Professional Documents
Culture Documents
Yohanes Widodo
Editor
Yohanes Widodo
Grafis
Yugyas
© 2010
Daftar Isi
5 Sekapur Sirih:
‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi
4
Sekapur Sirih:
‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi
5
Quo Vadis Televisi?
6
Sekapur Sirih: ‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi
7
Quo Vadis Televisi?
8
Sekapur Sirih: ‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi
publik di Indonesia seperti jauh panggang dari api. Realitas televisi kurang
mencerminkan kualitas ruang publik sebagaimana diharapkan dalam
konteks berdemokrasi. Kekuatan struktural yang menggerogoti fungsi
kepublikan televisi tersebut adalah kepentingan kapitalis media, dan
kepentingan politis pemilik medianya sendiri. Untuk mewujudkan peran
tersebut diperlukan upaya pemerintah untuk menegakkan terjaminnya
hak-hak publik dalam televisi. Di sisi lain, TV publik sudah waktunya
ditransformasi secara total untuk memperjuangkan kepentingan publik
di tengah degradasi fungsi televisi komersil untuk demokrasi. Televisi
mestinya menjadi ruang publik strategis di tengah konsolidasi demokrasi
di Indonesia sekarang ini.
Paulina Damayanti dan Gusti Ayu Krista megajak kita melihat “Parodi
di Balik Layar Kaca”. Menurut mereka, di masa depan televisi bisa menjadi
senjata perang di antara pemilik media atau penguasa untuk saling
menjatuhkan. Masyarakat pada akhirnya tidak lagi terkena imbas manfaat,
melainkan akan dibuat bingung oleh media-media tersebut dan tidak tahu
lagi mana media yang bisa dipercaya. Konsentrasi kepemilikan media di
tangan segelintir orang akan merusak asas demokratisasi. Hal ini berlaku
di Jerman, Inggris, maupun Indonesia, konsentrasi dan kendali yang
berada dalam kekuasaan segelintir orang, terutama investor asing, dapat
menggerogoti kedaulatan Negara.
Seperti apa televisi masa depan? Dwi Kartika Sirait dan Fransisca Yosi
Wongi menawarkan konsep “TV Streaming sebagai Televisi Alternatif”.
Menurut mereka, kemudahan akses teknologi komputer memungkinkan
masyarakat dapat memaksimalkan TV Streaming. Penggunaan cybermedia
yang meningkat dari hari ke hari sebagai sarana berkomunikasi, hiburan,
dan bisnis, memungkinkan masyarakat modern lebih banyak mengakses
TV streaming. Dengan demikian, informasi yang didapatkan tidak lagi
hanya berupa teks digital tetapi siaran audio-visual. Akses yang murah
dan lebih efisien tentu menjadi pilihan alternatif untuk mendapatkan
informasi dan hiburan di masa depan.
Sedangkan Lusi Hasiana dan Yosefine Nandy Lestyana menawarkan
IPTV sebagai “Televisi Impian di Masa Depan”. Sebagai interaktif televisi
berbasis internet, IPTV memiliki keunggulan dari segi tampilan yakni
ketajaman gambar yang sangat tinggi dan memberikan peluang
komunikasi dua arah dan multiple stream. Dengan kehadiran IPTV, konsep
komunikasi telah bergeser menjadi ‘broadcast yourself’ dimana semua
pengguna bebas menentukan apa yang ingin dikonsumsi sesuai
9
Quo Vadis Televisi?
Yohanes Widodo
Editor
10
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
Bonaventura S. Bharata
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Taufik Savalas, Asmuni, Basuki, Alda Risma, Chrisye, Gito Rollies: siapa
yang tidak kenal mereka? Tiga nama pertama merupakan komedian papan
atas Indonesia. Tiga nama berikutnya adalah artis/penyanyi yang cukup
dikenal oleh masyarakat Indonesia. Semuanya telah meninggal dunia pada
2007-2008. Masyarakat Indonesia pun berduka. Semua informasi tentang
meninggalnya tokoh terkenal seperti artis dan pejabat pemerintah rata-
rata diketahui masyarakat Indonesia dari media massa.
Media massa menginformasikan seluk-beluk meninggalnya para artis
tersebut, mulai dari penyebab meninggal, detik-detik terakhir, duka yang
ditinggalkan, hingga prosesi pemakamannya. Semuanya dideskripsikan
secara detil. Tak hanya itu, dia awal 2004, TV7 (sekarang Trans7), bahkan
pernah menyiarkan secara langsung detik-detik terakhir kehidupan artis
muda Sukma Ayu, yang koma hampir setahun penuh pasca operasi yang
dilakukan oleh tim dokter rumah sakit MMC Jakarta.
Perhatian media massa terhadap peristiwa kematian tidak hanya
berhenti sampai di sini. Saat meninggalnya mantan Presiden Soeharto pada
akhir Januari 2008, perhatian media pada peristiwa kematian menjadi lebih
besar lagi. Semua media, baik cetak maupun elektronik, memberitakan
peristiwa langka ini. Dua hari berturut-turut headline media cetak
memberitakan kematian mantan penguasa era Orde Baru ini. Semua
saluran televisi juga memberitakan secara langsung hal yang sama. Semua
media berfokus pada pemberitaan mengenai wafat dan prosesi
pemakamannya. Hingga berita tentang naiknya harga minyak goreng dan
kacang kedelai yang meresahkan para pengrajin tahu dan tempe pun
sempat terpinggirkan. Hal ini memicu kontroversi. Beberapa elemen
masyarakat memprotes siaran langsung ini dengan dalih bahwa para
pengelola stasiun televisi swasta tersebut dituding melakukan blocking
time siaran yang kemudian meniadakan siaran yang lain sebagai alternatif
tontonan masyarakat.
11
Quo Vadis Televisi?
12
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
dituntut untuk sekreatif mungkin memformat suatu acara agar laku jual
di mata pengiklan.
Di sinilah bertemunya realitas ini dengan term komodifikasi yang
diperkenalkan oleh Vincent Mosco dalam bukunya The Political Economy
of Communication, Rethinking and Renewal. Secara ringkas komodifikasi
merupakan cara kapitalisme dalam mencapai tujuannya untuk
mengakumulasikan kapital atau merealisasikan nilai melalui transformasi
dari penggunaan nilai-nilai ke dalam sistem pertukaran (Mosco, 1996).
Artinya, jika ini terjadi dalam industri televisi adalah bagaimana cara
yang dilakukan oleh para pekerja media untuk mengubah realitas sosial
menjadi realitas media yang laku jual. Proses mengubah nilai pakai
menjadi nilai tukar atau proses perubahan produk dari yang nilainya
ditentukan oleh kapasitasnya untuk memenuhi kebutuhan individu atau
kelompok menjadi produk yang nilainya ditentukan oleh apa yang dapat
dibawa produk itu ke pasar. Dalam fenomena ini, peristiwa kematian
mengalami proses komodifikasi ketika bersentuhan dengan industri
media. Pengelola media melakukan upaya sedemikian rupa untuk
mengemas sebuah peristiwa kematian untuk kemudian menjadi sebuah
produk berita dan tontonan yang mampu menarik perhatian audiens.
Semakin besar perhatian audiens, semakin besar pula kemungkinan
produk ini meraih iklan. Dari sisi etis, inilah permasalahannya. Apakah
pantas peristiwa kematian yang jelas merupakan peristiwa duka cita ini
kemudian mengalami proses komodifikasi sedemikian rupa untuk meraih
audiens dan dijual kepada para pengiklan untuk kemudian mendatangkan
profit yang tinggi?2
Penelitian tentang komodifikasi sendiri pernah dilakukan oleh Diah
Kurniati, dengan judul Komodifikasi Privasi di Ruang Publik, Analisis Wacana
Kritis terhadap Acara Harap-Harap Cemas (H2C) di SCTV. Dalam penelitian
skripsi tersebut dinyatakan bahwa proses produksi tayangan reality show
oleh rumah produksi (REC Production) ini ternyata masih sangat
dipengaruhi oleh kepentingan untuk mendatangkan profit. Ini terwujud
dalam bentuk adanya intervensi pada praktek produksi yang dilakukan
oleh SCTV agar tayangan reality show ini lebih mampu menyesuaikan
dengan selera pasar. Padahal tayangan ini jelas-jelas melanggar privasi
para pelakunya. Artinya, ditinjau secara etis komunikasi, acara ini
melanggar norma-norma etika (Kurniati dalam Jurnal Thesis, 2006; 151).
Sedangkan penelitian tentang kematian, dalam hal ini iklan kematian
di surat kabar, pernah dilakukan oleh Iwan Awalludin Yusuf dalam
13
Quo Vadis Televisi?
14
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
15
Quo Vadis Televisi?
16
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
17
Quo Vadis Televisi?
18
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
19
Quo Vadis Televisi?
perpindahan dari gambar yang satu ke gambar yang lain dalam waktu
singkat. Teknik perpindahan gambarnya pun bervariasi, ada cut to cut
dan ada pula yang dissolve. Perpindahan gambar yang cepat ini disertai
dengan teknik perpindahan gambar yang bervariasi memberikan kesan
dinamis pada peristiwa. Sesuatu yang dinamis biasanya berkait dengan
hal yang menyenangkan dan menggembirakan. Tentu ini bertolak
belakang dengan peristiwa kematian itu sendiri. Kematian tentu tidak
Gambar dan
No Time Code Narasi Perpindahan Gambar
2. 01.10
3. 01.11
4. 01.13 Jika...
20
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
Gambar dan
No Time Code Narasi Perpindahan Gambar
21
Quo Vadis Televisi?
22
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
d. Penumpukan gambar
Selain mengemas bumper in dan melakukan teknik perindahan gambar
yang cepat, dramatisasi adegan juga diberikan dengan cara melakukan
penumpukan gambar. Penumpukan gambar yang dimaksud adalah
menggabungkan dua buah gambar yang berbeda menjadi satu dengan
teknik editing tertentu. Teknik editing tertentu yang dimaksud adalah
dengan cara seolah-olah akan melakukan perpindahan gambar dengan
teknik dissolve, namun hasilnya adalah dua gambar berbeda menumpuk
menjadi satu.
23
Quo Vadis Televisi?
Dari runtutan gambar di atas, terdapat dua kali gambar yang dengan
sengaja ditumpuk. Keduanya adalah gambar Sophan Sophiaan dan
Widyawati pada menit ke 03.28 dan 03.31. Entah kebetulan atau tidak,
penggabungan atau penumpukan dua gambar tersebut terasa mulus.
Dalam arti, gambar Sophan Sophiaan yang ditumpukkan ke gambar
Widyawati terlihat proporsional. Tidak terlihat salah satu obyek lebih besar
atau lebih kecil dari yang lain. Sehingga mengesankan antara Sophan
Sophiaan dan Widyawati terasa berimbang. Penumpukan gambar yang
proporsional ini tentu memunculkan impresi tertentu. Impresi ini dapat
bermakna macam-macam. Pertama, pekerja media ingin mengesankan
hubungan yang tidak saling mendominasi antara Sophan Sophiaan dan
Widyawati. Kedua, impresi tersebut seakan ingin menyatakan bahwa
antara Sophan Sophiaan dengan Widyawati itu ibarat dua sisi mata uang,
dua sisi yang sebenarnya adalah satu jiwa. Impresi ini terasa pas dengan
penguatan yang diperoleh dari penggabungan atau penumpuan dua
gambar dari masing-masing individu yang berbeda tersebut.
e. Penggunaan Diksi dan Majas
Unsur dramatisasi lain yang diberikan oleh acara Insert Investigasi
adalah dengan menggunakan diksi yang menarik untuk mengantarkan
cerita. Harus diakui sebagai salah satu acara infotainment dari sekian
24
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
25
Quo Vadis Televisi?
“Jika hidup adalah sebuah film, Sophan Sophiaan adalah lakon melodrama
terbaik. Selama delapan windu perjalanan nafasnya, Sophan Sophiaan
adalah aktor terbaik. Pria Makassar itu sempurna memerankan dua dunia
terpisah yang musti dimainkannya. Dia merupakan seniman produktif
dan politisi yang bersih anti korupsi dan feodalisme. Di sisi lain, Sophan
juga seorang suami terbaik, setia dengan perkawinannya. Almarhum
adalah potret sebuah totalitas. Di saat banyak artis beramai-ramai
mencalonkan diri untuk duduk di Senayan, Sophan Sophiaan malah memilih
hengkang. Dia tak tergiur jabatan gubernur, walikota, bahkan bupati.
Sophan bahkan memutuskan mundur dari DPR-MPR setelah 10 tahun
menghuni Senayan. Saat selebritis ramai-ramai bercerai, Sophan justru
makin mesra bersama Widyawati. Sayang tragika berdarah di alas
Widodaren, Ngawi, Jawa Timur memungkas hidupnya, mencerabut seluruh
mimpinya yang ada. Namun semangatnya tak ikut terkubur bersama
jasadnya di tanah kusir. Seperti apa sosok Sophan di mata istri dan para
sahabatnya? Apa saja mimpi-mimpi besar sang aktor nasionalis yang
belum terwujudkan? Pemirsa inilah Insert Investigasi!” (Narator dalam
Insert Investigasi Trans TV, Senin 19 Mei 2008).
