Professional Documents
Culture Documents
Dismenorhea
Ditulis oleh dwixhikari di/pada 12 Maret 2010
Pendahuluan
Dismenorea merupakan salah satu keluhan ginekologi yang paling umum pada wanita muda
yang datang ke klinik/dokter (Jamieson, 1996). Oleh karena hampir semua wanita mengalami
sensasi tidak nyaman selama haid (mild discomfort during menstruation), rasa tidak enak di perut
bagian bawah sebelum dan selama haid disertai mual, maka istilah dismenorea hanya digunakan
jika nyeri haid demikian hebatnya, sehingga memaksa penderita untuk istirahat dan
meninggalkan pekerjaan atau aktivitas rutinnya sehari-hari selama beberapa jam atau beberapa
hari. Atau jika nyeri haid membuat wanita tersebut tidak bisa beraktivitas secara normal dan
memerlukan (resep) obat atau medication (Wiknjosastro, dkk., 1999; Caroline M. Colin dan
Asher Shushan, 2007)
Menurut Dawood (1985), terminologi dismenorea berasal dari kata Yunani (Greek) dys, yang
berarti sulit, nyeri, abnormal; meno, yang berarti bulan; dan rrhea, yang berarti aliran atau arus.
Sehingga dismenorea didefinisikan sebagai aliran menstruasi yang sulit (difficult menstrual flow)
atau menstruasi yang nyeri (painful menstruation). Penanganan dismenorea yang optimal
tergantung dari pemahaman terhadap faktor yang mendasarinya (underlying cause). Dismenorea
diklasifikasikan menjadi primer (spasmodic) atau sekunder (congestive).
Dismenorea primer (primary dysmenorrhea) didefinisikan sebagai nyeri haid (menstrual pain)
yang tidak berhubungan dengan patologi pelvis makroskopis (yaitu: ketiadaan penyakit pada
pelvis). Umumnya terjadi pada tahun-tahun pertama setelah menstruasi pertama atau menarche
(Koltz, 1995) dan memengaruhi sampai 50% wanita postpubescent (Dawood, 1988).
Dismenorea sekunder (secondary dysmenorrhea) didefinisikan sebagai nyeri haid sebagai akibat
dari anatomi dan atau patologi pelvis makroskopis (Dawood, 1990; Koltz, 1995), seperti yang
dialami oleh wanita dengan endometriosis atau radang pelvis kronis (chronic pelvic
inflammatory disease). Kondisi ini paling sering dialami oleh wanita berusia 30-45 tahun.
Definisi
Nyeri haid yang merupakan suatu gejala dan bukan suatu penyakit. Istilah dismenorea biasa
dipakai untuk nyeri haid yang cukup berat dimana penderita mengobati sendiri dengan analgesik
atau sampai memeriksakan diri ke dokter.
Dismenorea berat adalah nyeri haid yang disertai mual, muntah, diare, pusing, nyeri kepala, dan
(terkadang) pingsan.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, prevalensi dismenorea diperkirakan 45-90%. Tingginya angka ini
diasumsikan dari berbagai gejala yang belum dilaporkan (underreporting). Banyak wanita yang
membeli obat sendiri dan tidak berkunjung ke dokter. Dismenorea juga bertanggung jawab atas
ketidakhadiran (absenteeism) saat bekerja dan sekolah, sebanyak 13-51% wanita telah absen
sedikitnya sekali, dan 5-14% berulangkali absen (Laurel D Edmundson, 2006). Sementara hasil
survei terhadap 113 pasien di family practice setting menunjukkan prevalensi dismenorea 29-
44% (Sobczyk, 1978). Sedangkan prevalensi dan derajat keparahan (severity) dismenorea secara
signifikan lebih rendah pada wanita yang telah melahirkan sedikitnya satu bayi lahir hidup atau
diistilahkan dengan parous women (Andersch, 1982). Tidak ada perbedaan prevalensi yang
signifikan antara wanita yang tidak pernah hamil atau mengandung (nulligravid women) dan
pada wanita hamil yang berakhir dengan aborsi, baik spontaneous atau induced abortion.
Kerugian ekonomi di AS tiap tahun dari kasus dismenorea diperkirakan sekitar 600 juta jam
kerja dan 2 miliar dolar (Dawood, 1984).
