You are on page 1of 26

PERENCANAAN DAN ANALISIS PEMBANGUNAN DAERAH

Format Baru Otonomi Daerah:


Menuju Daerah Membangun?

Agung Jatmiko

Abstraksi

Sejak tahun 2001 Inodnesia secara formal telah menjalankan desentralisasi pemerintahan
(ekonomi) dengan semangat tunggal memberikan kewenangan yang lebih besar kepada
daerah untuk mengurus dirinya sendiri, termasuk urusan ekonomi. Pola pelaksanaan
desentralisasi yang tidak konsisten sejak jaman revolusi kemerdekaan hingga era orde baru
membuat Indonesia seolah kehilangan arah dalam melaksanakan desentralisasi. UU
No.22/1999 dibuat oleh pemerintah peralihan sebagai dasar untuk melaksanakan
desentralisasi dengan lebih terarah dan diikuti dengan munculnya UU No.32/2004. Hubungan
fiskal pusat-daerah juga telah diatur dalam UU No.25/1999. Namun, di tengah semangat
pelaksanaan otonomi daerah juga banyak ditemui berbagai kendala mulai dari misalokasi
anggaran, munculnya perda-perda bermasalah dan banyak lainnya. Hal ini menunjukkan
pelaksanaan desentralisasi di Indonesia masih sangat jauh dari sempurna. Tulisan ini
berupaya untuk menguraikan perjalanan desentralisasi Indonesia sejak diberlakukannya UU
No.22/1999 dan bagaimana pelaksanaannya serta beberapa isu sentral dalakm pelaksanaan
otonomi daerah.
Pendahuluan
Sejak tahun 1990-an negara-negara di seluruh dunia, tidak terkecuali di negara maju,
disibukkan dengan proyek penataan kembali pengelolaan ekonomi di dalam negeri. Di negara
maju restrukturisasi perekonomian tersebut difokuskan kepada upaya untuk membangun
hubungan keuangan intra-pemerintahan agar bisa mengimbangi perkembangan kegiatan
ekonomi yang semakin kompleks. Sedangkan di negara yang sedanga mengalami transisi
ekonomi seperti di Eropa Timur, sedang giat-giatnya membenahi sistem keuangan
pemerintah daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di luar itu, banyak negara
berkembang lainnya juga berpikir keras untuk melakukan desentralisasi fiskal sebagai salah
satu jalan meloloskan diri dari berbagai jebakan ketidakefisienan pemerintahan,
ketidakstabilan makro ekonomi, dan ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi yang telah
menyebabkan negara-negara itu jatuh terperosok akhir-akhir ini (Bird dan Vaillancourt,
1998:1). Proses yang sama setidaknya juga berlangsung di Indonesia, ketika pada tahun 2001
memaklumatkan pemberlakuan otonomi daerah (desentralisasi) yang terlebih dahulu diikuti
dengan masa peralihan dari rezim Orde Baru menuju pemerintahan dengan basis semangat
reformasi.
Secara teoritis, desentralisasi sendiri bisa didefiniskan sebagai penciptaan badan yang
terpisah (bodies separated) oleh aturan hukum (undang-undang) dari pemerintah pusat, di
mana pemerintah (perwakilan) lokal diberi kekuasaan formal untuk memutuskan ruang
lingkup persoalan publik Jadi di sini basis politiknya ada di tingkat lokal, bukan nasional.
Dalam pengertian ini, meskipun era otoritas pemerintah lokal terbatas, namun hak untuk
membuat keputusan diperkuat melalui undang-undang dan hanya dapat diubah lewat legislasi
baru baru (Mawhood, 1983). Dengan begitu, prinsip desentralisasi dapat disinonimkan
dengan isntilah ‘diet’, yakni untuk mengurangi obesitas akut yang diderita sebuah negara.
Untuk konteks, obesitas tersebut terpantul dalam wujud jumlah penduduk yang besar,
wilayah yang teramat luas, dan ragam multikultur masyarakat yang sangat variatif. Dengan
pemahaman ini, yang dimaksud dengan program diet adalah mencoba menurunkan level
pelayanan masyarakat ke tingkat wilayah adminsitratif yang paling rendah. Dengan
desentralisasi diharapkan kemampuan pemerintah daerah untuk mengatur pembangunan
menjadi lebih lincah, akurat, dan cepat.
Pendekatan Big Bang atau Zig-Zag?

