You are on page 1of 16

LP Nyeri Haid / 

Dismenorhea
Ditulis oleh dwixhikari di/pada 12 Maret 2010

Segala sesuatu tentang nyeri haid


Oleh : Dr. Dito Anurogo

Pendahuluan
Dismenorea merupakan salah satu keluhan ginekologi yang paling umum pada wanita muda
yang datang ke klinik/dokter (Jamieson, 1996). Oleh karena hampir semua wanita mengalami
sensasi tidak nyaman selama haid (mild discomfort during menstruation), rasa tidak enak di perut
bagian bawah sebelum dan selama haid disertai mual, maka istilah dismenorea hanya digunakan
jika nyeri haid demikian hebatnya, sehingga memaksa penderita untuk istirahat dan
meninggalkan pekerjaan atau aktivitas rutinnya sehari-hari selama beberapa jam atau beberapa
hari. Atau jika nyeri haid membuat wanita tersebut tidak bisa beraktivitas secara normal dan
memerlukan (resep) obat atau medication (Wiknjosastro, dkk., 1999; Caroline M. Colin dan
Asher Shushan, 2007)

Menurut Dawood (1985), terminologi dismenorea berasal dari kata Yunani (Greek) dys, yang
berarti sulit, nyeri, abnormal; meno, yang berarti bulan; dan rrhea, yang berarti aliran atau arus.
Sehingga dismenorea didefinisikan sebagai aliran menstruasi yang sulit (difficult menstrual flow)
atau menstruasi yang nyeri (painful menstruation). Penanganan dismenorea yang optimal
tergantung dari pemahaman terhadap faktor yang mendasarinya (underlying cause). Dismenorea
diklasifikasikan menjadi primer (spasmodic) atau sekunder (congestive).

Dismenorea primer (primary dysmenorrhea) didefinisikan sebagai nyeri haid (menstrual pain)
yang tidak berhubungan dengan patologi pelvis makroskopis (yaitu: ketiadaan penyakit pada
pelvis). Umumnya terjadi pada tahun-tahun pertama setelah menstruasi pertama atau menarche
(Koltz, 1995) dan memengaruhi sampai 50% wanita postpubescent (Dawood, 1988).

Dismenorea sekunder (secondary dysmenorrhea) didefinisikan sebagai nyeri haid sebagai akibat
dari anatomi dan atau patologi pelvis makroskopis (Dawood, 1990; Koltz, 1995), seperti yang
dialami oleh wanita dengan endometriosis atau radang pelvis kronis (chronic pelvic
inflammatory disease). Kondisi ini paling sering dialami oleh wanita berusia 30-45 tahun.

Definisi
Nyeri haid yang merupakan suatu gejala dan bukan suatu penyakit. Istilah dismenorea biasa
dipakai untuk nyeri haid yang cukup berat dimana penderita mengobati sendiri dengan analgesik
atau sampai memeriksakan diri ke dokter.

Dismenorea berat adalah nyeri haid yang disertai mual, muntah, diare, pusing, nyeri kepala, dan
(terkadang) pingsan.

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, prevalensi dismenorea diperkirakan 45-90%. Tingginya angka ini
diasumsikan dari berbagai gejala yang belum dilaporkan (underreporting). Banyak wanita yang
membeli obat sendiri dan tidak berkunjung ke dokter. Dismenorea juga bertanggung jawab atas
ketidakhadiran (absenteeism) saat bekerja dan sekolah, sebanyak 13-51% wanita telah absen
sedikitnya sekali, dan 5-14% berulangkali absen (Laurel D Edmundson, 2006). Sementara hasil
survei terhadap 113 pasien di family practice setting menunjukkan prevalensi dismenorea 29-
44% (Sobczyk, 1978). Sedangkan prevalensi dan derajat keparahan (severity) dismenorea secara
signifikan lebih rendah pada wanita yang telah melahirkan sedikitnya satu bayi lahir hidup atau
diistilahkan dengan parous women (Andersch, 1982). Tidak ada perbedaan prevalensi yang
signifikan antara wanita yang tidak pernah hamil atau mengandung (nulligravid women) dan
pada wanita hamil yang berakhir dengan aborsi, baik spontaneous atau induced abortion.
Kerugian ekonomi di AS tiap tahun dari kasus dismenorea diperkirakan sekitar 600 juta jam
kerja dan 2 miliar dolar (Dawood, 1984).

Masih di Amerika Serikat, puncak insiden dismenorea primer terjadi pada akhir masa remaja
(adolescence) dan di awal usia 20-an (Fraser, 1992). Insiden dismenorea pada remaja
(adolescents) dilaporkan sekitar 92% (Andersch, 1982). Insiden ini menurun seiring dengan
bertambahnya usia dan meningkatnya kelahiran (parity).

Pada studi epidemiologi pada populasi remaja (berusia 12-17 tahun) di Amerika Serikat, Klein
dan Litt melaporkan prevalensi dismenorea 59,7%. Dari mereka yang mengeluh nyeri, 12%
berat, 37% sedang, dan 49% ringan. Studi ini juga melaporkan bahwa dismenorea menyebabkan
14% remaja sering tidak masuk sekolah.

Studi longitudinal dari Swedia melaporkan dismenorea pada 90% wanita yang berusia kurang
dari 19 tahun dan 67% wanita yang berusia 24 tahun (French, 2005).

Klasifikasi dan Patofisiologi


Secara klinis, dismenorea dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Dismenorea primer (esensial, intrinsik, idiopatik)
2. Dismenorea sekunder (ekstrinsik, yang diperoleh, acquired)

Sementara Caroline M. Colin dan Asher Shushan (2007) membagi dismenorea menjadi tiga tipe:
1. Primary (no organic cause)
2. Secondary (pathologic cause)
3. Membranous (cast of endometrial cavity shed as a single entity)

Penulis cenderung memakai klasifikasi dismenorea menjadi dua, primer dan sekunder,
mengingat dismenorea tipe membranous jarang sekali dijumpai.

