You are on page 1of 7

KKN di Dalam Indonesia yang Beragama

Mungkin judul itulah yang dapat menggambarkan kondisi Bangsa kita saat ini,
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beragama. Bangsa Indonesia mengakui
adanya 5 macam agama, yaitu “Kristen Protestan, Katholik, Islam, Hindu, Budha”. Meskipun
bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beragama namun di mata bangsa lain, bangsa
Indonesia sungguh terpuruk karena bangsa Indonesia dikenal sebagai salah satu bangsa
terkorup di dunia. Penyakit korupsi adalah tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan
uang negara (perusahaan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Perilaku pejabat
publik, baik politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal,
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dalam konteks Indonesia, korupsi telah menjadi penyakit sosial yang sudah sangat
akut. Korupsi telah menjadi budaya yang tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang
kepepet dan dari kelompok ekonomi lemah sehingga terpaksa melakukan korupsi untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya. Tetapi lebih banyak dilakukan oleh para pejabat baik dari
instansi pemerintah maupun swasta yang telah berlebih dalam hal kesejahteraan hidup dan
perekonomiannya, mulai dari pusat-pusat pemerintahan sampai yang terkecil yaitu daerah-
daerah. Hampir tidak ada satu instansi pun yang steril dari penyakit ini. Departemen Agama
(Depag), lembaga pemerintah yang seharusnya sebagai penyeru moral dan kesalehan, tak
luput dari padanya. Mahkamah Agung (MA), lembaga peradilan tertinggi negara yang
seharusnya steril dari aktifitas yang bisa menjadikan alat pemiskinan sistematis ini, juga tak
lepas dari permasalahan moralitas dan mentalitas yang sangat bobrok ini.

Masalah korupsi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tubuh bangsa ini.  Ia telah
menjalar sebagai budaya sekaligus penyakit akut bagai virus ganas yang aktif menggerogoti
ke sekujur tubuh negara.  Ia bukan lagi bisul yang bisa ditutup-tutupi.  Sungguh ironis,
sebagai bangsa yang berbudaya luhur dan beragama –bahkan menempatkan Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagai pilar pertama dasar negara- juara pertama korupsi justru kita sandang. 
Berbagai indikator “olimpiade korupsi” diselenggarakan oleh lembaga asing semacam
Transparancy  International (TI) dan Political Economic Risk Consultancy (PERC),
menempatkan RI sebagai ‘pemenang’.

Dampak praktik korupsi begitu jelas telah memporak-porandakan bangsa kita.  Studi
Rose Ackerman (1999) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi yang
tinggi memiliki tingkat kepercayaan  yang rendah terhadap institusi-institusi publik.  Ini
berakibat lanjut pada pudarnya komitmen warga pada proyek kolektif dan perilaku warga,
memacu tingkat kriminalitas dan disorganisasi sosial.   Secara lebih khusus, laporan UNSFIR
(United Nations Support  for Indonesia Recovery, 2000)  menyatakan bahwa  keterlambatan
Indonesia untuk melakukan pemulihan (recovery) pasca krisis yang menimpa Asia sejak
1997 juga akibat meluasnya korupsi di sektor  publik
Sedangkan, Della Porta (2000) menengarai bahwa korupsi merupakan sebab dari buruknya
kinerja pemerintahan.  “Korupsi membawa buruk kinerja pemerintahan, dan buruknya
kinerja pemerintahan merangsang warga negara untuk mengembangkan praktik-praktik
penyuapan untuk mempermudah urusan atau mempengaruhi proses pengambilan keputusan,
yang pada gilirannya kian menyuburkan praktik korupsi.  Pada akhirnya, tingginya tingkat
korupsi menimbulkan rendahnya tingkat kepercayaaan terhadap demokrasi.”  Dengan kata
lain, meminjam istilah Yudi Latif (2002), korupsi sangat erat dengan delegitimasi politik. 
Walhasil, pemerintahan yang koruptif akan menuai delegitimasi politik yang tidak
menguntungkan sama sekali dengan demokrasi.

