You are on page 1of 7

Setelah menghancurkan Jepang, Komando Sekutu Asia Tenggara di Singapura

memerintahkan tujuh perwira Inggris untuk datang ke Indonesia dibawah pimpinan


Mayor A.G. Greenhalg. Mereka tiba di Indonesia pada tanggal 8 September 1945 dengan
tugas mempelajari dan melaporkan keadaan di Indonesia. Kedatangan sekutu di
Indonesia yang diboncengi tentara NICA (Netherland Indies Civil Administration
mengakibatkan tugas TNI makin berat untuk mempertahankan kemerdekaan. Usaha
mempertahankan kemerdekaan demudian dilakukan dengan cara militer dan perundingan
(aklamasi).

Konflik Indonesia-Belanda banyak terjadi di daerah-daerah, seperti pertempuran di


Surabaya, Bandung, Medan, Manado, Biak, dan sebagainya.

A. Pertempuran di Surabaya

Kekuatan asing yang harus dihadapi Republik Indonesia setelah kemerdekaan


Indonesia adalah Sekutu yang ditugaskan untuk menduduki wilayah Indonesia dan
melucuti tentara Jepang. Yang melaksanakan tugas ini adalah Komando untuk Asia
Tenggara, dipimpin oleh laksamana Lord Louis Mountbatten. Kemudian, Mountbatten
membentuk suatu komando yang diberi nama Allied Forces Netherlands East Indies
(AFNEI) di bawah pimpinan Letnan Jendral Sir Philip Christison.

Pada tanggal 25 Oktober 1945, pasukan AFNEI dari brigade 49 mendarat di Tanjung
Perak, Surabaya yang dipimpin oleh Brigjen A.W.S. Mallaby. Kedatangan pasukan
AFNEI di Surabaya menumbuhkan kecurigaan bagi pemerintah RI bahwa kedatangan
AFNEI diboncengi oleh NICA. Kecurigaan itu bisa diatasi setelah adanya kesepakatan
antara Mallaby dan wakil pemerintah RI bahwa AFNEI menjamin tidak ada pasukan
Belanda (NICA) yang membonceng mereka dan tugas AFNEI di Indonesia hanya
melucuti tentara Jepang.

Namun kesepakatan tersebut diingkari oleh pihak AFNEI. Terbukti pihak AFNEI
melakukan provokasi yang mengundang kemarahan rakyat Surabaya.

Provokasi yang dilakukan AFNEI adalah sebagai berikut.


a. Pasukan AFNEI menyerbu penjara Kalisosok untuk membebaskan kolonel
angkatan laut Belanda yang ditawan pemerintah RI. Penyerbuan ini dilakukan
pada tanggal 26 Oktober 1945.
b. Pada tanggal 27 Oktober 1945 AFNEI menduduki tempat-tempat penting, seperti
pangkalan udara Tanjung Priok, kantor pos besar, dan tempat-tempat penting
lainnya.
c. Pada tanggal 27 Oktober 1945 pesawat terbang AFNEI menyebarkan pamflet
yang isinya memerintahkan kepada rakyat Surabaya dan Jawa Timur untuk
menyerahkan senjata yang dirampas dari Jepang.

Provokasi yang dilakukan AFNEI membuat kepercayaan pemerintah RI di Surabaya


menjadi pudar. Kemudian, pemerintah mulai memerintahkan pemuda dan TKR untuk
bersiaga. Pada tanggal 27 Oktober 1945 mulailah pertempuran antara pasukan
Indonesia melawan AFNEI. Pertempuran ini membuat pasukan AFNEI terancam
hancur.

Di tengah situasi yang mencekam, Jenderal D.C. Hawthorn menghubungi Soekarno


untuk berunding guna membantu meredakan serangan pasukan Indonesia. Soekarno-
Hatta dan Amir Syarifuddin tiba di Surabaya tanggal 29 Oktober 1945. Perundingan
antara pemerintah RI dan AFNEI mencapai kesepakatan untuk membentuk panitia
penghubung (contact commitee) yang bertugas menjernihkan kesalahpahaman dan
menyerukan gencatan senjata.