Diksi basah dalam kalimat: “Makam itu memang masih basah…” yang
diucapkan oleh presenter Deasy Novianti, tentu bermakna kiasan atau
konotatif. Basah dalam arti denotatif mensyaratkan adanya kadar air yang
tinggi pada suatu obyek. Tentu kata “basah” yang digunakan dalam
kalimat tersebut bukanlah bermakna bahwa makam Sophan Sophiaan
sedang tergenang air dalam volume yang besar. Namun lebih bermakna
bahwa makam tersebut masih baru digali dan digunakan untuk
memakamkan seseorang. Demikian pula dengan kata pusara dalam
kalimat: “Untaian bunga masih segar di pusara” merupakan kata lain yang
halus dan lembut untuk kata “makam”. Bisa jadi ini dimaksudkan untuk
mencegah perulangan kata yang sama dalam narasi yang diucapkan, agar
tidak membosankan telinga pendengar.
Penggunaan majas juga tampak dari narasi yang dituturkan oleh
presenter acara Insert Investigasi tersebut. Seperti dalam kalimat: “Kini
hanya doa yang mampu terangkai untuk cinta yang telah terbang jauh.”
Perhatikan anak kalimat cinta yang telah terbang jauh. Anak kalimat ini
tentu merupakan majas simbolik. Majas simbolik merupakan majas atau
gaya bahasa yang bertujuan untuk melukiskan sesuatu atau orang dengan
simbol atau lambing tertentu. Tentu yang dimaksud cinta yang telah terbang
26
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
27
Quo Vadis Televisi?
Akankah kekuatan itu masih tersisa meski ragamu sudah tak terlintas nyata
lagi ? Bersama saya Deasy Novianty, inilah Insert Investigasi …” (Presenter
dalam Insert Investigasi Trans TV, Minggu, 18 Mei 2008)
“Pemakaman Sophan Sophiaan berlangsung hikmat. Siang hari tadi,
akhirnya jenazah aktor sekaligus sutradara kawakan Sophan Sophiaan
dikebumikan. Almarhum dibaringkan di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan
berdampingan dengan pusara ayahanda, Manai Sophiaan. Ribuan pelayat
membanjir dari berbagai kalangan. Mulai dari pejabat, politisi, sampai
semua kolega di dunia seni Memang paruh terakhir dalam kehidupan
almarhum banyak dihabiskan di kancah politik nasional. Tetapi ternyata
Khalam berkehendak lain. Seluruh reputasi kebesaran Sophan Sophiaan
rupanya dicukupkan Sang Pencipta di usia 64 tahun. Sekali lagi bangsa ini
berduka. Seperti apa suasana detik-detik terakhir pemakaman jenazah
Sophan Sophaan. Apa firasat dan pesan kematian almarhum? Pemirsa
inilah Insert Investigasi.” (Narator dalam Insert Investigasi Trans TV,
Minggu, 18 Mei 2008)
Perhatikan penggunaan kata kepergian sang aktor legendaris pada kalimat
yang diucapkan oleh presenter Insert Investigasi, Deasy Novianti untuk
edisi Minggu, 18 Mei 2008. Kata kepergian tentu untuk menggantikan kata
meninggal dunia. Kemudian sosok Sophan Sophiaan yang diwakili kata
aktor legendaris masih diimbuhi kata sang. Kata sang biasanya diberikan
untuk orang-orang yang dipandang ahli. Karena dipandang sebagai orang
yang ahli, kedudukan orang ini biasanya akan mendapatkan posisi
istimewa di tengah masyarakat. Dengan demikian kata sang menunjukan
pula pengakuan masyarakat kepada si tokoh yang diberikan mbuhan kata
tersebut. Demikian pula dengan kata membanjir yang digunakan oleh
narator untuk menarasikan peristiwa pada acara yang sama. Kata
membanjir yang merupakan majas atau gaya bahasa ini, tentu ingin
mengaskan demikian banyaknya pelayat yang menghadiri upacara
pemakaman Sophan Sophiaan.
f. Ilustrasi musik dan lagu
Ilustrasi musik dan lagu juga merupakan salah satu cara melakukan
dramatisasi dalam acara Insert Investigasi di Trans TV. Dalam sebuah
tayangan program televisi ataupun film, alunan ilustrasi musik dan selipan
lagu tentu dimaksudkan untuk memperkuat impresi pesan yang
disampaikan oleh acara tersebut (Bordwell dan Thompson, 2008: 273).
Dalam teknik produksi, bagaimana suatu suasana hendak dibangun dalam
28
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
29
Quo Vadis Televisi?
30
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
31
Quo Vadis Televisi?
32
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
33
Quo Vadis Televisi?
34
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
35
Quo Vadis Televisi?
media untuk dapat merancang sedemikian rupa pesan teks media agar
dapat diminati audiens.
Inilah yang terjadi pada Insert Investigasi Trans TV: bagaima para pekerja
media berusaha mengemas sedemikian rupa teks media, dalam hal ini
kematian aktor dan mantan politisi senior Sophan Sophiaan. Bahkan harus
pula melakukan strategi tersendiri untuk mengaktualkan peristiwa
tersebut, misalnya dengan memberikan angle atau sudut pandang berbeda.
Ketika tema atau sudut pandang ini terasa sudah mulai tidak aktual setelah
beberapa hari, Insert Trans TV mendapatkan ’berkah’ dengan kematian
Ali Sadikin (tiga hari sesudah kematian Sophan Sophiaan). Proses
komodifikasi pun terus berlangsung, karena memang secara tidak sengaja
kedua tokoh yang meninggal juga memiliki relasi satu dengan yang
lainnya. Keuntungan usaha yang diperoleh pun terus mengalir.
Untuk menarik minat audiens, Trans TV dipaksa berpikir keras
mengenai format tampilan pesan teks media. Peristiwa kematian harus
dikemas sedemikian rupa hingga jauh dari kesan sedih dan duka. Ini
dilakukan tentunya untuk menarik perhatian perhatian audiens. Kemasan
yang ditampilkan kemudian adalah kemasan menghibur melalui teknik-
teknik produksi tertentu. Dalam kasus Insert Investigasi Trans TV, ini
dilakukan melalui teknik pengambilan gambar, teknik editing gambar
dan suara, serta ilustrasi musik. Selain itu juga dengan memberi tema
atau sudut pandang atau angle yang bervariasi. Dari sinilah kemudian
bisa dipahami bagaimana masalah etis dikesampingkan dalam peristiwa
kematian. Dalam arti peristiwa kematian yang seharusnya bukan
merupakan komoditi yang diperjualbelikan. Namun karena formatnya
sudah berubah dalam proses produksi media, justru menjadi hiburan bagi
audiens, yang kemudian menjadi sah apabila menjadi komoditi yang
diperjualbelikan.
Dari pemaparan analisis data di atas, membawa pada konsep terakhir
dalam penelitian ini, yakni necrocultura. Seperti dipaparkan di kerangka
teori, Necrocultura merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Fabio
Giovanni, memiliki pemahaman suatu kebudayaan di mana kematian
menjadi kecintaan. Kematian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang
mengerikan atau kesedihan yang teramat sangat. Namun dikemas
sedemikian rupa sehingga lebih merupakan perayaan daripada peristiwa
duka cita (Giovanni dalam Sudiardja, 2002; 193). Bila dilihat dari
pemaparan di atas, terlihat bagaimana persinggungan antara kepentingan
kapitalistik media mengubah wajah realitas kematian Sophan Sophiaan.
36
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
37
Quo Vadis Televisi?
Daftar Pustaka
Bharata, Bonaventura S. dan Dina Listiorini, 2007, Ekonomi Politik Bahasa Siaran
dan Pekerja Media di Jaringan Radio Anak Muda – Studi Deskriptif Kualitatif di
Radio Prambors, Yogyakarta, Riset Dosen Muda DIKTI
Bordwell, David and Kristin Thompson, 2008, Film Art, An Introduction, Eight
Edition, McGraw-Hill International,
Cremer, Charles F, Phillip O. Kirstead, Richard D. Yoakam, 1996, ENG Television
News, Third Edition, McGraw-Hill Companies
Fiske, John, 1990, Introduction to Communication Studies, London, Routledge
Itule, Bruce D. and Douglas A. Anderson, 2008, News Writing and Reporting for
Today’s Media, McGraw Hill International, New York.
Kurniati, Diah, 2006, Komodifikasi Privasi di Ruang Publik, Jurnal Penelitian Ilmu
Komunikasi Thesis V/1 Januari-April, Depok, Departemen Komunikasi FISIP-
UI
Mosco, Vincent, 1996, The Political Economy of Communication: Rethinking and
Renewal. California: Sage Publication
Mulyana, Deddy dan Solatun, 2007, Metode Penelitian Komunikasi, Contoh-Contoh
Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis, Bandung, Penerbit Rosda
Nugroho, Bimo, dkk, 1999, Politik Media Mengemas Berita, Jakarta, ISAI
Rogers, Everett M., 1994, A History of Communication Study: A Biographical Approach,
New York, The Free Press
Suara Pembaruan, 06/02/2008, “Pak Harto Dongkrak Rating” diakses dari http://
indonesiatvguide.blogspot.com/2008/02/pak-harto-dongkrak-rating.html
Sudiardja, A, 2002, Dan Kematian pun Semakin Akrab, Jurnal Ilmu Humaniora Baru
Retorik I/3, November, Yogyakarta, Ilmu Religi dan Budaya USD
Sumadiria, AS Haris, 2006, Bahasa Jurnalistik, Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis,
Simbiosa Rekatama Media, Bandung
Yusuf, Iwan Awaluddin, 2005, Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas,
Representasi Etnik Tionghoa dalam Iklan Duka Cita di SKH Suara Merdeka –
Semarang, Yogyakarta, UII Press
Catatan:
1 Berdasarkan data harian hasil survei elektronik kepemirsaan televisi AGB
Nielsen Media Research yang diterima SP, baru-baru ini, jumlah pemirsa di
Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta, yang menonton tayangan berita
wafatnya Soeharto pada hari Minggu mencapai 5.504.000 pemirsa. Jumlah
tersebut meningkat 1,4 persen dibandingkan hari sebelumnya (Sabtu, 26/1)
yang mencapai 5.005.000 orang, atau mencapai 15,3 persen dari total populasi
38
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
individu yang memiliki televisi di empat kota tersebut dan berusia di atas 5
tahun yang berjumlah 36.008.962 orang. Sementara tayangan pemakaman
Soeharto pada hari Senin ditonton oleh 5.935.000 pemirsa atau meningkat
hingga 16,5 persen dari total populasi di keempat kota tersebut. (dalam http:/
/indonesiatvguide.blogspot.com/2008/02/pak-harto-dongkrak-rating.html)
2 Sejenak mungkin perlu pula kita bercermin pada peristiwa serupa yang dialami
oleh Putri Diana (Lady Diana) dari Inggris pada saat kematiannya di akhir Juli
1997 lalu akibat kecelakaan di sebuah terowongan terkenal (Pont d’Alma) di
kota Paris - Perancis. Televisi BBC memperkenankan stasiun televisi lain di
seantero dunia untuk ikut menyiarkan siaran langsung prosesi pemakamannya,
namun BBC melarang keras stasiun-stasiun TV tersebut menyelipkan iklan
dalam tayangan tersebut. Alasan etis merupakan landasan argumentasi BBC
untuk pelarangan penyelipan iklan pada tayangan tersebut. Padahal acara
tersebut diyakini ditonton tidak kurang dari satu milyar penduduk dunia.
Sebuah angka fantastis yang pasti menggiurkan untuk para pemasang iklan
di industri televisi.
3 Tak pernah terbayangkan sebelumnya bila tanah pemakaman kemudian
mampu berfungsi pula sebagai taman bermain dan belajar anak-anak. Menjadi
jamak pada masa sekarang, anggota masyarakat justru mengikuti program
asuransi kematian sebagai sebuah persiapan. Dan tidak menjadi aneh apabila
upacara kematian yang digelar oleh beberapa suku tertentu justru memakan
biaya yang lebih besar daripada menyelenggarakan upacara pernikahan.
Peluang-peluang ini yang kemudian ditangkap oleh beberapa orang sebagai
sebuah bisnis yang menjanjikan.
39
Kekerasan dalam Tayangan Realigi
Trans TV
Ery Kurnia Putri
Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
40
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV
41
Quo Vadis Televisi?
42
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV
No. Hari dan Tanggal Episode Durasi Tayangan Durasi Iklan Total Durasi Acara
1. Senin, 31/08/2009 40:27 24:27 01:04:54
(2.427 detik) (1.467 detik) (3.894 detik)
2. Rabu, 02/09/ 2009 40:23 17:50 58: 13
(2.423 detik) (1.070 detik) (3.493 detik)
3. Senin, 07/09/2009 40:00 23:47 01:03:47
(2.400 detik) (1.427 detik) (3.827 detik)
4. Senin, 14/09/2009 36:51 18:46 55:37
(2.211 detik) (1.126 detik) (3.337 detik)
5. Rabu, 16/09/2009 38:58 14:09 53:07
(2.338 detik) (849 detik) (3.187 detik)
Total Durasi 03:16:39 01:38:59 04:55:38
(11.799 detik) (5.939 detik) (17.738 detik)
Dalam tayangan Realigi tersebut terdapat porsi iklan yang cukup tinggi,
terutama pada episode 31/08/2009, dengan durasi 1.467 detik (24 menit,
27 detik). Sementara total durasi acara yang paling tinggi juga pada episode
31/08/2009, yakni 3.894 detik (1 jam, 4 menit, 54 detik). Rata-rata durasi
tayangan (tanpa iklan) pada tiap episode yaitu 2.360 detik (39 menit, 20
detik). Jumlah durasi iklan yang paling rendah pada episode 16/09/2009,
yakni hanya 849 detik (14 menit, 9 detik), dengan total durasi acara
terendah yakni 3.187 detik (53 menit, 7 detik).