Masih di Amerika Serikat, puncak insiden dismenorea primer terjadi pada akhir masa remaja
(adolescence) dan di awal usia 20-an (Fraser, 1992). Insiden dismenorea pada remaja
(adolescents) dilaporkan sekitar 92% (Andersch, 1982). Insiden ini menurun seiring dengan
bertambahnya usia dan meningkatnya kelahiran (parity).
Pada studi epidemiologi pada populasi remaja (berusia 12-17 tahun) di Amerika Serikat, Klein
dan Litt melaporkan prevalensi dismenorea 59,7%. Dari mereka yang mengeluh nyeri, 12%
berat, 37% sedang, dan 49% ringan. Studi ini juga melaporkan bahwa dismenorea menyebabkan
14% remaja sering tidak masuk sekolah.
Studi longitudinal dari Swedia melaporkan dismenorea pada 90% wanita yang berusia kurang
dari 19 tahun dan 67% wanita yang berusia 24 tahun (French, 2005).
Sementara Caroline M. Colin dan Asher Shushan (2007) membagi dismenorea menjadi tiga tipe:
1. Primary (no organic cause)
2. Secondary (pathologic cause)
3. Membranous (cast of endometrial cavity shed as a single entity)
Penulis cenderung memakai klasifikasi dismenorea menjadi dua, primer dan sekunder,
mengingat dismenorea tipe membranous jarang sekali dijumpai.
Dismenorea Primer
Dismenorea primer adalah nyeri haid yang dijumpai tanpa kelainan alat-alat genital yang nyata.
Dismenorea primer (primary dysmenorrhea) biasanya terjadi dalam 6-12 bulan pertama setelah
menarche (haid pertama) segera setelah siklus ovulasi teratur (regular ovulatory cycle)
ditetapkan/ditentukan.
Riset terbaru menunjukkan bahwa patogenesis dismenorea primer adalah karena prostaglandin
F2alpha (PGF2alpha), suatu stimulan miometrium yang kuat (a potent myometrial stimulant) dan
vasoconstrictor, yang ada di endometrium sekretori (Willman, 1976). Respon terhadap inhibitor
prostaglandin pada pasien dengan dismenorea mendukung pernyataan bahwa dismenorea
diperantarai oleh prostaglandin (prostaglandin mediated). Banyak bukti kuat menghubungkan
dismenorea dengan kontraksi uterus yang memanjang (prolonged uterine contractions) dan
penurunan aliran darah ke miometrium.
Leukotriene juga telah diterima (postulated) untuk mempertinggi sensitivitas nyeri serabut (pain
fibers) di uterus (Helsa, 1992). Jumlah leukotriene yang bermakna (significant) telah
dipertunjukkan di endometrium wanita dengan dismenorea primer yang tidak berespon terhadap
pengobatan dengan antagonis prostaglandin (Demers, 1984; Rees, 1987; Chegini, 1988; Sundell,
1990; Nigam, 1991).
Dismenorea primer kini telah dihubungkan dengan faktor tingkah laku (behavioral) dan
psikologis. Meskipun faktor-faktor ini belum diterima sepenuhnya sebagai kausatif, namun dapat
dipertimbangkan jika pengobatan secara medis gagal.
Dismenorea Sekunder
Dismenorea sekunder (secondary dysmenorrhea) dapat terjadi kapan saja setelah menarche (haid
pertama), namun paling sering muncul di usia 20-an atau 30-an, setelah tahun-tahun normal,
siklus tanpa nyeri (relatively painless cycles). Peningkatan prostaglandin dapat berperan pada
dismenorea sekunder, namun, secara pengertian (by definition), penyakit pelvis yang menyertai
(concomitant pelvic pathology) haruslah ada. Penyebab yang umum termasuk: endometriosis,
leiomyomata (fibroid), adenomyosis, polip endometrium, chronic pelvic inflammatory disease,
dan penggunaan peralatan kontrasepsi atau IUD (intrauterine device).
Karim Anton Calis (2006) mengemukakan sejumlah faktor yang terlibat dalam patogenesis
dismenorea sekunder. Kondisi patologis pelvis berikut ini dapat memicu atau mencetuskan
dismenorea sekunder:
1. Endometriosis
2. Pelvic inflammatory disease
3. Tumor dan kista ovarium
4. Oklusi atau stenosis servikal
5. Adenomyosis
6. Fibroids
7. Uterine polyps
8. Intrauterine adhesions
9. Congenital malformations (misalnya: bicornate uterus, subseptate uterus)
10. Intrauterine contraceptive device
11. Transverse vaginal septum
12. Pelvic congestion syndrome
13. Allen-Masters syndrome
Lebih lanjut Smith (1993) menyatakan bahwa hampir semua proses apapun yang memengaruhi
(affect) pelvic viscera dapat memproduksi nyeri pelvis siklik (cyclic pelvic pain).