Insiden yang terjadi di Gedung Internasional yang mengakibatkan tewasnya Brigjen


Mallaby, menyulut kemarahan pasukan AFNEI. Mereka menambah pasukan di bawah
pimpinan Mayjen R.C. Mansergh.

Pada tanggal 9 November 1945 AFNEI mengeluarkan ultimatum sebagai berikut.

a. AFNEI menuntut balas atas kematian Brigjen Mallaby.


b. AFNEI menginstruksikan kepada pemerintah, pemuda, keamanan, dan
masyarakat untuk melapor, menyerahkan senjata, meletakkan tangan diatas
kepala, dan menandatangani penyerahan tanpa syarat.
Batas ultimatum itu ditentukan sampai tanggal 1 November 1945 pukul 06.00 WIB.
Apabila tidak dijalankan, maka Surabaya akan digempur melalui darat, laut, dan
udara. Ultimatum itu sempat melecehkan martabat rakyat Indonesia. Dalam suasana
yang makin tegang, Menlu Achmad Soebardjo menyerahkan keputusan kepada rakyat
Surabaya. Memalui siaran radio, Gubernur Jawa Timur, Surya, mengumumkan
penolakan secara tegas atas ultimatum AFNEI.

Pada tanggal 10 November 1945, pasukan AFNEI menggempur kota Surabaya


melalui darat, laut, dan udara. Rakyat Surabaya dengan gigih mempertahankan kota
Surabaya, walaupun telah menelan banyak korban. Kota Surabaya dapat
dipertahankan hampir 3 minggu. Pertempuran yang terakhir terjadi pada tanggal 28
November 1945 di Gunung Sari.

B. Bandung Lautan Api

Pada bulan Oktober 1945, Tentara Republik Indonesia (TRI) dan pemuda serta rakyat
sedang berjuang melawan tentara Jepang untuk merebut senjata dari tangan Jepang.
Pada saat itu, pasukan AFNEI sudah memasuki kota Bandung. Pasukan AFNEI
menuntut pasukan Indonesia untuk menyerahkan senjata. Disamping itu, TRI harus
mengosongkan kotra Bandung bagian utara paling lambat tanggal 29 Oktober 1945.

Tuntutan dari AFNEI tersebut tidak diindahkan oleh TRI maupun rakyat Bandung.
Dipimpin oleh Arudji Kartawinata, TRI dan pemuda Bandung melakukan serangan
terhadap kedudukan AFNEI. Pertempuran itu berlanjut hingga memasuki tahun 1946.
Pada tanggal 23 maret 1946, AFNEI kembali mengeluarkan ultimatum supaya TRI
meninggalkan kota Bandung. Ultimatum itu diperkuat dengan adanya perintah dari
pemerintah pusat Jakarta supaya TRI meninggalkan Bandung.

Perintah dari pusat tersebut memang bertentangan dengan instruksi dari markas TRI
di Yogyakarta. Sebelum meninggalkan Bandung, TRI mengadakan perlawanan
dengan cara membumihanguskan kota Bandung bagian selatan. Tindakan itu
membawa akibat fatal bagi pasukan AFNEI, karena mengalami kesulitan akomodasi
dan logistik di kota Bandung. Tindakan membumihanguskan kota dikenal dengan
Bandung Lautan Api.

C. Pertempuran Medan Area

Karena sulitnya komunikasi, proklamasi kemerdekaan baru diumumkan secara resmi


di Medan pada tanggal 27 Agustus 1945 oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan selaku
Gubernur Sumatra. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI dibawah pimpinan
Brigjen T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan pasukan AFNEI ini
diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih
pemerintahan.

Kedatangan pasukan AFNEI disambut baik oleh pemerintah RI karena pemerintah RI


menghormati tugas AFNEI di Indonesia.