Durasi kekerasan pada tayangan Realigi:
No. Episode Durasi Kekerasan %
1. 31/08/2009 432 detik (7 menit 12 detik) 17,80
2. 02/09/2009 447 detik (7 menit 27 detik) 18,44
3. 07/09/2009 446 detik (7 menit 46 detik) 19,42
4. 14/09/2009 766 detik (12 menit 46 detik) 34,64
5. 16/09/2009 479 detik (7 menit 59 detik) 20,49
43
Quo Vadis Televisi?
44
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV
5%
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa aaa Kekerasan Fisik
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaa aaa
aaaaaaaaaaaaaaa
23% aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa aaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaaa Kekerasan Verbal
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa26%
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa Kekerasan Simbolik
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaKekerasan Fisik & Verbal
2% aaaaaaaaaaa
aaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa aa
aaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa aa
aaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa aa Kekerasan Verbal & Simbolik
aaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa aa
aaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa aa Kekerasan Fisik & Simbolik
aaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa 4%
aaaaaaaaaaaaaaaaa aaa
aaaaaa6%
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
34%
aaa Kekerasan Fisiko, Verbal
aaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa & Simbolik
45
Quo Vadis Televisi?
46
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV
47
Quo Vadis Televisi?
Pada episode 07/09/2009, kita melihat Mario sebagai suami yang tidak
bertanggung jawab. Sejak menikah ia tidak pernah memberi nafkah pada
Nadya. Sebaliknya justru Nadya yang membiayai kehidupan Mario yang
hanya digunakan untuk bersenang-senang dengan perempuan lain.
Selain kekerasan ekonomi, ada lagi kekerasan seksual. Kekerasan
seksual tidak hanya dipahami sebagai kekerasan seperti: pemerkosaan,
dicium paksa, digerayangi paksa, namun segala bentuk pelecehan yang
berkaitan dengan seksual merupakan kekerasan seksual. Pemakaian kata
‘pakai’ pada episode Suami Selingkuh (07/09/2009), teks tersebut
menyamakan perempuan dengan barang yang bisa dipakai. ‘Dipakai’,
memiliki arti tidur bersama (hubungan suami-istri). Kata-kata ‘pakai’
biasa digunakan pada barang yakni menggunakan suatu barang. Perem-
puan dengan kata ‘pakai’ seolah dianggap barang atau makhluk yang
rendah yang bisa ‘dipakai’ siapa saja, kapan saja, dan bisa dibuang apabila
sudah tidak dapat dipakai lagi, layaknya barang yang sudah usang.
Pada episode ini juga ditampilkan adegan mesra dan ciuman (di-blur)
yang dilakukan Mario dengan beberapa wanita, mengesankan bahwa laki-
laki seolah dibenarkan untuk berselingkuh dengan perempuan lain.
Kekerasan seksual di sini, perempuan seolah bebas dan gampang untuk
dicium, dirangkul sekalipun oleh laki-laki yang telah bersuami.
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaa
aaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaa Psikologis
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
65% aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
35%
aa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aa Fisik & Psikologis
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
49
Quo Vadis Televisi?
1 2 3 4
5 6 7 8
Gambar 7: Cuplikan adegan-adegan yang menunjukkan adanya akibat psikologis
dari tindakan kekerasan dalam tayangan Realigi
50
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV
Ibunya dengan sahabat almarhum ayahnya. (8) Ibu Nia sedih akibat
perlakuan menantunya yang tidak menghargainya.
Proporsi akibat tindakan kekerasan pada kelima episode tayangan
Realigi tersebut didominasi akibat psikologis. Akibat psikologis lebih
banyak terjadi dibandingkan akibat fisik yang diterima. Hal tersebut
dapat dilihat dari ekspresi wajah seseorang yang mengalami kekerasan,
yakni adanya perasaan tertekan dan sedih.
Realigi: Antara Kenyataan dan Rekayasa
Seperti hal-nya Termehek-Mehek, Realigi pun pada akhirnya menyebut
‘dirinya’ sebagai drama reality, karena adanya unsur dramatisasi dan
rekayasa. Peneliti menemukan temuan yang cukup menarik selama
mengamati beberapa program drama reality di Trans TV. Misal saja ada
salah satu peran dalam Termehek-Mehek yang pernah muncul di acara
reality show ‘Ahmad Dhani Mencari Istri’ di SCTV. Kemudian peneliti secara
tidak sengaja menemukan pemain Realigi, yakni Ibu Ina (Realigi episode
14/09/2009) juga muncul di reality show Orang Ketiga di Trans TV. Jika
dalam Realigi Ibu Ina berperan sebagai orang tua tunggal yang mengalami
kesulitan ekonomi sejak suaminya meninggal dan hanya memiliki seorang
anak yaitu Naya, dalam Orang Ketiga Ibu Ina berperan sebagai seorang
ibu yang kaya dan hendak mengikuti putrinya yang bermasalah. Putri
Ibu Ina dalam Orang Ketiga bukanlah Naya.
Dari temuan tersebut dapat kita lihat bahwa acara Realigi sebagai salah
satu program drama reality unggulan Trans TV sama hal-nya dengan
Termehek-mehek memang tidak murni kenyataan. Pihak Trans TV di harian
Surya (12/06/2009) menyatakan, drama reality Termehek-Mehek yang direka-
yasa. Acara semacam ini bisa diangkat berdasarkan pada kisah nyata
namun dihadirkan kembali dengan unsur dramatisasi agar menarik.
Hal yang perlu disikapi, ketika tayangan semacam itu hadir dan
disaksikan oleh orang awam, maka tayangan tersebut akan dianggap
sebagai suatu kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi. Kasus-kasus
yang dibumbui kekerasan ditampilkan cukup sering dan ditayangkan
cukup intensif (dua kali dalam seminggu) seolah menggambarkan bahwa
hal itu banyak terjadi di masyarakat kita dan dapat diterima sebagai
suatu kewajaran, padahal bisa saja kasus itu hanya terjadi di sebagian
kecil masyarakat kita.
51
Quo Vadis Televisi?
Kesimpulan
Kekerasan sangat terasa ada pada kelima episode Realigi (episode 31/
08/2009 hingga 16/09/2009). Kekerasan yang ditampilkan meliputi:
kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan kekerasan simbolik (kekerasan
agama dan kekerasan terhadap perempuan). Secara keseluruhan,
terdapat rata-rata tampilan adegan kekerasan sebesar 23 persen dari total
durasi acara (tanpa iklan). Jika dilihat dari durasi adegan kekerasan pada
kelima tayangan Realigi tersebut secara keseluruhan, rata-rata kombinasi
kekerasan verbal dan simbolik menempati urutan paling tinggi yakni
sebesar 34 persen. Konflik adu mulut memang lebih sering terjadi
daripada kekerasan fisik seperti penyerangan dan pemukulan.
Tayangan drama reality ini bukan film perang yang penuh dengan
adegan action. Meski demikian, tayangan ini tetaplah mengandung unsur
kekerasan yang seolah nyata dan sungguh-sungguh terjadi, terlebih lagi
dengan adanya bentuk kekerasan simbolik. Lain hal dengan pemirsa yang
menonton film kekerasan secara sadar dan paham bahwa itu hanyalah
merupakan akting serta cerita fiksi semata.
Dengan embel-embel: “Tayangan drama reality ini telah mendapatkan
persetujuan dari berbagai pihak yang terlibat”, justru mengesankan
bahwa acara tersebut memang nyata, padahal mungkin saja tidak.
Berbagai adegan penuh konflik seperti adu mulut, pengintaian, dan
kekerasan fisik bukanlah sebuah tayangan yang memiliki nilai edukasi
khususnya bagi anak-anak mengingat acara ini masih ditayangkan pada
prime time.
Daftar Pustaka
Bourdieu, Pierre. 1995. Outline of A Theory of Practice. Cambridge University Press,
Cambridge.
Jamil, Salmi. 2003. Kekerasan dan Kapitalisme. Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3. 2001. Balai Pustaka, Jakarta.
Krippendorff, Klauss. 1991. Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi. Rajawali
Press, Bandung.
Moi, Toril, 2000. Apropriating Bourdieu: Feminist Theory and Pierre Bourdieu’s Sociology
of Culture, dalam Pierre Bourdieu, vol. IV. Sage Publications Ltd, London.
Muhadjir, Noeng. 1992. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake Sarasin, Yogyakarta.
Mulyana, Deddy. 1997. Bercinta dengan Televisi. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Panjaitan, Erica L & TM. Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Potter, W. James. 1999. On Media Violence. Sage Publications, Inc, USA.
52
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV
Putranto, Agus. 2004. Analisis Isi Suatu Pengantar dalam Praktek, dalam Metode
Penelitian Komunikasi. Ed, Birowo, Antonius. Gitanyali, Yogyakarta.
Santoso, Thomas. 2002. Teori – teori Kekerasan. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framming. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
Subono, Nur Iman. 2000. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Yayasan Jurnal
Perempuan dan The Asia Foundation.
Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. PT.Kompas Media Nusantara,
Jakarta.
Windhu, I. Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Kanisius,
Yogyakarta.
Putranti, Basilica Dyah. 2007. Kekerasan Simbolik Suami Terhadap Istri Dalam
Perspektif Budaya Jawa: Studi di Kampung Urban Yogyakarta. http://
www.ppk.lipi.go.id/file/buletin/Artikel%204%20Basilica%20Dyah%20
Putranti.doc. Diakses pada 11 Januari 2010.
Jahroni, Jajang. 2006. Tekstualisme, Islamisme, dan Kekerasan Agama. http://
islamlib.com/id/artikel/tekstualisme-islamisme-dan-kekerasan-agama. Diakses
peneliti pada 26 April 2010.
Atmojo, Juwono Tri. Modul Analisis Isi (Content Analysis), Universitas Mercubuana
Jakarta.
http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/94010-
8296719548286.pdf. Diakses peneliti pada 3 Maret 2010.
Harun, Kristiawan. 2007. Kekerasan Simbolik di Sekolah. http://
kristiawanharun.multiply.com/journal/item/2. Diakses peneliti pada 11 Januari
2010.
Hutabarat, Rainy MP. 2008. Tentang Kekerasan Simbolik. http://
yakomapgi.wordpress.com/2008/01/07/tentang-kekerasan-simbolik/. Diakses
11 Januari 2010.
Termehek-mehek Bohongi Pemirsa. Jumat, 12 Juni 2009. http://www.surya.co.id/2009/
06/12/termehek-mehek-bohongi-pemirsa.html
53
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif
Mitos Ketampanan
Desideria Cempaka Wijaya Murti, Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya
Yogyakarta dan Meredian Alam, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Oslo, Norwegia
54
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan
yang disebut sebagai siaran saluran umum, mulailah media televisi swasta
yang masuk dalam industri televisi (Budi, 2004). Variasi program yang
dihadirkan oleh televisi telah membuat masyarakat selangkah dua langkah
melupakan wayang dan kategorisasi wayang dalam gambaran
ketampanannya. Tetapi masyarakat, dalam hal ini obyek positioning dari
penggambaran ketampanan itu tetap ada. Media televisi yang berperan
sebagai media massa juga menyuguhkan gambaran mengenai apa dan
bagaimana sebenarnya tampan itu.
Ajang di televisi swasta yang menayangkan mengenai kompetisi pria-
pria tampan dan berotot yang diprakarsai dan disponsori oleh merek susu
pembentuk tubuh terkenal L-Men, memberikan visualisasi mengenai
kategori ketampanan ini. Berbeda dengan wayang, kontes ajang pria ini,
dalam hal ini disebut Handsome Pageant or Muscle Pageant menggambarkan
proses perlombaan yang sudah memasuki babak final. Para penonton
divisualisasikan proses seleksi yang cukup ketat dalam pemilihan Pria L-
Men. Dari 2.500 peserta di 10 kota yang diaudisi, pada akhirnya hanya
ada 12 grand finalist pria L-Men. Finalis ini akan dipilih satu yang menjadi
L-Men of The Year, dan bertanding di Mr. International yang akan
diselenggarakan di Indonesia tahun 2010 ini. Tidak ada satu pun pria yang
masuk ke babak final ini bertubuh kurus, kerempeng, atau sebaliknya
bertubuh gemuk dan berperut buncit.
Pemirsa televisi disuguhi pria-pria yang masuk final sebagai pria
tampan, berkulit mulus agak kecoklatan, maupun jenis kulit putih yang
mendominasi finalis L-Men. Pria-pria ini memiliki postur tubuh tegap,
berperut six-packs atau berkotak-kotak berjumlah enam, dan badannya
mengeluarkan otot-otot yang membentuk badannya sedemikian rupa,
dalam bahasa Jawa digunakan istilah pothok, atau muscle man dalam istilah
Bahasa Inggris. Jenis postur tubuh ini mengisyaratkan ketampanan
seorang pria yang dilihat dari kegagahannya dan kekesatriaannya. Tubuh
berotot yang berasal dari latihan keras di fitnes center atau gym diharapkan
nantinya dapat menghasilkan pria yang tampak kuat dan mampu
melindungi wanita.
Jika melihat postur tubuh ini, penonton mungkin akan cenderung
membayangkan Superman (Super Hero dari Amerika) dari pada Arjuna.
Agaknya jika dibayangkan lebih jauh, mungkin Janaka atau Arjuna akan
sulit untuk masuk babak final di ajang ini mengingat tubuhnya yang
kerempeng dan perutnya yang tipis dan one pack, meskipun pada era
keemasannya Arjuna disebut-sebut mampu memikat banyak wanita,
55
Quo Vadis Televisi?
56
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan
57
Quo Vadis Televisi?
