Professional Documents
Culture Documents
A. Pertempuran di Surabaya
Pada tanggal 25 Oktober 1945, pasukan AFNEI dari brigade 49 mendarat di Tanjung
Perak, Surabaya yang dipimpin oleh Brigjen A.W.S. Mallaby. Kedatangan pasukan
AFNEI di Surabaya menumbuhkan kecurigaan bagi pemerintah RI bahwa kedatangan
AFNEI diboncengi oleh NICA. Kecurigaan itu bisa diatasi setelah adanya kesepakatan
antara Mallaby dan wakil pemerintah RI bahwa AFNEI menjamin tidak ada pasukan
Belanda (NICA) yang membonceng mereka dan tugas AFNEI di Indonesia hanya
melucuti tentara Jepang.
Namun kesepakatan tersebut diingkari oleh pihak AFNEI. Terbukti pihak AFNEI
melakukan provokasi yang mengundang kemarahan rakyat Surabaya.
Pada bulan Oktober 1945, Tentara Republik Indonesia (TRI) dan pemuda serta rakyat
sedang berjuang melawan tentara Jepang untuk merebut senjata dari tangan Jepang.
Pada saat itu, pasukan AFNEI sudah memasuki kota Bandung. Pasukan AFNEI
menuntut pasukan Indonesia untuk menyerahkan senjata. Disamping itu, TRI harus
mengosongkan kotra Bandung bagian utara paling lambat tanggal 29 Oktober 1945.
Tuntutan dari AFNEI tersebut tidak diindahkan oleh TRI maupun rakyat Bandung.
Dipimpin oleh Arudji Kartawinata, TRI dan pemuda Bandung melakukan serangan
terhadap kedudukan AFNEI. Pertempuran itu berlanjut hingga memasuki tahun 1946.
Pada tanggal 23 maret 1946, AFNEI kembali mengeluarkan ultimatum supaya TRI
meninggalkan kota Bandung. Ultimatum itu diperkuat dengan adanya perintah dari
pemerintah pusat Jakarta supaya TRI meninggalkan Bandung.
Perintah dari pusat tersebut memang bertentangan dengan instruksi dari markas TRI
di Yogyakarta. Sebelum meninggalkan Bandung, TRI mengadakan perlawanan
dengan cara membumihanguskan kota Bandung bagian selatan. Tindakan itu
membawa akibat fatal bagi pasukan AFNEI, karena mengalami kesulitan akomodasi
dan logistik di kota Bandung. Tindakan membumihanguskan kota dikenal dengan
Bandung Lautan Api.
Namun dibalik itu, sehari setelah AFNEI mendarat di Belawan, pasukan AFNEI
mendatangi kamp-kamp tawanan untuk membebaskan tawanan perang yang
kebanyakan orang Belanda. Tawanan yang dibebaskan itu, kemudian dipersenjatai
dan dibentuk menjadi Batalyon KNIL di Medan.
Karena tidak adanya komando yang jelas, mengakibatkan serangan para pejuang
Indonesia terhadap AFNEI tidak berarti dan tidak membuahkan hasil yang baik.
Untuk mengefektifkan serangan terhadap pasukan AFNEI, para komandan yang
berjuang di Medan mengadakan pertemuan di Tebing Tinggi dan membentuk satuan
komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Pertemuan
ini berlangsung pada tanggal 19 Agustus 1946. Dengan terbentuknya Komando
Resimen Laskar Rakyat Medan Area, serangan terhadap pasukan AFNEI menjadi
lebih efektif.
Sejak akhir tahun 1945 pasukan AFNEI meninggalkan sulawesi utara dan kekuasaan
diserahkan sepenuhnya kepada NICA. Sejak saat itu, pasukan NICA bertindak
semena-mena dan melakukan penangkapan pada sejumlah tokoh RI. Tindakan yang
dilakukan NICA ini mengundang reaksi dari para pendukung RI, terutama para
pemuda dan mantan anggota KNIL yang berasal dari Indonesia. Mantan anggota
KNIL ini dikenal sebagai Tangsi Hitam yang kemudian membentuk Pasukan Pemuda
Indonesia (PPI).
Pada pertengahan Januari 1946 PPI mengadakan rapat rahasia untuk menggalang aksi
perlawanan. Namun kegiatan tersebut diketahui oleh NICA yang berakibat beberapa
pimpinan PPI ditangkap. Senjata dari pasukan Tangsi Hitam dapat dilucuti oleh
NICA, tetapi kejadian tersebut tidak mengerutkan semangat para pejuang di armada.
Pada tanggal 14 Februari 1946 tanpa dilengkapi senjata, PPI menyerbu kedudukan
NICA di Teling. Mereka membebaskan para tokoh pejuang Indonesia yang ditawan
dan mampu menawan komandan NICA beserta anak buahnya. Pada hari itu juga,
sebagian pejuang Indonesia mengambil bendera Belanda yang berada di pos
penjagaan da merobek warna birunya sehingga yang masih ada hanya warna merah
dan putih. Bendera itu dikibarkan di Tangsi Teling. Peristiwa ini menandai peristiwa
merah putih di Menado.
Serangan PPI masih dilanjutkan dan berhasil menguasai markas NICA di Tomohon
dan Tondano. Setelah kedudukan NICA dapat diambil alih oleh para pejuang
Indonesia, pada tanggal 16 Februari 1946 dibentuklah pemerintahan sipil, dan sebagai
residennya adalah B.W. Lapian. PPI juga membentuk TKR yang dipimpin oleh C.H.
Taulu, Wuisan, dan J. Kaseger. Akhirnya, kompi KNIL Tangsi Hitam dijadikan
Tentara Republik Indonesia.
Seperti di daerah lain, upaya untuk menegakkan kedaulatan Indonesia di Biak (Papua)
mengalami hambatan dari pasukan NICA. Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia
di Irian (Papua Barat) disambut gembira. Dukungan terhadap proklamasi
kemerdekaan bergema di kota-kota, seperti Jayapura, Sorong, dan Serui. Para tokoh-
tokoh pejuang Irian membentuk Komite Nasilnal Daerah yang dipimpin oleh Martin
Indey. Di Biak terbentuk pula Partai Indonesia Merdeka yang dipimpin oleh Lucas
Roemkorem. Kegiatan mereka menyusun kekuatan untuk melawan Belanda.
F. Perang Gerilya
Pada saat Agresi Militer I yang dilakukan oleh Belanda dengan persenjataan yang
modern, TNI mengalami pukulan yang berat. Untuk itu, TNI harus merubah strategi
pertahanan yang baru. Sistem pertahanan linier yang digunakan selama ini sudah tidak
mampu untuk menahan serangan Belanda. Untuk menghadapi Belanda yang memiliki
senjata yang modern, TNI menerapkan sistem Wehrkreise (perang gerilya).
a. Suatu wilayah terbagi menjadi lingkaran pertahanan yang dapat berdiri sendiri.
Wilayah tersebut terletak di kawasan luar kota dan pegunungan.
b. Tiap wilayah memiliki pemerintahan sekaligus pertahanan gerilya yang
melibatkan semua kekuatan. Tujuannya adalah menghambat gerak pasukan
Belanda. Apabila musuh mendesak untuk menyerang, dilakukan pengungsian
dengan membumihanguskan tempat tersebut.
c. Selain menggalang pertahanan, tiap Wehrkreise (wilayah) harus mampu
menyusup ke belakang garis pertahanan musuh dan membentuk kantong
pertahanan di dalam daerah musuh.