Dismenorea Primer
Dismenorea primer adalah nyeri haid yang dijumpai tanpa kelainan alat-alat genital yang nyata.
Dismenorea primer (primary dysmenorrhea) biasanya terjadi dalam 6-12 bulan pertama setelah
menarche (haid pertama) segera setelah siklus ovulasi teratur (regular ovulatory cycle)
ditetapkan/ditentukan.

Selama menstruasi, sel-sel endometrium yang terkelupas (sloughing endometrial cells)


melepaskan prostaglandin, yang menyebabkan iskemia uterus melalui kontraksi miometrium dan
vasokonstriksi. Peningkatan kadar prostaglandin telah terbukti ditemukan pada cairan haid
(menstrual fluid) pada wanita dengan dismenorea berat (severe dysmenorrhea). Kadar ini
memang meningkat terutama selama dua hari pertama menstruasi. Vasopressin juga memiliki
peran yang sama.

Riset terbaru menunjukkan bahwa patogenesis dismenorea primer adalah karena prostaglandin
F2alpha (PGF2alpha), suatu stimulan miometrium yang kuat (a potent myometrial stimulant) dan
vasoconstrictor, yang ada di endometrium sekretori (Willman, 1976). Respon terhadap inhibitor
prostaglandin pada pasien dengan dismenorea mendukung pernyataan bahwa dismenorea
diperantarai oleh prostaglandin (prostaglandin mediated). Banyak bukti kuat menghubungkan
dismenorea dengan kontraksi uterus yang memanjang (prolonged uterine contractions) dan
penurunan aliran darah ke miometrium.

Kadar prostaglandin yang meningkat ditemukan di cairan endometrium (endometrial fluid)


wanita dengan dismenorea dan berhubungan baik dengan derajat nyeri (Helsa, 1992; Eden,
1998). Peningkatan endometrial prostaglandin sebanyak 3 kali lipat terjadi dari fase folikuler
menuju fase luteal, dengan peningkatan lebih lanjut yang terjadi selama menstruasi (Speroff,
1997; Dambro, 1998). Peningkatan prostaglandin di endometrium yang mengikuti penurunan
progesterone pada akhir fase luteal menimbulkan peningkatan tonus miometrium dan kontraksi
uterus yang berlebihan (Dawood, 1990).

Leukotriene juga telah diterima (postulated) untuk mempertinggi sensitivitas nyeri serabut (pain
fibers) di uterus (Helsa, 1992). Jumlah leukotriene yang bermakna (significant) telah
dipertunjukkan di endometrium wanita dengan dismenorea primer yang tidak berespon terhadap
pengobatan dengan antagonis prostaglandin (Demers, 1984; Rees, 1987; Chegini, 1988; Sundell,
1990; Nigam, 1991).

Hormon pituitari posterior, vasopressin, terlibat pada hipersensitivitas miometrium, mereduksi


(mengurangi) aliran darah uterus, dan nyeri (pain) pada penderita dismenorea primer (Akerlund,
1979). Peranan vasopressin di endometrium dapat berhubungan dengan sintesis dan pelepasan
prostaglandin.
Hipotesis neuronal juga telah direkomendasikan untuk patogenesis dismenorea primer. Neuron
nyeri tipe C distimulasi oleh metabolit anaerob yang diproduksi oleh ischemic endometrium.

Dismenorea primer kini telah dihubungkan dengan faktor tingkah laku (behavioral) dan
psikologis. Meskipun faktor-faktor ini belum diterima sepenuhnya sebagai kausatif, namun dapat
dipertimbangkan jika pengobatan secara medis gagal.

Dismenorea Sekunder
Dismenorea sekunder (secondary dysmenorrhea) dapat terjadi kapan saja setelah menarche (haid
pertama), namun paling sering muncul di usia 20-an atau 30-an, setelah tahun-tahun normal,
siklus tanpa nyeri (relatively painless cycles). Peningkatan prostaglandin dapat berperan pada
dismenorea sekunder, namun, secara pengertian (by definition), penyakit pelvis yang menyertai
(concomitant pelvic pathology) haruslah ada. Penyebab yang umum termasuk: endometriosis,
leiomyomata (fibroid), adenomyosis, polip endometrium, chronic pelvic inflammatory disease,
dan penggunaan peralatan kontrasepsi atau IUD (intrauterine device).
Karim Anton Calis (2006) mengemukakan sejumlah faktor yang terlibat dalam patogenesis
dismenorea sekunder. Kondisi patologis pelvis berikut ini dapat memicu atau mencetuskan
dismenorea sekunder:
1. Endometriosis
2. Pelvic inflammatory disease
3. Tumor dan kista ovarium
4. Oklusi atau stenosis servikal
5. Adenomyosis
6. Fibroids
7. Uterine polyps
8. Intrauterine adhesions
9. Congenital malformations (misalnya: bicornate uterus, subseptate uterus)
10. Intrauterine contraceptive device
11. Transverse vaginal septum
12. Pelvic congestion syndrome
13. Allen-Masters syndrome

Lebih lanjut Smith (1993) menyatakan bahwa hampir semua proses apapun yang memengaruhi
(affect) pelvic viscera dapat memproduksi nyeri pelvis siklik (cyclic pelvic pain).
Faktor Risiko dan Penyebab (Etiologi)
Secara umum, nyeri haid timbul akibat kontraksi disritmik miometrium yang menampilkan satu
gejala atau lebih, mulai dari nyeri yang ringan sampai berat di perut bagian bawah, bokong, dan
nyeri spasmodik di sisi medial paha.

