dibelanjakan untuk memenuhi konsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per
hari, ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum lainnya, seperti sandang,
kesehatan, pendidikan, transportasi. Angka garis kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila
dibanding dengan angka tahun 1996 sebelum krisis ekonomi yang hanya sekitar Rp.
38.246 per kapita per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp. 27.413 bagi penduduk
perdesaan.
1. Pendahuluan
Pemerintah Indonesia selama ini selalu memberikan perhatian yang besar terhadap upaya
penanggulangan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Perhatian pemerintah
terhadap penanggulangan kemiskinan semakin besar lagi setelah krisis ekonomi melanda
Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Pemerintah secara tegas menetapkan upaya
penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu prioritas pembangunan sebagaimana
termuat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS. Target yang
ditetapkan pada periode tahun 2000-2004 adalah berkurangnya persentase penduduk
miskin, dari 19 % pada tahun 1999 menjadi 14 % pada tahun 2004. Keseriusan
pemerintah ini juga terlihat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 124 Tahun 2001 pembentukan Komite Penanggulangan Kemiskinan
(KPK). Tidak lama setelah itu, pada tahun 2002 KPK juga telah menerbitkan Dokumen
Interim Strategi Penanggulangan Kemiskinan .
Salah satu aspek penting untuk mendukung Strategi Penanggulangan Kemiskinan adalah
tersedianya data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Ketersediaan
data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk
memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan/sasaran dari kebijakan dan
program penanggulangan kemiskinan pada tingkat nasional, tingkat daerah (khususnya
daerah kabupaten/kota), maupun tingkat wilayah kecil komunitas. Oleh karena itu
kegiatan pemantauan kemiskinan secara berkelanjutan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari strategi penanggulangan kemiskinan, baik untuk nasional maupun untuk
daerah.
Menurut jenisnya, data kemiskinan biasanya dikategorikan dalam dua jenis, yaitu data
makro dan data mikro. Data makro kemiskinan pada dasarnya adalah angka estimasi
penduduk miskin untuk tingkat nasional maupun daerah (sampai pada tingkat
kabupaten/kota). Data makro kemiskinan ini biasanya digunakan untuk alokasi angaran
pengentasan kemiskinan menurut daerah dan untuk perbandingan antar daerah. Namun
demikian data makro kemiskinan ini tidak dapat digunakan untuk taget sasaran
rumahtangga/keluarga miskin. Untuk target sasaran rumahtangga/keluarga miskin,
diperlukan data mikro yang dikumpulkan secara lengkap dari lapangan.
Selama lima tahu terakhir ini, metode pemantauan kemiskinan di Indonesia telah
berkembang dengan pesat. Perkembangan tersebut terutama terjadi pada metode
pengukuran yang disesuaikan dengan kepentingan pembangunan di daerah. Sebagaimana
diketahui ukuran-ukuran kemiskinan yang ada di Indonesia sekarang ini diperlukan untuk
beberapa kepentingan, antara lain untuk perbandingan antar negara, perbandingan antar
daerah, dan kepentingan pembangunan di daerah khususnya kabupaten/kota.
Pemantauan kemiskinan di Indonesia pertama kali dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS)
pada tahun 1984 berdasarkan pendekatan pengeluaran/konsumsi untuk kebutuhan dasar
(basic needs approach). Sampai dengan tahun 1996, data yang digunakan dalam
penghitungan penduduk miskin adalah data modul konsumsi hasil Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) dan penghitungannya hanya dilakukan sampai tingkat nasional dan
propinsi. Selanjutnya sejak tahun 1999, yaitu setelah berlakunya Undang Undang Nomor
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka disamping penghitungan penduduk
miskin untuk tingkat nasional dan propinsi, BPS juga telah melakukan penghitungan
penduduk miskin untuk tingkat kabupaten/kota dengan menggunakan data kor
(pengeluaran rumahtangga per kelompok konsumsi) hasil Susenas. Hasil penghitungan
jumlah dan persentase penduduk miskin kabupaten/kota berikut Indeks Kedalaman
Kemiskinan (P1) dari data kor Susenas telah dipergunakan dalam penghitungan DAU
sejak tahun anggaran 2002. Hasil penghitungan yang sama berdasarkan data kor Susenas
tahun 2003 juga akan dipergunakan dalam penghitungan DAU tahun anggaran 2004.
Perlu diketahui bahwa pengukuran kemiskinan dengan pendekatan basic needs yang
dilakukan setiap 3 tahun sekali melalui modul konsumsi Susenas pada dasarnya hanya
dimaksudkan untuk menghasilkan jumlah penduduk miskin aggregat pada tingkat
nasional dan propinsi. Walaupun telah dilakukan penghitungan penduduk miskin
kabupaten/kota melalui data kor Susenas, tetapi penghitungannya masih dalam konstruksi
garis kemiskinan yang dikaitkan dengan pola konsumsi penduduk miskin propinsi.
Permasalahan lain dari pengukuran kemiskinan dengan pendekatan basic needs ini adalah
bahwa pengukuran tersebut adalah pengukuran makro (data makro), yaitu ukuran
berdasarkan sampel rumahtanga. Pengukuran tersebut pada dasarnya hanya dapat
digunakan untuk keperluan alokasi anggaran pengentasan kemiskinan tetapi tidak dapat
digunakan untuk mengidentifikasi rumahtangga/penduduk miskin di lapangan. Bertitik
tolak dari permasalahan ini, maka pada tahun 1999 BKKBN melakukan pendataan
keluarga secara lengkap dengan menggunakan konsep kesejahteraan keluarga.