Sejarah mencatat bahwa upaya desentralisasi di Indonesia bak ayunan pendulum: pola
zig-zag terjadi antara desentralisasi dan sentralisasi. Upaya desentralisasi telah dicoba
diterapkan pada masa penjajahan Belanda (1900-1940) dan revolusi kemerdekaan (1945-
1949); di luar periode itu sentralisasi secara administratif, politik dan fiskal amat terasa (Jaya
dan Dick,2001).
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai
di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim.
Dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis setelah jatuhnya pemerintahan
Soeharto dan sebagai reaksi yang kuat dari kecenderungan sentralisasi kekuasaan dan sumber
daya di pemerintah pusat selama tiga dekade terakhir.
Masalahnya, pemerintahan demokratis yang datang setelah pergantian rezim tidak
memiliki kekuatan “pemersatu nasional” seprti yang dimiliki rezim sebelumnya, juga tidak
memiliki daya sentrifugal politis. Banyak propinsi yang kaya sumber daya alam menyatakan
ketidakpuasan akan hasil eksplitasi sumber daya alamnya yang sebagian besar digunakan
oleh pemerintah pusat. Struktur pemerintahan terpusat telah mengakibatkan kesenjangan
regional antara Jakarta atau Jawa dengan luar Jawa, maupun antara Kawasan Timur
Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia (Kuncoro, 2002). Rasa sentiment yang muncul
adalah sumbangan yang sangat besar yang diberikan propinsi yang kaya sumber daya alam
pada pembangunan ekonomi nasional tidak sebanding dengan manfaat yang diterima.
Pergeseran prioritas pembangunan dari sektor pertanian ke sektor industri yang
mendukung pertanian, yang tidak disertai dengan pertimbangan spasial, memberikan dampak
percepatan pembangunan di satu pihak dan penumpukan konsentrasi manufaktur di pihak
lain. Sebagai hasil dari pendekatan tersebut antara lain peningkatan kontribusi dari sektor
manufaktur dan jasa yang terkonsentrasi di Jawa dan sebagian di Sumatra. Studi yang
menganalisis tren aglomerasi dan kluster dalam sektor industri manufaktur Indonesia,1976-
1999, menyatakan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan yang diterapkan pemerintah
Indonesia sejak 1985 telah berdampak pada semakin menguatnya konsentrasi industri secara
spasial di daerah-daerah perkotaan di Pulau Jawa, terutama di wilayah Jabotabek-Bandung
dan Gerbangkertosusila (Kuncoro, 2002). Studi Kuncoro juga menyimpulkan bahwa
konsentrasi spasial industri besar dan menengah dapat diasosiasikan dengan konsentrasi
perkotaan di Pulau Jawa. Hal yang sama juga dapat dilihat dari kontribusi PDRB Jawa
terhadap PDN Nasional (1983-1996) yang menunjukkan kecenderungan yang meningkat dan
mendominasi, yaitu dari 51% (1983) meningkat menjadi 60% (1996).
Upaya deregulasi perdagangan di Indonesia pasca pertengahan 1980-an gencar dilakukan
namun ternyata kebijakan intervensi yang lebih menguntungkan Jawa juga diterapkan. Fakta
ini didukung oleh sebuah studi yang menunjukkan bahwa rezim intervensi Indonesia (yaitu
kebijakan perdagangan dan harga) selama 1987-1995 telah menguntungkan pulau Jawa dan
memajakai propinsi-propinsi di luar pulau Jawa (Garcia, 2000). Dengan kata lain, kebijakan
yang membuka diri terhadap persaingan internasional semacam ini telah menimbulkan
transfer pendapatan dari daerah yang miskin ke daerah yang kaya.
Dapat dipahami apabila konstelasi semacam ini menyulut ketidakpuasan daerah. Gerakan
separatis mulai muncul di propinsi Timor Timur, Aceh, Papua dan skala yang lebih kecil
terjadi di Riau, yang mengakibatkan terancamnya integritas nasional Indonesia. Dengan
mengecualikan Timor Timur, protes berbasis kedaerahan yang terjadi pada penghujung 1998
secara tegas mengindikasikan ketidakpuasan terhadap kebijakan sentralisasi pemerintahan
dan keuangan sebagai pemicu utamanya (Pratikno, 1999). Tuntutan terhadap otonomi yang
lebih puas, bahkan tuntutan federasi maupun merdeka, terutama datang dari daerah-daerah
yang mempunyai sumber daya alam yang kuat, seperti Aceh, Papua, dan Riau, yang
menberikan kontribusi penting terhadap pendapatan nasional, namun tidak memperoleh
alokasi keuntungan yang berarti. Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya
rezim Soeharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan
dihadapkan pada pilihan untuk melakukan pembagian kekuasaan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan
otonomi kepada daerah. Pilihan lain yang mungkin diambil adlaah pembentukan negara
federal atau membuat pemerintah propinsi sebagai agen murni pemerintah pusat (Kuncoro,
2004)
Pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi, yaitu UU No.22/1999
mengenai Pemerintahan Daerah, dan UU No.25/1999 mengenai Perimbangan Keuangan
antara Pusat dan Daerah. UU No.22/1999 mendelegasikan kekuasaan tertentu kepada
pemerintah daerah dan membentuk proses politik daerah. UU No.25/1999 mendorong
desentralisasi dengan memberikan pembagian sumber daya fiskal kepada pemerintah daerah.
Tanggung jawab penyusunan desain dan draft undang-undang desentralisasi diserahkan
kepada sekelompok pejabat pemerintah dan akademisi yang dikenal sebagai pelopor
desentralisasi. Untuk itu mereka hanya diberikan waktu yang relatif singkat, sehingga mereka
tidak berkesempatan secara intensif untuk melakukan konsultasi dan berunding dengan
berbagai kelompok kepentingan yang ada di Indonesia untuk menciptakan consensus nasional
mengenai visi dasar desentralisasi di Indonesia.
Keadaan tersebut, terutama motivasi politik, tidak diragfukan lagi mempengaruhi banyak
aspek dalam desain akhir desentralisasi seperti yang dituangkan dalam undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah. Setelah menerapkan sistem yang amat sentralistik, kedua
UU di atas menegaskan adanya fungsi dan kewenangan pemerintah daerah yang lebih besar
dibandingkan UU No.5/1975. Oleh karena itu, beberapa pengamat menyebut diterapkannya
pendekatan big bang, radikal, dalam struktur pemerintahan dan desentralisasi fiskal karena
mengubah drastis pola hubungan pusat dan daerah (Ma & Hofman,2002; Alm, Aten, & Bahl,
2001).
Dengan latar belakang sosial-politik seperti itu, bisa dipastikan bahwa UU No.22/1999
tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuanganj Pusat-
Daerah, digunakan untuk memuat dua misi utama (Pratikno, 1999): pertama, untuk
memuaskan semua daerah dengan memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi di tingkat
daerah. Ini diwujudkan dengan ‘desentralisasi politik’ dari pusat kepada daerah dan
memberikan kesempatan dan kepuasan politik kepada masyarakat daerah dengan
memberikan kesempatan untuk menikmati symbol-simbol utama demokrasi lokal (misalnya
pemilihan Kepala Daerah). Kedua, untuk memuaskan daerah-daerah kaya sumber daya alam
yang “memberontak” dengan memberikan akses yang lebih besar untuk menikmati sumber
daya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.
Reformasi Strukur Pemerintahan Menurut UU No.22/1999

Dengan telah disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah


Daerah mengisyaratkan adanya secercah harapan bagi daerah terhadap reformasi
penyelenggaraan pemerintahan Daerah di Indonesia, dari kondisi yang selama ini kurang
memberikan ruang yang cukup bagi daerah sebagaimana diatur dalam Undang- Undang No.
5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, menjadikan daerah sedikit
terlepas dari kungkungan Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Dalam kaitan dengan implementasi kebijakan reformasi penyelenggaraan pemerintahan
daerah di Indonesia, yang harus dipahami semua pihak adalah makna dan arti reformasi itu
sendiri secara benar, yaitu reformasi sebagai suatu langkah perubahan kearah perbaikan tanpa
merusak atau sekaligus memelihara dengan diprakarsai oleh mereka yang memimpin suatu
sistem. Hal ini perlu disadari bahwa tanpa reformasi sistem itu bisa goyah, atau dengan kata
lain sebaiknya reformasi itu diprakarsai dari sistem itu sendiri sehingga metode reformasi
akan dapat bersifat gradual, bertahap dan berkesinambungan (Faisal Tamin, 1998:2).
Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menawarkan berbagai
macam paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis pada filosofi
Keanekaragaman Dalam Kesatuan. Paradigma yang ditawarkan antara lain:

1) Kedaulatan Rakyat,
2) Demokratisasi,
3) Pemberdayaan Masyarakat,
4) Pemerataan dan Keadilan.