Faktor Risiko
Menurut Harlow (1996), faktor-faktor risiko berikut ini berhubungan dengan episode dismenorea
yang berat (severe episodes of dysmenorrhea):
1. Menstruasi pertama pada usia amat dini (earlier age at menarche)
2. Periode menstruasi yang lama (long menstrual periods)
3. Aliran menstruasi yang hebat (heavy menstrual flow)
4. Merokok (smoking)
5. Riwayat kelurga yang positif (positive family history)

Kegemukan (obesity) dan konsumsi alkohol (alcohol consumption) ditemukan berhubungan


dengan dismenorea pada beberapa (tidak semua) penelitian (Andersch, 1982; Sundell, 1990;
Parazzini, 1994). Aktivitas fisik dan lamanya siklus haid (duration of the menstrual cycle)
tampaknya tidak berhubungan dengan nyeri haid yang meningkat (Andersch, 1982).

Laurel D Edmundson (2006) telah mencatat sedikitnya terdapat 15 faktor risiko pada dismenorea
primer dan sekunder, dengan rincian sebagai berikut:

* Faktor Risiko Dismenorea Primer:


1. Usia saat menstruasi pertama <12 tahun
2. Nulliparity (belum pernah melahirkan anak)
3. Haid memanjang (heavy or prolonged menstrual flow)
4. Merokok
5. Riwayat keluarga positif
6. Kegemukan

* Faktor Risiko Dismenorea Sekunder:


1. Endometriosis
2. Adenomyosis
3. Leiomyomata (fibroid)
4. Intrauterine device (IUD)
5. Pelvic inflammatory disease
6. Kanker endometrium (endometrial carcinoma)
7. Kista ovarium (ovarian cysts)
8. Congenital pelvic malformations
9. Cervical stenosis

Penyebab Dismenorea Primer


1. Faktor endokrin. Rendahnya kadar progesteron pada akhir fase korpus luteum. Menurut
Novak dan Reynolds, hormon progesteron menghambat atau mencegah kontraktilitas uterus
sedangkan hormon estrogen merangsang kontraktilitas uterus. Menurut Clitheroe dan Pickles,
endometrium dalam fase sekresi memproduksi prostaglandin F2 sehingga menyebabkan
kontraksi otot-otot polos. Jika kadar prostaglandin yang belebihan memasuki peredaran darah,
maka selain dismenorea dapat juga dijumpai efek lainnya seperti: nausea, muntah, diarea,
flushing. Jelaslah bahwa peningkatan kadar prostaglandin memegang peranan penting pada
timbulnya dismenorea primer.
2. Kelainan organik, seperti: retrofleksia uterus, hipoplasia uterus, obstruksi kanalis servikalis,
mioma submukosum bertangkai, polip endometrium.
3. Faktor kejiwaan atau gangguan psikis, seperti: rasa bersalah, ketakutan seksual, takut hamil,
hilangnya tempat berteduh, konflik dengan kewanitaannya, dan imaturitas.
4. Faktor konstitusi, seperti: anemia, penyakit menahun, dsb dapat memengaruhi timbulnya
dismenorea.
5. Faktor alergi. Menurut Smith, penyebab alergi adalah toksin haid. Menurut riset, ada asosiasi
antara dismenorea dengan urtikaria, migren, dan asma bronkiale.

Penyebab Dismenorea Sekunder


1. Intrauterine contraceptive devices
2. Adenomyosis
3. Uterine myoma (fibroid), terutama mioma submukosum
4. Uterine polyps
5. Adhesions (pelekatan)
6. Congenital malformation of the müllerian system
7. Stenosis atau striktur serviks, striktur kanalis servikalis, varikosis pelvik, dan adanya AKDR
8. Kista ovarium (ovarian cysts)
9. Pelvic congestion syndrome
10. Allen-Masters syndrome
11. Mittelschmerz (midcycle ovulation pain atau nyeri saat pertengahan siklus ovulasi)
12. Psychogenic pain (nyeri psikogenik)
13. Endometriosis pelvis
14. Penyakit radang panggul kronis
15. Tumor ovarium, polip endometrium
16. Kelainan letak uterus seperti: retrofleksi, hiperantefleksi, retrofleksi terfiksasi
17. Faktor psikis, seperti: takut tidak punya anak, konflik dengan pasangan, gangguan libido.

Manifestasi Klinis
Dismenorea primer haruslah dibedakan dengan dismenorea sekunder dari gambaran/manifestasi
klinisnya.

Dismenorea Primer
Dismenorea primer hampir selalu terjadi saat siklus ovulasi (ovulatory cycles) dan biasanya
muncul dalam setahun setelah menarche (haid pertama). Pada dismenorea primer klasik, nyeri
dimulai bersamaan dengan onset haid (atau hanya sesaat sebelum haid) dan bertahan/menetap
selama 1-2 hari. Nyeri dideskripsikan sebagai spasmodik dan superimposed over a background
of constant lower abdominal pain, yang menyebar ke bagian belakang (punggung) atau anterior
dan/atau medial paha.

Berhubungan dengan gejala-gejala umum, seperti:


1. malaise (rasa tidak enak badan),
2. fatigue/lelah (85%),
3. nausea (mual) dan vomiting/muntah (89%),
4. diare (60%),
5. nyeri punggung bawah atau lower backache (60%),
6. dan sakit kepala atau headache (45%),
7. terkadang dapat juga disertai vertigo atau sensasi jatuh (dizziness), perasaan cemas, gelisah
(nervousness), dan bahkan collapse (ambruk).

Manifestasi klinis (clinical features) dismenorea primer termasuk:


1. Onset segera setelah menarche (haid pertama).
2. Biasanya berlangsung sekitar 48-72 jam (sering mulai beberapa jam sebelum atau sesaat
setelah haid (menstrual flow).
3. Nyeri perut (cramping) atau nyeri seperti saat melahirkan (laborlike pain).
4. Seringkali ditemukan pada pemeriksaan pelvis yang biasa atau unremarkable pelvic
examination findings (termasuk rektum).