Pendekatan BKKBN ini selanjutnya oleh banyak pihak juga dianggap masih kurang
realistik, karena konsep “keluarga prasejahtera” dan “keluarga sejahtera tahap I” tersebut
sifatnya normatif dan lebih sesuai dengan keluarga kecil atau keluarga inti (nuclear
family. Disamping itu, kelima indikator tersebut masih bersifat sentralistik dan seragam,
yang belum tentu relevan untuk keadaan dan budaya lokal (lihat Ritonga dan Betke,
2002; Irawan dkk, 2000). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pada tahun 2000 BPS
juga telah melakukan studi penentuan kriteria penduduk miskin yang bertujuan untuk
mencari karakteristik-karakteristik rumahtangga yang dapat dipakai untuk merumuskan
suatu kriteria yang dapat dipergunakan dalam mengidentifikasi penduduk/rumahtangga
miskin. Dengan menanyakan sejumlah pertanyaan sederhana kepada setiap
penduduk/rumahtangga yang ada di suatu wilayah, maka akan dapat diidentifikasi
rumahtangga-rumahtangga yang terkategori miskin. Karakteristik-karakteristik
rumahtangga miskin tersebut tidak saja dapat dikumpulkan melalui survei tetapi juga
melalui pendataan rumahtangga secara lengkap. Berdasarkan studi tersebut diperoleh
delapan variabel yang layak dan operasional untuk penentuan rumahtangga miskin di
lapangan (BPS, 2000), yaitu: luas lantai perkapita (lebih kecil atau lebih besar dari 8m2),
jenis lantai (tanah atau bukan tanah), ketersediaan air bersih (tidak terlindung atau
terlindung), keberadaan jamban (tidak ada atau ada), kepemilikan asset (tidak punya atau
punya), variasi konsumsi lauk pauk (tidak bervariasi dan bervariasi), pembelian pakaian
(tidak pernah membeli minimal satu stel pakaian dalam setahun atau pernah), kehadiran
dalam kegiatan sosial (tidak pernah hadir atau pernah). Kedelapan variabel tersebut telah
mencakup aspek sosial dan ekonomi penduduk/rumahtangga diantaranya aspek sandang,
pangan, perumahan, kepemilikan asset dan aktivitas sosial. Pada tahun 2002, kedelapan
variabel-variabel tersebut telah ditambahkan pada Susenas Kor, dimana variabel-variabel
yang mengacu pada sifat-sifat yang mencirikan kemiskinan diberi skor 1 dan variabel-
variabel yang mengacu kepada sifat-sifat yang mencirikan ketidakmiskinan diberi skor 0.
Berdasarkan hasil studi tahun 2000 ditetapkan bahwa skor batas untuk rumahtangga
miskin adalah 5, artinya rumahtangga yang mempunyai skor 5 atau lebih akan
dikategorikan miskin. Sama halnya dengan pendekatan BKKBN, metode ini juga
menunjukan hasil yang kurang realistic karena kedelapan karaktersistik tersebut tidak
menggambarkan kondisi dan budaya lokal yang berbeda antar daerah. Untuk daerah-
daerah yang sudah tergolong masyarakat industrial/perkotaan, seperti DKI Jakarta,
ukuran tersebut mungkin masih relevan tetapi untuk daerah-daerah pedesaan dan daerah-
daerah yang masih mengikuti pola-pola tradisional ukuran-ukuran tersebut bisa kurang
relevan.
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, beberapa daerah telah mengembangkan sendiri
kriteria rumahtangga miskin untuk keperluan target program, misalnya Propinsi
Kalimantan Selatan, Propinsi DKI Jakarta, dan Propinsi Jawa Timur. Ketiga propinsi ini
melakukan pendataan rumahtangga miskin secara lengkap, dengan mnggunakan
karakteristik yang dirancang sendiri di daerah. Namun demikian, kriteria-kriteria tersebut
tampaknya juga masih seragam dan sentralistik (pada tingkat propinsi), tidak
dikembangkan berdasarkan kondisi akar rumput, dan belum tentu mewakili keutuhan
sistem sosial, malahan bisa saja mencerminkan ideologi golongan elit.
Seperti kita ketahui bersama, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi Daerah No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, perencanaan dan evaluasi pembangunan
tidak lagi dilakukan secara sentralistik, tetapi oleh pemerintah daerah khususnya pada
tingkat kabupaten/kota. Sekarang ini, banyak permintaan data untuk kebijakan dan
program pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Dalam kaitan ini, BPS perlu
mempersiapkan diri dengan suatu paradigma baru, yaitu penyiapan data statistik yang
disamping memenuhi kebutuhan sistem statistik nasional juga dapat memenuhi
kebutuhan sistem statistik daerah, khususnya daerah kabupaten/kota.
