You are on page 1of 175

Editor

Yohanes Widodo

Program Studi Ilmu Komunikasi


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Editor
Yohanes Widodo

Program Studi Ilmu Komunikasi


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
2010
Quo Vadis Televisi?
Masa Depan Televisi dan Televisi Masa Depan

Editor
Yohanes Widodo

Grafis
Yugyas

Program Studi Ilmu Komunikasi


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Jalan Babarsari No 6 Yogyakarta
http://fisip.uajy.ac.id

© 2010
Daftar Isi

5 Sekapur Sirih:
‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi

11 Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca


Bonaventura S. Bharata

40 Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV


Ery Kurnia Putri

54 Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos


Ketampanan
Desideria Cempaka Wijaya Murti dan
Meredian Alam

70 Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit


Identifikasi
Yahya Zakaria

82 Mana Acara Televisi untuk Anak?


Astrid Risky Amelia dan
Paskalia Pramita Nareswari

94 Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan


Yohanes Widodo

107 Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran


Publik
Agusly Irawan
3
Quo Vadis Televisi?

119 “Melihat Kembali” TVRI


Benedictus Yanuarto Purnomo dan
Yohanes Bagas Nurogo

125 Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik


Demokrasi di Indonesia: Mungkinkah?
Salvatore Simarmata

147 Parodi di Balik Layar Kaca


Paulina Damayanti dan Gusti Ayu Krista

157 TV Streaming sebagai Televisi Alternatif


Dwi Kartika Sirait dan Fransisca Yosi Wongi

168 IPTV: Televisi Impian di Masa Depan


Lusi Hasiana dan Yosefine Nandy Lestyana

4
Sekapur Sirih:
‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi

Sejarah pertelevisian di Indonesia diawali oleh kehadiran TVRI pada


1962 di Jakarta, disusul kehadiran televisi swasta sejak 1989 hingga
sekarang. Sejak kelahirannya, terutama sejak kehadiran stasiun-stasiun
televisi swasta di Indonesia, dunia televisi berkembang pesat.
Televisi merupakan media yang paling mendapat perhatian khalayak,
pengamat, dan pemerhati. Cukup banyak artikel, penelitian maupun
buku yang mengkaji tentang televisi. Benci tapi rindu! Di satu sisi TV
begitu dibenci. Ada gerakan “Matikan TV-mu”, “Jangan Nonton Sinetron
Indonesia”, dan lain-lain. Gerakan seperti ini merupakan ‘perlawanan’
terhadap tayangan dan dampak buruk televisi yang makin sering
disuarakan.
Di sisi lain, banyak orang merindukan dan mencintai televisi. Televisi
menjadi teman setia sejak bangun tidur hingga tidur. Televisi bahkan
menjadi sosok yang bisa menggantikan tugas guru, agamawan maupun
orang tua sebagai educator. Televisi menyediakan role-model bagi anak-
anak dan remaja, dan menjadi sumber acuan untuk mendefinisikan mana
yang baik dan mana yang buruk dan menjadi semacam agama sipil
kontemporer (Robert N. Bellah, 1967, Ratna Noviani, 2008) yang
melibatkan bentuk-bentuk pemujaan baru lewat ritual-ritual menonton
dan mengkonsumsi media.
Perkembangan televisi di Indonesia telah memunculkan beragam isu
dan persoalan, seperti kualitas tayangan, wacana televisi jaringan, televisi
lokal, televisi digital, persoalan etika, sumber daya, persoalan kepemilikan,
dan lain-lain. Berbagai isu dan permasalahan tersebut menantang kami,
sebagai komunitas yang belajar dan melakukan studi tentang media dan
televisi untuk menyampaikan pemikiran, gagasan, dan gerundelan tentang
televisi kita.
Lewat buku berjudul “Quo Vadis Televisi? Masa Depan Televisi dan Televisi
Masa Depan” kami ingin mempertanyakan ke mana masa depan televisi
dan bagaimana ‘wajah’ televisi di masa depan. Buku ini menyajikan

5
Quo Vadis Televisi?

tulisan-tulisan hasil kajian dan pembacaan kami, komunitas orang-orang


yang belajar Ilmu Komunikasi tentang kemana arah atau masa depan
televisi dan bagaimana televisi masa depan. Para penyumbang tulisan
sebagian besar adalah dosen, mahasiswa, dan alumni Prodi Komunikasi
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Buku ini merupakan hadiah ulang
tahun ke-19 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya
Yogyakarta.
Buku ini menyajikan sejumlah topik kajian yang beragam dan
dikelompokkan menjadi tiga bagian: (1) Program/acara televisi
(infotainment, reality show, sinetron, acara anak-anak) (2) Televisi publik,
sistem stasiun jaringan dan TVRI (3) Televisi Masa Depan (TV Streaming
dan IPTV).
Dalam tulisan berjudul “Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca”,
Bonaventura Satya Barata menemukan bahwa televisi mampu mengubah
wajah kematian, dari peristiwa yang menyedihkan dan memilukan,
menjadi peristiwa yang menghibur. Semua dilakukan melalui proses
pembingkaian yang melibatkan konstruksi bahasa, baik verbal maupun
non verbal, dilakukan sedemikian rupa untuk mengubah wajah kematian
tersebut. Insert Trans TV melakukannya dengan teknik produksi, baik
melalui pemberian bumper in, perpindahan gambar yang cepat dan
manipulatif, penumpukan gambar, dan ilustrasi musik. Persinggungan
antara realitas kematian dengan kepentingan ekonomi media (melalui
proses komodifikasi) mengubah secara radikal wajah peristiwa kematian
menjadi sebuah pertunjukan hiburan. Realitas kematian yang ditampilkan
oleh media massa, menjadi sangat jauh dari kesan sedih dan duka, bahkan
jauh dari menakutkan dan mengerikan.
Dalam penelitiannya tentang “Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans
TV”, Ery Kurnia Putri menemukan bahwa lima tayangan Realigi di TransTV
sarat dengan kekerasan, meliputi: kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan
kekerasan simbolik. Berbagai adegan penuh konflik seperti adu mulut,
pengintaian, dan kekerasan fisik bukanlah sebuah tayangan yang memiliki
nilai edukasi khususnya bagi anak-anak mengingat acara ini masih
ditayangkan pada prime time.
Masih tentang program tayangan televisi, Desideria Cempaka Wijaya
Murti dan Meredian Alam lewat “Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos
Ketampanan” menunjukkan bahwa kekuatan televisi yang besar untuk
menjadi subtitute teacher membuat sebagian masyarakat yang lemah dan
mudah mengikuti arus televisi akan menjadi korban proses alienasi

6
Sekapur Sirih: ‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi

terhadap diri dan tubuhnya. Keberadaan televisi yang kuat, membuat


individu dan komunitas telalu berkaca pada media, sehingga individu
kehilangan keunikan dan identitas tubuhnya. Padahal keunikan individu
dapat mendefinisikan potensi yang dimiliki oleh individu manusia yang
sangat berharga.
Sementara itu, Yahya Zakaria menyoroti “Sinetron Remaja Sebagai
Ruang Sempit Identifikasi”. Ia menegaskan, sudah saatnya sinetron remaja
melakukan perubahan dan menjalankan fungsinya sebagai media
pembelajaran remaja sekaligus menjadi media identifikasi yang luas,
beragam dan demokratis, karena dengan kondisi seperti saat ini, remaja
akan terus menjadi korban, terus kerdil dan seragam. Production house,
stasiun televisi dan produser sinetron remaja seharusnya menjadikan
moral sebagai orientasi, bukan hanya orientasi materi, karena jika hanya
materi yang dijadikan orientasi, hasilnya akan selalu seperti ini, tragis.
Moral dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang, menjadi tanggung jawab.
Dengan adanya perubahan orientasi diharapkan sinetron remaja mampu
berbenah, mampu menjadi ladang subur referensi identitas, dan terdapat
keberagaman identifikasi bagi remaja di dalamnya.
“Mana Acara Televisi untuk Anak?” Itu pertanyaan yang dilontarkan
oleh Astrid Risky Amelia dan Paskalia Pramita Nareswari. Menurut
mereka, perlu ada usaha untuk kembali memberikan ruang kepada anak-
anak Indonesia untuk bisa mendapatkan apa yang dibutuhkan oleh
mereka melalui media massa seperti televisi. Kepedulian untuk
memberikan tayangan sehat dan mendidik pada anak menjadi harapan
semua orang tua dan pemerhati anak. Banyak yang dapat dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan informasi pada anak, salah satunya membuat
program acara televisi yang berorientasi anak-anak. Pemenuhan dan
pemberian hak mendapatkan informasi untuk anak ini bisa dilakukan
dengan memberi jam tayang yang lebih banyak dan panjang untuk acara
anak. Alternatif lain adalah mengajak semua pemilik stasiun televisi dan
perusahaan yang memproduksi acara televisi untuk mulai memproduksi
acara anak. Semakin banyak acara anak, maka pilihan anak akan tontonan
yang cocok untuk mereka juga semakin banyak. Selama ini banyak anak
yang menonton acara dewasa yang tidak sesuai umur karena mereka tidak
memiliki pilihan tontonan.
Sementara Yohanes Widodo mencoba menyoroti “Pluralisme Media
dan Sistem Stasiun Jaringan”. Ia menekankan, pihak televisi Jakarta harus
bersedia bertransformasi menjadi stasiun berjaringan karena mereka

7
Quo Vadis Televisi?

menggunakan frekuensi yang merupakan domain publik. Jika selama


ini publik Yogyakarta sekedar dimanfaatkan oleh televisi Jakarta untuk
target iklan dan memperkuat bisnis mereka, kini saatnya bagi publik
untuk mendapatkan haknya, dalam bentuk tayangan bermutu dan ruang
untuk menyampaikan pemikiran dan aspirasinya.
TVRI juga mendapat sorotan para penulis. Agusly menekankan
perlunya “Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik”.
Menurutnya, perubahan zaman dan kondisi di Indonesia menghendaki
perubahan TVRI. TVRI harus menjadi lembaga yang berorientasi pada
pelayanan masyarakat dengan menjadikan TVRI sebagai lembaga
penyiaran publik. Hal ini dianggap ideal karena dari perkembangan
kondisi saat ini, TVRI cocok untuk menjalankan peran ini. Karena DNA
TVRI berbeda dengan DNA stasiun televisi swasta. TVRI terlihat lebih
mapan dari segi infrastuktur dan usia. Namun kenyataannya terbalik. Yang
terjadi, usia bertambah tetapi TVRI tidak siap dalam menghadapi
perubahan. Ia semakin ditinggalkan publiknya, TVRI juga tidak terlalu
dekat dengan pemerintah. Akhirnya ia sendirian menghadapi kerasnya
pertarungan dengan stasiun televisi swasta.
Penulis lainnya, Benedictus Yanuarto Purnomo dan Yohanes Bagas
Nurogo mengajak kita untuk “’Melihat Kembali’ TVRI” dalam arti menata
kembali manajeman sampai programnya dan menyaksikan kembali TVRI
karena TVRI menyajikan acara-acara yang menarik, mengemban misi
pendidikan dan patut dibanggakan. TVRI seharusnya dapat dijadikan
rujukan mengenai tayangan yang memiliki idealisme nilai dan melayani
masyarakat untuk dapat berpikir kritis, lepas dari semua orientasi mencari
rating, keuntungan, dan kepentingan politis. Ruang publik penyiaran
mencerminkan kemajemukan nilai dalam masyarakat, ramah keluarga,
tidak bias gender, tidak diskriminatif, menghibur tetapi juga memberikan
nilai tambah dalam masyarakat. TVRI harus mewakili semua kalangan,
sebagai wadah bersama, karena sifatnya dari rakyat dan untuk rakyat.
TVRI bukan hanya menjadi alat propaganda budaya Jawa seperti era
Suharto, namun dapat diakses oleh semua golongan. TVRI harus
membantu daerah-daerah yang tertinggal menjadi berubah dan tidak
semata-mata berpatokan pada rating.
“Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia:
Mungkinkah?” Itu pertanyaan Salvatore Simarmata. Ia menyimpulkan
bahwa bahwa televisi secara struktural merupakan ruang publik yang
ideal. Analisisnya sampai pada kesimpulan bahwa televisi sebagai ruang

8
Sekapur Sirih: ‘Benci Tapi Rindu’ dengan Televisi

publik di Indonesia seperti jauh panggang dari api. Realitas televisi kurang
mencerminkan kualitas ruang publik sebagaimana diharapkan dalam
konteks berdemokrasi. Kekuatan struktural yang menggerogoti fungsi
kepublikan televisi tersebut adalah kepentingan kapitalis media, dan
kepentingan politis pemilik medianya sendiri. Untuk mewujudkan peran
tersebut diperlukan upaya pemerintah untuk menegakkan terjaminnya
hak-hak publik dalam televisi. Di sisi lain, TV publik sudah waktunya
ditransformasi secara total untuk memperjuangkan kepentingan publik
di tengah degradasi fungsi televisi komersil untuk demokrasi. Televisi
mestinya menjadi ruang publik strategis di tengah konsolidasi demokrasi
di Indonesia sekarang ini.
Paulina Damayanti dan Gusti Ayu Krista megajak kita melihat “Parodi
di Balik Layar Kaca”. Menurut mereka, di masa depan televisi bisa menjadi
senjata perang di antara pemilik media atau penguasa untuk saling
menjatuhkan. Masyarakat pada akhirnya tidak lagi terkena imbas manfaat,
melainkan akan dibuat bingung oleh media-media tersebut dan tidak tahu
lagi mana media yang bisa dipercaya. Konsentrasi kepemilikan media di
tangan segelintir orang akan merusak asas demokratisasi. Hal ini berlaku
di Jerman, Inggris, maupun Indonesia, konsentrasi dan kendali yang
berada dalam kekuasaan segelintir orang, terutama investor asing, dapat
menggerogoti kedaulatan Negara.
Seperti apa televisi masa depan? Dwi Kartika Sirait dan Fransisca Yosi
Wongi menawarkan konsep “TV Streaming sebagai Televisi Alternatif”.
Menurut mereka, kemudahan akses teknologi komputer memungkinkan
masyarakat dapat memaksimalkan TV Streaming. Penggunaan cybermedia
yang meningkat dari hari ke hari sebagai sarana berkomunikasi, hiburan,
dan bisnis, memungkinkan masyarakat modern lebih banyak mengakses
TV streaming. Dengan demikian, informasi yang didapatkan tidak lagi
hanya berupa teks digital tetapi siaran audio-visual. Akses yang murah
dan lebih efisien tentu menjadi pilihan alternatif untuk mendapatkan
informasi dan hiburan di masa depan.
Sedangkan Lusi Hasiana dan Yosefine Nandy Lestyana menawarkan
IPTV sebagai “Televisi Impian di Masa Depan”. Sebagai interaktif televisi
berbasis internet, IPTV memiliki keunggulan dari segi tampilan yakni
ketajaman gambar yang sangat tinggi dan memberikan peluang
komunikasi dua arah dan multiple stream. Dengan kehadiran IPTV, konsep
komunikasi telah bergeser menjadi ‘broadcast yourself’ dimana semua
pengguna bebas menentukan apa yang ingin dikonsumsi sesuai

9
Quo Vadis Televisi?

kebutuhannya. Kehadiran televisi masa depan ini membutuhkan


dukungan dari berbagai pihak termasuk regulasi yang menjamin
keamanan distribusi dan konsumsi layanan tersebut.
Demikian sajian kami. Semoga kajian dan gerundelan kami, orang-orang
Komunikasi bisa menjadi pelepas dahaga publik yang mengharapkan
tayangan televisi yang pas dan mantap. Semoga!

Yohanes Widodo
Editor

10
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca
Bonaventura S. Bharata
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Taufik Savalas, Asmuni, Basuki, Alda Risma, Chrisye, Gito Rollies: siapa
yang tidak kenal mereka? Tiga nama pertama merupakan komedian papan
atas Indonesia. Tiga nama berikutnya adalah artis/penyanyi yang cukup
dikenal oleh masyarakat Indonesia. Semuanya telah meninggal dunia pada
2007-2008. Masyarakat Indonesia pun berduka. Semua informasi tentang
meninggalnya tokoh terkenal seperti artis dan pejabat pemerintah rata-
rata diketahui masyarakat Indonesia dari media massa.
Media massa menginformasikan seluk-beluk meninggalnya para artis
tersebut, mulai dari penyebab meninggal, detik-detik terakhir, duka yang
ditinggalkan, hingga prosesi pemakamannya. Semuanya dideskripsikan
secara detil. Tak hanya itu, dia awal 2004, TV7 (sekarang Trans7), bahkan
pernah menyiarkan secara langsung detik-detik terakhir kehidupan artis
muda Sukma Ayu, yang koma hampir setahun penuh pasca operasi yang
dilakukan oleh tim dokter rumah sakit MMC Jakarta.
Perhatian media massa terhadap peristiwa kematian tidak hanya
berhenti sampai di sini. Saat meninggalnya mantan Presiden Soeharto pada
akhir Januari 2008, perhatian media pada peristiwa kematian menjadi lebih
besar lagi. Semua media, baik cetak maupun elektronik, memberitakan
peristiwa langka ini. Dua hari berturut-turut headline media cetak
memberitakan kematian mantan penguasa era Orde Baru ini. Semua
saluran televisi juga memberitakan secara langsung hal yang sama. Semua
media berfokus pada pemberitaan mengenai wafat dan prosesi
pemakamannya. Hingga berita tentang naiknya harga minyak goreng dan
kacang kedelai yang meresahkan para pengrajin tahu dan tempe pun
sempat terpinggirkan. Hal ini memicu kontroversi. Beberapa elemen
masyarakat memprotes siaran langsung ini dengan dalih bahwa para
pengelola stasiun televisi swasta tersebut dituding melakukan blocking
time siaran yang kemudian meniadakan siaran yang lain sebagai alternatif
tontonan masyarakat.

11
Quo Vadis Televisi?

Khusus untuk kasus kematian Soeharto, sangat menarik jika


mencermati perilaku media dalam menyorot kematian tokoh yang dijuluki
Bapak Pembangunan tersebut. Wafat dan pemakaman sang jenderal
berbintang lima ini tidak hanya muncul di acara-acara berita formal,
namun muncul pula di beberapa segmen acara infotainment di televisi,
seperti di acara Insert Investigasi (Trans TV), Cek dan Ricek (RCTI), KISS
(Indosiar), dan Expresso (ANTV) yang nyata-nyata sebenarnya merupakan
acara yang mengkhususkan diri pada para artisdan selebriti. Terbitan
media cetak pun demikian. Berita tentang kematian Soeharto tak hanya
muncul di suratkabar besar macam Kompas, Republika, Suara Pembaruan,
dan Koran Tempo, namun muncul pula di beberapa terbitan tabloid hiburan
seperti Bintang Indonesia, Cek dan Ricek dan di tabloid khusus perempuan,
seperti Nova.
Di sisi lain, perilaku media dalam memberitakan kematian juga bukan
tanpa cela. Siaran langsung yang mendeskripsikan detik-detik terakhir
kehidupan artis Sukma Ayu ataupun siaran langsung yang mengiringi
prosesi pemakaman Soeharto ternyata juga terselip iklan komersial.
Khusus untuk wafatnya mantan Presiden Soeharto, situs Indonesia TV Guide
dalam laporan khususnya menunjukkan bahwa penayangan kematian
Soeharto ternyata mendongkrak rating1. Artinya, proses pemakaman
Soeharto ternyata sangat menarik minat penonton televisi sehingga
mengundang minat pengiklan untuk mensponsori acara tersebut. Tak
hanya di siaran langsungnya, ketika pemakaman Soeharto masuk dalam
tayangan infotainment pun, iklan yang muncul pun tak kalah banyak. Saat
peristiwa kematian artis-artis terkenal seperti Taufik Savalas, Chrisye,
Basuki, Asmuni dan Gito Rollies, pun kondisinya tak jauh berbeda. Selipan
iklan komersial pun tampak dalam tontonan tersebut.
Namun bisa pula dipahami bahwa selipan iklan dalam tayangan
langsung prosesi pemakaman mantan Presiden Soeharto tersebut
ditayangkan oleh televisi swasta. Televisi swasta atau televisi komersial
untuk Indonesia merupakan bentuk siaran televisi yang
penyelenggaraannya berbasis pada industri sehingga pembiayaan
operasionalnya sangat tergantung dari pendapatan iklan yang diperoleh.
Artinya siaran televisi ini sangat mengandalkan perhitungan untung rugi.
Bila diyakini sebuah tayangan bersifat laku jual, maka tayangan tersebut
layak ditayangkan di televisi. Namun sebaliknya, jika sebuah tayangan
diyakini tidak mendatangkan laba, maka tayangan tersebut pun tidak akan
bisa disiarkan di televisi. Dengan demikian dalam industri televisi,

12
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

dituntut untuk sekreatif mungkin memformat suatu acara agar laku jual
di mata pengiklan.
Di sinilah bertemunya realitas ini dengan term komodifikasi yang
diperkenalkan oleh Vincent Mosco dalam bukunya The Political Economy
of Communication, Rethinking and Renewal. Secara ringkas komodifikasi
merupakan cara kapitalisme dalam mencapai tujuannya untuk
mengakumulasikan kapital atau merealisasikan nilai melalui transformasi
dari penggunaan nilai-nilai ke dalam sistem pertukaran (Mosco, 1996).
Artinya, jika ini terjadi dalam industri televisi adalah bagaimana cara
yang dilakukan oleh para pekerja media untuk mengubah realitas sosial
menjadi realitas media yang laku jual. Proses mengubah nilai pakai
menjadi nilai tukar atau proses perubahan produk dari yang nilainya
ditentukan oleh kapasitasnya untuk memenuhi kebutuhan individu atau
kelompok menjadi produk yang nilainya ditentukan oleh apa yang dapat
dibawa produk itu ke pasar. Dalam fenomena ini, peristiwa kematian
mengalami proses komodifikasi ketika bersentuhan dengan industri
media. Pengelola media melakukan upaya sedemikian rupa untuk
mengemas sebuah peristiwa kematian untuk kemudian menjadi sebuah
produk berita dan tontonan yang mampu menarik perhatian audiens.
Semakin besar perhatian audiens, semakin besar pula kemungkinan
produk ini meraih iklan. Dari sisi etis, inilah permasalahannya. Apakah
pantas peristiwa kematian yang jelas merupakan peristiwa duka cita ini
kemudian mengalami proses komodifikasi sedemikian rupa untuk meraih
audiens dan dijual kepada para pengiklan untuk kemudian mendatangkan
profit yang tinggi?2
Penelitian tentang komodifikasi sendiri pernah dilakukan oleh Diah
Kurniati, dengan judul Komodifikasi Privasi di Ruang Publik, Analisis Wacana
Kritis terhadap Acara Harap-Harap Cemas (H2C) di SCTV. Dalam penelitian
skripsi tersebut dinyatakan bahwa proses produksi tayangan reality show
oleh rumah produksi (REC Production) ini ternyata masih sangat
dipengaruhi oleh kepentingan untuk mendatangkan profit. Ini terwujud
dalam bentuk adanya intervensi pada praktek produksi yang dilakukan
oleh SCTV agar tayangan reality show ini lebih mampu menyesuaikan
dengan selera pasar. Padahal tayangan ini jelas-jelas melanggar privasi
para pelakunya. Artinya, ditinjau secara etis komunikasi, acara ini
melanggar norma-norma etika (Kurniati dalam Jurnal Thesis, 2006; 151).
Sedangkan penelitian tentang kematian, dalam hal ini iklan kematian
di surat kabar, pernah dilakukan oleh Iwan Awalludin Yusuf dalam

13
Quo Vadis Televisi?

bukunya Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas, Representasi Etnik


Tionghoa dalam Iklan Duka Cita di SKH Suara Merdeka Semarang. Penelitian
ini dilakukan terhadap beragam iklan kematian yang diterbitkan atas
inisiatif masyarakat Tionghoa di SKH Suara Merdeka pada rentang waktu
1997-1999. Kesimpulan akhir dari penelitian ini, bahwa etnik Tionghoa
ternyata memaksimalkan peran iklan kematian yang diterbitkan di SKH
Suara Merdeka untuk menunjukkan eksistensi komunitas Tionghoa di
tengah tekanan sosial atas masyarakat Tionghoa akibat upaya represi
pemerintah Orde Baru. Upaya ini menemukan jalannya di tengah
kapitalisasi industri media cetak di era yang sama, dalam hal ini SKH
Suara Merdeka Semarang.
Temuan lain yang menarik adalah munculnya istilah necrocultura yang
dipopulerkan oleh Fabio Giovannini. Necrocultura berarti pandangan
positif terhadap peristiwa kematian. Berbeda dengan masa lalu yang
memandang kematian sebagai sesuatu yang mengerikan dan ditakuti,
pada masa sekarang kematian merupakan peristiwa yang logis atau bukan
sesuatu yang ditakuti karena merupakan peristiwa wajar yang akan
menimpa siapapun. Yang perlu dipersiapkan justru bagaimana
menghadapi kematian tersebut (dalam Yusuf, 2005; 70). Dalam
perkembangan berikutnya kematian pun bahkan menjadi komoditas3.
Peluang ini bertemu dengan konsep komodifikasi di ranah media massa.
Media pun ikut merayakan necrocultura.
Penelitian lain yang menarik tentang kematian pernah ditulis oleh
Ronny E. Turner dan Charles Edgley (dalam Mulyana dan Solatun, 2007;
185-186). Mereka menjelaskan bagaimana peristiwa kematian dapat
dikonstruksi sedemikian rupa hingga mengesankan sebuah pertunjukan.
Dikatakan bahwa pada dasarnya para pengatur pemakaman merupakan
pebisnis yang unik. Dikatakan unik karena para pengatur pemakaman
ini tidak dapat meningkatkan pendapatannya dengan meningkatkan
jumlah kematian di lingkungannya. Karenanya bisnis ini harus dijalankan
secara hati-hati. Iklan perusahaan pun dikemas sedemikian rupa sehingga
tidak mengesankan adanya harapan akan jumlah kematian yang
meningkat untuk mendongkrak pendapatan. Peningkatan penghasilan
justru diperoleh seberapa ahli seorang pengatur pemakaman mengemas
peristiwa kematian menjadi sebuah ’pertunjukan’. Keberhasilan ini akan
berdampak pada reputasi mereka yang pada akhirnya mampu
memperluas pasar sehingga secara tidak langsung mendongkrak
pendapatan.

14
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan pemahaman bahwa


ternyata peristiwa kematian pun dapat merupakan sebuah komoditas
ketika bersentuhan dengan aspek kapital (uang). Ini tidak berbeda dengan
peristiwa ulang tahun, pernikahan, ataupun kelahiran. Masalahnya, jika
peristiwa-peristiwa ini merupakan peristiwa suka cita, peristiwa kematian
sebenarnya lebih dekat dengan peristiwa duka cita. Namun ketika
peristiwa ini dilihat sebagai peluang bisnis, peristiwa kematian pun
berubah wujud menjadi sebuah pertunjukan yang tidak berbeda dengan
peristiwa ulang tahun, pernikahan, dan kelahiran. Lalu bagaimana bila
peristiwa kematian para tokoh terkenal bersentuhan dengan industri
media? Apakah juga merupakan jalan untuk menjadi sebuah pertunjukan
atau bahkan sebuah necrocultura? Penelitian ini dimaksudkan untuk
menjawab pertanyaan bagaimanakah lembaga media (dalam hal ini Trans
TV) mengkonstruksi peristiwa kematian (Sophan Sophiaan)?
Program Insert Investigasi Kematian Sophan Sophiaan
Insert Investigasi ditayangkan setiap sore pukul 17.30 WIB. Menilik dari
namanya yang menggunakan kata investigasi, Insert Investigasi idealnya
merupakan tayangan dalam format laporan (mendalam) yang mendes-
kripsikan permasalahan tertentu. Biasanya tayangan Insert Investigasi
berupaya mengupas seorang sosok artis tertentu atau mengangkat tema
tertentu. Karena masuk dalam acara infotaiment (yang dalam pemahaman
masyarakat Indonesia adalah informasi tentang dunia hiburan), format
isinya pun diupayakan dalam bentuk yang sekiranya dapat menghibur.
Walaupun dengan format menghibur, belum tentu isinya bersifat
menghibur. Salah satu topik yang sering diangkat oleh Insert Investigasi
adalah masalah perceraian artis. Perceraian tentu bukanlah realitas yang
menghibur. Namun dalam tayangan Insert Investigasi, kabar perceraian
artis ini mampu diformat dalam bentuk yang menghibur.
Demikian pula pada realitas kematian (artis). Kematian bagi siapa saja,
tentu saja bukan merupakan peristiwa menghibur. Termasuk bagi keluarga
artis sekalipun. Realitas kematian selalu dekat dengan suasana sedih, duka,
isak tangis, kelam, dan hitam. Namun ketika realitas ini dinaikkan ke
layar kaca melalui acara Insert Investigasi, kematian memiliki nuansa yang
berbeda. Kematian bukanlah persitiwa yang sedih dan duka. Justru
sebaliknya: kematian menjadi peristiwa yang memberikan hiburan
tersendiri. Seperti terjadi pada peristiwa kematian artis Sophan Sophiaan.

15
Quo Vadis Televisi?

Bagaimana Insert Investigasi mengkonstruksi peristiwa tersebut menjadi


kematian yang menghibur?
Dari Sisi Teknik Produksi:
a. Dramatisasi Adegan
Dramatisasi adalah bagaimana membuat sebuah peristiwa yang
sebenarnya biasa, menjadi tayangan yang memiliki kesan luar biasa atau
impresi yang mendalam. Dramatisasi dalam dunia produksi program
televisi dapat dilakukan melalui proses pengambilan gambar dan proses
editing (baik suara maupun gambar). Melalui proses pengambilan gambar,
misalnya ketika ingin menampilkan profil seseorang dengan
mengesankannya sebagai sosok yang kharismatis, kamerawan dapat saja
mengambil gambar dari arah bawah. Pengambilan gambar dengan
mengarahkan kamera dari arah bawah (low angle) akan mengesankan
seseorang menjadi sosok yang berwibawa dan kharismatik. Jika
menggunakan editing gambar, perubahan warna dari berwarna menjadi
hitam putih pada sebuah peristiwa akan memunculkan kesan masa lalu
bagi yang menyaksikannya. Dramatisasi dalam peristiwa kematian Sophan
Sophiaan dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya:
b. Memformat bumper in
Bumper ini merupakan gambar atau rentetan potongan gambar atau
adegan yang disusun sedemikian rupa menjelang memasuki isi sebuah
acara (Cremer, dkk, 1996: 419). Biasanya dilakukan untuk menggugah
calon penonton agar tertarik untuk menyaksikan acara tersebut. Gambar-
gambar yang dipilih untuk mengisi bumper in ini biasanya diambil dari
bagian yang sekiranya paling menarik sehingga mampu memunculkan
ketertarikan penonton. Dalam tayangan Insert Investigasi tentang peristiwa
kematian Sophan Sophiaan, gambar yang dipilih untuk mengisi bumper
in adalah gambar yang mengisahkan firasat yang dialami oleh Widyawati
(istri Sophan Sophiaan) menjelang kematian Sophan Sophiaan.
Dalam bumper in yang dimunculkan sebagai pembuka pada acara Insert
Investigasi ini sebenarnya bukan hanya gambar yang mendeskripsikan
firasat yang dirasakan oleh Widyawati selaku istri almarhum Sophan
Sophiaan, namun juga berisi gambar yang lain. Gambar-gambar tersebut
di antara lain pernyataan Paramitha Rusady, Winkey Wiryawan dan
Kennes, serta kakak-beradik Chintami dan Minati Atmanegara, tentang
kesan-pesan terhadap perkawinan Widyawati dan Sophan Sophiaan.
Kemudian dilanjutkan dengan gambar nostalgia, yakni kenangan antara

16
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Sophan Sophiaan dan Widyawati yang membeberkan rahasia


kelanggengan rumah tangga mereka.

No Time Code Narasi Gambar


1. 00:00-00.10 Bumper in

Widyawati : Buat saya dia


masih ada aja. Saya merasa kaya
mimpi gitu lho, lain kalo dalam
keadaan sakit. Tapi kalo seperti
ini, anda-anda pasti akan
seperti saya. Terakhir dia peluk
saya, Saya ga jawab. Saya sedih
bener itu.

2. 00:10-00:13 Paramitha Rusady: Seperti di


kisah roman kalo saya bilang
sih...

3. 00:13-00:15 Kennes : memang pasangan


yang ideal banget …

4. 00:15-0018 Minati : gak ada ya yang punya


hubungan sehebat mereka …

17
Quo Vadis Televisi?

No Time Code Narasi Gambar


5. 00:18-00:22 Minati : gak ada ya yang punya
hubungan sehebat mereka …

6. 00:22-00:38 Sophan : kuncinya kalo orang


jawa itu …. Nrimo

Dari beberapa gambar yang disajikan tersebut, gambar yang


mendeskripsikan tentang firasat Widyawati mendapatkan porsi dominan.
Selain mendapatkan posisi pertama (sebagai pembuka acara), durasinya
pun memakan waktu sepuluh detik. Ini berbeda dengan gambar-gambar
berikutnya yang hanya mendapatkan rata-rata durasi sekitar tiga detik
saja. Penempatan gambar pada posisi pertama dan memiliki durasi yang
relatif panjang dibandingkan dengan gambar yang lain dimaksudkan
sebagai impresi khusus untuk menggugah rasa tertarik calon khalayak
untuk bersedia menyaksikan acara tersebut.
Sebagai sebuah bumper in tayangan infotainment peristiwa kematian,
Insert Investigasi Trans TV bisa dikatakan cerdik. Mengapa cerdik? Dalam
masyarakat Indonesia, salah satu pembicaraan menarik dalam peristiwa
kematian adalah firasat apa yang sebenarnya muncul menjelang seseorang
meninggal dunia. Menjadi semakin menarik apabila yang bercerita adalah
orang-orang terdekat dari individu yang meninggal dunia, seperti istri
dan anak-anak. Kisah yang dituturkan oleh Widyawati ketika mengalami
firasat tersebut menjadi peristiwa unik yang dipilih dan diduga akan
menarik perhatian penonton.
Dalam tayangan Insert Siang Minggu (18 Mei 2008), peristiwa firasat
kematian Sophan Sophiaan juga ditampilkan. Kali ini firasat tersebut
dialami oleh putera Sophan Sophiaan (Romy Sophiaan). Romy

18
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

menceritakan bahwa Sophan Sophiaan pernah memiliki keinginan untuk


menjual motor besarnya setelah selesai melakukan Touring Merah Putih.
Ini akan dilakukan oleh Sophan Sophiaan karena ia sudah merasa yakin
bila touring yang dijalaninya ini merupakan touring terakhirnya.
Dalam Insert Investigasi Minggu sore (18 Mei 2008), sekali lagi firasat
yang dialami oleh keluarga Sophan Sophiaan diceritakan kembali oleh
puteranya Romy Sophiaan. Dikatakan bahwa dua hari sebelum kematian
Sophan, Romy merasa ada suara langkah kaki di depan kamar tidurnya.
Ia merasakan bahwa itulah langkah kaki ayahnya. Padahal Sophan pada
saat yang sama masih melakukan touring dalam rangka memperingati
100 tahun Kebangkitan Nasional. Di samping itu firasat yang dirasakan
oleh sesama rekan touring Sophan Sophiaan juga diceritakan dalam Insert
Investigasi tersebut. Dinyatakan oleh Freddy Soemitro, bahwa Sophan
Sophiaan pernah menyatakan keinginan untuk cepat-cepat kembali ke
Jakarta.
Penceritaan firasat atas kematian memang diakui sebagai bagian yang
termasuk menarik yang menyertai peristiwa kematian itu sendiri. Tidak
mengherankan setiap ada penayangan kematian artis di infotainment Insert
Investigasi, penceritaan tentang firasat ini selalu muncul. Misalnya pada
penayangan Insert Investigasi tentang kematian artis Gito Rollies beberapa
minggu sebelum Sophan Sophiaan meninggal dunia. Istri Gito Rollies
(Michelle) menceritakan bahwa suaminya sering meminta kepada sahabat-
sahabatnya untuk selalu mendoakan dirinya.
c. Perpindahan gambar yang cepat
Dalam tayangan Insert Investigasi, ada beberapa bagian cerita yang
dideskripsikan secara cepat dan dinamis. Cepat di sini berarti perpindahan
dari gambar yang satu ke gambar yang lain dilakukan dengan tempo yang
singkat, dengan gambar yang beraneka ragam. Dinamis artinya
perpindahan dari gambar yang satu ke gambar yang lain dilakukan
dengan teknik tertentu, bisa dengan teknik cut to cut ataupun dissolve.
Teknik perpindahan gambar ini memberikan impresi tertentu pula. Seperti
teknik cut to cut biasanya ingin menunjukkan perpindahan tema cerita
(Bordwell dan Thompson, 2008: 477). Sedangkan dissolve, merupakan
teknik perpindahan gambar yang ingin memunculkan kesinambungan
antar gambar (Bordwell dan Thompson, 2008: 478).
Pada tayangan Insert Investigasi Sophan Sophiaan terdapat beberapa
bagian alur cerita yang disampaikan dengan tempo cepat. Ini ditandai

19
Quo Vadis Televisi?

perpindahan dari gambar yang satu ke gambar yang lain dalam waktu
singkat. Teknik perpindahan gambarnya pun bervariasi, ada cut to cut
dan ada pula yang dissolve. Perpindahan gambar yang cepat ini disertai
dengan teknik perpindahan gambar yang bervariasi memberikan kesan
dinamis pada peristiwa. Sesuatu yang dinamis biasanya berkait dengan
hal yang menyenangkan dan menggembirakan. Tentu ini bertolak
belakang dengan peristiwa kematian itu sendiri. Kematian tentu tidak

Gambar dan
No Time Code Narasi Perpindahan Gambar

1. 01.08 (ilustrasi musik)

2. 01.10

3. 01.11

4. 01.13 Jika...

20
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Gambar dan
No Time Code Narasi Perpindahan Gambar

5. 01.14 hidup adalah sebuah


film

6. 01.15 Sophan Sophian adalah

7. 01.16 lakon melodrama


terbaik…

8. 01.18 Selama …. (delapan


windu perjalanannya …)

ditandai dengan kedinamisan peristiwa. Kematian biasanya dikesankan


sedih, duka, gelap, dan suram tentu jauh dari hal-hal yang bersifat dinamis.
Namun dengan teknik editing tertentu, peristiwa kematian justriu
mendapatkan kesan dinamis tersebut.
Dari rentetan gambar dalam tayangan Insert Investigasi Trans TV,
terkesan jelas bahwa perpindahan gambar atas peristiwa dilakukan

21
Quo Vadis Televisi?

dengan sangat cepat dan dinamis. Penampilan gambar hanya dilakukan


rata-rata per satu detik. Bahkan proses perpindahan gambar dengan
menggunakan teknik dissolve juga hanya memakan waktu satu detik saja.
Perpindahan gambar yang sangat singkat ini tentu mempengaruhi narasi
yang disampaikan. Narasi pun dibuat seringkas mungkin. Per satu detik
diucapkan rata-rata tiga kata (diksi). Tentu ini juga mempengaruhi secara
tidak langsung durasi pengucapan yang juga dituntut cepat.
Demikian pula saat berganti antar sequences dari prolog menuju isi
cerita. Tak jarang perpindahan gambar yang cepat ini turut mengiringi
alur cerita yang disampaikan. Padahal peristiwa yang disampaikan
adalah cuplikan-cuplikan gambar dari suasana pemakaman dari Sophan
Sophiaan yang sudah dilakukan sehari sebelumnya dan tentu sudah
ditayangkan pada sore dan pagi hari sebelum tayangan Insert Investigasi
ini diudarakan. Selain itu juga cuplikan-cuplikan gambar yang
menunjukkan suasana tahlilan yang digelar di rumah duka. Namun
karena disampaikan dalam tempo yang cepat, susunan gambar tersebut
malah berkesan tidak menunjukkan kedukaan.
Di bagian tayangan yang lain, perpindahan gambar semuanya juga
ada yang dilakukan per satu detik. Konsekuensinya pun berimbas pada
narasi tayangan. Narasi yang dibacakan pun hanya sekitar tiga kata per
satu detik. Sama dengan contoh sebelumnya. Perpindahan gambar pada
suasana pemakaman dilakukan dengan teknik dissolve-flash. Ini tentu
dimaksudkan untuk melakukan semacam flashback (kembali ke masa lalu)
pada peristiwa yang terjadi sehari sebelumnya, yakni peristiwa
pemakaman Sophan Sophiaan di Pemakaman Tanah Kusir (Jakarta).
Ketika masuk rentetan gambar yang menunjukkan suasana tahlilan di
rumah duka Widyawati, teknik perpindahan gambar yang digunakan
adalah dissolve. Diruntutkan gambar-gambar yang mengetengahkan acara
tahlilan tersebut dilakukan.
Teknik dissolve digunakan dalam sequences ini tentu dengan maksud
menunjukkan kepada penonton tentang kesinambungan kronologis
suasana tahlilan di rumah duka. Namun ketika rentetan peristiwa tersebut
disajikan dengan tempo yang cepat dan teknik editing dengan perpindahan
gambar tertentu (dissolve flash dan dissolve), justru yang muncul adalah
kesan yang dinamis dan bergairah. Kesan dinamis dan bergairah ini jauh
dari kesan duka, sedih, gelap, dan kelam yang menjadi ciri pada realitas
kematian itu sendiri. Di sinilah keunikan terjadi.

22
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

d. Penumpukan gambar
Selain mengemas bumper in dan melakukan teknik perindahan gambar
yang cepat, dramatisasi adegan juga diberikan dengan cara melakukan
penumpukan gambar. Penumpukan gambar yang dimaksud adalah
menggabungkan dua buah gambar yang berbeda menjadi satu dengan
teknik editing tertentu. Teknik editing tertentu yang dimaksud adalah
dengan cara seolah-olah akan melakukan perpindahan gambar dengan
teknik dissolve, namun hasilnya adalah dua gambar berbeda menumpuk
menjadi satu.

No Time Code Narasi Gambar


1. 03.26-03.28 Narator : Ada sebuah sapaan

2. 03.28-03.29 Narator : terakhir dari


almarhum

3. 03.29-03.30 Narator : yang tidak ia sadari

4. 03.30-03.31 Sama sekali

23
Quo Vadis Televisi?

No Time Code Narasi Gambar


5. 03.31-03.33 Layaknya pesan perpisahan

6. 03.33-03.35 Widyawati : Terakhir dia peluk


saya … I love you, ma …

Dari runtutan gambar di atas, terdapat dua kali gambar yang dengan
sengaja ditumpuk. Keduanya adalah gambar Sophan Sophiaan dan
Widyawati pada menit ke 03.28 dan 03.31. Entah kebetulan atau tidak,
penggabungan atau penumpukan dua gambar tersebut terasa mulus.
Dalam arti, gambar Sophan Sophiaan yang ditumpukkan ke gambar
Widyawati terlihat proporsional. Tidak terlihat salah satu obyek lebih besar
atau lebih kecil dari yang lain. Sehingga mengesankan antara Sophan
Sophiaan dan Widyawati terasa berimbang. Penumpukan gambar yang
proporsional ini tentu memunculkan impresi tertentu. Impresi ini dapat
bermakna macam-macam. Pertama, pekerja media ingin mengesankan
hubungan yang tidak saling mendominasi antara Sophan Sophiaan dan
Widyawati. Kedua, impresi tersebut seakan ingin menyatakan bahwa
antara Sophan Sophiaan dengan Widyawati itu ibarat dua sisi mata uang,
dua sisi yang sebenarnya adalah satu jiwa. Impresi ini terasa pas dengan
penguatan yang diperoleh dari penggabungan atau penumpuan dua
gambar dari masing-masing individu yang berbeda tersebut.
e. Penggunaan Diksi dan Majas
Unsur dramatisasi lain yang diberikan oleh acara Insert Investigasi
adalah dengan menggunakan diksi yang menarik untuk mengantarkan
cerita. Harus diakui sebagai salah satu acara infotainment dari sekian

24
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

banyak acara serupa di televisi, Insert Investigasi memiliki tampilan yang


berbeda untuk bahasa narasinya. Perbedaan yang menyolok dari sisi
bahasa ini adalah dengan penggunaan diksi yang dipilih sedemikan rupa.
Selain itu Insert Investigasi juga sering menggunakan gaya bahasa atau
majas untuk memperindah pesan yang disampaikannya.
Gaya bahasa atau majas merupakan bahasa yang indah yang diguna-
kan untuk meningkatkan impresi tertentu, dengan jalan memperkenalkan
atau membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau
hal lain yang lebih umum (Sumadiria, 2006: 145). Penggunaan gaya bahasa
atau majas dalam tayangan ini masih ditambah lagi dengan intonasi suara
yang dikemas sedemikian rupa untuk menarik perhatian pemirsa.
Sebenarnya penggunaan bahasa baik dari sisi pemilihan diksi dan gaya
bahasa (serta intonasi pembawaan yang khusus karena ini adalah media
televisi) merupakan hal yang wajar dalam acara sejenis Insert Investigasi.
Walaupun banyak pihak menolak bahwa infotainment bukanlah karya
jurnalistik, harus diakui bahwa prosesnya tidak jauh berbeda dengan karya
jurnalistik yang lain. Tayangan Insert sebagai sebuah infotainment
sebenarnya dapat dimasukkan sebagai berita ringan (soft news) ataupun
berita kisah (feature). Berita ringan atau berita kisah merupakan formart
berita yang mengandalkan nilai berita (news values) prominence atau
keterkenalan, kedekatan (proximity) dan human interest (Itule dan
Anderson, 2008: 12).
Sebagai berita ringan atau berita kisah, tentu memiliki keluwesan yang
lebih luas dibandingkan dengan jenis berita langsung (straight news atau
hard news). Jika dalam berita langsung lebih mengandalkan pemilihan
diksi yang bersifat lugas dan denotatif serta meminimalisir penggunaan
majas (gaya bahasa), maka berita ringan atau berita kisah justru sebaliknya.
Berita ringan dan berita kisah justru dapat mengandalkan pemilihan diksi
yang lebih luas dan memaksimalkan penggunaan majas. Tentu ini
dimaksudkan untuk mempercantik atau memperindah cerita yang
disusun.
Perhatikan penggunaan diksi dan majas dalam acara Insert Investigasi
Trans TV, Senin 19 Mei 2009: “Selamat sore pemirsa. Makam itu memang
masih basah. Untaian bunga masih segar di pusara. Dan air mata Widyawati
pun terus mengalir membasahi hatinya yang masih luka karena kepergian sang
belahan jiwa. Kini hanya doa yang mampu terangkai untuk cinta yang telah
terbang jauh. Bersama saya Deasy Noviani inilah Insert Investigasi.”
(dinarasikan oleh Presenter Insert Investigasi Trans TV, Senin 19 Mei 2008).

25
Quo Vadis Televisi?

“Jika hidup adalah sebuah film, Sophan Sophiaan adalah lakon melodrama
terbaik. Selama delapan windu perjalanan nafasnya, Sophan Sophiaan
adalah aktor terbaik. Pria Makassar itu sempurna memerankan dua dunia
terpisah yang musti dimainkannya. Dia merupakan seniman produktif
dan politisi yang bersih anti korupsi dan feodalisme. Di sisi lain, Sophan
juga seorang suami terbaik, setia dengan perkawinannya. Almarhum
adalah potret sebuah totalitas. Di saat banyak artis beramai-ramai
mencalonkan diri untuk duduk di Senayan, Sophan Sophiaan malah memilih
hengkang. Dia tak tergiur jabatan gubernur, walikota, bahkan bupati.
Sophan bahkan memutuskan mundur dari DPR-MPR setelah 10 tahun
menghuni Senayan. Saat selebritis ramai-ramai bercerai, Sophan justru
makin mesra bersama Widyawati. Sayang tragika berdarah di alas
Widodaren, Ngawi, Jawa Timur memungkas hidupnya, mencerabut seluruh
mimpinya yang ada. Namun semangatnya tak ikut terkubur bersama
jasadnya di tanah kusir. Seperti apa sosok Sophan di mata istri dan para
sahabatnya? Apa saja mimpi-mimpi besar sang aktor nasionalis yang
belum terwujudkan? Pemirsa inilah Insert Investigasi!” (Narator dalam
Insert Investigasi Trans TV, Senin 19 Mei 2008).
Diksi basah dalam kalimat: “Makam itu memang masih basah…” yang
diucapkan oleh presenter Deasy Novianti, tentu bermakna kiasan atau
konotatif. Basah dalam arti denotatif mensyaratkan adanya kadar air yang
tinggi pada suatu obyek. Tentu kata “basah” yang digunakan dalam
kalimat tersebut bukanlah bermakna bahwa makam Sophan Sophiaan
sedang tergenang air dalam volume yang besar. Namun lebih bermakna
bahwa makam tersebut masih baru digali dan digunakan untuk
memakamkan seseorang. Demikian pula dengan kata pusara dalam
kalimat: “Untaian bunga masih segar di pusara” merupakan kata lain yang
halus dan lembut untuk kata “makam”. Bisa jadi ini dimaksudkan untuk
mencegah perulangan kata yang sama dalam narasi yang diucapkan, agar
tidak membosankan telinga pendengar.
Penggunaan majas juga tampak dari narasi yang dituturkan oleh
presenter acara Insert Investigasi tersebut. Seperti dalam kalimat: “Kini
hanya doa yang mampu terangkai untuk cinta yang telah terbang jauh.”
Perhatikan anak kalimat cinta yang telah terbang jauh. Anak kalimat ini
tentu merupakan majas simbolik. Majas simbolik merupakan majas atau
gaya bahasa yang bertujuan untuk melukiskan sesuatu atau orang dengan
simbol atau lambing tertentu. Tentu yang dimaksud cinta yang telah terbang

26
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

jauh di sini adalah sosok Sophan Sophiaan. Dengan meninggalnya Sophan


Sophiaan, praktis Widyawati harus menjalani hidup seorang diri. Sosok
Sophan Sophiaan yang sangat berarti bagi Widyawati ini disimbolkan
sebagai cinta. Karena kebetulan Sophan Sophiaan sudah meninggal dunia,
maka dinyatakan sebagai cinta yang telah terbang jauh.
Demikian pula narasi yang dituturkan oleh narator acara Insert
Investigasi, banyak menggunakan majas atau gaya bahasa untuk
mempercantik pesan yang disampaikan. Seperti dalam kalimat: “Bila hidup
adalah sebuah film, Sophan Sophiaan adalah lakon melodrama terbaik.” Kalimat
ini mengandung majas atau gaya bahasa alegori. Majas alegori merupakan
majas yang digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan cara lain, bisa
melalui kiasan atau penggambaran. Dinyatakan dalam kalimat tersebut,
bahwa sosok kehidupan Sophan Sophiaan ibarat sebuah film. Dalam
drama kehidupan ini, Sophan Sophiaan menjadi lakon atau tokoh pemain
yang terbaik yang berhasil menjalani kehidupannya di dunia nyata. Majas
ini pun bertujuan untuk mempercantik pesan yang disampaikan.
Penggunaan diksi yang unik juga muncul dalam kalimat: “Sayang
tragika berdarah di alas Widodaren, Ngawi, Jawa Timur memungkas
hidupnya, mencerabut seluruh mimpinya yang ada”. Perhatikan
pemilihan diksi tragika berdarah untuk menggantikan tragedi berdarah.
Dalam Bahasa Indonesia memang dikenal kata tragika sebagai kata lain
tragedi. Namun diksi ini relatif masih jarang digunakan. Sehingga ketika
Insert Investigasi Trans TV menggunakan diksi ini, terasa ada sesuatu yang
baru, yang ingin disampaikan pada pemirsa.
Tidak sekali ini saja Insert Investigasi menggunakan kata-kata yang
relatif masih jarang terdengar. Dalam acara Insert yang lain, seperti Insert
Siang pada Minggu, 18 Mei 2008, narator Insert juga menggunakan kata
berdedai-dedai untuk mendeskripsikan suasana beramai-ramai dari para
politisi, seniman, dan artis yang turut menjemput jenazah Sophan
Sophiaan di Bandara Soekarno Hatta setelah diterbangkan dari Solo. Tentu
saja dinyatakan unik karena diksi tersbut terhitung masih sangat jarang
digunakan dalam Bahasa Indonesia.
Sebagai perbandingan, perhatikan pemilihan diksi dan penggunaan
majas di acara Insert Investigasi Trans TV hari Minggu tanggal 18 Mei 2008:
“Derai air mata seakan menetes dari ribuan pasang mata, mengiringi
kepergian sang aktor legendaris Sophan Sophiaan. Kepergian untuk
selamanya yang begitu cepat masih terasa lirih membekas dalam hati.