Selain perubahan sosial terjadi pula perubahan dimensi struktural yang mencakup
hubungan antara pemerintahan daerah, hubungan antara masyarakat dengan pemerintah,
hubungan antara eksekutif dan legeslatif serta perubahan pada struktur organisasinya.
Perubahan dimensi fungsional dalam lembaga pemerintahan daerah dan lembaga masyarakat
terjadi sejalan dengan perubahan pada dimensi kultural sebagai dampak otonomi daerah yang
meliputi faktor kreativitas, inovatif dan berani mengambil resiko, mengandalkan keahlian,
bukan pada jabatan atau kepentingan saja tetapi lebih jauh lagi adalah untuk mewujudkan
sistem pelayanan masyarakat dan membangun kepercayaan masyarakat (trust) sebagai dasar
bagi terselenggaranya upaya pelaksanaan otonomi daerah diseluruh pelosok tanah air
Indonesia.
Undang-Undang No.22/1999 menyerahkan fungsi, perosnil, dan asset pemerintah pusat
kepada pemerintah propinsi, kabupaten, dan kota. Hal ini berarti tambahan kekuasaan dan
tanggung jawab diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota, serta membentuk sistem
yang jauh lebih terdesentralisasi dibandingkan dengan sistem dekonsentrasi dan
koadministratif di masa lalu (Kuncoro, 2004).
Di semua sektor adminsitratif pemerintah, undang-undang telah memindahkan fungsi
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dengan pengecualian dalam hal pertahanan dan
keamanan, kebijakan luar negeri, masalah moneter dan fiskal, hukum dan urusan agama.
Provinsi memiliki status ganda sebagai daerah yang otonom dan sebagai daerah perwakilan
pemerintah pusat di daerah. Sebagai daerah otonom, provinsi memiliki kewenangan untuk
mengatur urusan-urusan tertentu di mana administrasi dan kewenangan hubungan antar
kabupaten dan kota tidak (atau belum) diterapkan oleh kabupaten dan kota. Sebagai
perwakilan pemerintah pusat, pemerintah propinsi melaksanakantugas administratif tertentu
yang didelegasikan oleh Presiden kepada Gubernur. Kekuasaan Kabupaten dan Kota meliputi
seluruh sektor kewenangan administratif selain kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
pertanian, transportasi, industri dan perdagangan, investasi, lingkungan hidup, urusan tanah,
koperasi dan tenaga kerja.
Wilayah Indonesia dibagi menjadi propinsi, kabupaten dan kota otonom. Secara teknis,
kabupaten dan kota mempunyai level yang sama dalam pemerintahan. Pembagian tersebut
berdasarkan atas apakah administrasi pemerintah berlokasi di wilayah pedesaan atau di
wilayah perkotaan. Di dalam kabupaten dan kota terdapat kecamatan yang merupakan unit
pemerintahan administratif yang lebih kecil. Setiap kecamatan dibagi menjadi desa. Desa di
wilayah pedesaan disebut desa, sedangkan di wilayah perkotaan disebut kelurahan (Kuncoro,
2004).
Berbeda dengan sistem federalisme, otonomi daerah di Indonesia diletakkan dalam
kerangka negara kesatuan (Unitary State). Perbedaan utama sistem federalism dan unitaristik
terletak pada sumber kedaulatan, yaitu: “Dalam sistem federalisme, kedaulatan diperoleh dari
unit-unit politik yang terpisah-pisah dan kemudian sepakat membentuk sebuah pemerintahan
bersama, ……dalam pemerintahan yang unitaristik kedaulatan langsung bersumber dari
seluruh penduduk dalam negara tersebut” (Syaukani, Gaffar & Rasyid, 2002:5).
Karena beragamnya daerah otonom di Indonesia, dibutuhkan adanya sistem yang
mengatur agar ketimpangan daerah tidak semakin lebar dan daerah yang kaya membantu
daerah yang miskin. Dalam sistem ini, penyerahan kewenangan (desentralisasi) bebarengan
dengan pelimpahan wewenang (dekonsentrasi) dan tugas perbantuan (Kuncoro, 2004).
UU No.22/1999 memperpendek jangkauan atas dekonsentrasi yang dibatasi hanya
sampai pemerintahan Propinsi. Perubahan yang dilakukan UU ini terhadap UU No.5/1974
ditandai dengan (Pratikno, 1999, 2000):