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa pemantauan kemiskinan di Indonesia sekarang ini
cukup beragam dan hal tersebut dapat menjadi bahan perdebatan diantara berbagai pihak
karena adanya perbedaan konsep kemiskinan dan kegunaan pengukuran kemiskinan
tersebut bagi penyelenggaraan pembangunan baik nasional maupun regional, khususnya
pemerintahan kabupaten/kota. Oleh karena itu melaalui kesempatan konsultasi regional
ini perlu disosialisasikan metode-metode pengukuran yang ada dan berkembang saat ini
untuk menambah pengetahuan dan pertimbangan dalam kegiatan kerjanya di daerah,
khususnya dalam program pembangunan yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan
di daerah.
Tujuan utama dari makalah ini adalah untuk menjelaskan metode-metode pengukuran
yang berkembang di Indonesia, yaitu: 1) pendekatan garis kemiskinan pendapatan, 2)
pendekatan garis kemiskinan konsumsi/pengeluaran atau pendekatan kebutuhan dasar
(basic needs aproach), 3) pendekatan karakteristik penduduk atau rumahtangga/keluarga
miskin, dan 4) pendekatan sistemik yang spesifik-lokal dan sayang budaya. Secara
khusus makalah ini mengkaji keterbatasan atau kelebihan pengukuran kemiskinan
tersebut untuk program penangulangan kemiskinan baik untuk tingkat nasional maupun
untuk tingkat kabupaen/kota.
Pendekatan ini adalah pendekatan yang selama ini digunakan oleh Badan Pusat Statistik
dalam menghitung penduduk miskin di Indonesia. Pendekatan ini menggunakan konsep
kemiskinan yang dikaitkan kebutuhan hidup minimal yang layak (basic needs) untuk
seseorang/rumahtangga. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang bersifat mendasar untuk pangan,
sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya.
Berdasarkan pendekatan basic needs, maka dapat dihitung “garis kemiskinan konsumsi”
dan selanjutnya dapat dihitung persentase penduduk miskin (Head Count Index), yaitu
persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan konsumsi. Garis kemiskinan
konsumsi dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan bukan makanan per
kapita pada kelompok penduduk referensi, yaitu penduduk kelas marjinal yang hidupnya
berada sedikit diatas garis kemiskinan konsumsi. Garis kemiskinan konsumsi terdiri dari
garis kemiskinan makanan (batas kecukupan konsumsi makanan) dan garis kemiskinan
non-makanan (batas kecukupan konsumsi non-makanan).
Batas kecukupan konsumsi makanan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan
untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum enerji 2100 kalori per kapita per
hari. Patokan ini mengacu pada hasil Wydia Pangan dan Gizi (1978). Sejak tahun 1993
penghitungan kecukupan kalori didasarkan pada 52 komoditi makanan terpilih yang telah
disesuaikan dengan pola konsumsi, hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar
(SPKKD) tahun 1993 dan 1996. Paket komoditi makanan setelah 1996 dievaluais
perkembangannya untuk tahun-tahun setelah 1996.
Secara rinci, prosedur estimasi penduduk miskin untuk tingkat propinsi dan nasional
dapat dilihat pada publikasi “ Pengukuran Tingkat Kemiskinan di Indonesia 1976-1999:
Metode BPS”. Hasil penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin per propinsi
dan nasional dari tahun 1999-2002 dapat dilihat pada publikasi “Data dan Informasi
Kemiskinan Tahun 2002, Buku 1: Propinsi (BPS, 2002a).
Sejak tahun 2002, yaitu setelah berlakunya Undang Undang Nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, maka disamping penghitungan penduduk miskin untuk
tingkat nasional dan propinsi, BPS juga telah melakukan penghitungan penduduk miskin
untuk tingkat kabupaten/kota dengan menggunakan data kor (pengeluaran rumahtangga
per kelompok konsumsi) hasil Susenas. Hasil penghitungan jumlah dan persentase
penduduk miskin kabupaten/kota berikut Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dari data
kor Susenas telah dipergunakan dalam penghitungan DAU sejak tahun anggaran 2002.
Metode dan hasil penghitungan penduduk miskin tingkat kabupaten/kota dapat dilihat
pada publikasi “Data dan Informasi Kemiskinan, Buku 2: Kbupaten/Kota (BPS, 2002b) .
Perlu diketahui bahwa pendekatan BPS dalam pengukuran kemiskinan memang telah
mengikuti ketentuan-ketentuan pengukuran kemiskinan yang dilakukan secara luas di
negara lain, tetapi hanya berdasarkan pendekatan ekonomi, yaitu konsep daya beli
melalui pengeluaran/konsumsi rumahtangga dalam rupiah, yang tidak sepenuhnya
demikian untuk daerah kabupaten. Disamping itu, penghitungan kemiskinan yang
dilakukan setiap 3 tahun sekali melalui Susenas modul konsumsi, hanya dimaksudkan
untuk menghasilkan jumlah penduduk miskin aggregat pada tingkat nasional dan
propinsi. Walaupun BPS, dengan menggunakan data kor Susenas (berdasarkan data
pengeluaran rumahtangga per kelompok konsumsi) telah melakukan penghitungan
penduduk miskin untuk kabupaten/kota, tetapi penghitungan tersebut masih dalam
konstruksi garis kemiskinan yang dikaitkan dengan pola konsumsi penduduk miskin
propinsi yang didasarkan pada subsample Susenas yang lebih kecil (modul konsumsi)
yang hanya mewakili tingkat propinsi. Budaya lokal dan faktor-faktor non-ekonomi
lainnya hanya secara tidak langsung dalam pendekatan ini melalui preferensi konsumsi
yang diaggregasi untuk tingkat propinsi. Faktor komposisi rumahtangga hanya
disesuaikan menurut jumlah anggota rumahtangga, padahal anggota rumahtangga dari
masing-masing rumahtangga terpilih biasanya berbeda menurut umur, jenis kelamin, dan
jenis pekerjaan.