Namun dibalik itu, sehari setelah AFNEI mendarat di Belawan, pasukan AFNEI
mendatangi kamp-kamp tawanan untuk membebaskan tawanan perang yang
kebanyakan orang Belanda. Tawanan yang dibebaskan itu, kemudian dipersenjatai
dan dibentuk menjadi Batalyon KNIL di Medan.

Hal tersebut memancing kemarahan para pemuda sehingga meletuslah pertempuran di


Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Pertempuran tidak hanya terjadi di Medan,
melainkan menyebar ke kota-kota lain, seperti Pematangsiantar dan Brastagi. Dalam
menghadapi kedatangan Sekutu dan NICA, para pemuda membentuk kekuatan
militer, yaitu TKR Sumatra Timur yang dikomandani oleh Achmad Tahir. Juga, para
pemuda membentuk Laskar Perjuangan Pemuda Republik Indonesia Sumatra Timur.

Pada tanggal 18 Oktober 1945 AFNEI mengeluarkan ultimatum yang memerintahkan


TKR dan Laskar Perjuangan supaya menyerahkan senjata. Tanggal 1 Desember 1945
AFNEI membatasi daerah Medan dengan memasang papan pembatas yang
bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area (Batas Resmi Medan Area) di sudut-sudut
pinggiran kota Medan. Selain itu, pasukan AFNEI dan NICA mengadakan aksi
pembersihan unsur-unsur RI diseluruh kota.
Aksi ini menimbulkan reaksi tembak menembak dan pertempuran tidak bisa dihindari
lagi. Dalam bulan April 1946, kota Medan dikuasai oleh pasukan AFNEI. Gubernur,
TKR, dan Wali Kota Medan memindahkan pusat pemerintahan ke Pematangsiantar.

Karena tidak adanya komando yang jelas, mengakibatkan serangan para pejuang
Indonesia terhadap AFNEI tidak berarti dan tidak membuahkan hasil yang baik.
Untuk mengefektifkan serangan terhadap pasukan AFNEI, para komandan yang
berjuang di Medan mengadakan pertemuan di Tebing Tinggi dan membentuk satuan
komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Pertemuan
ini berlangsung pada tanggal 19 Agustus 1946. Dengan terbentuknya Komando
Resimen Laskar Rakyat Medan Area, serangan terhadap pasukan AFNEI menjadi
lebih efektif.

D. Peristiwa Merah Putih di Menado

Karena sulitnya komunikasi, proklamasi kemerdekaan di Menado mengalami


keterlambatan seperti di daerah-daerah lain di luar pulau Jawa. Sejak pasukan AFNEI
mendarat di Menado yang diboncengi oleh pasukan NICA, upaya penegakan
kedaulatan Indonesia makin sulit. Kedatangan pasukan AFNEI adalah untuk
membebaskan anggota KNIL bekas tawanan Jepang yang kemudian dipersenjatai dan
dikenal dengan nama Tangsi Putih.

Sejak akhir tahun 1945 pasukan AFNEI meninggalkan sulawesi utara dan kekuasaan
diserahkan sepenuhnya kepada NICA. Sejak saat itu, pasukan NICA bertindak
semena-mena dan melakukan penangkapan pada sejumlah tokoh RI. Tindakan yang
dilakukan NICA ini mengundang reaksi dari para pendukung RI, terutama para
pemuda dan mantan anggota KNIL yang berasal dari Indonesia. Mantan anggota
KNIL ini dikenal sebagai Tangsi Hitam yang kemudian membentuk Pasukan Pemuda
Indonesia (PPI).

Pada pertengahan Januari 1946 PPI mengadakan rapat rahasia untuk menggalang aksi
perlawanan. Namun kegiatan tersebut diketahui oleh NICA yang berakibat beberapa
pimpinan PPI ditangkap. Senjata dari pasukan Tangsi Hitam dapat dilucuti oleh
NICA, tetapi kejadian tersebut tidak mengerutkan semangat para pejuang di armada.