27
Quo Vadis Televisi?

Akankah kekuatan itu masih tersisa meski ragamu sudah tak terlintas nyata
lagi ? Bersama saya Deasy Novianty, inilah Insert Investigasi …” (Presenter
dalam Insert Investigasi Trans TV, Minggu, 18 Mei 2008)
“Pemakaman Sophan Sophiaan berlangsung hikmat. Siang hari tadi,
akhirnya jenazah aktor sekaligus sutradara kawakan Sophan Sophiaan
dikebumikan. Almarhum dibaringkan di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan
berdampingan dengan pusara ayahanda, Manai Sophiaan. Ribuan pelayat
membanjir dari berbagai kalangan. Mulai dari pejabat, politisi, sampai
semua kolega di dunia seni Memang paruh terakhir dalam kehidupan
almarhum banyak dihabiskan di kancah politik nasional. Tetapi ternyata
Khalam berkehendak lain. Seluruh reputasi kebesaran Sophan Sophiaan
rupanya dicukupkan Sang Pencipta di usia 64 tahun. Sekali lagi bangsa ini
berduka. Seperti apa suasana detik-detik terakhir pemakaman jenazah
Sophan Sophaan. Apa firasat dan pesan kematian almarhum? Pemirsa
inilah Insert Investigasi.” (Narator dalam Insert Investigasi Trans TV,
Minggu, 18 Mei 2008)
Perhatikan penggunaan kata kepergian sang aktor legendaris pada kalimat
yang diucapkan oleh presenter Insert Investigasi, Deasy Novianti untuk
edisi Minggu, 18 Mei 2008. Kata kepergian tentu untuk menggantikan kata
meninggal dunia. Kemudian sosok Sophan Sophiaan yang diwakili kata
aktor legendaris masih diimbuhi kata sang. Kata sang biasanya diberikan
untuk orang-orang yang dipandang ahli. Karena dipandang sebagai orang
yang ahli, kedudukan orang ini biasanya akan mendapatkan posisi
istimewa di tengah masyarakat. Dengan demikian kata sang menunjukan
pula pengakuan masyarakat kepada si tokoh yang diberikan mbuhan kata
tersebut. Demikian pula dengan kata membanjir yang digunakan oleh
narator untuk menarasikan peristiwa pada acara yang sama. Kata
membanjir yang merupakan majas atau gaya bahasa ini, tentu ingin
mengaskan demikian banyaknya pelayat yang menghadiri upacara
pemakaman Sophan Sophiaan.
f. Ilustrasi musik dan lagu
Ilustrasi musik dan lagu juga merupakan salah satu cara melakukan
dramatisasi dalam acara Insert Investigasi di Trans TV. Dalam sebuah
tayangan program televisi ataupun film, alunan ilustrasi musik dan selipan
lagu tentu dimaksudkan untuk memperkuat impresi pesan yang
disampaikan oleh acara tersebut (Bordwell dan Thompson, 2008: 273).
Dalam teknik produksi, bagaimana suatu suasana hendak dibangun dalam

28
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

alunan cerita, salah satunya dilakukan dengan memberikan ilustrasi musik


ataupun selingan lagu. Dalam dunia penyiaran baik di radio maupun di
televisi, ini sudah menjadi semacam pakem atau aturan main. Apabila
ingin membangun suasana ceria, tentu diberikan ilustrasi musik atau
selipan lagu dengan tempo cepat. Untuk membangun suasana
bersemangat, tinggal diberikan ilustrasi musik atau selipan lagu dengan
tempo cepat dan bersifat menghentak. Bila ingin membangun suasana
untuk mengesankan peristiwa yang rutin terjadi, diberikan ilustrasi musik
ataupun selipan lagu dengan tempo sedang. Sebaliknya bila ingin
menonjolkan suasana sedih, tinggal diberikan ilustrasi musik atapun
selingan lagu dengan tempo lambat.
Dalam mengiringi peristiwa kematian, biasanya akan diberikan iringan
lagu atau selingan lagu dengan tempo yang lambat. Dalam tradisi
kematian orang Kristiani, biasanya diperdengarkan lagu-lagu gregorian
untuk kematian. Lagu ini memiliki tempo yang lambat. Tentu ini
menyesuaikan dengan suasana kematian yang tidak jauh dari dari kesan
sedih dan duka. Namun dalam acara Insert Investigasi Trans TV yang
mendeskripsikan Sophan Sophiaan, ilustrasi musik yang menyertai narasi
tidaklah selalu didominasi oleh musik yang memiliki tempo lambat. Di
beberapa bagian cerita, ilustrasi musik justru diisi dengan iringan lagu
dalam tempo sedang, bahkan cepat. Untuk tempo cepat ini bahkan tampak
nyata ketika mendeskripsikan secara ringkas pemakaman Sophan
Sophiaan sebagai pembuka cerita sebelum memasuki adegan tahlilan di
rumah duka. Tidak hanya itu ilustrasi musik yang mengiringi perpindahan
gambar bahkan dipilih dengan teknik smash.
Dari runtutan gambar di atas, dapat diperhatikan bagaimana Insert
Investigasi Trans TV memberikan ilustrasi musik pada peristiwa
pemakaman Sophan Sophiaan. Pemberian ilustrasi musik dengan tempo
cepat tentu merupakan konsekuensi dari perpindahan gambar yang juga
cepat. Seperti yang diamati pada tabel transkrip di atas, perpindahan
antargambar hanya berlangsung per satu detik dari gambar yang satu ke
gambar berikutnya. Belum lagi dalam perpindahan gambar, diberikan
efek flash (kilat atau petir) berwarna putih terang. Ilustrasi musik pun
mengikuti dengan efek smash (dentuman). Dengan tempo cepat dan efek
flash yang menyertai runtutan gambar tersebut, justru memberikan kesan
dinamis pada peristiwa yang disampaikan. Padahal sekali lagi, peristiwa
yang ditayangkan adalah peristiwa kematian, bukan peristiwa gembira
atau ceria.

29
Quo Vadis Televisi?

Dari Sisi Substansi:


a. Tayangan Gambar yang Berulang-Ulang
Dalam tayangan Insert Investigasi (Senin, 19 Mei 2008) yang
mengisahkan kematian Sophan Sophiaan seringkali ditemui pengulangan
gambar. Ada beberapa gambar yang digunakan secara berulang. Namun
pengulangan tersebut pada frekuensi tidak lebih dari dua kali. Sedangkan
tiga gambar di atas muncul dalam frekuensi yang sangat sering (sekitar
tiga sampai lima kali penayangan). Bahkan di gambar terakhir (gambar
nomor 3), gambar Sophan Sophiaan bersama motor besarnya muncul dua
kali dalam waktu yang sangat berdekatan, yakni di menit 11:10 dan 11:34.
Pengulangan gambar tidak hanya terjadi di dalam satu acara ini. Ada
beberapa gambar yang digunakan secara berulang di dalam acara Insert.
Jadi sudah digunakan pada Insert Siang dan Insert Investigasi di jam atau
hari sebelumnya, kemudian digunakan di acara ini. Seperti misalnya
gambar suasana pemakaman Sophan Sophiaan di Tanah Kusir, sudah
digunakan di Insert Siang edisi Minggu 18 Mei 2008 dan Senin 19 Mei
2008, kemudian digunakan kembali untuk Insert Investigasi edisi Senin 19
Mei 2008.
Sebagai sebuah acara hiburan, Insert Investigasi terikat pada teknik-
teknik produksi tertentu. Seperti perpindahan gambar yang cepat agar
terkesan dinamis dan durasi waktu yang sudah ditentukan. Perpindahan
gambar yang cepat dan tuntutan durasi waktu tertentu, tentu menuntut
stok gambar yang cukup. Namun bisa jadi Trans TV tidak memiliki stok
gambar yang cukup untuk memenuhi tuntutan produksi, hingga yang
akhirnya yang dilakukan adalah pengulangan gambar. Pengulangan
gambar tentu menjadi solusi di tengah kurangnya stok gambar, walaupun
solusi ini sebenarnya dari sisi estetika tidak dibenarkan dalam produksi
audio visual karena dapat menyebabkan kebosanan di mata penonton.
Padahal dalam sebuah produksi audio visual sebaiknya jangan sampai
terjadi penonton bosan dalam melihat sebuah karya produksi. Sehingga
perencanaan produksi harus dilakukan secara matang agar kekurangan
stok gambar dapat dihindari.
b. Tema yang bervariasi
Sisi substansi lain yang dilakukan oleh Trans TV dalam tayangan Insert
Investigasi mengenai peristiwa kematian aktor Sophan Sophiaan adalah
dengan melakukan variasi tema pada tayangan Insert Investigasi. Tema
yang diangkat untuk beberapa tayangan Insert Investigasi :

30
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

 Insert Investigasi Minggu 18 Mei 2008 : Pemakaman Sophan


Sophiaan
 Insert Investigasi Senin 19 Mei 2008 : In Memoriam Sophan Sophiaan
(dikaitkan dengan hobi motor besar dan kelanggengan keluarga)
 Insert Investigasi Selasa, 20 Mei 2008 : In Memoriam Sophan
Sophiaan (dikaitkan dengan 100 tahun Kebangkitan Nasional)
 Insert Investigasi Rabu, 21 Mei 2008 : Pemakaman Ali Sadikin
 Insert Investigasi Kamis, 22 Mei 2008 : In Memoriam Ali Sadikin
dan Sophan Sophiaan (sebagai tokoh politik yang berani
berseberangan dengan penguasa)

Bila dikaitkan dengan jurnalisme, maka variasi tema biasanya akan


dilakukan oleh jurnalis untuk mengaktualkan peristiwa sehingga tetap
layak diberitakan. Variasi tema dalam tayangan Insert Investigasi mengenai
kematian Sophan Sophiaan ini tentu dilakukan dengan maksud tersebut,
yakni untuk mengaktualkan peristiwa agar tetap layak untuk disiarkan.
Walaupun pelebaran tema ini juga memicu konsekuensi lain, yakni
ketersediaan gambar untuk membangun program acara tersebut. Tidak
jarang ditemui pengulangan gambar yang dilakukan oleh Insert Investigasi
Trans TV untuk tema-tema yang berbeda tersebut. Namun karena tema
yang saling berbeda, penonton seakan diajak pula untuk selalu
memperbaharui wawasan tentang Sophan Sophiaan meski harus melihat
gambar yang sama.
Apalagi beberapa hari setelah Sophan Sophiaan meninggal dunia,
disusul oleh meninggalnya Ali Sadikin. Ali Sadikin dan Sophan Sophiaan
kebetulan memiliki kedekatan karakter, yakni sama-sama merupakan
orang-orang yang berani berseberangan dengan penguasa (Orde Baru).
Ali Sadikin yang merupakan mantan gubernur Jakarta (1966-1977)
merupakan tokoh Petisi 50 di era Presiden Soeharto berkuasa. Petisi 50
merupakan sekelompok masyarakat yang menolak dicalonkannya
kembali Soeharto sebagai Presiden untuk ketiga kalinya pasca Pemilu 1977.
Kebetulan pula salah satu penanda tangan Petisi tersebut selain Ali Sadikin
adalah Manai Sophiaan yang merupakan ayah kandung Sophan Sophiaan.
Kebetulan yang tidak dirancang ini, akhirnya malah memperpanjang
episode penceritaan Sophan Sophiaan di layar kaca. Jika dihitung sejak
meninggalnya, artinya tayangan Sophan Sophiaan hampir memakan
waktu seminggu lamanya.

31
Quo Vadis Televisi?

Dan Kematian pun Menjadi Hibuaran


Dari data yang diperoleh melalui analisis isi kualitatif, diperoleh
temuan bagaimana melalui sebuah proses kerja produksi media, peristiwa
kematian tidak lagi hadir dalam suasana yang sedih dan duka. Sebaliknya,
peristiwa kematian dikonstruksi sedemikian rupa, melalui teknik produksi
tertentu, sehingga ketika dipertontonkan kembali justru memunculkan
hiburan tersendiri. Di sini sebenarnya terlihat bagaimana kelihaian media
melakukan konstruksi terhadap sebuah peristiwa, sehingga peristiwa
berubah wajah ketika sampai di mata audiens. Termasuk dalam hal ini
adalah peristiwa kematian. Peristiwa kematian yang sebenarnya
merupakan peristiwa sedih dan duka, namun di tangan media (pekerja
media) mampu membalik semua itu menjadi peristiwa yang justru
memberian hiburan.
Masalah bagaimana media mampu melakukan konstruksi sedemikian
rupa, tentu mengingatkan pada beberapa konsep dalam komunikasi
massa. Pertama, konsep framing. Konsep framing sebenarnya lebih banyak
dimunculkan dalam kasus-kasus produksi berita (jurnalisme). Dalam
jurnalisme, framing memiliki arti bagaimana media membingkai sebuah
peristiwa. Artinya framing merupakan proses bagaimana media
memberikan definisi, penjelasan, evaluasi, bahkan rekomendasi terhadap
sebuah peristiwa. Muara dari framing adalah bagaimana media
memberikan pemaknaan tehadap sebuah peristiwa. Sebuah peristiwa
dapat dimaknai dengan cara yang berbeda-beda. Bahkan dengan
pemaknaan yang berbeda ini, sebuah peristiwa dapat tampil demikian
berubah dibandingkan dengan realitas sosialnya ketika sudah menjadi
teks media. (Nugroho, dkk, 1999). Dalam penelitian ini, peristiwa kematian
Sophan Sophiaan yang merupakan peristiwa sedih dan duka, dapat sangat
berubah wajah melalui proses framing ini, untuk kemudian menjadi sebuah
tontonan ataupun bacaan yang menghibur ketika tampil di media massa.
Lalu bagaiamana proses framing berlangsung di sebuah lembaga
media? Proses framing berlangsung dengan menggunakan bahasa. Dalam
berita, seperti teks surat kabar misalnya, tentu bisa dipahami, bagaimana
pekerja media, dalam hal ini jurnalis, banyak bermain dengan bahasa
ketika menuliskan realitas atau peristiwa yang diliputnya. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa verbal dan non verbal. Bahasa verbal tentu
digunakan jurnalis untuk mengurai substansi peristiwa. Di sini pun,
jurnalis perlu untuk memilih diksi dan menyusun kalimat yang sekiranya
tepat untuk menggambarkan peristiwa.

32
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Selain bahasa verbal, jurnalis juga menggunakan bahasa non verbal.


Bahasa non verbal digunakan untuk memberikan impresi khusus bagi
pembaca. Ini bisa dilakukan dengan penentuan placement berita di lembar
suratkabar, penulisan headline yang khusus (misalnya dengan huruf tebal
dan tinta merah), kemudian memberikan tambahan foto (dengan angle,
komposisi, warna, dan manipulasi tertentu) dan ilustrasi grafis tertentu
(ilustrasi gambar, diagram, dan grafik misalnya) untuk memberikan kesan
tersendiri bagi pembaca.
Demikian pula dengan peristiwa kematian Sophan Sophiaan, di layar
Insert Investigasi Trans TV. Terlihat jelas bagaimana pekerja media di
lembaga media tersebut memanfaatkan semua potensi bahasa, baik verbal
maupun non verbal untuk mengkonstruksi peristiwa kematian Sophan
Sophiaan. Misalnya, bagaimana mereka melakukan editing gambar untuk
membangun kesan kelanggengan hubungan antara Sophan Sophiaan dan
Widyawati, memberikan ilustrasi musik tertentu untuk membangun
suasana tahlilan yang dilakukan di rumah duka, bahkan menyusun secara
khusus narasi cerita yang dilantunkan baik oleh presenter Insert Investigasi
atau narator yang mendeskripsikan gambar-gambar tentang peristiwa
kematian Sophan Sophiaan.
Dalam konsep framing juga diutarakan, bahwa proses framing yang
dilakukan oleh jurnalis dan lembaga media bukanlah tanpa maksud dan
tujuan. Artinya konstruksi yang dilakukan oleh jurnalis dan pekerja media
terhadap sebuah peristiwa bukanlah tanpa kepentingan. Terdapat
sejumlah kepentingan mengapa jurnalis dan lembaga media secara khusus
melakuan konstruksi tertentu terhadap sebuah peristiwa. Jika
bersinggungan dengan tradisi pemikiran kritis yang dipopulerkan oleh
Marx, salah satu kepentingan tersebut adalah mendapatkan keuntungan.
Di sinilah titik temu dengan konsep yang kedua, yakni kepentingan
ekonomi atau bisnis media. Dalam pemikiran kritis Marx yang
menyangkut media massa, diyakini bahwa media bukan merupakan
saluran yang netral. Media massa pada dasarnya merupakan alat dari
kelompok penguasa dominan untuk melakukan dominasi pada kelompok
yang lain. Dengan menjadi alat dari kelompok dominan, isi media pun
mencerminkan kepentingan dari kelompok dominan tersebut. Dalam
kasus media, salah satu kepentingannya adalah kapital, dalam arti
keuntungan yang sebesar-besarnya (Rogers, 1994: 102-125).
Dari deretan iklan yang muncul di Insert Investigasi, dapat dibayangkan
berapa banyak pendapatan yang diterima oleh Trans TV. Satu kali tayang

33
Quo Vadis Televisi?

saja Insert Investigasi mampu menayangkan hampir 50 iklan. Padahal iklan


yang ditampilkan sering pula tidak hanya sekali. Sebuah produk iklan
dapat ditayangkan dua hingga tiga kali dalam satu kali break iklan. Bila
dihitung kasar saja, harga iklan tersebut adalah 10 juta rupiah per sekali
tayang, artinya ketika ada 50 iklan, berarti pendapatan kotor Insert
Investigasi Trans TV adalah 500 juta rupiah atau setengah milyar rupiah
per tayangan. Padahal tayangan tentang kematian Sophan Sophiaan di
Insert Investigasi tidak hanya sekali. Hampir satu pekan lamanya pasca
kematian Sophan Sophiaan, tayangan Insert Investigasi menyiarkan tema
tentang Sophan Sophiaan walau dengan angle yang berbeda-beda.
Seperti dipaparkan pada data di atas, peristiwa kematian Sophan
Sophiaan masih bisa diaktualkan ketika Ali Sadikin (mantan Gubernur
Jakarta) juga meninggal dunia. Katakanlah bila tayangan tentang kematian
Sophan Sophiaan muncul dalam lima kali acara Insert Investigasi, maka
penghasilan kotor Insert Investigasi Trans TV mencapai 2,5 milyar rupiah.
Ini tentu jumlah yang tidak kecil. Jumlah ini juga belum termasuk ketika
peristiwa kematian Sophan Sophiaan ini ditayangkan dalam program
Insert yang lain, seperti Insert Pagi dan Insert Siang.
Dari sisi etis, yang kemudian bisa diperdebatkan adalah: apakah etis
menayangkan peristiwa kematian, yang merupakan peristiwa sedih dan
duka untuk kemudian mendapatkan keuntungan sedemikian rupa?
Padahal bila belajar dari kasus penyiaran di negara-negara maju,
penayangan kematian sangat kecil untuk melibatkan pengiklan. Yang
paling diingat adalah siaran langsung dari peristiwa kematian dan
pemakaman Putri Diana dari Inggris. Kematian dan pemakaman Putri
Diana disiarkan langsung oleh BBC Inggris dan direlai oleh hampir semua
stasiun televisi di dunia. Namun BBC pun memberikan syarat, bahwa
siaran relai boleh dilakukan, namun tidak untuk kemudian dijual kepada
pengiklan.
Dari analisis inilah, ditemukan relevansi dengan konsep yang ketiga
yakni komodifikasi. Seperti telah dinyatakan dalam kerangka teori,
komodifikasi atau commodification adalah upaya mengubah apapun
menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan
keuntungan. Artinya bagaimana mengubah komoditi dari nilai gunanya
menjadi nilai yang dapat dipertukarkan di pasar. Tiga hal yang saling
terkait adalah: isi media, jumlah audiens dan iklan. Berita atau isi media
adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiens atau oplah. Jumlah
audiens atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada

34
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakan


untuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih
besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber
produksi media berupa teknologi, jaringan dan lainnya. Selain itu tentunya
profit bagi pengusaha (dalam Mosco, 1996).
Demikian pula dalam peristiwa kematian Sophan Sophiaan.
Pemberitaan Sophan Sophiaan tentu dilakukan untuk memberitahukan
bahwa ada sosok tokoh masyarakat yang meninggal dunia akibat
kecelakaan. Ini sebenarnya peristiwa lumrah dan biasa. Sama halnya
peristiwa kelahiran dan perkawinan yang juga selalu diikuti oleh
pemberitahuan kabar akan peristiwa tersebut kepada orang-orang
terdekat, demikian pula dengan peristiwa kematian. Peristiwa kematian
pun selalu akan dikabarkan kepada orang-orang terdekat.
Bila yang meninggal dunia adalah tokoh masyarakat, maka pengabaran
atau pemberitahuan kematian pun biasanya akan bersifat massal dengan
menggunakan fasilitas media massa. Namun karena yang mengabarkan
adalah media massa yang berbasis industri (media massa komersial), maka
pesan kematian pun harus melalui proses modifikasi. Proses inilah yang
kemudian mengubah pesan kematian, tidak hanya untuk mengabarkan
kematian semata, namun berubah wajah menjadi pesan kematian yang
sifatnya komersial karena persentuhannya dengan industri (kapital). Di
sinilah proses komodifikasi berlangsung.
Dalam logika industri media massa, pertama yang harus dilakukan
adalah bagaimana mengkonstruksi teks media, yang tidak hanya memiliki
nilai informatif namun juga laku jual. Laku jual di sini dalam arti diminati
oleh audiens, baik penonton televisi maupun pembaca surat kabar (dalam
hal ini adalah tabloid). Eksistensi audiens tentu memiliki arti penting bagi
media massa yang berbasis industri. Audiens atau khalayak inilah yang
akan dijual oleh pihak pengelola lembaga media kepada para pengiklan.
Untuk media televisi, penjualan audiens ini biasa ditandai dengan
rating yang biasanya dilakukan oleh lembaga rating di luar kuasa media.
Sedangkan untuk media cetak, seperti surat kabar, majalah, ataupun
tabloid tentu terlihat dari jumlah eksemplar media yang mampu dijual.
Di sisi lain, pengiklan juga akan mempertimbangkan besar kecilnya
audiens guna memperhitungkan pemasangan iklannya. Pertemuan
kepentingan antara mendapatkan keuntungan bagi lembaga media massa
dengan kepentingan dalam mendapatkan jumlah audiens yang memadai
dari lembaga pengiklan inilah yang kemudian memaksa pihak pengelola

35
Quo Vadis Televisi?

media untuk dapat merancang sedemikian rupa pesan teks media agar
dapat diminati audiens.
Inilah yang terjadi pada Insert Investigasi Trans TV: bagaima para pekerja
media berusaha mengemas sedemikian rupa teks media, dalam hal ini
kematian aktor dan mantan politisi senior Sophan Sophiaan. Bahkan harus
pula melakukan strategi tersendiri untuk mengaktualkan peristiwa
tersebut, misalnya dengan memberikan angle atau sudut pandang berbeda.
Ketika tema atau sudut pandang ini terasa sudah mulai tidak aktual setelah
beberapa hari, Insert Trans TV mendapatkan ’berkah’ dengan kematian
Ali Sadikin (tiga hari sesudah kematian Sophan Sophiaan). Proses
komodifikasi pun terus berlangsung, karena memang secara tidak sengaja
kedua tokoh yang meninggal juga memiliki relasi satu dengan yang
lainnya. Keuntungan usaha yang diperoleh pun terus mengalir.
Untuk menarik minat audiens, Trans TV dipaksa berpikir keras
mengenai format tampilan pesan teks media. Peristiwa kematian harus
dikemas sedemikian rupa hingga jauh dari kesan sedih dan duka. Ini
dilakukan tentunya untuk menarik perhatian perhatian audiens. Kemasan
yang ditampilkan kemudian adalah kemasan menghibur melalui teknik-
teknik produksi tertentu. Dalam kasus Insert Investigasi Trans TV, ini
dilakukan melalui teknik pengambilan gambar, teknik editing gambar
dan suara, serta ilustrasi musik. Selain itu juga dengan memberi tema
atau sudut pandang atau angle yang bervariasi. Dari sinilah kemudian
bisa dipahami bagaimana masalah etis dikesampingkan dalam peristiwa
kematian. Dalam arti peristiwa kematian yang seharusnya bukan
merupakan komoditi yang diperjualbelikan. Namun karena formatnya
sudah berubah dalam proses produksi media, justru menjadi hiburan bagi
audiens, yang kemudian menjadi sah apabila menjadi komoditi yang
diperjualbelikan.
Dari pemaparan analisis data di atas, membawa pada konsep terakhir
dalam penelitian ini, yakni necrocultura. Seperti dipaparkan di kerangka
teori, Necrocultura merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Fabio
Giovanni, memiliki pemahaman suatu kebudayaan di mana kematian
menjadi kecintaan. Kematian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang
mengerikan atau kesedihan yang teramat sangat. Namun dikemas
sedemikian rupa sehingga lebih merupakan perayaan daripada peristiwa
duka cita (Giovanni dalam Sudiardja, 2002; 193). Bila dilihat dari
pemaparan di atas, terlihat bagaimana persinggungan antara kepentingan
kapitalistik media mengubah wajah realitas kematian Sophan Sophiaan.

36
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

Kematian Sophan Sophiaan jelas melahirkan perasaan duka yang


mendalam bagi pihak yang ditinggalkannya, khususnya Widyawati selaku
istri dan Romi-Roma Sophiaan selaku putera almarhum. Sebagai sosok
terkenal, kematian Sophan Sophiaan pun diberitakan di media massa,
termasuk di Insert Investigasi Trans TV. Namun karena Trans TV berada
dalam satu latar sebagai media komersial, Insert Investigasi Trans TV perlu
pula mengkonstruksi realitas tersebut secara khusus karena adanya
kepentingan media tersebut untuk mencari keuntungan.
Di sinilah sebenarnya persinggungan antara realitas kematian Sophan
Sophiaan dengan kepentingan media yang kapitalistik bertemu.
Perubahan wujud realitas kematian pun terjadi. Realitas kematian yang
semula bernuansa kesedihan dan duka, berubah wajah menjadi tontonan
yang memberikan penghiburan tersendiri bagi para audiensnya. Jadilah
akhirnya sebuah perayaan kematian yang menghibur ....
Penutup
Merayakan realitas kematian bukan hanya milik adat istiadat dan
budaya tertentu dari sebagian keyakinan umat manusia. Merayakan
kematian ternyata juga merupakan milik media massa. Trans TV mampu
mengubah wajah kematian, dari peristiwa yang menyedihkan dan
memilukan, menjadi peristiwa dengan karakter yang menghibur. Semua
dilakukan melalui proses pembingkaian. Proses pembingkaian yang
melibatkan konstruksi bahasa, baik verbal maupun non verbal, dilakukan
sedemikian rupa untuk mengubah wajah kematian tersebut. Insert Trans
TV melakukannya dengan teknik produksi, baik melalui pemberian
bumper in (penceritaan firasat dari si nara sumber), perpindahan gambar
yang cepat dan manipulatif, penumpukan gambar, dan ilustrasi musik.
Persinggungan antara realitas kematian dengan kepentingan ekonomi
media (melalui proses komodifikasi) mengubah secara radikal wajah
peristiwa kematian menjadi sebuah pertunjukan hiburan. Pekerja media
perlu mengemas sedemikian rupa realitas kematian Sophan Sophiaan
tersebut, menjadi sebuah pertunjukan yang menghibur. Semua ini
dilakukan dalam rangka mendapatkan iklan sebsar-besarnya. Insert
Investigasi Trans TV dalam tafsiran penulis, mampu meraih sekitar 2,5
milyar rupiah dari pendapatan iklannya. Realitas kematian yang
ditampilkan oleh media massa, menjadi sangat jauh dari kesan sedih dan
duka, bahkan jauh dari menakutkan dan mengerikan. Konstruksi
sedemikian rupa pada peristiwa kematian Sophan Sophiaan mampu

37
Quo Vadis Televisi?

memunculkan hiburan tersendiri bagi audiens media yang bersangkutan.


Teks media pun menjadi bagian dari perayaan necrocultura itu sendiri.

Daftar Pustaka
Bharata, Bonaventura S. dan Dina Listiorini, 2007, Ekonomi Politik Bahasa Siaran
dan Pekerja Media di Jaringan Radio Anak Muda – Studi Deskriptif Kualitatif di
Radio Prambors, Yogyakarta, Riset Dosen Muda DIKTI
Bordwell, David and Kristin Thompson, 2008, Film Art, An Introduction, Eight
Edition, McGraw-Hill International,
Cremer, Charles F, Phillip O. Kirstead, Richard D. Yoakam, 1996, ENG Television
News, Third Edition, McGraw-Hill Companies
Fiske, John, 1990, Introduction to Communication Studies, London, Routledge
Itule, Bruce D. and Douglas A. Anderson, 2008, News Writing and Reporting for
Today’s Media, McGraw Hill International, New York.
Kurniati, Diah, 2006, Komodifikasi Privasi di Ruang Publik, Jurnal Penelitian Ilmu
Komunikasi Thesis V/1 Januari-April, Depok, Departemen Komunikasi FISIP-
UI
Mosco, Vincent, 1996, The Political Economy of Communication: Rethinking and
Renewal. California: Sage Publication
Mulyana, Deddy dan Solatun, 2007, Metode Penelitian Komunikasi, Contoh-Contoh
Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis, Bandung, Penerbit Rosda
Nugroho, Bimo, dkk, 1999, Politik Media Mengemas Berita, Jakarta, ISAI
Rogers, Everett M., 1994, A History of Communication Study: A Biographical Approach,
New York, The Free Press
Suara Pembaruan, 06/02/2008, “Pak Harto Dongkrak Rating” diakses dari http://
indonesiatvguide.blogspot.com/2008/02/pak-harto-dongkrak-rating.html
Sudiardja, A, 2002, Dan Kematian pun Semakin Akrab, Jurnal Ilmu Humaniora Baru
Retorik I/3, November, Yogyakarta, Ilmu Religi dan Budaya USD
Sumadiria, AS Haris, 2006, Bahasa Jurnalistik, Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis,
Simbiosa Rekatama Media, Bandung
Yusuf, Iwan Awaluddin, 2005, Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas,
Representasi Etnik Tionghoa dalam Iklan Duka Cita di SKH Suara Merdeka –
Semarang, Yogyakarta, UII Press

Catatan:
1 Berdasarkan data harian hasil survei elektronik kepemirsaan televisi AGB
Nielsen Media Research yang diterima SP, baru-baru ini, jumlah pemirsa di
Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta, yang menonton tayangan berita
wafatnya Soeharto pada hari Minggu mencapai 5.504.000 pemirsa. Jumlah
tersebut meningkat 1,4 persen dibandingkan hari sebelumnya (Sabtu, 26/1)
yang mencapai 5.005.000 orang, atau mencapai 15,3 persen dari total populasi

38
Selebrasi Necrocultura di Layar Kaca

individu yang memiliki televisi di empat kota tersebut dan berusia di atas 5
tahun yang berjumlah 36.008.962 orang. Sementara tayangan pemakaman
Soeharto pada hari Senin ditonton oleh 5.935.000 pemirsa atau meningkat
hingga 16,5 persen dari total populasi di keempat kota tersebut. (dalam http:/
/indonesiatvguide.blogspot.com/2008/02/pak-harto-dongkrak-rating.html)
2 Sejenak mungkin perlu pula kita bercermin pada peristiwa serupa yang dialami
oleh Putri Diana (Lady Diana) dari Inggris pada saat kematiannya di akhir Juli
1997 lalu akibat kecelakaan di sebuah terowongan terkenal (Pont d’Alma) di
kota Paris - Perancis. Televisi BBC memperkenankan stasiun televisi lain di
seantero dunia untuk ikut menyiarkan siaran langsung prosesi pemakamannya,
namun BBC melarang keras stasiun-stasiun TV tersebut menyelipkan iklan
dalam tayangan tersebut. Alasan etis merupakan landasan argumentasi BBC
untuk pelarangan penyelipan iklan pada tayangan tersebut. Padahal acara
tersebut diyakini ditonton tidak kurang dari satu milyar penduduk dunia.
Sebuah angka fantastis yang pasti menggiurkan untuk para pemasang iklan
di industri televisi.
3 Tak pernah terbayangkan sebelumnya bila tanah pemakaman kemudian
mampu berfungsi pula sebagai taman bermain dan belajar anak-anak. Menjadi
jamak pada masa sekarang, anggota masyarakat justru mengikuti program
asuransi kematian sebagai sebuah persiapan. Dan tidak menjadi aneh apabila
upacara kematian yang digelar oleh beberapa suku tertentu justru memakan
biaya yang lebih besar daripada menyelenggarakan upacara pernikahan.
Peluang-peluang ini yang kemudian ditangkap oleh beberapa orang sebagai
sebuah bisnis yang menjanjikan.

39
Kekerasan dalam Tayangan Realigi
Trans TV
Ery Kurnia Putri
Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Beberapa acara yang ditayangkan di televisi kini makin mencemaskan.


Banyak program acara televisi yang ditujukan untuk hiburan
memunculkan adegan kekerasan, pengintaian, kecemburuan, pengejaran,
kemiskinan, sensualitas, hingga mistis. Acara tersebut bahkan mengekspos
hal yang semestinya dalam ranah privasi menjadi konsumsi publik. Lihat
saja reality show yang menjamur di berbagai stasiun televisi. Acara semacam
ini menyajikan berbagai kemasan serta realitas yang ingin disuguhkan
kepada pemirsa. Dengan mengusung embel-embel ‘reality’ (kisah nyata),
seolah menunjukkan bahwa masyarakat sesungguhnya bosan dengan
kisah-kisah sinetron yang ditayangkan di televisi yang selama ini dianggap
‘meninabobokan’ pemirsanya.
Peristiwa atau hal yang sungguh-sungguh terjadi tentunya akan lebih
bisa diterima oleh masyarakat. Respon pemirsa terhadap reality show pun
cukup tinggi, dan bila dilihat dari segi biaya produksi, acara seperti ini
lebih murah daripada membuat sinetron. Maka tak heran jika beberapa
televisi swasta dan production house berlomba-lomba membuat acara
serupa, seperti: Bedah Rumah (RCTI), Tolong (RCTI), Mata-mata (RCTI),
Bukan Sinetron (Global TV), Masihkah Kau Mencintaiku (RCTI), Be a Man
(Global TV), Pacar Pertama (SCTV), Maafin Gue Dong (ANTV), Curhat bareng
Anjasmara (TPI), Termehek-mehek, Orang Ketiga, Realigi, Make Over (Trans
TV), dan lain-lain.
Drama Reality Realigi
“Insyaflah wahai manusia jika dirimu bernoda. Dunia hanya naungan ‘tuk
makhluk ciptaan Tuhan”.
Lirik lagu ini merupakan pembuka pada bumper opening drama reality
Realigi di Trans TV. Lagu Keagungan Tuhan yang dinyanyikan dengan
syahdu oleh Rita Effendi, seolah mewakili pesan dari acara itu, yakni
meminta manusia untuk bertobat. Realigi ditayangkan setiap Senin dan

40
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

Rabu, pukul 20.00-21.00. Tayangan ini dinamakan Realigi, sesuai


kepanjangannya Realiti Religi, karena mengemas dan mengangkat unsur
religi. Inilah yang membedakan acara ini dengan acara-acara reality lain.
Acara ini seolah ingin menampilkan pesan serta nilai-nilai positif dari
peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi dalam kehidupan kita. Misalnya,
kisah tentang adik yang ingin menyadarkan kakaknya yang menjadi
pelacur; adik yang ingin menyadarkan kakaknya yang berebut warisan;
adik yang ingin menyadarkan kakak yang ingin menjual dirinya; ibu yang
ingin menyadarkan anaknya dari jeratan narkoba; anak yang ingin
menyadarkan ayahnya dari main perempuan; anak yang ingin
menyadarkan ayahnya yang seorang banci; dan banyak kisah-kisah
lainnya.
Konflik-konflik yang terjadi pada tayangan tersebut sering
mempertontonkan adegan kekerasan, seperti berantem dan adu mulut.
Pada akhir cerita ditampilkan pertobatan seseorang yang insyaf (tobat)
dari kesalahan dan dosa yang telah diperbuatnya. Bisa juga ending dari
ceritanya adalah ganjaran atau akibat yang diterima oleh seseorang yang
melakukan kesalahan.
Pemahaman Mengenai Kekerasan
Kebanyakan orang menganggap kekerasan dalam arti sempit, yakni
sesuatu yang sifatnya brutal seperti: perang, pembunuhan, dan
penganiayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 550),
kekerasan dapat diartikan sebagai perihal (yang bersifat, berciri) keras:
perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakan
fisik atau barang orang lain; paksaan. Sedangkan menurut James Potter
(1999: 217) kekerasan adalah segala tindakan yang membahayakan
seseorang atau suatu nilai seseorang, seperti fisik, harta benda, reputasi,
atau pemikiran. Tindakan bisa dalam bentuk fisik maupun verbal;
dampaknya bisa jadi fisik, emosi, atau psikologis.
Sementara itu, Pierre Bourdieu menyebutkan ada bentuk lain dari
kekerasan. Dia menyebutnya dengan “la violence symbolique” atau
kekerasan simbolik. Sebuah kekerasan yang tidak kasat mata dan tidak
dapat terlihat dengan jelas tanpa adanya pemahaman kritis dan mendalam
dari orang yang mengalaminya (korbannya). Kekerasan semacam ini oleh
korbannya bahkan tidak dapat dilihat atau tidak dirasakan sebagai suatu
kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan memang harus
terjadi (Kristiawan, 2007).

41
Quo Vadis Televisi?

Rainy Hutabarat (2008) mengatakan bahwa kekerasan simbolik adalah


mekanisme komunikasi yang ditandai dengan relasi kekuasaan yang
timpang dan hegemoni di mana pihak yang satu memandang diri lebih
superior entah dari segi moral, ras, etnis, agama ataupun jenis kelamin
dan usia. Tiap tindak kekerasan pada dasarnya mengandaikan hubungan
dan atau komunikasi yang sewenang-wenang di antara dua pihak.
Unit konteks dalam penelitian ini adalah acara Realigi, sedangkan unit
rekamannya adalah narasi dan visualisasi dari acara tersebut. Unit analisis
dan kategorinya, yaitu:

No Unit Analisis Kategori Dimensi (Indikator)


1. Kekerasan Durasi kekerasan Adegan Kekerasan
(Jumlah detik)
2. Jenis kekerasan Fisik Menendang, memukul, menampar,
membanting, menusuk, menyiram, melempar
barang, mendorong, membenturkan,
menginjak, mencekik, menarik paksa,
menceburkan, dihimpit, menabrak, mencakar,
dan menjambak rambut.
Verbal Memaki, membentak, menghina, memfitnah,
mengancam, mencemooh, menakut-nakuti,
memprovokasi, dan meremehkan.
Simbolik Kekerasan agama: label “dosa”, pengejaran.
Kekerasan terhadap perempuan: kekerasan
ekonomi, kekerasan seksual, dan kekerasan
fungsional.
Fisik dan verbal. Kombinasi fisik dan verbal.
Fisik dan Simbolik. Kombinasi fisik dan simbolik.
Verbal dan Kombinasi verbal dan simbolik.
Simbolik
Fisik, Verbal, dan Kombinasi fisik, verbal, dan simbolik.
Simbolik.
Jenis Akibat Fisik Memar, luka-luka, dan rasa sakit yang dapat
Kekerasan dilihat dari ekspresi wajah, bahasa tubuh dan
suara (berteriak: “Aduh”, “Sakit”).
Psikologis Menangis, tertekan, marah, depresi, sedih,
dan muram.
Fisik dan Kombinasi fisik dan psikologis.
Psikologis

42
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

Kekerasan dalam Tayangan Realigi


Lima episode yang dianalisis dalam penelitian mengenai kekerasan
dalam tayangan drama reality Realigi ini, yaitu: (1) Mantan narapidana
yang meninggalkan keluarga (Senin, 31/08/2009); (2) Seorang kakak
terkena kasus menghamili seorang perempuan (Rabu, 02/09/2009); (3)
Suami yang suka selingkuh (Senin, 07/09/2009); (4) Anak yang salah
pergaulan hingga terjerumus narkotika (Senin, 14/09/2009); (5) Kakak yang
melupakan Ibunya (Rabu, 16/09/2009).
Berikut ini pembagian durasi acara pada ke lima tayangan Realigi:

No. Hari dan Tanggal Episode Durasi Tayangan Durasi Iklan Total Durasi Acara
1. Senin, 31/08/2009 40:27 24:27 01:04:54
(2.427 detik) (1.467 detik) (3.894 detik)
2. Rabu, 02/09/ 2009 40:23 17:50 58: 13
(2.423 detik) (1.070 detik) (3.493 detik)
3. Senin, 07/09/2009 40:00 23:47 01:03:47
(2.400 detik) (1.427 detik) (3.827 detik)
4. Senin, 14/09/2009 36:51 18:46 55:37
(2.211 detik) (1.126 detik) (3.337 detik)
5. Rabu, 16/09/2009 38:58 14:09 53:07
(2.338 detik) (849 detik) (3.187 detik)
Total Durasi 03:16:39 01:38:59 04:55:38
(11.799 detik) (5.939 detik) (17.738 detik)

Dalam tayangan Realigi tersebut terdapat porsi iklan yang cukup tinggi,
terutama pada episode 31/08/2009, dengan durasi 1.467 detik (24 menit,
27 detik). Sementara total durasi acara yang paling tinggi juga pada episode
31/08/2009, yakni 3.894 detik (1 jam, 4 menit, 54 detik). Rata-rata durasi
tayangan (tanpa iklan) pada tiap episode yaitu 2.360 detik (39 menit, 20
detik). Jumlah durasi iklan yang paling rendah pada episode 16/09/2009,
yakni hanya 849 detik (14 menit, 9 detik), dengan total durasi acara
terendah yakni 3.187 detik (53 menit, 7 detik).
Durasi kekerasan pada tayangan Realigi:
No. Episode Durasi Kekerasan %
1. 31/08/2009 432 detik (7 menit 12 detik) 17,80
2. 02/09/2009 447 detik (7 menit 27 detik) 18,44
3. 07/09/2009 446 detik (7 menit 46 detik) 19,42
4. 14/09/2009 766 detik (12 menit 46 detik) 34,64
5. 16/09/2009 479 detik (7 menit 59 detik) 20,49

43
Quo Vadis Televisi?

Berdasarkan total durasi tayangan Realigi (tanpa iklan) sebesar 11.722


detik (1 jam, 40 menit, 16 detik), maka dapat dilihat prosentase durasi
adegan kekerasan dari tiap episode Realigi sebagai berikut:
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa4%
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa aaa
aaa 31 Agustus 2009
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa 4%
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa aaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
4% aaaa 2 September 2009
aaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaa 6%
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa 7 September 2009
aaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aa14 September 2009
78% aaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaa aa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaa 4% aa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aa 16 September 2009
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aa Durasi Lainnya
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Gambar 1: Diagram Prosentase Durasi Kekerasan pada Kelima Episode Realigi

Total durasi kekerasan pada kelima episode sebesar 23 persen, dimana


prosentase durasi kekerasan pada episode 14/09/2009 lebih besar dari
prosentase durasi kekerasan episode lainnya, yakni sebesar tujuh persen
dari total durasi tayangan. Sebanyak 77 persen merupakan durasi lain
yang tidak menunjukkan adanya adegan kekerasan. Meski demikian,
adegan-adegan yang menampilkan akibat kekerasan seperti menangis,
tertekan, dan murung dapat dilihat dari awal hingga akhir acara. Hanya
saja penelitian ini mencoba mengukur bagaimana kekerasan yang muncul
serta apa akibatnya, bukan mengukur seberapa besar akibat tindakan
kekerasan itu sendiri. Adanya adegan-adegan yang menampilkan akibat
kekerasan, menunjukkan indikator adanya adegan kekerasan yang terjadi.
Jenis Kekerasan pada Tayangan Realigi
Rata-rata prosentase durasi berdasarkan jenis kekerasan dari kelima
tayangan Realigi tersebut di atas dapat dilihat pada gambar di bawah
ini.
Dari kelima tayangan Realigi tersebut, kita bisa menemukan rata-rata
durasi tiap jenis kekerasan yang ada pada tayangan itu. Kekerasan fisik
sebesar lima persen, kekerasan verbal sebanyak 26 persen, kekerasan
simbolik sebanyak empat persen, kombinasi kekerasan fisik dan verbal
(F&V) sebanyak enam persen, kombinasi kekerasan verbal dan simbolik

44
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

5%
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa aaa Kekerasan Fisik
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaa aaa
aaaaaaaaaaaaaaa
23% aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa aaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaaa Kekerasan Verbal
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa26%
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa Kekerasan Simbolik
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaa aaaaa aaKekerasan Fisik & Verbal
2% aaaaaaaaaaa
aaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa aa
aaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa aa
aaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaa aa Kekerasan Verbal & Simbolik
aaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa aa
aaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa aa Kekerasan Fisik & Simbolik
aaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa 4%
aaaaaaaaaaaaaaaaa aaa
aaaaaa6%
aaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa
34%
aaa Kekerasan Fisiko, Verbal
aaa
aaaaaaaaaaaaaaaaa & Simbolik

Gambar 2: Diagram Prosentase Rata-rata Durasi Berdasarkan Jenis Kekerasan


dari Kelima Tayangan Realigi (31/08/2009–16/09/2009)

(V&S) sebanyak 34 persen, kombinasi kekerasan fisik dan simbolik (F&S)


sebanyak dua persen, dan kombinasi kekerasan fisik, verbal dan simbolik
(F,V&S) sebanyak 23 persen. Dapat dilihat disini durasi adegan kombinasi
kekerasan verbal dan simbolik (V&S) jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan kekerasan lainnya, yakni sebesar 34 persen.
Kekerasan Simbolik dalam Realigi
Ada beberapa kekerasan dalam tayangan Realigi yang menunjukkan
adanya bentuk-bentuk kekerasan simbolik, yakni bentuk kekerasan agama
dan kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan Agama
Tayangan drama reality Realigi yang dikemas secara religius dan Islami,
menampilkan kisah reality dimana seorang klien meminta bantuan tim
Realigi untuk menyadarkan seseorang yang dianggap telah melakukan
kesalahan (dosa) atau dianggap telah melakukan perbuatan yang
menyimpang dari ajaran agama Islam. Klien atau si pelapor ini meminta
bantuan dengan harapan masalahnya dapat terselesaikan.
Tim Realigi pun beraksi menemani klien melakukan pengintaian,
pengejaran, dan memberi pengertian pada target dari klien. Ada
semacam ajakan pada seseorang untuk bertobat. Berbagai adegan pun
terjadi mulai dari adu mulut hingga kontak fisik. Di akhir acara, seseorang
yang dianggap melakukan perbuatan yang menyimpang akhirnya
bertobat, kembali pada jalan yang benar (agama).

45
Quo Vadis Televisi?

Acara ditutup dengan tampilan orang bertobat yang melakukan shalat


diiringi backsound musik Islami, seolah ingin memberikan pesan moral
bahwa kebaikan selalu berhasil mengalahkan yang jahat (konsep religius).
Layaknya sebuah sinetron, kisah pun seolah berakhir happy ending. Waktu
pertobatan cukup instant. Hanya beberapa hari syuting, tim Realigi dan
klien berhasil menyadarkan seseorang (yang dianggap berdosa) untuk
bertobat atau kembali pada ajaran agama.
Kekerasan simbolik terjadi, salah satunya dalam bentuk kekerasan
agama, yakni pemaksaan terhadap seseorang untuk bertobat sesuai ajaran
agama. Justifikasi bahwa seseorang bersalah dan harus kembali pada
sesuatu yang dianggap benar (agama)—dikarenakan perbuatan
menyimpang—dianggap merugikan atau menyakiti pihak lain.
Kekerasan agama dapat ditemukan pada tiap episode yang sebagian
besar berupa adegan pengejaran pada target yang dilakukan oleh klien
dan tim Realigi. Hal tersebut merupakan simbol adanya pemaksaan
terhadap seseorang, terlepas apakah orang tersebut bersalah atau tidak.
Target lari dan selalu menghindar karena dirinya merasa tidak nyaman
dan terancam. Terlebih lagi, target justru merasa takut dengan banyaknya
orang dengan membawa kamera menghampirinya seolah hendak
menghakiminya.