Permasalahan lain dari pengukuran kemiskinan dengan pendekatan basic needs ini adalah
bahwa pengukuran tersebut adalah pengukuran makro, yaitu ukuran estimasi berdasarkan
sampel rumahtanga. Pengukuran tersebut pada dasarnya bisa digunakan untuk alokasi
anggaran pengentasan kemiskinan tetapi tidak bisa digunakan secara operasional untuk
mengidentifikasi rumahtangga penduduk miskin di lapangan. Disamping itu, asumsi
rumahtangga pada Susenas juga mengikuti model rumahtangga/keluarga inti (nuclear
family) sebagai pengambil keputusan dalam transaksi ekonomi. (sama seperti konsep
keluarga sejahtera BKKBN). Kedua hal ini belum tentu sesuai di daerah lain, karena
tidak sensitif dengan transfer dalam bentuk benda diluar pasar formal, pertukaran-
pertukaran diantara individu yang saling tergantung, keluarga inti dan keluarga yang
lebih luas, hubungan keluarga secara individu dan kelompok keluarga yang cukup
banyak.
Jumlah keluarga Pra KS dan KS-1 tahun 1999 menurut propinsi dan perbandingannya
dengan jumlah rumahtangga miskin berdasarkan garis kemiskinan konsumsi dari hasil
Susenas1999 disajikan pada Lampiran 2: Dari Lampiran 2 tersebut terlihat bahwa hasil
penghitungan BKKBN jauh lebih besar daripada hasil perhitungan BPS.
Pada tahun 2000 BPS juga telah melakukan studi penentuan kriteria penduduk miskin di
beberapa propinsi, yang bertujuan untuk mencari variabel-variabel yang dapat dipakai
untuk merumuskan suatu kriteria yang dapat dipergunakan dalam mengidentifikasi
penduduk/rumahtangga miskin. Dengan menggunakan kriteria tersebut, maka akan dapat
diidentifikasi rumahtangga-rumahtangga yang terkategori miskin.
Berdasarkan studi tersebut diperoleh delapan variabel yang layak dan operasional untuk
diterapkan di lapangan (BPS, 2000), yaitu: luas lantai perkapita (lebih kecil atau lebih
besar dari 8m2), jenis lantai (tanah atau bukan tanah), ketersediaan air bersih (tidak
terlindung atau terlindung), keberadaan jamban tidak ada atau ada, kepemilikan asset
(tidak punya atau punya), variasi konsumsi lauk pauk (tidak bervariasi dan bervariasi),
pembelian pakaian (minimal membeli satu stel pakaian atau tidak), kehadiran dalam
kegiatan sosial (ya atau tidak. Kedelapan variabel tersebut telah mencakup aspek sosial
dan ekonomi penduduk/rumahtangga diantaranya aspek sandang, pangan, perumahan,
kepemilikan asset dan aktivitas sosial. Pada tahun 2002, kedelapan variabel-variabel
tersebut telah ditambahkan pada Susenas Kor, dimana variabel-variabel yang mengacu
pada sifat-sifat yang mencirikan kemiskinan dan yang mengacu kepada sifat-sifat yang
mencirikan ketidakmiskinan dimana skor 1 dan skor 0. Dengan demikian akan diperoleh
skor maksimum 8 untuk yang paling miskin dan skor minimum yaitu 0 untuk yang paling
tidak miskin. Berdasarkan hasil studi tahun 2000 ditetapkan bahwa skor batas untuk
rumahtangga miskin adalah 5, artinya rumahtangga yang mempunyai skor 5 atau lebih
akan dikategorikan miskin.
Dengan demikian akan diperoleh skor maksimum 8 untuk yang paling miskin dan skor
minimum yaitu 0 untuk yang paling tidak miskin. Berdasarkan hasil studi tahun 2000
ditetapkan bahwa skor batas untuk rumahtangga miskin adalah 5, artinya rumahtangga
yang mempunyai skor 5 atau lebih akan dikategorikan miskin.
Perbandingan Rumahtangga/Penduduk Miskin hasil Pendekatan Delapan Karakteristik
Rumahtangga Miskin dan Pendekatan Konsumsi pada tahun 2002 dapat dilihat pada
Lampiran 3. Dari hasil tersebut tampak bahwa kriteria delapan variabel tersebut tidak
bisa diterapkan untuk semua daerah, karena hasilnya sangat berbeda dengan pendekatan
garis kemiskinan konsumsi. Dengan menggunakan skor 5 atau lebih sebagai ukuran
rumahtangga miskin, terlihat bahwa ukuran tersebut hanya cocok untuk Prop. DKI
Jakarta. Ini mengindikasikan bahwa pengukuran kemiskinan berdasarkan karakteristik
rumahtangga miskin seharusnya tidak dilakukan secara seragam dan sentralistik, tetapi
harus spesifik lokal dan dirancang oleh daerah dengan memperhatikan dinamika sosial
setempat.
