You are on page 1of 5

REASURANSI SYARIAH

Oleh : A. Bakhrul Muchtasib, SE.i

A. Pendahuluan
Dapat dipastikan, selain perbankan syariah maka asuransi syariah merupakan
industri syariah yang mengalami perkembangan yang pesat di Indonesia. Perkembangan
industri asuransi syariah ini dimulai sejak tahun 1994, yang dipelopori oleh PT Asuransi
Takaful Keluarga. Kendati demikian, industri asuransi syariah ini baru mengalami
peningkatan yang pesat sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan hadirnya dua
perusahaan asuransi syariah lain, yakni PT. Asuransi Syariah Mubarokah dan PT. MAA
Life Assurance, keduanya termasuk jenis asuransi keluarga. Berdasarkan data dari Dewan
Syari’ah Nasional (DSN), sepanjang tahun 2006, terdapat 16 asuransi syariah baru yang
mendapat persetujuan DSN. Dengan demikian jumlah lembaga asuransi syariah di
Indonesia sampai dengan akhir tahun 2006 mencapai 46 perusahaan dimana 4
diantaranya merupakan perusahaan reasuransi syariah dan 5 lainnya adalah broker
asuransi syariah. Seperti halnya asuransi konvensional, asuransi syariah juga
menawarkan proteksi dari setiap kerugian. Selain itu asuransi syariah juga menawarkan
skim investasi selain fasilitas proteksi. Hanya saja, berbeda dengan asuransi
konvensional, sistem operasional asuransi syariah menggunakan prinsip-prinsip sesuai
syariah.
Memang, jika dilihat dari besaran dana masyarakat yang dihimpun dalam bentuk
premi, besaran aset dan ekuitas, dan bahkan aspek regulasinya sekalipun, sampai saat ini,
industri asuransi syariah jauh tertinggal dibanding perbankan syariah. Kendati demikian,
memandang pertumbuhan industri asuransi syariah dari hari ke hari terus berkembang
pesat, bahkan sejumlah asuransi konvensional pun mulai melakukan konversi ke sistem
syariah, bisa dikatakan, prospek dan potensi industri asuransi syariah untuk ke depannya
cukup menjanjikan.
Indikasi inilah yang mendorong PT Reasuransi Internasional Indonesia atau lebih
dikenal dengan Reindo memelopori industri reasuransi syariah di Indonesia. Reindo tidak
membentuk anak perusahaan atau cabang baru. Reasuransi syariah ini ditempatkan
sebagai salah satu divisi yang dinamakan Divisi Khusus Syariah, yang selanjutnya
menggunakan nama PT. Reindo Syariah Unit (2004). Ini seperti asuransi atau bank
konvensional yang memiliki unit usaha syariah. Perusahaan reasuransi yang hadir
berikutnya adalah PT. Reasuransi Nasional Indonesia (2005), PT. Maskapai Reasuransi
Indonesia, Tbk (Marein) (2006), serta PT. Tugu Reasuransi Indonesia (Tugu-Re) (2006).
Adapun, momentum lain yang turut memicu pertumbuhan industri asuransi
syariah adalah dicabutnya fatwa darurat reasuransi konvensional. Dengan demikian,
sebagaimana kita memperlakukan segala produk berbasis bunga, maka posisi dan jasa
yang ditawarkan reasuransi konvensional pun menjadi terlarang karenanya. Praktis,
asuransi-asuransi syariah hanya diperkenankan memperoleh dukungan kapasitas atas
risiko-risiko yang melebihi kemampuan asuransi syariah dari reasuransi syariah juga.
Dengan kata lainnya, asuransi syariah diharuskan hanya menggunakan reasuransi syariah
untuk memenuhi tambahan kapasitasnya itu. Tak pelak, pasca dicabutnya status darurat
reasuransi konvensional, eksistensi perusahaan reasuransi menjadi penting kiranya bagi
perkembangan industri asuransi di Indonesia.
B. Ruang Lingkup Reasuransi Syariah
Tidak jauh berbeda dengan konsep reasuransi konvensional, reasuransi syariah
pun bergerak dalam usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah
perusahaan asuransi syariah melalui investasi dalam bentuk tabarrru’ yang memberikan
pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai syariah.
Akad yang sesuai syariah yang dimaksud di sini adalah yang tidak mengandung gharar
(penipuan), maysir (perjudian), riba, zulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram
dan maksiat. Sementara itu, praktek yang berlaku di industri asuransi dan reasuransi
konvensional sama sekali tidak mengindahkan persoalan tersebut. Di titik pangkal inilah
yang membedakan konsep reasuransi syariah dengan reasuransi konvensional.
Reasuransi syariah, pada hakekatnya merupakan pengembangan dari industri
asuransi syariah itu sendiri. Bahkan, konsep reasuransi syariah pun memiliki tujuan yang
sama dengan asuransi syariah, yakni untuk menciptaan kerjasama yang saling
menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat, dimana satu pihak bertindak sebagai
penanggung beban kerugian (insurer) yang memungkinkan akan menimpa pihak yang
tertanggung (insured/policy holder). Jika pihak insurer dalam konteks asuransi syariah
adalah perusahaan asuransi syariah itu sendiri, serta pihak insured adalah individu
pemegang polis, maka untuk konteks reasuransi syariah, pihak insurer dalam konteks
reasuransi syariah adalah perusahaan reasuransi syariah, sedangkan pihak insured adalah