58
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan
59
Quo Vadis Televisi?
tubuh ini selalu menampilkan pria dengan bentuk tubuh six packs dan
selalu diperlihatkan bagaimana para wanita menatap dengan terpukau
pada badan si pria.
Sebagai bentuk aktivitas yang mendukung iklan tersebut
dilaksanakanlah suatu kompetisi ketampanan pria yang standarnya sesuai
dengan keinginan produk tersebut. Philip Kotler dan Gary Armstrong
(1984: 635) menyebutkan bahwa dalam aktivitas Marketing Communication,
aktivitas yang mendukung antara lain advertising atau iklan, personal selling,
sales promotion, publisitas dan public relations. Tayangan kontes ketampanan
dan kegagahan ini masuk dalam aktivitas marketing communication.
Industri yang menginginkan pembentukan konstruksi ketampanan ini
menjadi semakin mengakar dibenak prospek, salah satunya adalah dengan
proses komunikasi dan signifikansi sehingga harapannya adalah
konstruksi ketampanan ini akan menjadi (bahkan) budaya dalam
masyarakat Indonesia, yang dulunya konstruksi ketampanan itu seperti
Arjuna yang kerempeng dan berperut tipis. Wahyu Wibowo (2003: 125)
menyebutkan bahwa selain strategi 4P yang disebutkan oleh Phillip Kotler
yakni Product (Produk), Price (Harga), Place (Kiat mengenai penenmpatan
dan distribusi produk), dan Promotion (atau kiat bagaimana produk itu
dipasarkan pada masyarakat luas, ada lagi satu strategi yakni Power atau
kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan produsen untuk
“memaksakan” penayangan iklannya, semua ini amat berkaitan dengan
money atau seberapa besar modal yang dimiliki produsen untuk
membentuk konstruksi masyarakat mengenai standar ketampanan
sehingga akhirnya membeli produknya agar dapat sesuai dengan
idealisme ketampanan yang dimaksud oleh produsen.
Power dan 4P lainnya pada akhirnya ingin membentuk persepsi sesuai
keinginan produsen. Persepsi berasal dari kata percipere yang berarti menerima,
perseption, pengumpulan, penerimaan, pandangan (Komarudin, 2000:91). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 863) kata persepsi memiliki dua pengertian
yaitu tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan proses seseorang
mengetahui beberapa hal melalui pancainderanya. Sementara menurut Rahmat
(1998: 51) persepsi adalah pengamatan tentang objek peristiwa atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan. Persepsi juga memberikan makna pada stimuli inderawi. Melalui beberapa
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi sangat ditentukan oleh
faktor personal dan faktor situasional (Rahmat, 2004: 51 ). Sedangkan Krch dan
Crutchfield (1977: 235) menyebutkan perpsepsi sangat dipengaruhi oleh faktor
60
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan
61
Quo Vadis Televisi?
62
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan
63
Quo Vadis Televisi?
64
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan
Inner directed
Cognitive, Aestetic
Outer directed
Esteem, Achievement
In To k
te
Sustenance driven
gr
at
Security, belonging
io
n
n ow
an
es ion
d
,u
tic
t
tra tan
iza
nd
te
ns
al
er
Ac
tu
ce
Re
s
em
,a
rs
Ac
nd
hi
co
he
ve
te
ev
d,
en ore,
lf
es
Lo
iti
gn
Ot
Se
em
ex
ce
gn
ve,
lf
itio
m
pl
Se
en
Co
of
gin
fro
n,
acc
al
lon
Ap
ln
m
Air
be
ep
tee
ee
p
Food
Be
au
ro
tan
ds
Es Water
ty
va
ce
Sex
l
Source: Adopted from Maslow, 1970; Cultural Dinamics Ltd.
65
Quo Vadis Televisi?
66
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan
67
Quo Vadis Televisi?
68
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan
Daftar Pustaka
Budi, Setio. 2004. Industri Televisi Swasta Indonesia dalam Persepektif Ekonomi Politik-
Jurnal Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Prodi Komunikasi UAJY
Cerulo, Karen A. 1997. “Identity Construction: New Issues, New Direction”. Annual
Review of Sociology, Vol. 23, pp. 385-409.
Segal, Lynne. 1993. “Changing Men: Masculinities in Context”. Theory and Society,
ol. 22, No. 5, Special Issues: Masculinities (Oct., 1993), pp. 625-641.
Zukin, Sharon & Maguire, Jennifer S. 2004. “Consumer and Consumption”. Annual
Review of Sociology, Vol. 30 (2004), pp. 173-197.
LOTY 2010, http://www.l-men.com/category/loty/gran-finalis-loty/loty-2010-gran-
finalis-loty-loty, 31 Juli 2010
Hermawan, Anang. 2008. Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland
Barthes,
http://www.averroes.or.id/thought/mitos-dan-bahasa-media-mengenal-semiotika-
roland-barthes.html, diakses pada tanggal 31 Juli 2010
Sumaryono. 2009. Teori Mitologi, http://gampingnews-support.socialgo.com/
magazine/read/teori-mitos_14.html diakses pada tanggal 31 juli 2010
Values Framework, http://www.evsconsulting.co.uk/valuesFramework.htm
diakses pada tanggal 2 Agustus 2010, pukul 15.20.30
Bouvee, Coutland dan Arens, William. 1986. Comtemporary Advertising. New York:
Irwin Mc Graw-Hill
Burr, Vivien (1995). An Introduction to Social Constructionism. London: Routledge
Griffin. 2003. First Look at Communication Theory. New York: Mc Graw Hill
Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita
Kasiyan. 2008. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan. Yogyakarta,
Ombak
Kotler, Philip dan Armstrong, Gary. 1984. Principles of Marketing. New Jersey:
Prentice-Hall Inc
Liang Gie. 1977. Suatu Konsepsi ke Arah Pengertian Bidang Filsafat. Yogyakarta: Karya
Kencana
Magnis-Suseno, Franz. 2000. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Nugorho, Garin. 1995. Kekuasaan dan Hiburan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Utami, Ayu. 2008. Bilangan Fu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Wibowo, Wahyu. 2003. Sihir Iklan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
69
Sinetron Remaja
Sebagai Ruang Sempit Identifikasi
Yahya Zakaria
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman
70
Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi
71
Quo Vadis Televisi?
72
Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi
73
Quo Vadis Televisi?
74
Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi
75
Quo Vadis Televisi?
hal yang tetap dan kekal, melainkan selalu berubah seiring bertumbuhnya
usia dan berubahnya lingkungan sekitar. Struktur akan selalu
mengkonstruksi identitas tiap individu dan hal ini berlaku pula dalam
proses penerimaan identitas dari nilai-nilai yang direpresentasikan oleh
sinetron remaja.
Amin Maalouf (2004: 23) menambahkan, identitas tidaklah terberi
sekali untuk selamanya: ia dibangun. Sebagai sebuah bangunan, identitas
mampu dihancurkan atau dikuatkan, hal yang sama juga berlaku dalam
konteks remaja, dimana identitas remaja merupakan sebuah bangunan
yang mampu hancur dan dibentuk. Proses pembangunan identitas
tersebut berjalan melalui proses yang disebut sebagai identifikasi.
Identifikasi merupakan proses seorang individu ketika melakukan
pendefinisian identitas dengan cara membandingkan dengan identitas
lainnya. Dalam proses pendefinisian tersebut, seseorang akan melakukan
proses peniruan, penolakan dan penggabungan identitas, hingga
seseorang puas akan identitasnya. Dalam kegiatan seorang remaja
menonton sinetron remaja, representasi nilai-nilai akan ditangkap dan
diinternalisasi oleh si remaja, lantas, proses identifikasi berjalan, yakni si
remaja akan membandingkan identitasnya hari ini dengan identitas yang
direpresentasikan di dalam sinetron remaja. Proses tersebut terus berjalan,
dan tanpa disadari secara perlahan, identitasnya akan bergeser menuju
identitas sebagaimana yang telah direpresentasikan oleh sinetron remaja.
Secara psikologis, remaja merupakan fase dimana identitas diri sedang
mengalami pencarian bentuknya. Proses pencarian tersebut berlangsung
hingga fase remaja telah terlewati. Institusi sekolah, keluarga, media
massa, lingkungan bermain, hingga kebijakan pemerintah turut andil
memengaruhi pembentukan identitas remaja. Kecenderungan untuk
meninggalkan ikatan emosional dengan orang tua sangat kuat. Nilai-nilai
yang ditanamkan oleh orang tua akan ditinggalkan dan mulai membuka
diri untuk menerima nilai-nilai baru, sebagai referensi baru dan
pembanding identitas. Pembentukan identitas pada fase remaja akan
menentukan kehidupan dalam fase berikutnya. Sehingga wajar jika remaja
merupakan fase yang labil sekaligus rentan dalam pembentukan identitas.
Dalam hal ini Singgih D. Gunarsa (2008, 210) menambahkan, remaja pada
fase ini sedang merenggangkan diri dari ikatan emosional dengan orang
tuanya. Mereka sedang membongkar landasan hidup yang sudah
diletakkan orang tuanya sepanjang masa anak... pada masa ini remaja
harus menemukan identitas diri.
76
Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi
77
Quo Vadis Televisi?
78
Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi
79
Quo Vadis Televisi?
seems that one has a psychosocial need to identify with ‘the other’ in order to
recognize one self as existing.” (Matheron and Corpet,ed., 2006: 284).
Dalam pandangan Althusser, kontrol yang dilakukan oleh kelas
dominan akan berjalan di alam bawah sadar remaja, karena setiap remaja
membutuhkan identitas dan identitas tidak akan ada tanpa identitas
pembanding maupun tanpa pengakuan dari remaja-remaja lain. Dengan
kebutuhan akan pengakuan secara sosial maka kontrol pasti akan berjalan,
karena kontrol lahir dari penilaian satu identitas terhadap identitas lain.
Lebih jauh, kontrol mampu mewujud dalam beragam bentuk; rasa malu,
minder, dijauhi, dimusuhi, dan sebagainya. Remaja pada akhirnya akan
takluk dihadapan kontrol yang berjalan dalam struktur sosial, karena
diteror oleh rasa malu atau minder jika tidak memiliki identitas sesuai
dengan nilai ‘baik’.
Sinetron remaja memang memberikan ruang sempit bagi para remaja
untuk melakukan identifikasi sebagai proses pembentukan identitasnya,
tidak ada keberagaman identitas dalam sinetron remaja, semua menjadi
seragam, menjadi pendukung struktur sosial yang menguntungkan kelas
dominan saat ini. Tak hanya itu, reproduksi sebuah identitas yang
dilakukan oleh sinetron remaja pada akhirya menciptakaan nilai “baik”
dan menjadi kontrol, agar remaja patuh, seragam, tidak melawan arus.
Masa Depan Sinetron Remaja
Sudah saatnya sinetron remaja melakukan perubahan dan menjalankan
fungsinya sebagai media pembelajaran remaja sekaligus menjadi media
identifikasi yang luas, beragam dan demokratis, karena dengan kondisi
seperti saat ini, remaja akan terus menjadi korban, terus kerdil dan
seragam. Remaja seharusnya memiliki banyak referensi identitas agar
mampu berkembang dan menjadi identitas yang dinamis serta kritis.
Dalam sistem sosial Indonesia, remaja menempati posisi startegis karena
perannya sebagai penerus tongkat kepemimpinan negeri ini, maka jika
keadaan seperti ini terus dibiarkan, remaja hanya akan terjebak menjadi
agen-agen kelas dominan untuk terus melakukan reproduksi kemapanan.
Production house, stasiun televisi dan produser sinetron remaja
seharusnya menjadikan moral sebagai orientasi, bukan hanya orientasi
materi, karena jika hanya materi yang dijadikan orientasi, hasilnya akan
selalu seperti ini, tragis. Moral dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang,
menjadi tanggung jawab. Dengan adanya perubahan orientasi diharapkan
sinetron remaja mampu berbenah, mampu menjadi ladang subur referensi
80
Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi
Daftar Pustaka
Althusser, Louis. 2006. Tentang Ideologi; Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural
Studies. Jalasutra, Yogyakarta.
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Jalasutra, Yogyakarta.
Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengatar Analisis Teks Media. LKIS, Yogyakarta.
Gunarsa, Singgih D.. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. BPK Gunung
Mulia, Jakarta.
Harian Suara Merdeka, edisi 20 Juni 2008.
Maalouf, Amin. 2004. In The Name Of Identity. Resist Book, Yogyakarta.
MacDonnel, Diane. 2005. Teori-Teori Diskursus. Penerbut Teraju, Jakarta.
Matheron, Francois and Oliver Corpet (ed.). 2006. Philosophy of the Encounter Later
Writing 1978-1987 Louis Althusser. Verso, New York.
Panjaitan, Erica L. dan TM. Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Sarup, Madan. 2007. Posstrukturalisme dan Posmodernisme; Sebuah Pengantar Kritis.
Penerbit Jendela, Yogyakarta.
Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan dan Perempuan. Peerbit Buku Kompas, Jakarta.
Widiastuti, Tuti. Menggagas Komunikasi Antra Budaya Dalam Keragaman. Jurnal
Komunika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Vol.8 No.2, 2005.
Wirodono, Sunardian. 2005. Matikan TV-Mu. Resist Book, Yogyakarta.