Dalam rangka memenuhi permintaan pemerintah daerah akan data penduduk miskin
untuk target program, propinsi-propinsi seperti Kalimantan Selatan, DKI Jakarta, dan
Jawa Timur telah melakukan pendataan rumahtangga miskin secara lengkap, dengan
menggunakan karakteristik yang dirancang sendiri di daerah. Penentuan karakteristik
rumahtangga miskin untuk ketiga propinsi tersebut dijelaskan dibawah ini.
Sensus kemiskinan di propinsi Kalimantan Selatan dilakukan pada tahiun 1999. Hasil
pendataan tersebut dimaksudkan untuk penentuan rumahtangga-rumahtangga yang layak
mendapat dapat sembilan bahan pokok (Sembako). Penentuan rumahtangga miskin
didasarkan pada hasil scoring dari beberapa variabel yang diolah dari hasil pendataan
rumahtangga. Secara garis besar variabel dimaksud adalah: 1) kelompok pendapatan
perkapita, 2) pola makanan, 3) pakaian, 4) Perumahan : 5) Luas lantai, 6) jenis lantai, 7)
jenis atap, 8) jamban, dan 9) fasilitas TV. Penentuan nilai skor untuk masing-masing
variabel dibedakan untuk daerah pedesaan dan perkotaan. Dasar penentuan nilai skor
diperoleh dari beberapa kali uji coba.
Sensus kemiskinan di propinsi Jawa Timur dilakukan pada tahun 2001. Penentuan skor
untuk mengukur Indeks Rumahtangga Miskin (IRM) dilakukan dengan metode skor
tertimbang (weighted scoring method) dari setiap kategorinya. Dengan menggunakan 11
variabel (dibagi kedalam 3 kategori), setiap variabel diberi skor 1 untuk yang cenderung
tidak miskin, skor 2 untuk yang miskin, dan skor 3 untuk yang sangat miskin.Varianel-
variabel tersebut adalah: 1) jumlah pakaian yang dibeli, 2) fasilitas air bersih, 3)
persentase pengeluaran rumahtangga untuk makanan, 4) kepemilikan rumah, 5) jenis
dinding, 6) jenis lantai, 7) sarana buang air besar, 8) sumber penerangan rumah, 9)
partisipasi sekolah, 10) sumber keuangan rumahtangga, dan 11) pelayanan kesehatan.
Metode skoring ini memberikan interval nilai 1-3 yang dusebut sebagai Indeks Tingkat
Kemiskinan yang artinya bahwa semakin tinggi nilai indeksnya semakin miskin kondisi
rumahtangga bersangkutan. Orang yang tidak miskin mempunyai nilai indeks kecil atau
mendekati 1 (satu).
c. Propinsi DKI Jakarta
Sensus kemiskinan di provinsi DKI Jakarta dilakukan pada tahun 2000. Penentuan suatu
rumahtangga dikategorikan sebagai rumahtangga miskin yaitu apabila memiliki minimal
3 ciri/variabel dari 7 variabel kemiskinan rumahtangga yaitu : 1) luas lantai hunian
kurang dari 8m2 per anggota rumahtangga, 2) jenis lantai hunian sebagian besar tanah
atau lainnya, 3) fasilitas air bersih tidak ada, 4) fasilitas jamban/WC tidak ada dan atau
WC umum, 5) kepemilikan aset (kursi tamu) tidak ada, 6) konsumsi lauk-pauk dalam
seminggu tidak bervariasi, 7) kemampuan membeli pakaian minimal 1 stel dalam setahun
untuk setiap anggota rumahtangga: tidak ada.
Pada tahun 2002, Bappenas bekerjasama dengan HIS telah melakukan studi pengukuran
kemiskinan berbasis lokal di 10 (sepuluh) kabupaten di Indonesia (IHS, 2003). Studi ini
dimaksudkan untuk pengembangan basis data kemiskinan yang diperlukan untuk
mendukung program penanggulangan kemiskinan di tingkat kabupaten/kota.
Pengumpulan data dilakukan secara kualitatif melalui wawancara mendalam, diskusi
kelompok terfokus, dan pengamatan. Responden adalah orang lokal, miskin dan tidak
miskin. Data yang dikumpulkan mencakup pendapat akar rumput tentang: arti
kemiskinan, masalah utama yang dihadapi oleh orang miskin, penyebab kemiskinan,
strategi orang miskin untuk bertahan hidup, kemungkinan keluar dari lingkaran setan
kemiskinan, dan jenis bantuan pemerintah untuk orang miskin.
Hasil studi ini mengindikasikan bahwa orang miskin adalah mereka yang mempunyai
pilihan terbatas untuk makan, kesehatan, pendidikan, dan partisipasi di kegiatan sosial.
Untuk makan, orang miskin terpaksa mengkonsumsi bukan nasi atau nasi dicampur
karbohidrat lain; lauk pauk tidak bervariasi, dan frekuensi makan dibatasi. Untuk
kesehatan, orang miskin mempunyai pilihan berobat dan pilihan fasilitas kesehatan
modern terbatas. Untuk pendidikan, orang miskin mempunyai pilihan terbatas untuk
melanjutkan, pilihan terbatas untuk fasilitas pendidikan, dan pemakaian buku tulis dan
teks yang terbatas. Terakhir, untuk partisipasi di kegiatan sosial, orang miskin terpaksa
tidak ikut kegiatan kelompok sosial dan tidak mempunyai waktu untuk ngobrol di
warung. Studi ini juga menemikan bahwa penyebab kemiskinan adalah terbatasnya
modal manusia, asset dan uang, lingkungan fisik, lapangan kerja, serta adanya streotipe
orang miskin menurut orang tidak miskin dan miskin.