Sebuah Pernyataan presiden SBY yang sangat menarik adalah ketika ia mengatakan “
Alangkah malunya bila Indonesia sebagai bangsa yang mayoritas beragama Islam dan
merupakan negara muslim terbesar di dunia tetapi angka korupsinya juga tertinggi di
dunia !!!” ( tanda seru tiga kali ini dari penulis). Sebab, memang soal korupsi di Indonesia ini
sudah merupakan hal yang memalukan sekali, dan sekaligus juga sangat memprihatinkan atau
bahkan menyedihkan, Negara muslim terbesar di dunia tetapi korupsinya juga tertinggi di
dunia. Ini mendorong kita semua untuk bertanya-tanya : mengapa bisa terjadi begitu ?

Mungkin, orang bisa juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan lainnya, umpamanya : apa


sebagai bangsa yang mayoritas beragama Islam tidak bisa mencegah merajalelanya korupsi di
Indonesia ? Apakah ajaran-ajaran dalam Islam tidak cukup untuk melarang penganut-
penganutnya melakukan korupsi ? Karena banyak koruptor-koruptor Indonesia beragama
Islam apakah berarti bahwa mereka melecehkan ajaran agama Islam? Apa sajakah kelemahan
atau kesalahan Islam di Indonesia sehingga tidak bisa melarang penganut-penganutnya
melakukan korupsi? Apakah merajalelanya korupsi di Indonesia bisa diartikan sebagai
kegagalan Islam? Apa masih bisa diharapkan bahwa dari golongan Islam di Indonesia ada
sumbangan besar dan penting untuk memberantas korupsi? Apakah akhlak para ulama dan
tokoh-tokoh agama Islam di Indonesia bisa kita percayai? Apakah Islam bisa betul-betul
menjadi kekuatan moral untuk membrantas korupsi? Beberapa pertanyaan diatas mungkin
salah satunya adalah pertanyaan yang ada dalam benak anda saat ini.

Adalah wajar, dan juga bahkan sudah sepatutnya, bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam itu
diajukan, ketika kita membaca bahwa di Departemen Agama, (sebuah instansi puncak yang
justru mengurusi banyak aspek kehidupan keagamaan di negara kita) sudah menjadi tempat
operasi maling-maling kaliber kakap. Sebab, antara lain, selain mantan Dirjen Bimbingan
Masyarakat Islam (Taufik Kamil) juga mantan Menteri Agama (Said Agil Al Munawar) telah
diperiksa dengan tuduhan penyelewengan penggunaan Dana Abadi Umat sebesar Rp 216
miliar. Dana Abadi Umat adalah uang yang dikumpulkan dari para jemaah haji sejak
bertahun-tahun. Dan sejak lama pula sudah tersiar kabar tentang praktek-praktek kotor atau
perbuatan haram di sekitar pengaturan perjalanan haji. Setiap tahun terjadi banyak sekali
penipuan, pemerasan secara halus, dan berbagai macam kejahatan lainnya, dalam urusan
ibadah haji yang oleh banyak orang dianggap suci ini.

Praktek korupsi yang telah menjadi budaya dalam masyarakat kita pada umumnya, itu
disebabkan oleh kekuasaan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, tapi lewat
perwakilan wakil-wakil rakyat di DPR yang rentan terjadi penyogokan-penyogokan, yang
pada gilirannya akan berpengaruh besar pada penentuan kebijakan. Hal lain, kurangnya
transparansi dalam pengambilan keputusan pemerintah, terutama sekali dalam penentuan
anggaran, kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari
pendanaan politik yang normal, proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar,
lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan teman, lemahnya ketertiban
hukum, kurangnya kebebasan berpendapat dan kecilnya gaji pegawai negeri. Korupsi yang
diderita Indonesia telah sedemikian parah. Sayang hingga kini pemerintah dan masyarakat
masih tak berdaya dibuatnya.