Catatan
1 Strukturalisme merupakan salah satu aliran pemikiran yang muncul sebagai
reaksi dan kritik terhadap perkembangan Marxisme—Leninisme, serta
humanisme—Sartre kala itu. Strukturalisme memiliki pandangan bahwa dalam
setiap aspek kehidupan, pikiran dan tindakan kita sebenarnya diatur oleh
struktur dalam (deep structure) yang biasanya tidak kita sadari. Struktur-struktur
dalam yang tidak kita sadari itu dapat digunakan untuk mempelajari aspek-
aspek kehidupan manusia. Strukturalisme menjelaskan dari segi eksistensi
dan interaksi struktur yang mendasarinya, yakni sebagai ganti dari agensi,
cara berfikir dan memutuskan manusia. Paham strukturalisme memandang
makna suatu unsur/elemen, tidak ditentukan oleh substansinya tetapi oleh
relasi dengan beberapa unsur dalam struktur, sehingga strukturalisme lebih
mengutamakan struktur dari pada subyek. (Lihat: MacDonnel. 2005: 1-7.
Pembahasan lebih lanjut, lihat: Sarup. 2007: xvii-xxiii).
81
Mana Acara Televisi untuk Anak?
Astrid Risky Amelia dan Paskalia Pramita Nareswari
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
82
Mana Acara Televisi untuk Anak?
83
Quo Vadis Televisi?
anak tidak mengerti tentang pergaulan yang sangat luas seperti sekarang.
Tayangannya banyak dikhususkan pada anak-anak agar mereka mendapat
bekal yang cukup dan memiliki pengetahuan luas.
Ada pilihan program yang cukup memadai, yang bisa digunakan orang
tua untuk menunjang kegiatan belajar anak melalui saluran televisi terbuka
maupun televisi kabel. Salah satu hambatan utama orang tua adalah usaha
memperoleh informasi mengenai bahan-bahan apa saja yang tersedia,
kapan bahan-bahan itu tersedia, dan bahan-bahan apa yang terkait dengan
anak, sehingga anak-anak mendapatkan ilmu yang luas, karena televisi
adalah salah satu media yang mendukung anak untuk mendapatkan
pengetahuan yang layak.
Anak merupakan kelompok pemirsa yang paling rawan terhadap
dampak negatif siaran televisi. Pada 2002, jumlah jam menonton TV pada
anak di Indonesia sekitar 30-35 jam/minggu atau 1.560-1.820 jam/tahun.
Angka ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di sekolah dasar yang
tidak sampai 1.000 jam/tahun. Tidak semua acara TV aman untuk anak.
Bahkan, KIDIA mencatat, pada 2004 acara untuk anak yang aman hanya
15 persen. Oleh karena itu harus betul-betul diseleksi. Saat ini jumlah acara
TV untuk anak usia prasekolah dan sekolah dasar perminggu sekitar 80
judul ditayangkan dalam 300 kali penayangan selama 170 jam. Padahal
dalam seminggu ada 24 jam x 7 = 168 jam! Jadi, selain sudah sangat
berlebihan, acara untuk anak juga banyak yang tidak aman.
Acara TV bisa dikelompokkan dalam tiga kategori: aman, hati-hati,
dan tidak aman untuk anak. Acara yang aman adalah acara yang tidak
banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis. Acara ini aman
karena kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami. Anak-
anak boleh menonton tanpa didampingi. Acara yang hati-hati adalah acara
yang isinya mengandung kekerasan, seks dan mistis, namun tidak
berlebihan. Tema cerita dan jalan cerita mungkin agak kurang cocok untuk
anak usia SD sehingga harus didampingi ketika menonton. Acara yang
tidak aman adalah acara yang isinya banyak mengandung adegan
kekerasan, seks, dan mistis yang berlebihan dan terbuka. Daya tarik yang
utama ada pada adegan-adegan tersebut. Sebaiknya anak-anak tidak
menonton acara ini, jika anak mau nenonton televisi setidaknya
didampingi orang tua (www.suaramedia.com, 6/5/2010).
Beberapa acara yang ditayangkan di TVRI dikhususkan pada tayangan
untuk anak-anak, antara lain: Voyage from the Bottom of the Sea (film
monster), Time Tunnel (lorong waktu), Land of the Giant (terdampar di
84
Mana Acara Televisi untuk Anak?
planet raksasa), Little House on the Prairi (Laura Ingals, Mary dan anjing
gondrongnya), Highway to Heaven, Battle Star Galactica (film ruang angkasa
yang popular pada jamannya), Bring ‘Em Back Alive (mirip Indiana Jones),
Rintintin (untuk anak TK/SD) (9), The Iron Horse (Film cowboy tentang
kereta api).
Selain itu, ada program tentang budaya, seperti Taman Bhineka Tunggal
Ika dan program pendidikan seperti Cerdas Cermat (pengetahuan untuk
anak-anak dan ini terkait dengan pelajaran di sekolah) dan Hasta Karya
Elektronika. Jadi ada beberapa program TVRI yang lebih diarahkan untuk
anak-anak, membantu anak-anak untuk mendapatkan apa yang ingin
mereka tahu dan penambah pengetahuan mereka. Jaman dahulu, TVRI
adalah stasiun televisi banyak menyajikan acara untuk anak-anak.
Beberapa acara kebanggaan lainnya yang ditayangkan di TVRI, seperti
Aneka Ria Safari, Film Boneka Si Unyil, Film Cerita Akhir Pekan, Selekta
Pop, dan Ria Jenaka. Acara-acara tersebut merupakan acara kesayangan
yang selalu di tunggu-tunggu jaman TVRI dulu.
Kehebatan Televisi
Televisi adalah media yang paling lengkap bagi kebutuhan masyarakat.
Televisi menyajikan audio, visual, bahkan televisi dapat menjangkau jarak
yang jauh. Media massa, khususnya televisi, telah membawa manusia
memasuki era globalisasi. Tidak ada lagi batasan-batasan atau sekat di
antara manusia di seluruh dunia. Meskipun peran televisi hampir
tergantikan oleh internet, namun pamornya tidak pernah turun.
Kepemilikan televisi semakin luas. Orang-orang golongan rendah pun
sekarang memiliki televisi. Apabila tidak ada televisi, orang merasa ada
yang kurang dalam hidupnya. Televisi seakan sudah menjadi kebutuhan
pokok selain sandang dan papan.
Pengaruh televisi sangat besar diterima oleh anak-anak. Faktor yang
mempengaruhi, salah satunya, adalah pola pikir anak yang sederhana
dan labil. Televisi memberi pengaruh pada emosi atau perasaan seseorang.
Ketika orang menonton televisi, emosi mereka akan terlibat. Pembentukan
kepribadian seseorang akan berjalan secara sistematis dan terpola. Dimulai
dari lingkungan terdekat, hingga akhirnya anak siap untuk belajar di luar
yang lebih luas. Karena itu bimbingan orang terdekat, keluarga, terutama
orang tua adalah faktor penentu pembentukan kepribadian seseorang.
Kenyataannya, pembelajaran yang didapat anak bisa diperoleh dari
televisi. Mereka belajar banyak mengenai dunia di luar rumah mereka
85
Quo Vadis Televisi?
86
Mana Acara Televisi untuk Anak?
87
Quo Vadis Televisi?
88
Mana Acara Televisi untuk Anak?
89
Quo Vadis Televisi?
90
Mana Acara Televisi untuk Anak?
91
Quo Vadis Televisi?
92
Mana Acara Televisi untuk Anak?
93
Quo Vadis Televisi?
Daftar Pustaka
Anshori, Bahron (13/12/2006). Pengaruh Buruk TV Terhadap Anak
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&jd=Pengaruh-Buruk-TV-
Terhadap-Anak&dn=20061124211425, tanggal akses 30 Agustus, 10.15.
Berita SuaraMedia, (06/05/2010). Hati-Hati, Sering Nonton TV Bikin Anak Semakin
Bodoh, http://www.suaramedia.com/gaya-hidup/anak/21488-hati-hati-sering-
nonton-tv-bikin-anak-semakin-bodoh.html, tanggal akses 27 Agustus, 13.30.
Chen, Milton. 1996. Anak-anak dan Televisi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
King, Whitehill dan J. Thomas Russell. 2009. Prosedur Periklanan. Kleppner’s Edition
ke-17. Jilid 1. Indeks: Jakarta.
Morissan. 2007. Periklanan dan Komunikasi Pemasaran Terpadu.
Morissan. 2007. Periklanan dan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Ramdina Prakarsa:
Tangerang.
Wibowo, Fred. 1997. Dasar-dasar Produksi Program Televisi. PT Gramedia
Widiasarana Indonesia: Jakarta
94
Pluralisme Media
dan Sistem Stasiun Jaringan
Yohanes Widodo
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
95
Quo Vadis Televisi?
dengan selera Jakarta sehingga rujukan nilai isi siaran televisi adalah
standard budaya Jakarta. Kedua, masyarakat daerah tidak dapat
memanfaatkan televisi sebagai sarana informasi mengenai daerahnya
sendiri. Ketiga, keuntungan ekonomi yang diperoleh dari kegiatan
pertelevisian hanya bisa dinikmati oleh Jakarta dan bisnis pertelevisian
tidak menumbuhkan industri pendukung maupun lapangan pekerjaan
di daerah luar Jakarta. Keadaan inilah yang hendak dirombak oleh Undang
Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 (Armando, 2007).
Mengapa bisnis media, terutama televisi, begitu menggiurkan pemilik
modal? Menurut Ishadi S.K, selain motif ekonomi, bisnis televisi juga
memberikan keuntungan politis. “Tak ada bisnis lain yang memiliki
kekuatan seperti media TV, yang mempunyai pengaruh ekonomi sekaligus
politik. Diakui atau tidak, media TV ibarat pisau bermata ganda. Ia bisa
dimanfaatkan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat,
tetapi juga bisa digunakan untuk memoles atau merusak citra seseorang.
Media TV sangat efektif untuk mempengaruhi opini masyarakat.” (Harto
et.al; 2006)
Meski persaingannya ketat—bahkan pengusaha sekaliber Jakob
Oetama yang terkenal visioner dan profesional di industri media akhirnya
harus merelakan mayoritas sahamnya di TV7 jatuh ke tangan TransTV—
namun kue yang dijanjikan bisnis televisi sungguh mengundang selera.
Nielsen Media Research mencatat, dari total belanja iklan di Indonesia
yang mencapai Rp 23 triliun, televisi melahap sekitar Rp 16 triliun, atau
sekitar 70 persennya, dan sisanya yang 30 persen dibagi ke media lain.
Diversity of Ownership
Isu penting berkaitan dengan pluralitas kepemilikan (diversity of
ownership) adalah merger antarkorporasi media. Di satu sisi, merger
dipandang sebagai langkah ekonomi dengan pertimbangan-pertimbangan
efisiensi dari pemilik modal. Di sisi lain, merger bisa dilihat sebagai
langkah politik, terutama karena keterlibatan tokoh-tokoh politis dan
sistem industri media dalam pengambilan keputusannya.
Konglomerasi, akuisisi, dan merger antarkorporasi media membawa
sejumlah dampak. Pertama, semakin sedikit jumlah industri media yang
menjadi aktor dalam industri ini karena makin terkonsentrasi di tangan
sekelompok pengusaha. Kedua, banyak dari konglomerat ini yang
memiliki, mengontrol atau mempunyai kepentingan substansial dalam
perusahaan media dan non media. Ini acapkali rentan menimbulkan
96
Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan
97
Quo Vadis Televisi?
98
Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan
kalau berita itu heboh, akan jadi headlines. Heboh di sini tak jauh dari
berita kriminal dan provokatif, bukan berita investigatif.” (Farid, 2010)
Dengan kondisi demikian, maka dampak yang kelihatan adalah
keseragaman dalam hal content. Dengan pertimbangan komersial, maka
media, khususnya televisi menayangkan atau menyajikan content yang
seragam. Ada semacam kelatahan dari pengelola acara-acara televisi untuk
melihat keberhasilan suatu acara, kemudian diikuti dan ditiru. Saat
tayangan kriminal naik daun, hampir semua televisi berlomba ‘berdarah-
darah’. Ketika tayangan bernuansa seksualitas mendapat rating bagus,
seluruh televisi ramai-ramai menayangkan acara bernuansa seksualitas.
Ketika tren bergeser ke tayangan reality show dan religi, hampir semua
televisi jualan reality show dan tayangan religi. Jadi apa yang ditawarkan
adalah apa yang menonjol dan up to date.
Keberhasilan suatu acara akan memberi keuntungan besar kepada
pengelola acara televisi. Keseragaman ini adalah bentuk konformitas,
yakni kesamaan dalam mengunggulkan acara-acara yang diperkirakan
dapat meningkatkan minat masyarakat untuk menonton acara tersebut.
Hal ini sesuai dengan ide kapitalisme (Buwana, 2009). Efek dari
keseragaman tayangan dan isi media adalah pembodohan dan membuat
masyarakat tidak berkembang.
Media dan Kepentingan
Dari sisi hukum, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Semangat dari sistem stasiun berjaringan
ini adalah negara ingin mewujudkan dan menjamin pluralime media.
Undang-Undang ini antara lain mengatur tentang kehadiran televise lokal
yang bertujuan menjamin perkembangan media di daerah dan memberi
ruang tumbuh bagi pluralisme media (Farid, 2010). Namun dalam
praktiknya, raja-raja media bisa dengan mudah memanfaatkan jaringan
medianya untuk kepentingan komersial dan pribadi mereka (Dhyatmika
and Herawatmo, 2006).
Gejala konglomerasi media perlu diwaspadai karena suksesnya
persilangan antara kepentingan kekuasaan (kehendak untuk berkuasa dan
mengontrol) kepentingan akumulasi modal serta pengejaran profit. Para
pemilik modal menggunakan stasiun televisi—yang memperguna-kan
publik domain—untuk kepentingan bisnis, politik, dan kekuasaan.
Ada beberapa contoh yang bisa diangkat. Pertama, televisi sering
menjadi kepanjangan tangan pengusaha-pemiliknya dalam mempromosi-
99
Quo Vadis Televisi?