Menurut Ritonga dan Betke (2003) pengukuran kemiskinan dengan metode ini masih
mengandung kelemahan antara lain:
a. Pendekatan studi ini masih parsial dan subjektif karena kurang memperhatikan sejarah
lokal secara eksplisit dan hanya berdasarkan pendapat penduduk atau warga akar rumput
(pendekatan partisipatori) yang tidak mungkin mewakili keutuhan sistem lokal; malahan
bisa mencerminkan ideology dari golongan elit saja.
b. Unit observasi/analisis adalah rumahtangga yang dilihat sebagai satuan sosial-ekonomi
yang otonom, dengan melihat rumahtangga sebagai satuan konsumsi saja.
c. Satuan sosial-ekonomi (rumahtangga) dianggap seragam antar daerah, sehingga kurang
mencerminkan dinamika sosial setempat yang nyata.
d. Kurang memperhatikan kemiskinan anak, perempuan, dan lanjut usia bila berfokus
pada rumahtangga sebagai satuan terkecil.
e. Penentuan indikator berdasarkan proses seragam di sepuluh kabupaten yang dikaji
secara cepat tanpa studi persiapan/literatur tentang organisasi sosial setempat.
f. Unit pengukuran sebagai “wadah indikator” tidak disesuaikan dengan situasi setempat
yang nyata.
g. Proses penentuan indikator berdasarkan asumsi bahwa faktor kemiskinan di seluruh
kabupuaten adalah seragam dan tidak memungkinkan variasi indikator antar daerah
karena “mengganggu” keseragaman sistem nasional.
h. Penentuan indikator tidak dilakukan melalui forum komunikasi dengan utusan daerah
(masih bersifat “top-down dan “non-partisipatory” dalam arti kerjasama).
i. Memprioritaskan kelengkapan Sistim Statistik Nasional.
Bertitik tolak dari kelemahan tersebut, pengukuran kemiskinan berbasis lokal ini diduga
masih kurang bermanfaat untuk kebijakan lokal.
Berdasarkan temuan-temuan penulis, tidak satupun ukuran yang dibuat di pusat yang
dapat memberikan hasil yang berarti dalam konteks yang khas Sumba-Timur. Proses
pertukaran secara barter dalam jaringan yang lebih luas, dimana sekarang ini juga
berhubungan secara tidak langsung dengan intervensi dan investasi orang luar, dapat
menimbulkan ketidakadilan dan kemiskinan bagi sebagian besar populasi (Ritonga dan
Betke, 2002). Tidak seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, kehidupan sehari-hari di
Sumba Timur, khususnya di daerah pedesaan pada umumnya masih mengikuti tradisi
lama dan upacara-upacara kebudayaan yang bersifat “megalitik” yang sudah lama
ditinggalkan di daerah lain di Indonesia. Lokasi yang terpencil dan relatif terbatasnya
sumber daya alam dengan perilaku yang suka berperang dari penghuni pulau yang penuh
dengan bukit-bukit ini telah menghambat kekuatan asing seperti kerajaan besar
Majapahit, VOC Belanda, dan juga gereja-gereja untuk membuat usaha yang serius dan
terus-menerus mempengaruhi kehidupan sosial, budaya, dan organisasi politik yang
diinginkan oleh para penghuni pulau ini.
Studi ini masih berlanjut melalui proses studi-studi lapangan dan diikuti workshop-
worshop dengan semua stakeholder untuk mendapatkan unit observasi/analisis yang tepat
dan mempelajari penyebaran kerentanan antara tahapan usia (life span) dan jenis kelamin
(gender). Diharapkan bahwa laporan secara lengkap tentang studi ini akan diselesaikan
pada bulan April 2003.
Setelah melihat secara mendalam proses sosial, politik, ekonomi, dan konteks budaya
yang mungkin mendorong kemiskinan dan ketidakmerataan pada tingkat komunitas dan
pada tingkat keluarga di Sumba Timur, jelas bahwa strategi-strategi pengukuran yang
dirancang secara sentralistik sekarang ini tidak akan berhasil di daerah kabupaten seperti
Sumba Timur dan mungkin juga di kabupaten lainnya di Indonesia. Sebagai
konsekuensinya, penulis menyarankan perlunya dilakukan pengukuran kemiskinan yang
lebih merefleksikan informasi yang khas-daerah dan sensitif budaya. Ide ini didasarkan
atas interpretasi menyeluruh dari sistem ekonomi politik masyarakat Sumba Timur. Studi
seperti ini juga perlu dilakukan di kabupaten lain di Indonesia.
4. Penutup
Sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 121 Tahun 2001 dijelaskan bahwa
BPS sebagai anggota dari Komite Pengentasan Kemiskinan (KPK) menjadi lembaga
teknis yang menjadi koordinator dalam penyediaan dan analisis data dan informasi yang
digunakan dalam tahap perencanaan dan evaluasi dari program penanggulangan
kemiskinan. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan oleh BPS (Pusat dan Daerah)
saat ini adalah mengembangkan dan memperbaiki informasi kemiskinan di tingkat
nasional dan membantu pemerintah daerah dalam pengembangan pemantauan
kemiskinan yang spesifik lokal.