Hasil penelitian yang dilakukan Gunawan (2002) di empat SLTP di Jakarta menunjukkan bahwa
pada dismenorea primer:
1. Sebanyak 76,6 % siswi tidak masuk sekolah karena nyeri haid yang dialami.
2. Pada 56,5 % siswi, awitan nyeri haid tidak menentu, dimana 23,6 % terjadi bersamaan dengan
datangnya haid, 13,6 % terjadi sebelum datangnya haid, dan pada 6,2 % terjadi setelah datangnya
haid.
3. Puncak nyeri haid tidak menentu pada 55,3 % responden.
4. Nyeri berlokasi sebagian besar di perut bagian bawah (89,7 %), bagian dalam paha (5,3 %),
dan pada bokong (4,4 %).
5. Nyeri haid paling sering muncul pada usia 12 tahun (46,7 %).
6. Keluhan lain yang menyertai nyeri haid berupa pusing (37,4 %), sakit kepala (16,6 %), dan
mual (10, 7 %). Rasa ingin muntah, diare, pingsan, dan lain-lain jarang terjadi.
7. Nyeri haid pada sebagian besar (64,3 %) subjek penelitian tersebut tidak menyebabkan
gangguan aktivitas dan tidak perlu obat, 27,6 % memerlukan obat dengan sebagian aktivitas
terganggu, dan 8,3 % dengan aktivitas sangat terganggu meskipun telah mengonsumsi obat.
8. Obat yang paling banyak (53,4 %) digunakan siswi-siswi adalah Feminax®, karena obat ini
dapat dibeli tanpa resep dokter dan cepat menghilangkan nyeri haid.
9. Kejadian nyeri haid ditemukan tinggi pada siswi SLTP dengan faktor gizi kurang, kurang
melakukan kegiatan fisik, siswi dengan kecemasan sedang sampai berat.

Menurut Laurel D Edmundson (2006) dismenorea primer memiliki ciri khas sebagai berikut:
1. Onset dalam 6-12 bulan setelah menarche (haid pertama).
2. Nyeri pelvis atau perut bawah (lower abdominal/pelvic pain) dimulai dengan onset haid dan
berakhir selama 8-72 jam.
3. Low back pain.
4. Nyeri paha di medial atau anterior.
5. Headache (sakit kepala).
6. Diarrhea (diare).
7. Nausea (mual) atau vomiting (muntah).

Karakteristik dismenorea primer menurut Ali Badziad (2003):


1. Sering ditemukan pada usia muda.
2. Nyeri sering timbul segera setelah mulai timbul haid teratur.
3. Nyeri sering terasa sebagai kejang uterus yang spastik dan sering disertai mual, muntah, diare,
kelelahan, dan nyeri kepala.
4. Nyeri haid timbul mendahului haid dan meningkat pada hari pertama atau kedua haid.
5. Jarang ditemukan kelainan genitalia pada pemeriksaan ginekologis.
6. Cepat memberikan respon terhadap pengobatan medikamentosa.

Dismenorea Sekunder
Nyeri dengan pola yang berbeda didapatkan pada dismenorea sekunder yang terbatas pada onset
haid. Ini biasanya berhubungan dengan perut besar/kembung (abdominal bloating), pelvis terasa
berat (pelvic heaviness), dan nyeri punggung (back pain). Secara khas, nyeri meningkat secara
progresif selama fase luteal sampai memuncak sekitar onset haid.

Berikut ini merupakan manifestasi klinis dismenorea sekunder (Smith, 1993; Smith, 1997):
1. Dismenorea terjadi selama siklus pertama atau kedua setelah menarche (haid pertama), yang
merupakan indikasi adanya obstruksi outflow kongenital.
2. Dismenorea dimulai setelah berusia 25 tahun.
3. Terdapat ketidaknormalan (abnormality) pelvis dengan pemeriksaan fisik: pertimbangkan
kemungkinan endometriosis, pelvic inflammatory disease, pelvic adhesion (perlengketan pelvis),
dan adenomyosis.
4. Sedikit atau tidak ada respon terhadap NSAIDs, kontrasepsi oral,atau keduanya.

Menurut Laurel D Edmundson (2006) dismenorea sekunder memiliki ciri khas sebagai berikut:
1. Onset pada usia 20-an atau 30-an, setelah siklus haid yang relatif tidak nyeri di masa lalu.
2. Infertilitas.
3. Darah haid yang banyak (heavy menstrual flow) atau perdarahan yang tidak teratur.
4. Dyspareunia (sensasi nyeri saat berhubungan seks).
5. Vaginal discharge.
6. Nyeri perut bawah atau pelvis selama waktu selain haid
7. Nyeri yang tidak berkurang dengan terapi nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)

Karakteristik dismenorea sekunder menurut Ali Badziad (2003):


1. Lebih sering ditemukan pada usia tua dan setelah dua tahun mengalami siklus haid teratur.
2. Nyeri dimulai saat haid dan meningkat bersamaan dengan keluarnya darah haid.
3. Sering ditemukan kelainan ginekologis.
4. Pengobatannya seringkali memerlukan tindakan operatif.
Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang paling penting dari dismenorea primer adalah dismenorea sekunder.
1. Secondary dysmenorrhea karena endometriosis
2. Adrenal insufficiency dan adrenal crisis
3. Neoplasma ovarium
4. Peritonitis
5. Kehamilan (pregnancy)
6. Kehamilan ektopik (ectopic pregnancy)
7. Infeksi saluran kemih (urinary tract infections)
8. Uterine neoplasm
9. Endometriosis
10. Adenomyosis
11. Aborsi
12. Inflammatory Bowel Disease
13. Irritable Bowel Syndrome
14. Kista ovarium (ovarian cysts)
15. Pelvic Inflammatory Disease

Pemeriksaan Laboratorium
1. Tidak ada tes spesifik untuk diagnosis dismenorea primer. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
clinical findings.
2. Pemeriksaan berikut ini dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik dismenorea:
a. Cervical culture untuk menyingkirkan sexually transmitted diseases.
b. Hitung leukosit untuk menyingkirkan infeksi.
c. Kadar human chorionic gonadotropin untuk menyingkirkan kehamilan ektopik.
d. Sedimentation rate.
e. Cancer antigen 125 (CA-125) assay: ini memiliki nilai klinis yang terbatas dalam
mengevaluasi wanita dengan dismenorea karena nilai prediktif negatifnya yang relatif rendah.