Faktor Risiko dan Penyebab (Etiologi)
Secara umum, nyeri haid timbul akibat kontraksi disritmik miometrium yang menampilkan satu
gejala atau lebih, mulai dari nyeri yang ringan sampai berat di perut bagian bawah, bokong, dan
nyeri spasmodik di sisi medial paha.
Faktor Risiko
Menurut Harlow (1996), faktor-faktor risiko berikut ini berhubungan dengan episode dismenorea
yang berat (severe episodes of dysmenorrhea):
1. Menstruasi pertama pada usia amat dini (earlier age at menarche)
2. Periode menstruasi yang lama (long menstrual periods)
3. Aliran menstruasi yang hebat (heavy menstrual flow)
4. Merokok (smoking)
5. Riwayat kelurga yang positif (positive family history)
Laurel D Edmundson (2006) telah mencatat sedikitnya terdapat 15 faktor risiko pada dismenorea
primer dan sekunder, dengan rincian sebagai berikut:
Manifestasi Klinis
Dismenorea primer haruslah dibedakan dengan dismenorea sekunder dari gambaran/manifestasi
klinisnya.
Dismenorea Primer
Dismenorea primer hampir selalu terjadi saat siklus ovulasi (ovulatory cycles) dan biasanya
muncul dalam setahun setelah menarche (haid pertama). Pada dismenorea primer klasik, nyeri
dimulai bersamaan dengan onset haid (atau hanya sesaat sebelum haid) dan bertahan/menetap
selama 1-2 hari. Nyeri dideskripsikan sebagai spasmodik dan superimposed over a background
of constant lower abdominal pain, yang menyebar ke bagian belakang (punggung) atau anterior
dan/atau medial paha.
Hasil penelitian yang dilakukan Gunawan (2002) di empat SLTP di Jakarta menunjukkan bahwa
pada dismenorea primer:
1. Sebanyak 76,6 % siswi tidak masuk sekolah karena nyeri haid yang dialami.
2. Pada 56,5 % siswi, awitan nyeri haid tidak menentu, dimana 23,6 % terjadi bersamaan dengan
datangnya haid, 13,6 % terjadi sebelum datangnya haid, dan pada 6,2 % terjadi setelah datangnya
haid.
3. Puncak nyeri haid tidak menentu pada 55,3 % responden.
4. Nyeri berlokasi sebagian besar di perut bagian bawah (89,7 %), bagian dalam paha (5,3 %),
dan pada bokong (4,4 %).
5. Nyeri haid paling sering muncul pada usia 12 tahun (46,7 %).
6. Keluhan lain yang menyertai nyeri haid berupa pusing (37,4 %), sakit kepala (16,6 %), dan
mual (10, 7 %). Rasa ingin muntah, diare, pingsan, dan lain-lain jarang terjadi.
7. Nyeri haid pada sebagian besar (64,3 %) subjek penelitian tersebut tidak menyebabkan
gangguan aktivitas dan tidak perlu obat, 27,6 % memerlukan obat dengan sebagian aktivitas
terganggu, dan 8,3 % dengan aktivitas sangat terganggu meskipun telah mengonsumsi obat.
8. Obat yang paling banyak (53,4 %) digunakan siswi-siswi adalah Feminax®, karena obat ini
dapat dibeli tanpa resep dokter dan cepat menghilangkan nyeri haid.
9. Kejadian nyeri haid ditemukan tinggi pada siswi SLTP dengan faktor gizi kurang, kurang
melakukan kegiatan fisik, siswi dengan kecemasan sedang sampai berat.
Menurut Laurel D Edmundson (2006) dismenorea primer memiliki ciri khas sebagai berikut:
1. Onset dalam 6-12 bulan setelah menarche (haid pertama).
2. Nyeri pelvis atau perut bawah (lower abdominal/pelvic pain) dimulai dengan onset haid dan
berakhir selama 8-72 jam.