Pengukuran kemiskinan yang ada sekarang ini perlu dicermati lebih kritis, terutama
terhadap manfaatnya untuk pemantauan hasil-hasil pembangnan terhadap penurunan
penduduk miskin, dan sebagai input data untuk perencanaan pembangunan. Walaupun
masih belum sepenuhnya sempurna, pengukuran kemiskinan secara makro yang
dilakukan BPS selama ini dengan pendekatan garis kemiskinan pengeluaran masih
merupakan ukuran kemiskinan yang ideal untuk memperbandingkan antar daerah, dan
dapat dipakai dalam alokasi anggaran seperti halnya dalam alokasi DAU ke setiap
kabupaten/kota. Namun demikian, pengukuran tersebut masih tidak dapat digunakan
untuk targeting dan tidak menggambarkan variasi lokal.
Untuk pemantauan kesejahteraan daerah yang spesifik-lokal dan sayang budaya perlu
dilakukan beberapa kegiatan pengumpulan data dan studi yang mencakup peristiwa
kehidupan, yang mencakup sistim kekerabatan, sistim ekonomi, pola pemukiman dan
sifat kawasan.. Perubahan teknis tersebut perlu didasarkan klarifikasi ilmiah akan
kategori dan interpretasi pola kehidupan sehari-hari yang dapat disepakati antara semua.
Untuk memantau kesejahteraan individu, secara khusus data yang dikumpulkan perlu
didasarkan pada tahapan hidup sejak adanya janin sampai lanjut usia dari seorang
anggota rumahtangga.
Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan
pembangunan kesejahteraan daerah, maka perlu ada komitmen dari pemerintah daerah
dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk
pengeloolaan informasi diharapkan akan mengurangi pemborosan dalam pembangunan
sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat
proses pembangunan dengan adanya kebijakan-kebijakan yang lebih tepat dalam
pembangunan. Keuntungan yang diperoleh dari ketersedian informasi statistik tersebut
bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan
pengumpulan data tersebut. Disamping itu, perlu adanya koordinasi dan kerjasama antara
stakeholder baik lokal maupun nasional/internasional agar penyaluran dana dan bantuan
yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.
5. REFERENSI
Tepat Sasaran?
Kartu Sehat (KS) merupakan salah satu bentuk komitment pemerintah
untuk meningkatkan mutu kesehatan khususnya untuk masyarakat
tidak mampu (miskin). Menurut data Susenas BPS, tahun 2004 sekitar
7.9 juta rumahtangga (RT) di Indonesia memiliki KS ini atau sekitar
14% dari total RT. Dari seluruh RT yang memiliki, 2.5 juta RT berasal
dari 20% RT termiskin (pengeluaran perkapitanya terkecil) atau
sekitar 31%. Tetapi jika kita percaya bahwa RT miskin di Indonesia
sekitar 40% RT yang mempunyai pengeluaran perkapita terkecil, maka
ada 4.4 juta RT yang memiliki kartu sehat (55%). Sisanya (45%)
dimiliki oleh rumah tangga menengah ke atas. Statistik ini tidak
berubah jauh jika kita lihat tahun sebelumnya. Apakah pemberian
kartu sehat tepat sasaran? Jelas tidak karena hampir setengahnya
dimiliki oleh RT dengan tingkat kesejahteraan menengah ke atas.
Inilah yang patut dicermati oleh pemerintah dalam hal mekanisme
pemberian kartu sehat ke masayarakat miskin.
Sudah banyak sekali metode untuk mengukur kemiskinan. BPS sebagai institusi
pemerintah menggunakan konsep garis kemiskinan yang metodenya cukup rumit.
BKKBN mempunyai kriteria kemiskinan sendiri. Lembaga-lembaga asingpun juga
mempunyai ukuran tersendiri. Berkaitan dengan angka kemiskinan, kita tidak akan
melupakan data SUSENAS untuk mengetahui kemiskinan di Indonesia, karena dari
SUSENAS-lah angka kemiskinan di Indonesia di terbitkan (dengan penuh kontroversi
tentunya) dengan merujuk pada garis kemiskinan BPS. Alat ukur kesejahteraan yang
digunakan adalah pengeluaran per kapita (per orang) rumah tangga tersebut. Jadi
jika pengeluaran perkapita satu RT di bawah garis kemiskinan maka RT tersebut
statusnya miskin (begitu juga untuk anggota rumah tangganya), dan sebaliknya.
Jika dengan garis kemiskinan, kita hanya mempunyai 2 kategori kemiskinan (miskin
dan tidak miskin), maka dengan cara lainnya dalam memanfaatkan pengeluaran
perkapita kita bisa membuat katagori kemiskinan yang berbeda konsepnya. Cara ini
bisa disebut Kategori kemiskinan Quintile atau 5 kelompok kemiskinan.
Sebenarnya tidak Cuma 5 kelompok saja, bisa saja 10 kelompok (Desil), tetapi
untuk memudahkan interpretasi sepertinya lebih mudah melihat 5 kelompok.