Salah satu penyebab kemiskinan di negeri ini adalah korupsi yang telah menjadi budaya
hampir di setiap lapisan masyarakat kita. Korupsi sudah menjadi budaya orang Indonesia.
Siapa pun bisa melihat bahwa budaya korupsi atau budaya penyalahgunaan wewenang telah
menjadi realitas kehidupan orang Indonesia. Kehancuran negara kita saat ini disebabkan oleh
korupsi, sebagai ulah banyak pemimpin kita yang tidak jujur. Faktor budaya yang dapat
mendorong timbulnya korupsi :

1. Adanya tradisi pemberian hadiah, oleh-oleh kepada pejabat pemerintah. Tindakan


seperti itu bisa dianggap korupsi.

2. Orang Indonesia lebih mementingkan ikatan keluarga dan kesetiakawanan lainnya.


Dalam masyarakat Indonesia, kewajiban seseorang pertama-tama adalah
memerhatikan saudara terdekatnya atau sesama etnisnya. Sehingga, seorang saudara
yang mendatangi soerang pejabat untuk perlakuan khusus atau istimewa sulit ditolak.

Korupsi berkembang pesat di Indonesia karena budaya partnernalistis dalam masyarakat


Indonesia, dimana hubungan antara masyarakat masih didasarkan pada partner dan klien.
Tingkah laku orang kecil akan banyak mengikuti apa yang dilakukan oleh mereka yang
dianggap menjadi anutan, tanpa mempersoalkan apa yang dilakukan oleh anutan benar atau
tidak.

Budaya politik adalah nilai dan kebiasaan yang berkembang di kalangan elite politik
Indonesia. Yang menjadi permasalahan adalah nilai-nilai pandangan, kebiasaan korupsi dan
tingkah laku kelompok sosial dengan mudah menyebar, diikuti dan dan diterima masyarakat
yang lebih luas. Hal itu terjadi karena para elite politik adalah tokoh anutan masyarakat.
Kelompok yang dianggap menjadi anutan, seperti elite politik, pemuka agama dan tokoh
masyarakat, diharap bertingkah laku benar sehingga tingkah laku pengikutnya akan benar.
Kalau anutan bertingkah laku sembarangan, hal yang sama akan ditiru dengan segera oleh
pengikutnya. Hal yang menyebabkan korupsi menjadi sesuatu yang fenomenal dan
bertentangan dengan logika adalah : ”bagaimana mungkin bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang beragama menjadi salah satu bangsa terkorup di dunia?” Sedangkan dalam setiap ajaran
agama manapun yang dianut di Indonesia, korupsi adalah tindakan keji dan kejam yang
sangat dilarang oleh agama. Dalam pandangan agama apa pun, korupsi adalah dosa yang
sangat berdampak buruk bagi orang lain, bahkan bisa menyebabkan orang kehilangan nyawa.
Karena itu korupsi harus dilawan dan dihapuskan dari muka bumi, sebagaimana kita harus
melawan dan menghapuskan penjajahan demi terwujudnya sebuah kemerdekaan bagi semua.
Agama sebagai refleksi dan pemandu manusia dalam setiap perbuatan dan tindakannya yang
harus dapat dipertanggung jawabkan.

Sebagai negara yang memiliki landasan kuat agama dan moralitas dalam bersikap, para
pemimpin dan pelaku politik seharusnya tidak mengabaikan aspek agama dan moralitas
dalam berpolitik. Meski agama merupakan wilayah privat dan politik wilayah publik, tidak
berarti masing-masing saling meniadakan. Agama dan moral bisa menjadi panduan dalam
berpolitik agar seseorang tidak terjebak perilaku amoral atau ego atau terjebak kepentingan
sesaat dan kepentingan sempit. Dengan demikian, berpolitik tetap menjunjung nurani dengan
memperhatikan aspirasi publik.