Pada tanggal 14 Februari 1946 tanpa dilengkapi senjata, PPI menyerbu kedudukan
NICA di Teling. Mereka membebaskan para tokoh pejuang Indonesia yang ditawan
dan mampu menawan komandan NICA beserta anak buahnya. Pada hari itu juga,
sebagian pejuang Indonesia mengambil bendera Belanda yang berada di pos
penjagaan da merobek warna birunya sehingga yang masih ada hanya warna merah
dan putih. Bendera itu dikibarkan di Tangsi Teling. Peristiwa ini menandai peristiwa
merah putih di Menado.

Serangan PPI masih dilanjutkan dan berhasil menguasai markas NICA di Tomohon
dan Tondano. Setelah kedudukan NICA dapat diambil alih oleh para pejuang
Indonesia, pada tanggal 16 Februari 1946 dibentuklah pemerintahan sipil, dan sebagai
residennya adalah B.W. Lapian. PPI juga membentuk TKR yang dipimpin oleh C.H.
Taulu, Wuisan, dan J. Kaseger. Akhirnya, kompi KNIL Tangsi Hitam dijadikan
Tentara Republik Indonesia.

E. Peristiwa Merah Putih di Biak

Seperti di daerah lain, upaya untuk menegakkan kedaulatan Indonesia di Biak (Papua)
mengalami hambatan dari pasukan NICA. Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia
di Irian (Papua Barat) disambut gembira. Dukungan terhadap proklamasi
kemerdekaan bergema di kota-kota, seperti Jayapura, Sorong, dan Serui. Para tokoh-
tokoh pejuang Irian membentuk Komite Nasilnal Daerah yang dipimpin oleh Martin
Indey. Di Biak terbentuk pula Partai Indonesia Merdeka yang dipimpin oleh Lucas
Roemkorem. Kegiatan mereka menyusun kekuatan untuk melawan Belanda.

Sejak berkobarnya semangat nasionalisme, para pemuda Irian menggunakan lencana


merah putih. Mereka dengan berani mengibarkan sang merah putih dan
menyelenggarakan rapat-rapat umum. Pada tanggal 14 Maret 1948 para pejuang Irian
menyerang tangsi militer Belanda di Sorido dan Biak yang dipimpin oleh Yoseph.
Karena persenjataan NICA lebih unggul, maka serangan mengalami kegagalan. Tiga
orang pimpinan ditangkap dan diadili di Belanda. Dua orang dihukum mati dan
seorang dijatuhi hukuman seumur hidup.

F. Perang Gerilya

Pada saat Agresi Militer I yang dilakukan oleh Belanda dengan persenjataan yang
modern, TNI mengalami pukulan yang berat. Untuk itu, TNI harus merubah strategi
pertahanan yang baru. Sistem pertahanan linier yang digunakan selama ini sudah tidak
mampu untuk menahan serangan Belanda. Untuk menghadapi Belanda yang memiliki
senjata yang modern, TNI menerapkan sistem Wehrkreise (perang gerilya).

Ciri-ciri perang gerilya sebagai berikut .

a. Suatu wilayah terbagi menjadi lingkaran pertahanan yang dapat berdiri sendiri.
Wilayah tersebut terletak di kawasan luar kota dan pegunungan.
b. Tiap wilayah memiliki pemerintahan sekaligus pertahanan gerilya yang
melibatkan semua kekuatan. Tujuannya adalah menghambat gerak pasukan
Belanda. Apabila musuh mendesak untuk menyerang, dilakukan pengungsian
dengan membumihanguskan tempat tersebut.
c. Selain menggalang pertahanan, tiap Wehrkreise (wilayah) harus mampu
menyusup ke belakang garis pertahanan musuh dan membentuk kantong
pertahanan di dalam daerah musuh.

You might also like