3. Low back pain.
4. Nyeri paha di medial atau anterior.
5. Headache (sakit kepala).
6. Diarrhea (diare).
7. Nausea (mual) atau vomiting (muntah).
Dismenorea Sekunder
Nyeri dengan pola yang berbeda didapatkan pada dismenorea sekunder yang terbatas pada onset
haid. Ini biasanya berhubungan dengan perut besar/kembung (abdominal bloating), pelvis terasa
berat (pelvic heaviness), dan nyeri punggung (back pain). Secara khas, nyeri meningkat secara
progresif selama fase luteal sampai memuncak sekitar onset haid.
Berikut ini merupakan manifestasi klinis dismenorea sekunder (Smith, 1993; Smith, 1997):
1. Dismenorea terjadi selama siklus pertama atau kedua setelah menarche (haid pertama), yang
merupakan indikasi adanya obstruksi outflow kongenital.
2. Dismenorea dimulai setelah berusia 25 tahun.
3. Terdapat ketidaknormalan (abnormality) pelvis dengan pemeriksaan fisik: pertimbangkan
kemungkinan endometriosis, pelvic inflammatory disease, pelvic adhesion (perlengketan pelvis),
dan adenomyosis.
4. Sedikit atau tidak ada respon terhadap NSAIDs, kontrasepsi oral,atau keduanya.
Menurut Laurel D Edmundson (2006) dismenorea sekunder memiliki ciri khas sebagai berikut:
1. Onset pada usia 20-an atau 30-an, setelah siklus haid yang relatif tidak nyeri di masa lalu.
2. Infertilitas.
3. Darah haid yang banyak (heavy menstrual flow) atau perdarahan yang tidak teratur.
4. Dyspareunia (sensasi nyeri saat berhubungan seks).
5. Vaginal discharge.
6. Nyeri perut bawah atau pelvis selama waktu selain haid
7. Nyeri yang tidak berkurang dengan terapi nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
Diagnosis banding yang paling penting dari dismenorea primer adalah dismenorea sekunder.
1. Secondary dysmenorrhea karena endometriosis
2. Adrenal insufficiency dan adrenal crisis
3. Neoplasma ovarium
4. Peritonitis
5. Kehamilan (pregnancy)
6. Kehamilan ektopik (ectopic pregnancy)
7. Infeksi saluran kemih (urinary tract infections)
8. Uterine neoplasm
9. Endometriosis
10. Adenomyosis
11. Aborsi
12. Inflammatory Bowel Disease
13. Irritable Bowel Syndrome
14. Kista ovarium (ovarian cysts)
15. Pelvic Inflammatory Disease
Pemeriksaan Laboratorium
1. Tidak ada tes spesifik untuk diagnosis dismenorea primer. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
clinical findings.
2. Pemeriksaan berikut ini dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik dismenorea:
a. Cervical culture untuk menyingkirkan sexually transmitted diseases.
b. Hitung leukosit untuk menyingkirkan infeksi.
c. Kadar human chorionic gonadotropin untuk menyingkirkan kehamilan ektopik.
d. Sedimentation rate.
e. Cancer antigen 125 (CA-125) assay: ini memiliki nilai klinis yang terbatas dalam
mengevaluasi wanita dengan dismenorea karena nilai prediktif negatifnya yang relatif rendah.
Imaging Studies
1. Noninvasive studies meliputi: abdominal dan transvaginal ultrasound. (Studi yang lebih
invasive lainnya, misalnya: hysterosalpingography, terkadang diperlukan)
2. Pelvic ultrasound scan diindikasikan untuk mengevaluasi keadaan seperti: ectopic pregnancy,
ovarian cysts, fibroids, dan intrauterine contraceptive devices. Ini adalah tes yang sensitivitasnya
tinggi untuk mendeteksi massa pada pelvis.
3. Hysterosalpingogram digunakan untuk menyingkirkan dugaan polip endometrium,
leiomyoma, dan abnormalitas kongenital pada uterus.
4. Intravenous pyelograms diindikasikan jika uterine malformation dikonfirmasikan sebagai
penyebab atau kontributor untuk dismenorea.
Penatalaksanaan
1. Ibuprofen
Dosis
400 mg PO q4-6h; tidak melebihi 3,2 g/hari.
Dosis Anak
Belum dapat ditentukan (Not established).
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, ulkus peptik (tukak lambung), perdarahan atau perforasi gastrointestinal,
insufisiensi ginjal, risiko tinggi perdarahan.
2. Naproxen
Dosis Dewasa
500 mg PO diikuti oleh 250 mg q6-8h; tidak melebihi 1,25 g/hari.
Dosis Anak
Belum dapat ditentukan (Not established).