Relasi agama dan pemberantasan korupsi dapat disederhanakan sebagai, “prestasi negara
yang bangsanya religius akan lebih baik dalam pemberantasan korupsi”.  Apabila yang terjadi
sebaliknya, kita tidak serta merta menunjuk kesalahan terletak pada an sich agama, namun
pada penghayatan keberagamaan masyarakat.  Sangat gamblang, semua agama melarang
perbuatan korupsi.  Tetapi, mengapa orang beragama masih  terjerumus pada tindakan yang
dimusuhi agama?  Salah satu jawabannya adalah tercerabutnya penghayatan terhadap visi
agama yang luhur dalam praksis sosial sehari-hari.  Sebagian kita masih lebih mementingkan
kesalehan individual, dan kehilangan kesalehan sosial.  Disinilah dibutuhkan peran
keteladanan para pemimpin nasional untuk menegakkan kualitas spiritual bangsa, memupuk
kualitas moral dan meningkatkan harkat martabat bagsa , menjadi krusial.

Alangkah indahnya membayangkan sinergi agama dan negara dalam pemberantasan korupsi;
penegakkan hukum yang adil tanpa pandang bulu dilakukan pemerintah , sementara
penghayatan keberagamaan melalui keteladanan para pemimpin dijalankan secara nyata,
bukan sekedar wacana belaka. 

            Dengan begitu agama benar-benar mampu menjadi kekuatan solutif bagi problema
bangsa dan selalu mengedepankan azas manfaat (utility).  Agama seyogianya menjadi ujung
tombak yang merekatkan seluruh umat untuk saling mengokohkan eksistensi bangsa dalam
memberantas korupsi.  Ini sekaligus menepis anggapan negatif bahwa agama menjadi sumber
konflik dan teror.  Kita patut mendorong fungsi profetik agama yang mengedepankan
supremasi hukum, proses demokratiasai dan memerangi korupsi.  Fungsi ini hendaknya
ditumbuh kembangkan secara partisipatoris dan dialogis mengingat pluralisme dalam
kebangsaan kita.  Jadi, tidak dibenarkan oleh agama atau hukum positif manapun, upaya
pengurasakan secara sepihak terhadap tempat-tempat atau simbol kemaksiatan tanpa
mengindahkan dampak yang muncul  sebagai akibatnya.

Terdapat ungkapan ‘the fish rots from the head’, ikan membusuk dari kepala.  Dalam kalimat
lain dinyatakan, ‘Bayangan selalu mengikuti sang badan’.  Intinya adalah budaya
paternalistik kita masih kuat.  Rakyat cenderung melihat contoh dari apa yang dilakukan
pemimpinnya.  Karenanya, budaya paternalistik ini seyogianya mampu kita kelola untuk
merekonstruksi perubahan mental pada elitnya.  Jika para elit pimpinan bangsa menghendaki
perubahan, perubahan itu pun harus dimulai dari pucuk pimpinan.  Mustahil mengharapkan
muncul perubahan budaya melawan korupsi, apabila elit pemimpin justru merasa nyaman
dengan praktik tersebut.  Mustahil mengharap negara berani membersihkan koruptor jika
pemimpin kita membiarkan inefisiensi birokrasi tetap terjadi. 

Kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian merupakan contoh-contoh ajaran mulia setiap


agama untuk diperbincangkan sekedar sebuah idiologi.  Semua ini bisa dipraktikkan sehari-
hari, dan alangkah indahnya jika dimulai dari para pemimpin kita yang memiliki kedudukan
sangat penting di dalam masyarakat, dan karenanya mempunyai pengaruh yang luas dalam
masyarakat.
Pada dasarnya, semua agama mengajarkan idealisme yang baik bagi penganutnya.  Idealisme
seperti bersahaja, bersih dan peduli jika dikerjakan dari yang kecil-kecil oleh pemimpin-
pemimpin besar kita, maka merupakan bagian dari pengobatan penyakit sosial  seperti
korupsi.

Pemimpin yang peduli tidak akan membiarkan kemungkaran terjadi di depan mata mereka. 
Mereka tidak saja menjaga fisik dan lingkungan sosial yang bersih, namun lebih dari itu
kebersihan moral dan nurani akan selalu dipelihara.  Mereka merasa kepemimpinan adalah
amanah yang harus dijunjung tinggi, namun tetap dengan sikap bersahaja terhadap rakyat
yang dipimpinnya.  Mereka yang bersahaja akan jauh dari sikap tamak yang selalu
menginginkan kelebihan materialisme dan hedonisme, -sumber godaan melakukan korupsi-.