 Istilah tingkatan daerah otonom (Dati I dan Dati II) dihapuskan. Istilah Dati I dan Dati
II yang dalam UU terdahulu digunakan untuk menggambarkan pemerintahan daerah
otonom (asas desentralisasi), sekarang ini sudah tidak dipergunkan lagi. Istilah yang
dipilih adalah istilah yang lebih netral, yaitu Propinsi, Kabupaten dan Kota, untuk
menghindari citra bahwa tingkatan yang lebih tinggi (Dati I) secara hiearkis lebih
berkuasa daripada tingkatan lebih rendah (Dati II). Hal ini untuk menegaskan bahwa
semua daerah otonom merupakan badan hukum yang terpisah dan sejajar. Daerah
Otonom Propinsi tidak mempunyai hubungan komando dengan Daerah Otonom
Kabupaten maupun Kota.
 Istilah pemerintah daerah dalam UU No. 22/1999 digunakan untuk merujuk pada
Badan Eksekutif Daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat Daerah
Otonom. Hal ini berbeda dengan UU No. 5/1974 yang menggunakan istilah
pemerintah daerah yang meliputi DPRD dan menempatkan DPRD sebagai mitra
eksekutif. Perubahan pengertian yang dilakukan UU No.22/1999 ini membawa
implikasi pada keterpisahan secara tegas antara badan eksekutif dan legislatif, serta
penempatan fungsi control DPRD terhadap eksekutif daerah.
 Pemerintahan di tingkat propinsi hampir tidak berubah. Gubernur tetap menjadi wakil
pusat dan sekaligus Kepala Daerah, dan Kanwil (instrument Menteri) tetap ada.
 Namun, pemerintahan Kabupaten dan Kota telah terbebas dari intervensi pusat yang
dulu dilakukan nelalui perangkapan jabatan Kepala Daerah Otonom dan Kepala
Wilayah Administratif (wakil pusat). Bupati dan Walikota adalah Kepala Daerah
Otonom saja. Sementara itu, jabatan Kepala Wilayah pada kabupaten dan kota sudah
tidak dikenal lagi. Konsekuensinya Kandep (bawahan Kanwil) tidak dikenal lagi, dan
instansi teknis yang ada hanyalah Dinas-Dinas Daerah Otonom. Bahkan UU ini juga
menempatkan pemerintahan kecamatan sebagai perpanjangan tangan pemerintahan
daerah otonom Kabupaten/Kota (desentralisasi) dan bukan sebagai aparat
Pusat/Propinsi (dekonsentrasi).
Salah satu tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk menjadikan
pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya, sehingga pelayanan pemerintah dapat dilakukan
dengan lebih efisien dan efektif. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa pemerintah kabupaten
dan kota memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhan dan aspirasi masyarakat
mereka daripada pemerintah pusat. Walaupun hal ini sangat potensial bagi kabupaten dan
kota untuk lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat, namun sebelum hal tersebut dapat
terlaksana, partai politik dan kelompok masyarakat sipil yang ada di daerah perlu diperkuat
untuk menjamin bahwa proses pemerintahan yang bersih dapat terlaksana.
Desentralisasi terfokus pada tingkat kabupaten dan kota. Kedua pemerintahan tersebut
berada di level ketiga setelah pemerintah pusat dan propinsi. Sampai dengan akhir 2003
terdapat 434 pemerintah kabupaten dan kota dan 31 propinsi di Indonesia. Beberapa
pengamat menyarankan bahwa desentralisasi harus dilaksanakan pada tingkat propinsi karena
propinsi dianggap memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menangani seluruh tanggung
jawab yang dilimpahkan oleh kabupaten dan kota. Walaupun demikian, sudah menjadi
rahasia umum bahwa pemerintah pusat merasa tidak diuntungkan secara politis jika harus
membentuk pemerintahan otonom propinsi yang kuat. Alasannya adalah akan menjadi
potensi disintegrasi yang semakin kuat, khususnya di wilayah seperti Aceh dan Papua, di
mana gerakan menuntut kemerdekaan harus dihadapi oleh pemerintah pusat.
Reformasi penting yang perlu dicatat adalah sebagtai berikut: pertama, ada banyak
tingkatan dalam pemerintahan daerah dan level yang mana seharusnya menerima pelimpahan
kekuasaan merupakan pertanyaan mendasar yang muncul. Menurut UU No.22/1999,
pemerintah kabupaten dan kota telah menjadi level yang tepat untuk pelimpahan kekuasaan
dan pengelolaan sumber daya. Pemerintah propinsi diberi peran sebagai agen pemerintah
pusat dan sebagai pengawas pemerintah kabupaten dan kota. Ada banyak dasar pemikiran
untuk hal tersebut. Formulasinya bersumber pada UU No.5/1974, dan bertujuan untuk
menekankan seminimal mungkin setiap kecenderungan separatism daerah dengan kekuatan
politik atau munculnya kekuatan politik sentrifugal yang menjauhi pusat. Pemerintah pusat
tidak perlu takut akan kehilangan control terhadap pemerintah daerah. Juga ada argument
efisiensi dalam institusi pelayanan publik untuk sedekat mungkin dengan masyarakat tanpa
kehilangan skala ekonomis ketika populasi suatu kabupaten dan kota berkisar antara 25.000
sampai 4 juta jiwa.
Kedua, walaupun kecendeungan terjadinya separatism semakin kuat dan terlihat di
beberapa wilayah di daerah lainnya, reformasi struktur pemerintahan seperti yang telah
tercermin dalam UU No.22/1999 adalah memperlakukan semua pemerintah daerah di
Indonesia secara adil, dengan pengecualian Jakarta sebagai ibu kota negara dengan tetap
menyandang status sebagai daerah khusus tanpa subdivisi kota. Hal itu terlihat bahwa
formulasi tersebut – perlakuan yang sama untuk semua wilayah di Indonesia – mencerminkan
penolakan pemerintah pusat akan konsep federalisme dan memilih konsep negara kesatuan.
Konsekuensinya, pembangunan politik memerlukan pemberlakuan dua undang-undang
khusus untuk Aceh dan Papua, yaitu derajat otonomi daerah yang lebih besar diberikan
kepada pemerintah propinsi daripada kepada pemerintah kabupaten dan kota.
Ketiga, hal penting lain dalam UU No.22/1999 adalah cakupan yang lebih luas untuk
fungsi dan aktivitas pemerintah yang diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemerintah pusat
hanya memiliki kewenangan dan tanggung jawab terhadap pertahanan dan keamanan
nasional, urusan agama dan fungsi khusus lain seperti perencanaan ekonomi makro, sistem
transfer fiskal, administrasi pemerintah, pengembangan sumber daya manusia,
pengembangan teknologi dan standar nasional. Fungsi lain yang tidak disebutkan secara
khusus harus dilimpahkan kepada pemerintah daerah, dan lebih khusus lagi, UU ini
menyebutkan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pekerjaan umum, manajemen
kesehatan, urusan pendidikan dan kebudayaan, pembangunan pertanian, transportasi,
peraturan kegiatan manufaktur dan pembangunan sumber daya manusia. Jika memperhatikan
UU tersebut, kekuasaan, otoritas, dan tanggung jawab pemerintah kabupaten dan kota
menjadi sangat substansif dan ekstensif, dan kebijakan desentralisasi seperti yang
digambarkan di sini sangat radikal, reformasi big bang terhadap struktur pemerintahan
(Kuncoro, 2004).
Kajian UU No.22/1999 dan UU No.32/2004

Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999


Tentang Pemerintahan Daerah dan juga diikuti dengan otonomi Desa telah berlangsung
sekitar 4 (empat) tahun. Selama periodisasi pelaksanaan otonomi ini telah terjadi perubahan
yang mendasar dari konsepsi pelaksanan otonomi daerah yang telah dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah. Jika sebelumnya pelaksanaan “otonomi daerah” dijalankan secara sentralistik,
melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini dicoba diberikan makna otonomi yang
sesungguhnya.
Namun demikian, ternyata Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini tidak berumur
lama. Hanya berjalan sekitar lima tahun, Undang-undang ini harus diganti dengan Undang-
Undang yang baru. Pada bulan September 2004 telah terjadi perubahan besar menyangkut
perubahan paradigma dan substansi materi mengenai otonomi daerah dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah dianggap tidak relevan lagi
untuk diterapkan sebagai payung hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah telah disahkan dan diundangkan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati
Soekarno Putri pada tanggal 15 Oktober 2004.
Pengesahan Undang-undang Otonomi Daerah yang baru ini, oleh sebagian kalangan
dianggap sebagai kemunduran konseptual dan kontekstual bagi pelaksanaan otonomi daerah
yang sesungguhnya. Undang-undang yang telah disahkan pada akhir september 2004 tersebut
sebenarnya bukan hanya revisi atas Undang-undang sebelumnya. Lebih tepat jika
kemunculan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 nyata-nyata sebagai pengganti bagi
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah dianggap tidak relevan lagi.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah yang sebelumnya
hanya terdiri dari 16 Bab dengan 134 Pasal telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 yang terdiri dari 16 Bab dengan 204 Pasal. Dari sinilah perbedaan demi
perbedaan dapat ditemui dari kedua Undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut.
Pergeseran demi pergeseran pemaknaan tentang konsep otonomi daerah yang
fundamental dapat ditemukan dari pergantian Undang-undang tersebut. Makna desentralisasi
misalnya, dari penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintahan kepala daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Pemerintahan Republik
Indonesia.
Perubahan kalimat “Untuk mengatur dan mengurus rumah pemerintahan dalam sistem
Pemerintahan Republik Indonesia” dalam Pasal 1 (7) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tersebut sebenarnya telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Penambahan kalimat tersebut hanya akan menyempitkan makna otonomi (khususnya yang
bersifat politis) di daerah. Pemahaman sempit yang muncul dari adanya kalimat tersebut
menimbulkan pengertian yang membatasi otonomi daerah menjadi hanya pada kewenangan
untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan Daerah. Kalimat mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan akan semakin sempit dipahami hanya sebagai penyerahan
kewenangan secara birokratis bukan penyerahan kewenangan yang seutuhnya sesuai dengan
kehendak otonomi oleh sebagian besar masyarakat. Selain pergeseran makna desentralisasi,
makna otonomi daerah juga bergeser. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Perbedaan yang mendasar dari kedua makna otonomi daerah berdasarkan kedua Undang-
Undang adalah dihapuskannya kalimat “Kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat” dari pemaknaan Otonomi Daerah sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Penghapusan kalimat tersebut akan
memberikan implikasi atas kewenangan yang diserahkan kepala daerah otonom. Daerah
otonom akan sangat dibatasi hanya dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan
bukan pada adanya kehendak dan aspirasi dari masyarakat setempat. Padahal, secara nyata
Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud adalah tidak lain Peraturan Perundang-
undangan diatas Peraturan Daerah yang kewenangan pembuatannya berada pada kekuasaan
Pemerintahan Pusat. Dari sinilah, terkesan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah akan mengembalikan konsep desentralisasi sebagai konsep
dasar pelaksanaan otonomi daerah menjadi sentralisasi yang justru mengkerdilkan makna
otonomi itu sendiri.
Perubahan mendasar juga terjadi pada konsep otonomi desa yang diatur oleh kedua
Undang-Undang ini (penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Desa). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 secara definitif menyebutkan:
“Desa ataupun kampung nagari, betook, dll merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada
di daerah kabupaten”. Desa adalah “ sekumpulan manusia yang hidup bersama atau suatu
wilayah, yang memiliki suatu organisasi pemerintahan dengan serangkaian peraturan-peraturan
yang sitetapkan sendiri, serta berada dibawah pimpinanpimpinan desa yang mereka pilih dan
tetapkan sendiri”
( Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Pasal 1(o) ).