Manfaat Quintile kemiskinan ini besar sekali terutama dalam hal kebebasan peneliti
untuk menentukan kelompok miskin. Kita bisa asumsikan jumlah penduduk miskin
sekitar 20% berarti kita bisa analisa Quintile 1 lebih jauh. Jika ada yang ekstrem
bahwa kemiskinan mencapai 40%, nah tinggal analisa di Quintile 1 dan 2 bisa lebih
diperdalam. Bagaimana jika ada ada peneliti ingin menganalisa penduduk miskin
yang jumlahnya 30%, kalau ini jangan pakai quintile tetapi desil (seperti diterangkan
sebelumnya). Jadi sebenarnya, kita tidak terpaku dengan besarnya jumlah orang
miskin tetapi yang lebih menarik lagi siapa sich RT atau orang-orang yang berada di
satu kelompok miskin tertentu? Siapa dalam hal pendidikan, kesehatan, tenaga
kerja, fasilitas perumahan, pengeluaran dan sebagainya. Hal seperti ini akan lebih
menarik untuk dibahas daripada mempermasalahkan angka kemiskinan dari
pemerintah. Selamat Meneliti!
Posted by Swastika Andi DN at Monday, November 20, 2006 0 comments
Kedua indikator tersebut dapat dihitung dari data Susenas Badan Pusat Statistik. Di
dalam artikel ini digunakan data Susenas 2004, untuk menghitung persen rumah
tangga yang menggunakan sumber air minum yang aman. Untuk mengetahui
kondisi di semua Kabupaten/Kota di Indonesia, maka data disajikan untuk masing-
masing kabupaten dan dipetakan supaya kita bisa melihat peta penggunaan sumber
air minum aman.
Secara keseluruhan, di tahun 2004 sekitar 76% rumah tangga di Indonesia sudah
menggunakan sumber air minum dari tempat yang aman (PAM 18%, Pompa 14%,
Sumur 36% & Mataair 8% terlindung). Angka ini sepertinya sudah cukup
menggambarkan bahwa penggunaan air minum sudah cukup baik, apalagi kalau
dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu sekitar 60% (1994). Tetapi dengan
sumber air yang masih melimpah, sebenarnya angka ini masih bisa ditingkatkan
dengan cara meningkatkan akses RT ke air bersih di daerah yang langka sumber air
seperti di pegunungan selatan Jawa. Tetapi juga di daerah yang airnya berlimpah
tapi penggunaannya belum benar seperti di Kalimantan atau di sebagian Riau, Jambi
dan Sumatra selatan (lihat Peta). Sungai sebagai urat nadi kehidupan di lokasi
tersebut, airnya masih digunakan masyarakat untuk keperluan minum/masak.
Sedankan pencemaran sungai makin parah karena pengaruh rusaknya hutan dan
juga penambangan logam mulia di sekitar sungai. Hal ini kalau bisa dipecahkan,
maka tingkat penggunaan sumber air aman akan meningkat dari tahun ke tahun.
Akhirnya sumber daya manusia Indonesia juga makin sehat.
Jika merujuk pada definisi kedua indikator sumber air ini, maka nilanya lebih rendah
lagi, sekitar 46% rumahtangga yang menggunkan sumber air aman yang jaraknya
lebih dari 10m dari penampungan tinja. Sebagian besar terdapat di kota-kota besar
yang sudah menerapkan konsep ini. Angka ini masih terlalu rendah sekali. Pola hidup
sehat ini harus tetap diterapkan. Diperlukan waktu yang lama untuk proses
penyadaran ini. Sosialisasi perlu dilakukan secara masal, misalnya pengembang
rumah harus membangun rumah dengan konsep seperti ini, sekecil apapun
rumahnya. Dan masih banyak lagi bentuk sosialisasinya.
Salah satu sumber yang dapat mengurangi jumlah orang miskin sebenar
dapat datang dari anggaran negara termasuk anggaran daerah, namun
serapan dana yang dialokasikan bagi pengurangan jumlah orang miskin
terasa sangat lambat dan tidak efektif. Hal itu disebabkan transmisi
mengalirnya dana pembangunan terlalu panjang dan lemah dalam
penggunaannya serta tidak jelas ukuran keberhasilannya. Hal itu lebih
disebabkan program-program pembangunan cenderung kurang memiliki daya
yang kuat untuk mengurangi kemiskinan secara konkret dan terukur.
Alokasi anggaran pembangunan selalu mengambang pada
aktivitas-aktivitas pemerintahan yang tidak perlu dan kurang memiliki
rasa yang besar bagi pemberdayaan masyarakat miskin.
Tidak dapat dimungkiri alokasi anggaran APBN dan APBD yang lebih besar
pada pengeluaran rutin dibandingkan dengan pengeluaran pembangunan
menyebabkan peluang untuk mengurangi jumlah orang miskin menjadi
lamban. Bahkan tidak tertutup kemungkinan anggaran yang seharusnya
disalurkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat justru tidak
tepat sasaran. Oleh karena itu seyogianya pada periode pelaksanaan
APBN dan APBD tahun 2007 pemerintah di semua tingkatan hendaknya
mengevaluasi sejauh mana penggunaan anggaran APBN dan APBD sudah mampu
menekan jumlah orang miskin, dan seberapa besar kesenjangan yang
terjadi antara penggunaan anggaran dan upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Mengubah orientasi