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, ulkus peptik, perdarahan atau perforasi gastrointestinal, dan insufisiensi ginjal.
3. Diclofenac
Dosis Dewasa
Ada dua cara pemberian:
1. 25 mg PO bid/tid (2x sehari atau 3x sehari)
Jika ditoleransi dengan baik, ditingkatkan 25 atau 50 mg setiap minggunya sampai diperoleh
respon yang memuaskan atau dosis total harian 150-200 mg PO tercapai. Dosis yang lebih tinggi
umumnya tidak meningkatkan efektivitas.
5. Ketoprofen
Dosis Dewasa
25-50 mg PO q6-8h prn; tidak melebihi 300 mg/hari.
Dosis Anak
Belum dapat ditentukan (Not established).
Kontraindikasi
Hipersensitivitas.
6. Meclofenamate sodium
Dosis Dewasa
100 mg PO tid selama 6 hari; tidak melebihi 300 mg/hari.
Dosis Anak Belum dapat ditentukan (Not established).
Kontraindikasi
Hipersensitivitas, perdarahan gastrointestinal aktif, ulcer disease.
Konsultasi
Pada pasien-pasien dengan gejala-gejala refractory (tidak berespon dengan obat), diperlukan
suatu pendekatan dari berbagai multidisiplin ilmu.
Diet
Baik diet vegetarian rendah lemak (Barnard, 2000) dan suplemen minyak ikan supplements
(Harel, 1996) telah terbukti mengurangi nyeri haid pada beberapa wanita.
Rekomendasi Terbaru
Rekomendasi Caroline M. Colin dan Asher Shushan (2007) untuk kasus dismenorea adalah
sebagai berikut:
A. Antiprostaglandins
Antiprostaglandin bekerja dengan menghambat sintesis dan metabolisme postaglandin.
Contohnya: ibuprofen, naproxen (550 mg per hari). Obat ini haruslah digunakan secepatnya
setelah gejala dirasakan, dan juga 1-2 hari sebelum terjadi perdarahan atau cramping.
Cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitors seperti valdecoxib (20-40 mg per hari) juga sama
efektifnya dan memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih sedikit, namun sayangnya obat
ini agak mahal.
B. Oral Contraceptives
Pada wanita yang tidak memerlukan kontrasepsi, kontrasepsi oral diberikan untuk 6-12 bulan.
Banyak wanita terbebas dari nyeri setelah terapi dihentikan. NSAIDs bekerja sinergis dengan pil
kontrasepsi oral untuk mengobati dismenorea.
C. Surgical Treatment
Histerektomi, meskipun jarang, dapat dipertimbangkan pada pasien dismenorea dengan nyeri
tanpa penyebab organik, dengan tujuan untuk mengurangi nyeri.
D. Adjuvant Treatments
Continuous low-level topical heat therapy sama efektifnya dengan ibuprofen dalam mengobati
dismenorea, meskipun dalam praktik sehari-hari masih dipertanyakan kepraktisannya.
Olahraga (exercises) menurunkan prevalensi dan atau memperbaiki simtomatologi (gejala)
dismenorea. Sayangnya, pernyataan ini masih kekurangan bukti-bukti yang kuat.
Diet rendah lemak dan (produk) daging terbukti menurunkan serum sex-binding globulin, juga
menurunkan durasi dan intensitas dismenorea.
Pencegahan
1. Menghentikan kebiasaan merokok (smoking cessation).
2. Riset secara randomized controlled trial menunjukkan hubungan yang signifikan antara diet
vegetarian rendah lemak dan pengurangan (reduction) gejala (Proctor, 2006).
3. Aktivitas fisik atau berolahraga dapat mengurangi nyeri haid dengan memperbaiki aliran darah
dan pelepasan endorfin.
4. Riset secara randomized controlled trial menunjukkan bahwa acupuncture juga mengurangi
gejala.
Komplikasi
1. Jika diagnosis dismenorea sekunder diabaikan atau terlupakan, maka patologi yang mendasari
(underlying pathology) dapat memicu kenaikan morbidity (angka kematian), termasuk sterility
(kemandulan).
2. Isolasi sosial dan/atau depresi.
Prognosis
1. Prognosis untuk dismenorea primer baik sekali (excellent) dengan penggunaan NSAIDs.
2. Prognosis untuk dismenorea sekunder bervariasi tergantung pada proses penyakit yang
mendasarinya (underlying disease process).
Tahukah Anda?