Melalui definisi tersebut, desa sebagai suatu unit kelembagaan pemerintahan mempunyai
kewenangan pengelolaan wilayah pedesaan. Wilayah pedesaan adalah:

“Wilayah yang penduduknya mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan


sumber daya alam dengan susunan fungsi wilayah sebagai pemukiman pedesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi” ( UU No.22/1999 Pasal 1(p) ).

Konsep tentang definisi desa ini ternyata juga mengalami perbedaan sejak disahkannya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini. Definisi desa sebagaimana dimaksud pada Pasal
1 (12) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan
mendasar terjadi dengan dihapuskannya kalimat “berada di daerah Kabupaten”. Penghapusan
kalimat ini mengisyaratkan bahwa kewenangan yang diberikan, adalah kewenangan yang
diberikan oleh pemerintahan pusat dan bukan yang diberikan oleh daerah karena
kedudukannya di daerah Kabupaten. Perubahan ini juga akan memberikan arti bahwa semua
wilayah terkecil dari daerah adalah desa baik yang berada di Kotamadya maupun Kabupaten.
Hal ini berbeda dengan konsep Undang-undang sebelumnya yang menempatkan desa hanya
pada daerah Kabupaten.
Pembahasan mengenai Badan Perwakilan Desa dan Kepala Desa, di dalam Undang-
Undang yang lama (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999) Pasal 104 dinyatakan bahwa
“Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat
istiadat, membuat peraturan serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Pemerintahan Desa” pada Pasal selanjutnya (Pasal 105) dinyatakan bahwa:
1. Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk-penduduk desa yang
telah memenuhi persyaratan.
2. Pimpinan Badan Perwakilan Daerah dipilih dari dan oleh anggota.
3. Badan Perwakilan Daerah bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa.
4. Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan keputusan Kepala Desa.

Konsepsi Badan Perwakilan Desa sebagaimana yang diinginkan oleh Undang-Undang


No. 22 Tahun 1999 adalah untuk memberikan fungsi kontrol yang kuat kepada Kepala Desa.
Selain itu, dikenalkannya Badan Perwakilan Desa adalah untuk memperkenalkan adanya
lembaga legislatif, dan mempunyai kewenangan-kewenangan legislasi pada umumnya di
desa.
Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Badan Perwakilan Desa
yang semula diharapkan dapat menjalankan fungsi check and balance di desa, telah dikurangi
perannya. Di desa, berdasarkan Undang-undang ini, tidak mengenal lagi lembaga perwakilan.
Yang ada hanyalah lembaga permusyawaratan desa yang disebut dengan Badan
Permusyawaratan Desa. Pada Pasal 209 Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Badan
Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Pada Pasal selanjutnya (Pasal 210)
dinyatakan bahwa:

1. Anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa


bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat.

2. Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa dipilih dari dan oleh anggota Badan
Permusyawaratan Desa.

3. Masa jabatan anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah 5 (lima) tahun dan dapat
dipilih untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

4. Syarat dan penetapan anggota dan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa diatur
dalam Perda yang berpedoman pada pertauran Pemerintah.

Dari sini kemudian berlanjut pada hubungan antara Kepala Desa dengan Badan
Perwakilan Desa. Jika sebelumnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah
memberikan legitimasi kepada BPD untuk melakukan pengawasan yang penuh terhadap
pelaksanaan pemerintahan seorang Kepala Desa. Kepala Desa, berdasarkan Undang-undang
22 Tahun 1999 bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD dan menyampaikan laporan
pelaksanaan tugasnya pada Bupati. Sedangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sama
sekali tidak memberikan legitimasi untuk itu. Pengaturannya lebih lanjut didasarkan pada
Peraturan Pemerintah.
Beberapa perbedaan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah disebutkan diatas, hanyalah sebagian kecil dari adanya pergeseran
paradigma otonomi daerah dari yang semula dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999.
Sebenarnya masih banyak perbedaan-perbedaan antara kedua Undang-undang Tentang
Otonomi Daerah tersebut yang memberikan implikasi pergeseran paradigma otonomi itu
sendiri. Kecenderungan yang tersirat adalah adanya keinginan untuk menggiring proses
pelaksanaan otonomi daerah menuju desentralisasi kewenangan.
Namun, di tengah keterbatasan waktu serta tuntutan otonomi yang semakin menguat di
awal era reformasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
telah meletakkan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah sesuai dengan prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan berdasarkan potensi dan
keanekaragaman daerah. Otonomi daerah dimaknai sebagai pemberian kewenangan yang
luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah serta proporsional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah berdasarkan asas desentralisasi.
Reformasi Hubungan Fiskal Pusat-Daerah

Sejak tahun anggaran 2001, pemerintah telah menerapkan UU No.25/1999 tentang


Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan diberlakukannya UU
tersebut, Indonesia memasuki era baru dalam desentralisasi fiskal (fiscal decentralization).
Dengan demikian telah terjadi perubahan struktural, di mana pada era sebelumnya
pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara sentralistik kemudian berubah menjadi
desentralisasi. Tujuan umum dari perubahan tersebut adalah untuk membentuk dan
membangun sistem publik yang dapat menyediakan barang dan jasa publik lokal yang
semakin efektif dan efisien, dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi. Hal ini akan
berwujud dalam bentuk pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk
melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak, dan adanya bantuan dalam
bentuk transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Secara teoritis, beberapa argument yang dapat dijadikan dasar pemikiran desentralisasi
antara lain dikemukakan oleh Stigler (dalam Vidyattama, 2002:4), yang melihat ada dua
prinsip:

1) Pemerintah sebagai wakil akan bekerja semakin baik apabila ia bekerja semakin dekat
dengan masyarakatnya.
2) Masyarakat harus memiliki hak untuk menentukan jenis dan jumlah fasilitas publik
yang mereka inginkan.