Imaging Studies
1. Noninvasive studies meliputi: abdominal dan transvaginal ultrasound. (Studi yang lebih
invasive lainnya, misalnya: hysterosalpingography, terkadang diperlukan)
2. Pelvic ultrasound scan diindikasikan untuk mengevaluasi keadaan seperti: ectopic pregnancy,
ovarian cysts, fibroids, dan intrauterine contraceptive devices. Ini adalah tes yang sensitivitasnya
tinggi untuk mendeteksi massa pada pelvis.
3. Hysterosalpingogram digunakan untuk menyingkirkan dugaan polip endometrium,
leiomyoma, dan abnormalitas kongenital pada uterus.
4. Intravenous pyelograms diindikasikan jika uterine malformation dikonfirmasikan sebagai
penyebab atau kontributor untuk dismenorea.

Prosedur Pemeriksaan Lainnya


1. Studi yang lebih invasive lainnya, termasuk laparoscopy, hysteroscopy, dilatation, dan
curettage, dapat diperlukan.
2. Pemeriksaan laparoskopik merupakan proseur tunggal yang paling bermanfaat. Ini meliputi
survei diagnostik yang lengkap pada pelvis dan organ reproduktif untuk memastikan adnya
proses patologi apapun yang bermakna secara klinis atau menimbulkan gejala-gejala klinis.
3. Hysteroscopy, dilatation, curettage dapat diindikasikan untuk mengevaluasi patologi
intrauterine yang ditemukan pada imaging studies.
4. Suatu biopsi endometrum diindikasikan jika ada pertimbangan disertai endometritis.

Penatalaksanaan

A. Golongan obat: Nonsteroidal anti-inflammatory agents (NSAIDs)


Obat-obat berikut ini efektivitasnya tinggi terhadap dismenorea, terutama jika dimulai sebelum
terjadi (onset) haid dan dilanjutkan pada hari ke-2. Sediaan obat NSAID mudah ditemukan,
relatif tidak mahal, dan memiliki efek samping yang sedikit jika digunakan secara berhati-hati
(sesuai dosis dan aturan) dan tidak ada kontraindikasi.

1. Ibuprofen
Dosis
400 mg PO q4-6h; tidak melebihi 3,2 g/hari.
Dosis Anak
Belum dapat ditentukan (Not established).
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, ulkus peptik (tukak lambung), perdarahan atau perforasi gastrointestinal,
insufisiensi ginjal, risiko tinggi perdarahan.

2. Naproxen
Dosis Dewasa
500 mg PO diikuti oleh 250 mg q6-8h; tidak melebihi 1,25 g/hari.
Dosis Anak
Belum dapat ditentukan (Not established).
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, ulkus peptik, perdarahan atau perforasi gastrointestinal, dan insufisiensi ginjal.

3. Diclofenac
Dosis Dewasa
Ada dua cara pemberian:
1. 25 mg PO bid/tid (2x sehari atau 3x sehari)
Jika ditoleransi dengan baik, ditingkatkan 25 atau 50 mg setiap minggunya sampai diperoleh
respon yang memuaskan atau dosis total harian 150-200 mg PO tercapai. Dosis yang lebih tinggi
umumnya tidak meningkatkan efektivitas.

2. 50 mg PO tid (3x sehari); tidak melebihi 150 mg/hari.


Dosis Anak
12 tahun: sama seperti dosis dewasa.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, ulkus peptik, perdarahan atau perforasi gastrointestinal, insufisiensi ginjal, dan
mereka yang berisiko tinggi terjadi perdarahan.

4. Hydrocodone dan acetaminophen


Dosis Dewasa
1-2 tab atau cap PO q4-6h prn (jika perlu) nyeri.
Dosis Anak
12 years: 750 mg acetaminophen PO q4h; tidak melebihi 10 mg hydrocodone bitartrate per dose
or 5 dosis/24 jam.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, high altitude cerebral edema (HACE) atau tekanan intrakranial yang
tinggi/elevated intracranial pressure (ICP).

5. Ketoprofen
Dosis Dewasa
25-50 mg PO q6-8h prn; tidak melebihi 300 mg/hari.
Dosis Anak
Belum dapat ditentukan (Not established).
Kontraindikasi
Hipersensitivitas.

6. Meclofenamate sodium
Dosis Dewasa
100 mg PO tid selama 6 hari; tidak melebihi 300 mg/hari.
Dosis Anak Belum dapat ditentukan (Not established).
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, perdarahan gastrointestinal aktif, ulcer disease.

7. Mefenamic acid (asam mefenamat)


Dosis Dewasa
500 mg PO pada awalnya, diikuti 250 mg q6h untuk 2-3 hari; tidak melebihi 1 g/hari.
Dosis Anak
Belum dapat ditentukan (Not established).
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, ulkus peptik, perdarahan atau perforasi gastrointestinal, insufisiensi ginjal, dan
mereka yang berisiko tinggi terjadi perdarahan.