Kekerasan Terhadap Perempuan


Kekerasan simbolik terhadap perempuan meliputi segala bentuk
kekerasan berbasis jender dimana pihak yang dominan (dalam hal ini
laki-laki) merasa berhak menentukan makna dari suatu hal sebagai satu-
satunya pandangan yang paling benar. Sementara pihak yang terdominasi
(dalam hal ini perempuan) menerima proses ini sebagai sesuatu yang
memang seharusnya berlaku. Di sini terjadi semacam proses ‘naturalisasi’
ketika perempuan menerima bentuk kekerasan simbolik dari laki-laki
sebagai suatu hal yang wajar.
Lima episode Realigi (31/08/2009-16/09/2009), ternyata menampilkan
bentuk kekerasan simbolik terhadap perempuan. Kekerasan simbolik
tersebut meliputi: kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, dan kekerasan
fungsional.
Kekerasan simbolik terhadap perempuan pada tayangan Realigi dapat
dilihat dari simbol-simbol baik teks maupun visual yang ditampilkan.
Sebagian besar klien atau pelapor yang meminta bantuan tim Realigi
adalah perempuan. Mengapa? Secara tidak langsung hal tersebut

46
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

Gambar 3: Cuplikan Adegan Dalam Tayangan Realigi.


Klien atau pelapor yang kebanyakan perempuan sedang curhat pada Erwin

menunjukkan bahwa perempuan adalah kaum lemah yang tidak mampu


menyelesaikan persoalannya.
Perempuan, dalam hal ini si pelapor harus meminta bantuan pada
Erwin (host Realigi) beserta timnya untuk membantu menyadarkan orang
lain yang dianggap telah melakukan suatu kesalahan (dosa). Kita lihat
saja, bagaimana Erwin yang adalah laki-laki seolah berperan melindungi
klien (perempuan) terutama saat klien harus bersinggungan atau
bersitegang dengan laki-laki. Sosok laki-laki dalam Realigi dianggap lebih
memiliki power atau kekuatan untuk menyelesaikan persoalan.
Kekerasan ekonomi terhadap perempuan juga ada dalam tayangan
Realigi ini. Misalnya, pada episode 31/08/2009, kita melihat bagaimana
Pak Joko justru menelantarkan anak dan istrinya setelah ia keluar dari
penjara. Sang istri menderita gangguan jiwa akibat perbuatan suami
sehingga ia harus dirawat di rumah sakit jiwa. Pada episode 02/09/2009,
kita lihat saat Bella diperas oleh Hadi kakaknya.

Gambar 4: Cuplikan adegan dalam tayangan Realigi (07/09/2009)


Mario memakai uang Nadia hanya untuk bersenang-senang dan main perempuan (gambar kiri). Wulan
mengaku dihamili oleh Mario (gambar tengah). Nadia sedih memergoki Mario telah menikah lagi
(gambar kanan).

47
Quo Vadis Televisi?

Pada episode 07/09/2009, kita melihat Mario sebagai suami yang tidak
bertanggung jawab. Sejak menikah ia tidak pernah memberi nafkah pada
Nadya. Sebaliknya justru Nadya yang membiayai kehidupan Mario yang
hanya digunakan untuk bersenang-senang dengan perempuan lain.
Selain kekerasan ekonomi, ada lagi kekerasan seksual. Kekerasan
seksual tidak hanya dipahami sebagai kekerasan seperti: pemerkosaan,
dicium paksa, digerayangi paksa, namun segala bentuk pelecehan yang
berkaitan dengan seksual merupakan kekerasan seksual. Pemakaian kata
‘pakai’ pada episode Suami Selingkuh (07/09/2009), teks tersebut
menyamakan perempuan dengan barang yang bisa dipakai. ‘Dipakai’,
memiliki arti tidur bersama (hubungan suami-istri). Kata-kata ‘pakai’
biasa digunakan pada barang yakni menggunakan suatu barang. Perem-
puan dengan kata ‘pakai’ seolah dianggap barang atau makhluk yang
rendah yang bisa ‘dipakai’ siapa saja, kapan saja, dan bisa dibuang apabila
sudah tidak dapat dipakai lagi, layaknya barang yang sudah usang.
Pada episode ini juga ditampilkan adegan mesra dan ciuman (di-blur)
yang dilakukan Mario dengan beberapa wanita, mengesankan bahwa laki-
laki seolah dibenarkan untuk berselingkuh dengan perempuan lain.
Kekerasan seksual di sini, perempuan seolah bebas dan gampang untuk
dicium, dirangkul sekalipun oleh laki-laki yang telah bersuami.

Gambar 5: Cuplikan adegan pada tayangan Realigi


episode 02/09/2009
Seorang perempuan keluar dari kamar Hadi.

Pada episode 02/09/2009, Hadi dipergoki neneknya tengah tidur


bersama seorang perempuan di kamar. Perempuan tersebut lalu keluar
kamar (di-blur) dan dimarahi oleh Bella adik Hadi. Di sini perempuan
digambarkan bisa ‘tidur’ dengan laki-laki. Hadi yang terkena kasus
menghamili seorang perempuan, menunjukkan bahwa perempuan
memiliki resiko lebih besar ketika melakukan hubungan seks tanpa status
pernikahan. Ketika hamil, perempuan harus repot meminta pertanggung
48
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

jawaban laki-laki yang menghamilinya, walaupun si laki-laki belum tentu


mau bertanggung jawab. Dilihat dari kasus ini, perempuan lebih
diberatkan sebagai pihak yang menanggung malu (aib) atas perbuatan
yang melanggar susila. Perempuan menjadi pihak yang dipersalahkan
dan dicemooh oleh orang lain.
Dalam konteks kekerasan simbolik, dapat kita lihat bahwa apa yang
dialami oleh perempuan pada lima episode di atas merupakan suatu hal
yang dianggap lumrah atau sewajarnya perempuan menerima perlakuan
yang demikian. Perempuan tidak punya pilihan lain selain menuruti apa
aturan laki-laki. Dominasi laki-laki terhadap perempuan inilah yang
mungkin tidak disadari oleh si perempuan bahkan oleh pemirsa yang
menonton acara tersebut.
Perempuan dikonstruksi sebagai kaum yang lemah. Dalam kehidupan
sehari-hari, kaum pria dipandang pantas berbuat semena-mena, seperti
meninggalkan istri, selingkuh, berperilaku dan berkata kasar. Pria sebagai
kepala rumah tangga dianggap memiliki kekuasaan lebih atas istri.
Konstruksi di atas juga tak terlepas dari kesepakatan yang dibentuk oleh
kaum mayoritas (pria). Mayoritas disini bukanlah jumlah, melainkan
kekuasaan atau kemampuan dalam mengendalikan pihak lain (yang
tertindas).
Akibat Tindakan Kekerasan dalam Realigi
Akibat psikologis yang tampak bisa berupa guncangan jiwa (sakit),
emosi dan perasaan tertekan. Akibat dari tindakan kekerasan pada
tayangan Realigi ini sebagian besar berakibat pada aspek psikologis si

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaa
aaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaa Psikologis
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
65% aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
35%
aa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aa Fisik & Psikologis
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Gambar 6: Diagram Prosentase Rata-rata Durasi Berdasarkan Akibat Kekerasan


dari KelimaTayangan Realigi (Episode: 31/08/2009 – 16/09/2009)

49
Quo Vadis Televisi?

penderita dibandingkan dengan akibat fisik yang diderita, karena lebih


banyak mengandung kekerasan verbal. Pada tiap episode tayangan Realigi
ini dapat kita lihat bagaimana tekanan psikologis begitu ditampilkan
sejak awal tayangannya, yaitu pada saat klien menceritakan
permasalahannya pada tim Realigi. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi
dan juga gesture (gerak tubuh) yang mencerminkan seseorang yang
tengah menghadapi masalah dan beban berat.

1 2 3 4

5 6 7 8
Gambar 7: Cuplikan adegan-adegan yang menunjukkan adanya akibat psikologis
dari tindakan kekerasan dalam tayangan Realigi

Dari kelima tayangan Realigi tersebut diatas, maka didapati rata-rata


durasi tiap akibat kekerasan yang ada pada tayangan itu. Terdapat akibat
psikologis sebesar 65 persen dan kombinasi akibat fisik dan psikologis
sebanyak 35 persen. Dapat dilihat disini rata-rata durasi akibat psikologis
jauh lebih tinggi yakni sebesar 65 persen, dibandingkan dengan akibat
fisik maupun kombinasi akibat fisik dan psikologis.
Pada cuplikan gambar diatas dapat kita lihat: (1) Bulan sedih
mengingat Ayahnya. (2) Bella sedih mendapat kabar neneknya sakit
karena tertekan. (3) Nenek Bella shock, jatuh pingsan setelah bertengkar
dengan Hadi, cucunya. (4) dan (5) Nadia sedih karena suaminya
selingkuh. (6) Ibu Ina stres akibat Naya putrinya yang salah pergaulan.
(7) Naya yang begitu tertekan karena tidak bisa menerima kedekatan

50
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

Ibunya dengan sahabat almarhum ayahnya. (8) Ibu Nia sedih akibat
perlakuan menantunya yang tidak menghargainya.
Proporsi akibat tindakan kekerasan pada kelima episode tayangan
Realigi tersebut didominasi akibat psikologis. Akibat psikologis lebih
banyak terjadi dibandingkan akibat fisik yang diterima. Hal tersebut
dapat dilihat dari ekspresi wajah seseorang yang mengalami kekerasan,
yakni adanya perasaan tertekan dan sedih.
Realigi: Antara Kenyataan dan Rekayasa
Seperti hal-nya Termehek-Mehek, Realigi pun pada akhirnya menyebut
‘dirinya’ sebagai drama reality, karena adanya unsur dramatisasi dan
rekayasa. Peneliti menemukan temuan yang cukup menarik selama
mengamati beberapa program drama reality di Trans TV. Misal saja ada
salah satu peran dalam Termehek-Mehek yang pernah muncul di acara
reality show ‘Ahmad Dhani Mencari Istri’ di SCTV. Kemudian peneliti secara
tidak sengaja menemukan pemain Realigi, yakni Ibu Ina (Realigi episode
14/09/2009) juga muncul di reality show Orang Ketiga di Trans TV. Jika
dalam Realigi Ibu Ina berperan sebagai orang tua tunggal yang mengalami
kesulitan ekonomi sejak suaminya meninggal dan hanya memiliki seorang
anak yaitu Naya, dalam Orang Ketiga Ibu Ina berperan sebagai seorang
ibu yang kaya dan hendak mengikuti putrinya yang bermasalah. Putri
Ibu Ina dalam Orang Ketiga bukanlah Naya.
Dari temuan tersebut dapat kita lihat bahwa acara Realigi sebagai salah
satu program drama reality unggulan Trans TV sama hal-nya dengan
Termehek-mehek memang tidak murni kenyataan. Pihak Trans TV di harian
Surya (12/06/2009) menyatakan, drama reality Termehek-Mehek yang direka-
yasa. Acara semacam ini bisa diangkat berdasarkan pada kisah nyata
namun dihadirkan kembali dengan unsur dramatisasi agar menarik.
Hal yang perlu disikapi, ketika tayangan semacam itu hadir dan
disaksikan oleh orang awam, maka tayangan tersebut akan dianggap
sebagai suatu kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi. Kasus-kasus
yang dibumbui kekerasan ditampilkan cukup sering dan ditayangkan
cukup intensif (dua kali dalam seminggu) seolah menggambarkan bahwa
hal itu banyak terjadi di masyarakat kita dan dapat diterima sebagai
suatu kewajaran, padahal bisa saja kasus itu hanya terjadi di sebagian
kecil masyarakat kita.

51
Quo Vadis Televisi?

Kesimpulan
Kekerasan sangat terasa ada pada kelima episode Realigi (episode 31/
08/2009 hingga 16/09/2009). Kekerasan yang ditampilkan meliputi:
kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan kekerasan simbolik (kekerasan
agama dan kekerasan terhadap perempuan). Secara keseluruhan,
terdapat rata-rata tampilan adegan kekerasan sebesar 23 persen dari total
durasi acara (tanpa iklan). Jika dilihat dari durasi adegan kekerasan pada
kelima tayangan Realigi tersebut secara keseluruhan, rata-rata kombinasi
kekerasan verbal dan simbolik menempati urutan paling tinggi yakni
sebesar 34 persen. Konflik adu mulut memang lebih sering terjadi
daripada kekerasan fisik seperti penyerangan dan pemukulan.
Tayangan drama reality ini bukan film perang yang penuh dengan
adegan action. Meski demikian, tayangan ini tetaplah mengandung unsur
kekerasan yang seolah nyata dan sungguh-sungguh terjadi, terlebih lagi
dengan adanya bentuk kekerasan simbolik. Lain hal dengan pemirsa yang
menonton film kekerasan secara sadar dan paham bahwa itu hanyalah
merupakan akting serta cerita fiksi semata.
Dengan embel-embel: “Tayangan drama reality ini telah mendapatkan
persetujuan dari berbagai pihak yang terlibat”, justru mengesankan
bahwa acara tersebut memang nyata, padahal mungkin saja tidak.
Berbagai adegan penuh konflik seperti adu mulut, pengintaian, dan
kekerasan fisik bukanlah sebuah tayangan yang memiliki nilai edukasi
khususnya bagi anak-anak mengingat acara ini masih ditayangkan pada
prime time.

Daftar Pustaka
Bourdieu, Pierre. 1995. Outline of A Theory of Practice. Cambridge University Press,
Cambridge.
Jamil, Salmi. 2003. Kekerasan dan Kapitalisme. Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3. 2001. Balai Pustaka, Jakarta.
Krippendorff, Klauss. 1991. Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi. Rajawali
Press, Bandung.
Moi, Toril, 2000. Apropriating Bourdieu: Feminist Theory and Pierre Bourdieu’s Sociology
of Culture, dalam Pierre Bourdieu, vol. IV. Sage Publications Ltd, London.
Muhadjir, Noeng. 1992. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake Sarasin, Yogyakarta.
Mulyana, Deddy. 1997. Bercinta dengan Televisi. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Panjaitan, Erica L & TM. Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Potter, W. James. 1999. On Media Violence. Sage Publications, Inc, USA.

52
Kekerasan dalam Tayangan Realigi Trans TV

Putranto, Agus. 2004. Analisis Isi Suatu Pengantar dalam Praktek, dalam Metode
Penelitian Komunikasi. Ed, Birowo, Antonius. Gitanyali, Yogyakarta.
Santoso, Thomas. 2002. Teori – teori Kekerasan. PT. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framming. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
Subono, Nur Iman. 2000. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Yayasan Jurnal
Perempuan dan The Asia Foundation.
Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. PT.Kompas Media Nusantara,
Jakarta.
Windhu, I. Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Kanisius,
Yogyakarta.
Putranti, Basilica Dyah. 2007. Kekerasan Simbolik Suami Terhadap Istri Dalam
Perspektif Budaya Jawa: Studi di Kampung Urban Yogyakarta. http://
www.ppk.lipi.go.id/file/buletin/Artikel%204%20Basilica%20Dyah%20
Putranti.doc. Diakses pada 11 Januari 2010.
Jahroni, Jajang. 2006. Tekstualisme, Islamisme, dan Kekerasan Agama. http://
islamlib.com/id/artikel/tekstualisme-islamisme-dan-kekerasan-agama. Diakses
peneliti pada 26 April 2010.
Atmojo, Juwono Tri. Modul Analisis Isi (Content Analysis), Universitas Mercubuana
Jakarta.
http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/94010-
8296719548286.pdf. Diakses peneliti pada 3 Maret 2010.
Harun, Kristiawan. 2007. Kekerasan Simbolik di Sekolah. http://
kristiawanharun.multiply.com/journal/item/2. Diakses peneliti pada 11 Januari
2010.
Hutabarat, Rainy MP. 2008. Tentang Kekerasan Simbolik. http://
yakomapgi.wordpress.com/2008/01/07/tentang-kekerasan-simbolik/. Diakses
11 Januari 2010.
Termehek-mehek Bohongi Pemirsa. Jumat, 12 Juni 2009. http://www.surya.co.id/2009/
06/12/termehek-mehek-bohongi-pemirsa.html

53
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif
Mitos Ketampanan
Desideria Cempaka Wijaya Murti, Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya
Yogyakarta dan Meredian Alam, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Oslo, Norwegia

Wayang kulit dari Jawa khususnya, mengisyaratkan ketampanan


Arjuna dengan perut yang tipis, muka yang halus, dada bidang, dan badan
kerempeng. Ksatria Pandawa seperti Yudistira, Nakula dan Sadewa pun
digambarkan memiliki tubuh yang kecil dan langsing dengan perut kecil,
bentuk badan yang lincah dan kurus. Adapun Bima atau Wrekudara
meskipun berbadan besar seperti raksasa, dalam penggambaran melalui
media wayang dibentuk dengan perut belikat ramping dan badan yang
tinggi. Lain halnya dengan gambaran para Kurawa atau Buto Cakil yang
bermain antagonis dalam pewayangan Jawa, digambarkan dengan perut
buncit, badan yang menggelambir, dan postur yang lambat serta
membungkuk. Wajah pun digambarkan bertaring, bermuka lebar dan
berbadan besar.
Sebagai sebuah media hiburan pada masa 50 tahun yang lalu, wayang
menjadi media promosi bagi ajaran agama, kebijakan, dan kearifan lokal.
Selain itu juga menjadi sebuah media yang mengkonstruksikan dan
membentuk pemikiran masyarakat kala itu mengenai arti sebuah
ketampanan (Utami, 2008). Wayang sebagai media tontonan saat itu sudah
mengklasifikasikan definisi ketampanan atau kesatria dengan gambaran
atau wujud wayang Pandawa yang langsing, kurus, berperut tipis,
berbadan tegap, lincah, serta berbahu bidang. Sedangkan klasifikasi untuk
pria jelek, antagonis, tidak kesatria, dan jahat cenderung digambarkan
buncit, badan menggelambir dengan lemak, prostur yang bungkuk dan
terlihat lambat. Semar juga digambarkan buncit, pendek, terlihat lambat
tetapi berperan protagonis dan bijak, tetapi tidak termasuk kategori
wayang yang tampan.
Setelah periode dominasi TVRI usai (1962-1971) dan munculnya Surat
Keputusan Menteri Penerangan No.190A/KEP/MENPEN/1987 yang berisi
perluasan konsepsi mengenai pertelevisian dengan mengadakan apa

54
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

yang disebut sebagai siaran saluran umum, mulailah media televisi swasta
yang masuk dalam industri televisi (Budi, 2004). Variasi program yang
dihadirkan oleh televisi telah membuat masyarakat selangkah dua langkah
melupakan wayang dan kategorisasi wayang dalam gambaran
ketampanannya. Tetapi masyarakat, dalam hal ini obyek positioning dari
penggambaran ketampanan itu tetap ada. Media televisi yang berperan
sebagai media massa juga menyuguhkan gambaran mengenai apa dan
bagaimana sebenarnya tampan itu.
Ajang di televisi swasta yang menayangkan mengenai kompetisi pria-
pria tampan dan berotot yang diprakarsai dan disponsori oleh merek susu
pembentuk tubuh terkenal L-Men, memberikan visualisasi mengenai
kategori ketampanan ini. Berbeda dengan wayang, kontes ajang pria ini,
dalam hal ini disebut Handsome Pageant or Muscle Pageant menggambarkan
proses perlombaan yang sudah memasuki babak final. Para penonton
divisualisasikan proses seleksi yang cukup ketat dalam pemilihan Pria L-
Men. Dari 2.500 peserta di 10 kota yang diaudisi, pada akhirnya hanya
ada 12 grand finalist pria L-Men. Finalis ini akan dipilih satu yang menjadi
L-Men of The Year, dan bertanding di Mr. International yang akan
diselenggarakan di Indonesia tahun 2010 ini. Tidak ada satu pun pria yang
masuk ke babak final ini bertubuh kurus, kerempeng, atau sebaliknya
bertubuh gemuk dan berperut buncit.
Pemirsa televisi disuguhi pria-pria yang masuk final sebagai pria
tampan, berkulit mulus agak kecoklatan, maupun jenis kulit putih yang
mendominasi finalis L-Men. Pria-pria ini memiliki postur tubuh tegap,
berperut six-packs atau berkotak-kotak berjumlah enam, dan badannya
mengeluarkan otot-otot yang membentuk badannya sedemikian rupa,
dalam bahasa Jawa digunakan istilah pothok, atau muscle man dalam istilah
Bahasa Inggris. Jenis postur tubuh ini mengisyaratkan ketampanan
seorang pria yang dilihat dari kegagahannya dan kekesatriaannya. Tubuh
berotot yang berasal dari latihan keras di fitnes center atau gym diharapkan
nantinya dapat menghasilkan pria yang tampak kuat dan mampu
melindungi wanita.
Jika melihat postur tubuh ini, penonton mungkin akan cenderung
membayangkan Superman (Super Hero dari Amerika) dari pada Arjuna.
Agaknya jika dibayangkan lebih jauh, mungkin Janaka atau Arjuna akan
sulit untuk masuk babak final di ajang ini mengingat tubuhnya yang
kerempeng dan perutnya yang tipis dan one pack, meskipun pada era
keemasannya Arjuna disebut-sebut mampu memikat banyak wanita,

55
Quo Vadis Televisi?

seperti Woro Srikandhi, Woro Sembodro, Larasati dan lain-lain. Atau


akan sulit jika kini ada gubahan bentuk wayang Pandawa menjadi bentuk
wayang yang berotot dan berbentuk six packs untuk mengikuti tren
ketampanan masa kini, mungkin justru masyarakat akan merasa aneh
jika postur tubuh six packs dimasukkan dalam wayang.
Apakah Arjuna, jika mengikuti seleksi Man Peageant ini dapat lolos
sampai tahap final dan menang atau tidak bukan hal yang penting. Tetapi
yang perlu diperhatikan dengan jeli adalah bahwa media massa baik itu
wayang maupun media televisi dalam tayangan L-Men misalnya, memiliki
pedoman dan kategorisasi dalam arti ketampanan itu sendiri.
Mitos Ketampanan
Jaman memang berubah, jenis ketampanan pun berubah. Hanya
keberadaan ukuran ketampanan itu yang tetap ada. Ketampanan yang
berubah dari jaman ke jaman, dari bangsa ke bangsa menjadikan
ketampanan menjadi sebuah wacana sosial. Ketampanan ini adalah sebuah
konstruksi sosial yang nantinya mengarah pada sebuah mitos yang oleh
kelompok tertentu berkuasa untuk memaknai dan menyebarkan
pemaknaan itu kepada masyarakat luas
Pengertian mitos di sini tidak hanya menunjuk pada mitologi dalam
pengertian sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tentang dewa-dewi atau
cerita Nyi Roro Kidul misalnya– melainkan sebuah cara pemaknaan.
Roland Barthes (dalam Hermawan, 2008) menyebutnya sebagai tipe
wicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos muncul
dalam kurun waktu tertentu, kemudian hilang atau tenggelam oleh mitos-
mitos yang lain. Oleh sebab itu, Barthes melihat bahwa mitos bukanlah
tanda yang tak berdosa, netral atau bebas nilai; melainkan menjadi
penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang bisa jadi sangat
berbeda dengan makna asalnya. Mitos juga tidak dapat disebut salah atau
dinilai salah sehingga dipertentangkan dengan kebenaran. Tetapi mitos
merupakan sebuah fenomena sosial yang terjadi saat sebuah praktik
penandaan dilakukan sehingga memproduksi mitos. Produksi mitos
dalam teks menggambarkan situasi sosial budaya, mitos juga mempunyai
dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melalui naturalsasi sistem
makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa,
dan mungkin tidak untuk masa yang lain.
Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos
tentang kecantikan, kejantanan atau ketampanan, pembagian peran dalam

56
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

gender dan lain-lain. Charles Darwin (Danandjaja, 1986 dalam


Sumaryono, 2009) menyebutkan bahwa dalam mitologi terjadi evolusi
(evolusi kebudayaan sama halnya dengan evolusi biologi), dan Andrew
Lang juga menyatakan bahwa setiap kebudayaan di dunia ini mempunyai
kemampuan berevolusi. Sehingga dapat dikatakan disini bahwa mitos
ketampanan itu ada dan mengalami evolusi dari jaman ke jaman.
Perubahan evolusi mitos ketampanan yang dulu mirip seperti wayang
dengan tubuh yang kurus lincah dan berperut tipis yang menggambarkan
pria-pria Jawa masa lampau telah terganti menjadi pria bertubuh besar
berperut six packs yang menggambarkan pria-pria superhero seperti
Batman dan Superman.
Jenis ketampanan yang berevolusi ini terjadi dalam tataran kognitif
pada paradigma masyarakat. Teori sosial konstruktivisme dalam buku
An Introduction to Social Constructionism oleh Vivien Burr (1995)
menyebutkan: “Social constructionis a concept or practice that is the construct
(or artifact) of a particular group. When we say that something is socially
constructed, we are focusing on its dependence on contingent variables of our
social selves.” Dalam wacana ini, teori tersebut menguatkan pendapat
bahwa konstruksi social mengenai ketampanan itu dibentuk oleh
kelompok tertentu. Suatu kelompok yang melihat bahwa konstruksi
ketampanan tersebut pada akhirnya akan membawa mereka pada tujuan-
tujuan tertentu misalnya sales atau penjualan dan acceptance atau
penerimaan masyarakat.
Rekonstruksi Ketampanan
Mengkaji masalah tampan dan tidak tampan, sebenarnya merupakan
salah satu kajian tentang substansi dalam fenomena kebudayaan manusia,
yakni berkaitan dengan sistem komunikasi dan persepsi yang
mengikutinya. Hanya dengan komunikasi yang efektif dan intensif maka
kebudayaan manusia dapat dibentuk, diubah, atau dipertahankan.
Umberto Eco menyebutkan dalam The Theory of Semiotics (1976): “Culture
is signification and communication and that humanity and society exist only
when communicative and significantive relationship are established” (dalam
Kasiyan, 2008: 78). Sehingga ketika suatu fenomena social akan diangkat
menjadi bagian dari budaya itu sendiri, maka ada proses komunikasi dan
proses signifikansi dari substansi dan signifansi hubungan yang dibangun.
Budaya sendiri mewujud dalam bentuk symbol-simbol, AL Kroeber
dan C. Kluckhon dalam A Critical Review of Concepts and Definition yang

57
Quo Vadis Televisi?

menyebutkan bahwa substansi budaya adalah berupa bentuk-bentuk,


baik secara implicit maupun eksplisit yang ditransmisikan melalui
symbol-simbol, secara konstruktif oleh sekelompok manusia. Seperti
berikut ini: “Culture consist of patterns, explicit and implicit, of and for
behaviour acquired and transmitted by symbol, constituting the distinctive
achievements of human groups, including their embodiments in artefacts.” (Liang
Gie,1977: 127)
Ini menunjukkan bahwa simbol-simbol ketampanan itu masuk dalam
bentuk-bentuk yang secara eksplisit maupun implisit disampaikan melalui
simbol baik dalam wayang maupun dalam kontes Man Peageant seperti
L-Men. Simbol tersebut ditransmisikan secara signifikan oleh interpretasi
sekelompok orang sehingga simbol tersebut pada akhirnya melahirkan
arti yang ditangkap oleh banyak orang. Seperti dalam istilah Ernest Cassier
dalam bukunya An Essay on Man, An Introduction to a Philosophy of Human
Culture, yang menyebutkan bahwa “human is anima symbolicum” atau
hewan yang suka menyimbolkan sesuatu (Herusatoto, 2001: 9). Lebih
tegas lagi Wieman dan Walter (1957) menyebutkan bahwa daya simbol
ini yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup manusia, bahwa
manusia menangkap data melalui inderanya dan membuat simbol pada
data tersebut. Manusia kemudian membuat arti dari simbol tersebut dan
secara turun temurun mentransfer pengetahuan tersebut kepada generasi
berikutnya.
Dalam konstruksi mengenai ketampanan ini, jaman dulu wayang
mengalami proses simbol dari manusia, yakni manusia menangkap data
melalui indera yakni cerita pewayangan itu sendiri dan bentuk tubuh
manusia dinilai yang ideal saat itu menjadi bentuk wayang lalu kemudia
ditransfer turun-temurun melalui budaya cerita wayang dan pertunjukkan
wayang. Dalam kasus ini budaya pertunjukan wayang menjadi media
komunikasi untuk mentransfer ilmu dan perspektif mengenai ketampanan
itu.
Sejalan dengan pudarnya budaya pertunjukkan wayang dan diganti
dengan kotak ajaib bernama televisi yang menampilkan berbagai macam
cerita dan pertunjukkan, maka ada perubahan media yang signifikan dan
perubahan pesan pula. Konstruksi mengenai ketampanan ini tetap ada
tetapi mengalami pergeseran atau perubahan. Sekelompok orang dalam
industri pertelevisian dan produsen yang masuk dalam industri bina raga
(seperti susu pembentuk otot tubuh ini) menangkap data melalui indera

58
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

misalnya film-film barat seperti Superman atau Batman yang memiliki


tubuh six packs kemudian membuat simbol atas data yang mereka
tangkap, lalu membuat arti dalam simbol itu yakni ketampanan dan
kegagahan lalu diturunkan dan ditransfer dari generasi ke generasi
melalui televisi. Hal ini dapat dilihat perbedaan persepsi mengenai
bentuk pemikiran mengenai ketampanan dulu dan sekarang.
Perubahan itu sejalan dengan wacana Goldmann mengenai vision du
monde atau visi duniawi, yakni kesadaran kolektif terhadap totalitas
pikiran yang ekspresinya bisa berupa aspirasi atau perasaan, yang sama
sekali bukan kenyataan empiris (Wibowo, 2003). Visi duniawi ini muncul
seiring dengan krisis sosial dan menurut Goldmann pula visi duniawi ini
selalu mencerminkan pandangan kelas sosial karena tumbuh dan
berkembang dari situasi social ekonomi tertentu yang dihadapi suatu
komunitas. Visi duniawi ini misalnya tentang simbolisasi ketampanan
tersebut bagaimana terdapat pembentukan kesadaran kolektif terhadap
pemikiran mengenai ketampanan yang berupa aspirasi pembentukan
tubuh pria dan pembentukan pandangan ini diikuti dengan kenyataan
yang bukan empiris. Sehingga ketampanan yang dikonstruksikan oleh
sekelompok orang yang terlibat dalam industri pembentuk ketampanan
seperti produsen yang mengklaim memiliki produk yang mampu
menunjang ketampanan seseorang, semakin kuat. Dengan demikian
tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembentukan konstruksi ketampanan
ini dianggap identik dengan tokoh model heroisme kapitalis industri
ketampanan.
Jika kini dapat dilihat mengenai rekonstruksi ketampanan yang
berbeda dengan ketampanan pada jaman keemasan wayang maka dapat
kita lihat arah kiblat ketampanan itu sendiri. Jika industri produk-produk
pria dikuasai oleh hegemoni perusahaan dari barat, maka tidak heran
bahwa konstruksi ketampanan itu sendiri akan berkiblat ke barat, sebagai
standard acuan industri tersebut.
Komunikasi Pemasaran dalam Konstruksi Ideal
Iklan didefinisikan oleh Coutland Bouvee dan William Arens dalam
Contemporer Advertising sebagai “non-personal communication of information
that paid for and naturaly persuasive about product, service or idea that identified
the sponsor through various media” (Bouvee and Arens, 1986: 5) maka
tayangan man paegeant dapat digolongkan dalam usaha untuk
memperkuat iklan yang selama ini ada. Iklan dari produk susu pembentuk

59
Quo Vadis Televisi?

tubuh ini selalu menampilkan pria dengan bentuk tubuh six packs dan
selalu diperlihatkan bagaimana para wanita menatap dengan terpukau
pada badan si pria.
Sebagai bentuk aktivitas yang mendukung iklan tersebut
dilaksanakanlah suatu kompetisi ketampanan pria yang standarnya sesuai
dengan keinginan produk tersebut. Philip Kotler dan Gary Armstrong
(1984: 635) menyebutkan bahwa dalam aktivitas Marketing Communication,
aktivitas yang mendukung antara lain advertising atau iklan, personal selling,
sales promotion, publisitas dan public relations. Tayangan kontes ketampanan
dan kegagahan ini masuk dalam aktivitas marketing communication.
Industri yang menginginkan pembentukan konstruksi ketampanan ini
menjadi semakin mengakar dibenak prospek, salah satunya adalah dengan
proses komunikasi dan signifikansi sehingga harapannya adalah
konstruksi ketampanan ini akan menjadi (bahkan) budaya dalam
masyarakat Indonesia, yang dulunya konstruksi ketampanan itu seperti
Arjuna yang kerempeng dan berperut tipis. Wahyu Wibowo (2003: 125)
menyebutkan bahwa selain strategi 4P yang disebutkan oleh Phillip Kotler
yakni Product (Produk), Price (Harga), Place (Kiat mengenai penenmpatan
dan distribusi produk), dan Promotion (atau kiat bagaimana produk itu
dipasarkan pada masyarakat luas, ada lagi satu strategi yakni Power atau
kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan produsen untuk
“memaksakan” penayangan iklannya, semua ini amat berkaitan dengan
money atau seberapa besar modal yang dimiliki produsen untuk
membentuk konstruksi masyarakat mengenai standar ketampanan
sehingga akhirnya membeli produknya agar dapat sesuai dengan
idealisme ketampanan yang dimaksud oleh produsen.
Power dan 4P lainnya pada akhirnya ingin membentuk persepsi sesuai
keinginan produsen. Persepsi berasal dari kata percipere yang berarti menerima,
perseption, pengumpulan, penerimaan, pandangan (Komarudin, 2000:91). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 863) kata persepsi memiliki dua pengertian
yaitu tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan proses seseorang
mengetahui beberapa hal melalui pancainderanya. Sementara menurut Rahmat
(1998: 51) persepsi adalah pengamatan tentang objek peristiwa atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan. Persepsi juga memberikan makna pada stimuli inderawi. Melalui beberapa
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi sangat ditentukan oleh
faktor personal dan faktor situasional (Rahmat, 2004: 51 ). Sedangkan Krch dan
Crutchfield (1977: 235) menyebutkan perpsepsi sangat dipengaruhi oleh faktor

60
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

fungsional dan faktor struktural.


Persepsi mengenai ketampanan ini dibentuk dalam proses seperti
yang disebut oleh Wahyu Wibowo dalam bukunya Sihir Iklan yakni: (a)
Nilai, atau sikap kita terhadap faktualitas-juga aktualitas-berita atau
informasi yang berkembang. Nilai seseorang dipengaruhi oleh apa yang
dirasakan seseorang pula. Berdasarkan nilai, persepsi masyarakat luas
terbentuk bahwa penyaji iklan memiliki kuasa untuk mengisi iklannya
sekehendaknya dengan substansi yang bebas. (b) Unsur Budaya, dalam
hal ini budaya yang dimaksud adalah budaya konsemerisme yang
mengalami proses pencampuran fakta dan imajinasi, sehingga gaya hidup
yang ada dalam media diadopsi menjadi gaya hidup budaya masyarakat
luas. Termasuk mengenai gaya hidup urban mengenai tubuh pria dan
ketampanan. (c) Unsur Kepercayaan, yakni kepercayaan pada pengalaman
masa lalu seseorang yang erat dipengaruhi oleh konsep atau prinsip
kebutuhannya. Persepsi seseorang pada suatu produk terutama dalam
hal ini tayangan di televisi mengenai kontes ketampanan dan iklan-iklan
yang mendukungnya membawa pengalaman masa lalu pria-pria yang
masuk dalam kategori finalis kontes yakni pengalaman masa lalu mereka
saat mengkonsumsi produk sehingga menghasilkan tubuh seperti standar
ketampanan yang dibentuk oleh produsen.
Melalui penjelasan diatas dapat disimpulkan yakni tidak hanya produk
yang terlibat dalam proses komunikasi pemasaran tetapi juga bisa
konstruksi ideal, budaya, dan lain-lain. Bedanya wayang memiliki produk
agama atau budaya lokal L-Men yang tujuan akhirnya adalah sales produk
susu L-Men yang diharapkan meningkat. Konstruksi ideal atau figur
sebenarnya hanyalah sebagai sebuah alat untuk memvisualisasikan output
suatu produk sebagai brand ambassador, tetapi tujuan sebenarnya adalah
sales.
Wayang dan Televisi sebagai Media Persuasif
Pertunjukan wayang pada masa keemasannya dulu, sangat
digandrungi oleh banyak pemuda-pemudi pada zamannya, yang rela lek-
lekan atau tidak tidur semalam suntuk untuk melihat pertunjukkan wayang
yang menampilakn cerita-cerita Baratayudha atau Ramayana. Wayang
yang pada saat itu juga sebagai media untuk mempromosikan kearifan
dan ajaran agama memiliki perspektif sendiri terhadap ketampanan yang
diwujudkan dalam bentuk wayangnya. Tetapi dalam hal ini kbentuk
wayang tersebut merupakan pesan sekunder yang disampaikan, dan

61
Quo Vadis Televisi?

bukan merupakan pesan utama karena wayang sendiri tidak


mewujudkan diri dalam bentuk manusia sesungguhnya, hanya dalam
bentuk pupet atau boneka wayang. Sehingga konstruksi ketampanan itu
sendiri tidak terlihat sebegitu signifikan seperti dalam tayangan televisi
mengenai kontes pria tampan saat ini. Wayang hanya menunjukkan
postur tubuh sebagai penunjang pesan utamanya yakni cerita wayang
itu sendiri.
Tayangan televisi mengenai Kontes bina raga yang salah satunya adalah
Pemilihan Pria L-Men, memiliki pesan utama yakni mengenai standar
postur tubuh pria sesuai dengan standar L-Men dan pembelian atau sales
dari produk L-Men itu sendiri, didukung dengan iklan-iklannya di televisi.
Dalam kekuatan media ini televisi menjadi media yang sangat dominan
untuk membentuk persepsi audience mengenai ketampanan itu. Hadad
(1993) menyebutkan bagaimana media audio visual sebenarnya banyak
menghabiskan tenaga pemirsa, karena media tersebut memaksa pemirsa
duduk berjam-jam untuk mengikuti acara yang ditayangkan, sementara
jiwa pirsawan menerima semua yang disuguhkan kepadanya tanpa
membantah (Budi, 2004). Ditambahkan pula bahwa televisi hadir di tengah
budaya membaca yang belum mapan. Karena itu bukan kehadiran
televisinya yang memberikan dampak pada masyarakat tetapi program
televisinya yang berdampak pada masyarakat. Deddy Mulyana juga
menyebutkan bahwa bangsa kita adalah bangsa lisan yang kurang tertarik
pada tulis menulis. Sehingga televisi menjadi media yang memiliki
kekuatan yang besar sebab merupakan media lisan yang masuk dalam
konteks budaya masyarakat yang lisan.
Dalam wacana kekuatan televisi sebagai media persuasif, Siregar (2001)
menyebutkkan bahwa televisi telah mengganti peran sumber pendidikan
konvensional dan tradisional bahkan menjadi surrogate parents atau
subtitute teacher dimana kekuatan televisi sebagai media persuasif dalam
konteks pendidikan sangat kuat. Menurut Nugroho (1995) televisi juga
merupakan instrumen untuk memperoleh pengetahuan dan sekaligus
mengajari kita cara untuk memperoleh pengetahuan itu sendiri. Sehingga
televisi tidak hanya berfungsi untuk menyebarkan pesan tetapi nilai-nilai
pesan itu sendiri. Televisi tidak hanya menyebarkan mengenai siapa yang
tampan saja, tetapi apa makna dan standar tampan itu sendiri.
Salah satu teori yang mengungkapkan mengenai kekuatan media itu
adalah teori Agenda Setting. Teori yang diangkat oleh Maxwell McCombs
dan Donald Shaw (Griffin, 2003) ini mengemukakan beberapa pemikiran

62
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

mendasar mengenai bagaimana media mempengaruhi khalayak. Media


massa memiliki kemampuan untuk mentransfer items dalam agenda berita
mereka kepada agenda public sehingga membuat publik bukan lagi
berfikir apa yang berfikir tetapi berfikir tentang apa. Dengan kata lain,
media telah menyediakan segala hal yang perlu dipikirkan oleh audience,
audience akan menyerap apa saja yang diperlukan olehnya. Untuk itu
bisa dikatakan bahwa media disini menjadi seperti peluru yang
menembakkan isinya kearah audiens. Sama halnya dengan tayangan
kontes man peageant ini yang sebenarnya sangat mengandalkan teori ini,
dimana diharapkan bahwa dengan dipublikasikannya tayangan dan iklan-
iklannya di televisi ini maka audiens akan memikirkan hal-hal yang
disuguhkan oleh media dan mempengaruhi konsumen untuk: (1) tertarik
memikirkannya (2) tertarik membicarakannya (3) tertarik mencobanya (4)
tertarik mencobanya.
Agenda media dan agenda publik adalah pasangan yang dekat. Dalam
premis ini media adalah puhak yang berkuasa untuk mendikte mengenai
apa yang perlu dipikirkan oleh publik. Demikian pula halnya dengan
tayangan kontes ketampanan di televisi ini yang mendikte apa yang
sebenarnya dikehendaki oleh si tokoh yang akan memperoleh bentuk
tubuh “ideal” sesuai dengan standar yang dikehendaki producen dengan
meminum susu pembentuk otot . Oleh karena itu, posisi tayangan kontes
ketampanan ini merupakan media yang digunakan untuk memberikan
exposure kepada target audience.
Identitas ketampanan yang melekat dalam diri seorang lelaki dibentuk
melalui proses kontruksi tentang ‘self’ yang dipertajam dalam media iklan
yang tersirkulasi melalui televisi, surat kabar, dan online advertisement.
Kesemua ini tidak terlepas dari technological packaging yang
mempermudah setiap individu mengakses produk-produk dari media
iklan tersebut. Dalam konteks ini, Zukin dan Macguire (2004) dengan
asertif mencoba mengingatkan tentang bagiaman identitas tentang ‘self’
ini dibentuk dengan cair dalam konteks posmodernisme dimana dominasi
media dan kolaborasi apik dalam iklan telah melahirkan destruksi kreatif
tentang ‘self’. Disini kita dapat memahami bahwa definisi individu tentang
dirinya sendiri sudah tidak lagi secara otonomi, independen, dan bebas
nilai dibentuk dan dikonstruksi melalui rasionalitasnya sendiri, tetapi lebih
dari itu telah terdistorsi oleh nilai-nilai kolektif dalam iklan.
Tidak ada yang salah dalam iklan dan by nature memang ditampilkan
dan diproduksi untuk pemenuhan profit pembuatnya. Diskusi menjadi

63
Quo Vadis Televisi?

menarik ketika iklan tersebut dikontekstualisasikan dalam image building


of identity yang dialami oleh individu. Tentu saja ini bukan suatu proses
yang ‘socially’ ahistoris. Leonore Davidoff dan Catherine Hall (dalam Segal
1993:626) mengafirmasi argumentasi ini: “Masculinity and femininity are
constructs specifics to historical time and place. They are catagories and re-affirmed
in social institution and practices as well as a range of ideologies.”
Dari kajian ini, dapat dipahami bahwa pembentukan identitas tidak
terlepas dari praktek-praktek ideologi dimana seorang atau sekelompok
individu menjadi bagian dari penikmat produk dan institusi sebagai sphere
untuk berinteraksi lebih lanjut memperkuat proses ini. Kontes ketampanan
dan kegagahan seperti L-Men yang secara luas diikuti oleh remaja dan
lelaki dewasa laki-laki (dibawah 30 tahun) dalam kontekstualisasi ini
mempercepat pendefinisian tentang self yang mencitrakan framework lelaki
sehat dan bugar dengan perut ‘kotak-kotak’, tampan, atletis, dan otot bisep
dan trisep menonjol. Praktek-praktek pembentukan identitas dalam
memang tidak serta-merta diarahkan ke individu, tetapi secara simultan
terjadi negosiasi antara teknologi dengan individu yang bersangkutan
(Cerulo, 1997).
Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan manusia yang beragam, menjadi titik tolak industri untuk
membidik kebutuhan individu. Dalam bagan kebutuhan manusia, Maslow
memberi gambaran bahwa kebutuhan manusia dibentuk seperti piramida
yang harus dipenuhi tingkat-pertingkat, tetapi sekarang ada banyak
pandangan mengenai piramida Maslow tersebut dan memodifikasinya.
Seperti Executive Values in Strategy Consultant dalam values frameworknya
mencoba menginterpretasikan kembali piramida Maslow dan
memodifikasinya menjadi Integrated Human Needs of Maslow Pyramids
dimodifikasi sebagai analisis kebutuhan manusia dan bagaimana industri
berusaha memenuhi kebutuhan tersebut (lihat http://
www.evsconsulting.co.uk/valuesFramework.htm).
Adaptasi Kebutuhan Maslow ini memberi gambaran kepada kita
bahwa: (a) Manusia pada dasarnya ingin memenuhi kebutuhan dalam
waktu yang bersamaan. (b) Kebutuhan manusia dalam hirarki Maslow
sebelumnya yang menyebut bahwa self esteem yang paling atas dan paling
sedikit kini berubah menjadi semakin besar, kebutuhan manusia untuk
dihargai pada dasarnya merupakan kebutuhan terbesar manusia, dan
integrasi seluruh kebutuhan adalah yang terbesar. (c) Gambar ini

64
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

Inner directed
Cognitive, Aestetic
Outer directed
Esteem, Achievement

In To k
te
Sustenance driven

gr
at
Security, belonging

io
n
n ow

an
es ion

d
,u
tic
t

tra tan
iza

nd
te

ns
al

er
Ac
tu

ce
Re

s
em
,a

rs
Ac

nd
hi
co
he
ve

te

ev

d,

en ore,
lf

es

Lo
iti

gn
Ot
Se

em

ex

ce
gn

ve,
lf

itio
m

pl
Se

en
Co

of
gin
fro

n,
acc

al
lon

Ap

ln
m
Air

be
ep
tee

ee
p
Food

Be

au
ro
tan

ds
Es Water

ty
va
ce
Sex

l
Source: Adopted from Maslow, 1970; Cultural Dinamics Ltd.