Kebesaran seorang tokoh pemimpin yang bersahaja, bersih dan peduli tidak datang secara
sekejap dan tiba-tiba.  Ia terlahir dari proses transformasi nilai yang lama ditempa sejak dini
dalam lingkungan keluarga.  Transformasi nilai tidak datang mendadak dalam kuliah-kuliah
di perguruan tinggi atau lembaga-lembaga pendidikan formal.  Kepuasan kita selama ini
hanya pada verbalisme,Yaitu perasaan telah berbuat sesuatu karena karena telah
mengucapkannya sehari-hari. Seolah-olah kalau kita bicara kitab suci, sabda Tuhan, sabda
Alloh, dan suri tauldan para Rasul, para nabi, para aulia itu semuanya sudah selesai
(Mohamad Sobary, 2004).  Kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian  tidak akan terwujud
hanya karena dikatakan dan dibicarakan setiap hari –betapapun kita sering dan rajinnya
melakukan –melainkan harus dengan tindakan keteladanan yang berani, teguh dan istiqamah. 
“Mengapa kamu semua mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya?!  
Sungguh besar dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri
tidak mengerjakannya”

Kalau kita tengok sejarah, transformasi nilai yang dialami tokoh-tokoh pemimpin berawal
dari didikan sejak kecil pada keluarga mereka.  Di rumah tangga, patut diadakan dialog-
dialog tata nilai atau ajaran yang meskipun normatif, tidak melulu diajarkan secara normatif. 
Diperlukan pendekatan secara dialektis  dalam keluarga sehingga terlatih jika ada bandingan-
bandingan.  Ketika orang bicara bersih dan bersahaja, maka bersih dan bersahaja tidak bisa
dijejalkan kepada anak sebagai sesuatu yang jadi.  Ketika masih kanak-kanak kita  tentu
hapal bahwa kebersihan sebagian dari iman, namun bagaimana kebersihan sebagian dari iman
itu supaya tidak tinggal kata-kata. 

Secara singkat dapat disimpulkan, kita menginginkan pemimpin bersahaja, bersih dan perduli
bukan karena kebetulan bersahaja, bersih dan perduli.  Namun karena bersahaja yang betul,
tidak karena kebetulan.  Bersih dan perduli pun yang betul, bukan karena kebetulan.  “Tugas
kebudayaan bangsa kita mengubah, mentransformasi segala hal apakah itu wisdom, apakah
itu nilai-nilai dan semua perangkat ajaran dari tataran normatif menjadi tataran yang
menyejarah, membuat orang-orang jujur itu jujur menyejarah.” (M. Sobary, 2004)
.Barangkali inilah saatnya tatkala elit pemimpin kita justru perlu belajar dari kebersahajaan,
kebersihan dan kepedulian dari rakyatnya.

Keteladanan yang berani, teguh dan istiqamah termasuk nilai budaya yang kita ingin
transformasikan sehingga menjadi gerakan nyata baik di tingkat elit pemimpin atau rakyat. 
Keteladan yang berani dapat muncul oleh karena kesadaran ketuhanan yang merata.  Menurut
Moh. Iqbal:

“The sign of a kafir is that he is lost in horizon, while the sign of a mukmin is that the horizon
lost in him”

Yang artinya:” Tanda seorang kafir adalah bahwa ia hilang dalam cakrawala, sedangkan
tanda seorang Mukmin adalah bahwa cakrawala hilang dalam dirinya"

Jika saya amati bahwa apa yang dimaksud dengan korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN
itu bisa berbeda bagi orang yang satu dengan yang lain. Karena itu pembahasan di suatu
diskusi atau polemik dan pemberitaan di media mengenai hal ini sering menjadi simpang siur.
Mungkin pengertian untuk masing-masing kata; korupsi, kolusi dan nepotisme memang tidak
sama bagi orang yang berbeda, apalagi kalau sudah digabungkan menjadi satu.