B. Golongan obat: Kontrasepsi oral


Cara kerja kedua obat di bawah ini adalah dengan mereduksi (mengurangi) sekresi LH dan FSH
dari pituitari dengan mengurangi jumlah gonadotropin-releasing hormones.
1. Ethinyl estradiol dan norgestimate
Dosis Dewasa
Jadwal 1
(Dimulai hari Minggu): Dosis dimulai pada hari Minggu pertama setelah onset haid, mulailah
hari Minggu jika periode haid dimulai dari hari Minggu.
21-tab bungkus (package): 1 tab qd untuk 21 hari diikuti dengan 7 hari libur minum obat (off
medication), minum obat lagi pada hari kedelapan setelah minum tablet terakhir.
28-tab bungkus (package): 1 tab qd tanpa putus.
Jadwal 2
(Dimulai pada hari ke-1): Mulailah dosis pada hari pertama siklus haid.
21-tab bungkus (package): 1 tab qd untuk 21 hari diikuti dengan 7 hari libur minum obat (off
medication), minum obat lagi pada hari kedelapan setelah minum tablet terakhir. Lanjutkan
siklus dosis (dosing cycle) jika 1 periode terlewati (missed); tes kehamilan diperlukan jika 2
periode terlewati.
Dosis Anak
Belum dapat ditentukan (Not established).
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, kanker hati dan endometrium, gangguan tromboembolik, perdarahan vagina
yang tak terdiagnosis, perokok yang berusia lebih dari 35 tahun, penyakit kardiovaskuler.

2. Ethinyl estradiol dan norethindrone


Dosis Dewasa
Jadwal 1
(Dimulai hari Minggu): Dosis dimulai pada hari Minggu pertama setelah onset haid, mulailah
hari Minggu jika periode haid dimulai dari hari Minggu.
21-tab bungkus (package): 1 tab qd untuk 21 hari diikuti dengan 7 hari libur minum obat (off
medication), minum obat lagi pada hari kedelapan setelah minum tablet terakhir.
28-tab bungkus (package): 1 tab qd tanpa putus.
Jadwal 2
(Dimulai pada hari ke-1): Mulailah dosis pada hari pertama siklus haid.
21-tab bungkus (package): 1 tab qd untuk 21 hari diikuti dengan 7 hari libur minum obat (off
medication), minum obat lagi pada hari kedelapan setelah minum tablet terakhir. Lanjutkan
siklus dosis (dosing cycle) jika 1 periode terlewati (missed); tes kehamilan diperlukan jika 2
periode terlewati.
Dosis Anak
Belum dapat ditentukan (Not established).
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, kanker hati dan endometrium, gangguan tromboembolik, perdarahan vagina
yang tak terdiagnosis, perokok yang berusia lebih dari 35 tahun, penyakit kardiovaskuler.

Perawatan Pembedahan (Surgical Care)


1. Tindakan pembedahan pada umumnya tidak diindikasikan untuk dismenorea primer.
2. Pada kasus dismenorea sekunder, penatalaksanaan dari patologi yang mendasarinya
memerlukan intervensi pembedahan.
3. Pada kasus-kasus dismenorea yang tidak memberikan respon dengan obat (refractory),
tindakan laparoscopic presacral neuroectomy amat manjur (efficacious) pada beberapa pasien
selama 12 bulan setelah terapi treatment (Gurgan, 1992; Chen, 1996).

Konsultasi
Pada pasien-pasien dengan gejala-gejala refractory (tidak berespon dengan obat), diperlukan
suatu pendekatan dari berbagai multidisiplin ilmu.

Diet
Baik diet vegetarian rendah lemak (Barnard, 2000) dan suplemen minyak ikan supplements
(Harel, 1996) telah terbukti mengurangi nyeri haid pada beberapa wanita.

Rekomendasi Terbaru
Rekomendasi Caroline M. Colin dan Asher Shushan (2007) untuk kasus dismenorea adalah
sebagai berikut:
A. Antiprostaglandins
Antiprostaglandin bekerja dengan menghambat sintesis dan metabolisme postaglandin.
Contohnya: ibuprofen, naproxen (550 mg per hari). Obat ini haruslah digunakan secepatnya
setelah gejala dirasakan, dan juga 1-2 hari sebelum terjadi perdarahan atau cramping.
Cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitors seperti valdecoxib (20-40 mg per hari) juga sama
efektifnya dan memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih sedikit, namun sayangnya obat
ini agak mahal.

B. Oral Contraceptives
Pada wanita yang tidak memerlukan kontrasepsi, kontrasepsi oral diberikan untuk 6-12 bulan.
Banyak wanita terbebas dari nyeri setelah terapi dihentikan. NSAIDs bekerja sinergis dengan pil
kontrasepsi oral untuk mengobati dismenorea.

C. Surgical Treatment
Histerektomi, meskipun jarang, dapat dipertimbangkan pada pasien dismenorea dengan nyeri
tanpa penyebab organik, dengan tujuan untuk mengurangi nyeri.

D. Adjuvant Treatments
Continuous low-level topical heat therapy sama efektifnya dengan ibuprofen dalam mengobati
dismenorea, meskipun dalam praktik sehari-hari masih dipertanyakan kepraktisannya.
Olahraga (exercises) menurunkan prevalensi dan atau memperbaiki simtomatologi (gejala)
dismenorea. Sayangnya, pernyataan ini masih kekurangan bukti-bukti yang kuat.
Diet rendah lemak dan (produk) daging terbukti menurunkan serum sex-binding globulin, juga
menurunkan durasi dan intensitas dismenorea.

Pencegahan
1. Menghentikan kebiasaan merokok (smoking cessation).
2. Riset secara randomized controlled trial menunjukkan hubungan yang signifikan antara diet
vegetarian rendah lemak dan pengurangan (reduction) gejala (Proctor, 2006).
3. Aktivitas fisik atau berolahraga dapat mengurangi nyeri haid dengan memperbaiki aliran darah
dan pelepasan endorfin.
4. Riset secara randomized controlled trial menunjukkan bahwa acupuncture juga mengurangi
gejala.