perusahaan asuransi syariah.
Mekanisme kerja tersebut terbentuk sedemikian rupa karena didorong oleh ruang
lingkup kerja perusahaan asuransi yang cenderung lebih kepada manajemen risiko dan
return akibat dari ketidakpastian akan masa depan. Risiko selalu melibatkan dua istilah,
yaitu ketidakpastian dan kerugian, entah kerugian fisik maupun finansial. Yang pasti,
tidak ada seorangpun atau satu perusahaan pun yang mengharapkan kerugian.
Lazimnya perusahaan asuransi akan menghadapi klaim pertangungan dari para
anggota pada waktu yang tak terkirakan sebelumnya, menuntut perusahaan memiliki
kebijakan untuk menentukan seberapa besar retensi yang harus ditetapkan. Dengan kata
lain, ketika perusahaan berupaya untuk meminimalisir jumlah kerugian, perusahaan akan
mengambil suatu jumlah tertentu sebagai jaminan atas risiko yang ditanggung, jumlah
inilah yang disebut dengan retensi. Penetapan retensi ini senantiasa akan dievaluasi
secara berkelanjutan. Kekeliruan dalam menetapkan batas retensi ini dapat berakibat fatal
bagi kondisi keuangan perusahaan asuransi itu sendiri. Seperti halnya, jika batas retensi
yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah dari klaim yang harus dibayarkan, maka
perusahaan akan menghadapi risiko reputasi sekaligus risiko default, yakni perusahaan
tidak mampu menutup klaim yang diajukan oleh anggota secara penuh. Jika hal ini
terjadi, selain anggota kelompok yang mengalami musibah akan dirugikan karena tidak
mendapatkan ganti rugi secara penuh sebagaimana yang telah disepakati, di sisi lain,
perusahaan asuransi syariah tersebut pun selanjutnya dinilai tidak amanah dalam
menjalankan tugasnya. Konsekuensi logis dari kejadian ini, para anggota lain akan
menarik diri dari keanggotaannya, kemudian berpindah ke perusahaan asuransi lain yang
menurut mereka akan dikelola lebih baik dan amanah.
Keterbatasan kemampuan dari perusahaan-perusahaan asuransi itulah yang pada
akhirnya mendorong kebutuhan akan adanya perusahaan reasuransi. Melalui mekanisme
reasuransi ini tercipta saling pikul risiko, dimana perusahaan asuransi mengasuransikan
kembali kelolaan premi dari para anggotanya kepada perusahaan reasuransi. Perusahaan
asuransi membagi atau menyebarkan sebagian portofolio risiko premi asuransi kepada
perusahaan reasuransi.
Kontrak atau akad pembagian risiko ini menjadi kebijakan perusahaan seutuhnya,
yang dilakukannya dengan perusahaan reasuransi, sehingga tidak menuntut keterlibatan
anggota di dalamnya. Karena itu, potensi risk dan return yang meliputi kontrak tersebut,
menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi. Kendati demikian, pengaturan soal ini
tentunya harus dinyatakan secara tegas sebelumnya dalam kontrak antara anggota dan
perusahaan asuransi, bahwa perusahaan asuransi diperkenankan mengadakan kontrak
dengan perusahaan reasuransi tanpa persetujuan anggota, sepanjang tujuannya adalah
untuk melindungi perusahaan asuransi dan para anggotanya.
Salah satu alasan suatu perusahaan asuransi mengambil kebijakan untuk
mengalihkan atau menyebarkan kembali risiko-risiko yang diterimanya kepada
perusahaan reasuransi, tak lain, adalah untuk menghindari suatu kerugian finansial yang
lebih besar. Hal ini disebabkan karena jumlah atau total uang klaim yang terjadi ternyata
melebihi perkiraan yang diharapkan, sehingga melebihi kemampuan perusahaan asuransi
dalam membayarnya.
Suatu perusahaan asuransi pasti akan mereasuransikan sebagian risiko tersebut
kepada perusahaan reasuransi, selama biayanya lebih tinggi dibanding dengan yang
dibebankan oleh perusahaan reasuransi. Dengan kata lain, jika expected loss-nya lebih
tinggi daripada yang diperkirakan perusahaan reasuransi. Seberapa besar risiko yang
dapat ditanggung oleh perusahaan asuransi, itulah yang dimasud dengen batas retensi.
Jadi, batas retensi dapat juga dipahami sebagai batas maksimum total uang klaim yang
akan ditanggung oleh perusahaan asuransi. Jika total klaim yang terjadi melebihi batas
retensi tersebut, maka perusahaan reasuransi akan menanggung kekurangannya (lihat
Djojosoedarso, hal. 69, 2003).
Sula (hal. 264, 2004) menyatakan bahwa jika ditinjau dari aspek teknis, tujuan
reasuransi syariah (retakaful) adalah memang untuk mengurangi atau memperkecil beban
risiko yang diterima perusahan asuransi dengan mengalihkan seluruh atau sebagian risiko
itu kepada perusahaan reasuransi sebagai penanggung lain. Dengan pertanggungan ulang
ini, penanggung pertama dapat mengurangi atau memperkecil risiko-risiko yang
diterimanya dari sisi kerugian materil. Dalam konteks asuransi dan reasuransi syariah,
sesuai dengan fatwa DSN NO: 53/DSN-MUI/III/2006, aktivitas ini dilakukan
berdasarkan akad tabarru’. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan
dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Hal
ini selaras dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Maidah ayat 2:

“dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan saling
tolong menolong dalam dosa dan permusuhan....”

Mengomentari kekhasan dalam dunia asuransi ini, Wibowo (2006) mengatakan


bahwa hubungan antara asuransi dan reasuransi adalah suatu hubungan mutualisme
(mutual relationship) yang tidak mungkin dipisahkan satu sama lain. Asuransi akan sulit
berkembang tanpa reasuransi, sebaliknya reasuransi tidak pernah ada tanpa asuransi.
Hubungan keduanya dinyatakan dalam bentuk kerjasama treaty yaitu perjanjian bisnis
yang mengikat kedua pihak di mana reasuransi memberikan kapasitas otomatis kepada
asuransi dan sebaliknya asuransi wajib mensesikan portfolionya sesuai syarat-syarat yang
disepakati keduanya.
Sedangkan kerjasamanya fakultative, merupakan bentuk kerjasama pilihan, yang
sifatnya tidak wajib dalam memberikan dukungan reasuransinya. Dalam kedua bentuk
kerjasama tersebut, didasarkan pada proses underwriting yang prudent. Ini berarti tidak
seluruh portofolio penutupan asuransi syariah, akan mendapat backup dari reasuransi
syariah. Karena melalui proses underwriting di reasuransi syariah, akan melakukan
klasifikasi dan seleksi risiko yang ditawarkannya, dan risiko yang baik saja yang akan
mendapat dukungan reasuransi, atau dukungannya tidak maksimal, seiring dengan
kualitas risikonya
Dengan menggunakan prinsip tabarru’ (tolong menolong), maka secara sistem,
peserta asuransi syariah akan saling membantu peserta lainnya yang tertimpa musibah.
Perusahaan asuransi hanya bertindak sebagai pengelola dana peserta asuransi syariah
tersebut. Begitupun halnya dengan hubungan antara perusahaan asuransi dengan
perusahaan reasuransi. Dalam skim investasi, maka dana peserta asuransi syariah hanya
dapat ditanamkan kepada investasi-investasi yang halal saja. Perbedaan operasional ini
tentu saja mengakibatkan perbedaan dalam perhitungan premi dan pemberian return.
Perbedaan ini seharusnya dapat dipahami oleh para peserta asuransi syariah.