Bagan Piramida Maslow yang sudah dimodifikasi

membedakan tiga kebutuhan: Warna Merah yaitu kebutuhan yang


berlangsung terus-menerus dan harus dipenuhi dengan kadar kontinuitas
yang tinggi, tetapi belum itu kebutuhan ini yang terbesar, justru termasuk
yang kecil. Warna Kuning merupakan kebutuhan yang berdaasrkan pada
orang lain, kondisi sekitar, dan pandangan sekitar terhadap manusia.
Warna Biru sebagai kebutuhan dari dalam kognisi manusia yaitu
kebutuhan akan kecantikan atau keindahan, kebutuhan untuk tahu,
menggali, dan mengerti serta integrasi dari kebutuhan seluruhnya. (d)
Kebutuhan ini menjelaskan pada hakikatnya manusia merupakan
makhluk yang tidak pernah puas dengan apa yang diperolehnya, tetapi
yang juga penting, bagaimana sekarang ini manusia disediakan suatu
pilihan untuk memenuhinya secara bersamaan dan mendapatkan
semuanya. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa memang kebutuhan
manusia bukan merupakan sebuah bentuk yang pakem atau baku, tetapi
juga dinamis dan fleksibel, tergantung pada kondisi jaman yang ada, dan
tentu kondisi seseorang.
Ini yang dibidik bahwa kebutuhan aktualisasi diri itu kebutuhan yang
penting yakni bagaimana dihargai orang lain. Caranya dengan
menyesuaikan dengan tokoh ideal atau orang yang dianggap ideal, jika
mendekati ideal maka akan dihargai. Kebutuhan manusia untuk diterima
oleh orang lain ini disesuaikan dengan persepsi dari masyarakat yang
sudah dibentuk mengenai ketampanan itu yakni berbadan six packs,
sehingga jika seseorang mendekati proporsi tubuh yang ideal seperti

65
Quo Vadis Televisi?

persepsi masyarakat, maka diharapkan orang tersebut dapat semakin


diterima oleh masyarakat dan disukai oleh masyarakat.
Kontes pria di televisi yang menawarkan secara audio dan vidual
kegagahan dan ketampanan tubuh sesuai standar yang baru juga
membidik kebutuhan masyarakat secara integratif dan bersamaan.
Kebutuhan yang dibidik secara integratif itu antara lain kebutuhan dicintai
dan diterima (warna merah muda) yaitu menampilkan bagaimana pria-
pria finalis kontes tersebut diterima dan disanjung oleh masyarakat,
disukai oleh para wanita cantik, esteem from other atau penghargaan dari
orang lain (warna kuning) yakni penghargaan sebagai pria tertampan dan
tergagah se-Indonesia, achievement (warna krem) yakni perasaan
memperoleh penghargaan, pujian seperti yang testimoni yang diberikan
oleh para juri dan penonton kepada pemenang atau finalis kontes pria,
dan secara kognitif (warna biru) kebutuhan bahwa dirinya sesuai dan
masuk dalam standar ketampanan di televisi membuat kebutuhan ini
terintegrasi dan terpenuhi secara bersamaan (harapannya).
Penonton televisi yang melihat kontes tersebut diharapkan merasa
bahwa melalui produk yang ditawarkan kebutuhan-kebutuhan mereka
dapat dipenuhi. Hal ini digambarkan dengan jelas oleh media televisi
yang mempunyai kekuatan untuk secara visual dan audio menampilkan
pemenuhan kebutuhan ini.
Alienasi Ketampanan Meminjam dari Marx
Teori alienisasi atau ‘proses menuju keterasingan’ dikeluarkan oleh Karl
Marx saat terjadi disparitas yang sangat tinggi antara rakyat biasa yang
menderita dengan kaum kapitalis yang menggambarkan keadaan para
buruh atau proletar mendapatkan sebuah keadaan yang terasing dari
kehidupanya. Karl Marx percaya bahwa alienisasi adalah hasil dari
eksploitasi kapitalisme terhadap buruh dengan mengartikanya sebagai
modal (Magnis-Suseno, 2000). Dalam kasus ini keterasingan dialami
bukan dalam persepektif proletariat tetapi dalam perspektif non-
sixpactariat atau pria maupun remaja laki-laki yang tidak memperoleh
standar bentuk kegagahan dan ketampanan yang dikonstruksi oleh media
massa saat ini.
Kaum non-sixpactariat ini memperoleh keadaan terasing sebab tidak
sesuai dengan bentuk ideal seorang pria yang dibentuk media.
Keterasingan atau alienasi dalam benak pria ini menjadi sebuah bentuk
keterasingan terhadap diri sendiri sebab mereka tidak dapat menikmati

66
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

potensi dan ketampanan mereka yang beragam. Refleksi dari alienasi


ini dapat berbentuk dalam berbagai macam kekecewaan terhadap diri
sendiri, keterasingan pada bentuk tubuh sendiri karena terlalu kurus
atau gemuk dan tidak sesuai dengan ketampanan ideal.
Kesamaan feeling of being the other atau alien dari planet diluar planet
pria ini dengan kesamaan dengan kaum proletariat pada jaman Karl Marx
antara lain: Pertama, Karl Marx menyebut bahwa kaum proletariat terasing
dengan pekerjaanya sendiri, di mana tugas kerja tidak memberi kepuasan
hati yang hakiki karena buruh tidak diberi kesempatan mengatur keadaan
fisik atau batin dirinya sendiri sebab dikuasai oleh kekuatan eksternalnya.
Sementara kaum non-sixpactariat terasing dari dirinya sendiri, dimana
bentuk tubuh dan rupa sendiri tidak memberi kepuasan hati yang hakiki
dan adanya ketidakpuasan terhadap diri sen-diri, tidak nyaman pada diri
sendiri sebab kekuatan eksternal yaitu mitos ketampanan status quo ingin
membentuk setiap pria untuk menjadi ideal.
Kedua, pola hubungan sosial membawa buruh menjadi terasing.
Hubungan masyarakat cenderung disederhanakan menjadi kegiatan-
kegiatan pasar. Pola hubungan sosial juga membawa kaum non-sixpactariat
menjadi terasing karena tidak sesuai dengan kondisi ideal yang di blow-
up media. Kemampuan dan kekuatan media mampu menghadirkan
persepsi ketampanan yang begitu kuat sehingga hubungan-hubungan
sosial pun dipengaruhi oleh bentuk-bentuk ideal dan standar industri
kapitalis. Hubungan-hubungan sosial yang dalam, valuable, dan dinamis
menjadi beralih pada hubungan-hubungan sosial yang memandang secara
peripheral atau sekedar rupa dan perut.
Ketiga, manusia hidup dalam hubungan aktif dengan alam yang
merupakan ekspresi dan hasil hubungannya dan menjadi pembeda antara
manusia dengan hewan. Pekerjaan yang terasing lebih menurunkan
kegiatan produktif manusia ke tingkat adaptasi pada alam, layaknya
hewan. Disini kaum non-sixpactariat juga dibentuk untuk berpikir, bekerja,
dan berolah raga demi sekedar tubuh six pacts seperti yang dibentuk oleh
media, produktivitas yang dipengaruhi motivasi untuk sehat dan menjadi
manusia seutuhnya dikebiri menjadi aktivitas demi rupa dan tubuh semata
yang sifatnya berevolusi, berubah, dan sementara. Muna Hada (1993)
menyebutkan bahwa media audio visual sebenarnya memaksa pemirsanya
untuk duduk dan menerima tayangan yang disuguhkan tanpa adanya
perlawanan. Dalam hal ini para pria maupun wanita disuguhkan tayangan
yang memberikan standar ketampanan dan kegagahan tanpa bisa

67
Quo Vadis Televisi?

melawan sehingga menimbulkan refleksi pada diri sendiri apakah dirinya


sudah sesuai dengan standar di televisi.
Tentu saja asumsi yang meminjam dari Karl Marx adalah asumsi yang
bergantung pada individu dan karakter market, sehingga tidak bisa
dipukiul rata pada semua orang, tetapi kekuatan exposure media mampu
membentuk individu-individu untuk merasa terasing terhadap dirinya
dan bentuk dirinya sendiri. Individu yang menderita karena melihat
kenyataan bahwa tubuhnya tidak sesempurna idealisme industri dan apa
yang telah disediakan oleh televisi. Individu yang sangat berharga, dimana
keterasingan sedang menanti dengan kekuatan televisi sebagai media
audio visual yang begitu kuat. Meminjam salah satu status facebook seorang
teman yang non-sixpactariat, yang kecewa terhadap konstruksi media
televisi terhadap mitos ketampanan dan sebagai bentuk pengusiran
keterasingan dirinya terhadap tubuhnya sendiri. “Transform your body into
six pacts, to be “healthy outside, brainless inside”, trust me it works” (Facebook
Status: Meredian Alam, 11/07/2010).
Penutup
Masyarakat, mau tidak mau, akan memperoleh media exposure
mengenai konstruksi ketampanan yang akan menunjang industri dan
kapitalisme. Kekuasaan kelompok tertentu untuk membentuk konstruksi
masyarakat mengenai suatu simbol misalnya nilai dan standar
ketampanan terkadang tidak dapat dihindari. Ketampanan menjadi mitos
yang akan selalu ada, meskipun mengalami perubahan dalam dinamika
masyarakat.
Proses revamping media dalam merekonstruksi mitos ketampanan ini
merupakan bentuk power dari sekelompok masyarakat yang memiliki
interest dari pembentukan konstruksi kognitif masyarakat. Power ini
dimiliki oleh industri kapitalis yang memiliki money untuk melakukan
serangkaian strategi marketing communication demi peningkatan sales
produknya melalui pencarian brand ambassador yakni kontes ketampanan
dimana brand ambassador harus sesuai dengan standar ketampanan yang
ditetapkan oleh industri tersebut.
Kekuatan televisi yang besar untuk menjadi subtitute teacher membuat
sebagian masyarakat yang lemah dan mudah mengikuti arus televisi akan
menjadi korban proses alienasi terhadap diri dan tubuhnya. Keberadaan
televisi yang kuat, membuat individu dan komunitas telalu berkaca pada
media, sehingga individu kehilangan keunikan dan identitas tubuhnya.

68
Televisi dan Rekonstruksi Kognitif Mitos Ketampanan

Padahal keunikan individu dapat mendefinisikan potensi yang dimiliki


oleh individu manusia yang sangat berharga. Semoga individu Indonesia
menjadi lebih cerdas dan kritis dalam menyikapi media televisi, baik
dalam mitos ketampanan maupun mitos-mitos yang lain.

Daftar Pustaka
Budi, Setio. 2004. Industri Televisi Swasta Indonesia dalam Persepektif Ekonomi Politik-
Jurnal Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Prodi Komunikasi UAJY
Cerulo, Karen A. 1997. “Identity Construction: New Issues, New Direction”. Annual
Review of Sociology, Vol. 23, pp. 385-409.
Segal, Lynne. 1993. “Changing Men: Masculinities in Context”. Theory and Society,
ol. 22, No. 5, Special Issues: Masculinities (Oct., 1993), pp. 625-641.
Zukin, Sharon & Maguire, Jennifer S. 2004. “Consumer and Consumption”. Annual
Review of Sociology, Vol. 30 (2004), pp. 173-197.
LOTY 2010, http://www.l-men.com/category/loty/gran-finalis-loty/loty-2010-gran-
finalis-loty-loty, 31 Juli 2010
Hermawan, Anang. 2008. Mitos dan Bahasa Media: Mengenal Semiotika Roland
Barthes,
http://www.averroes.or.id/thought/mitos-dan-bahasa-media-mengenal-semiotika-
roland-barthes.html, diakses pada tanggal 31 Juli 2010
Sumaryono. 2009. Teori Mitologi, http://gampingnews-support.socialgo.com/
magazine/read/teori-mitos_14.html diakses pada tanggal 31 juli 2010
Values Framework, http://www.evsconsulting.co.uk/valuesFramework.htm
diakses pada tanggal 2 Agustus 2010, pukul 15.20.30
Bouvee, Coutland dan Arens, William. 1986. Comtemporary Advertising. New York:
Irwin Mc Graw-Hill
Burr, Vivien (1995). An Introduction to Social Constructionism. London: Routledge
Griffin. 2003. First Look at Communication Theory. New York: Mc Graw Hill
Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita
Kasiyan. 2008. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan. Yogyakarta,
Ombak
Kotler, Philip dan Armstrong, Gary. 1984. Principles of Marketing. New Jersey:
Prentice-Hall Inc
Liang Gie. 1977. Suatu Konsepsi ke Arah Pengertian Bidang Filsafat. Yogyakarta: Karya
Kencana
Magnis-Suseno, Franz. 2000. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Nugorho, Garin. 1995. Kekuasaan dan Hiburan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Utami, Ayu. 2008. Bilangan Fu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Wibowo, Wahyu. 2003. Sihir Iklan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

69
Sinetron Remaja
Sebagai Ruang Sempit Identifikasi
Yahya Zakaria
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman

Sinetron remaja tumbuh subur seiring perkembangan stasiun televisi


di Indonesia pada akhir 1990-an, saat Rajawali Citra Televisi Indonesia
(RCTI) didirikan dan diikuti oleh kemunculan beberapa stasiun swasta
lainnya, seperti SCTV dan TPI. Dalam kemunculannya, televisi swasta
memiliki jam tayang yang sangat terbatas dengan acara yang tentunya
tidak beragam (Panjaitan dan Iqbal, 2006: 9-17). Kemunculan awal sinetron
remaja di televisi swasta, menurut Sunardian Wirodono (2005: 35) ditandai
oleh munculnya sinetron berjudul Pernikahan Dini pada 2001 yang memicu
kemunculan sinetron remaja lainnya.
Sinetron remaja yang hingga kini masih terus ditayangkan oleh stasiun
televisi swasta di Indonesia merupakan produk dari production house
dengan target audiens golongan umur 14-21 tahun. Melalui tema cerita
yang mengangkat persoalan keseharian layaknya cinta, persahabatan,
konflik keluarga, bahkan hingga ke seksualitas, sinetron remaja kian
diminati masyarakat dari hari ke hari. Tercatat, terdapat lebih dari 247
judul sinetron remaja yang terdiri dari 14.762 episode atau 1.791 jam tayang
sepanjang tahun 2007 menurut penelitian yang dilakukan oleh Yayasan
Pengembangan Media Anak (YPMA-Kidia) (Suara Merdeka, 20/06/2008).
Hal ini mengindikasikan, sinetron remaja tidak pernah sepi dari peminat
bahkan hingga hari ini. Kecenderungan terus tingginya peminat terhadap
sinetron remaja pada akhirnya menjadi alasan kuat bagi berbagai
production house untuk melakukan produksi massal.
Produksi massal sinetron remaja baik yang berbentuk serial maupun
yang berbentuk film televisi (FTV), justru semakin menurunkan kualitas
sinetron remaja, baik dari segi tema cerita, maupun dari teknis
sinematografinya. Dari sisi tema cerita, kerap ditemui banyaknya
kesamaan antara satu sinetron remaja dengan sinetron remaja lainnya,
orisinalitas menguap, duplikasi terjadi, bahkan seolah menjadi hal lumrah.

70
Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

Tema cerita yang seharusnya mengandung pembelajaran bagi remaja


bukan lagi menjadi hal pokok dalam proses produksi. Selain itu, dari sisi
sinematografi, hampir setiap sinetron remaja memiliki standar yang sama,
keunikan jarang ditemui di dalamnya. ‘Kejar tayang’, mungkin inilah
istilah yang tepat menggambarkan bagaimana sinetron remaja diproduksi
massal dalam jumlah besar-besaran, sehingga kualitas tidak lagi menjadi
orientasi. Sunardian Wirodono (2005: 80) mengungkapkan, “...tidak pernah
muncul kegalauan para mahluk sinetron itu, jika karya mereka sesungguhnya
tidak memiliki kedalaman. Ukuran-ukuran kesenian akan mereka patahkan dengan
jumawa bahwa yang penting mereka ‘kaya raya’...”
Remaja sebagai audiens, mau tidak mau akan terkena dampak dari
buruknya kualitas sinetron remaja hari ini, karena sebagai salah satu
produk televisi, sinetron remaja—sebagaimana produk televisi lainnya—
memiliki fungsi untuk menyampaikan nilai-nilai, berupa, gagasan, pola
pikir, sikap, hingga ke gaya hidup pada masyarakat luas. Lantas, nilai-
nilai seperti apakah yang disampaikan oleh sinetron remaja pada
audiensnya? Karena nilai dalam pandangan Althusser merupakan sebuah
kekuasaan, nilai menyimpan kepentingan dari kelas dominan di
masyarakat. Lebih jauh, dengan kondisi sinetron remaja yang tidak
berkualitas, dangkal, serta berorientasi pada kepentingan materi, maka
nilai yang disampaikan akan berorientasi pada kepentingan para pemilik
modal sebagai kelas dominan dalam struktur sosial masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mekanisme kelas dominan dalam
menjadikan nilai-nilai yang disampaikan sinetron remaja berpihak pada
kepentingan mereka?
Nilai dalam Sinetron Remaja Sebagai Ideologi
Untuk menjawab pertaanyaan di atas, pembahasan akan bermula dari
pemikiran Althusser mengenai ideologi. Dalam konsepsinya mengenai
ideologi, Althusser menyebutkan bahwa ideologi merupakan sebuah
praktik, sebuah mekanisme yang berjalan di wilayah deep structure
masyakat dan secara tidak sadar mengkonstruksi perilaku, sikap serta
pandangan masyarakat, sehingga ideologi dalam konsepsi Althusser
sangat berbeda dengan ideologi yang dipahami oleh masyarakat saat ini.
Lantas, ideologi bukanlah sesuatu yang terlepas dari kekuasaan, tetapi
merupakan kekuasaan yang bersemayam di dalam struktur, sehingga
ideologi menjadi mekanisme dalam struktur yang tak disadari telah
mengkonstruksi pandangan dan pola pikir masyarakat agar sesuai dengan

71
Quo Vadis Televisi?

kepentingan kelas dominan. Eriyanto (2009: 99) menyebutkan: “Manusia


sebagai subjek bagi struktur dimana struktur tadi bukan ciptaannya melainkan
ciptaan kelompok atau kelas tertentu. Karena struktur itu diciptakan untuk dan
identik dengan kepentingan kelompok penciptanya.”
Sebagai pemikir yang terpengaruh gerakan strukturalisme pada tahun
1960 di Prancis1, Althusser—layaknya Karl Marx—membagi masyarakat
kedalam dua kelas, yakni kelas dominan dan kelas yang didominasi, kelas
dominan adalah mereka yang memiliki alat produksi, seperti produser,
pemegang saham stasiun TV, dsb. sementara kelas yang didominasi adalah
mereka yang tidak memiliki alat produksi, sehingga harus menjual
tenaganya demi mendapatkan imbalan. Relasi yang terjadi pada kedua
kelas tersebut merupakan relasi antagonistik, saling bersitegang, saling
berebut kekuasaan, dari relasi yang antagonistik tersebut lahirlah ideologi.
Pada titik ini, karakteristik dari struktralisme sangat kental terlihat, karena
keberadaan sesuatu dipandang sebagai akibat dari adanya hal yang
berlawanan—oposisi. Jadi, tanpa adanya dua hal yang bertentangan,
ideologi tidak akan pernah lahir.
Terdapat tiga landasan pokok ideologi menurut Althusser (2006: 39,
42-44 dan 47-48). Pertama, ideologi merupakan representasi hubungan
imajiner antarindividu dalam berbagai kondisi eksistensi riilnya. Dalam
hal ini, sinetron remaja merepresentasikan relitas imajiner karena telah
menjadikan remaja kehilangan sejarahnya, seolah yang disebut sebagai
remaja saat ini adalah sebagaimana direpresentasikan dalam sinetron
remaja, sehingga wajar diikuti semua hal yang direpresentasikannya.
Kedua, ideologi merupakan sebuah kekuatan material di dalam
masyarakat. Kekuatan material ideologi tidaklah berbentuk konkret
layaknya benda-benda di sekitar kita, tetapi ideologi memiliki kekuatan
untuk membuat individu di dalam masyarakat patuh secara suka rela
mengikuti mekanisme ideologi yang tak kasat mata, kepatuhan tersebut
pada akhirnya akan termanifestasikan dalam bentuk atau wujud nyata
yang kasat mata. Dalam konteks sinetron remaja, kekuatan material dari
mekanisme ideologi sinetron remaja tidak pernah terlihat wujudnya oleh
kita semua, tetapi kepatuhan secara suka rela akan terlihat secara nyata,
misal, remaja mengadopsi cara berbicara dari sinetron remaja atau remaja
mengikuti cara berpakaian sebagaimana direpresentasikan oleh sinetron
remaja. Jadi, dampak dari mekanisme ideologi yang akan mewujud secara
kasat mata, sementara kekuatan material ideologi tak kasat mata.
Ketiga, ideologi meminta individu menjadi subjek di dalam ideologi-

72
Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

ideologi tertentu. Dalam proses meminta individu menjadi subjek atau


dalam bahasa Althusser menginterpelasi subjek, ideologi melakukan
subjeksi pada individu-individu. Subjeksi merupakan sebuah keadaan
dimana individu akan berpikir mengenai keberadaanya dengan proses
membandingkan pada keberadaan orang lain. Identitas merupakan akhir
dari subjeksi, dimana seorang individu akan mendefinisikan identitasnya
melalui perbandingan dengan identitas lain yang sedang
menginterpelasinya. Dalam kegiatan remaja mengkonsumsi sinetron
remaja, hal tersebut merupakan sebuah subjeksi, melalui mekanisme
pemberian identitas, dimana remaja yang sedang menonton sinetron akan
selalu mendefinisikan identitasnya dengan melakukan perbandingan
terhadap identitas yang terdapat di dalam sinetron tersebut, maka secara
tidak sadar, remaja yang sedang menonton tersebut diinterpelasi oleh
ideologi untuk menjadi subjek secara suka rela.
Proses negosiasi yang terjadi ketika seorang remaja menonton sinetron,
merupakan sebuah medan bagi dua identitas saling bertemu dan
berkontradiksi, saling memberikan penafsiran, di titik inilah ideologi
meminta individu menjadi subjek. Dari ketiga landasan pokok yang
tersebut, maka seluruh individu dalam masyarakat tidak akan mampu
mengelak dari ideologi. Diane MacDonell (2005: 39) menjelaskan: “Kita
tidak dapat keluar dari ideologi. Kesadaran kita dikonstruksi dalam bentuk
subjek imajiner... dalam praktik sehari-harinya, kita menjadi individu
tertentu yang bertindak di dalam keyakinan yang memberikan kita untuk
berpikir.” Althusser (2006: 45) menyatakan formula Pascal dimana,
‘berlutut, gerakan bibirmu di dalam doa dan Anda akan percaya...”
Masyarakat secara umum dan khususnya remaja, akan selalu hidup
di dalam realitas imajiner selama sistem sosial masih dikuasai oleh kelas
dominan, karena dengan terus terjaganya sistem sosial saat ini melalui
reproduksi, maka struktur akan terus mengkonstruksi pikiran hingga
sikap masyarakat. Ideologi dalam hal ini, terus melakukan reproduksi
atas sistem sosial yang mapan, dengan tujuan “unified around the essential
interest of the dominant class...” (Matheron and Corpet, ed., 2006: 286).
Dengan fungsi ideologi sebagai ‘wadah’ yang menyatukan kepentingan
mendasar dari kelas dominan dalam masyarakat, maka sinetron remaja
yang saat ini menjadi salah satu media dari ideologi untuk melakukan
mekanisme dominasinya, akan terus merepresentasikan nilai dari kelas
dominan untuk menciptakan realitas yang imajiner.

73
Quo Vadis Televisi?

Sebagai contoh, dalam sinetron remaja, perempuan kerap


direpresentasikan sebagai makhluk yang gemar menangis dan tergantung
pada laki-laki. Sementara laki-laki direpresentasikan sebagai mahluk kuat
yang mandiri dan tidak gemar menangis. Sungguh lumrah ketika seorang
perempuan dalam sinetron remaja menyerah saat menghadapi mobil
mogok dan perempuan tersebut menunggu pertolongan dari seorang laki-
laki atau saat seorang perempuan berlari menangis karena memergoki
pacarnya selingkuh dengan perempuan lain. Sebaliknya, hal tersebut tidak
akan menjadi lumrah ketika laki-laki dalam sinetron remaja menyerah
ketika menghadapi mobil yang mogok, ataupun ketika seseorang laki-
laki menangis saat memergoki pacarnya berselingkuh dengan laki-laki
lain.
Bayangkan saja, bagaimana ketika kita menonton sebuah sinetron
remaja yang menceritakan seorang laki-laki mendapatkan bantuan dari
seorang perempuan untuk memperbaiki mobilnya yang sedang mogok?
Atau seorang laki-laki menangis karena diselingkuhi, hingga ia mengunci
diri di kamar dan seharian menangisi hal tersebut? Mungkin kita akan
merasa janggal dan tidak terbiasa melihat hal-hal tersebut. Inilah bukti
berjalannya mekanisme ideologi yang menciptakan relasi imajiner berupa
kelumrahan-kelumrahan atau nilai “kewajaran” dalam memandang relasi
laki-laki dan perempuan dalam dunia sosial remaja, hingga seolah-olah
relasi perempuan dan laki-laki sebagaimana yang dicontohkan tadi
merupakan sebuah kewajaran, dan remaja sebagai audiens patut untuk
melakukannya.
Relasi imajiner sebagai hasil dari mekanisme ideologi memang
menjadikan sesuatu terlepas dari konteks sejarahnya, seolah-olah relasi
perempuan dan laki-laki seperti apa yang direpresentasikan oleh sinteron
remaja hari ini, tidak lebih, padahal relasi perempuan dan laki-laki yang
direpresentasikan oleh sinetron remaja memiliki sejarah, memiliki sebab,
tidak serta merta relasi tersebut muncul dan mapan di tengah masyarakat.
Maka, dengan terlepasnya konteks kesejarahan, sesuatu akan menjadi
sebuah kewajaran, atau masyarakat kerap menyebutnya: lumrah. Pada
akhirnya kelumrahan tersebut akan melanggengkan kekuasaan kelas
dominan, karena sistem sosial patriarkis merupakan sistem sosial yang
selalu direproduksi, dijaga keberadaannya oleh kelas dominan demi
keuntungannya.
Contoh lain adalah representasi gaya hidup kekinian remaja, yang
sering direpresentasikan melalui cara berpakaian, cara berinteraksi, cara

74
Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

bergaul, hingga cara menyelasaikan masalah. Perempuan dengan hot pants,


berambut lurus, langsing, blackberry, gemar berbelanja, dan sebagainya.
Laki-laki dengan pakaian bergaya casual atau sporty, turun naik mobil,
cool, rambut tersisir dengan rapi, dan sebagainya, merupakan kelumrahan
atau kewajaran bagi remaja yang patut untuk ditiru. Mekanisme ideologi
yang akhirnya menciptakan relasi imajiner pun terjadi. Seolah-olah gaya
hidup seperti itulah yang menjadi kewajaran di kalangan remaja: remaja
masa kini adalah remaja yang memiliki kriteria sebagaimana disebutkan
di atas. Pada titik ini, sejarah menguap, remaja menjadi kehilangan masa
lalunya, sehingga remaja tanpa sejarah adalah remaja masa kini, berikut
segala kriterianya.
Representasi gaya hidup remaja dan relasi perempuan dan laki-laki,
keduanya merupakan nilai yang disampaikan melalui sinetron remaja.
Nilai-nilai tersebut bersemayam di dalam struktur dan lambat laun
mengkonstruksi pandangan dan sikap remaja, hingga remaja berkubang
dalam realitas imajiner, terasing dari sejarahnya dan menganggap wajar
nilai-nilai tersebut. Setelah kewajaran muncul, remaja akan melayani
kepentingan kelas dominan dan mempertahankan kekuasaannya yang
telah mapan. Dengan berlangsungnya proses tersebut, ideologi telah men-
jalankan praktiknya dalam struktur, menjadi mekanisme bagi status quo.
Pandangan, sikap, cara berpakaian, hingga gaya hidup sehari-hari yang
telah dikonstruksi oleh ideologi merupakan sebuah identitas bagi individu.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, individu memiliki identitas
yang berbeda dengan individu lain, atau dalam terminologi Althusser
adalah subjek-subjek ideologi yang berbeda satu dengan lainnya. Dalam
konstruksi identitas, seseorang akan melewati fase bernama identifikasi,
yang merupakan sebuah proses pembentukan identitas melalui per-
bandingan dengan identitas lain, maupun penerimaan dari identitas lain.
Remaja dan Identifikasi
Identitas adalah perbedaan cara kita memandang diri sendiri
(Widiastuti, 2005: 13) atau dalam bahasa Amin Maalouf (2004: 10) identitas
saya adalah apa yang mencegah saya jadi identik dengan orang lain.
Identitas memang berfungsi untuk membedakan satu individu dengan
individu lain berdasarkan keunikan masing-masing. Melalui perbedaan
cara pandang terhadap diri sendiri maupun cara pandang terhadap orang
lain, seorang individu akan melakukan penafsiran hingga terjadi peniruan,
penolakan maupun penggabungan identitas, karena identitas bukanlah

75
Quo Vadis Televisi?

hal yang tetap dan kekal, melainkan selalu berubah seiring bertumbuhnya
usia dan berubahnya lingkungan sekitar. Struktur akan selalu
mengkonstruksi identitas tiap individu dan hal ini berlaku pula dalam
proses penerimaan identitas dari nilai-nilai yang direpresentasikan oleh
sinetron remaja.
Amin Maalouf (2004: 23) menambahkan, identitas tidaklah terberi
sekali untuk selamanya: ia dibangun. Sebagai sebuah bangunan, identitas
mampu dihancurkan atau dikuatkan, hal yang sama juga berlaku dalam
konteks remaja, dimana identitas remaja merupakan sebuah bangunan
yang mampu hancur dan dibentuk. Proses pembangunan identitas
tersebut berjalan melalui proses yang disebut sebagai identifikasi.
Identifikasi merupakan proses seorang individu ketika melakukan
pendefinisian identitas dengan cara membandingkan dengan identitas
lainnya. Dalam proses pendefinisian tersebut, seseorang akan melakukan
proses peniruan, penolakan dan penggabungan identitas, hingga
seseorang puas akan identitasnya. Dalam kegiatan seorang remaja
menonton sinetron remaja, representasi nilai-nilai akan ditangkap dan
diinternalisasi oleh si remaja, lantas, proses identifikasi berjalan, yakni si
remaja akan membandingkan identitasnya hari ini dengan identitas yang
direpresentasikan di dalam sinetron remaja. Proses tersebut terus berjalan,
dan tanpa disadari secara perlahan, identitasnya akan bergeser menuju
identitas sebagaimana yang telah direpresentasikan oleh sinetron remaja.
Secara psikologis, remaja merupakan fase dimana identitas diri sedang
mengalami pencarian bentuknya. Proses pencarian tersebut berlangsung
hingga fase remaja telah terlewati. Institusi sekolah, keluarga, media
massa, lingkungan bermain, hingga kebijakan pemerintah turut andil
memengaruhi pembentukan identitas remaja. Kecenderungan untuk
meninggalkan ikatan emosional dengan orang tua sangat kuat. Nilai-nilai
yang ditanamkan oleh orang tua akan ditinggalkan dan mulai membuka
diri untuk menerima nilai-nilai baru, sebagai referensi baru dan
pembanding identitas. Pembentukan identitas pada fase remaja akan
menentukan kehidupan dalam fase berikutnya. Sehingga wajar jika remaja
merupakan fase yang labil sekaligus rentan dalam pembentukan identitas.
Dalam hal ini Singgih D. Gunarsa (2008, 210) menambahkan, remaja pada
fase ini sedang merenggangkan diri dari ikatan emosional dengan orang
tuanya. Mereka sedang membongkar landasan hidup yang sudah
diletakkan orang tuanya sepanjang masa anak... pada masa ini remaja
harus menemukan identitas diri.

76
Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

Identitas diri bagi remaja merupakan kebutuhan yang tak terbendung.


Fase pencarian dan krisis bagi remaja pada akhirnya membuat remaja
membutuhkan banyak referensi identitas untuk melakukan identifikasi
dan memapankan identitasnya yang khas. Sinetron remaja menjadi salah
satu pilihan bagi remaja dalam proses identifikasi, karena menyediakan
referensi identitas. Pada titik inilah peliknya permasalahan, dimana
sinetron remaja justru tidak mampu menyediakan referensi identitas yang
luas, beragam dan demokratis bagi remaja, identitas yang direpresentasi-
kan merupakan identitas yang didalamnya telah bersemayam mekanisme
ideologis yang penuh kepentingan kelas dominan. Dengan situasi ini,
remaja menjadi miskin referensi, remaja mengidap krisis identitas. Singgih
D. Gunarsa (2008, 211) menambahkan, remaja melihat tokoh yang
dikagumi, ingin menjadi sama dengan tokoh tersebut. Sejuh mana
persamaan bisa dicapai, tergantung dari kemampuan dan kesempatan
baginya. Masalah yang sering timbul dalam menunaikan tugas
perkembangan ini, terletak pada ‘langkanya’ tokoh identifikasi.
Sinetron remaja memang belum mampu menyediakan ‘tokoh’
identifikasi yang beragam bagi remaja. Tokoh identifikasi yang sering kita
lihat di layar kaca selalu seragam, dengan gaya hidup yang tidak jauh
berbeda. Tengok saja, Film Televisi atau FTV yang ditayangkan oleh salah
satu stasiun televisi swasta dengan segmen remaja, tokoh-tokoh
identifikasi di dalamnya adalah mereka yang bergaya hidup mapan,
keluar-masuk kendaraan pribadi, selalu ikut arus teknologi, makan di
restoran, shopping di mall, pacaran, nongkrong di kafe, setting di Bali,
Yogyakarta, Bandung, Jakarta—semuanya adalah kota-kota besar.
Identitas tersebut seolah menjadi kewajaran, hal yang patut untuk
dijadikan identitas bagi remaja saat ini.
Identitas yang saling berinteraksi dan berkontradiksi dalam kegiatan
seseorang menonton sinetron remaja bukanlah sebuah interaksi yang
setara, melainkan terdapat identitas yang superior. Identitas superior
adalah identitas yang direpresentasikan dalam sinetron remaja, karena
dengan kondisi psikologis remaja yang rentan dan labil, menyebabkan
tidak adanya sebuah mekanisme untuk mempertahankan diri secara kuat
dalam menolak dominasi identitas sinetron remaja. Sementara itu, di lain
pihak, identitas di dalam sinetron remaja memiliki kekuatan besar untuk
mengajak audiensnya secara tidak sadar menerima identitas yang telah
menjadi kewajaran. Ketidaksetaraan inilah yang menyebabkan banyaknya
remaja pada akhirnya mengadopsi identitas sebagaimana

77
Quo Vadis Televisi?

direpresentasikan sinetron remaja. Lebih lanjut, Sunardian Wirodono (140)


menyebutkan: “Anak-anak, remaja dan kaum ibu, ketiganya memiliki
hubungan yang rentan dan sensitif terhadap televisi. Apalagi jika hal
tersebut dikaitkan dengan daya perlawanan, ketiga kelompok ini relatif
lebih rendah. Bukan berarti bahwa kelompok umur di luar itu tidak
terpengaruh. Namun dalam konteks struktur masyarakat mayoritas
Indonesia, penetrasi media televisi pada kelompok umur ini tidak sekeras
untuk ketiganya.”
Sinetron Remaja: Representasi Kepentingan Kelas Dominan
Sempitnya ruang identifikasi di dalam sinetron remaja pada akhirnya
membuat sebuah keseragaman identitas yang secara kasat mata terlihat
beragam, unik dan demokratis, tetapi secara substansi memiliki satu
kesamaan prinsip: mendukung kepentingan kelas dominan. Itulah
mengapa saat ini, sinetron remaja dinilai memiliki ruang sempit
indentifikasi dan keseragaman identitas karena memiliki satu kesamaan
prinsip. Dengan kepentingan kelas dominan, identitas remaja secara tidak
sadar diarahkan pada konsumerisme serta liberalisasi gaya hidup:
kemewahan, kebahagiaan material, kebanggaan atas hal-hal artifisial.
Remaja menjadi sempit layaknya lembaran uang, menjadi obsesif pada
hal-hal material.
Dengan sistem sosial yang cenderung kapitalistik saat ini, maka
orientasi kelas dominan adalah untuk semakin mengukuhkannya.
Menjadikan remaja sebagai makhluk konsumtif merupakan salah satu
jalan untuk mengukuhkan sistem sosial yang telah mapan di Indonesia.
Marcel Danesi, seorang pakar komunikasi dari University of Toronto
memiliki keresahan yang tidak jauh berbeda pada praktek televisi hari
ini, yang produk-produknya kerap merepresentasikan kepentingan kelas
dominan di dalam masyarakat. Ia menulis: “Pada kenyataannya, teks
televisi nyaris tidak bersifat inovatif atau memberikan ilham. Televisi
hanya membuat acara-acara yang memperkuat kecenderungan gaya hidup
yang sudah mapan” (Danesi, 2010: 165). Sinetron remaja sebagai salah
satu teks televisi memiliki kecenderungan untuk memapankan gaya hidup
kelas dominan di dalam sistem sosial saat ini.
Lebih lanjut, kelas dominan juga menerapkan mekanisme kontrol
dalam proses identifikasi, sehingga remaja akan sulit mengelak dan
melawan arus, karena kontrol yang diciptakan berupa nilai-nilai yang
wajar atau dengan kata lain, nilai yang “baik”. Dalam terminologi Pecheux,

78
Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

seorang pemikir yang meneruskan tradisi Althusser: identifikasi adalah


model ‘subjek yang baik’, bagi yang perhatian pada citra yang diberikan
pada mereka (Macdonnel, … 40). Pada titik ini, dengan berlandaskan
argumen Pecheux, kelas dominan telah membuat kontrol degan
mengatasnamakan nilai yang ‘baik’, atau sering disebut, wajar, lumrah.
Secara struktural, dengan adanya nilai ‘baik’, maka akan beroposisi dengan
nilai ‘buruk’, yakni segala sesuatu yang tak wajar dan tak lumrah. Oposisi
biner antara nilai ‘baik’ dan nilai ‘buruk’, akan memaksa remaja mengejar
nilai ‘baik’ agar identitasnya sesuai dengan kewajaran.
Nilai ‘baik’ merupakan kepentingan kelas dominan untuk melakukan
kontrol dan melakukan penghakiman secara tidak langsung pada nilai
‘buruk’. Sebagai contoh, dalam sinetron remaja kerap direpresentasikan
remaja yang ‘baik’ adalah remaja yang sukses secara material, bekerja di
sebuah perusahaan swasta, berikut segala pernak-pernik kehidupannya
yang kekinian. Di luar itu merupakan sebuah nilai ‘buruk’, identitas yang
tidak kekinian. Remaja secara tidak sadar dikonstruksi pola pikirnya
hingga mengikuti standar nilai ‘baik’, agar identitasnya di tengah
masyarakat diakui. Konstruksi pikiran merupakan hasil dari mekanisme
ideologi sebagaimana telah diuraikan di awal. Nilai-nilai ‘baik’ terus
direproduksi hingga saat ini, dan struktur masyarakat menjadikannya
sebagai ‘hidup remaja yang wajar’. Bayangkan ketika seorang remaja
bercita-cita menjadi pekerja kasar, buruh tani atau kuli harian, maka struktur
sosial akan memberikan penghakiman sebagai nilai ‘buruk’ dan bukan
identitas remaja keknian yang layak atau wajar untuk ditiru, karena
memang sinetron remaja tidak pernah memberikan representasi identitas
remaja yang kekinian sebagai petani, buruh, atau pekerja kasar. Itulah contoh
dari oposisi antara nilai ‘baik’ dan ‘buruk’ dalam wilayah identitas profesi
bagi remaja.
Mekanisme ideologi dalam struktur masyarakat yang mewujud dalam
nilai ‘baik’ memang menjebak remaja pada lingkaran yang sulit ditemukan
celah untuk mengelak atau melawan arus, karena ketika seseorang akan
melawan arus, berarti harus berhadapan dengan masyarakat, berikut
‘norma’ dan ‘batas kewajarannya’. Struktur pada akhrirnya menjepit,
menghakimi dan memaksa secara halus remaja yang sedang berada dalam
fase pencarian identitas. Dalam konteks ini, Althusser mencatat: “The
individual/subject demands that he be recognized as an individuality and a unity,
as ‘a someone’. But ‘the one’ (the subject) must be recognized by the other. It

79
Quo Vadis Televisi?

seems that one has a psychosocial need to identify with ‘the other’ in order to
recognize one self as existing.” (Matheron and Corpet,ed., 2006: 284).
Dalam pandangan Althusser, kontrol yang dilakukan oleh kelas
dominan akan berjalan di alam bawah sadar remaja, karena setiap remaja
membutuhkan identitas dan identitas tidak akan ada tanpa identitas
pembanding maupun tanpa pengakuan dari remaja-remaja lain. Dengan
kebutuhan akan pengakuan secara sosial maka kontrol pasti akan berjalan,
karena kontrol lahir dari penilaian satu identitas terhadap identitas lain.
Lebih jauh, kontrol mampu mewujud dalam beragam bentuk; rasa malu,
minder, dijauhi, dimusuhi, dan sebagainya. Remaja pada akhirnya akan
takluk dihadapan kontrol yang berjalan dalam struktur sosial, karena
diteror oleh rasa malu atau minder jika tidak memiliki identitas sesuai
dengan nilai ‘baik’.
Sinetron remaja memang memberikan ruang sempit bagi para remaja
untuk melakukan identifikasi sebagai proses pembentukan identitasnya,
tidak ada keberagaman identitas dalam sinetron remaja, semua menjadi
seragam, menjadi pendukung struktur sosial yang menguntungkan kelas
dominan saat ini. Tak hanya itu, reproduksi sebuah identitas yang
dilakukan oleh sinetron remaja pada akhirya menciptakaan nilai “baik”
dan menjadi kontrol, agar remaja patuh, seragam, tidak melawan arus.
Masa Depan Sinetron Remaja
Sudah saatnya sinetron remaja melakukan perubahan dan menjalankan
fungsinya sebagai media pembelajaran remaja sekaligus menjadi media
identifikasi yang luas, beragam dan demokratis, karena dengan kondisi
seperti saat ini, remaja akan terus menjadi korban, terus kerdil dan
seragam. Remaja seharusnya memiliki banyak referensi identitas agar
mampu berkembang dan menjadi identitas yang dinamis serta kritis.
Dalam sistem sosial Indonesia, remaja menempati posisi startegis karena
perannya sebagai penerus tongkat kepemimpinan negeri ini, maka jika
keadaan seperti ini terus dibiarkan, remaja hanya akan terjebak menjadi
agen-agen kelas dominan untuk terus melakukan reproduksi kemapanan.
Production house, stasiun televisi dan produser sinetron remaja
seharusnya menjadikan moral sebagai orientasi, bukan hanya orientasi
materi, karena jika hanya materi yang dijadikan orientasi, hasilnya akan
selalu seperti ini, tragis. Moral dibutuhkan untuk menjadi penyeimbang,
menjadi tanggung jawab. Dengan adanya perubahan orientasi diharapkan
sinetron remaja mampu berbenah, mampu menjadi ladang subur referensi

80
Sinetron Remaja Sebagai Ruang Sempit Identifikasi

identitas, dan terdapat keberagaman identifikasi bagi remaja di dalamnya.


Memang tidak sedikit waktu yang dibutuhkan untuk berbenah diri, tetapi
jika tidak dimulai dengan langkah kecil saat ini, maka keadaan tidak akan
sedikitpun berubah, remaja akan selalu mengidap krisis identitas, akan
menjadi individu yang tidak pernah kenyang mengkonsumsi.***

Daftar Pustaka
Althusser, Louis. 2006. Tentang Ideologi; Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural
Studies. Jalasutra, Yogyakarta.
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Jalasutra, Yogyakarta.
Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengatar Analisis Teks Media. LKIS, Yogyakarta.
Gunarsa, Singgih D.. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. BPK Gunung
Mulia, Jakarta.
Harian Suara Merdeka, edisi 20 Juni 2008.
Maalouf, Amin. 2004. In The Name Of Identity. Resist Book, Yogyakarta.
MacDonnel, Diane. 2005. Teori-Teori Diskursus. Penerbut Teraju, Jakarta.
Matheron, Francois and Oliver Corpet (ed.). 2006. Philosophy of the Encounter Later
Writing 1978-1987 Louis Althusser. Verso, New York.
Panjaitan, Erica L. dan TM. Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Sarup, Madan. 2007. Posstrukturalisme dan Posmodernisme; Sebuah Pengantar Kritis.
Penerbit Jendela, Yogyakarta.
Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan dan Perempuan. Peerbit Buku Kompas, Jakarta.
Widiastuti, Tuti. Menggagas Komunikasi Antra Budaya Dalam Keragaman. Jurnal
Komunika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Vol.8 No.2, 2005.
Wirodono, Sunardian. 2005. Matikan TV-Mu. Resist Book, Yogyakarta.

Catatan
1 Strukturalisme merupakan salah satu aliran pemikiran yang muncul sebagai
reaksi dan kritik terhadap perkembangan Marxisme—Leninisme, serta
humanisme—Sartre kala itu. Strukturalisme memiliki pandangan bahwa dalam
setiap aspek kehidupan, pikiran dan tindakan kita sebenarnya diatur oleh
struktur dalam (deep structure) yang biasanya tidak kita sadari. Struktur-struktur
dalam yang tidak kita sadari itu dapat digunakan untuk mempelajari aspek-
aspek kehidupan manusia. Strukturalisme menjelaskan dari segi eksistensi
dan interaksi struktur yang mendasarinya, yakni sebagai ganti dari agensi,
cara berfikir dan memutuskan manusia. Paham strukturalisme memandang
makna suatu unsur/elemen, tidak ditentukan oleh substansinya tetapi oleh
relasi dengan beberapa unsur dalam struktur, sehingga strukturalisme lebih
mengutamakan struktur dari pada subyek. (Lihat: MacDonnel. 2005: 1-7.
Pembahasan lebih lanjut, lihat: Sarup. 2007: xvii-xxiii).

81
Mana Acara Televisi untuk Anak?
Astrid Risky Amelia dan Paskalia Pramita Nareswari
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Televisi sebagai bagian dari kebudayaan audiovisual baru merupakan


medium yang paling kuat pengaruhnya dalam membentuk sikap dan
kepribadian masyarakat. Hal ini disebabkan pesatnya perkembangan
jaringan televisi yang menjangkau masyarakat hingga ke wilayah terpencil.
Sajian dalam bahasa audiovisual lebih mudah diingat daripada apa yang
ditulis dan dibaca. Penggunaan bahasa verbal dan visual, sekaligus dalam
rangka menyampaikan sesuatu seperti pesan, informasi, pengajaran, ilmu,
dan hiburan (Wibowo, 1997). Televisi merupakan media multidimensi
karena televisi dibangun dari adanya konsolidasi kepemilikan, perpaduan
teknologi, dari visual dan audio, serta programnya merupakan
penysusunan bersama (King dan Russel, 2009: 323).
Televisi memercikkan rasa ingin tahu pada anak-anak dan membuka
mata mereka terhadap dunia-dunia yang jauh. Dengan melihat tayangan
di televisi, anak-anak dapat berimajinasi tentang apa yang mereka lihat
seperti istana, pangeran berkuda, bahkan sampai superhero yang
menyelamatkan dunia dengan tenaga supernya, yang tangannya
mengelurkan api dan mempunyai kekuatan ajaib untuk menumpas
musuh. Dengan menonton secara selektif, televisi bisa memberikan
sumbangan besar bagi kesiapan untuk sekolah.
Tidak mengherankan televisi memiliki daya tarik yang luar biasa
apabila sajian program dapat menyesuaikan dengan karakter televisi dan
manusia yang terpengaruh oleh televisi (Wibowo, 1997). Apalagi bagi
anak-anak, televisi sangat mereka gemari. Setiap ada waktu, anak-anak
menghabiskan waktu untuk menonton televisi, apalagi progran acara yang
sangat mereka senangi, mereka akan menyempatkan diri untuk
menontonnya, terkadang sampai menunda jam belajar karena hanya ingin
menonton acara kesukaan dan tokoh idolanya. Daya tarik yang kuat dari
televisi ini dikarenakan televisi merupakan gabungan dari gambar, warna,

82
Mana Acara Televisi untuk Anak?

suara, dan gerak, sehingga mampu menyihir penggunanya. Televisi siap


sedia selama 24 jam, sehingga orang-orang tidak perlu khawatir ketika
mereka belum bisa tidur di tengah malam (King dan Russel, 2009: 327).
Pentingnya Peran Orang Tua
Anak-anak dan televisi adalah perpaduan yang sangat kuat. Anak-
anak senang sekali menonton televisi, bahkan untuk belajar pun ditunda
hanya untuk menonton acara kegemarannya. Tak banyak hal lain dalam
kebudayaan kita yang mampu menandingi kemampuan televisi yang luar
biasa menyentuh anak-anak dan mempengaruhi cara berpikir serta
perilaku mereka. Selama anak-anak menonton televisi pasti ada tokoh
yang mereka idolakan dan itu menjadi salah satu ‘patokan’ dalam
berperilaku seperti gaya bicara dan penampilan. Lebih dari 25 tahun,
hampir tiap orang dalam bisnis televisi komersial masih saja memikirkan
cara mengeruk keuntungan dari anak-anak (Chen, 1996).
Televisi bisa membantu anak-anak mendapatkan pengetahuan atau
wawasan yang luas, karena di sekolah tidak cukup untuk mendapatkan
pengetahuan. Jam belajar di sekolah terbatas. Pengetahuan bisa didapat
dari bimbingan belajar. Namun, anak-anak tidak terlalu tertarik mengikuti
bimbingan belajar. Mereka lebih memilih bermain atau menonton televisi.
Televisi bisa membantu anak-anak memahami hak-hak dan kewajiban,
tetapi televisi tidak akan berhasil melayani anak-anak tanpa keterlibatan
orang tua. Oleh sebab itu peran orang tua sangat penting untuk
mendampingi anak-anak saat menonton. Banyak program televisi yang
ditayangkan untuk anak-anak, tetapi tidak semua program televisi pantas
ditonton dan terdapat pengetahuan yang seharusnya ditujukan pada anak-
anak. Daya tangkap anak-anak begitu cepat dan anak-anak mudah untuk
mengingat apa yang mereka lihat dan mereka akan menirukannya.
Menonton televisi adalah kegiatan khusus. Program-program harus
diseleksi. Setiap kegiatan menonton televisi harus ada akhirnya.
Maksudnya adalah setiap anak-anak setelah menonton televisi, mereka
mendapatkan pengetahuan yang mereka pantas terima dan terdapat pesan
moral (Chen, 1996).
Program Televisi untuk Anak-anak Masa Lalu
Dahulu orang yang memiliki televisi masih jarang. Satu-satunya stasiun
televisi adalah TVRI. TVRI sangat terkenal dan banyak menayangkan acara
yang berbau anak-anak, seperti lagu anak-anak, lagu daerah, kuis untuk
anak-anak. Saat itu sinetron sangat jarang bahkan tidak ada. Dahulu anak-

83
Quo Vadis Televisi?

anak tidak mengerti tentang pergaulan yang sangat luas seperti sekarang.
Tayangannya banyak dikhususkan pada anak-anak agar mereka mendapat
bekal yang cukup dan memiliki pengetahuan luas.
Ada pilihan program yang cukup memadai, yang bisa digunakan orang
tua untuk menunjang kegiatan belajar anak melalui saluran televisi terbuka
maupun televisi kabel. Salah satu hambatan utama orang tua adalah usaha
memperoleh informasi mengenai bahan-bahan apa saja yang tersedia,
kapan bahan-bahan itu tersedia, dan bahan-bahan apa yang terkait dengan
anak, sehingga anak-anak mendapatkan ilmu yang luas, karena televisi
adalah salah satu media yang mendukung anak untuk mendapatkan
pengetahuan yang layak.
Anak merupakan kelompok pemirsa yang paling rawan terhadap
dampak negatif siaran televisi. Pada 2002, jumlah jam menonton TV pada
anak di Indonesia sekitar 30-35 jam/minggu atau 1.560-1.820 jam/tahun.
Angka ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di sekolah dasar yang
tidak sampai 1.000 jam/tahun. Tidak semua acara TV aman untuk anak.
Bahkan, KIDIA mencatat, pada 2004 acara untuk anak yang aman hanya
15 persen. Oleh karena itu harus betul-betul diseleksi. Saat ini jumlah acara
TV untuk anak usia prasekolah dan sekolah dasar perminggu sekitar 80
judul ditayangkan dalam 300 kali penayangan selama 170 jam. Padahal
dalam seminggu ada 24 jam x 7 = 168 jam! Jadi, selain sudah sangat
berlebihan, acara untuk anak juga banyak yang tidak aman.
Acara TV bisa dikelompokkan dalam tiga kategori: aman, hati-hati,
dan tidak aman untuk anak. Acara yang aman adalah acara yang tidak
banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis. Acara ini aman
karena kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami. Anak-
anak boleh menonton tanpa didampingi. Acara yang hati-hati adalah acara
yang isinya mengandung kekerasan, seks dan mistis, namun tidak
berlebihan. Tema cerita dan jalan cerita mungkin agak kurang cocok untuk
anak usia SD sehingga harus didampingi ketika menonton. Acara yang
tidak aman adalah acara yang isinya banyak mengandung adegan
kekerasan, seks, dan mistis yang berlebihan dan terbuka. Daya tarik yang
utama ada pada adegan-adegan tersebut. Sebaiknya anak-anak tidak
menonton acara ini, jika anak mau nenonton televisi setidaknya
didampingi orang tua (www.suaramedia.com, 6/5/2010).
Beberapa acara yang ditayangkan di TVRI dikhususkan pada tayangan
untuk anak-anak, antara lain: Voyage from the Bottom of the Sea (film
monster), Time Tunnel (lorong waktu), Land of the Giant (terdampar di

84
Mana Acara Televisi untuk Anak?

planet raksasa), Little House on the Prairi (Laura Ingals, Mary dan anjing
gondrongnya), Highway to Heaven, Battle Star Galactica (film ruang angkasa
yang popular pada jamannya), Bring ‘Em Back Alive (mirip Indiana Jones),
Rintintin (untuk anak TK/SD) (9), The Iron Horse (Film cowboy tentang
kereta api).
Selain itu, ada program tentang budaya, seperti Taman Bhineka Tunggal
Ika dan program pendidikan seperti Cerdas Cermat (pengetahuan untuk
anak-anak dan ini terkait dengan pelajaran di sekolah) dan Hasta Karya
Elektronika. Jadi ada beberapa program TVRI yang lebih diarahkan untuk
anak-anak, membantu anak-anak untuk mendapatkan apa yang ingin
mereka tahu dan penambah pengetahuan mereka. Jaman dahulu, TVRI
adalah stasiun televisi banyak menyajikan acara untuk anak-anak.
Beberapa acara kebanggaan lainnya yang ditayangkan di TVRI, seperti
Aneka Ria Safari, Film Boneka Si Unyil, Film Cerita Akhir Pekan, Selekta
Pop, dan Ria Jenaka. Acara-acara tersebut merupakan acara kesayangan
yang selalu di tunggu-tunggu jaman TVRI dulu.