Komplikasi
1. Jika diagnosis dismenorea sekunder diabaikan atau terlupakan, maka patologi yang mendasari
(underlying pathology) dapat memicu kenaikan morbidity (angka kematian), termasuk sterility
(kemandulan).
2. Isolasi sosial dan/atau depresi.

Prognosis
1. Prognosis untuk dismenorea primer baik sekali (excellent) dengan penggunaan NSAIDs.
2. Prognosis untuk dismenorea sekunder bervariasi tergantung pada proses penyakit yang
mendasarinya (underlying disease process).

Tahukah Anda?

Nama dagang di Amerika untuk obat berikut adalah:


a. Ibuprofen: Ibuprin, Advil, Motrin, Nuprin.
b. Naproxen: Anaprox, Naprelan, Naprosyn,
Aleve.
c. Diclofenac: Cataflam, Voltaren.
d. Hydrocodone dan acetaminophen: Vicodin,
Lorcet-HD, Lortab.
e. Ketoprofen: Orudis, Oruvail, Actron.
f. Mefenamic acid: Ponstel.
g. Ethinyl estradiol dan norgestimate: Ortho-
Cyclen, Ortho-Prefest, Ortho Tri-Cycle.
h. Ethinyl estradiol dan norethindrone: Ortho-
Novum, Ovcon 50, Ortho-Novum 7/7/7.

