You are on page 1of 3

MELONGOK RITUAL KEAGAMAAN ‘’BASAPA’’ DI NAGARI ULAKAN \

Oleh:
M.Yunis*

Kegiatan basapa tidak asing lagi bagi masyarakat Pariaman, Ulakan khususnya. Setiap
tahun, setelah tanggal 10 Syafar masyarakat Pariaman selalu memperingati meninggalnya
Syheh Burhanuddin yang dikenal dengan sebutan basapa. Tahun 2006 ini, kegitan
spiritual keagamaan ini jatuh pada tanggal 15 ( Rabu). Di namakan dengan basapa karena
kegitan ini hanya dilaksanakan pada bulan safar tahun hijriyah.
Kegiatan basapa ke Ulakan ialah subuah kegiatan mengunjungi makan seorang guru
yang bertempat di Nagari Ulakan Kecamatan Ulakan-Tapakis, Kabupaten Padang
Pariaman. Prosesinya di awali dengan berdo’a di makam Syeh dengan tujuan orang yang
berdo’a mendapatkan redho dari Allah subahanahu wataala. Kemudian dilanjutkan
dengan sholat berjamaah dan ditutup dengan zikir bersama.
Kegiatan basapa dilakukan ialah sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih
terhadap syeh Burhanuddin, atas keberhasilannya mengembangkan ajaran Islam di
Minangkabau. Ajaran Sataryah yang dia bawa mendapat tempat di hati masyarakat pada
masa itu, sehingga berkembanglah agama Islam di Ranah Minang. Pada saat itu, Syeh
Burhanuddinlah satu-satunya orang yang pertama kali membuka tempat pendidikan
agama islam secara formal, pesantren istilah sekarang (Duski Samad, 2003). Hal ini dapat
di buktikan di surau pertamanya di Tanjuang Medan, di sekeliling surau tersebut sudah
terdapat rumah-rumah kecil sebagai tempat tinggalnya santri-santri beliau selama
menuntut ilmu agama. Untuk mengenang jasa-sjasa beliau dilakukanlah ziarah kubur
oleh murid-murid dan masyarakat yang mewarisi ajaran Sataryah tersebut.
Kegitan basapa ini tidak hanya dilakukan oleh masayarakat Pariaman, masyarakat
dari darekpun tidak ketinggalan. Pada saat sapa gadang contohnya, penziarah banyak
yang berasal dari daerah darek, yang terdiri dari 3 luhak. Setelah ziarah dilakukan,
masyarakat tersebut melakukan ritual keagamaan seperti di atas. Ada pula yang
masyarakat melaksanakannya di dalam surau yang dibangun di sekitar makam.
Contohnya masyarakat Toboh Gadang, dan Tanah Datar mempunyai surau tersendiri
untuk melaksanakan ritual tersebut.
Sapa di kenal oleh masyarakat dengan 2 sebutan: Pertamaa Sapa gadang (safar
besar), ke dua Sapa ketek (safar keci)l.
Pada saat Sapa gadang Nagarai Ulakan mulai diramaikan oleh penziarah terhitung
sejak dari dari tanggal 13 (Senen) sampai tanggal 15 (Rabu) maret 2006 sekarang. Hari
Rabu dianggap sebagai puncak dari kegiatan bersafar, karena hari kamis pagi penziarah
sudah mulai meninggalkan Ulakan guna menuju kampung halaman mereka masing-
masing. Dinamakan dengan sapa gadang, karena kesempatan ini diperuntunkan untuk
masyarakat dari daerah Darek. Jumlah penziarah pada saat ini berkisar hingga ribuan
orang, sehingga menutup badan-badan jalan di Nagari ulakan. Dengan kondisi yang
penuh sesak ini seakan menambah semangat dan keyakinan penziarah untuk
melaksanakan ritual keagamaan basapa. Selama 3 hari inilah daerah ulakan yang
berdekatan dengan pantai selalu ramai oleh penziarah dan pengunjung.
Lian pula halnya dengan muda-mudi, mereka merayakan basapa di sepanjang pantai
Ulakan. Moment ini, mereka gunakan sebagai ajang perkencanan, memadu kasih hingga
pagi menjelang. Namun, masyarakat Ulakan tetap mempunyai konsekwensi dan aturan
yang cukup tegas, bagi muda mudi yang kedapatan melakukan hal yang tidak senonoh
atau samapai melakukan zinah, pasangan tersebut dinikahakan oleh tokoh masayarakat
setempat. Masyarakat tidak peduli apakah orangtua mereka setuju atau tidak. Tapi entah
kebetulan atau apa, setelah kegiatan bersapa gadang selesai tepatnya hari kamis pagi,
Nagari ulakan selalu di guyur hujan. Bisa jadi hujan yang turun dapat dianggap sebagai
pembersih noda yang di tingalkan muda-mudi di Nagari ulakan tersebut. Kejadian seperti
ini berlaku pula pada saat sapa ketek (sapa kecil) nantinya.
Sapa ketek dilaksanakan pada hari Rabu minggu ke 2 setelah sapa gadang. Pada saat
ini pengunjung lebih ramai dari pada Sapa gadang, karena umumnya pengunjung berasal
dari daerah pariaman dan juga pengunjung pada Sapa Gadang juga melakukan ziarahnya
untuk ke dua kalinya. Oleh karena itu, dinamakanlah sapa ini dengan sapa ketek, sebab
hanya diperuntunkan untuk masyarakat Pariaman, tapi tidak tertutup kemunggkinan bagi
masyarakat dari Darek, sehingga penziarah lebih ramai dari pada Sapa Gadang.
Ritual ini dimulai hari rabu tanggal 22 Maret, prosesinya di awali dengan sholat zuhur
hingga pagi harinya. Sementara kegiatan yang dilakukan sama seperti yang dilakukan
pada saat sapa gadang baik penziarah maupun pengunjung yang didominsi oleh muda
mudi.
Tapi sungguh disayangkan, kegiatan basapa ini telah jauh melenceng dari ketentuan
yang ditetapkan oleh Guru Sataryah terdahulu. Jika sidang pembaca melongok ke areal
pemakaman, akan terlihat orang yang sedang berdo’a di samping makam Syeh sudah
mendekati hal-hal yang berbau syirik. Sebagian orang terlihat sedang berebutan untuk
mengambil pasir kuburan syeh, mereka percaya pasir tersebut mujarab dijadikan obat.
Begitu pula dengan air di dalam kerang yang diletakan berdekatan dengan Batu hampa
(batu landasan yang digunakan ketika memukul kemaluannya) Syeh Burhanuddin,
penziarahpun berrebutan untuk mendapatkan air tersebut. Sekarang air itu telah
dibungkus dengan plastik kecil yang telah diisi dengan sayatan-sayatan limau (jeruk
nipis), dengan catatan orang tersebut memberi infak sebesar Rp1000. Air ini dipercaya
sebagai obat, seperti penambah kepintaran jka air tersebut diusapkan ke kepala.
Tidak hanya itu, di sekeliling makam dapat diperhatikan belasan orang terlihat Siak
sedang mengobral do’a. Syaratnya bagi orang yang meminta dido’akan harus bersedia
memberikan infak kepada orang siak dengan jumlah yang tidak ditentukan. Ditambah
lagi tingkah laku muda mudi di sepanjang pantai Ulakan. Itulah kenyataan yang terjadi
selama bersapa ke Ulakan.
ULAKAN

You might also like