Kehebatan Televisi
Televisi adalah media yang paling lengkap bagi kebutuhan masyarakat.
Televisi menyajikan audio, visual, bahkan televisi dapat menjangkau jarak
yang jauh. Media massa, khususnya televisi, telah membawa manusia
memasuki era globalisasi. Tidak ada lagi batasan-batasan atau sekat di
antara manusia di seluruh dunia. Meskipun peran televisi hampir
tergantikan oleh internet, namun pamornya tidak pernah turun.
Kepemilikan televisi semakin luas. Orang-orang golongan rendah pun
sekarang memiliki televisi. Apabila tidak ada televisi, orang merasa ada
yang kurang dalam hidupnya. Televisi seakan sudah menjadi kebutuhan
pokok selain sandang dan papan.
Pengaruh televisi sangat besar diterima oleh anak-anak. Faktor yang
mempengaruhi, salah satunya, adalah pola pikir anak yang sederhana
dan labil. Televisi memberi pengaruh pada emosi atau perasaan seseorang.
Ketika orang menonton televisi, emosi mereka akan terlibat. Pembentukan
kepribadian seseorang akan berjalan secara sistematis dan terpola. Dimulai
dari lingkungan terdekat, hingga akhirnya anak siap untuk belajar di luar
yang lebih luas. Karena itu bimbingan orang terdekat, keluarga, terutama
orang tua adalah faktor penentu pembentukan kepribadian seseorang.
Kenyataannya, pembelajaran yang didapat anak bisa diperoleh dari
televisi. Mereka belajar banyak mengenai dunia di luar rumah mereka

85
Quo Vadis Televisi?

sendiri dan mudah didapatnya tanpa harus keluar rumah. Televisi


menjadi ‘teman bermain’ anak di rumah. Mereka tahan berlama-lama di
depan televisi hanya untuk menonton acara kesukaannya. Melalui cara
itulah, televisi memasuki alam bawah sadar seseorang untuk setia
menontonya. Ini yang harus menjadi perhatian orang tua. Mereka harus
bisa memilah-milah apa tontonan yang tepat untuk perkembangan anak.
Program televisi saat ini memang beragam. Bahkan kita bingung harus
menonton yang mana ketika beberapa acara menarik ditampilkan pada
jam tayang yang sama. Kita akan betah di depan televisi ketika kita merasa
kebutuhan informasi dan hiburan telah terpenuhi. Masalah yang sedang
dihadapi sekarang adalah bagaimana dampak program televisi terhadap
perkembangan anak. Banyak orang tua mulai khawatir terhadap
perkembangan psikologis dan intelektual anak mereka. Pelajaran sekolah
soeralah kalah dengan televisi.
Program acaranya semakin memprihatinkan banyak pihak. Menurut
penelitian Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), persentase
program televisi yang ditujukan untuk anak-anak relatif kecil, hanya
sekitar 2,7-4,5 persen dari seluruh acara yang ada. Angka ini sungguh
memprihatinkan karena kecukupan kebutuhan anak akan acara anak yang
berkualitas sangat kurang (Anshori, 2006). Penelitian itu juga menemukan
jumlah persentase acara anak tersebut memiliki materi acara yang
mengkhawatirkan bagi perkembangan anak. Melihat fakta ini, bagaimana
dengan hak asasi manusia untuk anak untuk bisa mendapatkan
pengetahuan yang layak bagi perkembangan mereka? Jumlah anak
Indonesia sangat besar, namun acara yang ditampilkan sangat sedikit.
Kita tahu seperti apa acara televisi saat ini, mulai dari humor, berita,
dan pengetahuan. Banyak orang mengatakan program televisi semakin
tidak berkualitas. Niat ingin menghibur tidak selamanya memberi
tontonan yang layak. Contohnya acara Opera Van Java. Acara ini memiliki
rating tinggi karena dinilai lucu dan banyak yang terhibur dengan lawakan
yang diberikan. Bahkan acara yang meniru konsep ini pun banyak. Namun
tidak sedikit orang mengecam acara ini terutama karena humor yang
disertai kekerasan. Meski menerima kritik banyak pihak, tidak membuat
konsep acaranya berubah. Pihak pembuat acara hanya menambahkan
tulisan pada tampilan televisi bahwa properti yang digunakan tidak
berbahaya. Muncul pendapat bahwa unsur lucunya berada pada aksi
wayang yang mengalami kekerasan. Ini hanya salah satu contoh program
televisi yang masih harus ditinjau ulang.

86
Mana Acara Televisi untuk Anak?

Faktanya, program televisi baik hiburan, berita, atau program lainnya


dibuat sesuai dengan kebutuhan orang dewasa. Para pengelola kurang
memperhatikan kebutuhan anak. Orang dewasa telah memiliki pikiran
yang matang. Ketika mereka disuguhi hiburan yang mengandung
kekerasan, mereka bisa menerima dengan akal sehat. Namun, pikiran
orang dewasa berbeda dengan anak. Anak melihat orang dewasa tertawa
dan senang melihat adegan kekerasan jenaka itu, maka anak pun akan
ikut berpikir bahwa itu memang sah dilakukan. Ini yang berbahaya.
Karena itu, bimbingan orang tua sangat dibutuhkan untuk menemani anak
ketika mereka menggunakan fasilitas televisi.
Beberapa contoh dampak kekerasan televisi pada anak-anak adalah
kekerasan terhadap teman-temannya menirukan adegan Smack Down yang
diadopsi dari reality show Amerika. Acara kekerasan ini ditayangkan
sebelum masuk jam malam sehingga anak-anak bisa menonton. Bahkan
pakaian bergambar Smack Down laris terjual di pasaran. Memang, tindakan
seperti itu tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada pengaruh televisi.
Anak yang sering melakukan kekerasan biasanya memiliki tingkat emosi
dan agresivitas yang tinggi.
Contoh lainnya, adalah gaya atau penampilan anak-anak hingga remaja
masa kini. Jakarta yang selalu ditampilkan sebagai kota surga Indonesia
berhasil membius anak-anak dari berbagai pelosok mengikuti gaya para
artis. Band musik orang-orang dewasa, seperti Wali Band, Hijau Daun,
Kangen Band menjadi idola baru bagi anak-anak. Padahal isi lirik lagu-
lagu mereka tidak sesuai bagi anak-anak. Hal-hal seperti ini yang harus
menjadi perhatian semua pihak.
Anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan program televisi yang
sesuai usia mereka. Penentu kualitas berpikir anak Indonesia adalah kita,
orang dewasa yang memproduksi program-program televisi. Sesuaikan
kebutuhan mereka dan beri ruang belajar yang besar untuk mereka.
Semuanya membutuhkan informasi dan pengetahuan, namun alangkah
lebih baiknya generasi penerus diberi ruang luas juga untuk
mendapatkannya.

Acara Televisi: Dulu dan Sekarang


Pada masa kejayaan TVRI, tidak sembarang acara dapat tampil di sana.
Pemerintah berwenang memilah program apa yang cocok untuk TV
Indonesia. Alasan inilah yang membuat TVRI memberikan sajian yang
cukup baik, terutama hak anak Indonesia dalam menikmati televisi. Semua

87
Quo Vadis Televisi?

tingkat usia mendapatkan haknya untuk memperoleh informasi dari


televisi. Beberapa acara televisi yang pernah jaya di TVRI antara lain:
Album Minggu Ini, Kethoprak, Flora Fauna, Belajar Menggambar, dan
lain-lain.
Bila dibandingkan dengan program televisi sekarang ini, sangat jauh
perbandingannya. Berbagai acara luar negeri diadopsi dan isinya selalu
berbicara tentang uang. Industri televisi hebat dalam mengeruk
keuntungan dari penonton. Sayangnya masyarakat menikmati kapitalisme
ini. Membuat reality show yang mengharuskan penonton mengeluarkan
uang. Misalnya, agar penyanyi idolanya menang, mereka harus memberi
suara melalui SMS dukungan. Bayangkan saja, apabila satu SMS seharga
Rp. 2000,00, dan jumlah masyarakat Indonesia yang mengikuti kuis itu
mencapai 800.000 jiwa, sudah bisa didapatkan 1,6 milyar rupiah dalam
semalam.
Sekarang ini hampir semua stasiun televisi di Indonesia menampilkan
sinetron, reality show, infotainment, berita kriminalitas, dan iklan. Bahkan
untuk berita kriminalitas, setiap stasiun televisi punya. Stasiun televisi
yang sangat gemar menampilkan sinetron adalah RCTI, SCTV, dan
Indosiar. Sinetronnya pun tergolong sinetron yang tidak mendidik. Bahkan
TPI pun mulai sering menampilkan sinetron dengan efek-efek visual yang
tidak masuk akal. Pembuatan sinetron yang berlandaskan agama tertentu
juga harus hati-hati. Niat awal untuk memberi ajaran yang baik, namun
pengemasannya malah menjadi tidak masuk akal dan tidak dapat diterima
sebagai pendidikan. Bila sudah seperti ini anak-anak yang menjadi korban.
Anak-anak adalah sasaran empuk untuk dicekoki dengan sinetron dan
reality show. Tidak hanya anak-anak, tetapi remaja juga menjadi konsumen
sejati acara-acara seperti ini. Keahlian menampilkan reality show senatural
mungkin yang membuat orang tertegun dan tidak sadar bahwa ceritanya
belum tentu sesuai kisah nyatanya. Bukannya memberi tayangan yang
dapat menjadi informasi pengetahuan, tetapi justru masyarakat Indonesia
dibodohi oleh acara-acara televisi semacam itu.
Salah satu keprihatinan yang dapat dirasakan adalah saat hari
kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2010. Pagi hingga siang, hampir
seluruh stasiun televisi menampilkan prosesi upacara bendera, namun
salah satu stasiun swasta (Indosiar) menayangkan sinetron berjudul Hippo
Si Kuda Air Raksasa, sebuah sinetron dengan efek visual dan jalan cerita
yang tidak masuk akal dan kurang mendidik. Seharusnya anak-anak
diajari dan disuguhi tontonan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme,

88
Mana Acara Televisi untuk Anak?

tetapi justru disuguhi oleh sinetron seperti itu.


Industri iklan pun semakin berkembang. Namun iklan di televisi pun
banyak yang menyesatkan, mengumbar mimpi, membuat orang terpukau,
dan menjadkan ornag konsumtif. Ketika televisi swasta belum
bermunculan, belum ada yang menggunakan iklan di televisi. TVRI pun
tidak menampilkan iklan. Namun sekarang jumlah iklan dalam sekali
jeda bisa mencapai 30 iklan. Contohnya, sinetron Cinta Fitri. Jumlah iklan
yang tayang ketika jeda mencapai 25 hingga 32 iklan. Angka yang cukup
besar, ditambah lagi penayangannya tidak hanya sekali, tetapi berulang
kali.
Sinetron-sinetron menampilkan setting tempat mewah, pemeran yang
cantik dan tampan, pakaian yang bagus, make up yang fotogenik,
menggunakan kendaraan mewah, tempat makan mahal, peran jahat, iri,
penentang, kekerasan, kecurangan, pornografi, dan lain-lain. Bahkan anak-
anak memerankan peran jahat di dalamnya. Tayangan seperti ini yang
bisa menumbuhkan sikap konsumerisme dan agresivitas, terutama pada
anak dan remaja. Iklan-iklan komersil juga menumbuhkan sikap keinginan
yang tinggi dalam diri anak untuk bisa memiliki barang yang diiklankan.
Infotainment yang sekarang sedang dalam pembicaraan pun punya
pengaruh besar. Kehidupan selebritis dibongkar sehingga seluruh
Indonesia tahu. Hingga cerita perselingkuhan selebriti, seperti Krisdayanti
dan Raul Lemos yang kemarin mendapat protes keras dari masyarakat
Indonesia karena adegan tak pantas mereka di depan kamera. Berita
seperti ini tidak tepat apabila anak-anak menonton. Menggambarkan
bagaimana kelakuan orang tuanya yang berselingkuh, bisa membentuk
kepribadian anak menjadi takut ataupun was-was dengan orang tua
mereka sendiri.
Reality show semakin hari semakin kaya dengan mengeruk uang
pemirsa yang mengikuti kuisnya, hingga kuis judi seperti Super Deal 2
Milyar yang menampilkan penghamburan uang untuk orang-orang yang
sudah mampu, sedangkan rakyat miskin hanya bisa melongo dan terpukau
dengan uang-uang itu. Pada akhirnya mereka melakukan berbagai cara
untuk mendapatkan uang banyak dengan mudah.
Bagaimana dengan anak-anak yang masih labil dan memiliki
kecenderungan meniru? Anak-anak menganggap apa yang dilakukan
orang dewasa adalah tindakan yang benar. Akibatnya mereka akan
mengikuti tindakan, sikap, hingga bahasa yang digunakan. Sinetron yang
sering mengeluarkan kata hinaan kasar bisa memicu anak ikut

89
Quo Vadis Televisi?

mengucapkannya dalam pergaulan sehari-hari. Kalau sudah seperti ini


yang repot lagi adalah orang tua. Mereka harus gencar menghentikan
pengaruh-pengaruh seperti ini.
Perkembangan dunia pertelevisian memungkinkan acara-acara luar
negeri diadopsi di televisi nasional. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
harus ekstra ketat menyeleksi dan mengontrol tayangan televisi Indonesia.
Sebenarnya televisi mampu menjangkau audiens tertentu. Televisi
mengandung variasi komposisi bagi audiennya, mulai dari isi program,
waktu siaran, dan cakupan geografis siarannya (Morissan, 2007:187).
Maka, seharusnya televisi dapat memenuhi semua golongan audiennya,
tidak menguasai beberapa golongan saja.
Perkembangan anak, terutama pada usia sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama, masih harus dibimbing. Mereka tergantung pada apa
yang ada di sekitar mereka. Jangan jadikan televisi menjadi musuh besar
tetapi jadikan televisi sebagai teman yang positif. Namun tidak seluruhnya
acara televisi nasional Indonesia merugikan. Masih ada orang yang peduli
pada tontonan yang layak dan berkualitas. Misalnya Trans7 menayangkan
acara untuk anak-anak seperti Si Bolang, Koki Cilik, Laptop si Unyil, Ayo
Menyanyi, atau acara pengetahuan yang dapat dikonsumsi oleh semua
usia adalah Asal Usul.
Di TVRI dulu ada acara belajar menggambar yang dibawakan oleh
Pak Tino Sidin. Anak-anak diberi kesempatan mengirimkan hasil gambar
mereka. Ada pula acara Home Stay yang isinya pengetahuan kata-kata
bahasa Inggris untuk anak-anak dengan ditampilkan anak bule sebagai
pengisi acaranya. Tayangan-tayangan seperti ini sebenarnya dapat menjadi
konsumsi semua umur. Orang dewasa pun banyak yang menyukai acara-
acara seperti ini. Sebenarnya acara anak-anak pun bisa dikonsumsi orang
dewasa. Namun acara orang dewasa belum tentu layak dikonsumsi untuk
anak-anak. Keadaan ini seharusnya menyadarkan orang dewasa yang
memproduksi program acara televisi untuk memikirkan juga kebutuhan
anak Indonesia akan pengetahuan, informasi, dan hiburan yang tepat usia.
Ini salah satu harapan besar semua pemerhati anak.
Program Televisi Anak: Sebuah Harapan
Perkembangan komunikasi di zaman modern ini seharusnya lebih teliti
dan cermat. Tidak ada batas dan sekat bukan berarti semua tayangan layak
ditampilkan. Kebebasan berkreasi tidak dibatasi, namun tetap harus sesuai
norma dan aturan yang berlaku. Semakin modern maka tantangan dunia

90
Mana Acara Televisi untuk Anak?

semakin berat. Terutama tantangan orang tua zaman sekarang untuk


lebih berhati-hati mendidik anak. Mendidik tidak hanya diceramahi
setiap hari, tetapi bisa melalui media-media pendukung seperti televisi,
radio, ataupun koran. Namun, tetap ada batasan apa yang boleh dan
tidak boleh dikonsumsi oleh anak-anak mereka.
Televisi anak bisa diartikan sebagai usaha untuk kembali memberikan
ruang kepada anak-anak Indonesia untuk bisa mendapatkan apa yang
dibutuhkan oleh mereka melalui media massa seperti televisi. Mereka
berhak mendapatkan dukungan dari pihak yang lebih dewasa untuk
membantu perkembangan pola pikir dan perilaku mereka. Pertelevisian
yang modern, namun memberi keuntungan bagi semua pihak rasanya
akan lebih berguna dan bermakna. Pembimbingan paling besar sekarang
ini adalah pembimbingan bagi anak. Kalau tidak dibimbing sejak dini,
akibat lanjutannya adalah saat mereka dewasa. Pengajaran untuk mereka
tidak hanya didapat dari sekolah dan lingkungan hidup, namun apa yang
mereka lihat, baca, dan dengar menjadi pelajaran juga.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh pemerhati pertelevisian,
ditemukan adanya peningkatan jumlah anak yang menonton televisi. Rata-
rata anak yang menonton program televisi pada usia sekolah dasar
mencapai 4-5 jam perhari pada hari biasa. Sedangkan untuk hari minggu
atau hari libur mencapai 7-8 jam perhari. Bila dihitung keseluruhan anak
menghabiskan waktu menonton televisi sekitar 30-35 jam perminggu atau
120-140 jam perbulan. Begitu baik apabila angka-angka itu digunakan
untuk menonton program televisi yang sesuai dengan usia mereka.
Namun, sayangnya acara anak di televisi tidak mencapai jam tayang
seperti di atas. Apabila acara anak hanya 1 jam dari jumlah waktu anak
menonton, maka 3-4 jam lainnya digunakan untuk menonton acara lain
(acara dewasa, berita kriminalitas, infotainment, reality show, dan lain-lain.
Kepedulian untuk memberikan tayangan sehat dan mendidik pada
anak menjadi harapan semua orang tua dan pemerhati anak. Paling tidak
mereka mendapatkan pengetahuan yang tidak mereka dapatkan di
sekolah melalui media yang mereka konsumsi setiap hari karena belajar
bisa didapat di mana saja selain di sekolah. Banyak yang dapat dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan informasi pada anak, salah satunya membuat
program acara televisi yang berorientasi anak-anak. Berisi pengetahuan
yang berguna untuk anak, namun juga dapat dinikmati oleh siapa pun.
Jumlah anak-anak di Indonesia tidak kalah banyak dibandingkan orang
dewasa. Seharusnya para pengusaha industri televisi dan pembuat acara

91
Quo Vadis Televisi?

tidak perlu khawatir kehilangan pamor dan rating tinggi. Apabila


acaranya bisa berguna bagi semua orang terutama anak-anak, maka
mereka tidak akan kehilangan penonton.
Pemenuhan dan pemberian hak mendapatkan informasi untuk anak
ini bisa dilakukan dengan memberi jam tayang yang lebih banyak dan
panjang untuk acara anak. Yang selama ini memiliki durasi hanya setengah
jam, dapat ditambahkan menjadi satu jam. Alternatif lain adalah mengajak
semua pemilik stasiun televisi dan perusahaan yang memproduksi acara
televisi untuk mulai memproduksi acara anak. Semakin banyak acara
anak, maka pilihan anak akan tontonan yang cocok untuk mereka juga
semakin banyak. Selama ini banyak anak yang menonton acara dewasa
yang tidak sesuai umur karena mereka tidak memiliki pilihan tontonan.
Biarkan acara seperti Laptop Si Unyil, Si Bolang, Ayo Menyanyi, Asal
Usul, dan lain-lain bisa tetap bertahan. Belajar Indonesia yang ditayangkan
di TransTV seharusnya menyadarkan kita sebagai warga negara Indonesia
untuk lebih peka dan bersedia belajar dan mengenal kebudayaan dalam
negeri sendiri yang begitu banyak. Kalau orang luar negeri saja mau dan
bangga belajar Indonesia, seharusnya orang Indonesia lebih antusias dari
mereka. Acara ini memberi pengetahuan kepada penonton mengenai
kesenian dan kebiasaan adat istiadat suatu daerah di Indonesia.
Program kartun memang bagus untuk mengembangkan kemampuan
imajinasi anak. Namun, kartun pun memiliki tingkatan sasarannya. Ada
beberapa kartun dewasa seperti Crayon Sinchan dan Spongebob Square Pants,
sayangnya kedua kartun ini sangat digemari oleh anak-anak. Asalkan ada
pembimbingan dari orang tua, maka kedua acara ini dapat diterima
sebagai hiburan. Contoh kartun mendidik adalah Upin dan Ipin, Dora the
Explorer, Go Diego Go, Barnie, dan lain-lain cocok untuk ditayangkan di
televisi. Namun, penghargaan besar akan diberikan dari anak-anak
Indonesia apabila Indonesia sendiri dapat membuat film kartun mendidik
bagi mereka.
Stasiun televisi khusus anak sudah mulai dibuat oleh salah satu stasiun
lokal Banten, yaitu Spacetoon. Stasiun televisi ini berisi semua acara anak,
mulai dari kartun, lagu-lagu anak, pengetahuan-pengetahuan umum,
kompetisi-kompetisi bakat, seperti lomba menyanyi, menggambar, dan
pelajaran. Lagu anak-anak yang semakin terkikis perlu dihidupkan
kembali. Penyanyi cilik seperti Umay dan Amel sudah mulai mengepakkan
sayap mereka di dunia musik anak. Kita juga jangan lupa dengan para
anak bangsa yang telah berkompetisi di ajang Idola Cilik yang telah

92
Mana Acara Televisi untuk Anak?

diadakan hingga empat musim. Mereka yang telah berhasil menjadi


penyanyi cilik Indonesia harus tetap dikembangkan agar dapat membantu
mengangkat popularitas lagu anak kembali. Diharapkan anak lebih senang
dengan lagu anak, yang dulu pernah populer oleh penyanyi anak yang
sekarang telah dewasa, seperti Bondan Prakoso, Eno Lerian, Agnes
Monica, dan lain-lain.
Acara kuis yang berkonsep kompetisi pelajaran sekolah juga baik
dilakukan. Dengan melihat teman-teman yang berprestasi, maka anak-
anak yang menonton pun akan termotivasi untuk memiliki kemampuan
yang sama dengan teman-teman yang berkompetisi di televisi. Juga, acara
yang di dalamnya mengajarkan mata pelajaran, seperti acara BINAR
(Bahasa Indonesia yang Benar) yang pernah ditayangkan oleh TVRI dan
dibawakan oleh Susan Bachtiar. Di sana diajarkan ejaan yang disempurkan
yang menjadi dasar memahami Bahasa Indonesia dengan baik dan benar
dalam menulis maupun berbicara. Atau acara yang memberi pengajaran
matematika. Acara ini membantu anak-anak sekolah yang kurang paham
dengan matematika. Namun bukan berarti sekolah berpindah ke televisi.
Acara-acara seperti itu membantu anak-anak untuk sadar bahwa mereka
perlu belajar dengan baik. Acara seperti ini dapat membantu kesulitan
anak-anak dengan tampilan yang lebih menarik. Mereka juga bisa
berbincang langsung dengan pengajar dalam acara tersebut untuk
bertanya kesulitan yang anak-anak hadapi. Kuis dapat dibuat secara
bertingkat, mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA. Isi kuisnya adalah pelajaran-
pelajaran yang telah mereka terima agar mereka dapat mengingat kembali
yang telah dipelajari. Bahkan mereka bisa mendapatkan pengetahuan lain
yang belum didapat.
Sinetron dapat dibuat dengan konsep yang berbeda, lebih umum atau
tidak memihak pada satu ajaran agama, mematuhi norma dan aturan yang
ada, dan memiliki nilai moral yang mendidik. Sehingga kebaikan dapat
diterima oleh anak, bukan kebohongan dan sajian kemewahan yang
membuat mereka materialistis. Sinetron yang menceritakan perjuangan
seorang anak untuk mencapai sesuatu, tentunya dengan cara yang benar
dan halal, bisa diproduksi. TVRI pernah menayangkan sinetron Aku Cinta
Indonesia, Jendela Rumah Kita, sinetron untuk anak yaitu Cerita untuk Anak,
serta sinetron Sangaji tentang seorang anak cerdas berkacamata mirip
tokoh Harry Potter.
Sebenarnya masih banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat
televisi anak yang mendidik sekaligus menghibur. Perkembangan anak-

93
Quo Vadis Televisi?

anak Indonesia harus menjadi yang utama juga. Apabila anak-anak


Indonesia berkualitas, maka Indonesia pun akan berkualitas seperti putra-
putri bangsanya. Sebutan Televisi Anak berarti berikan hak anak untuk
memperoleh tontonan yang baik dan berguna bagi anak.

Daftar Pustaka
Anshori, Bahron (13/12/2006). Pengaruh Buruk TV Terhadap Anak
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&jd=Pengaruh-Buruk-TV-
Terhadap-Anak&dn=20061124211425, tanggal akses 30 Agustus, 10.15.
Berita SuaraMedia, (06/05/2010). Hati-Hati, Sering Nonton TV Bikin Anak Semakin
Bodoh, http://www.suaramedia.com/gaya-hidup/anak/21488-hati-hati-sering-
nonton-tv-bikin-anak-semakin-bodoh.html, tanggal akses 27 Agustus, 13.30.
Chen, Milton. 1996. Anak-anak dan Televisi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
King, Whitehill dan J. Thomas Russell. 2009. Prosedur Periklanan. Kleppner’s Edition
ke-17. Jilid 1. Indeks: Jakarta.
Morissan. 2007. Periklanan dan Komunikasi Pemasaran Terpadu.
Morissan. 2007. Periklanan dan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Ramdina Prakarsa:
Tangerang.
Wibowo, Fred. 1997. Dasar-dasar Produksi Program Televisi. PT Gramedia
Widiasarana Indonesia: Jakarta

94
Pluralisme Media
dan Sistem Stasiun Jaringan
Yohanes Widodo
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Perubahan yang cepat dan perkembangan sosial politik di Indonesia


berdampak pada perubahan landscape dan dinamika media di Indonesia.
Pada masa Orde Baru (sebelum 1998), media didominasi oleh negara/
pemerintah. Pada masa itu terjadi sejumlah pembredelan media lewat
pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pers dibayangi
tangan penguasa dan Undang-Undang, pengusaha, masyarakat, dan
penegak hukum yang sewaktu-waktu bisa memberhentikan pers dan
memenjarakan pekerja jurnalistik (Astraatmaja, 2009).
Di bidang penyiaran, negara lewat TVRI dan RRI mendominasi
informasi dengan menyiarkan program-program yang isinya lebih bersifat
propagandis. Media penyiaran menjadi instrumen pemerintahan yang
otoriter. Demi mengamankan kepentingan Presiden Soeharto, lima stasiun
televisi swasta pertama yang muncul di zaman Soeharto, dimiliki oleh
orang-orang di lingkungan Cendana, seperti Bambang Triatmodjo, Siti
Hardijanti Rukmana, Sudwikatmono, Sudono Salim, dan Peter Gontha
(Widiyanto, 2006).
Reformasi 1998 diharapkan memberi arah baru bagi demokratisasi dan
desentralisasi media di Indonesia. Pada era ini lahir Undang-Undang Pers
Nomor 40 Tahun 1999 dan Undang Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun
2002. Keduanya punya kontribusi penting bagi pemajuan proses
demokratisasi di Indonesia.
Pasca reformasi 1998, terjadi perpindahan dominasi negara dan
pemerintah ke dalam sentralisasi dan dominasi sektor swasta dengan
dominasi segelintir pemilik modal (Siregar, 2008). Fenomena perpindahan
dari suatu sistem otoriter represif oleh negara ke dalam suatu sistem
otoritarianisme dan monopoli baru oleh kelompok swasta ini sama
berbahayanya dengan dominasi negara (Siregar, 2008).
Sentralisasi dan dominasi media-media Jakarta sangat tampak pada
media penyiaran yang melakukan siaran nasional. Implikasi dari
sentralisasi itu antara lain: Pertama, Jakarta mendikte isi siaran sesuai

95
Quo Vadis Televisi?

dengan selera Jakarta sehingga rujukan nilai isi siaran televisi adalah
standard budaya Jakarta. Kedua, masyarakat daerah tidak dapat
memanfaatkan televisi sebagai sarana informasi mengenai daerahnya
sendiri. Ketiga, keuntungan ekonomi yang diperoleh dari kegiatan
pertelevisian hanya bisa dinikmati oleh Jakarta dan bisnis pertelevisian
tidak menumbuhkan industri pendukung maupun lapangan pekerjaan
di daerah luar Jakarta. Keadaan inilah yang hendak dirombak oleh Undang
Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 (Armando, 2007).
Mengapa bisnis media, terutama televisi, begitu menggiurkan pemilik
modal? Menurut Ishadi S.K, selain motif ekonomi, bisnis televisi juga
memberikan keuntungan politis. “Tak ada bisnis lain yang memiliki
kekuatan seperti media TV, yang mempunyai pengaruh ekonomi sekaligus
politik. Diakui atau tidak, media TV ibarat pisau bermata ganda. Ia bisa
dimanfaatkan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat,
tetapi juga bisa digunakan untuk memoles atau merusak citra seseorang.
Media TV sangat efektif untuk mempengaruhi opini masyarakat.” (Harto
et.al; 2006)
Meski persaingannya ketat—bahkan pengusaha sekaliber Jakob
Oetama yang terkenal visioner dan profesional di industri media akhirnya
harus merelakan mayoritas sahamnya di TV7 jatuh ke tangan TransTV—
namun kue yang dijanjikan bisnis televisi sungguh mengundang selera.
Nielsen Media Research mencatat, dari total belanja iklan di Indonesia
yang mencapai Rp 23 triliun, televisi melahap sekitar Rp 16 triliun, atau
sekitar 70 persennya, dan sisanya yang 30 persen dibagi ke media lain.
Diversity of Ownership
Isu penting berkaitan dengan pluralitas kepemilikan (diversity of
ownership) adalah merger antarkorporasi media. Di satu sisi, merger
dipandang sebagai langkah ekonomi dengan pertimbangan-pertimbangan
efisiensi dari pemilik modal. Di sisi lain, merger bisa dilihat sebagai
langkah politik, terutama karena keterlibatan tokoh-tokoh politis dan
sistem industri media dalam pengambilan keputusannya.
Konglomerasi, akuisisi, dan merger antarkorporasi media membawa
sejumlah dampak. Pertama, semakin sedikit jumlah industri media yang
menjadi aktor dalam industri ini karena makin terkonsentrasi di tangan
sekelompok pengusaha. Kedua, banyak dari konglomerat ini yang
memiliki, mengontrol atau mempunyai kepentingan substansial dalam
perusahaan media dan non media. Ini acapkali rentan menimbulkan

96
Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

konflik kepentingan: kepentingan jurnalistik dan kepentingan pemilik


perusahaan. Ketiga, terjadinya homogenisasi karena pemilik hanya satu
maka semua media memiliki konten yang serupa (Bagdikian 2000).
Keempat, turunnya kualitas jurnalistik: berita, current affairs dan jurnalisme
investigasi berubah ke arah hiburan, populisme dan infotainment yang
biayanya kecil namun mendatangkan keuntungan besar. Kelima, terjadinya
monopoli arus informasi yang disetir oleh segelintir orang atau pemilik
modal untuk kepentingan ekonomomi maupun politik. Lebih berbahaya
lagi bila segelintir orang tersebut juga menjadi elit politik di lingkaran
kekuasaan yang bisa mendikte arus informasi seperti apa yang akan
dikehendakinya, untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.
Pluralitas pemilikan media bertujuan untuk mengurangi bias
kepentingan pemilik media. Semakin plural kepemilikan media, maka
akan mendorong semakin beragam pula isi media. Karena itu perlu
terjamin adanya pluralitas kepemilikan dan menjaga pluralitas dari
kemungkinan konsentrasi, yakni terjadinya monopoli horisontal atau
kepemilikan di satu tangan terhadap berbagai media sejenis) ataupun
monopoli vertikal atau kepemilikan media dari hulu hingga hilir, misalnya
menguasai pabrik kertas, media cetak, hingga perusahaan distributornya
(Faisal, 2009). Keberagaman media dalam konteks kepemilikan, konten
dan agenda punya arti penting untuk membangun media-sphere yang
dinamis, sehat dan mencerminkan kompleksitas persoalan yang
berkembang di tengah masyarakat (Farid, 2010).
Diversity of Content
Ada beberapa hal yang menjadi persoalan dalam jurnalistik secara
umum, terkait dengan monopoli kepemilikan dan pengaruhnya terhadap
isi media. Pertama, pada tingkat tertentu mainstream media ini tidak bisa
memenuhi kebutuhan masyarakat karena keterbatasan space, kepentingan
industri, dan bisnis. “Dalam menjalankan tugasnya, wartawan harus
tunduk pada agenda perusahaan. Seorang wartawan tidak sepenuhnya
leluasa mengangkat perspektif yang ingin ditekankannya karena ia harus
tunduk pada aturan perusahaan dan harus berkompromi pada
kepentingan bisnis media.” (Farid, 2006)
Kedua, banyak persoalan masyarakat, persoalan publik, tidak
terakomodasi dengan baik di media karena media telah mengalami
kondisi krisis. “Ruang-ruang redaksi kian sulit menghindarkan rutin itu:
mencoba tidak bias, obyektif, imparsial, terus-menerus, dari hari ke hari,

97
Quo Vadis Televisi?

ketika publik telah mempunyai akses masing-masing yang ternyata amat


mudah dan murah ke sebuah peristiwa yang sama. Pada persilangan ini,
orang dengan gampang kecewa, misalnya, setelah dengan mudah dan,
sekali lagi amat murah, dapat mendeteksi ketidakakuratan media massa.
Keserbacepatan dan keserbamudahan informasi telah melahirkan
tantangan luar biasa pada elitisme media mainstream.” (Farid, 2006)
Ketiga, kecenderungan media Indonesia untuk mempromosikan
kapitalisme dan globalisasi dengan mencuci otak pikiran publik. Ada
dua tantangan besar bagi pluralisme media di Indonesia dalam hal ini.
“Pertama, arus globalized news terlalu besar untuk dilawan. Kedua,
pengelolaan media yang sudah tidak bisa lagi dibedakan dengan
pengelolaan jenis bisnis lainnya. Hal ini membuat elemen idealisme dan
perhatian terhadap berita yang benar-benar diinginkan audiens tidak
mendapat tempat. Berita hari ini diproduksi dengan komando: Inilah
informasi yang menurut kami (sebagai pemilik modal) dianggap penting
bagi audiens.” (Farid, 2010)
Keempat, masyarakat cenderung merasa bosan dengan mainstream
media karena adanya self censorship dan tingginya ketergantungan media
terhadap iklan. “Media mainstream mendidik wartawannya dengan
serangkaian nilai ideal, sederet etika dan batasan norma dalam
menjalankan tugas jurnalistiknya. Sayangnya, dalam prakteknya,
wartawan seringkali lebih banyak gagal memenuhi segenap harapan ideal
ini. Penyebabnya antara lain, kuatnya pengaruh bisnis dalam industri
pers sehingga terdapat kepentingan bisnis atau kelompok tertentu yang
tidak dapat diganggu gugat atau diberitakan oleh media bersangkutan.
Selain itu, semakin tingginya tingkat ketergantungan perusahaan media
terhadap pemasukan iklan membuat kategori nilai berita juga lebih
ditentukan pada “sejauh mana berita tertentu memancing pendapatan
iklan”. Sebagai akibatnya, pendekatan sensasional pada liputan lebih
diutamakan demi memancing banyaknya pembaca.” (Farid, 2006).
Dengan kondisi pemilikan yang makin mengerucut, konsekuensi logis
dari pengerucutan ini adalah efisiensi di ruang redaksi. Ini merupakan
tren global yang membuat berita semakin seragam. “Yang paling parah
kena dampak berita seragam adalah audiens di daerah. Meski punya
media lokal, sebagian isi media itu baik cetak dan elektronika diasup dari
sentra produksi di Jakarta. Media cetak masih agak mending, tapi tetap
memprihatinkan, karena berita lokal juga telah mengalami pergeseran
mendasar. Ramuannya, mengutip Dan Gillmor, “when it bleeds, it leads”:

98
Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

kalau berita itu heboh, akan jadi headlines. Heboh di sini tak jauh dari
berita kriminal dan provokatif, bukan berita investigatif.” (Farid, 2010)
Dengan kondisi demikian, maka dampak yang kelihatan adalah
keseragaman dalam hal content. Dengan pertimbangan komersial, maka
media, khususnya televisi menayangkan atau menyajikan content yang
seragam. Ada semacam kelatahan dari pengelola acara-acara televisi untuk
melihat keberhasilan suatu acara, kemudian diikuti dan ditiru. Saat
tayangan kriminal naik daun, hampir semua televisi berlomba ‘berdarah-
darah’. Ketika tayangan bernuansa seksualitas mendapat rating bagus,
seluruh televisi ramai-ramai menayangkan acara bernuansa seksualitas.
Ketika tren bergeser ke tayangan reality show dan religi, hampir semua
televisi jualan reality show dan tayangan religi. Jadi apa yang ditawarkan
adalah apa yang menonjol dan up to date.
Keberhasilan suatu acara akan memberi keuntungan besar kepada
pengelola acara televisi. Keseragaman ini adalah bentuk konformitas,
yakni kesamaan dalam mengunggulkan acara-acara yang diperkirakan
dapat meningkatkan minat masyarakat untuk menonton acara tersebut.
Hal ini sesuai dengan ide kapitalisme (Buwana, 2009). Efek dari
keseragaman tayangan dan isi media adalah pembodohan dan membuat
masyarakat tidak berkembang.
Media dan Kepentingan
Dari sisi hukum, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Semangat dari sistem stasiun berjaringan
ini adalah negara ingin mewujudkan dan menjamin pluralime media.
Undang-Undang ini antara lain mengatur tentang kehadiran televise lokal
yang bertujuan menjamin perkembangan media di daerah dan memberi
ruang tumbuh bagi pluralisme media (Farid, 2010). Namun dalam
praktiknya, raja-raja media bisa dengan mudah memanfaatkan jaringan
medianya untuk kepentingan komersial dan pribadi mereka (Dhyatmika
and Herawatmo, 2006).
Gejala konglomerasi media perlu diwaspadai karena suksesnya
persilangan antara kepentingan kekuasaan (kehendak untuk berkuasa dan
mengontrol) kepentingan akumulasi modal serta pengejaran profit. Para
pemilik modal menggunakan stasiun televisi—yang memperguna-kan
publik domain—untuk kepentingan bisnis, politik, dan kekuasaan.
Ada beberapa contoh yang bisa diangkat. Pertama, televisi sering
menjadi kepanjangan tangan pengusaha-pemiliknya dalam mempromosi-

99
Quo Vadis Televisi?

kan produk-produk yang kebetulan berada dalam genggamannya.


Misalnya, di Trans TV, iklan Bank Mega muncul secara rutin. Iklan Esia
kerap hadir di ANTV. RCTI-TPI-Global TV intens menayangkan iklan
Radio Trijaya Network, majalah Trust, tabloid Genie, dan koran Seputar
Indonesia. Indosiar punya program rutin malam mingguan Gebyar BCA
merujuk pada bank milik Salim.
Kedua, persaingan Surya Paloh dan Aburizal Bakrie dalam
memperebutkan posisi Ketua Umum Partai Golkar. Surya Paloh (Media
Indonesia dan Metro TV) bersaing dengan Aburizal Bakrie (ANTV dan
TVOne). Tegangan di antara dua tokoh terus berlanjut. Bahkan Abrurizal
Bakrie menolak menjawab pertanyaan wartawan Metro TV yang bertanya
soal sengketa pajak yang melibatkan PT Kaltim Prima Coal (KPC). Ketika
wartawan lain menanyakan, apakah kasus KPC ini sengaja digulirkan?
“Tanya saja pihak-pihak yang merasa kalah dan mencari kesalahan orang
lain. Kamu merasa kalah, nggak?” ujarnya seraya menunjuk ke wartawan
Metro TV (Harahap, 2010). Berikut alasan Ical tidak mau menjawab
pertanyaan wartawan Metro TV: “Kalau orang cari makan wartawan ‘kan
dari berita. Beritanya dipakai untuk ‘makan’ saya. Nah, saya nggak mau
ngasih makan karena itu,” jawab Ical (Yunanto, 2010). Kentalnya
kepentingan bisnis dan pengaruh kelompok pemilik media, menjadikan
fungsi kontrol media terhadap penyelenggaraan kekuasaan, menjadi tidak
efektif. Misalnya, Media Indonesia dan Metro TV milik Ketua Dewan
Pembina Partai Golkar, Surya Paloh, mustahil dijadikan rujukan untuk
mencari berita-berita yang mengkritisi partai pimpinan Wakil Presiden
Jusuf Kalla itu (Farid, 2010).
Ketiga, kasus Negotiable Certificate of Deposit (NCD) ‘bodong’ senilai US$
28 juta dari Unibank ke PT Citra Marga Nusaphala Persada yang menimpa
Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo (Harry Tanoe). Di sini, manajemen
RCTI menyiapkan program khusus untuk menghadang ‘propaganda
hitam’ atas bos mereka. Program berkedok acara bincang-bincang itu
didesain membela Harry Tanoe. Pembicaranya yang dipilih semuanya
memihak kepada Harry Tanoe (Dhyatmika and Herawatmo, 2006; Siregar,
2008; Windyaningrum et.al, 2007).
Keempat, kasus ANTV dan TVOne milik kelompok Bakrie. Ketika
meliput Lumpur Sidoarjo, televisi ini menggunakan framing sesuai
kepentingan pemilik modal dengan penggunaan istilah “Lumpur Porong”
atau “Lumpur Sidoarjo” sebagai pengganti “Lumpur Lapindo” (Yayat R.
Cipasang, Indopos, 05/06/ 2008). Dari sini tampak bahwa monopoli dalam

100
Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

industry penyiaran tidak bisa dilihat hanya secara kuantitatif, tetapi juga
kualitatif (monopoli laten atau ideologis). Dalam hal ini, pemilik tidak
hanya memiliki kepentingan ekonomi tetapi juga ideologi, yang ujungnya
adalah juga kepentingan ekonomi.
Beberapa kalangan, terutama dari media mainstream, tidak terlalu
merisaukan tentang isu kepemilikan. Misalnya, Pepih Nugraha (2010)
mengatakan, kepemilikan silang sangat penting, karena kepemilikan
silang dimungkinkan terjadinya konvergensi media maupun konten.
Sehingga hampir semua konglomerasi media berkeinginan memiliki jenis
media yang beragam. Pepih juga tidak mengkhawatirkan dengan
kepemilikan (monopoli) media selama media tersebut tetap menjaga
independensinya.
Hal ini senada dengan mantan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI), Bimo Nugroho, yang mengatakan bahwa kepemilikan satu
pengusaha terhadap berbagai media tidak menjadi masalah selama tidak
ada kontrol informasi dan penggalangan opini publik. Menurut Bimo
Nugroho, kalau demi membela kepentingan politik atau ekonomi, lalu
pengusaha menggunakan media miliknya, itu baru masalah besar
(Windyaningrum, et al., 2007).
Dalam kaitan ini, penulis berpendapat bahwa pembatasan perlu
dilakukan demi terjaminnya landasan dasar bagi pluralisme media.
Mengutip Ignatius Haryanto (2004): “Tanpa pluralitas suara dan pendapat,
media tak bisa menunaikan tugasnya dalam kehidupan demokrasi.
Pembatasan di sini dilakukan, berangkat dari suatu keprihatinan bahwa
keterpusatan industri media kepada segelintir pemilik saja akan
mengakibatkan kondisi yang tidak sehat dan tidak demokratis, karena
cenderung mengabaikan pluralitas pendapat yang ada. Pembatasan ini
sendiri adalah demi sehatnya industri media itu sendiri, wibawa
pemerintah, dan sehatnya masyarakat.”

Sistem Stasiun Jaringan


Pemberlakukan sistem siaran nasional menjadi sistem siaran lokal
berjaringan merupakan salah satu amanat dari Undang-Undang No. 32/
2002 tentang Penyiaran. Semangat dari sistem stasiun berjaringan ini
adalah negara ingin mewujudkan dan menjamin pluralime media sebagai
salah satu kondisi mendasar bagi pembentukan public sphere dalam
masyarakat demokratis (Klimkiewicz, 2005).

101
Quo Vadis Televisi?

Konsep stasiun berjaringan adalah satu upaya menghindari terjadinya


pemusatan kepemilikan atau monopoli media. Konsep ini penting bagi
demokratisasi penyiaran karena keterpusatan industri media kepada
segelintir pemilik saja akan cenderung mengabaikan pluralitas pendapat
dan gagasan. Diversity of ownership menjadi penting karena kepemilikan
media akan mempengaruhi isi media, dan isi media selalu merefleksikan
kepentingan mereka yang membiayainya (McQuail, 2000). Pluralitas
pemilikan media bertujuan untuk mengurangi bias kepentingan pemilik
media. Semakin plural kepemilikan media, maka akan mendorong
semakin beragam pula isi media.
Ada dua ketentuan penting dari Undang Undang Penyiaran tentang
Sistem Stasiun Jaringan. Pertama, televisi nasional tidak dapat lagi
menyelenggarakan siarannya secara nasional yang menjangkau seluruh
wilayah negara namun tetap dapat melakukan siaran melalui sistem
stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas (pasal 20 jo 31 ayat
3). Kedua, dalam sistem stasiun jaringan, televisi nasional dapat bertindak
sebagai induk stasiun jaringan dan televisi lokal bertindak sebagai anggota
stasiun jaringan dimana induk bertindak sebagai koordinator yang
siarannya direlai oleh anggota (pasal 34 ayat 1). Televisi nasional yang
sudah mempunyai stasiun relai di ibukota provinsi wajib melepaskan
kepemilikan atas stasiun relainya paling lambat 28 Desember 2009.
Pemberlakuan sistem stasiun jaringan ini di atas kertas memang sangat
ideal, namun di lapangan kita dihinggapi sejumlah pesimisme. Pertama,
televisi nasional enggan untuk berubah. Meski telah disahkan sejak 2002,
namun pelaksanaan ketentuan ini terus ditunda. Keterlambatan ini
memperlihatkan keengganan berubah dari pemikiran yang bersifat
sentralistis ke arah yang desentralistis (Siregar, 2008). Waktu tujuh tahun
lebih tampaknya belum cukup bagi 10 televisi Jakarta yang terlanjur
‘nyaman’ menjadi televisi ‘nasional’.
Ketidaksiapan itu terekam saat acara Evaluasi Dengar Pendapat (EDP)
pengajuan ijin operasional televisi berjaringan yang diselenggarakan oleh
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Yogyakarta, Januari 2010.
Penulis menemukan bahwa perubahan yang diharapkan pasca
pemberlakukan Sistem Siaran Jaringan di Yogyakarta—terwujudnya
keragaman kepemilikan dan keragaman isi—tampaknya masih jauh.
Evaluasi Dengar Pendapat seolah sekedar formalitas. Proposal yang
diajukan terkesan ala kadarnya. Kalau boleh membandingkan, kualitasnya
tak lebih baik dari proposal mahasiswa.