Oleh karena itu, pengambilan keputusan harus dilakukan di tingkat yang paling rendah
dalam pemerintahan seiring dengan tujuan dari efisiensi alokasi. Argumen lain disampaikan
noleh Tiebout (dalam Sidik, 2002:3) yang terkenal dengan ungkapannya “Love it or Leave
it”. Artinya, ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam
pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik, maka hanya ada dua pilihan bagi warga
masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah itu dengan
berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD. Hipotesis tersebut bermakna
bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam
penyediaan barang publik pada tingkat lokal.
Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Artinya, berbicara
desentralisasi tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan daerah, di mana
kemandirian daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan diukur dari kemampuan
menggali dan mengelola keuangannya.
Menurut Sidik (2002:41), tujuan umum pelaksanaan desentralisasi fiskal harus dapat
menjamin: (1) Kesinambungan kebijakan fiskal (fiskal sustainability) dalam konteks
kebijakan ekonomi makro; (2) Mengadakan koreksi atas ketimpangan antar daerah
(horizontal imbalance) dan ketimpangan antara pusat dengan daerah (vertical imbalance)
untuk meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan
pemerintah daerah; (3) Dapat memenuhi aspirasi dari daerah, memperbaiki struktur fiskal,
dan memobilisasi pendapatan secara regional maupun nasional; (4) Meningkatkan
akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di
tingkat daerah; (5) Memperbaiki keseimbangan fiskal antar daerah dan memastikan adanya
pelayanan yang berkualitas di setiap daerah; dan (6) Menciptakan kesejahteraan sosial (social
welfare) bagi masyarakat.
Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan bahwa setiap kewenangan yang
diberikan kepada daerah aharus disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai degan
besarnya kewenangan tersebut. Konsep inilah yang dikenal dengan money follows function
bukan lagi, function follows money. Artinya, pertama-tama beberapa tugas dan kewenangan
yang dipandang efisien ditangani oleh daerah atau dengan kata lain didelegasikan dari pusat
kepada daerah. Kewajiban pemerintah pusat adalah menjamin sumber keuangan untuk
pendelegasian wewenang tersebut. Hal ini berarti bahwa hubngan keuangan antara pusat
dengan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran
yang akan menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan
yang ada.
Terkait dengan pendelegasian wewenang tersebut, dari segi anggaran negara,
desentralisasi memerlukan dana yang cukup besar. Hal ini membawa konsekuensi pada
perubahan peta pengalokasian fiskal yang cukup mendasar, ditandai dengan semakin
besarnya transfer dana dari APBN ke daerah.

Impikasi UU No.33 Tahun 2004


Seiring dengan proses pembaruan terhadap isu otonomi dan desentralisasi, pemerintah
telah melakukan revisi atas UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menjadi UU No.33/2004. Menurut UU
No.25/1999 tersebut, sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintah daerah terdiri atas
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang sah.
PAD terdiri dari komponen Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan
Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Dana Perimbangan merupakan
pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH),
Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Bagi Hasil bersumber
dari pajak dan sumber daya alam yang dibagikan kepada daerah berdasarkan presentase
tertentu. Dalam UU No.33/2004, terjadi revisi mengenai dana reboisasi yang semula
termasuk bagian dari DAK, kini menjadi bagian dari DBH. DAK merupakan dana yang
berasal dari APBN dan dialokasikan kepada daerah yang dimaksudkan untuk membantu
membiayai kegiatan khusus daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Menurut UU tersbeut, pengaturan pembiayaan daerah dilakukan berdasarkan asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pembiayaan penyelengaraan
pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban APBD. Oleh karenanya,
kepala daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan
pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau
dikenal sebagai dana perimbangan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan
asas dekonsentrasi dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat
pemerintahan yang menugaskan.
UU No.33/2004 mengubah pola bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah dan berlaku hingga saat ini. Subsidi Daerah Otonom dan Dana Inpres
dihapuskan dan diganti dengan DAU, Menurut UU No.33/2004, DAU bertujuan untuk
mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah (horizontal imbalance). Jumlah
DAU yang dibagikan minimal 26% dari penerimaan dalam negeri dan akan dibagikan kepada
seluruh propinsi dan kabupaten/kota menurut suatu rumusan. Dalam UU tersebut secara
eksplisit disebutkan bahwa kriteria DAU didasarkan pada dua faktor penting, yakni
kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi perekonomian daerah (fiscal capacity).
Kemampuan fiskal yang dimaksud adalah kemampuan anggaran pemerintah yang
bersangkutan dalam membiayai pemerintahannya, meliputi PAD, PPB, Bagi Hasil, PPh orang
pribadi, Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), PDRB, potensi SDM.
Sedangkan besarnya kebutuhan daerah (fiscal needs) dilihat dari jumlah penduduknya, luas
wilayah, keadaan geografis, dan tingkat kemakmuran masyarakat dengan memperhatikan
kelompok miskin. Celah fiskal (fiscal gap), yang merupakan dasar penentuan DAU, adalah
selisih antara fiscal capacity dengan fiscal needs. Dengan kata lain, DAU digunakan untuk
menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah lebih besar dari potensi penerimaan
daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU akan lebih kecil
kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal relatif besar. Sebaliknya perolehan
DAU yang lebih besar akan diberikan kepada daerah-daerah dengan kemampuan fiskal relatif
kecil. Dengan adanya konsep ini, beberapa daerah khususnya daerah yang kaya sumber daya
alam dapat memperoleh DAU yang negatif.
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penurunan kemampuan daerah dalam
membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, selain menggunakan
formula fiscal gap perhitungan DAU juga menggunakan faktor penyeimbang yang terdiri
dari: (a) lumpsum yang bgerasal dari sejumlah proporsi DAU yang akan dibagikan secara
merata kepada seluruh daerah yang besarnya tergantung pada kemampuan keuangan negara;
(b) transfer dari pemerintah pusat yang dialokasikan secara proporsional dari kebutuhan gaji
pegawai masing-masing daerah. Dengan adanya faktor penyeimbang, alokasi DAU kepada
daerah ditentukan dengan perhitungan formula fiscal gap dan faktor penyeimbang.
Dengan begitu, kemampuan fiskal merupakan isu penting dan strategis, karena di masa
mendatang pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi bahkan melepaskan
ketergantungannya secara finansial kepada pemerintah pusat. Perlu dimengerti, karena
tingkat ketergantungan financial tersebut mempunyai hubungan terbalik dengan tingkat
perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka untuk mengurangi ketergantungan finansial
tersebut pemerintah daerah harus merancang dan menetapkan berbagai skim peningkatan
PAD. Secara umum skim peningkatan PAD meliputi:

1) Intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah dalam bentuk pajak atau retribusi.
2) Eksplorasi sumber daya alam/
3) Skema pembentukan capital (capital formation) atau investasi daerah melalui
penggalangan dana atau menbarik investor.