100
Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan
industry penyiaran tidak bisa dilihat hanya secara kuantitatif, tetapi juga
kualitatif (monopoli laten atau ideologis). Dalam hal ini, pemilik tidak
hanya memiliki kepentingan ekonomi tetapi juga ideologi, yang ujungnya
adalah juga kepentingan ekonomi.
Beberapa kalangan, terutama dari media mainstream, tidak terlalu
merisaukan tentang isu kepemilikan. Misalnya, Pepih Nugraha (2010)
mengatakan, kepemilikan silang sangat penting, karena kepemilikan
silang dimungkinkan terjadinya konvergensi media maupun konten.
Sehingga hampir semua konglomerasi media berkeinginan memiliki jenis
media yang beragam. Pepih juga tidak mengkhawatirkan dengan
kepemilikan (monopoli) media selama media tersebut tetap menjaga
independensinya.
Hal ini senada dengan mantan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI), Bimo Nugroho, yang mengatakan bahwa kepemilikan satu
pengusaha terhadap berbagai media tidak menjadi masalah selama tidak
ada kontrol informasi dan penggalangan opini publik. Menurut Bimo
Nugroho, kalau demi membela kepentingan politik atau ekonomi, lalu
pengusaha menggunakan media miliknya, itu baru masalah besar
(Windyaningrum, et al., 2007).
Dalam kaitan ini, penulis berpendapat bahwa pembatasan perlu
dilakukan demi terjaminnya landasan dasar bagi pluralisme media.
Mengutip Ignatius Haryanto (2004): “Tanpa pluralitas suara dan pendapat,
media tak bisa menunaikan tugasnya dalam kehidupan demokrasi.
Pembatasan di sini dilakukan, berangkat dari suatu keprihatinan bahwa
keterpusatan industri media kepada segelintir pemilik saja akan
mengakibatkan kondisi yang tidak sehat dan tidak demokratis, karena
cenderung mengabaikan pluralitas pendapat yang ada. Pembatasan ini
sendiri adalah demi sehatnya industri media itu sendiri, wibawa
pemerintah, dan sehatnya masyarakat.”
101
Quo Vadis Televisi?
102
Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan
103
Quo Vadis Televisi?
siarannya karena program lokal bisa disiapkan oleh mitra lokal. Untuk
televisi jaringan yang mengudara 24 jam sehari, televisi lokal anggotanya
hanya perlu me-manage program siaran kurang dari 7 setengah jam.
Itupun jumlah maksimal karena pada tahap awal, regulasi mensyaratkan
hanya 10persen dari total jam siaran (sekitar 2,5 jam). Bicar konten lokal
untuk Yogyakarta seharusnya bukan masalah, karena Yogyakarta adalah
gudangnya orang-orang kreatif.
Ketiga, sumber daya manusia. Ketersediaan sumber daya manusia yang
mumpuni dan siap pakai menurut mereka menjadi persoalan. Meski
demikian, jika televisi Jakarta menjalin kerjasama dengan mitra lokal, maka
sumber daya manusia telah tersedia dan disiapkan oleh mitra local. Kalau
pun tidak menjalin kerjasama, sumber daya manusia seharusnya juga
bukan masalah karena di Yogyakarta terdapat beberapa universitas yang
membuka program studi Ilmu Komunikasi. Mereka adalah stakeholder
yang menyiapkan sumber daya manusia untuk industri televisi dan bisa
menjadi referensi dalam hal konten program.
Semangat dari sistem stasiun jaringan ini adalah agar penjajahan
Jakarta atas Indonesia harus dihentikan dan asas keberagaman dihormati
setinggi-tingginya (Ade Armando, 2007). Stasiun televisi berjaringan ini
diharapkan ikut membangun berkembangnya televisi lokal, merangsang
dan membangun dinamika ekonomi lokal dan sosial budaya lokal. Bila
semua stasiun ‘nasional’ Jakarta melakukan transformasi ke stasiun lokal
berjaringan, maka akan tercipta sebuah sistem penyiaran yang sehat, yang
menjamin adanya diversity of ownership dan diversity of content, yang akan
memperkaya bangsa ini baik secara sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Penutup
Sistem stasiun jaringan: quo vadis? Dalam hal ini, pihak televisi Jakarta
yang harus menjawabnya. Panggilan untuk bertransformasi menjadi
stasiun berjaringan ini berdasarkan pada fakta bahwa mereka
menggunakan frekuensi yang merupakan domain publik Yogyakarta. Jika
selama ini publik Yogyakarta sekedar dimanfaatkan oleh televisi Jakarta
untuk target iklan dan memperkuat bisnis mereka, kini saatnya bagi publik
Yogyakarta untuk mendapatkan haknya, dalam bentuk tayangan bermutu
dan mereka mendapatkan ruang untuk meyampaikan pemikiran dan
aspirasinya.
Untuk itu, televisi Jakarta yang ingin menjadi stasiun siaran jaringan
di Yogyakarta diharapkan lebih serius karena publik Yogyakarta yang
104
Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan
Daftar Pustaka
Armando, A. 2007. (Seharusnya) Tak Ada Lagi Stasiun Televisi Nasional, http://
adearmando.wordpress.com/2007/08/30/seharusnya-tak-ada-lagi-stasiun-
televisi-nasional/
Astraatmadja, A. 2009. “Tuntutan Zaman ; Kebebasan Pers dan Ekspresi. Jakarta:
VHRBook
Bagdikian, Ben H. 2000. The New Media Monopoly, Beacon Press
Buwana, D.S.2009. “Ramadhan di Lazar Kaca”, Republika, 10/09/2009, http://
www.republika.co.id/koran/24/75368/Ramadhan_di_Layar_Kaca
Cahya, N.W. 2007. “Mengerucutnya kepemilikan media televisi di Indonesia,”
http://nurulwibawacahya.blogspot.com/2007/01/mengerucutnya-kepemilikan-
media.html
Dhyatmika, W. and Herawatmo. 2006. “Jangan Seperti Jualan Kacang Goreng,”
http://reporter-jakarta.blogspot.com/2006/06/laporan-utama-jangan-seperti-
jualan.html
Farid, Lily Y. 2006a. Merayakan Jurnalisme Orang Biasa di Panyingkul!
(unpublished)
Farid, Lily Y. 2006b. Citizen Journalism: sebuah pengantar (unpublished)
Harto, PP., Ratnasari, E; Saragih, HP.,Mudjiono, 2010. “Raja-Raja TV: Raja TV,
Raja Akuisisi”, Warta Ekonomi, 19 December 2006
105
Quo Vadis Televisi?
Wawancara
Farid, Lily Yulianti (email and chatting): 11/02/2007; 14/03/2008; 20/06/2010
Nugraha, Pepih (email): 07/06/2010
106
Merevitalisasi TVRI
Sebagai Lembaga Penyiaran Publik
Agusly Irawan
Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
107
Quo Vadis Televisi?
108
Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik
109
Quo Vadis Televisi?
110
Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik
Bengkulu. (5) Divisi IV- Wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, yang berkedudukan di Bandung.
Terdiri dari 3 TVRI daerah Kelas A yaitu Bandung, Yogyakarta, Semarang
serta 2 TVRI daerah kelas B yaitu Pontianak dan Palangkaraya. (6) Divisi
V- wilayah Jawa Timur, Bali, NTT, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Selatan, berkedudukan di Surabaya terdiri dari 3 TVRI daerah berkelas A
yaitu Surabaya, Denpasar, dan Samarinda, serta 2 TVRI daerah berkelas
B yaitu Banjarmasin dan Kupang. (7) Divisi VI-wilayah Sulawesi, Maluku,
Irian Jaya, berkedudukan di Makasar, tediri dari 3 TVRI daerah berkelas
A yaitu Makasar, Ambon, Menado serta 1 TVRI daerah berkelas B yaitu
Jayapura. (8) Sektor Transmisi, merupakan sektor untuk memfasilitasi
daerah yang tidak memiliki TVRI daerah kelas A atau B,berkedudukan di
ibukota Propinsi yaitu sektor Transmisi Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, NTB. (9) Divisi VII-Pengembangan Organisasi dan Diklat
(Heryanto, 2003: 60-66).
TVRI kembali mengalami perubahan status hukum. Menurut PP
Nomor 9 tahun 2002 tanggal 17 April 2002, TVRI seharusnya berbentuk
Persero. Namun karena banyaknya permasalahan yang terjadi khsusnya
konflik di tingkat manajemen maka perubahan TVRI sebagai persero baru
bisa terlaksana pada 15 April 2003, sesuai surat kuasa Menteri Negara
BUMN. Perubahan TVRI dari Perjan menjadi Persero tentu membawa
konsekuensi pula. Sebagai Persero maka TVRI tidak lagi mendapatkan
APBN seperti ketika berbentuk Perjan. Ini persoalan yang belum
dipersiapkan TVRI ketika ia harus mandiri, selain terjadinya konflik antara
Serikat Karyawan dengan manajemen di tingkat Direktur Utama.
Tuntutan Sebagai Lembaga Penyiaran Publik
Ketika TVRI resmi menjadi Persero, keluarlah Undang-Undang
Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 yang mengamanatkan agar TVRI menjadi
lembga penyiaran Publik. Status TVRI sebagai persero merupakan status
transisi selama tiga tahun sebelum menjadi lembaga penyiaran publik.
Pengertian lembaga penyiaran publik tentu bermacam-macam.
Menurut Effendi Ghazali (2002: 24) lembaga penyiaran publik adalah
lembaga penyiaran yang mempunyai visi untuk memperbaiki kualitas
kehidupan publik, kualitas kehidupan suatu bangsa, dan juga kualitas
hubungan antarbangsa pada umumnya; serta mempunyai misi untuk
menjadi forum diskusi, artikulasi, dan pelayanan kebutuhan publik.
Lembaga penyiaran ini memberikan pengakuan secara signifikan terhadap
111
Quo Vadis Televisi?
112
Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik
113
Quo Vadis Televisi?
114
Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik
115
Quo Vadis Televisi?
116
Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik
117
Quo Vadis Televisi?
Daftar Pustaka
Ghazali, Effendi. 2002. Penyiaran Alternatif Tapi Mutlak: Sebuah Acuan tentang
Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi. Fisip UI.
Heryanto, Gun Gun. 2003. Relasi Kekuasaan pada Kebijakan Perubahan Status
Hukum TVRI: Studi Ekonomi Politik Media. Thesis untuk mencapai gelar MSI
dalam Bidang Ilmu Komunikasi. FISIP UI.
Tahir Harmens. TVRI sebagai TV Publik Sumbangan Pemikiran terhadap
Keberadaan TVRI, dalam 40 tahun TVRI dari Pembebasan Menuju Pencerahan,
Jakarta :FSP-TVRI.
UU Penyiaran No. 32 tahun 2002
Website: http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_Republik_Indonesia.
118
“Melihat Kembali” TVRI
Benedictus Yanuarto Purnomo dan Yohanes Bagas Nurogo
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
119
Quo Vadis Televisi?
120
“Melihat Kembali” TVRI
121
Quo Vadis Televisi?
122
“Melihat Kembali” TVRI
informasi, pendidikan dan hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial,
serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan
masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkau
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
TVRI seharusnya dapat dijadikan rujukan mengenai tayangan yang
memiliki idealisme nilai dan melayani masyarakat untuk dapat berpikir
kritis, lepas dari semua orientasi mencari rating, keuntungan, dan kepen-
tingan politis. Ruang publik penyiaran mencerminkan kemajemukan nilai
dalam masyarakat, ramah keluarga, tidak bias gender, tidak diskriminatif,
menghibur tetapi juga memberikan nilai tambah dalam masyarakat.
Keberadaan TVRI sebagai televisi publik mengharuskan segenap
jajarannya untuk menampilkan tayangan atau program yang bermanfaat
untuk kepentingan publik. Hal ini terkait dengan fungsi lembaga
penyiaran yang merupakan media komunikasi massa yang mempunyai
peran penting dalam kehidupan sosial budaya, politik, dan ekonomi yang
memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya
sebagai media informasi, hiburan, serta kontrol sosial, dan sekaligus
sebagai perekat bangsa.
Program-program TVRI harus terhindar dari hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan, memancing emosi negatif, sadisme, tidak
mendidik, melanggar etika, dan norma agama. Peralihan status TVRI
menjadi televisi publik memiliki kewenangan otonom yang lebih mandiri.
Diakui, TVRI memang memerlukan waktu yang lama untuk menghapus
citra historisnya sebagai ‘corong pemerintah’. Hal itu terkait masa Orde
Baru dulu. Namun sekarang TVRI sebagai televisi publik, harus tampil
beda, baik dalam format tayangan maupun isi siarannya.
Anggaran APBN untuk belanja TVRI yang hanya sekitar Rp 500 miliar
pertahun—jauh di bawah dana televisi swasta yang rata-rata Rp 1,5 triliun
per tahun—perlu dikoreksi. Dengan dana sejumlah itu, TVRI belum dapat
bersaing dengan televisi-televisi swasta, terutama untuk pengadaan alat
yang memungkinkan kualitas gambar yang bagus dan peningkatan
standar gaji bagi para pegawainya sehingga dapat menjaga independensi
terhadap sogokan-sogokan.
TVRI harus mewakili semua kalangan, sebagai wadah bersama, karena
sifatnya dari rakyat dan untuk rakyat. TVRI bukan hanya menjadi alat
propaganda budaya Jawa seperti era Suharto, namun dapat diakses oleh
semua golongan. TVRI harus membantu daerah-daerah yang tertinggal
menjadi berubah dan tidak semata-mata berpatokan pada rating.