102
Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

Kedua, dari segi keragaman kepemilikan juga tidak ada perubahan


signifikan. Hampir semua televisi ‘nasional’ Jakarta yang mengajukan ijin
membentuk Perseroan Terbatas (PT) baru, dan orang yang dipasang adalah
orang Jakarta. Kalau pun ada orang Yogyakarta, ia merupakan bagian
dari manajemen televisi Jakarta. Televisi Jakarta belum mau menggandeng
televisi lokal. Sehingga, harapan bahwa kehadiran televisi jaringan bisa
menampung sumber daya manusia lokal, menggairahkan iklim bisnis di
daerah dan tumbuhnya industri kreatif di daerah, belum terlihat gambaran
riilnya. Padahal, menurut Agus Yuniarto (2007) jika televisi Jakarta itu
mau bermitra atau menjalin kerjasama dengan televisi lokal, maka proses
pendirian televsi swasta lokal yang selama ini terkendala karena rebutan
kanal, akan jauh lebih ‘mudah’.
Ketiga, kesiapan televisi Jakarta untuk mengusung konten lokal
cenderung minimalis. Dari proses Evaluasi Dengar Pendapat terungkap,
kebanyakan menawarkan program berita yang menurut mereka lebih
gampang. Beberapa televisi menyediakan slot waktunya kurang dari satu
jam (pada jam-jam non prime time). Bahkan ada televisi yang
‘menyempilkan’ program atau konten lokal pada jam 02.00 atau 04.00,
saat dimana warga Yogyakarta masih tidur lelap. Dari sini tampak bahwa
televisi ‘nasional’ Jakarta tidak siap atau kurang serius melaksanakan
sistem stasiun jaringan dan mengubah stasiun daerah dari stasiun relai
menjadi stasiun mandiri.
Hambatan atau Peluang?
Dari Evaluasi Dengar Pendapat juga terungkap sejumlah hambatan
yang dihadapi oleh televisi ‘nasional’ Jakarta untuk bermigrasi menjadi
televisi mandiri berjaringan. Pertama, persoalan infrastruktur—ini terkait
dengan biaya investasi. Mereka mengatakan bahwa bisnis televisi
membutuhkan investasi besar. Dengan sistem stasiun jaringan ini, mereka
harus mengelola stasiun relai menjadi stasiun mandiri yang biaya
investasinya mahal. Menurut Agus Yuniarso (2007), justru dengan sistem
stasiun jaringan dan bermitra dengan televisi lokal, maka investasi teknis
bisa relatif lebih rendah.
Kedua, program dengan konten lokal. Selama ini stasiun Jakarta terbiasa
mengelola program yang nasional. Ketika harus mengelola program lokal,
mereka seperti kehilangan ide dan kreativitas. Sehingga program yang
ditawarkan kebanyakan program berita. Lewat kerjasama dengan mitra
lokal, televisi Jakarta tak perlu lagi pusing-pusing dengan program

103
Quo Vadis Televisi?

siarannya karena program lokal bisa disiapkan oleh mitra lokal. Untuk
televisi jaringan yang mengudara 24 jam sehari, televisi lokal anggotanya
hanya perlu me-manage program siaran kurang dari 7 setengah jam.
Itupun jumlah maksimal karena pada tahap awal, regulasi mensyaratkan
hanya 10persen dari total jam siaran (sekitar 2,5 jam). Bicar konten lokal
untuk Yogyakarta seharusnya bukan masalah, karena Yogyakarta adalah
gudangnya orang-orang kreatif.
Ketiga, sumber daya manusia. Ketersediaan sumber daya manusia yang
mumpuni dan siap pakai menurut mereka menjadi persoalan. Meski
demikian, jika televisi Jakarta menjalin kerjasama dengan mitra lokal, maka
sumber daya manusia telah tersedia dan disiapkan oleh mitra local. Kalau
pun tidak menjalin kerjasama, sumber daya manusia seharusnya juga
bukan masalah karena di Yogyakarta terdapat beberapa universitas yang
membuka program studi Ilmu Komunikasi. Mereka adalah stakeholder
yang menyiapkan sumber daya manusia untuk industri televisi dan bisa
menjadi referensi dalam hal konten program.
Semangat dari sistem stasiun jaringan ini adalah agar penjajahan
Jakarta atas Indonesia harus dihentikan dan asas keberagaman dihormati
setinggi-tingginya (Ade Armando, 2007). Stasiun televisi berjaringan ini
diharapkan ikut membangun berkembangnya televisi lokal, merangsang
dan membangun dinamika ekonomi lokal dan sosial budaya lokal. Bila
semua stasiun ‘nasional’ Jakarta melakukan transformasi ke stasiun lokal
berjaringan, maka akan tercipta sebuah sistem penyiaran yang sehat, yang
menjamin adanya diversity of ownership dan diversity of content, yang akan
memperkaya bangsa ini baik secara sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Penutup
Sistem stasiun jaringan: quo vadis? Dalam hal ini, pihak televisi Jakarta
yang harus menjawabnya. Panggilan untuk bertransformasi menjadi
stasiun berjaringan ini berdasarkan pada fakta bahwa mereka
menggunakan frekuensi yang merupakan domain publik Yogyakarta. Jika
selama ini publik Yogyakarta sekedar dimanfaatkan oleh televisi Jakarta
untuk target iklan dan memperkuat bisnis mereka, kini saatnya bagi publik
Yogyakarta untuk mendapatkan haknya, dalam bentuk tayangan bermutu
dan mereka mendapatkan ruang untuk meyampaikan pemikiran dan
aspirasinya.
Untuk itu, televisi Jakarta yang ingin menjadi stasiun siaran jaringan
di Yogyakarta diharapkan lebih serius karena publik Yogyakarta yang

104
Pluralisme Media dan Sistem Stasiun Jaringan

merupakan publik yang terdidik. Gerakan literasi media di Yogyakarta


juga cukup masif. Jika program-program yang ditawarkan oleh televisi
Jakarta sekadar ‘itu lagi, itu lagi!’, dan tidak ada sesuatu yang lebih baik
dan kekhasan yang ditawarkan kepada public Yogyakarta, maka program-
program televisi Jakarta ini akan ditinggalkan pemirsanya.
Untuk mewujudkan hal itu, perlu dukungan pemerintah, Komisi
Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), serta masyarakat. Pemerintah harus
tegas menegakkan hukum. Jangan sampai pemerintah justru diperdaya
dan dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk kepentingan bisnis mereka.
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) perlu memperjuangkan
aspirasi publik Yogyakarta. Jika televisi-televisi ‘nasional’ Jakarta itu tidak
serius mentransformasi stasiun relai menjadi stasiun televisi lokal
berjaringan, ijin penyelenggaraan itu semestinya tidak diberikan.
Publik perlu memonitor pelaksanaan ketentuaan Undang-Undang
Penyiaran tentang sistem stasiun jaringan ini. Jika terjadi pelanggaran,
kita wajib melaporkan sesuai ketentuan yang berlaku. Kita berharap
dengan sistem stasiun jarngan ini, tayangan yang sehat dan membumi;
tontonan yang bisa menjadi tuntunan, akan mewarnai televisi kita.

Daftar Pustaka
Armando, A. 2007. (Seharusnya) Tak Ada Lagi Stasiun Televisi Nasional, http://
adearmando.wordpress.com/2007/08/30/seharusnya-tak-ada-lagi-stasiun-
televisi-nasional/
Astraatmadja, A. 2009. “Tuntutan Zaman ; Kebebasan Pers dan Ekspresi. Jakarta:
VHRBook
Bagdikian, Ben H. 2000. The New Media Monopoly, Beacon Press
Buwana, D.S.2009. “Ramadhan di Lazar Kaca”, Republika, 10/09/2009, http://
www.republika.co.id/koran/24/75368/Ramadhan_di_Layar_Kaca
Cahya, N.W. 2007. “Mengerucutnya kepemilikan media televisi di Indonesia,”
http://nurulwibawacahya.blogspot.com/2007/01/mengerucutnya-kepemilikan-
media.html
Dhyatmika, W. and Herawatmo. 2006. “Jangan Seperti Jualan Kacang Goreng,”
http://reporter-jakarta.blogspot.com/2006/06/laporan-utama-jangan-seperti-
jualan.html
Farid, Lily Y. 2006a. Merayakan Jurnalisme Orang Biasa di Panyingkul!
(unpublished)
Farid, Lily Y. 2006b. Citizen Journalism: sebuah pengantar (unpublished)
Harto, PP., Ratnasari, E; Saragih, HP.,Mudjiono, 2010. “Raja-Raja TV: Raja TV,
Raja Akuisisi”, Warta Ekonomi, 19 December 2006

105
Quo Vadis Televisi?

Haryanto, I. 2004. Kepemilikan Media Terpusat dan Ancaman terhadap


Demokrasi, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/04/Bentara/
1189006.htm)
Klimkiewicz, Beata. 2005. 2005. Media Pluralis: European Regulatory Policies and
the Case of Central Europe, European University Institute
Luwarso, Lukas. 2000. Pers Indonesia, Pergulatan untuk Kebebasan, http://
www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/08/31/0006.html
McQuail, Denis, 2000. Mass Communication Theory. Sage Publication
Meier, Werner A. 2002 “Media Ownership – Does It Matter?” In Networking
Knowledge for Information Societies: Institutions & Intervention Edited by
Robin Mansell, Rohan Samarajiva and Amy Mahan, Delft University Press
Munandar, Satrio, Sen, Krishna and David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik
di Indonesia, ISAI
Siregar, A.E. 2008. Ekonomi Politik Televisi: Melawan PEmusatan Kepemilikan
dan Penguasaan, paper presented in Forum Studi Komunikasi, UAJY.
Widiyanto. 2006. Televisi Batavia, http://andreasharsono.blogspot.com/2006/02/
televisi-batavia.html)
Windyaningrum, A; Ratnasari, E , dan SHP. 2007. “Sekali di Udara,Tetap di Udara,
Warta Ekonomi, Jum’at, 25 Mei 2007
Yusuf, I.A. 2009. Pentingnya Regulasi Monopoli dan Konglomerasi Media, http://
bincangmedia.wordpress.com/?archives-list=1

Wawancara
Farid, Lily Yulianti (email and chatting): 11/02/2007; 14/03/2008; 20/06/2010
Nugraha, Pepih (email): 07/06/2010

106
Merevitalisasi TVRI
Sebagai Lembaga Penyiaran Publik
Agusly Irawan
Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Televisi Republik Indonesia (TVRI) merupakan stasiun televisi yang


memiliki sejarah panjang. Sebagai stasiun televisi tertua di Indonesia,
sangat masuk akal bila TVRI menjadi stasiun televisi yang mapan dari
segi organisasi maupun dalam hal menghasilkan output siaran yang
berkualitas. TVRI sempat menjadi media yang sangat digemari dan
menjadi pilihan masyarakat Indonesia.
Periode keemasan memang sempat dialami TVRI. TVRI menjadi satu-
satunya pilihan pemirsa televisi di Indonesia. Hal ini masuk akal karena
sejak berdiri hingga akhir 1980-an, TVRI hanya menjadi satu-satunya
pilihan pemirsa. Namun ketika keran keterbukaan dibuka dan beberapa
stasiun televisi swasta mulai mengudara, perlahan-lahan TVRI mengalami
penurunan hingga tidak lagi berdaya melawan kepungan stasiun televisi
swasta.
Persoalan TVRI semakin rumit ketika masa reformasi bergulir.
Semangat reformasi mampu mengubah tatanan kehidupan berdemokrasi
di Indonesia. Hal ini juga berimbas pada TVRI. Selama 30 tahun, TVRI
dicap sebagai stasiun televisi pemerintah dan corong pemerintah untuk
menyampaikan pesan dan ideologi Orde Baru. Singkatnya, TVRI akhirnya
dilemahkan perannya. Pemerintah tidak lagi boleh berkuasa penuh atas
TVRI. Intinya, TVRI harus independen.
Berbagai upaya membentuk kemandirian dan independensi TVRI
dilakukan. Salah satunya, melalui Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun
2002 yang menghendaki TVRI tampil sebagai stasiun televisi publik.
Harapannya, TVRI bisa menjadi media komunikasi yang mengutamakan
kepentingan publik sekaligus menjaga independensi dari negara/
pemerintah dan tidak tunduk terhadap tuntutan pasar.
Dilihat secara sekilas, tujuan ini tentu sangat mulia. Satu cita-cita yang
ideal ketika TVRI bisa menjadi sarana publik untuk saling berinteraksi

107
Quo Vadis Televisi?

antarsesama warga dan warga dengan pemerintah. Tapi, cita-cita ini


ternyata sulit untuk diwujudkan. Ada banyak faktor yang terlibat di
dalamnya. Bagaimana TVRI bisa menjadi sarana berinteraksi antarwarga
jika TVRI tidak menjadi pilihan utama bagi pemirsa? Dari sisi ini, logika
kapitalisme akan bermain. TVRI tidak menjadi pilihan pemirsa karena
TVRI tidak mengikuti selera pasar atau konsumen. Jika TVRI harus
mengikuti selera konsumen berarti TVRI akan berbentuk televisi
komersial, bukan televisi publik seperti cita-cita awal.
Bagaimana TVRI bisa memenuhi program-program siarannya jika
tidak ada sumber dana? Jika memang televisi publik, harusnya publik
ikut bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup TVRI. Tapi apakah
warga mau membayar (lagi) iuran TVRI? Memang rumit melihat persoalan
TVRI. Itu baru dari sisi ekonomis, belum pertarungan kepentingan aktor-
aktor yang punya kepentingan di dalam tubuh TVRI.
Penulis berharap, TVRI bisa menjadi televisi publik yang baik: tujuan
idealnya, manajemen organisasinya, program siarannya, sehingga TVRI
bisa berperan lebih besar dan lebih baik dibandikan stasiun televisi swasta,
yang mendekati titik jenuh sehinga lebih sering melahirkan kritik daripada
manfaat. Apalagi bila dibandingkan stasiun televisi publik yang sudah
mapan seperti BBC (Inggris) atau NHK (Jepang).
Tinjauan Historis
Sejarah TVRI dimulai sejak Ketetapan MPRS no II/MPRS/1960
ditetapkan. Pasal 18 Bab I menyatakan pentingnya membangun stasiun
televisi untuk kepentingan pendidikan nasional. Pemerintah lalu
mengeluarkan Surat Keputusan Mentri Penerangan No 20/SK/M/61
tanggal 21 Juli 1960 tentang Panitia Persiapan Televisi (P2TV). TVRI
melakukan ujicoba siaran pada perayaan kemerdekaan, 17 Agustus 1962.
Dengan siaran TVRI, Indonesia menjadi negara keempat yang memiliki
media televisi setelah Jepang, Filipina, Thailand (Heryanto, 2003: 46). Tugas
P2TV berakhir dengan berhasilnya ujicoba tersebut. TVRI lalu dimasukkan
ke dalam Biro Radio dan Televisi Organizing Committe Asian Games IV.
TVRI melakukan siaran live acara pembukaan dan penutupan acara
Asian Games IV, 24 Agustus 1962. Tanggal 24 dikenal sebagai tanggal
berdirinya TVRI. Setelah Asian Games selesai, TVRI dimasukkan ke dalam
Yayasan Gelora Bung Karno melalui Keppres No 318/1962. Setahun
kemudian, dibentuk Yayasan TVRI melalui Keppres no 215/1963 dengan
pimpinan umum Presiden dan dibantu staf Presiden urusan TVRI. Secara

108
Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

operasional, ditunjuk seorang direktur dan tiga orang direktur muda


urusan programma/perencanaan, urusan teknik dan administrasi, serta
urusan komersil dan perbendaharaan. Perjalanan TVRI sejak 1962-1975
dikenal sebagai ‘Era Yayasan TVRI’ (Heryanto, 2003: 47). Pada era ini, TVRI
membangun beberapa Stasiun Penyiaran Daerah yaitu Stasiun Yogyakarta,
Stasiun Medan, Surabaya, Ujungpandang (Makassar), Manado, Denpasar
dan Balikpapan (bantuan Pertamina).
Era selanjutnya disebut ‘Era Status Ganda’, karena TVRI memliki dua
status hukum: Yayasan TVRI dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen
Penerangan, lewat SK Mentri Penerangan No 55 B tahun 1975 yang
diperbaharui lagi dalam SK Menpen No 230A tahun 1984 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Depertemen Penerangan dimana Direktorat
Televisi berada dibawah Dirjen RTF.
Status hukum ganda ini tentu menimbulkan masalah. Pertama,
kebingungan siapa pemegang otoritas tertinggi terhadap TVRI. Jika TVRI
sebagai yayasan maka presiden yang menjadi pemimpin umumnya.
Dengan berbentuk UPT maka TVRI berada di bawah wewenang Mentri
Penerangan. Kedua, status hukum TVRI berbentuk yayasan yang
memegang monopoli penyiaran televisi di Indonesia dan modalnya
merupakan kekayaan negara yang terpisah dirasa tidak tepat. Definisi
yayasan lebih bermakna swasta daripada milik negara. Apalagi salah satu
modal Yayasan TVRI adalah iuran pemilik stasiun televisi. Status TVRI
sebagai UPT terus berlanjut sejak 1975-1997 dan dikuatkan lagi dalam
Undang-Undang Nomor 24 tahun 1997 yang berlaku hingga 1999, sebelum
Deppen dihilangkan dalam masa reformasi.
Selama era status ganda ini, TVRI membangun Stasiun Produksi
Keliling (SPK) di beberapa propinsi: SPK Jayapura, SPK Ambon, SPK
Kupang, SPK Malang (Tahun 1982 diintegrasikan dengan TVRI Stasiun
Surabaya), SPK Semarang, SPK Bandung, SPK Banjarmasin, SPK
Pontianak, SPK Banda Aceh, SPK Jambi, SPK Padang, SPK Lampung.
Pembangunan SPK ini dimulai sejak 1977 dan berfungsi sebagai
perwakilan TVRI di daerah.
Penetapan TVRI sebagai UPT dibawah Departemen Penerangan tentu
memiliki dampak yang luas. Salah satu dampak tersebut yaitu semakin
sentralnya TVRI sebagai humasnya pemerintah. Selain menjadi humas
negara atau pemerintah, TVRI juga mempu menjadi sarana penekan
negara trerhadap warganya hingga ke dalam bentuk yang lebih jauh yaitu

109
Quo Vadis Televisi?

kebebeasan berdemokrasi termasuk kebebasan pers. Singkatnya, TVRI


menjadi media organik negara (Heryanto, 2003: 49).
Era ketiga disebut era Reformasi (1998) dengan dihilangkannya
Departemen Penerangan (Deppen) dan diganti Badan Informasi dan
Komunikasi Nasional (BIKN). Namun, TVRI tidak berada di bawah BIKN.
Kondisi tersebut ternyata mendorong pimpinan TVRI dari pusat dan
daerah untuk berkoordinasi tentang kondisi TVRI. Pertemuan maraton
menghasilkan aspirasi bahwa TVRI haruslah berstatus televisi publik.
Rapat antara Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara,
Departermen Keuangan, dan Sekretaris Kabinet mengusulkan bentuk
Perusahaan Jawatan (Perjan) TVRI, yang ditetapkan melalui PP No 36
tahun 2000.
Beberapa alasan perubahan status TVRI menjadi Perjan yaitu: Pertama,
untuk meningkatkan daya saing di bidang pelayanan jasa penyiaran
kepada masyarakat pada era globalisasi sehingga perlu untuk
mengalihkan bentuk satuan kerja instansi pemerintah menjadi badan
usaha pelayanan yang secara mandiri dan otonom mengelola manajemen
instansinya. Sehingga dirasa perlu landasan hukum bagi TVRI untuk
meningkatkan kualitasnya.
Kedua, adanya jeda waktu selama pembahasan RUU Penyiaran yang
baru untuk mengganti UU Penyiaran nomor 24 tahun 1997. Padahal
tuntutan agar TVRI menjadi televisi publik terus menguat. Untuk
mengatasi hal tersebut maka Perjan diambil sebagai solusi sementara.
Ketiga, dengan bentuk Perjan maka TVRI juga berhak atas APBN yang
bisa digunakan untuk membiayai operasional karyawan (Heryanto, 2003:
54). Dengan status hukum Perjan, maka TVRI berbentuk Badan Usaha
Milik Negara (BUMN). Maksud dan tujuan Perjan adalah
menyelenggarakan kegiatan penyiaran televisi sesuai prinsip-prinsip
televisi publik yang independen, netral, mandiri, dan program siarannya
senantiasa berorientasi kepada kepentingan masyarakat serta tidak
semata-mata mencari keuntungan (pasal 6 PP No.36/2000).
Ketika TVRI berbentuk Perjan, wilayah cakupan kerja TVRI semakin
luas. TVRI terbagi dalam beberapa bagian yaitu: (1) Kantor Pusat
berkedudukan di Jakarta (2) Divisi I-Siaran Nasional, berkedudukan di
Jakarta (3) Divisi II-Siaran Berita Nasional dan Informasi, berkedudukan
di Jakarta.(4) Divisi III-Wilayah Sumatera, berkedudukan di Medan terdiri
dari 4 TVRI daerah berkelas A yaitu Medan, Banda Aceh, Palembang dan
Padang serta 4 TVRI daerah kelas B yaitu : Pekanbaru, Jambi, Lampung,

110
Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

Bengkulu. (5) Divisi IV- Wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, yang berkedudukan di Bandung.
Terdiri dari 3 TVRI daerah Kelas A yaitu Bandung, Yogyakarta, Semarang
serta 2 TVRI daerah kelas B yaitu Pontianak dan Palangkaraya. (6) Divisi
V- wilayah Jawa Timur, Bali, NTT, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Selatan, berkedudukan di Surabaya terdiri dari 3 TVRI daerah berkelas A
yaitu Surabaya, Denpasar, dan Samarinda, serta 2 TVRI daerah berkelas
B yaitu Banjarmasin dan Kupang. (7) Divisi VI-wilayah Sulawesi, Maluku,
Irian Jaya, berkedudukan di Makasar, tediri dari 3 TVRI daerah berkelas
A yaitu Makasar, Ambon, Menado serta 1 TVRI daerah berkelas B yaitu
Jayapura. (8) Sektor Transmisi, merupakan sektor untuk memfasilitasi
daerah yang tidak memiliki TVRI daerah kelas A atau B,berkedudukan di
ibukota Propinsi yaitu sektor Transmisi Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, NTB. (9) Divisi VII-Pengembangan Organisasi dan Diklat
(Heryanto, 2003: 60-66).
TVRI kembali mengalami perubahan status hukum. Menurut PP
Nomor 9 tahun 2002 tanggal 17 April 2002, TVRI seharusnya berbentuk
Persero. Namun karena banyaknya permasalahan yang terjadi khsusnya
konflik di tingkat manajemen maka perubahan TVRI sebagai persero baru
bisa terlaksana pada 15 April 2003, sesuai surat kuasa Menteri Negara
BUMN. Perubahan TVRI dari Perjan menjadi Persero tentu membawa
konsekuensi pula. Sebagai Persero maka TVRI tidak lagi mendapatkan
APBN seperti ketika berbentuk Perjan. Ini persoalan yang belum
dipersiapkan TVRI ketika ia harus mandiri, selain terjadinya konflik antara
Serikat Karyawan dengan manajemen di tingkat Direktur Utama.
Tuntutan Sebagai Lembaga Penyiaran Publik
Ketika TVRI resmi menjadi Persero, keluarlah Undang-Undang
Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 yang mengamanatkan agar TVRI menjadi
lembga penyiaran Publik. Status TVRI sebagai persero merupakan status
transisi selama tiga tahun sebelum menjadi lembaga penyiaran publik.
Pengertian lembaga penyiaran publik tentu bermacam-macam.
Menurut Effendi Ghazali (2002: 24) lembaga penyiaran publik adalah
lembaga penyiaran yang mempunyai visi untuk memperbaiki kualitas
kehidupan publik, kualitas kehidupan suatu bangsa, dan juga kualitas
hubungan antarbangsa pada umumnya; serta mempunyai misi untuk
menjadi forum diskusi, artikulasi, dan pelayanan kebutuhan publik.
Lembaga penyiaran ini memberikan pengakuan secara signifikan terhadap

111
Quo Vadis Televisi?

peran supervisi dan evaluasi oleh publik dalam posisinya sebagai


khalayak dan partisipan yang aktif, karena itu lembaga penyiaran publik
bukanlah lembaga penyiaran pemerintah, serta bukan pula lembaga
penyiaran yang semata-mata mendasarkan dirinya pada hukum-hukum
pasar.
Menurut Effendi Ghazali, pengertian di atas setidaknya memiliki empat
konsekuensi. Pertama, akses publik, yaitu adanya kesempatan seluas-
luasnya bagi publik untuk mengakses siaran stasiun televisi atau radio
tersebut. Secara praktis, berarti bersedia untuk mendirikan stasiun hingga
ke pelosok-pelosok terpencil di saat stasiun televisi komersial enggan
untuk menjangkau daerah tersebut terutama karena hitung-hitungan nilai
ekonomis.
Kedua, penggunaan dana publik, yaitu dana operasional lembaga
penyiaran publik utamanya berasal dari dana publik baik yang dikelola
negara misalnya APBN/APBD maupun penghimpunan dana yang
dilakukan lembaga penyiaran publik bersama publiknya misalnya melalui
sponsor yang tentu saja semuanya disupervisi dan dievaluasi oleh publik.
Ketiga, tuntutan akan akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik dalam
hal ini ada dua yaitu lembaga penyiaran publik harus mampu
mempertanggungjawabkan seluruh program acaranya sesuai standar
moral dan nilai publiknya serta akuntabilitas dalam hal operasional
lembaga penyiaran tersebut misalnya dalam penggunaan dana, dan lain-
lain.
Keempat, adanya keterlibatan publik. Publik diharapakan bisa
berpartisipasi dalam lembaga penyiaran publik dan lembaga yang
bersangkutan harus siap dan bersedia dengan keterlibatan masyarakat.
Keterlibatan masyarakat salah satunya melalui lembaga yang bertugas
men-supervisi lembaga siaran publik tersebut.
Sementara itu, Harmens Tahir (2002: 154,159) menghendaki adanya
sistem benevolent, artinya suatu organisasi nirlaba yang dibentuk oleh
publik, dimiliki oleh publik, dan dikontrol oleh publik. Harmens juga
menyebutkan salah satu ketentuan siaran televisi publik berdasarkan
resolusi Eropa 1996: (1) TV publik mendukung terwujudnya masyarakat
informasi, sebagai agen pemersatu pluralisme berbagai kelompok dalam
kelompok dalam masyarakat untuk pembentukan opini publik. (2) TV
publik menyiarakan program siaran yang bermutu untuk segala lapisan
masyarakat. (3) TV publik mampu menciptakan standar kualitas program
sebagai tuntutan bagi khalayak. (4) TV publik mampu melayani

112
Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

kepentingan kelompok penduduk minoritas. (5) TV publik menyiarkan


informasi yang independen dan obyektif,sehingga menjadi referensi bagi
publik dalam mengantisipasi perubahan yang sangat cepat. (6) TV publik
berperan penting untuk mendorong pelaksanaan debat publik dalam
rangka mewujudkan demokrasi. (7) TV publik menjamin bahwa
masyarakat memperoleh akses layanan yang menjadi kegemaran sebagian
besar masyarakat.
Tuntutan TVRI untuk menjadi sebuah lembaga penyiaran publik
dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 pasal 14 ayat 1:
“Lembaga penyiaran publik merupakan lembaga penyiaran yang
berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen,
netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk
kepentingan masyarakat. Yang tercakup dalam lembaga penyiaran publik
dalam UU ini adalah TVRI dan RRI.” Pasal 15 menyebutkan: “Sumber
pendanaan lembaga penyiaran publik adalah iuran penyiaran, APBN atau
APBD, sumbangan masyarakat, siaran iklan, maupun usaha lain yang
terkait penyelenggaran penyiaran.”
Sepintas, UU ini memberikan power yang cukup kuat bagi TVRI menjadi
lembaga penyiaran publik yang ideal. Ideal karena ada keinginan
menjadikan TVRI netral, independen, tidak komersial dan memberikan
layanan untuk kepentingan masyarakat. Sepertinya, TVRI bisa menjadi
stasiun televisi yang baik. Apalagi tuntutan reformasi menginginkan
pemerintah tidak terlalu berperan besar dalam TVRI. Prinsip-prinsip dasar
yang berkaitan lembaga penyiaran publik seperti penggunaan dana publik
juga dimungkinkan misalnya melalui APBN/APBD, sumbangan
masyarakat dan sumber dana lain seperti yang disebutkan dalam pasal
15 UU No.32 ini. Apakah kenyataannya demikian? Ternyata tidak semudah
yang kita bayangkan.
Pertama, TVRI memang sudah tidak lagi “dekat” dengan pemerintah.
Negara/pemerintah sudah mengurangi keterlibatannya. Namun, ketika
TVRI akan diserahkan ke tangan publik, publik ternyata tidak siap
merespon perubahan ini. Sebagian besar publik menganggap TVRI
membosankan, kuno, identik dengan siaran orang tua. Entah karena sifat
stasiun televisi publik yang harus berbeda dengan stasiun televisi
komersial sehingga asing bagi publiknya atau memang publik yang sudah
terbiasa dan dicekokin siaran-siaran stasiun komersial. Akhirnya, publik
dan TVRI seolah-olah tidak nyambung.

113
Quo Vadis Televisi?

Ini berimbas pada operasional misalnya sulitnya untuk mendapatkan


dana dari iklan atau sponsor. Padahal, meskipun lembaga penyiaran
publik, TVRI bukan berarti tidak boleh untung. TVRI tetap harus untung
agar ia bisa mandiri tetapi sekali lagi, iklan atau sponsor harus
mendapatkan supervisi dari publik. Jika melihat keadaan TVRI sebagai
lembaga penyiaran publik yang menghendaki partisipasi publik, tentu
ini merupakan hal sulit. Bagaimana mungkin publik bisa berpartisipasi
bila menonton pun tidak. Akhirnya, ketika publik tidak antusias terhadap
TVRI, pelan-pelan pemerintah akan kembali campur tangan terhadap
TVRI.
Kedua, TVRI masih identik sebagai humas pemerintah. Perubahan
image TVRI dari humas pemerintah menjadi pelayan publik merupakan
hal yang sulit. Hal ini bisa dimaklumi mengingat sejak berdiri hingga era
reformasi, TVRI dikenal dekat dengan pemerintah. Image tersebut tentu
tidak mudah diubah dalam wktu sekejap karena harus mengubah budaya
organisasi dan budaya kerja TVRI. Bagi sebagian masyarakat, TVRI masih
indentik dengan corong pemerintah. Hal ini bisa datang dari pihak
pemerintah maupun pihak TVRI. Pemerintah tentu tetap ingin
mempertahankan supremasinya terhadap TVRI. Sedangkan dari pihak
TVRI, rasanya masih sungkan untuk sedikit ‘memberontak’ pada
pemerintah terutama karena TVRI masih tergantung dana APBN/APBD.
Dalam kadar tertentu, pemerintah memang masih diperbolehkan untuk
memanfaatkan TVRI karena sebagai televisi publik, TVRI diharapkan bisa
menjadi jembatan/sarana komunikasi pemerintah dengan publik/
masyarakat. Namun alur komunikasi ini bukan lagi bersifat satu arah dari
negara pada masyarakat melainkan dari dua arah. Sehingga TVRI bisa
menjadi ruang publik yang bebas dari intervensi siapa pun baik negara
ataupun pasar.
Ketiga, harus diakui pemerintah masih enggan melepaskan
pengaruhnya di tubuh TVRI. Bisa dikatakan, pemerintah masih setengah
hati mereformasi TVRI. Undang-Undang Nomor 32 tentang Penyiaran
tidak terlalu eksplisit menentukan apa bentuk stasiun televisi publik yang
akan diberikan pada TVRI. Bentuk TVRI yang sangat operasional hanya
diatur dalam aturan sekelas Peraturan Pemerintah (PP) yang sangat
mungkin terdapat kompromi-kompromi. Pada tataran politis, pemerintah
masih enggan melepaskan dominasinya terhadap TVRI. Sebisa mungkin
TVRI menjadi ‘anak yang baik’ bagi pemerintah. Hal ini tentu wajar bila
melihat sepak terjang stasiun televisi swasta yang lebih sering mengkritik

114
Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

negara/pemerintah. Apalagi TVRI masih tergantung pada dana APBN/


APBD. Tuntutan akan keseimbangan di aktor publik dan negara
merupakan satu keharusan. Aktor pasar harus mengalah karena sifat
penyiaran publik yang lebih menitik beratkan pelayanan pada publik
daripada memperoleh keuntungan semata.
Salah satu bentuk keinginan pemerintah untuk tetap mendominasi
TVRI yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Penyiaran
Publik yang menghendaki peleburan RRI dan TVRI menjadi Radio Televisi
Republik Indonesia. Dengan peleburan ini maka pemerintah memiliki
kewenangan kembali sebagai pembina lembaga penyiaran publik
sekaligus memiliki otoritas dalam intervensi kebijakan lembaga penyiaran
publik misalnya pemilihan direksi, dewan pengawas, termasuk
budgetting. Padahal jelas-jelas dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun
2002 ini, lembaga penyiaran publik seperti TVRI dan RRI harus
independen dan netral.
Keempat, persoalan dana menjadi persoalan yang sangat besar di tubuh
TVRI. TVRI masih kesulitan mencari dana. Hutang TVRI belum bisa
diselesaikan. Sumber dana dari APBN/APBD minim. Pemasukan iklan
juga terbatas minimnya jumlah pemirsa TVRI. Pemerintah menyiasatinya
dengan iklan-iklan layanan masyarakat. Bahkan sempat ada aturan bahwa
stasiun televisi swasta harus memberikan sebagian pendapatannya untuk
TVRI. Namun tetap saja tidak cukup untuk menutupi biaya operasional
yang sangat tinggi.
Selain itu, pengelolaan dana TVRI juga tidak jelas. Ini ada kaitannya
dengan akuntabilitas publik yang menjadi tuntutan sebuah lembaga
penyiaran publik. Kita jarang atau bahkan tidak pernah mendapatkan
laporan keuangan dari TVRI, apa saja biaya pengeluarannya, berapa
pendapatannya, dan lain-lain. Harusnya, TVRI siap memberikan laporan
keuangannya kepada publik yang mendanainya melalui APBN.
Apa yang bisa ditawarkan untuk membuat TVRI menjadi lebih baik?
Secara historis, kita sepakat bahwa TVRI sangat kuat dan mapan dalam
menjalankan perannya pada era Orde Baru. Di era reformasi, TVRI
dilemahkan perannya agar TVRI tidak menjadi corong pemerintah lagi.
Keadaan TVRI semakin mengenaskan ketika ia harus bertarung dengan
stasiun televisi swasta. TVRI berjalan tertatih-tatih bahkan untuk sekedar
survive di tingkat pusat dan daerah. Bahkan ada beberapa stasiun daerah
yang harus berhenti operasi sementara waktu. Sudah saatnya TVRI
kembali bangkit bukan menjadi sebuah stasiun yang melayani pemerintah

115
Quo Vadis Televisi?

tetapi menjadi sebuah stasiun televisi yang melayani kepentingan publik.


Ada beberapa tindakan yang bisa diupayakan untuk memperbaiki
TVRI. Pertama, advokasi terhadap TVRI harus terus dilanjutkan. Advokasi
terhadap TVRI harus dilaksanakan secara luas mulai dari segi kebijakan
hingga persoalan yang sederhana, misalnya program, dana, partisipasi
publik, dan lain-lain. Untuk level kebijakan misalnya, masyarakat yang
diwakili oleh praktisi komunikasi, akademisi, dan LSM harus terus
mendampingi TVRI agar tidak lagi menjadi alat pemerintah. Advokasi
dilakukan untuk mendesak pemerintah menjalankan amanat Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2002 agar segera menyiapkan Peratuaran
Pemerintah (PP) atau aturan hukum lainnya agar TVRI sebagai lembaga
penyiaran publik bisa berjalan dengan baik sesuai cita-cita Undang-
Undang tersebut. Kelompok advokasi juga harus tetap mengkritisi setiap
kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah. Salah satunya tentang
rencana PP yang ingin menggabungkan TVRI dan RRI.
Kedua, manajemen TVRI harus terus berbenah dan menyiapkan diri
menjadi lembaga penyiaran publik yang baik dan sesuai amanat Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2002 sebagai payung hukum TVRI sebagai
lembaga penyiaran publik. Pihak manajemen harus mampu
menerjemahkan amanat undang-undang tersebut ke dalam visi misi
hingga unit terkecil, seperti program-program siaran. Ini tidak mudah
karena audiens juga tidak mudah menerima sesuatu yang berbeda dari
yang biasa ditonton di televisi swasta. TVRI mungkin bisa meniru beberapa
program yang baik di televisi swasta. Namun, jangan sampai keseragaman
sebagai sesuatu yang dikritisi dari stasiun televisi swasta berulang pada
TVRI. Apalagi ada keleluasaan bagi stasiun daerah untuk lebih
mengedepankan kekayaan lokal sehingga informasi dan isu-isu daerah
akan lebih mengemuka dibandingkan isu-isu Jakarta. TVRI dimungkinkan
untuk membuat acara lokal berdasarkan permintaan pemirsa melalui
semacam dewan atau lembaga yang bisa memberikan masukan kepada
TVRI daerah sebagai bentuk partisipasi masyarakat.
Selain kreativitas, pembenahan manajemen menjadi keharusan untuk
memenuhi tuntutan akuntabilitas publik. Manajemen profesional dan tata
kelola keuangan yang bersih menjadi syarat utama. Mental birokratis perlu
ditanggalkan diganti prinsip-prinsip profesionalisme layaknya swasta
sehingga tata manajemen bisa berjalan lebih baik. Sehingga, kasus korupsi
Sumita Tobing atau konflik manajemen dengan serikat pekerja tidak
terulang di masa depan.

116
Merevitalisasi TVRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik

Kualitas TVRI sebagai lembaga penyiaran publik bisa dilihat dari


program-progam siarannya. Namun ada kekhawatiran para pekerja TVRI
tidak mampu mengembangkan reativitasnya karena minimnya dana.
Penulis yakin, kreativitas bukan datang dari kondisi yang mapan
melainkan dari keterbatasan. Bukan berarti pula penulis ingin
membenarkan bahwa keadaan TVRI sebaiknya berada pada kondisi yang
serba minim. Ini tantangan bagi pekerja TVRI untuk bisa membuat
program yang baik, bermutu, namun tidak harus seragam dengan stasiun
televisi lain. Untuk masalah dana, TVRI mendapatkan anggaran dari
APBN dan APBD. Selebihnya, tergantung dari kreativitas TVRI. Ketika
TVRI mampu membuat program yang baik dan bermutu, maka TVRI bisa
menjadi pilihan pemirsa. Ketika TVRI sudah menjadi pilihan pemirsa, ia
bisa menjalin kerja sama dengan sponsor untuk menghidupi
operasionalnya.
Ketiga, upaya pendanaan untuk TVRI. Ini bisa dimulai dari kerjasama
instansi pemerintah dengan menjadikan TVRI sebagai sarana sosialisasi
program-program pemerintah melalui iklan layanan masyarakat. TVRI
juga dimungkinkan untuk memaksimalkan peran serta masyarakat
melalui penggalangan dana, misalnya pajak atau bentuk lain, dengan
catatan mereka bisa menikmati kembali dalam bentuk tayangan
berkualitas serta adanya akuntabilitas atau transparansi pengelolaan dana.
Solusi-solusi tersebut harus berjalan beriringan. Upaya pembenahan
TVRI tanpa kerelaan pemerintah untuk ikut membangun TVRI menjadi
lebih baik, tidak akan maksimal. Sebaliknya jika pemerintah mengucurkan
dana besar tanpa dibarengi upaya pembenahan manajemen, budaya
organisasi, upgrade kemampuan dan kreativitas awak TVRI maka upaya
ini akan sia-sia juga. Jika pemerintah sudah berusaha membangun TVRI,
manajemen sudah berupaya memperbaiki diri, namun publik tidak peduli
dengan TVRI maka tidak besar manfaat TVRI yang sudah berubah menjadi
lembaga penyiaran publik.
Kesimpulan
Dari latar belakang historis, TVRI memang sangat dekat dengan
pemerintah. Hal ini terlihat dari upaya Bung Karno yang berkeinginan
kuat agar Indonesia memiliki satu lembaga penyiaran sendiri. Dalam
perjalanannya, TVRI selalu dekat dengan pemerintah melalui relasi negara
sebagai regulator dan TVRI sebagai pelaksana sekaligus memainkan
perannya untuk menjadi salah satu alat negara dalam bidang penyampaian

117
Quo Vadis Televisi?

informasi. Peran ini dimainkan pada pemerintahan Orde Baru. Namun


perubahan zaman dan kondisi di Indonesia menghendaki perubahan
TVRI. Negara tidak boleh lagi terlalu dekat dan kuat pengaruhnya. TVRI
harus menjadi lembaga yang berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Logika pun harus berubah dari pelayan negara menjadi pelayan publik.
Salah satu bentuk yang bisa mengakomodasi adanya pelayanan
kepada publik adalah dengan menjadikan TVRI sebagai lembaga
penyiaran publik. Hal ini dianggap ideal karena dari perkembangan
kondisi saat ini, TVRI cocok untuk menjalankan peran ini. Karena DNA
TVRI berbeda dengan DNA stasiun televisi swasta. TVRI terlihat lebih
mapan dari segi infrastuktur dan usia. Namun kenyataannya terbalik.
Yang terjadi, usia bertambah tetapi TVRI tidak siap dalam menghadapi
perubahan. Ia semakin ditinggalkan publiknya, TVRI juga tidak terlalu
dekat dengan pemerintah. Akhirnya ia sendirian menghadapi kerasnya
pertarungan dengan stasiun televisi swasta.
Kondisi ini menunjukkan perlunya perhatian dan kesediaan berbagai
pihak untuk mengembalikan kejayaan TVRI. Berjaya bukan sebagai
pelayan negara melainkan pelayan publik. Upaya ini bisa dilakukan mulai
dari level kebijakan hingga upaya sederhana melalui terus memantau TVRI
dan memberikan masukan-masukan kepada TVRI untuk terus berbenah
diri. Kritik dan masukan terasa aneh disampaikan kepada TVRI bila kita
tidak pernah melihat dan menonton TVRI. Maka, mulailah untuk kembali
menilik keadaan TVRI. Karena TVRI adalah media publik kita.

Daftar Pustaka
Ghazali, Effendi. 2002. Penyiaran Alternatif Tapi Mutlak: Sebuah Acuan tentang
Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi. Fisip UI.
Heryanto, Gun Gun. 2003. Relasi Kekuasaan pada Kebijakan Perubahan Status
Hukum TVRI: Studi Ekonomi Politik Media. Thesis untuk mencapai gelar MSI
dalam Bidang Ilmu Komunikasi. FISIP UI.
Tahir Harmens. TVRI sebagai TV Publik Sumbangan Pemikiran terhadap
Keberadaan TVRI, dalam 40 tahun TVRI dari Pembebasan Menuju Pencerahan,
Jakarta :FSP-TVRI.
UU Penyiaran No. 32 tahun 2002
Website: http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_Republik_Indonesia.

118
“Melihat Kembali” TVRI
Benedictus Yanuarto Purnomo dan Yohanes Bagas Nurogo
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Pemberitaan TVOne yang menayangkan penangkapan tersangka


teroris, yang diduga Nurdin M. Top di Temanggung kemudian diklaim
oleh TVOne sebagai penangkapan Nurdin M. Top—dan ternyata salah—
merupakan salah satu bentuk ketergesa-gesaan stasiun TVOne
memberitakan suatu peristiwa dan merugikan masyarakat. Ini ditambah
mengenai berita soal makelar kasus palsu, yang semuanya adalah upaya
untuk mencari berita-berita sensasional yang sedang hangat dan
mengundang masyarakat untuk menontonnya.
Selain itu, running text dari TVOne yang menyatakan Gesang, maestro
keroncong telah meninggal dunia padahal kenyataan belum meninggal
dunia, meskipun akhirnya meninggal dunia, namun di sini televisi bukan
bertindak sebagai peramal dan berarti terjadi pembohongan publik, di
mana televisi tidak mengabarkan realitas yang sesungguhnya dan beribu-
ribu masyarakat yang meluangkan waktunya untuk dapat melihat
beritanya secara langsung mendapatkan informasi yang keliru dari
pemberitaan melaui tayangan berita TVOne.
Dari gambaran di atas, tampak bahwa terjadi peningkatan penonton
pada saat tayangan penangkapan teroris di Temanggung pada bulan
Agustus 2009. Di mana penonton 168 persen dari minggu sebelumnya
22.000 orang menjadi 59.000. Ini menandakan bahwa berita hangat dan
disiarkan langsung merupakan komoditas yang menarik untuk
diberitakan dan dijual. Namun yang menjadi masalah adalah berita
tersebut ternyata bohong. Yang ditangkap bukanlah Nordin M. Top.
Semuanya hanya mengejar rating dengan menampilkan berita yang
sensasional.
Contoh pada media lain, juru bicara Trans7 Hadiansyah Lubis,
mengatakan, pihaknya masih mematok rating sebagai pertimbangan
dalam program acara. Pihaknya tidak perlu lagi menunggu 13 episode.
Jika tiga episode jika rating tidak bagus, bisa langsung dieksekusi. ujarnya.
Dia menambahkan, rating tetap menjadi acuan dan performa tayangan

119
Quo Vadis Televisi?

juga dipantau setiap hari (www.kpi.go.id). Televisi memprioritaskan rating


yang tinggi. Rating merupakan salah satu indikator tayangan televisi
ditonton oleh masyarakat. Rating menjadi tolok ukur sejauh mana program
tersebut diakses banyak masyarakat dan ini berarti mendatangkan pundi-
pundi uang dalam bentuk iklan.
Rating didapat dengan melakukan survei ke berbagai kota seperti
Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta,
Palembang, Denpasar, Banjarmasin, menggunakan alat yang bernama
panel TAM (Television Audience Measurement) atau GG TAM yang
dikeluarin oleh AGB Nielsen. Alat inilah yang jadi pemacu industri media
untuk menyajikan tayangan semenarik mungkin. Definisi menarik adalah
rating tinggi. Meskipun alat ini dikatakan tidak valid oleh banyak orang,
namun alat ini yang dirasakan cukup representatif.
Tayangan televisi yang memperoleh rating pemirsa yang tinggi
cenderung menjadi incaran bagi para pengelola stasiun siaran. Rating
dalam penyiaran program televisi memberi jaminan income atau
pemasukan dari iklan yang menyertai program. Pada umumnya tayangan
hiburan yang menarik memperoleh rating tinggi sementara tayangan yang
bersifat informasi dan pendidikan memperoleh rating rendah.
Data BPS tahun 2006 (Kompas, 31/07/2010) menyebutkan, masyarakat
lebih memilih menonton televisi (85,95), dan atau mendengarkan radio
(40,35), membaca koran (23,5 persen). Data ini menunjukan bahwa media
televisi sekarang sebagai media yang paling banyak diakses masyarakat.
Hampir 86 persen masyarakat mengakses media televisi, berarti media
televisi memiki efek yang dapat mempengaruhi orang banyak. Dengan
daya hipnotisnya, penetrasi yang hampir tanpa batas, dan efektivitas
media audiovisual ini, menjadikan televisi pada posisi yang sangat
strategis, konsekuensi logikanya adalah munculnya berbagai kepentingan
yang saling berdesakan, baik politik, bisnis, pendidikan, hiburan, dan lain-
lain.
Fungsi Televisi Yang Ideal
Sebagai media, televisi berfungsi menyambaikan informasi yang benar
kepada masyarakat. Informasi yang benar dapat memiliki fungsi sebagai
pendidik bagi masyarakat, bukan berorientasi kepentingan komersial yang
hanya diukur dengan rating. Menurut Haryatmoko (2007: 19) informasi
yang benar mencerahkan kehidupan. Ia membantu menjernihkan
pertimbangan untuk bisa mengambil keputusan yang tepat. Informasi

120
“Melihat Kembali” TVRI

yang tepat menjadi sarana pendidikan yang efektif. Ia membuka peluang


memperbaiki nasib seseorang atau kelompok. Informasi yang benar dapat
mendidik masyarakat. Masyarakat memiliki tambahan pengetahuan dan
mampu untuk menentukan pilihan yang tepat dan kritis berdasarkan
informasi, bukan pencitraan.
Sebagai industry dan organ kapitalisme, televisi dituntut mencari
keuntungan sebesar-besarnya untuk tetap bertahan hidup dan
memenangkan persaingan. Hariatmoko (2007: 1) menambahkan derap-
langkah realitas sangat diwarnai oleh struktur pemaknaan ekonomi yang
dirasakan menghambat idealisme itu. Dinamisme komersial seakan
menjadi kekuatan dominan penentu makna pesan dan keindahan. Logika
pasar mengarahkan pengorganisasian sistem informasi. Banyak pimpinan
media yang berasal dari dunia perusahaan mau membenarkan logika
pasar tersebut. Realitas pasar ini menggambarkan betapa media berada
di bawah tekanan ekonomi persaingan yang keras dan ketat.
Bertahan hidup dengan mencari pemasukan. Pemasukan didapat jika
media ditonton oleh banyak orang sehingga menarik pengiklan. Pengiklan
datang karena mereka berpikir bahwa media ini efektif karena dapat
ditonton oleh banyak orang. Di sini televisi mulai tergoda untuk berpikir
praktis. Salah satunya, dengan membuat tayangan-tayangan yang ‘disukai
masyarakat’.
Dedy Iskandar Muda (2003: 7) mengatakan, stasiun televisi dapat
memiih program yang menarik dan memiliki nilai jual kepada pemasang
iklan, sementara perusahaan produksi acara televisi dapat meraih
keuntungan dari produksinya. Di Indonesia kecenderungan televisi swasta
sudah mulai mengarah kepada sistem di Amerika. Ini dimulai dari
garapan-garapan sinetron, kuis, dan beberapa acara hiburan lainnya. Cara
seperti ini memang sangat menguntungkan bagi stasiun televisi tersebut
karena semuanya dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan bisnis, yaitu untung dan rugi.
Terjadi disorientasi dari sifat mendasar dari televisi, dari medium untuk
mencerahkan kehidupan masyarakat menjadi medium yang meraup
keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini melupakan esensi dari sifat
pencerahan tadi. Sifat memberikan tayangan yang mendidik dilupakan
dan diganti dengan tayangan-tayangan yang bersifat mendatangkan
keuntungan. Ini berarti tidak ada media televisi yang ‘merelakan dirinya’
sebagai media pendidikan bagi masyarakat. Seakan mereka lepas tangan
dari tanggung jawab bersama untuk mencerdaskan bangsa. Ini berarti,

121
Quo Vadis Televisi?

tidak ada media televisi yang menjadi tumpuan untuk memberikan


pencerahan masyarakat karena semua telah berubah orientasi: mengejar
rating.
Mengembalikan Televisi Publik
Dalam titik ini, harus ada televisi yang independen dalam pendanaan
sehingga tidak berorientasi pada iklan dan rating. Televisi ini harus idealis,
menjadi televisi pendidikan bagi public dan menjadi ‘ruang publik’ yang
memfasilitasi berbagai kelompok masyarakat. Kami berpikir untuk
‘melihat kembali’ Televisi Republik Indonesia (TVRI). Melihat kembali
berarti (1) menata kembali manajeman sampai programnya dan (2)
menyaksikan kembali TVRI kaerna TVRI menyajikan acara-acara yang
menarik, mengemban misi pendidikan dan patut dibanggakan. Apalagi
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor
13 tahun 2005 menyatakan bahwa TVRI adalah Lembaga Penyiaran Publik
yang bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi melayani
masyarakat. Dengan payung undang-undang ini, TVRI dapat digunakan
sebagai media yang benar-benar melayani masyarakat. Media ini dapat
dijadikan sebagai pedoman dan ruang bersama seluruh publik di
Indonesia.
Sejarah dan latar belakang TVRI memang memosisikan TVRI pada
posisi dan fungsi yang tidak tepat. Plato melimpahkan kekuasaan pada
Negara sehingga Negara berhak mengatur segala-galanya, termasuk pers.
Sementara Lenin menempatkan pers dalam kerangka besar kepentingan
partai (Lan, 2002; 52). Mungkin percampuran fungsi pers antara Plato
dan Lenin sangat cocok disamakan dengan fungsi TVRI pada saat era
Orde Lama dan Orde Baru. Di era Presiden Sukarno, TVRI menjadi alat
propaganda nasionalisme dan demokrasi terpimpin. Di era Orde Baru,
TVRI tak ubahnya alat politik untuk memuluskan konsensus nasional
tentang pembangunan, persatuan bangsa dan stabilitas politik yang secara
tidak langsung menguntungkan kelompok Golongan Karya.
Di era reformasi, kondisinya tetap sama. Berbagai keputusan
pemerintah terhadap TVRI dianggap mempunyai tujuan politik sehingga
memunculkan kecurigaan berbagai pihak. Mulai dari perebutan jajaran
komisaris antarpartai, dualisme TVRI hingga keputusan presiden yang
bertolak belakang dengan fungsi TVRI. Keputusan yang dianggap paling
netral dan tidak dianggap berbau politis adalah status TVRI sebagai televisi
public yang mempunyai tugas dan fungsi: memberikan pelayanan

122
“Melihat Kembali” TVRI

informasi, pendidikan dan hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial,
serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan
masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkau
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
TVRI seharusnya dapat dijadikan rujukan mengenai tayangan yang
memiliki idealisme nilai dan melayani masyarakat untuk dapat berpikir
kritis, lepas dari semua orientasi mencari rating, keuntungan, dan kepen-
tingan politis. Ruang publik penyiaran mencerminkan kemajemukan nilai
dalam masyarakat, ramah keluarga, tidak bias gender, tidak diskriminatif,
menghibur tetapi juga memberikan nilai tambah dalam masyarakat.
Keberadaan TVRI sebagai televisi publik mengharuskan segenap
jajarannya untuk menampilkan tayangan atau program yang bermanfaat
untuk kepentingan publik. Hal ini terkait dengan fungsi lembaga
penyiaran yang merupakan media komunikasi massa yang mempunyai
peran penting dalam kehidupan sosial budaya, politik, dan ekonomi yang
memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya
sebagai media informasi, hiburan, serta kontrol sosial, dan sekaligus
sebagai perekat bangsa.
Program-program TVRI harus terhindar dari hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan, memancing emosi negatif, sadisme, tidak
mendidik, melanggar etika, dan norma agama. Peralihan status TVRI
menjadi televisi publik memiliki kewenangan otonom yang lebih mandiri.
Diakui, TVRI memang memerlukan waktu yang lama untuk menghapus
citra historisnya sebagai ‘corong pemerintah’. Hal itu terkait masa Orde
Baru dulu. Namun sekarang TVRI sebagai televisi publik, harus tampil
beda, baik dalam format tayangan maupun isi siarannya.
Anggaran APBN untuk belanja TVRI yang hanya sekitar Rp 500 miliar
pertahun—jauh di bawah dana televisi swasta yang rata-rata Rp 1,5 triliun
per tahun—perlu dikoreksi. Dengan dana sejumlah itu, TVRI belum dapat
bersaing dengan televisi-televisi swasta, terutama untuk pengadaan alat
yang memungkinkan kualitas gambar yang bagus dan peningkatan
standar gaji bagi para pegawainya sehingga dapat menjaga independensi
terhadap sogokan-sogokan.
TVRI harus mewakili semua kalangan, sebagai wadah bersama, karena
sifatnya dari rakyat dan untuk rakyat. TVRI bukan hanya menjadi alat
propaganda budaya Jawa seperti era Suharto, namun dapat diakses oleh
semua golongan. TVRI harus membantu daerah-daerah yang tertinggal
menjadi berubah dan tidak semata-mata berpatokan pada rating.