Dari ketiga pilihan kebijakan ini, tampaknya skim menarik investor merupakan pilihan yang
paling bersifat sustainable dan mempunyai multiplier effect yang bermanfaat, yaitu
penciptaan lapangan pekerjaan. Pilihan intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah, baik
secara langsung maupu secara tidak langsung akan mengakibatkan terjadinya high cost
economy yang mengarah pada tekanan inflasi, sedangkan pilihan kedua, terutama jika sumber
daya yang tersedia bersifat tak-terbarukan (non-renewable), akan terbentur pada persoalan
keberlanjutan (sustainability).
Isu Sentral dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang sudah berjalan sejak tahun
anggaran 2001 merupakan proses transformasi menuju terbentuknya keseimbangan, yakni
antara dampak positif dan negatif yang muncul akibat dari proses tersebut. Implikasi positif
yang dapat dikemukakan adalah semakin meningkatnya tingkat kemandirian dan kemampuan
daerah dalam mengelola pembangunan ekonomi daerahnya. Salah satunya adalah terjadinya
perencanaan ekonomi daerah yang lebih mempertimbangkan aspirasi masyarakat di daerah
(bottom-up planning), peningkatan peluang sharing kekuatan antara stakeholders dan
pelaksanaan program-program pembangunan yang ternyata memperoleh respons positif,
yakni dalam bentuk meningkatnya kegairahan masyarakat untuk turut berpatisipasi dalam
mensukseskan pelaksanaan program-program pembangunan tersebut.
Beberapa daerah menunjukkan perkembangan perekonomian yang signifikan dengan
pemberlakuan otonomi dan desentralisasi, ditandai dengan perkembangan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB), Income Per Capita, pertumbuhan ekonomi, serta semakin
membaiknya fungsi intermediasi bank umum. Meskipun secara makro kebijakan
desentralisasi fiskal menunjukkan dampak yang positif, namun secara regional ada sebagian
propinsi justru memperoleh dampak negatif dari kebijakan tersebut. Penurunan atau
peningkatan kinerja perekonomian di masing-masing propinsi akibat desentralisasi fiskal
disebabkan oleh beberapa variabel internal di masing-masing propinsi, seperti potensi fiskal,
variabel sumber daya manusia, ketersediaan modal, infrasturktur ekonomi, potensi sumber
daya alam dan energi, dan tingkat kegiatan ekonomi di daerah tersebut sebelum diberlakukan
kebijakan otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi fiskal.
Selain implikasi positif, masyarakat menilai implementasi otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal tersebut juga mengakibatkan beberapa dampak negatif. Jika ditinjau dari
sisi menimbulkan banyak kebocoran (korupsi) dan tidak mengarah pada alokasi
pembangunan daerah. Jika ada belanja pemerintah, hal itu hanya kepada pengeluaran rutin.
Problem lain yang melekat dalam desentralisasi adalah terbukanya potensi kegaduhan
yang disebabkan oleh ketidaksiapan daerah dan ketidaklengkapan desain regulasi untuk
mengimplementasikan proses desentralisasi. Kegaduhan tersebut bisa dibaca dari dua
fenomena berikut: desentralisasi KKN dan duplikasi Perda yang justru berlawanan dengan
spirit otonomi daerah. Kasus di Indonesia memperlihatkan hal itu, di mana desentralisasi
sampai kini bukannya mengurangi watak sentralisasi, tetapi malah menyuburkan tabiat
tersebut dalam area-area yang lebih kecil, sehingga penyakit-penyakit semacam korupsi dan
kolusi justru semakin parah. Jika pada masa sebelumnya watak KKN lebih bersifat vertical
dengan institusi di atas mengambil bagian yang paling besar, maka sejak era otonomi watak
KKN lebih bersifat horizontal dengan setiap lini penyelenggara pemerintah (daera)
mengambil bagian yang sama.
Contoh lain yang memprihatinkan, Pemda dengan segala jalan mencoba meningkatkan
penerimaan daerah akibat orientasi kepada PAD yang berlebihan. Masalahnya adalah,
peningkatan PAD tersebut dibarengi dengan kebijakan-kebijakan duplikatif sehingga sangat
memberatkan masyarakat dan pelaku ekonomi pada khususnya. Sebagai contoh, Menteri
Keuangan pada tahun 2003 telah merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk
mencabut 206 Perda di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Sebagian besar Perda-perda
tersebut dianggap menjadi penyebab munculnya high cost economy (ekonomi biaya tinggi)
sehingga tidak mendukung upaya peningkatan iklim usaha di Indonesia, baik dalam bentuk
pajak, retribusi, maupun non-pungutan. Perda yang bermasalah pada level kabupaten pada
tahun 2006 bahkan mencapai 65,63% dari seluruh total Perda yang diproduksi, sedangkan
pada level propinsi dan kota di bawah 22%. Faktor inilah yang menjadi penyebab lesunya
dunia usaha di daerah dalam beberapa tahun terakhir dan bukan semata akibat belum
pulihnya krisis ekonomi. Dengan begitu, Perda-perda “ekonomi” yang men-sabotase geliat
bisnis itu menunjukkan bahwa pemerintah daerah mencoba memungut sebanyak mungkin
uang dari rakyat untuk dimasukkan ke sakunya sendiri. Pada kasus ini tentu saja pemerintah
daerah telah berperan sebagai pencari rente (Rent-Seeker).