123
Quo Vadis Televisi?
Daftar Pustaka
Haryatmoko. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan
Pornografi.Yogyakarta:Kanisius, 2007
Intani, Retno ZA. 2009. TVRI Yang Terlupakan. (http://nasional.kompas.com/read/
2009/08/24/02543179/TVRI.yang.Terlupakan), 17 Agustus 2010 pukul 21.12 WIB
Kompas, Sabtu, 31 Juli 2010
Lan, May. Pers, Negara dan Perempuan.Yogyakarta:Kalika, Cetakan Pertama, 2002.
Muda. Deddy Iskandar. Jurnalisme Televisi: menjadi Reporter Profesional.Bandung :
PT Remaja Rosdakarya, 2003
Pribadi, Benny A dan Bambang Sutjiatmo. 2009. Pemanfaatan Siaran Televisi
Pendidikan. (http://lppm.ut.ac.id/publikasi/ptjj/9_A5-benny-edit.pdf), 17
Agustus 2010 pukul 20.58 WIB.
Puspasari, Eka dan Mohammad Adam. 2010. Pemerintah Harus Tambah Anggaran
TVRI dan RRI (http://nasional.vivanews.com/news/read/120851-
pemerintah_harus_tambah_anggaran_tvri_dan_rri), 17 Agustus 2010 pukul
21.41 WIB.
Ulum, Akhmad Samsul. 2006. Televisi untuk Kepentingan Bisnis. (http://
www.suaramerdeka.com/harian/0608/22/opi04.htm), 17 Agustus 2010 pukul
21.01 WIB.
Wahyudi, J.B. Jurnalistik Televisi: Tentang dan Sekitar Siaran Berita TVRI.
Bandung:Penerbit Alumni, 1985.
www. tvri.co.id, diakses pada 17 Agustus 2010.
www.agbnielsen.co.id, diakses 17 Agustus 2010.
www.kpi.go.id, diakses pada 17 Agustus 2010.
124
Televisi sebagai Ruang Publik dalam
Politik Demokrasi di Indonesia: Mungkinkah?
Salvatore Simarmata
Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
125
Quo Vadis Televisi?
126
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia
127
Quo Vadis Televisi?
128
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia
129
Quo Vadis Televisi?
130
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia
orang yang tidak hanya membantu para ahli untuk saling berkomunikasi,
tetapi juga mengumpulkan, menjelaskan, memperdebatkan, dan
menyebarluaskan informasi dan ide-ide terbaik tentang kebijakan publik
sehingga dapat ditangkap oleh warga masyarakat biasa (Page, 1996: 5).
Warga negara yang well-informed akan membuat rational political choices.
Pilihan politik rasional penting bagi demokrasi, bukan hanya karena
landasan pembuatan keputusannya tetapi juga karena dengan demikian
masyarakat terdorong untuk berpartisipasi. Partisipasi politik yang tinggi
niscaya menciptakan budaya politik yang kuat. Barber (1990)
menyebutnya: strong democracy. Sebagai antithesis terhadap thin democracy,
Barber menegaskan: Strong democracy is defined by politics in the participatory
mode: literally it is self-government by citizens rather than representative
government in the name of citizens. Active citizens govern themselves directly
here, not necessarily at every level and in every instance, but frequently enough
and in particular when basic policies are being decided and when significant power
is deployed. Self-government is carried on through institutions designed to
facilitate ongoing civic participation in agenda-setting, deliberation, legislation,
and policy implementation (in the form of ‘common work’” (Barber, 1984: 151).
Televisi menjadi salah satu dari berbagai institusi yang berfungsi untuk
menfasilitasi partisipasi warga dalam pembentukan agenda politik,
deliberasi, legislasi, dan implementasi kebijakan politik. Pekerjaan ini
ditempatkan sebagai common work, sebagai dasar terbentuknya apa yang
disebut Gamson sebagai collective action frames. Pusat dari demokrasi
partisipatif adalah warga negara (the citizens). Maka demokrasi deliberatif
yang menempatkan partisipasi warga negara sebagai pilar utama dalam
sistem politik sangat relevan dengan kehadiran teknologi media baru.
Demokrasi deliberatif, menurut Bohman (1996) secara teoritis memiliki
empat ciri, yaitu: (1) menekankan pentingnya deliberasi untuk mencapai
keputusan politik; (2) menolak reduksi politik dan pengambilan keputusan
pada rasionalitas instrumental-strategis; (3) bersifat proseduralis; dan (4)
menjungjung universalitas.
Dalam demokrasi deliberatif terdapat kekuatan tindakan komunikatif
dalam forum publik. Proses deliberasi dalam forum terbuka tersebut
adalah: sebuah proses di mana warga negara berusaha untuk meyakinkan
warga lainnya untuk menerima kebijakan yang diusulkan dengan
berlandasan penggunaan reason di hadapan publik (public use of reason)
lewat proses dialog deliberatif yang take and give (Bohman, 1996: 15).
Demokrasi yang dibangun secara diskursif lewat ruang publik tersebut
131
Quo Vadis Televisi?
132
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia
Pressure
groups News Media Business
TV Current
debates Affair
Citizens
133
Quo Vadis Televisi?
134
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia
135
Quo Vadis Televisi?
136
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia
minimal. All commercial stations share the same aim: maximizing profits
(hal. 218).
Sejak reformasi media televisi mengalami perubahan yang besar, baik
dari segi struktur maupun fungsinya. Perubahan struktur disebabkan
karena munculnya stasiun televisi swasta baru sehingga tercipta kompetesi
di antara mereka. Perubahan fungsi tersebut juga dipengaruhi oleh
menjamurnya produksi budaya yang mengubah pola perilaku masyarakat.
Lengsernya Orde Baru, menempatkan media sebagai sumber informasi
yang penting dan dipercaya oleh masyarakat. Media televisi tidak hanya
banyak, tetapi mulai muncul perhatian serius pada aspek berita seperti
SCTV dan MetroTV, dan terakhir TVone. Pada era ini state intervention
murni sudah sangat longgar. Walaupun muncul wujud baru dari intervensi
ini ketika pemilik media memanfaatkan kekuasaan untuk menjamin
kebebasan sistem kapitalisme media. Alih-alih negara mengontrol dengan
sistem sensor yang represif, negara lebih menjadi alat kelas tertentu sebagai
warranty body atas kepentingan pengelola media.
Dalam bidang politik, perubahan fungsi ini makin signifikan ketika
televisi tidak lagi sebatas media publikasi. Media televisi tidak lagi
dipandang sebatas kerja jurnalistik yang akan meliput perhelatan politik
para aktor-aktor politik. Kini, televisi telah menjadi kekuatan politik
tersendiri bagi para aktor-aktor dan partai politik. Perubahan fungsi politik
media televisi ini dimobilisasi oleh semakin canggihnya strategi
komunikasi politik aktor dan partai politik dengan melibatkan para
professional seperti konsultan politik dan lembaga survei. Pada saat yang
sama para aktor politik menyadari rendahnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap politik dan lembaga-lembaga politik, sehingga
televisi dijadikan sebagai senjata ampuh untuk menggeser citra tersebut.
Apa yang ditakutkan kemudian adalah munculnya television politics, yang
nota bene berbeda dengan the real politics.
Media televisi di Indonesia menikmati kebebasan yang sangat besar,
sejak dihapuskannya Departemen Penerangan pada era pemerintahan
Abdurrahman Wahid. Tekanan negara terhadap media televisi juga makin
menurun termasuk dari pihak militer. Pada saat yang sama bermunculan
stasiun-stasiun televisi baru. Dunia jurnalistik juga mulai dibenahi dengan
membentuk berbagai lembaga organisasi keprofesian seperti Dewan Pers,
Ikatan Jurnalis Televisi (JTV), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan
berbagai organisasi media wacth. Di tengah itu semua, Indonesia memasuki
era konsolidasi demokrasi sambil berusaha keluar dari keterpurukan
137
Quo Vadis Televisi?
138
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia
spirit demokrasi. Maka pada situasi seperti ini, semua indikator politik
makro yang disebutkan sebelumnya menjadi tidak relevan.
Kecenderungan akomodasi media televisi ini juga berdampak pada
corak pemberitaan yang elitis. Pemberitaan yang tidak jauh dari seputar
kekuasaan, di mana masyarakat tidak mengalami fenomena sosial politik
yang ditampilkan di ruang publik. Makna ‘publik tidak lagi berkorelasi
dengan res public, tetapi seperti kembali ke abad 16 dan 17, di mana ‘publik’
atau ‘kepublikan’ sendiri hanya muncul dalam konteks ‘perwakilan’, atau
representation lewat kehadiran ‘lembaga publik’, ‘pejabat publik’
(Habermas, 1991: 5). Muncul keseragaman corak dan wacana pemberitaan
media televisi oleh karena memiliki kerangka kerja yang sama. Karakter
buruk ini tidak sehat bagi demokrasi, sebab “publik” mestinya hadir
sebagai aktor politik yang memiliki kemampuan untuk secara bersama-
sama ‘melampaui perbedaan di antara mereka’, mencapai suatu
kesepakatan bersama. Kualitas deliberasi ini ditentukan oleh kekayaan
akan perbedaan informasi yang dipertukarkan.
Jurgen Habermas (1984) menyatakan untuk mencapai ruang publik
ideal, deliberasi publik mestinya didasarkan pada kualitas-kualitas
berikut: comprehensibility, truth, truthfulness, rightness. Sementara Steven
Schneider (1997), dengan mengembangkan konsep teori demokrasi
Habermas menemukan empat kriteria ruang publik ideal: kesetaraan
(equality), keragaman (diversity), saling berbalasan (reciprocity), dan kualitas
(quality). Kelengkapan berarti informasi yang dipertukarkan secara
menyentuh seluruh aspek isu yang dibahas, ada keragaman wacana di
dalamnya. Setiap informasi yang dipertukarkan oleh pihak-pihak terlibat
harus didasarkan pada kebenaran. Kebenaran tersebut diharapkan akan
memberi nilai kebaikan bagi masing-masing pihak. Jadi deliberasi dalam
televisi itu bukan merupakan alat politik untuk mempertahankan citra,
melainkan proses untuk memecahkan suatu persoalan secara bersama-
sama dengan bertumpu pada reasoned arguments.
Tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah setiap pihak diperlakukan
secara sama, walaupun pada diri mereka terdapat keberagaman. Ukuran
kualitas keberagaman informasi tersebut tidak dilihat dari sisi perbedaan-
nya, tetapi alasan rasional yang mendukungnya. Dengan demikian
ketidaksetujuan bukan merupakan hal yang janggal dalam proses
deliberasi di ruang publik, tetapi sebagai proses pemurnian pemikiran
secara dialektis ketahap yang paling sempurna. Televisi khususnya lewat
139
Quo Vadis Televisi?
dua format programnya, yaitu: debat langsung dan current affairs atau
dialog sangat ideal untuk menerapkan paradigma ruang publik ideal ini.
Sayangnya, yang sering terjadi di Indonesia adalah informasi (berita
khususnya) yang bias kepentingan pemilik media. Di dalam televisi juga
lebih dominan eksploitasi sisi-sisi emosional lewat dramatisasi, rekayasa,
dan sensasionalisasi. Akibatnya, ‘informasi’ yang disampaikan menjadi
hilang substansi. Gejala ini seolah menegaskan bahwa praktek komunikatif
televisi tidak lebih dari sekadar kelatahan, sehingga cara
menyampaikannya dipandang menjadi lebih pentingan dari apa yang
disampikannya itu sendiri. Sehingga, wujud persaingan televisi di
Indonesia tidak lagi terletak pada televisi mana yang paling berkualitas
informasinya, melainkan cara menyampaikan seperti apa yang paling
sensasional dan dramatis.
Apa yang utama dalam wacana media televisi sering kali menjadi
wacana dominan dalam masyarakat. Pola konsumsi media televisi di
Indonesia tampaknya masih mengikuti doktrin tradisional dari agenda
setting theory. Televisi mungkin tidak berhasil mengubah cara pandang
masyarakat, tetapi bombardir informasi dengan sudut pandang tertentu
akan menentukan apa yang diperbincangkan di masyarakat. Penting atau
tidak penting bukan merupakan suatu pertimbangan di sini. Dalam realitas
politik seperti muncul sebuah kecenderungan bangkitnya elit politik
sebagai pemilik televisi: sebuah paralelisme yang menyimpan toksit bagi
demokrasi. Meleburnya elit partai sebagai pemilik televisi bisa menjadi
televisi tersebut sebagai alat politik penyeragaman wacana, tentu sesuai
dengan kepentingan pemiliknya. Pluralitas ideologi dan nilai-nilai politik
dalam masyarakat tidak diakomodir di sini.
Informasi Politik dan Perilaku Pemilih
Peran televisi yang paling utama dalam demokrasi adalah bagaimana
masyarakat dapat memperoleh informasi yang beragam, substantif, dan
relevan dengan kepentingan mereka. Sehingga, masyarakat dapat menilai
dan menentukan pilihan politiknya.
Sepuluh tahun terakhir boleh dikatakan perilaku politik di Indonesia
sudah mulai bergeser ke arah politik rasional. Keyakinan ini didukung
oleh beberapa faktor. Pertama, semakin besarnya kuantitas masyarakat
kelas menengah ke atas dengan tingkat pendidikan yang memadai. Kedua,
semakin terbukanya sumber-sumber informasi yang beragam berkat
140
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia
141
Quo Vadis Televisi?
142
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia
143
Quo Vadis Televisi?