Bacaan Lebih Lanjut


1. Akerlund M. Pathophysiology of dysmenorrhea. Acta Obstet Gynecol Scand Suppl.
1979;87:27-32.
2. Akerlund M, Stromberg P, Forsling ML. Primary dysmenorrhoea and vasopressin. Br J Obstet
Gynaecol. Jun 1979;86(6):484-7.
3. Andersch B, Milsom I. An epidemiologic study of young women with dysmenorrhea. Am J
Obstet Gynecol. Nov 15 1982;144(6):655-60.
4. Badziad A. Endokrinologi Ginekologi. Edisi Kedua. Media Aesculapius. Jakarta: 2003:68-71.
5. Barbieri RL, Propst AM. Physical examination findings in women with endometriosis:
uterosacral ligament abnormalities, lateral cervical displacement and cervical stenosis. J Gynecol
Tech. 1999;135:102.
6. Barnard ND, Scialli AR, Hurlock D, Bertron P. Diet and sex-hormone binding globulin,
dysmenorrhea, and premenstrual symptoms. Obstet Gynecol. Feb 2000;95(2):245-50.
7. Berkley KJ. A life of pelvic pain. Physiol Behav. Oct 15 2005;86(3):272-80.
8. Calis KA. Dysmenorrhea. Cited from:
http://www.emedicine.com/med/TOPIC6 06.HTM
Last Updated: Jun 13, 2006.
9. Chegini N, Rao CV. The presence of leukotriene C4- and prostacyclin-binding sites in
nonpregnant human uterine tissue. J Clin Endocrinol Metab. Jan 1988;66(1):76-87.
10. Chen FP, Chang SD, Chu KK, Soong YK. Comparison of laparoscopic presacral neurectomy
and laparoscopic uterine nerve ablation for primary dysmenorrhea. J Reprod Med. Jul
1996;41(7):463-6.
11. Colin CM, Shushan A. Complications of Menstruation; Abnormal Uterine Bleeding. In:
Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology. 10th Edition. Chapter 35:572-3. USA.
McGraw-Hill. 2007.
12. Dawood MY. Dysmenorrhea. J Reprod Med. Mar 1985;30(3):154-67.
13. Dawood MY. Dysmenorrhea. Clin Obstet Gynecol. Sep 1983;26(3):719-27.
14. Dawood MY. Ibuprofen and dysmenorrhea. Am J Med. Jul 13 1984;77(1A):87-94.
15. Dawood MY. Dysmenorrhea. Clin Obstet Gynecol. Mar 1990;33(1):168-78.
16. Dawood MY. Overall approach to the management of dysmenorrhea. In: Dawood MY, ed.
Dysmenorrhea. Baltimore: Williams & Wilkins;1981:261-79.
17. Dawood MY. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs and changing attitudes toward
dysmenorrhea. Am J Med. May 20 1988;84(5A):23-9.
18. Demers LM, Hahn DW, McGuire JL. Newer concepts in dysmenorrhea research:
leukotrienes and calcium channel blockers. In: Dawood MY, McGuire JL, Demers LM, eds.
Premenstrual Syndrome and Dysmenorrhea. London: Pitman;1984:205-13.
19. Dingfelder JR. Primary dysmenorrhea treatment with prostaglandin inhibitors: a review. Am
J Obstet Gynecol. Aug 15 1981;140(8):874-9.
20. Durain D. Primary dysmenorrhea: assessment and management update. J Midwifery
Womens Health. Nov-Dec 2004;49(6):520-8.
21. Eden JA. Dysmenorrhea and premenstrual syndrome. In: NF Hacker, JG Moore, eds.
Essentials of Obstetrics and Gynecology. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders;1998:386-92.
22. Edmundson LD. Dysmenorrhea. Cited from:
http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC156.HTM Last Updated: Nov 13, 2006.
23. Fraser IS. Prostaglandins, prostaglandin inhibitors and their roles in gynaecological
disorders. Baillieres Clin Obstet Gynaecol. Dec 1992;6(4):829-57.
24. French L. Dysmenorrhea. Am Fam Physician. Jan 15 2005;71(2):285-91.
25. Gunawan D. Nyeri Haid Primer, Faktor-faktor yang Berpengaruh dan Perilaku Remaja dalam
Mengatasinya (Survei pada 4 SLTP di Jakarta). Thesis Bagian Obstetri-Ginekologi. FKUI. 2002.
26. Gurgan T, Urman B, Aksu T, et al. Laparoscopic CO2 laser uterine nerve ablation for
treatment of drug resistant primary dysmenorrhea. Fertil Steril. Aug 1992;58(2):422-4.
27. Harel Z, Biro FM, Kottenhahn RK, Rosenthal SL. Supplementation with omega-3
polyunsaturated fatty acids in the management of dysmenorrhea in adolescents. Am J Obstet
Gynecol. Apr 1996;174(4):1335-8.
28. Harlow SD, Park M. A longitudinal study of risk factors for the occurrence, duration and
severity of menstrual cramps in a cohort of college women. Br J Obstet Gynaecol. Nov
1996;103(11):1134-42.
29. Israel SL. Dysmennorhea as an abnormal manifestation of the menstrual cycle. In: Diagnosis
and Treatment of Menstrual Disorders and Sterility. 5th ed. Hagerstown Md: Harper &
Row;1967:132.
30. Jamieson DJ, Steege JF. The prevalence of dysmenorrhea, dyspareunia, pelvic pain, and
irritable bowel syndrome in primary care practices. Obstet Gynecol. Jan 1996;87(1):55-8.
31. Jamieson DJ, Steege JF. The association of sexual abuse with pelvic pain complaints in a
primary care population. Am J Obstet Gynecol. Dec 1997;177(6):1408-12.
32. Klein JR, Litt IF. Epidemiology of adolescent dysmenorrhea. Pediatrics. Nov
1981;68(5):661-4.
33. Koltz MM. Dysmenorrhea, endometriosis and pelvic pain. In: Lemeke DP, Pattison J,
Marshall LA, Cowley DS, eds. Primary Care of Women. Norwalk Conn: Appleton &
Lange;1992:420-32.
34. Lancet authors. Primary dysmenorrhoea. Lancet. Apr 12 1980;1(8172):800-1.
35. Latthe P, Mignini L, Gray R, et al. Factors predisposing women to chronic pelvic pain:
systematic review. BMJ. Apr 1 2006;332(7544):749-55.
36. Lumsden MA. Dysmenorrhea. In: Baird DT, Michie EA, eds. Mechanism of Menstrual
Bleeding. New York: Raven Press;1985:196-210.
37. Milsom I, Andersch B. Effect of various oral contraceptive combinations on dysmenorrhea.
Gynecol Obstet Invest. 1984;17(6):284-92.
38. Milsom I, Andersch B. Effect of ibuprofen, naproxen sodium and paracetamol on intrauterine
pressure and menstrual pain in dysmenorrhoea. Br J Obstet Gynaecol. Nov 1984;91(11):1129-35.
39. Morrison BW, Daniels SE, Kotey P, et al. Rofecoxib, a specific cyclooxygenase-2 inhibitor,
in primary dysmenorrhea: a randomized controlled trial. Obstet Gynecol. Oct 1999;94(4):504-8.
40. Nigam S, Benedetto C, Zonca M, et al. Increased concentrations of eicosanoids and platelet-
activating factor in menstrual blood from women with primary dysmenorrhea. Eicosanoids.
1991;4(3):137-41.
41. Parazzini F, Tozzi L, Mezzopane R, et al. Cigarette smoking, alcohol consumption, and risk
of primary dysmenorrhea. Epidemiology. Jul 1994;5(4):469-72.
42. Proctor M, Farquhar C. Diagnosis and management of dysmenorrhoea. BMJ. May 13
2006;332(7550):1134-8.
43. Propst AM, Storti K, Barbieri RL. Lateral cervical displacement is associated with
endometriosis. Fertil Steril. Sep 1998;70(3):568-70.
44. Rosenwaks Z, Seegar-Jones G. Menstrual pain: its origin and pathogenesis. J Reprod Med.
Oct 1980;25(4 Suppl):207-12.
45. Simpson JL, Elias S, Malinak LR, Buttram VC Jr. Heritable aspects of endometriosis. I.
Genetic studies. Am J Obstet Gynecol. Jun 1 1980;137(3):327-31.
46. Smith RP. Cyclic pelvic pain and dysmenorrhea. Obstet Gynecol Clin North Am. Dec
1993;20(4):753-64.
47. Smith RP. Gynecology in Primary Care. Baltimore: Williams & Wilkins;1997:389-404.
48. Sobczyk R, Braunstein ML, Solberg L, Schuman SH. A case control survey and
dysmenorrhea in a family practice population: a proposed disability index. J Fam Pract. Aug
1978;7(2):285-90.
49. Sundell G, Milsom I, Andersch B. Factors influencing the prevalence and severity of
dysmenorrhoea in young women. Br J Obstet Gynaecol. Jul 1990;97(7):588-94.
50. Svennerud S. Dysmenorrhea and absenteeism. Acta Obstet Gynecol Scand. 1959;38(suppl
2):1.
51. Wiknjosastro H, dkk. (ed.). Ilmu Kandungan. Edisi Kedua. Cetakan Ketiga. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 1999:229-230.
52. Willman EA, Collins WP, Clayton SG. Studies in the involvement of prostaglandins in
uterine symptomatology and pathology. Br J Obstet Gynaecol. May 1976;83(5):337-41.
53. Ylikorkala O, Dawood MY. New concepts in dysmenorrhea. Am J Obstet Gynecol. Apr 1
1978;130(7):833-47.
54. Ylikorkala O, Kauppila A, Puolakka J. Naproxen suppositories in primary dysmenorrhoea.
Lancet. Feb 3 1979;1(8110):278.
55. Zhang WY, Li Wan Po A. Efficacy of minor analgesics in primary dysmenorrhoea: a
systematic review. Br J Obstet Gynaecol. Jul 1998;105(7):780-9.

You might also like