C. Prospek Industri reasuransi syariah pasca pencabutan status darurat


reasuransi konvensional

Wajar jika reaksi atas pencabutan status darurat reasuransi konvensional oleh
DSN disikapi secara beragam oleh masyarakat. Ada pihak yang pro dan kontra. Di satu
sisi, dengan dicabutnya fatwa tersebut, kita patut berbangga hati karena industri asuransi
syariah di Indonesia sedikit banyak sudah mampu keluar dari ketergantungannya pada
sistem ribawi. Sementara itu, di sisi lainnya, ketiadaan campur tangan reasuransi
konvensional dalam industri asuransi syariah, tidak semestinya ditanggapi secara apatis,
selanjutnya meragukan kapasitas reasuransi-reasuransi syariah yang ada dalam
membackup sepenuhnya, terutama untuk penutupan resiko-resiko besar. Pastinya, untuk
konteks perkembangan asuransi syariah di Indonesia saat ini, dengan didukung oleh
ReINDO syariah, Nasre syariah, Tugure dan Marien yang telah membuka unit
syariahnya, ditambah tiga reasuransi luar negeri, yaitu ASEAN Retakaful Labuan-
Malaysia, Takaful-re Bahrain dan Milea Retakaful Singapore, kecemasan dari pelaku
asuransi dapat diminimalisir. Kapasitas yang terkumpul dari ketujuh reasuransi syariah
dalam dan luar negeri tersebut, tentunya sangat dirasa cukup pasar asuransi syariah
Indonesia.
Hal ini dibuktikan dari studi kasus pada perusahaan asuransi Takaful Indonesia
yang tercatat per februari 2006, menjadi satu-satunya asuransi syariah yang murni
syariah, disebabkan mulai tahun itu, Takaful Indonesia telah menggunakan back-up
reasuransi syariah 100% ini merupakan yang pertama dan satu-satunya di Indonesia. Jadi,
dengan kehadiran empat perusahaan reasuransi syariah dalam negeri saja, diyakini
kapasitas penjamin untuk 35 perusahaan asuransi syariah yang ada dapat terpenuhi.
Takaful sebelumnya melempar Rp. 100 miliar pertanggungan Takaful kepada reasuransi
konvensional baik dalam maupun luar negeri. Sungguh suatu fenomena yang
membanggakan bukan?
Terlepas dari apapun dalih yang dikemukakan oleh kedua belah pihak yang
berbeda dalam menyikapi persoalan tersebut, sudah sepantasnya jika semua itu
diapresiasikan secara konstruktif. Yang paling krusial untuk dipikirkan dan dilakukan saat
ini adalah langkah strategis seperti apa yang harus dilakukan guna mengembangkan dan
meningkatkan permodalan reasuransi syariah, sehingga mampu menampung besarnya
portofolio asuransi syariah yang kian lama kian membesar. Tentu niat dan semangat saja
tidak cukup, sehingga perlu dibarengi political will dari pemerintah untuk ikut
mengembangkan industri perasuransian syariah nasional.

Daftar Rujukan

Djojosoedarso, Soeisno, 2003, Prinsip-prinsip Manajemen Risiko Asuransi, Edisi Revisi,


Jakarta: PT. Salemba Empat

Wibowo, Indriyanto Agus, 2006, Fatwa Darurat Reasuransi, majalah ReINFOKUS 19


Juli 2006

Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2005

Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2006

You might also like