123
Quo Vadis Televisi?

Tantangan utamanya bagaimana mengubah isi siaran TVRI sehingga


menarik bagi penonton. Jika kita membandingkan isi siaran TVRI dan NHK
(Jepang), dua stasiun televisi tersebut sama, namun yang membedakan adalah
cara penyajiannya. Dalam membuat program, televisi publik perlu melibatkan
masyarakat untuk merencanakan isi dan kemasan. Perdebatan untuk
mengemas acara amat diperlukan agar nilai-nilai kepublikan mengkristal
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Semakin kritisnya penonton televisi, semakin banyak tuntutan untuk
meningkatkan baik kualitas maupun kuantitas siaran TVRI (Wahyudi,
1984;13). TVRI harus menampilkan Indonesia secara menarik dalam
pemberitaannya. Menarik belum tentu hal-hal yang bagus, namun
bagaimana program itu dikemas secara lebih menarik dan berbeda. Bila
itu semua berhasil, maka tak mustahil menyandingkan TVRI dengan NHK
(Jepang) dan BBC (Inggris).

Daftar Pustaka
Haryatmoko. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan
Pornografi.Yogyakarta:Kanisius, 2007
Intani, Retno ZA. 2009. TVRI Yang Terlupakan. (http://nasional.kompas.com/read/
2009/08/24/02543179/TVRI.yang.Terlupakan), 17 Agustus 2010 pukul 21.12 WIB
Kompas, Sabtu, 31 Juli 2010
Lan, May. Pers, Negara dan Perempuan.Yogyakarta:Kalika, Cetakan Pertama, 2002.
Muda. Deddy Iskandar. Jurnalisme Televisi: menjadi Reporter Profesional.Bandung :
PT Remaja Rosdakarya, 2003
Pribadi, Benny A dan Bambang Sutjiatmo. 2009. Pemanfaatan Siaran Televisi
Pendidikan. (http://lppm.ut.ac.id/publikasi/ptjj/9_A5-benny-edit.pdf), 17
Agustus 2010 pukul 20.58 WIB.
Puspasari, Eka dan Mohammad Adam. 2010. Pemerintah Harus Tambah Anggaran
TVRI dan RRI (http://nasional.vivanews.com/news/read/120851-
pemerintah_harus_tambah_anggaran_tvri_dan_rri), 17 Agustus 2010 pukul
21.41 WIB.
Ulum, Akhmad Samsul. 2006. Televisi untuk Kepentingan Bisnis. (http://
www.suaramerdeka.com/harian/0608/22/opi04.htm), 17 Agustus 2010 pukul
21.01 WIB.
Wahyudi, J.B. Jurnalistik Televisi: Tentang dan Sekitar Siaran Berita TVRI.
Bandung:Penerbit Alumni, 1985.
www. tvri.co.id, diakses pada 17 Agustus 2010.
www.agbnielsen.co.id, diakses 17 Agustus 2010.
www.kpi.go.id, diakses pada 17 Agustus 2010.

124
Televisi sebagai Ruang Publik dalam
Politik Demokrasi di Indonesia: Mungkinkah?
Salvatore Simarmata
Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

“At the heart of democracy is talk,” demikian Barber (1990: 174).


Demokrasi pada hakekatnya adalah perbincangan politik yang
didasarkan pada dan untuk mencapai kesepakatan bersama. Bukan
sekadar kesepakatan tanpa dasar, tetapi kesepakatan yang berlandaskan
kepentingan bersama. Bagi para pengagas demokrasi deliberatif yang
melihat partisipasi warga negara sebagai tulang punggung demokrasi,
political talk merupakan sebuah keharusan (Barber, 1990; Bohman, 1996),
agar tercapai kesepahaman (consensus) terkait model dan cara apa yang
terbaik dalam mewujudkan kepentingan bersama (Habermas, 1974).
Dalam demokrasi langsung pada zaman Yunani kuno, proses deliberasi
diperankan langsung oleh tiap-tiap warga Athena di polis tanpa perlu
mewakilkannya pada lembaga tertentu. Proses tersebut sangat berbeda
dalam demokrasi modern. Pada demokrasi sekarang, proses kesepakatan
politik bukan hanya diwakilkan, tetapi terjadi secara termediasi. Media
massa, khususnya televisi adalah yang utama dalam memerankan proses
mediasi tersebut. Televisi bahkan tampil sebagai aktor politik baru dalam
demokrasi liberal dewasa ini.
Masalah kemudian muncul ketika media pada hakekatnya tidak
dibentuk atas dan untuk mencapai kesepakatan bersama. Media terlebih
televisi pada dasarnya didirikan untuk kepentingan privat individu, yaitu:
mengejar profit. Televisi dengan sistem dual market-nya (McQuail, 2000),
berusaha untuk melipatgandakan kapital pemiliknya. Selain menjual
produk media dalam bentuk materi maupun jasa, televisi bertujuan untuk
menjual para penontonnya. Pembelinya adalah agen iklan dan perusahan
tertentu yang membutuhkan publikasi. Angka-angka hasil surve rating
menjadi ukuran bagi kesuksesan ‘pasar ganda’ televisi ini.
Di sisi lain, televisi seperti juga radio berbeda secara struktural dengan
media lain. Televisi beroperasi dengan menggunakan frekuensi gelombang

125
Quo Vadis Televisi?

radio yang merupakan sumber daya yang terbatas, sehingga


penggunaannya perlu diatur. Berbeda dengan televisi, surat kabar dan
majalah seperti sekarang ini di Indonesia, tidak perlu diatur secara ketat
sebab siapa saja yang punya modal bisa mendirikan media tersebut.
Artinya, televisi menjadi lebih rawan terhadap represi kekuasaan lewat
intervensi kekuasaan baik dalam bentuk undang-undang, pencabutan izin,
maupun tindakan kekesaran, khususnya pada rezim otoritarian.
Tetapi, rezim otoritarian di Indonesia sudah lengser. Lalu, apakah
media televisi telah memberi kontribusi yang substantif bagi konsolidasi
demokrasi? Apakah dengan tumbangnya rezim otoritarian, media televisi
bisa menjadi ruang publik di Indonesia? Dengan sistem demokrasi
perwakilan, mungkinkah secara struktural televisi menfasilitasi demokrasi
deliberatif di era pemilihan langsung sekarang ini?
Menelisik peran televisi dalam konteks dinamika politik Indonesia
merupakan bagian dari upaya konsolidasi demokrasi itu sendiri. Sebab,
pertama, demokrasi tidak mungkin hidup tanpa media yang demokratis,
otonom, dan plural. Kedua, munculnya gejala industrialisasi politik
(Kompas, 15/06/2010). Dewasa ini politik bukan lagi persoalan politik
semata. Politik telah menjadi sebuah korporat yang ditandai dengan
munculnya kecenderungan industrialisasi politik. Proses pemilihan politik
(nasional dan lokal) telah sepenuhnya melibatkan banyak pihak dan
kepentingan, seperti konsultan politik, lembaga survei, dan sponsor, di
mana citra menjadi yang utama daripada program dan ideologi kandidat.
Sejak pemilu langsung tahun 2004, serangan imaji-imaji iklan lebih
mendominasi layar kaca ketimbang diskusi hangat tentang rencana
strategi implementasi agenda politik yang feasible. Gejala ini menempat-
kan televisi sebagai alat politik sempurna untuk membangun citra, dan
hubungan simbiosis mutualistik antara keduanya pun terbentuk.
Ketika citra menjadi tumpuan, rasionalitas menjadi tidak penting.
Banalitas politik demokrasi tergerus oleh permainan citra-citra yang
membentuk realitas palsu, sebuah simulakra, kata Jean Baudrillard (1992).
Sebagai alasan ketiga, sebaliknya pada saat yang sama masyarakat
membutuhkan informasi yang beragam dan relevan dengan kehidupan
dan kepentingan sehari-hari mereka. Informasi diperlukan oleh
masyarakat untuk melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan
sehingga mereka dapat mengambil sikap politik yang pada akhirnya
menguatkan sistem demokrasi yang substantif, bukan sekedar demokrasi
prosedural-makanistis. Alasan terakhir, mencuatnya kecenderungan elit

126
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

partai sebagai pemilik televisi tertentu, sebuah paralelisme politik yang


bisa berbahaya bagi demokrasi.
Sesungguhnya, bukan hanya rakyat biasa, para elit politik juga sangat
tergantung pada informasi yang disediakan oleh media lewat
pemberitaanya. Hanya dengan informasi yang cukup, deliberasi politik
baik oleh para politisi, pengamat, akademisi, dan rakyat biasa dapat
terwujud secara berkualitas. Sejalan dengan itu, televisi sebenarnya
menggunakan fasilitas publik, yaitu gelombang frekuensi yang dikelola
oleh negara. Maka bentuk pertanggung-jawaban publik tersebut
hendaknya dapat diwujudkan lewat pelayanan televisi dalam
menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk
membangun komunitasnya, memperbaiki kehidupannya, serta terdorong
untuk membela nilai-nilai demokrasi demi kemajuan bangsanya.
Media dan Demokrasi
Posisi media dalam demokrasi telah lama dikaji dalam konteks
komunikasi politik, khususnya yang berkaitan dengan media effect (a.l.
Lasswell, et al., 1980; McNair, 2003, Crigler, 1999). Di sisi lain teori-teori
klasik telah dikembangkan untuk melihat bagaimana media menjadi
variabel dependen atas sistem politik, khususnya di negara-negara otoriter
(Siebert, et. al., 1963; Hachten, 1989; McQuil, 2000). Dalam negara otoriter
misalnya, media ditempatkan sangat lemah dan menjadi bagian dari alat
propaganda negara. Tidak ada tanda-tanda perbincangan politik secara
terbuka di sana.
Dari kedua tinjauan tersebut dapat ditarik benang merah hubungan
antara media dan demokrasi merupakan sebuah hubungan timbal-balik.
Resiprokalitas hubungan tersebut dikembangkan oleh Mughan dan
Gunther (2000) untuk mengkaji media dalam demokrasi lewat pendekatan
mikro dan makro. Setelah melihat kajian yang sudah disebutkan
sebelumnya, pendekatan ini bukanlah sesuatu yang baru, tetapi integratif.
Sebuah pendekatan integratif tentu akan mampu membaca fenomena
secara mendalam dan komprehensif. Di samping itu, diperlukan konsep-
konsep kekinian untuk mengambarkan dinamika terbaru atas hubungan
media dan politik dalam konteks demokrasi liberal dewasa ini.
Pendekatan makro diterapkan dengan mengkaji struktur sistem media
dan bagaimana sistem tersebut memengaruhi politik. Pada umumnya,
karakter sistemik yang dibahas adalah pola peraturan pemerintah, pola
kepemilikan media, pola program acara, struktur audiens, dan tingkat

127
Quo Vadis Televisi?

penonton (viewership). Sementara pendekatan mikro lebih fokus pada


investigasi efek komunikasi politik pada level individual, biasanya pada
musim kampanye menjelang pemilu (Mughan dan Gunther, 2000). Tetapi
dalam level makro, Gunther dan Mughan (2000) juga melihat munculnya
faktor ekonomi yang mempengaruhi posisi media dalam demokrasi
dalam bentuk liberalisasi ekonomi dan liberalisasi media.
Pendekatan filosofis dalam mengembangkan teori pers oleh Siebert,
et al. (1963), teoritisasi dinamis dari Hachten (1989), dan kategorisasi
model dari Hallin dan Mancini (2005) merupakan kajian level makro.
Berikut digambarkan pemodelan teoritis tersebut:

Tabel 1: Faktor Pengaruh Level Makro pada Media1


(Diolah dari: Sibert et al, 1963; Hallin & Mancini, 2005; dan Hachten, 1989)
Model Sistem Media
No Tokoh Faktor Makro
Demokratis Non-Demokratis
1 Siebert, et al. Social and political structures Libertarian Authoritarian
(1963) Philosophical rationales Social responsibility Soviet communist
2 Hachten Political system and Western concept Authoritarian
(1989) historical traditions Communist
Developmental
Revolutionary
3 Hallin & Mancini Media sirculation Polarized pluralist
(2005) Political parallelism Democratic corporatist
Professionalism Liberal model
State intervention

Persamaan di antara model di atas adalah: politik merupakan variabel


pengaruh bagi keberadaan media. Konsep Hachten (1989) tidak jauh
berbeda dengan pemikiran klasik dari Siebert et al. (1963). Kebaruan
pada Hachten adalah munculnya model baru yang dipengaruhi oleh
pemanfaatan media sesuai dinamika masyarakatnya, seperti model
pembangunan. Pada kesempatan kali ini, kita akan menfokuskan
pembahasan pada model tipe demokratis. Tujuan dari internalisasi model
ini adalah untuk melihat faktor-faktor makro yang masih relevan dalam
melihat bagaimana media di Indonesia berperan/tidak berperan bagi
pengembangan demokrasi sebagaimana mestinya. Dari model-model di
atas, pemikiran Hallin dan Mancini (2005) akan dijadikan sebagai dasar
teoritis.

128
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

Hallin dan Mancini (2005) mengusulkan tiga model media dalam


demokrasi dengan berpijak pada empat indikator empiris, yaitu: (1)
Pertumbuhan pasar media dilihat dari tingkat sirkulasi media; (2) Political
Parallelism dimana antara media dan partai politik memiliki kemiripan.
secara ideologis; (3) Profesionalisme wartawan dan kinerja jurnalistiknya;
dan (4) Tingkat intervensi negara terhadap media. Berdasarkan empat
kriteria tersebut, Hallin dan Mancini menemukan tiga bentuk model
media, seperti terlihat pada tabel di atas.
Jika kita korelasikan antara keempat indikator ini dengan sistem media
ideal, maka akan terbentuk empat hipotesis berikut: pertama, semakin
tinggi tingkat pertumbuhan pasar media, maka makin independenlah
media tersebut terhadap pengaruh dari luar khususnya negara. Media
yang sukses secara ekonomi akan lebih bebas dari intervensi politik,
ketimbang media yang kurang sehat secara bisnis. Media yang independen
adalah pilar penting bagi demokrasi. Kedua, keragaman ideologi politik
di masyarakat akan lebih baik jika juga terrepresentasi dalam media.
Walaupun indikator ini mengandung paradoks tersendiri yang nanti akan
dijelaskan. Dalam konteks ini, sejauh keragaman tersebut masih dalam
batas nilai-nilai demokrasi dan koridor hukum. Ketiga, semakin tinggi
profesionalisme wartawan maka semakin bagus kinerja media tersebut.
Profesionalisme ini biasanya ditandai oleh kode etik, organisasi jurnalis,
perlindungan terhadap jurnalis, prinsip jurnalisme seperti objektivitas,
dan lain-lain. Dan keempat, makin rendah intervensi negara terhadap
media, makin bagus bagi peran media dalam demokrasi. Keempat
proposisi tersebut menjadi pintu masuk untuk melihat bagaimana peran
media dalam demokrasi, termasuk di Indonesia.
Politik demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat
mengesankan. Banyak pujian datang dari negara lain dan lembaga
internasional atas kesuksesan Indonesia melakukan konsolidasi demokrasi
(The Jakarta Post, 28/06/2010). Tetapi banyak ahli menilai bahwa demokrasi
yang dinilai sebagai kesuksesan tersebut masih sebatas demokrasi
minimalis, sekadar pelaksaan pemilu yang demokratis. Demokrasi secara
substansial masih jauh dari kenyataan, atau oleh Boni Hargens disebut
sebagai demokrasi permukaan (Kompas, 27/01/2009). Demokrasi
substansial terwujud ketika kesejahteraan masyarakat menjadi fokus
utama dalam usaha-usaha politik secara nyata, di mana hasil
pembangunan dirasakan oleh masyarakat sebagai bentuk kemerdakaan
yang hakiki. Terbebas tidak hanya dari aspek fisik, seperti makanan,

129
Quo Vadis Televisi?

pakaian, kesehatan, tetapi juga dari aspek kebebasan untuk berkarya,


berkumpul, dan mengembangkan kesejahteraan masyarakatnya.
Realitasnya, politik Indonesia masih jauh dari cita-cita tersebut. Krisis
demokrasi perwakilan sebagaimana disinggung oleh Barber (1990)
menguap di tengah disorientasi lembaga-lembaga politik di tanah air.
Ketika realitas politik menunjukkan gambar yang buram, media menjadi
bagian dari struktur yang tidak mencerdaskan tersebut. Apa yang kita
saksikan di televisi akhir-akhir ini lebih banyak berita bersifat elitis. Mulai
dari pergantian sekretaris jenderal partai, krisis koalisi, hingga konflik
legislatif-eksekutif. Ketika hari berganti, muncul berita tentang kasus
korupsi para pejabat negara yang makin melukai rasa keadilan. Di tengah
kesulitan ekonomi masyarakat, televisi menyajikan tontonan yang
membuat masyarakat semakin merasa dipinggirkan. Krisis demokrasi
perwakilan karena ulah para elit ini membuat masyarakat makin apatis
terhadap politik. Konsekuensinya, warga negara semakin jauh dari
keterlibatan politik. Di satu sisi karena ulah elit politik, di sisi lain media
tidak memberikan informasi yang substantif berkaitan dengan
kepentingan mereka. Pada akhirnya, rendahnya partisipasi politik
berdampak buruk pada kualitas demokrasi.
Dalam tataran inilah televisi semakin mendesak untuk direvitalisasi,
demi menegakkan demokrasi. Media televisi mestinya dapat lebih
berperan tidak hanya sebatas pengawas (watch dog), tetapi sebagai ruang
publik ideal. Dengan kata lain televisi mestinya tidak hanya sebatas sarana,
melainkan juga sebagai ruang untuk deliberasi demokratis. Dalam ruang
publik perlu ditegakkan pluralitas pikiran dan partisipannya, sehingga
media televisi tidak berubah menjadi alat propaganda elitis yang pervasif.
Alih-alih mencerdaskan, televisi bisa terjerumus menjadi aktor hegemoni
kultural. Paletz dan Etnman (1981: 194) menyatakan bahwa: By granting
the elites substantial control over the content, emphases, and flow of public opinion,
media practices diminish the public’s power. Eliminasi atas publik ini bisa
disengaja oleh media, bisa juga tidak disadari.
Di tengah proses deliberasi yang termediasi sekarang ini, kredibilitas
media menjadi penentu keberhasilan deliberasi publik, sehingga dapat
mewujudkan apa yang disebut Gamson (2001): collective action frames.
Kerangka tindakan kolektif, menurut Gamson adalah: some sense of collective
efficacy and deny the immutability of some undesirable situation. They empower
people by defining them as potential agents of their own history (Gamson, 2001:
59). Peran media ini membutuhkan komunikator professional, orang-

130
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

orang yang tidak hanya membantu para ahli untuk saling berkomunikasi,
tetapi juga mengumpulkan, menjelaskan, memperdebatkan, dan
menyebarluaskan informasi dan ide-ide terbaik tentang kebijakan publik
sehingga dapat ditangkap oleh warga masyarakat biasa (Page, 1996: 5).
Warga negara yang well-informed akan membuat rational political choices.
Pilihan politik rasional penting bagi demokrasi, bukan hanya karena
landasan pembuatan keputusannya tetapi juga karena dengan demikian
masyarakat terdorong untuk berpartisipasi. Partisipasi politik yang tinggi
niscaya menciptakan budaya politik yang kuat. Barber (1990)
menyebutnya: strong democracy. Sebagai antithesis terhadap thin democracy,
Barber menegaskan: Strong democracy is defined by politics in the participatory
mode: literally it is self-government by citizens rather than representative
government in the name of citizens. Active citizens govern themselves directly
here, not necessarily at every level and in every instance, but frequently enough
and in particular when basic policies are being decided and when significant power
is deployed. Self-government is carried on through institutions designed to
facilitate ongoing civic participation in agenda-setting, deliberation, legislation,
and policy implementation (in the form of ‘common work’” (Barber, 1984: 151).
Televisi menjadi salah satu dari berbagai institusi yang berfungsi untuk
menfasilitasi partisipasi warga dalam pembentukan agenda politik,
deliberasi, legislasi, dan implementasi kebijakan politik. Pekerjaan ini
ditempatkan sebagai common work, sebagai dasar terbentuknya apa yang
disebut Gamson sebagai collective action frames. Pusat dari demokrasi
partisipatif adalah warga negara (the citizens). Maka demokrasi deliberatif
yang menempatkan partisipasi warga negara sebagai pilar utama dalam
sistem politik sangat relevan dengan kehadiran teknologi media baru.
Demokrasi deliberatif, menurut Bohman (1996) secara teoritis memiliki
empat ciri, yaitu: (1) menekankan pentingnya deliberasi untuk mencapai
keputusan politik; (2) menolak reduksi politik dan pengambilan keputusan
pada rasionalitas instrumental-strategis; (3) bersifat proseduralis; dan (4)
menjungjung universalitas.
Dalam demokrasi deliberatif terdapat kekuatan tindakan komunikatif
dalam forum publik. Proses deliberasi dalam forum terbuka tersebut
adalah: sebuah proses di mana warga negara berusaha untuk meyakinkan
warga lainnya untuk menerima kebijakan yang diusulkan dengan
berlandasan penggunaan reason di hadapan publik (public use of reason)
lewat proses dialog deliberatif yang take and give (Bohman, 1996: 15).
Demokrasi yang dibangun secara diskursif lewat ruang publik tersebut

131
Quo Vadis Televisi?

merupakan “rumah” bagi konstestasi berbagai wacana, di mana pada


proses komunikasi tersebut harus dipenuhi tiga syarat, yaitu: mampu
merangsang pemikiran reflektif, non-koersif, dan mampu menghubung-
kan pengalaman individual/kelompok dengan sebuah prinsip yang lebih
umum (Dryzek, 2003: 9-10).
Sejalan dengan itu, Bohman (1996) menyebutkan bahwa proses
deliberasi dapat berhasil jika dipenuhi tiga syarat, yaitu: (1) tidak ada
dominasi dalam proses deliberasi di mana ada seseorang atau kelompok
yang memaksakan kekuasaannya untuk kepentingan tertentu; (2) adanya
kesetaraan di mana setiap warga negara memiliki akses yang sama
terhadap proses pengambilan keputusan; dan (3) deliberasi akan bersifat
demokratis ketika dilakukan secara publik.
Media televisi memiliki kualitas yang sangat tepat mengembangkan
model demokrasi deliberaif ini. Dua bentuk genre berita televisi yang
paling tepat untuk demokrasi delibertif adalah television debate dan current
affairs, karena dimungkinkannya terjadi dialog. Sifat mediumnya yang
mampu menghadirkan pesan audio-visual menjadi kekuatan tersendiri
ketika ditayangkan secara live untuk sebuah acara dialog. Diskusi
“interaktif” yang menghadirkan berbagai kalangan, mulai dari pemerin-
tah, warga masyarakat, akademisi, LSM, dan lain-lain, akan menciptakan
kesepahaman (mutual understanding) yang lebih komprehensif. Secara
struktural, pada Bagan 1 digambarkan proses interaksi tersebut
Ruang publik (public sphere) merupakan sebuah ruang yang bebas dari
tekanan kekuasaan negara dan ekonomi, di mana warga negara
melakukan pembicaraan politik atau deliberasi guna mewujudkan suatu
kesepahaman bersama terkait dengan kepentingan umum yang lebih luas.
Konsep dasar ruang publik ini umumnya didasarkan pada pemikiran
Jurgen Habermas. Habermas mengungkapkan beberapa defenisi tentang
ruang publik tersebut sebagai berikut: “The public sphere is a realm of our
social life in which something approaching public opinion can be formed
(Habermas 1974: 49); private persons making public use of their reason
(Habermas 1989: 27); populated by private people gathered together as a public
and articulating the needs of society with the state (hal.176).”
Setidaknya ada empat “elemen” penting dalam ruang publik, yaitu:
private persons, use of reason, needs articulation, dan public opinion. Jadi, debat
politik dalam acara televisi (TV debates) maupun pada program dialog
pada program current affairs merupakan upaya untuk merealisasikan
elemen-elemen penting tersebut.

132
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

The State/Government/Political Establisement

Trade Unions Public opinion

Editorials Features Political Parties

Pressure
groups News Media Business

TV Current
debates Affair

Public organizations Terrorist organizations

Citizens

Bagan 1. Televisi sebagai Ruang Publik


(Dikutip dari: McNair, 2003, hal. 20).

3. Media Televisi: Kapital vs Publik


Pada penjelasan sebelumnya telah diuraikan bahwa faktor makro
politik lebih dominan dalam menentukan ruang gerak media. Faktor
struktural tersebut terdiri dari peraturan pemerintah dan intervensi negara
terhadap media. Pengekangan terhadap media akibat struktur politik ini
umumnya terjadi di negara-negara otoriter, di mana kebebasan menjadi
barang langka.
Namun ketika kebebasan diraih, apakah media menjadi sejalan dengan
prinsip-prinsip demokrasi? Sayangnya jawabannya: tidak! Mughan dan
Gunther (2000) menengarai bahwa liberalisasi yang pada awalnya
meruntuhkan rezim otoriter, kemudian menumbuhkan liberalisasi media,
pada akhirnya media tidak serta-merta menunjukkan prinsip-prinsip

133
Quo Vadis Televisi?

demokrasi. Media dalam era kebebasan (demokrasi) disandera oleh


kekuatan yang dulu membebaskannya, yaitu kekuatan liberalisasi
ekonomi. Kapitalisme sebagai dasar liberalisasi mengeser media tidak
lebih dari sekadar pelipatgandaan modal.
Dalam prinsip pasar bebas, sebagai mesin penggerak kapitalisme,
media tidak lagi berupaya untuk memenuhi apa yang dibutuhkan oleh
‘publik’. Upaya-upaya yang dilakukan oleh media mulai dari
komodifikasi, spasialisasi, hingga strukturasi, dimaksudkan untuk
mengejar keuntungan belaka (Mosco, 1996). Media lebih terdorong untuk
menyediakan informasi yang paling banyak dicari, lepas dari diperlukan
atau tidak oleh masyarakat. Media lebih berorientasi mempertahankan
eksistensinya sebagai lembaga ekonomi. Profit menjadi prioritas utama
dibandingkan fungsi normatif yang harusnya dipengang oleh media. Pada
saat yang sama akses masyarakat terhadap media rendah terlebih untuk
menyuarakan aspirasi mereka.
Masyarakat juga kurang bisa memilih informasi yang lebih sesuai
dengan kepentingannya, karena patokan utama yang dipegang oleh media
adalah melayani kebutuhan mayoritas jenis informasi yang diinginkan
dalam kebijakan free-market information. Jenis informasi yang tersedia
(supplied) pada akhirnya adalah informasi yang paling banyak dicari
(demanded), lepas dari bermanfaat atau tidak bagi masyarakat. Akibatnya,
deliberasi demokratis lewat media lama niscaya terkikis oleh dorongan
kepentingan ekonomi media. Dalam situasi ini, Jurgen Habermas (1989)
pernah membongkar bahwa media yang mestinya berperan sebagai ruang
publik, telah ‘mengidap penyakit’ refeodalisasi ruang publik.2 Ruang
partisipasi politik lewat media akhirnya tertutup rapat. Penjajahan ruang
publik membuat oleh kukuatan luar yang menjadi pengerak nafas ruang
publik tersebut, membuat sesuatu yang publik (masalah politik misalnya)
menjadi tunguk pada logika yang ‘privat’. Colonization in this sense thus
means the almost unconditional surrender of politics … to the logic of the media
system (Meyer & Hinchman, 2002: 57).
Sebagian kalangan berpendapat, tidak salah jika media televisi menjadi
lembaga bisnis, dan beroperasi demi kepentingan bisnis. Apakah ada yang
salah dengan itu? Tentu tidak ada yang salah. Tetapi eksistensi media
pada dasarnya ditopang oleh kepercayaan masyarakat. Kepercayaan ini
yang melahirkan hubungan mutualisme yang baik. Kepercayaan tersebut
perlu dipelihara lewat kinerja media yang dapat memberi kontribusi bagi
kebaikan masyarakat. Maka sangat tepat McQuail (2000) menyebut media

134
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

sebagai “institusi sosial”, bukan media corporation misalnya. Institusi sosial


mengindikasikan adanya dimensi sosiologis atas keberadaan media
tersebut. Tanpa interaksi yang produktif antara media dan masyarakat,
maka media tersebut tidak akan eksis. Di samping alasan sosiologis ini,
ada alasan legal-politis yang lebih tegas untuk mendorong agar media
televisi menjungjung kepentingan publik.
Televisi di mana pun, termasuk di Indonesia menggunakan fasilitas
publik, yaitu gelombang siaran yang terbatas. Sumber daya tersebut
diserahkan kepada negara untuk dikelola demi kesejahteraan masyarakat.
Pada butir (b) bagian pertimbangan UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, dituliskan: bahwa spektrum frekuensi radio merupakan
sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus
dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945 (penekanan oleh penulis).
Sayangnya, kinerja media televisi di Indonesia terlebih 10 tahun
terakhir sangat dikendalikan oleh keseragaman, eksploitasi sisi human
interest, irrasionalistas, dan tubuh yang seksi. Semuanya demi
meningkatkan tingkat viewership. Singkat kata, the economy reigns! Dalam
situasi seperti itu, pemerintah sebenarnya harus turun tangan.
Negara sebagai bentuk kristalisasi kepentingan publik harus menjamin
terwujudnya prinsip kepublikan tersebut.3 Bentuk yang paling lazim
adalah penegasan fungsi pengawasan, serta menjalankan pengaturan
pemakaian gelombang sebagaimana telah diatur Undang-Undang. Fungsi
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga yang mewakili
kepentingan publik perlu mengandung sifat mengikat, bukan hanya fungsi
pengawasan normatif saja. Kemudian, evaluasi penggunaan gelombang
siaran pasti efektif untuk ‘meluruskan’ kepentingan publik dalam televisi.
Pasal 34 ayat 1 butir b, UU No. 32 Tahun 20002 Tentang Penyiaran berbunyi
demikian: “Izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk
jangka waktu 10 tahun”; ayat 6, berbunyi: “Izin penyelenggaraan
penyiaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin dan tidak
diperpanjang kembali”. Apakah mekanisme kontrol ini sudah dijalankan,
tampaknya kita masih harus menunggu political guts dari KPI.
Persoalan terbesar muncul ketika di era neoliberal ini, kehadiran negara
tidak hanya samar-samar, tetapi menjadi bagian dari kekuatan ekonomi
yang menggerogoti eksistensi ruang publik televisi di Indonesia.
Kedekatan antara penguasaha media televisi dengan pemerintah, bahkan

135
Quo Vadis Televisi?

menjadi bagian dari incumbent sangat berbahaya terhadap terwujudnya


televisi sebagai ruang publik. Tanda-tanda buruk lainnya adalah ketika
kekuatan politik dan kekuatan ekonomi, menyatu di dalam kepemilikan
media televisi seperti sekarang ini. Sehingga acap kali televisi tidak lebih
dari sekadar alat personal marketing kalau bukan corong propaganda
pemiliknya.
Politik dan Televisi di Indonesia
Sebelumnya saya telah menegaskan ada empat pintu masuk untuk
mengukur televisi sebagai ruang publik dalam demokrasi, yaitu: pertama,
semakin tinggi tingkat pertumbuhan pasar media, makin independenlah
media tersebut terhadap pengaruh dari luar. Kedua, keragaman, atau saya
menyebut: pluralitas ideologi politik di masyarakat akan lebih baik jika
juga terrepresentasi dalam media. Ketiga, semakin tinggi profesionalisme
wartawan maka semakin bagus kinerja media tersebut. Dan keempat, makin
rendah intervensi negara terhadap media, makin bagus bagi peran media
dalam demokrasi.
Indonesia sendiri tidak punya pengalaman yang ‘sehat’ tentang televisi
dalam demokrasi. Artinya belum ada sebuah periode di mana politik dan
media saling bekerja sama secara sinergis untuk memajukan nilai-nilai
demokrasi itu sendiri, walaupun awalnya televisi merupakan hasil pilihan
politik dari pemerintah. Televisi pertama Indonesia, TVRI yang didirikan
oleh Soekarno tahun 24 Agustus 1962 yang awalnya ditujukan untuk
‘mempromosikan’ kemampuan Indonesia di dunia internasional, ‘diubah’
menjadi alat politik negara selama kurang lebih 32 tahun. Bukan hanya
tidak boleh memberitakan informasi yang berbeda dari penguasa, TVRI
juga menjadi badan tersendiri untuk mengekang informasi yang
diberitakan oleh televisi swasta yang muncul awalnya tahun 1987. Setelah
mendominasi ruang keluarga selama 32 tahun lebih, TVRI akhirnya harus
bersaing dengan televisi swasta seperti RCTI, SCTV, TPI, ANTV, dan
Indosiar. State intervention pada masa itu juga tidak sekuat era sebelumnya.
Tetapi, sepak terjang televisi swasta ini selain tidak pernah menikmati
kebebasan yang sesungguhnya, pada dasarnya punya orientasi yang sama.
D’Haenens, et al. (2000) menemukan bahwa:
Generally, it can be said that the commercial stations are beginning to look
like because the fierce competition between them. Although RCTI, for
example, focuses a little more on the Indonesian society’s upper social and
economic echelons and TPI more on the lower ones, actual differences are

136
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

minimal. All commercial stations share the same aim: maximizing profits
(hal. 218).
Sejak reformasi media televisi mengalami perubahan yang besar, baik
dari segi struktur maupun fungsinya. Perubahan struktur disebabkan
karena munculnya stasiun televisi swasta baru sehingga tercipta kompetesi
di antara mereka. Perubahan fungsi tersebut juga dipengaruhi oleh
menjamurnya produksi budaya yang mengubah pola perilaku masyarakat.
Lengsernya Orde Baru, menempatkan media sebagai sumber informasi
yang penting dan dipercaya oleh masyarakat. Media televisi tidak hanya
banyak, tetapi mulai muncul perhatian serius pada aspek berita seperti
SCTV dan MetroTV, dan terakhir TVone. Pada era ini state intervention
murni sudah sangat longgar. Walaupun muncul wujud baru dari intervensi
ini ketika pemilik media memanfaatkan kekuasaan untuk menjamin
kebebasan sistem kapitalisme media. Alih-alih negara mengontrol dengan
sistem sensor yang represif, negara lebih menjadi alat kelas tertentu sebagai
warranty body atas kepentingan pengelola media.
Dalam bidang politik, perubahan fungsi ini makin signifikan ketika
televisi tidak lagi sebatas media publikasi. Media televisi tidak lagi
dipandang sebatas kerja jurnalistik yang akan meliput perhelatan politik
para aktor-aktor politik. Kini, televisi telah menjadi kekuatan politik
tersendiri bagi para aktor-aktor dan partai politik. Perubahan fungsi politik
media televisi ini dimobilisasi oleh semakin canggihnya strategi
komunikasi politik aktor dan partai politik dengan melibatkan para
professional seperti konsultan politik dan lembaga survei. Pada saat yang
sama para aktor politik menyadari rendahnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap politik dan lembaga-lembaga politik, sehingga
televisi dijadikan sebagai senjata ampuh untuk menggeser citra tersebut.
Apa yang ditakutkan kemudian adalah munculnya television politics, yang
nota bene berbeda dengan the real politics.
Media televisi di Indonesia menikmati kebebasan yang sangat besar,
sejak dihapuskannya Departemen Penerangan pada era pemerintahan
Abdurrahman Wahid. Tekanan negara terhadap media televisi juga makin
menurun termasuk dari pihak militer. Pada saat yang sama bermunculan
stasiun-stasiun televisi baru. Dunia jurnalistik juga mulai dibenahi dengan
membentuk berbagai lembaga organisasi keprofesian seperti Dewan Pers,
Ikatan Jurnalis Televisi (JTV), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan
berbagai organisasi media wacth. Di tengah itu semua, Indonesia memasuki
era konsolidasi demokrasi sambil berusaha keluar dari keterpurukan
137
Quo Vadis Televisi?

ekonomi akibat krisis ekonomi. Pantaslah kita berharap bahwa media


televisi akan semakin bergerak mendekati bentuk idealnya dalam
demokrasi.
Secara struktural media televisi di Indonesia telah memenuhi
indikator-indikator dasar dengan mana dia dapat memperjuangkan apa
yang menjadi kepentingan publik. Banyaknya stasiun televisi nasional
mestinya menjamin keragaman informasi politik yang disebarluaskan.
Dengan alasan itu pula berarti bisnis televisi (media economy) mengalami
kemajuan sehingga dia tidak tergantung pada sumbangan pemerintah
seperti terjadi pada masa orde baru. Kemudian makin ada kesadaran
tentang bagaimana para pekerja media televisi mestinya dapat
menegakkan profesionalisme mereka. Selain dibuatnya kode etik jurnalis,
lembaga-lembaga independen juga banyak dibentuk sebagai wujud
kepedulian pada jurnalisme yang professional. Dengan jurnalisme
professional, media televisi dapat terhindar dari pemberitaan yang
bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Tetapi pendekatan di atas bisa jadi masih politically one sided. Analisis
tersebut kurang memperhatikan kekuatan ekonomi yang bahkan jauh
lebih dominan dalam media televisi. Media televisi sangat tergantung
dengan iklan. Hal ini berbeda dengan media cetak seperti surat kabar
dan majalah, atau film. Media televisi memiliki sumber revenue utamnya
dari iklan, sementara surat kabar bisa dari iklan dan juga hasil penjualan
oplah. Sehingga media televisi secara politik sangat tergantung pada
kekuatan iklan. Pada saat yang sama kandidat pejabat publik dan partai
politik secara lihai telah melihat kelemahan televisi ini. Bersedia tidaknya
sebuah stasiun televisi untuk menyiarkan materi iklan politik tertentu tidak
ditentukan apakah isi iklan tersebut layak atau tidak dikonsumsi oleh
publik, apakah iklan tersebut mencerdaskan pemilih atau tidak, tetapi
lebih ditentukan oleh apakah partai politik sanggup membayar biaya
tayang iklan tersebut.
Ketika uang yang menjadi penentu kesediaan televisi untuk
menayangkan iklan politik partai-partai dan aktor politik, maka hukum
klasik pasar berlaku. Kandidat dan partai politik dalam pemilu yang tidak
kaya misalnya sulit untuk punya akses terhadap media televisi. Dengan
demikian ‘partai-partai besar’ saja yang akan menguasai jagat ruang publik
tersebut. Kompetisi politik dalam kontes pesta demokrasi berubah menjadi
persaingan bisnis. Masalahnya spirit bisnis, sangat jauh berbeda dengan

138
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

spirit demokrasi. Maka pada situasi seperti ini, semua indikator politik
makro yang disebutkan sebelumnya menjadi tidak relevan.
Kecenderungan akomodasi media televisi ini juga berdampak pada
corak pemberitaan yang elitis. Pemberitaan yang tidak jauh dari seputar
kekuasaan, di mana masyarakat tidak mengalami fenomena sosial politik
yang ditampilkan di ruang publik. Makna ‘publik tidak lagi berkorelasi
dengan res public, tetapi seperti kembali ke abad 16 dan 17, di mana ‘publik’
atau ‘kepublikan’ sendiri hanya muncul dalam konteks ‘perwakilan’, atau
representation lewat kehadiran ‘lembaga publik’, ‘pejabat publik’
(Habermas, 1991: 5). Muncul keseragaman corak dan wacana pemberitaan
media televisi oleh karena memiliki kerangka kerja yang sama. Karakter
buruk ini tidak sehat bagi demokrasi, sebab “publik” mestinya hadir
sebagai aktor politik yang memiliki kemampuan untuk secara bersama-
sama ‘melampaui perbedaan di antara mereka’, mencapai suatu
kesepakatan bersama. Kualitas deliberasi ini ditentukan oleh kekayaan
akan perbedaan informasi yang dipertukarkan.
Jurgen Habermas (1984) menyatakan untuk mencapai ruang publik
ideal, deliberasi publik mestinya didasarkan pada kualitas-kualitas
berikut: comprehensibility, truth, truthfulness, rightness. Sementara Steven
Schneider (1997), dengan mengembangkan konsep teori demokrasi
Habermas menemukan empat kriteria ruang publik ideal: kesetaraan
(equality), keragaman (diversity), saling berbalasan (reciprocity), dan kualitas
(quality). Kelengkapan berarti informasi yang dipertukarkan secara
menyentuh seluruh aspek isu yang dibahas, ada keragaman wacana di
dalamnya. Setiap informasi yang dipertukarkan oleh pihak-pihak terlibat
harus didasarkan pada kebenaran. Kebenaran tersebut diharapkan akan
memberi nilai kebaikan bagi masing-masing pihak. Jadi deliberasi dalam
televisi itu bukan merupakan alat politik untuk mempertahankan citra,
melainkan proses untuk memecahkan suatu persoalan secara bersama-
sama dengan bertumpu pada reasoned arguments.
Tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah setiap pihak diperlakukan
secara sama, walaupun pada diri mereka terdapat keberagaman. Ukuran
kualitas keberagaman informasi tersebut tidak dilihat dari sisi perbedaan-
nya, tetapi alasan rasional yang mendukungnya. Dengan demikian
ketidaksetujuan bukan merupakan hal yang janggal dalam proses
deliberasi di ruang publik, tetapi sebagai proses pemurnian pemikiran
secara dialektis ketahap yang paling sempurna. Televisi khususnya lewat

139
Quo Vadis Televisi?

dua format programnya, yaitu: debat langsung dan current affairs atau
dialog sangat ideal untuk menerapkan paradigma ruang publik ideal ini.
Sayangnya, yang sering terjadi di Indonesia adalah informasi (berita
khususnya) yang bias kepentingan pemilik media. Di dalam televisi juga
lebih dominan eksploitasi sisi-sisi emosional lewat dramatisasi, rekayasa,
dan sensasionalisasi. Akibatnya, ‘informasi’ yang disampaikan menjadi
hilang substansi. Gejala ini seolah menegaskan bahwa praktek komunikatif
televisi tidak lebih dari sekadar kelatahan, sehingga cara
menyampaikannya dipandang menjadi lebih pentingan dari apa yang
disampikannya itu sendiri. Sehingga, wujud persaingan televisi di
Indonesia tidak lagi terletak pada televisi mana yang paling berkualitas
informasinya, melainkan cara menyampaikan seperti apa yang paling
sensasional dan dramatis.
Apa yang utama dalam wacana media televisi sering kali menjadi
wacana dominan dalam masyarakat. Pola konsumsi media televisi di
Indonesia tampaknya masih mengikuti doktrin tradisional dari agenda
setting theory. Televisi mungkin tidak berhasil mengubah cara pandang
masyarakat, tetapi bombardir informasi dengan sudut pandang tertentu
akan menentukan apa yang diperbincangkan di masyarakat. Penting atau
tidak penting bukan merupakan suatu pertimbangan di sini. Dalam realitas
politik seperti muncul sebuah kecenderungan bangkitnya elit politik
sebagai pemilik televisi: sebuah paralelisme yang menyimpan toksit bagi
demokrasi. Meleburnya elit partai sebagai pemilik televisi bisa menjadi
televisi tersebut sebagai alat politik penyeragaman wacana, tentu sesuai
dengan kepentingan pemiliknya. Pluralitas ideologi dan nilai-nilai politik
dalam masyarakat tidak diakomodir di sini.
Informasi Politik dan Perilaku Pemilih
Peran televisi yang paling utama dalam demokrasi adalah bagaimana
masyarakat dapat memperoleh informasi yang beragam, substantif, dan
relevan dengan kepentingan mereka. Sehingga, masyarakat dapat menilai
dan menentukan pilihan politiknya.
Sepuluh tahun terakhir boleh dikatakan perilaku politik di Indonesia
sudah mulai bergeser ke arah politik rasional. Keyakinan ini didukung
oleh beberapa faktor. Pertama, semakin besarnya kuantitas masyarakat
kelas menengah ke atas dengan tingkat pendidikan yang memadai. Kedua,
semakin terbukanya sumber-sumber informasi yang beragam berkat

140
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

perkembagan teknologi informasi, sehingga mengubah cara pandang


masyarakat tentang dirinya dan dunia luar, termasuk atas politik.
Berikutnya yang ketiga, ditandai oleh tetap eksisnya partai-partai
nasional, sementara pada saat yang sama banyak partai-partai berbasis
agama yang menurun popularitasnya atau bubar. Keempat, seiring dengan
itu mulai menarik dirinya para tokoh-tokoh agama dari panggung politik.
Kelima, mekanisme pemilihan langsung mau tidak mau mendorong setiap
orang untuk berusaha mengenali siapa tokoh yang akan dipilihnya.
Pencarian informasi merupakan modal awal untuk menentukan pilihan
politik yang lebih rasional. Keenam, pada saat yang sama terjadi migrasi
pemilih dari satu partai ke partai lain yang tidak lagi didasarkan pada
faktor identitas keagamaan tertentu.
Saiful Mujani dan William Liddle (2010) menegaskan tren yang sama.
Kedua ahli politik tersebut menyimpulkan bahwa: “As in 1999 and 2004,
however, we found little evidence that voters were influenced by their religious,
ethnic, regional, or social-class identities. […]. Indonesian voters have become
increasingly rational—setting standards, identifying goals, and choosing leaders
based on those standards and goals. Their preference for secular national parties
reduces the likelihood of ethnic or religious conflict.” (hal. 48)
Dinamika politik nasional sebenarnya memberi sinyal makin
dibutuhkannya informasi politik yang substantif oleh pemilih. Setelah
masyarakat sebagai pemilih (voters), terlepas dari kungkungan ikatan-
ikatan tradisional dalam mengambil keputusan, maka diperlukan
landasan yang lebih kokoh dan rasional untuk mengiring perubahan
perilaku politik tersebut. Dalam situasi seperti ini media sangat
diharapkan dapat mengisi posisi itu. Sayang sekali, yang terjadi adalah
sebaliknya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa informasi di
media televisi kita cenderung elitis. Oleh karena itu pula, menjadi sangat
top down. Informasi politik yang menggambarkan hiruk-pikuk struktur
politik tidaklah salah. Tetapi, pendekatan tersebut harus disandingkan
dengan informasi dari bawah, dari masyarakat. Dengan pola top-down,
maka: “Political opinions flow downward. They originate among elites, are picked
up and propagated among attentive, then reach and shape the thinking of the
mass citizenry. Apoliticals are uninvolved, attracted only bey a major controversy
and dramatic event. The prestige and popular media are the prime conveyor belts.”
(Paletz dan Etnman, 1981: 186).