Daftar Pustaka
Barber, Benjamin. 1990. Strong Democracy: Participatory Politics for a New Age.
Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.
Baudrillard, Jean. 1992. Jean Baudrillard, Selected Writings (edited by Mark Poster).
Cambridge: Polity Press.
Bohman, James. 1996. Public Deliberation: Pluralism, Complexity and Democracy.
Cambridge, MA: MIT Press.
Crigler, Ann N (Ed). 1999. The Psychology of Political Communication. Ann Arbor:
The University of Michigan Press.
d’Haenens, L., Verelst, C., & Gazali, E. 2000. “In search of Quality Measures for
Indonesian Television News”. Dalam French David & Michael Richards (Eds),
Television in Contemporary Asia. New Delhi: Sage Publication, hal. 179-232.
Dryzek, John S. 2003. “Deliberative Democracy in Divided Societies: Alternatives
to Agonism and Analgesia.” Research School of Social Science, Australian
National University. Diakses dari: http://socpol.anu.edu.au/pdf-files/
Dryzek_divided.pdf, pada 25 Juni 2010.
Gamson, William. 2001. Promoting Political Engagement. Dalam W. Lance Bennett
& Robert M. Entman (Eds), Mediated Politics, Communication in the Future of
Democracy. United Kigndom: Cambridge University Press, hal. 56-74.
Gunther, Richard & Mughan, Anthony. 2000. The Political Impact of the Media: A
Reassesment. Dalam Richard Gunther & Anthony Mughan (Eds), Democracy
and the Media, A Comparative Perspective. United Kingdom: Cambridge
University Press, hal. 402-448.
Habermas, Jurgen. 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere, An Inquiry
into a Category of Bourgeois Society. Cambridge: Polity Press.
Habermas, Jurgen. 1974. “The Public Sphere: An Encyclopaedia Article.” New
German Critique 3, Autum, hal. 49-55.
Hachten, William A. 1981. The World News Prism: Changing Media, Clashing Ideologies,
2nd edition. United State of America: Iowa State University Press.
Hallin and Mancini. 2005. Comparing Media System, Three Models of Media and Politics.
Cambridge: Cambridge University Press.
144
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia
Catatan
1 Penyusunan model ini didasarkan pada perspektif makro dengan meletakkan
sistem politik dalam dua tipe secara berlawanan (demokrasi dan non-
demokrasi). Model sistem media yang terbentuk akibat faktor makro tersebut
diletakkan sesuai dengan karakter sistem politik demokratis dan non-
demokratis.
145
Quo Vadis Televisi?
146
Parodi di Balik Layar Kaca
147
Quo Vadis Televisi?
148
Parodi di Balik Layar Kaca
149
Quo Vadis Televisi?
150
Parodi di Balik Layar Kaca
151
Quo Vadis Televisi?
152
Parodi di Balik Layar Kaca
153
Quo Vadis Televisi?
154
Parodi di Balik Layar Kaca
155
Quo Vadis Televisi?
Daftar Pustaka
Vogt, Erich. 2001. Pelayanan Umum Sebagai Salah Satu Bentuk Penyiaran. Jakarta :
Friedrich-Ebert-Stiftung .
Wahyudi, JB. 1994. Dasar-Dasar Manajemen Penyiaran. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Wibowo, Fred. 1997. Dasar-Dasar Produksi Program Televisi. Jakarta : Gramedia
Widiasarana Indonesia.
156
TV Streaming sebagai Televisi Alternatif
Dwi Kartika Sirait dan Fransisca Yosi Wongi
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
157
Quo Vadis Televisi?
158
TV Streaming sebagai Televisi Alternatif
159
Quo Vadis Televisi?
160
TV Streaming sebagai Televisi Alternatif
161
Quo Vadis Televisi?
kurang menarik, maka pada waktu yang bersamaan user dapat langsung
memberikan tanggapan. Tanggapan ini merupakan fasilitas komunikasi
dua arah yang dimiliki oleh TV Streaming. Tidak hanya itu, sesuai dengan
pengertiannya, TV Streaming dapat menyimpan dokumentasi acara siaran
langsung yang telah diputar sebelumnya. Dokumentasi acara ini dapat
diputar sewaktu-waktu saat ada permintaan user. Dengan demikian, user
tidak perlu lagi takut kehilangan informasi maupun hiburan sebelumnya.
Keunggulan lain yang ditawarkan sistem streaming ini adalah user tidak
perlu mengunduh dahulu ketika akan menyaksikan acara yang sedang
berlangsung. Efisiensi waktu karena user hanya menunggu sekian detik
untuk menghubungkan koneksi dan selanjutnya tayangan dapat langsung
dinikmati. Prinsip TV Streaming sendiri sebenarnya tidak berbeda jauh
dengan radio streaming yang sekarang sudah cukup banyak dimanfaatkan.
Perbedaan hanya terletak pada kemampuan TV Streaming untuk bisa
menyimpan dan memutar ulang tayangan yang sudah berlalu. Tidak
hanya itu, dengan TV Streaming juga memungkinkan user untuk menikmati
siaran televisi nasional ketika sedang berada di luar negeri.
Keunggulan-keunggulan yang diberikan TV Streaming itulah yang
menjadi kekuatan TV Streaming sebagai televisi masa depan. Selain dapat
dimanfaatkan sebagai alternatif televisi bagi masyarakat, TV Streaming
merupakan peluang bagi perusahaan-perusahaan televisi nasional karena
ternyata tidak semua stasiun televisi di Indonesia menyediakan fasilitas
TV Streaming di web mereka. Walaupun sekarang sudah mulai dirintis,
TV Streaming saat ini masih dalam bentuk siaran-siaran berita saja.
Hal ini sebenarnya sudah menjadi sesuatu yang umum, yaitu penyiaran
berita streaming. Seperti juga yang ditulis Dominick, Messere, dan Sherman
(2004: 146) dalam buku Broadcasting, Cable, the Internet, and Beyond sebagai
berikut: “News streaming is common on many websites and the standards for
encoding Internet video such as MPEG-4 are evolving rapidly.” Pernyataan
tersebut menegaskan bahwa streaming berita merupakan hal yang sudah
lazim di web. Sama pula yang terjadi di Indonesia, beberapa stasiun televisi
menyediakan streaming untuk acara beritanya, seperti Metro TV, Liputan6
SCTV serta TV One.
Selain sebagai penyiaran berita streaming, TV Streaming di Indonesia
masih sebatas web yang menyuguhkan jadwal acara, program-program
unggulan, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, akses
ke klub fans atau klip-klip video tertentu saja. Apabila ada penayangan
162
TV Streaming sebagai Televisi Alternatif
163
Quo Vadis Televisi?
164
TV Streaming sebagai Televisi Alternatif
165
Quo Vadis Televisi?
Daftar Pustaka
Andwika, Eskarina, “Pengaruh Posisi Penempatan Iklan Spot di Televisi Terhadap
Tingkat Brand Awareness Khalayak”, Skripsi FISIP UAJY.
Dominick, Joseph R, Fritz Messere, dan Barry L.Sherman. 2004. Broadcasting, Cable,
the Internet, and Beyond. New York: McGrawHill.
Fidler, Roger. 2003. Mediamorfosis. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Institut Teknologi Telkom. 2009. Konsep Dasar Video Streaming, http://
www.ittelkom.ac.id/library/index.php?view=article&catid=6:internet&id=645:
konsep-dasar-video-streaming&option=com_content&Itemid=15 diakses pada
1 Agustus 2010 pukul 02.04 WIB.
Internet World Stats. 2009. Internet Usage in Asia, http://
www.internetworldstats.com/stats3.htm), diakses pada 31 Juli 2010 pukul 14.11
WIB
Mujahidin, Andi. 2008. Sejarah dan Perkembangan Internet, http://
www.andimujahidin.com/2008/01/sejarah-dan-perkembangan-internet/
diakses pada 1 Agustus 2010 pukul 14.45 WIB
Mulyana, Deddy dan Idi Subandi Ibrahim. 1997. Bercinta dengan Televisi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
166
TV Streaming sebagai Televisi Alternatif
167
IPTV: Televisi Impian di Masa Depan
168
IPTV: Televisi Impian di Masa Depan
169
Quo Vadis Televisi?
170
IPTV: Televisi Impian di Masa Depan
171
Quo Vadis Televisi?
Protocol (IP). Teknologi ini juga dapat mengubah suara atau fax menjadi
sebuah format data digital yang dapat dikirim melalui jaringan IP. Keelima,
Network-based Private Video Recorder (NPVR), yakni fitur untuk merekam
siaran langsung (real time broadcast) dalam jaringan server yang dapat
diakses kapanpun saat dikehendaki. Keenam, Online games, yakni layanan
aneka games. Ketujuh, Parental guide atau layanan untuk melindungi anak
dan remaja dari siaran yang yang tidak diperuntukkan bagi usia mereka.
Terakhir, Shopping online, yaitu layanan bagi para penonton untuk
memesan dan membeli barang yang diminati saat menyaksikan sebuah
tayangan.
Dalam sistem layanan IPTV terdapat empat pihak yang berperan.
Pertama, content provider yaitu penyedia program-program televisi dan
konten multimedia. Kedua, service provider yang befungsi untuk mengatur
dan mengendalikan layanan IPTV. Ketiga, network provider yang
merupakan pihak yang menjalankan fungsi pengiriman dan distribusi.
Terakhir, customer yaitu pelanggan yang menikmati layanan IPTV.
Sampai saat ini, perkembangan penggunaan IPTV di banyak negara
semakin meningkat seiring bertambahnya pengguna internet. Tahun 2010
pengguna IPTV diperkirakan bertambah sekitar 70 persen yang didorong
oleh negara-negra berpopulasi padat seperti Cina, India dan Indonesia.
Peluang ini tampaknya dimanfaatkan oleh beberapa lembaga penyiaran
berlangganan di Indonesia untuk menjajaki kemungkinan menerapkan
layanan IPTV sambil menunggu regulasi yang akan dikeluarkan
pemerintah mengenai teknis penyiaran melalui IPTV.
Sebagian besar IPTV provider di dunia berasal dari provider
telekomunikasi dan internet. Hal ini karena layanan IPTV merupakan
gabungan layanan penyiaran, telekomunikasi dan internet (triple play).
Inilah yang dikatakan bahwa teknologi masa depan sulit untuk
dikelompokkan ke bagian penyiaran, komunikasi, atau informasi karena
semuanya berhubungan fungsinya. Beberapa provider IPTV besar di dunia
antara lain: AT&T-U Verse; Verizon Fios TV (Amerika), T-Home (Jerman),
MaLigne TV (Prancis), Telefonica Imagenio (Spanyol), Swiss Com-Blue
Win TV (Swiss), British Telecom (Inggris), PCCW (Hongkong), Hanaro
(Korea), Chunghwa (Taiwan), Sing Tel Mio TV (Singapore).
Televisi masa depan akan menjadi layanan yang sangat dinanti-nanti
oleh para pengguna karena manfaat yang besar dan sifatnya yang sangat
personal dan interaktif. Sebagai interaktif televisi berbasis internet, IPTV
memiliki keunggulan dari segi tampilan yakni ketajaman gambar yang
172
IPTV: Televisi Impian di Masa Depan
sangat tinggi dan memberikan peluang komunikasi dua arah dan multiple
stream. Dengan kehadiran IPTV, konsep komunikasi telah bergeser menjadi
‘broadcast yourself’ dimana semua pengguna bebas menentukan apa yang
ingin dikonsumsi sesuai kebutuhannya. Kehadiran televisi masa depan
ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak termasuk regulasi yang
menjamin keamanan distribusi dan konsumsi layanan tersebut. Bagaimana
pengaturan televisi interaktif ini, akan menjadi pekerjaan rumah regulator.
Selamat datang televisi masa depan!
Daftar Pustaka
Fiske, John. 1987. “Television culture”, London: Routledge.
Budiman, Kris, “Di depan Kotak Ajaib : Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsi”,
Galang Press, Yogyakarta, 2002.
Wahyudi, J.B. 1992, “Teknologi Informasi dan Produksi Citra Bergerak”, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Morrisan, M.A. 2008, “Manajemen Media Penyiaran : Strategi Mengelola
Radio&Televisi”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Severin, Werner J, James W.Tankard, Jr. 2005, “Teori Komunikasi Sejarah, Metode,
dan Terapan di Dalam Media Massa”, Indonesia : Kencana Prenada Media Group.
Parker, Steve. 2000, “Jendela Iptek Seri 1: Listrik”, Jakarta: PT. balai pustaka.
Taryadi, Alfons. 1999, “Buku dalam Indonesia Baru”, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Tepper, Ron. 2006. “How To Get Into The Entertainment Business”, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
S. Wijaya, Benny. 2008. “Produk-produk Edan di Masa Depan”, Jakarta: Ufuk
Publishing House.
http://www.kpi.go.id, diakses Sabtu, 17 Juli 2010.
http://techno.okezone.com, diakses Sabtu, 17 Juli 2010.
173
Lewat buku ini kami ingin
mempertanyakan ke mana masa
depan televisi dan bagaimana
‘wajah’ televisi di masa depan.
Buku ini menyajikan tulisan-
tulisan hasil kajian dan
pembacaan kami, komunitas
orang-orang yang belajar Ilmu
Komunikasi tentang kemana arah
atau masa depan televisi dan
bagaimana televisi masa depan.
Para penyumbang tulisan
sebagian besar adalah dosen,
mahasiswa, dan alumni Prodi
Komunikasi Universitas Atma
Jaya Yogyakarta. Buku ini
merupakan hadiah ulang tahun
ke-19 Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Atma Jaya
Yogyakarta.