Tabel 1
Peraturan Bermasalah Berdasarkan Jenis Pungutan
Keterangan Propinsi Kabupaten Kota Total
Pajak 20 109 55 184
Retribusi 98 712 206 1.016
Non-pungutan 62 68 26 156
Sumbangan Pihak Ketiga 4 16 3 23
Total 184 905 290 1.379
% terhadap total 13,34 65,63 21,03 100,00
peraturan
Sumber: Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), 2005
Di luar itu, optimism terhadap pilihan otonomi daerah sejatinya dipicu oleh harapan
bahwa strategi tersebut akan membuat daerah lebih memiliki ruang untuk menciptakan
kebijakan (ekonomi) yang lebih sesuai dengan situasi wilayah masing-masing. Sentralisasi
manajemen pembangunan yang diterapkan sebelum ini terbukti menimbulkan banyak
penyimpangan akibat panjangnya rantai birokrasi yang harus dilewati, di samping realitas
bahwa sentralisasi selalu berhadapan dengan keterbatasan informasi yang akurat. Tentu saja,
dengan otonomi daerah, anggaran daerah (APBD) menjadi pintu yang paling mungkin bagi
setiap wilayah untuk mendinamisasi kegiatan pembangunan daerah melalui alokasi anggaran
yang tepat. Dengan asumsi kepala daerah tahu persis tentang kondisi wilayahnya, maka detail
pengeluaran anggaran daerah dipastikan akan mengalir menuju kepada sektor atau
masyarakat yang memang sangat membutuhkannya. Namun, dalam pelaksanaannya, ternyata
harapan tersebut tidak mesti sejajar dengan kenyataan di lapangan.
Faktanya, hampir terdapat penyeragaman pola pengeluaran anggaran daerah di setiap
wilayah (propinsi/kabupaten/kota) di Indonesia, di mana konfigurasi pengeluaran anggaran
daerah sebagian besar justru dialokasikan untuk kepentikan Pemda (seperti belanja pegawai
atau fasilitas pejabat), sementara porsi untuk pengeluaran publik sangat rendah. Di Jawa
Timur, misalnya, terdapat sebuah kabupaten yang anggarannya tersita untuk membangun
kantor bupati yang megah, sementara pada saat yang bersamaan sebagian wilayahnya
berkutat dengan masalah kelangkaan air bersih. Contoh lainnya yang memprihatinkan, kepala
daerah di sebuah kabupaten melakukan ikhtiar habis-habisan untuk mengganti mobil
dinasnya dengan alas an agar citra (prestige) kabupaten tersebut dapat terangkat. Dua kasus
tersebut secara telanjang menunjukkan bahwa anggaran daerah Cuma dijadikan instrument
untuk menggemukkan para penyelenggaranya dan bukan sebagai laporan neraca komitmen
pemerintah daerah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Akhirnya, tidak heran
apabila dalam banyak kasus negara dirugikan triliunan rupiah akibat praktik tata kelola yang
buruk dari penyelenggara pemerintahan (baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
BUMN).
Dalam sisi pandang ekonomi, mestinya alokasi anggaran daerah tersebut menjadi
pantulan dari pantulan dari persoalan yang mengemuka di wilayah yang bersangkutan. Jika di
sebuah daerah masalah yang muncul adalah kekeringan hebat dan kelangkaan bahan pangan,
maka wajah anggaran daerah seharusnya berisi neraca pos-pos pengeluaran untuk mengatasi
persoalan tersebut. Tentu saja pos pengeluaran anggaran untuk renovasi kantor kepala daerah,
penggantian mobil dinas, atau studi banding ke luar negeri bukan saja tidak relevan dengan
persoalan riil tersebut, tetapi sekaligus menggambarkan sikap tidak etis pemangku negara.
Para penyelenggara pemerintahan seharusnya sadar bahwa anggaran daerah merupakan satu-
satunya alasan yang membenarkan bagi pemerintah untuk memungut uang dari rakyat (dalam
bentuk pajak, retribusi, maupun yang lainnya). Jika anggaran daerah tersebut tidak
dikembalikan kepada rakyat melalui alokasi yang benar, tentu saja kewajiban rakyat untuk
membayar “upeti” (pajak/retrubusi) kepada pemerintah (daerah) menjadi batal. Hal yang
sama juga berlaku untuk bidang perizinan usaha, misalnya, yang mestinya tidak dibebani
dengan biaya yang sangat tinggi di mana ongkos perizinan di Indonesia mencapai lebih dari
130% dari pendapatan/kapita. Tabel 2 menunjukkan indeks korupsi untuk perizinan masih
cukup tinggi, meskipun masih lebih baik daripada partai politik, legislatif, polisi, bea cukai,
peradilan dan pajak.

Tabel 2
Global Corruption Barrometer Indonesia
2005

Instansi/Departemen Indeks/Nilai*
Partai Politik 4,2
Parlemen/Legislatif 4,0
Polisi 4,0
Bea Cukai 4,0
Peradilan 3,8
Pajak 3,8
Registrasi dan Perizinan 3,5
Sektor Bisnis 3,5
Lembaga Pendidikan 3,0
Peralatan 3,0
Militer 2,9
Pelayanan Kesehatan 2,7
Media 2,4
LSM 2,4
Lembaga Keagamaan 2,1
Sumber: Tranparency Interntional Indonesia, 2005
*
Keterangan: ) Kisaran 1-5 (semakin tinggi nilai semakin korup)
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa isu sentral utama dalam pelaksanaan otonomi
daerah adalah misalokasi anggaran, kultur birokrasi yang masih koruptif dan orientasi
pemerintah daerah untuk memperbesar pendapatan asli daerah (PAD) dengan segala cara.
Salah satu implikasinya adalah banyak Perda yang bertentangan dengan semangat otonomi
daerah.
Di sini yang dibutuhkan adalah aturan-aturan yang member batasan tentang pembuatan
sebuha Perda sehingga tidak mengganggu kepentingan yang lebih luas. Sedangkan untuk
kasus misalokasi anggaran, harus segera disusun sebuah kriteria bagaimana sebuah anggaran
daerah itu mesti dibuat. Misalnya aturan yang member batasan maksimal persentase anggaran
daerah yang boleh digunakan untuk belanja pegawai atau fasilitas pejabat daerah. Atau
sebaliknya, member batas minimal persentase anggaran daerah yang harus dibelanjakan
untuk kepentingan publik. Dengan cara inilah wajah otonomi daerah yang terlanjur kusam
bisa dipoles kembali sehingga tampak lebih bermartabat.

Daftar Pustaka

Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Reformasi,


Perencanaan, Strategi dan Peluang. Penerbit Erlangga. Jakarta

Yustika, Ahmad Erani. 2008. Desentralisasi Ekonomi, Pengembangan Kapasitas, dan


Misalokasi Anggaran. Penerbit Bayumedia. Malang
Rahmawati, Farida. 2008. Desentralisasi Fiskal: Konsep, Hambatan dan Prospek.
Penerbit Bayumedia. Malang

Undang-Undang RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.


www.google.com

Undang-Undang RI No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. www.google.com

Undang-Undang RI No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.


www.google.com

Undang-Undang RI No.33 Tahun 2004 tentantg Perimbangan Keuangan Antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. www.google.com

TUGAS PERENCANAAN DAN


ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

Format Baru Otonomi Daerah:


Menuju Daerah Membangun?
Oleh
Agung Jatmiko

Magister Ekonomika Pembangunan


Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
2010

You might also like