Dalam hubungan ini perlu disadari bahwa di dalam masyarakat kita memang sering
digunakan istilah yang dianggap dimengerti semua orang, padahal kalau dibahas sedikit lebih
mendalam ternyata terdapat perbedaan pendapat ataupun nuansa yang bisa besar antara satu
dengan yang lain. Ini kemudian menimbulkan keadaan dimana masalah yang dibahas menjadi
menggantung dan solusinya tidak ditemukan.

Ada pernyataan 'the devil is in the detail'. Tanpa adanya batasan dan rincian yang akurat
suatu istilah atau konsep dapat menjadi kabur, demikian pula masalah yang berkaitan dengan
istilah tersebut. Dan kalau konsepnya saja tidak jelas atau tidak akurat bagaimana dapat
dihasilkan suatu penyelesaian dari masalah yang berkitan dengan istilah tersebut ?

Dalam masalah KKN, memang pada umumnya benar bahwa ketiganya menjadi satu,
ketiganya merupakan masalah, karena itu harus diselesaikan. Tetapi apakah penyelesaian
dengan menggabungkan ketiga masalah ini menjadi satu itu realistis? Saya takut bahwa
menggabungkan ketiga tindak kejahatan ini menjadi satu lebih banyak menimbulkan
perbedaan pendapat, tidak membantu penyelesaiannya, bahkan mungkin malahan
menghambat.

Saya melihat bahwa dalam kenyataannya penggabungan ketiga tindak kejahatan ini menjadi
satu justru membatasi kemajuan proses penanganannya. Sebagai suatu pernyataan politis
memang enak kedengarannya, pemberantasan KKN secara tuntas. Semua setuju, semua
mendukung. Akan tetapi kalau ingin disusun suatu strategi penanganan masalah ini, langsung
ditemukan halangan untuk dapat ditemukan jalan keluarnya secara tuntas. Untuk membuat
suatu program yang bisa dilaksanakan perlu ditentukan mana yang sebenarnya menjadi akar
masalah, mana yang menjadi akibat, mana yang merupakan dampak sampingan, bagimana
ukuran besar kecilnya masalah, ketentuan mana yang dilanggar, dsb.

Kalau ingin menghilangkan secara tuntas masalah KKN, pengertian ini harus jelas; apa yang
dimaksud dengan masing-masing, mana yang bergandengan, mana yang akhirmya
merugikan, dst. Sering batasan yang terlalu rinci juga bikin bingung. Ingat skandal Gedung
Putih bagaimana mendefinisikan hubungan sex menurut ketentuan hukum yang memang
menuntut definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan suatu istilah. Akan tetapi
saya yakin bahwa untuk masalah KKN definisi yang jelas harus ada, agar tidak membuat
masalahnya menjadi rancu dan jalan keluarnya tidak kunjung nampak.
Tanpa kejelasan konsep atau definisi apa yang dimaksud dengan masing-masing unsur dari
ketiganya, saya takut pemberantasan KKN akan tetap menjadi slogan, semua setuju, semua
mendukung, tetapi tidak dicapai kemajuan. Penanganan masalah KKN sampai sekarang
nampak terlalu politis, hanya untuk memberi kesan bahwa Pemerintah menangani
masalahnya secara sungguh-sungguh. Itupun tidak selalu meyakinkan, seperti mengirim dua
pejabat tinggi negara untuk mengusut sinyalemen majalah Time guna memperoleh jawaban
dari pemerintah Austria yang sebenarnya telah diketahui tanpa mengirimkan misi tersebut.
Dilain pihak penanganan juga nampak terlalu yuridis menghadapi masalah yang bernuansa
politis.

Kasus KKN sangat banyak, akan tetapi tidak diberikan penjelasan terbuka mengenai kasus
mana yang ditangani dan mana yang tidak, mana yang didahulukan dan mana yang
dikemudiankan, dan mengapa demikian.mungkin inilah sekarang saatnya para generasi muda
mempunyai paradigma baru

You might also like