141
Quo Vadis Televisi?

Akibat terparah dari informasi politik yang elitis adalah selain


cenderung bias kepentingan, juga membuat masyarakat menjadi
cenderung penerima pasif atas informasi. Bahkan bisa jadi apolitis.
Padahal, dalam demokrasi, pilihan politik yang rasional mesti didorong
oleh keinginan aktif. Bahkan bentuk partisipasi ini perlu mencapai ranah
deliberasi secara diskursif di ruang publik. Dalam konteks ini, seperti
ditegaskan juga oleh Hardiman (2010: 1) ruang publik mendorong
partisipasi seluruh warga negara untuk mengubah praktik sosio-politis
mereka lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif. Media
televisi harus tampil sebagai ruang yang mendorong deliberasi publik.
Salah satu upaya untuk mewujudkannya peran tersebut adalah
pertama-tama menyelamatkan ruang publik itu sendiri. Herry-Priyono
(2010) mengaskan bahwa ada tiga upaya yang dapat dilakukan untuk
menyelamatkan ruang publik, yaitu: lewat rute kebijakan publik, rute re-
edukasi selera pasar, dan rute re-edukasi aktor.
Ditegaskan bahwa ‘ruang publik’ selalu mengisyaratkan ‘kebijakan
publik’. Oleh karena itu, kebijakan publik dapat diarahkan untuk
menyelamatkan ruang publik walaupun lembaga yang menjalankannya
tidak selalu yang namanya pemerintah. JIka kita kaitkan dengan media
televisi di tanah air, maka ranah kebijakannya tampaknya berada di tangan
pemegang kekuasaan. Kebijakan publik terkait dengan media televisi,
mungkin bisa dimulai dari reorganisasi televisi pertama kita, TVRI. Cita-
cita menjadikan TVRI sebagai TV publik tampaknya masih sebatas cita-
cita, belum pada tingkat praktek. Persoalan di tubuh TVRI boleh jadi lebih
dari sekadar ‘kebijakan publik’. Pelaksana ‘kebijakan publik’ dalam
konteks ini bisa juga KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Tetapi KPI juga
mungkin membutuhkan ‘kebijakan’ sendiri yang lebih memihak kepada
public. Atau terkait dengan lembaga tersebut, perlu disusun ulang sebuah
‘kebijakan publik’ (lihat: Sudibyo, 2009).
Rute berikutnya adalah reedukasi selera pasar, baik dalam ranah
produsen maupun konsumen. Kasus televisi di Indonesia merupakan
contoh yang sangat tepat untuk ini. Selain perubahan mindset dan
paradigma para produser dan pekerja media lainnya, masyarakat juga
perlu disadarkan dari mimpi-mimpi semu yang mengelabui ketika mereka
mengkonsumsi media televisi. Literasi media yang mendorong, bermedia
secara cerdas merupakan salah satu pilihan praktis.
Serta, re-edukasi aktor sosial yang menjadi pelaku-pelaku utama dalam
ruang publik. Contoh yang sangat sederhana adalah bagaimana

142
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

membudayakan nilai-nilai civility dalam hidup keseharian, mulai dari


budaya antri yang tertib hingga bertoleransi secara menghargai. Upaya
penyelamatan ini memang sudah melebar. Tidak hanya dari segi struktur
televisi sebagai ruang publik, tetapi masyarakat atau agency juga ikut
mempengaruhi perubahan struktur media televisi. Dari segi struktur,
pemberitaan media televisi perlu memegang teguh prinsip impartiality
khususnya atas pendapat dan informasi yang saling bertentangan
(competing views). Dua hal penting yang harus ditegakkan untuk
mencapainya adalah media pluralism dan nonpartisan news coverage of politics
(Gunther dan Mughan, 2000: 422).
Penutup
Televisi sebagai ruang publik di Indonesia tampaknya masih
menggambarkan panggang jauh dari api. Realitas televisi kurang
mencerminkan kualitas ruang publik sebagaimana diharapkan dalam
konteks berdemokrasi. Kekuatan struktural yang menggerogoti fungsi
kepublikan televisi tersebut adalah kepentingan kapitalis media, dan
kepentingan politis pemilik medianya sendiri. Sejalan dengan itu, struktur
kekuasaan yang hadir dalam bentuk birokrasi negara (pembuat kebijakan)
telah dimanfaatkan oleh media sebagai penjamin kepentingan media
sendiri. Artinya, represi kekuasaan atas ruang publik yang dihadirkan
televisi tidak termanifestasi secara langsung dan eksplisit. Tren ini seolah
menggambarkan merajainya semangat neoliberalisme yang ingin
mengangkangi negara demi kepentingan pasar. Para elit politik juga lebih
melihat televisi sebagai alat untuk pembentukan citra. Bibit industrialisasi
politik khususnya menjelang pemilu makin menggeser fungsi deliberatif
televisi sebagai ruang publik. Di tengah semua fenomena itu televisi di
Indonesia masih sulit untuk hadir sebagai ruang publik.
Hal paling pokok adalah krisis ruang publik adalah krisis demokrasi.
Sebab, mustahil lahir demokrasi yang benar-benar demokrasi secara
substantif, bukan sekadar prosedur-mekanistis, tanpa hadirnya ruang
publik. Saya sangat sepakat dengan pemikiran Thomas Meyer berikut: In
a democracy a public sphere is and will always remain the sine qua non of politics,
for even when high levels of participation are not expected or encouraged, elections
still have to be held. Legitimacy, the lifeblood of democratic politics, can be acquired
only through citizen’s consent to what they perceive as the decisions made by
political elites. (Meyer & Hinchman, 2002: 52).

143
Quo Vadis Televisi?

Ruang publik adalah elemen konstitutif demokrasi. Televisi secara


struktural merupakan ruang publik yang ideal. Untuk mewujudkan peran
tersebut diperlukan upaya pemerintah untuk menegakkan terjaminnya
hak-hak publik dalam televisi. Di sisi lain, TV publik sudah waktunya
ditransformasi secara total untuk memperjuangkan kepentingan publik
di tengah degradasi fungsi televisi komersil untuk demokrasi. Televisi
mestinya menjadi ruang publik strategis di tengah konsolidasi demokrasi
di Indonesia sekarang ini.

Daftar Pustaka
Barber, Benjamin. 1990. Strong Democracy: Participatory Politics for a New Age.
Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.
Baudrillard, Jean. 1992. Jean Baudrillard, Selected Writings (edited by Mark Poster).
Cambridge: Polity Press.
Bohman, James. 1996. Public Deliberation: Pluralism, Complexity and Democracy.
Cambridge, MA: MIT Press.
Crigler, Ann N (Ed). 1999. The Psychology of Political Communication. Ann Arbor:
The University of Michigan Press.
d’Haenens, L., Verelst, C., & Gazali, E. 2000. “In search of Quality Measures for
Indonesian Television News”. Dalam French David & Michael Richards (Eds),
Television in Contemporary Asia. New Delhi: Sage Publication, hal. 179-232.
Dryzek, John S. 2003. “Deliberative Democracy in Divided Societies: Alternatives
to Agonism and Analgesia.” Research School of Social Science, Australian
National University. Diakses dari: http://socpol.anu.edu.au/pdf-files/
Dryzek_divided.pdf, pada 25 Juni 2010.
Gamson, William. 2001. Promoting Political Engagement. Dalam W. Lance Bennett
& Robert M. Entman (Eds), Mediated Politics, Communication in the Future of
Democracy. United Kigndom: Cambridge University Press, hal. 56-74.
Gunther, Richard & Mughan, Anthony. 2000. The Political Impact of the Media: A
Reassesment. Dalam Richard Gunther & Anthony Mughan (Eds), Democracy
and the Media, A Comparative Perspective. United Kingdom: Cambridge
University Press, hal. 402-448.
Habermas, Jurgen. 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere, An Inquiry
into a Category of Bourgeois Society. Cambridge: Polity Press.
Habermas, Jurgen. 1974. “The Public Sphere: An Encyclopaedia Article.” New
German Critique 3, Autum, hal. 49-55.
Hachten, William A. 1981. The World News Prism: Changing Media, Clashing Ideologies,
2nd edition. United State of America: Iowa State University Press.
Hallin and Mancini. 2005. Comparing Media System, Three Models of Media and Politics.
Cambridge: Cambridge University Press.

144
Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

Hardiman, F. B. 2010. Pendahuluan. Dalam F. B. Hardiman (Ed), Ruang Publik.


Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 1-20.
Herry-Priyono, B. 2010. Menyelamatkan Ruang Publik. Dalam F. B. Hardiman
(Ed), Ruang Publik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 369-398.
Lasswell, Harold, Lerner D., & Speir Hans. 1980. Propaganda and Communication in
World History. Honolulu: University of Hawaii Press.
McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication, Third edition.
London & New York: Routledge.
McQuail, Denis. 2000. McQuail’s Mass Communication Theory. London: Sage
Publication.
Meyer, Thomas & Hinchman, Lew. Media Democracy, How the Media Colonize Politics.
Great Britain: Polity Press.
Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication: Renewal and
Rethinking. London: Sage Publication.
Mughan, Anthony & Gunther, Richard. 2000. The Media in Democratic and
Nondemocratic Regimes: A Multilevel Perspective. Dalam Richard Gunther &
Anthony Mughan (Eds), Democracy and the Media, A Comparative Perspective.
United Kingdom: Cambridge University Press, hal. 1-27.
Mujani, S & Liddle, W. 2010. Personalities, Parties, and Voters. Journal of Democracy
Volume 21, Number 2 April 2010, hal. 35-49.
Page, Benjamin I. 1996. Who Deliberates? Mass Media in Modern Democracy. USA:
The University of Chicago Press.
Paletz, David L., & Entman, Robert M. 1981. Media, Power, Politics. New York: The
Free Press.
Schneider, Steve M. 1997. Expanding the Public Sphere through Computer-
Mediated Communication: Political Discussion about Abortion in a Usenet
Newsgroup. Ph.D dissertation, Massachusetts Institute of Technology. Diakses
dari: http://www.sunyit.edu/!steve/, pada tanggal: 25 Juni 2010.
Siebert, Peterson, & Schramm. 1963. Four Theories of the Press. Urbana and Chicago:
University of Illinois Press.
Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Kompas, 15/06/2010.
Kompas, 27/01/2009
The Jakarta Post, 28/06/2010.

Catatan
1 Penyusunan model ini didasarkan pada perspektif makro dengan meletakkan
sistem politik dalam dua tipe secara berlawanan (demokrasi dan non-
demokrasi). Model sistem media yang terbentuk akibat faktor makro tersebut
diletakkan sesuai dengan karakter sistem politik demokratis dan non-
demokratis.

145
Quo Vadis Televisi?

2 Feodalisasi ruang publik, menurut Habermas (1989) terjadi di awal


pembentukannya lewat kooptasi politik dari negara (hirarki kekuasaan) pada
abad ke-16. Refeodalisasi ruang publik (abad ke-19) ini disebabkan karena
makin absolutnya kekuatan kapitalisme dalam ruang publik (media massa
khususnya), di mana bombardir tayangan iklan dan hiburan massa menyatu
sebagai alat untuk menundukkan sikap kritis warga negara.
3 Keterlibatan negara dalam hal ini bukan dimaksudkan untuk mengontrol media
televisi, tetapi untuk memastikan terpenuhinya hak-hak publik. Bentuknya
tentu tidak bersifat represif, tetapi sebagai bagian dari wujud law enforcement.
Regulasi di satu sisi memang sering berkonotasi buruk, tetapi di sisi lain dia
juga diperlukan sesuai konteks. Deregulasi terhadap media televisi, tidak
otomatis menjamin terpenuhinya hak-hak publik. Justru ketika pasar menjadi
“penguasa”, kepentingan publik harus dibela lewat penjaminan oleh negara.

146
Parodi di Balik Layar Kaca

Paulina Damayanti dan Gusti Ayu Krista


Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Kehidupan manusia merupakan sebuah proses yang terus-menerus


‘menjadi’, selalu berevolusi seiring dengan perkembangan jaman.
Kehidupan manusia tak lepas dari unsur kebudayaan. Kebudayaan dapat
menjadi pembeda antara generasi manusia yang satu dengan generasi
yang lain.
Kebudayaan terbagi dalam tiga bagian besar, yaitu kebudayaan lisan,
tulisan, dan audiovisual. Kebudayaan lisan atau tutur adalah kebudayaan
tertua manusia, dimana komunikasi, pembelajaran, penyebaran nilai-nilai
kehidupan dan moral disebarkan dengan cara lisan atau tutur. Biasanya
dengan media dongeng, nyanyian (tembang), upacara adat, dan ritual
adat. Meski hanya dari mulut ke mulut, namun nilai-nilai moral tetap
terjaga teguh dalam kehidupan bermasyarakat. Kelompok manusia dalam
kebudayaan ini mempunyai ingatan (memori) yang kuat dan lebih senang
bersosialisasi.
Kebudayaan tulisan (literasi) masuk ketika masyarakat mengenal dunia
menulis dan membaca. Sehingga peraturan pemerintahan, adat-istiadat
dan nilai-nilai kehidupan dan moral, tidak hanya disebarkan dengan cara
lisan, namun juga tertuang dalam bentuk tulisan dan terdokumentasi.
Bahkan tata letak dekorasi rumah juga berubah. Ruang keluarga yang
biasanya cukup dengan sofa dan hiasan foto keluarga, dilengkapi rak-rak
buku dan perpustakan kecil. Kelompok manusia dalam kebudayaan ini
lebih tertutup dan lebih suka menghabiskan banyak waktu untuk
menekuni koleksi buku-bukunya daripada bersosialisasi.
Kebudayaan audiovisual berkembang seiring dengan berkembangnya
teknologi. Kebudayaan jenis ini merupakan perpaduan antara teknologi
audio (suara) dan visual (gambar/gerak). Contoh benda hasil budaya
audiovisual adalah internet dan televisi. Kelompok masyarakat dalam
budaya ini berciri: aktif, kreatif, modern, dan menyukai hal-hal yang
bersifat instan.

147
Quo Vadis Televisi?

Televisi sebagai bagian dari kebudayaan audiovisual baru merupakan


medium yang paling kuat pengaruhnya dalam membentuk sikap dan
kepribadian baru masyarakat secara luas. Hal ini disebabkan oleh satelit
dan pesatnya perkembangan jaringan televisi yang menjangkau
masyarakat hingga ke wilayah terpencil (Wibowo, 1997 : 1).
Kultur baru ini pada dasarnya sudah dikenal sejak lama, sebelum
kebudayaan tulis atau cetak menggesernya. Sebelum kebudayaan cetak
dan tulis berkembang, orang sudah menggunakan bahasa verbal dan
visual, misalnya dalam pagelaran wayang kulit, gamelan, ketoprak. Masa
ini disebut kebudayaan audiovisual lama atau kebudayaan lisan pertama.
Karena kemiripan tersebut, maka kebudayaan audiovisual baru juga
sering disebut sebagai kebudayaan lisan kedua.
Keunggulan kebudayaan lisan (baik pertama maupun kedua)
dibandingkan kebudayaan tulis adalah, kebudayaan lisan
mengembangkan memori manusia. Sajian dalam bahasa audiovisual lebih
gampang diingat daripada apa yang ditulis atau dibaca (Wibowo, 1997
:1). Kebudayaan lisan masih tertanam pada sebagian besar masyarakat
Indonesia, yang notabene budaya literasinya masih rendah. Sehingga,
ketika budaya audiovisual (kebudayaan lisan kedua) masuk di saat
mayoritas masyarakat masih menjadi kelompok masyarakat tutur
(kebudayaan lisan pertama), maka perkembangan teknologipun tidak
dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Misalnya, telpon atau handphone lebih sering digunakan untuk
menggosip bagi ibu-ibu rumah tangga, fasilitas internet kebanyakan
digunakan untuk chating bagi anak-anak muda, sedangkan televisi yang
seharusnya netral, demokratis dan bersifat edukatif, oleh para politisi
justru digunakan sebagai ajang debat dan saling mempengaruhi. Banyak
orang ingin berbicara dan didengarkan daripada mendengarkan. Dari situ,
terlihat begitu kentalnya budaya tutur yang masih tertanam bagi
masyarakat Indonesia.
Manfaat Televisi
Pada dasarnya, televisi dibuat oleh sebuah lembaga penyiaran.
Penyiaran adalah kegiatan pembuatan dan proses menyiarkan acara siaran
radio maupun televisi, serta pengelolaan operasional perangkat lunak dan
keras, yang meliputi segi idiil, kelembagaan dan sumber daya manusia,
untuk memungkinkan terselenggaranya siaran radio atau televisi
(Wahyudi, 1994 : 6).

148
Parodi di Balik Layar Kaca

Siaran televisi memiliki daya penetrasi sangat kuat terhadap individu/


kelompok, akibatnya siaran televisi dapat menimbulkan dampak yang
luas bagi masyarakat. Karena memiliki pengaruh yang besar bagi
khalayak, maka dalam hal ini terdapat patokan-patokan bagi penyiaran
televisi, agar menimbulkan efek yang positif bagi khalayak. Patokan-
patokan tersebut menurut Wahyudi (1994: 5) adalah dihasilkannya siaran
yang berkualitas, baik, dan benar.
Siaran yang berkualitas adalah siaran yang kualitas suara atau gambar
prima. Siaran yang baik adalah siaran yang isi pesannya, baik audio dan
visualnya bersifat normatif, edukatif, persuasif, akumulatif, komunikatif,
dan stimulatif, serta sejalan dengan ideologi, norma, etika, estetika dan
nilai-nilai yang berlaku. Siaran yang benar adalah siaran yang isi pesannya
baik audio dan atau visualnya diproduksi sesuai dengan sifat fisik medium
radio dan atau televisi. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa penyiran
televisi dapat dikatakan bermutu tinggi apabila dapat memenuhi standar
atau patokan yang telah disebutkan diatas. Apabila salah satu dari aspek
tersebut tidak ada, maka penyiaran televisi dapat dikatakan kurang
bermutu.
Sedangkan, menurut Wibowo (1997 : 1), unsur esensial dari kebudayaan
televisi berupa penggunaan bahasa verbal dan visual, sekaligus dalam
rangka menyampaikan sesuatu seperti pesan, informasi, pengajaran, ilmu,
dan hiburan. Televisi ada untuk memberikan manfaat bagi masyarakat.
Manfaat yang diberikan hendaknya dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat, dan bukan hanya dirasakan oleh sekelompok orang saja. Oleh
karena itu, harus ada keberimbangan pada setiap acara-acara dalam
televisi tersebut.
Penyiaran acara televisi harus mencakup ketiga manfaat televisi: sarana
hiburan, edukasi/pengajaran dan menyampaikan informasi sehingga
dapat memberikan manfaat positif bagi masyarakat. Program acara televisi
yang bersifat hiburan misalnya sinetron, sitkom, acara komedi dan kuis
interaktif. Sedangkan acara yang bersifat edukasi adalah talkshow,
penyuluhan, dan program acara layanan sosial masyarakat. Program acara
yang bersifat menyampaikan informasi adalah berita, liputan langsung
dan infotaiment. Apabila hanya salah satu aspek saja yang ditekankan,
misalnya acara-acara hiburan yang lebih banyak ditayangkan dalam
televisi, maka hal tersebut dapat dikatakan bahwa televisi memberikan
manfaat yang tidak berimbang.

149
Quo Vadis Televisi?

Acara-acara yang hiburan jauh memberikan keuntungan/profit bagi


stasiun televisi karena akan mendapatkan banyak sponsor (iklan).
Akibatnya, stasiun televisi lebih banyak memberikan program acara yang
bersifat hiburan daripada edukasi ataupun informasi. Tentu hal tersebut
sangat disayangkan, karena masyarakat tidak dapat mendapatkan haknya
untuk memperoleh siaran yang mendidik atau mendapatkan informasi
yang mencukupi.
Televisi Saat Ini
Acara-acara televisi yang ditampilkan saat ini menggambarkan apa
manfaat yang ingin dicapai. Apakah ada ketimpangan dari segi manfaat,
dapat dilihat dari frekuensi tayangan-tayangan yang ditampilkan di
televisi. Setiap tayangan yang akan disajikan, terlebih dahulu isinya
disaring oleh pihak media tentang apa saja yang akan ditampilkan dan
bagaimana cara menampilkannya. Tujuannya, apa yang ditayangkan
dianggap sesuai untuk ditampilkan ke hadapan masyarakat.
Meski pekerja media antara satu dengan yang lainnya berbeda ideologi,
namun tujuan utama nya untuk memenuhi kebutuhan masayarakat
sehingga semua yang mereka tampilkan akan bermanfaat bagi masyarakat
secara menyeluruh dan berdampak baik bagi kepentingan bersama.
Bermanfaat bagi masyarakat berarti tidak hanya bermanfaat bagi segelintir
pihak.
Menampilkan informasi secara objektif dan faktual merupakan salah
satu manfaat yang seharusnya diterima oleh masyarakat. Namun jika
ditilik lebih mendalam, hal itu tidak cukup. Sudut pandang pemberitaan
yang berbeda-beda juga akan memberikan dampak yang berbeda pula
bagi para penonton televisi. Karena televisi juga bisa digunakan untuk
membangun opini pemirsa. Sudut pandang pemberitaan merupakan
kebijakan masing-masing televisi dalam menyiarkan sesuatu.
Isi media dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, seperti
ideologi para pekerja, pasar, pemilik media, ideologi negera dan lain
sebagainya. Namun setiap pekerja tentunya akan mengikuti ideologi yang
lebih besar (ideologi perusahaan media). Ideologi perusahaan tentunya
dibangun oleh para pendiri atau pemilik saham. Tujuan mendirikan media,
selain memenuhi kebutuhan masyarakat/bermanfaat bagi masayarakat,
ada tujuan-tujuan lain, salah satunya tujuan bisnis. Hal itu tentu saja sangat
tidak salah karena pemasukan negara dari perusahaan media juga
merupakan suatu hal yang penting. Namun, perusahaan harus memenuhi

150
Parodi di Balik Layar Kaca

kebutuhan orang banyak karena mereka telah membuat keputusan untuk


membuat media yang akan berhubungan dengan orang banyak. Apa yang
mereka persembahkan seharusnya bermanfaat bagi orang banyak, bukan
malah menyesatkan atau mengacaukan.
Mengutamakan kepentingan orang dalam atau kepentingan kelompok
bisa mengacaukan manfaat bagi masyarakat. Pemilik media memiliki andil
yang sangat besar dalam menentukan isi media. Persoalannya, apakah
kebijakan yang diambil memberikan manfaat bagi masyarakat atau justru
memberikan manfaat hanya bagi pihak tertentu? Kita memang tidak
pernah bisa tahu, namun melalui pola-pola tertentu kita bisa melihat apa
tujuan media dalam setiap kebijakannya. Karena itu, kebijakan perusahaan
media merupakan cerminan bagaimana media televisi memahami manfaat
yang ditujukan kepada masyarakat.
Salah satu faktor ketimpangan manfaat bisa jadi berasal dari
kepemilikan media. Apa jadinya jika stasiun-stasiun televisi dikuasai oleh
segelintir orang? Apakan segelintir orang tadi bisa bertindak objektif
dengan media-media yang dia miliki atau sebaliknya mereka
menggunakan media sebagai alat untuk menguntungkan diri mereka
ataupun melindungi mereka dari sesuatu?
Jika demikian, televisi tidak lagi akan bermanfaat bagi masyarakat tapi
hanya bermanfaat bagi pemilik serta kelompok-kelompok yang
dimenangkan oleh media tersebut. Jika ini berlangsung terus-menerus
maka makna dari manfaat televisi di masa depan akan semakin bergeser.
Media televisi bisa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi
dan tidak ada lagi fakta yang disebarkan oleh televisi. Maka nilai
jurnalisme pun akan hancur karena media tidak lagi dapat dipercaya
akibat penyalahgunaannya. Jika demikian untuk apa ada televisi? Sebuah
sarana yang digunakan untuk memberikan manfaat bagi kehidupan orang
banyak malah menjadi sesuatu yang diagendakan oleh segelintir orang
atupun para penguasa.
Televisi Masa Depan
Di masa depan televisi bisa menjadi senjata perang di antara pemilik
media atau penguasa untuk saling menjatuhkan. Masyarakat pada
akhirnya tidak lagi terkena imbas manfaat, melainkan akan dibuat bingung
oleh media-media tersebut dan tidak tahu lagi mana media yang bisa
dipercaya.

151
Quo Vadis Televisi?

Konsentrasi kepemilikan media di tangan segelintir orang akan


merusak asas demokratisasi. Hal ini berlaku di Jerman, Inggris, maupun
Indonesia, Konsentrasi dan kendali yang berada dalam kekuasaan
segelintir orang, terutama investor asing, dapat menggerogoti kedaulatan
negara (Vogt, 2001 : 30). Jika ini terjadi, tidak akan ada lagi manfaat untuk
masyarakat. Televisi akan menjadi sumber kekacauan karena
mengaburkan fakta objektif demi menutupi kepentingan segelintir orang.
Fakta bukan lagi sesuatu yang murni karena campur tangan sesuatu. Tak
heran apabila nanti, media bisa membuat agenda setting untuk suatu
peristiwa untuk menutupi sesuatu. Jadi mereka bisa merencanakan
kejadian apa yang harus terjadi di keesokan harinya sehingga mereka bisa
menjadikan hal tersebut sebagai berita.
Melihat ilustrasi fiksi dari film Ian Flaming, Tommorow Never Dies, salah
satu sekuel dari agen rahasia 007, kita bisa melihat betapa besar pengaruh
penguasa media dalam menjalankan media miliknya. Film tersebut dibuat
sebagai sindiran bagi Rupert Murdoch, yang merupakan seorang
penguasa media hingga saat ini.
Menguasai saham media baik cetak terutama televisi bisa membuat
para penguasa media seakan-akan menjadi dewa di dunia ini. Media bisa
menjadi alat pengendali keadaan. Jadi selama memiliki media televisi,
para penguasa dapat mengendalikan peristiwa sehingga peristiwa yang
akan terjadi akan selalu menguntungkan mereka.
Melihat kepemilikan media yang dimiliki oleh Rupert Murdoch, kita
bisa mengandaikan apa yang akan terjadi di masa depan. Dia adalah
pemilik News Corporation yang memiliki jaringan ratusan media cetak,
radio dan televisi di seluruh dunia. Yang paling menonjol adalah jaringan
televisi. Ia memiliki mayoritas saham di Fox Channel yang menjadi channel
keempat setelah ABC, NBC dan CBS. Ia memiliki 30 saluran kabel dan
satelit di negeri itu. Separuh dari kepemilikan saham National Geography
dan sebagian saham GE yang menjadi induk dari televisi saingannya NBC.
Di luar Amerika, Murdoch memiliki dua puluh delapan saluran televisi
di Inggris, delapan diantaranya share kepemilikan dengan Paramount dan
Nickelodeon, cartoon channel yang paling kuat di dunia. Murdoch memiliki
dua televisi di Jerman, 16 televisi lokal di Australia, satu di Canada enam
di India. Murdoch lewat perusahaannya Star TV menguasai enam saluran
televisi yang secara total menguasai 60 persen dari audience share negara
itu. Tak ketinggalan, penguasa media ini juga memiliki saham minoritas
sebuah stasiun TV Italia, dua di Jepang, delapan di Amerika Latin. Lewat

152
Parodi di Balik Layar Kaca

Star TV Murdoch mengakuisisi mayoritas saham ANTV dan sedang


berancangancang mengambil stasiun televisi kedua di Indonesa, Lativi
kala itu (Kompasiana, 16/01/2010/01).
Masih banyak kepemilikan media yang dia miliki. Belum lagi radio,
media internet, serta media cetaknya. Hal ini sangat memungkinkan
bahwa dia masih akan tetap berjaya di kehidupan televisi masa
mendatang. Semua opini masyarakat bisa saja digiring oleh idealismenya.
Hal ni tentunya akan membawa manfaat bagi dirinya seorang. Dia
menguasai hampir semua televisi di dunia karena dia selalu menaruh
saham di tiap-tiap televisi dia anggap dapat bermanfaat entah bagi siapa.
Pada akhirnya televisi di masa depan bukanlah lagi milik masyarakat
tapi benar-benar hanya dimiliki oleh para penguasa dan para pemilik
medianya. Masyarakat hanya akan menjadi penonton persaingan mereka
dan tidak lagi dapat berperan aktif di dalam televisi di masa depan. Hal
ini bukan hanya sebagai dugaan, apabila kebiasaan memanfaatkan media
demi kepentingan pribadi tidak dihilangkan mulai dari sekarang.
Jika kita menilik kasus-kasus kecil yang sedang terjadi di Indonesia,
mungkin kita bisa melihat kasus peristiwa lumpur di daerah Sidoharjo
yang menyebabkan banyak kerugian bagi para penduduk di sekitarnya.
Lumpur tersebut diselidiki merupakan hasil dari human error oleh salah
satu perusahaan terkemuka di Indonesia, Lapindo. Maka dari itu berita
tersebut seringkali memakai kata Lumpur Lapindo untuk menegaskan
bahwa peristiwa itu merupakan human error dari perusahaan tersebut.
Di sisi lain, ada pula media yang menyebutkan dalam pemberitaannya
dengan memakai nama Lumpur Sidoarjo serta menekankan bahwa
peristiwa tersebut merupakan bencana alam. Kita mengetahui, human error
dari sebuah perusahaan yang menyebabkan malapetaka, merupakan
tanggung jawab dari perusahaan tersebut. Namun apabila lumpur itu
ditekankan sebagai bencana alam, maka yang berkewajiban bertanggung
jawab adalah pemerintah.
Dari sini kita bisa menduga mengapa ada sudut pandang pemberitaan
yang begitu berbeda antara satu dengan yang lain. Apakah memang hal
ini merupakan pertarungan para penguasa yang ingin saling
menjatuhkan? Apakah yang sebenarnya terjadi ataukah ada sesuatu yang
harus ditutupi sehingga pada akhirnya kasus ini sampai sekarang masih
saja menggantung. Bahkan di bulan ramadhan lalu, salah satu media
sempat-sempatnya meliput sang pemilik saham saat berbuka puasa
bersama dengan korban lumpur yang ada di daerah Sidoarjo tersebut.

153
Quo Vadis Televisi?

Dengan menjadi pemilik media, begitu mudahnya bisa membeli siaran


untuk meliput acara buka bersama yang sebenarnya hal tersebut
merupakan acara pribadi. Kami rasa masyarakat tidak membutuhkan
berita di televisi tentang keluarga yang sedang berbuka bersama. Hal itu
sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan masyarakat,
apalagi sampai memberikan manfaat bagi orang banyak.
Berita semacam itu tentunya merupakan sarana promosi atau
mengiklankan diri bahwa “Saya adalah orang yang baik hati.” Tapi sekali
lagi perlu ditekankan, media televisi tidak hanya berbicara tentang hal
pribadi. Jika semakin lama televisi terpuruk di dalam keegoisan para
penguasa, maka prediksi akan bergesernya makna dan manfaat televisi
akan terjadi. Selamat tinggal kepentingan masyarakat dan selamat datang
persaingan para penguasa.
Jika melihat keadaan yang demikian, alangkah tragisnya nasib televisi
di masa depan. Televisi yang pada awalnya memiliki tujuan suci demi
kepentingan masyarakat banyak akan menjadi mainan bagi penguasa
untuk mencari keuntungan pribadi. Imbasnya tidak hanya dalam media
televisi. Ilmu jurnalisme bisa menjadi hal yang tidak lagi bermakna.
Jurnalisme akan kehilangan ideologinya karena termakan oleh penguasa
yang lebih besar.
Segala hal yang dipelajari oleh para jurnalis akan menjadi hal yang
sia-sia. Yang perlu dipelajari pada nantinya mungkin adalah bahwa para
jurnalis harus bekerja sesuai dengan keinginan para penguasa yang
menaunginya. Tidak ada lagi kebebasan bagi para jurnalis untuk membuat
sudut pandang namun semuanya akan ditentukan oleh hal-hal yang
berkuasa diatasnya. Apakah hal ini bermanfaat bagi jurnalis? Tentu saja
tidak karena hal tersebut akan merebut kemerdekaan para jurnalis.
Kita bisa melihat kasus yang lain. Kasus Gaza pernah menenggelamkan
kasus kecelakaan sebuah kapal laut di dalam negeri. Masyarakat mendapat
informasi tentang luar negeri tetapi informasi penting yang terjadi di dalam
negeri seolah menguap begitu saja tanpa mendapat perhatian. Apakah
yang membuat media memilih kebijaksanaan seperti ini? Apakah masalah
dalam negeri menjadi kurang penting jika dibandingkan dengan masalah
Gaza? Apa bangsa kita memiliki kepentingan di Gaza? Sangat benar
apabila media memberikan informasi tentang hal yang sedang
berlangsung di sana. Namun bukan berarti masalah dalam negeri yang
lebih penting menjadi terlupakan. Pasti di balik pemberitaan ini ada suatu
kepentingan yang ingin diwujudkan.

154
Parodi di Balik Layar Kaca

Hanya dengan melempar isu tanpa mendapatkan penyelesaiannya


tidak sama dengan memberikan manfaat kepada masyarakat. Sama seperti
melempar kasus Century atau Gayus, namun tidak pernah ada
penyelesaiannya. Bahkan ketika kasus itu semakin terpuruk muncul kasus
lain yang menenggelamkan kasus negara yang lebih penting, yaitu kasus
video mesum artis. Kasus video tersebut sampai mengalahkan berita serta
peristiwa lainya sehingga seolah-olah tidak ada yang lebih penting dari
kasus ini. Dengan hati yang bertanya-tanya kita pasti berpikir apa maksud
dari media televisi menampilkan hal ini. Media televisi yang dikenal
sebagai alat penyampai pesan yang lebih mengekalkan ingatan serta cepat
digunakan untuk memberitakan hal-hal macam seperti ini.
Sekali lagi tidaklah salah. Namun kemanakah kasus-kasus yang
dilempar sebelumnya? Mengapa sepertinya kasus sebelumnya seperti
sudah menemukan penyelesaiannya dan ditutup? Apakah kasus video
mesum ini digunakan media untuk mengalihkan perhatian masyarakat
dari kasus-kasus yang lebih penting sebelumnya? Atau mungkin bisa
saja kasus video ini digunakan untuk menutup kasus ngara yang lebih
penting. Namun siapakah yang yang memiliki kebijakan bahwa media
televisi sekarang tugasnya adalah memberitakan kasus video mesum?
Tentu saja penguasalah yang menetukan. Jika sudah sampai seperti ini,
bisa dilihatlah bahwa televisi digunakan sebagai pelindung serta
pengalihperhatian akan kasus negara yang lebih penting. Masyarakat
senang menonton hal tersebut. Tapi apakah masyarakat memperoleh
manfaatnya? Tentu saja tidak.
Demikianlah gambaran bagaimana media televisi digunakan pada saat
ini dan imbasnya nanti. Kami merasa tidak akan jauh berbeda dengan
yang terjadi sekarang: siapa yang paling berkuasa, dia yang paling bisa
menentukan apakah yang harus ditampilkan di televisi. Dengan demikian,
kepentingan penguasalah yang selalu terpenuhi. Dengan kata lain manfaat
hanya akan didapat penguasa. Di masa depan, manfaat televisi lambat
laun akan semakin bergeser dari manfaat untuk masyarakat menjadi
manfaat untuk para penguasa.

155
Quo Vadis Televisi?

Daftar Pustaka
Vogt, Erich. 2001. Pelayanan Umum Sebagai Salah Satu Bentuk Penyiaran. Jakarta :
Friedrich-Ebert-Stiftung .
Wahyudi, JB. 1994. Dasar-Dasar Manajemen Penyiaran. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Wibowo, Fred. 1997. Dasar-Dasar Produksi Program Televisi. Jakarta : Gramedia
Widiasarana Indonesia.

156
TV Streaming sebagai Televisi Alternatif
Dwi Kartika Sirait dan Fransisca Yosi Wongi
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Billy adalah warga negara Indonesia yang sedang menimba ilmu di


negeri kangguru, Australia. Informasi mengenai negara kelahirannya
mulai berkurang sejak ia tinggal di Australia. Seakan terkekang rutinitas
serta kurangnya informasi yang beredar di Australia, ia hampir tidak
mengenal lagi apa yang sudah, sedang dan akan terjadi di negaranya,
Indonesia. Sejak ada penyediaan TV Streaming yang dikelola langsung
oleh televisi nasional yang bersangkutan, Billy merasa sangat
diuntungkan. Pertukaran informasi mengenai perkembangan masyarakat
Indonesia di dalam maupun luar negeri berjalan lebih lancar. Ia juga dapat
mengetahui kondisi terkini di Indonesia termasuk kota asalnya. Hal ini
membuat ia nyaman karena merasa dekat dengan Indonesia.
***

Teknologi adalah elemen penting yang tidak pernah lepas dalam


kehidupan sehari-hari dan dalam setiap aktivitas manusia. Mulai dari
bangun pagi hingga tidur lagi manusia modern hampir selalu
berhubungan dan memanfaatkan alat-alat hasil teknologi. Misalnya, kita
bangun karena bunyi alarm handphone, mandi dengan shower, minum kopi
dari mesin pembuat kopi, sarapan roti dari alat pemanggang roti. Selesai
sarapan, berangkat beraktivitas menggunakan kendaraan bermotor. dalam
aktivitas belajar atau bekerja kita dibantu komputer. Pulang dari aktivitas,
kita istirahat sejenak memberikan hiburan pada otak melalui acara yang
disuguhkan televisi sembari melakukan relaksasi di kursi pijat. Setelah
itu, kita kembali beraktivitas menggunakan laptop yang terkoneksi
internet. Begitu seterusnya.
Ilustrasi di atas menggambarkan tanpa disadari, individu sangat
tergantung dengan teknologi. Teknologi pun mengalami perkembangan
pesat. Bandingkan misalnya, lampu bohlam saat ditemukan pada 1900
dan bohlam era sekarang. Ada beberapa jenis teknologi yang berkembang
secara perlahan maupun secara pesat dalam waktu singkat. Misalnya,

157
Quo Vadis Televisi?

komputer dengan fasilitas Pentium I, disempurnakan pada Pentium II,


Pentium III, Pentium IV, Core Duo dan seterusnya.
Perkembangan teknologi tidak dapat dihentikan, seiring perputaran
hidup yang tiada henti. Teknologi terus maju dan menghasilkan
kepraktisan dalam beraktivitas. Tak hanya itu, perkembangan teknologi
ini pada gilirannya berdampak pada bidang komunikasi. Dampak
perkembangan teknologi pada bidang komunikasi sangatlah luas. Seperti
umumnya diketahui, komunikasi merupakan transfer pesan baik secara
verbal maupun nonverbal dari individu atau kelompok yang satu kepada
individu atau kelompok yang lainnya.
Perkembangan Teknologi dan Media
Perkembangan teknologi bagi komunikasi berupa alat komunikasi
seperti telepon seluler, televisi hingga cybermedia. Dengan kata lain,
perkembangan teknologi komunikasi meliputi teknologi untuk
komunikasi interpersonal dan komunikasi massa. Komunikasi
interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan oleh individu dengan
individu. Komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan oleh satu
atau lebih individu dengan sejumlah individu lainnya dengan
menggunakan media perantara. Komunikasi massa dibagi menjadi dua
yaitu media cetak dan media penyiaran.
Perkembangan teknologi media cetak dapat dilihat melalui mesin cetak
oleh Guttenberg maupun mesin copy xerografik. Perkembangan teknologi
media penyiaran dapat dilihat dari lahirnya media informasi dan hiburan
seperti radio, televisi, dan komputer yang memberikan kemudahan dalam
bekerja dan menyajikan informasi serta hiburan.
Media penyiaran juga mengalami perkembangan setiap dekadenya.
Diawali dengan eksperimen-eksperimen pertama dengan arus listrik
(1800), diikuti penemuan induksi elektromagnetik oleh Faraday dan
layanan telegraf listrik (1825), kemudian sistem gambar hidup dan kamera
gambar hidup hingga perubahan gambar menjadi sinyal-sinyal listrik
(1875). Tahun 1900, tabung vakum ditemukan dan siaran audio pertama
dimulai. Tahun 1925, sistem televisi pertama ditemukan dan disusul
penemuan radio FM. Pada tahun yang sama dimulai pula siaran televisi
komersial di Amerika. Kemudian disusul lahirnya sistem TV kabel, film
layar lebar dan film 3D (1950). Tidak hanya itu saja, layanan pesawat
televisi warna pun mulai ditemukan. Perkembangan media penyiaran
tidak berhenti disitu saja. Menurut Roger (2003: 303) dalam buku

158
TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

Mediamorfosis, perkembangan media penyiaran di California dan


sekitarnya terus berjalan hingga tahun 2000. Perkembangan ini ditandai
dengan adanya teater-teater rumah, layar datar besar, film-film RV (realitas
virtual) komersial, film-film holografik dan sebagainya.
Meski terkesan lahir secara beruntun dan saling mendukung, pada
dasarnya, radio dan televisi saling bersaing menarik perhatian masyarakat.
Media penyiaran ini saling mendahului dan berusaha memberikan
fasilitas-fasilitas yang memanjakan masyarakat dalam pemenuhan
kebutuhan informasi dan hiburan. Namun demikian, menurut data dari
Nielsen Media Research, media yang paling banyak dikonsumsi dan
digemari oleh hampir semua orang di Indonesia adalah televisi (Majalah
Cakram dalam Adwika, 2009: 2) karena adanya keunggulan dari segi audio
dan visual yang ditawarkan sehingga memudahkan masyarakat dalam
menangkap dan menafsirkan pesan.
Kehadiran televisi di Indonesia ditandai dengan siaran perdana TVRI
pada tahun 1962 yang mendukung penyelanggaraan Asian Games IV di
Jakarta. Setelah berdiri dan melakukan siaran perdana, TVRI sempat
mengalami masa hidup-mati dalam siaran. Kurangnya persiapan saat
pendirian membuat TVRI tidak bisa melakukan siaran secara rutin.
Setahun kemudian, Keppres No.215 Tahun 1963 hadir untuk mengatur
keberadaan lembaga penyiaran pertama di tanah air ini (Zulkarnaen dalam
Mulyana, 1997: 12).
Perkembangan pertelevisian di Indonesia mulai saat RCTI hadir sebagai
stasiun televisi swasta pertama (1987-1988). Setahun kemudian SCTV
mulai mengudara. Disusul TPI (1991), AN-TV (1993), dan Indosiar (1994).
Lahirnya stasiun-stasiun ini didukung oleh Surat Keputusan Menteri
Penerangan (SK Menpen) Nomor 111 tahun 1990 (Zulkarnaen dalam
Mulyana, 1997: 12) yang menjadi pemicu pesatnya perkembangan
pertelevisian di Indonesia.
Setelah kemunculan lima stasiun televisi swasta tersebut, lahir SK
Menpen No.286/SK/Menpen/1999 yang memberikan ijin pendirian stasiun
televisi swasta baru (Setyobudi, 2006:12). Metro TV kemudian lahir
memulai siaran pada 1999-2000, diikuti oleh tiga stasiun televisi swasta
lainnya: Trans TV, TV 7 (Trans7) dan Lativi (TV One). Televisi swasta
nasional terakhir adalah Global TV (2002). Kemudian diikuti kelahiran
stasiun televisi lokal di berbagai kota di Indonesia, seperti Jogja TV, JTV,
RBTV, dan lain-lain pada kurun 2000-2005 (Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia, 2006: 33).

159
Quo Vadis Televisi?

Perkembangan Cybermedia dan TV Streaming


Perkembangan pertelevisian di Indonesia ini diikuti pula dengan
perkembangan internet (cyber media). Menurut Fidler, cybermedia
merupakan bentuk komunikasi berperantara komputer (2003: 421).
Komunikasi ini dapat dilakukan oleh siapapun selama memiliki perangkat
komputer. Perkembangan cybermedia di Indonesia diawali dengan kegiatan
radio amatir, yaitu Amateur Radio Club (ARC) ITB (1986) disusul dengan
perkembangan jaringan paket radio di Indonesia. Kegiatan radio amatir
ini kemudian melahirkan PaguyubanNet (1992). Perkembangan jaringan
paket radio ini berupa usaha mengaitkan jaringan amatir Bulletin Board
System (BBS)—jaringan e-mail store and forward—dengan banyak “server”
BBS amatir radio di seluruh dunia; dengan tujuan agar e-mail dapat berjalan
dengan lancar. Perkembangan internet terus diusahakan hingga tahun
1995-an, sambungan leased line 14.4Kbps ke RISTI Telkom sebagai bagian
dari IPTEKNET akses internet diberikan secara cuma-cuma (Mujahidin,
2008).
Secara mendasar, cybermedia memiliki sifat yang khas yang menjadi
ciri utamanya sebagai media maya. Seperti disebutkan Fidler (2003: 251)
dalam bukunya Mediamorfosis, ciri-cirinya adalah tanpa perantara, dua
arah-partisipatori, dan tak berjadwal. Tidak adanya perantara
menunjukkan sistem di dalamnya yang berperan untuk menghubungkan
antara penyedia layanan dan penggunanya. Selain itu, ciri komunikasi
dua arah juga semakin mempertegas bahwa ketiadaan perantara membuat
komunikasi dua arah yang akan terjadi dengan pemanfaatan teknologi
dan sistem tersebut. Begitu pula dengan ciri tak terjadwal, dimana akses
cybermedia dengan perangkat komputer dapat dilakukan kapan saja tanpa
jadwal tertentu. Dengan demikian, ciri-ciri tersebut menegaskan kembali
peran teknologi di dalam cybermedia.
Pada awal kemunculannya, cybermedia digembar-gemborkan
merupakan wilayah baru yang akan banyak memberikan keuntungan.
Peluang-peluang baru dan kesempatan tersedia dalam dunia yang
dibentuk oleh sekumpulan sistem hasil pengembangan teknologi. Peluang
tersebut ada karena keunggulan-keunggulan yang ditawarkan.
Keunggulan tersebut adalah akses secara murah yang mampu
menyediakan informasi dalam waktu yang relatif singkat. Tidak hanya
itu saja, cybermedia juga semakin menghilangkan jarak antara satu tempat
dengan tempat yang lain, wilayah yang satu dengan yang lain hingga
mempersempit jarak antar negara bahkan benua. Cybermedia ini semakin

160
TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

berkembang seiring lahirnya World Wide Web (disingkat www). Web


sendiri merupakan global dan praktis yang dapat diakses oleh siapa pun
yang memiliki komputer (Fidler, 2003: 361).
Perkembangan cybermedia di tengah zaman modern ini disambut
dengan cepat oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan perkembangan
pengguna cybermedia di dunia yang hampir mencapai angka dua milyar
user internet pada 2010, seperti dirilis Internet World Stats yang memuat
statistik pengguna internet di seluruh dunia dalam situsnya http://
www.internetworldstats.com/stats3.htm. Di Indonesia, pengguna internet
mencapai 45 juta pada pertengahan 2010 seperti diungkapkan
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dalam acara Rakernas
APJII 2010 dan IPv6 Summit yang berlangsung di Padma Resort Bali, 8-9
Juni 2010 (www.detikinet.com).
Sambutan yang luar biasa ini kemudian dimanfaatkan oleh media
penyiaran dengan lahirnya sistem streaming. Streaming merupakan
teknologi untuk memainkan file video atau audio secara langsung ataupun
dengan pre-recorder dari sebuah mesin server (web server). Pemutaran file
video atau audio ini dapat dilakukan setelah adanya permintaan dari user
(www.ittelkom.ac.id, diakses 01/08/2010). Secara sederhana, sistem streaming
merupakan sistem yang memberikan informasi melalui layanan cyber media baik
secara langsung maupun tidak.
Sistem ini pada mulanya digunakan untuk penyiaran audio (radio
streaming). Namun seiring percobaan-percobaan pengembangan, sistem
ini kemudian mulai diterapkan untuk penyiaran audio-visual (TV
streaming). TV Streamingmerupakan salah satu terobosan dalam penyiaran
televisi. Pemanfaatan teknologi komunikasi dan cybermedia membuat TV
Streamingmemiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan TV analog.
Salah satunya, TV Streaming tidak memerlukan perangkat khusus atau
tambahan. Komputer dan jaringan internet dengan kemampuan akses
yang cukup cepat adalah modal utama untuk bisa menikmati TV streaming.
Ditambah lagi, adanya laptop memudahkan akses TV Streamingdimana
saja. Mobilitas yang tinggi dan semakin tersedianya fasilitas hot spot di
berbagai tempat memungkinkan seseorang tetap dapat memperoleh
informasi dan hiburan dari televisi.
Selain itu, disaat yang bersamaan, user dapat mengakses TV Streaming
serta situs-situs lain untuk efisiensi waktu. Adanya TV Streaming ini juga
mampu memberikan fasilitas interaktif tanpa perantara di waktu yang
singkat. Ketika user mengakes TV Streaming dan merasa acara tersebut

161
Quo Vadis Televisi?

kurang menarik, maka pada waktu yang bersamaan user dapat langsung
memberikan tanggapan. Tanggapan ini merupakan fasilitas komunikasi
dua arah yang dimiliki oleh TV Streaming. Tidak hanya itu, sesuai dengan
pengertiannya, TV Streaming dapat menyimpan dokumentasi acara siaran
langsung yang telah diputar sebelumnya. Dokumentasi acara ini dapat
diputar sewaktu-waktu saat ada permintaan user. Dengan demikian, user
tidak perlu lagi takut kehilangan informasi maupun hiburan sebelumnya.
Keunggulan lain yang ditawarkan sistem streaming ini adalah user tidak
perlu mengunduh dahulu ketika akan menyaksikan acara yang sedang
berlangsung. Efisiensi waktu karena user hanya menunggu sekian detik
untuk menghubungkan koneksi dan selanjutnya tayangan dapat langsung
dinikmati. Prinsip TV Streaming sendiri sebenarnya tidak berbeda jauh
dengan radio streaming yang sekarang sudah cukup banyak dimanfaatkan.
Perbedaan hanya terletak pada kemampuan TV Streaming untuk bisa
menyimpan dan memutar ulang tayangan yang sudah berlalu. Tidak
hanya itu, dengan TV Streaming juga memungkinkan user untuk menikmati
siaran televisi nasional ketika sedang berada di luar negeri.
Keunggulan-keunggulan yang diberikan TV Streaming itulah yang
menjadi kekuatan TV Streaming sebagai televisi masa depan. Selain dapat
dimanfaatkan sebagai alternatif televisi bagi masyarakat, TV Streaming
merupakan peluang bagi perusahaan-perusahaan televisi nasional karena
ternyata tidak semua stasiun televisi di Indonesia menyediakan fasilitas
TV Streaming di web mereka. Walaupun sekarang sudah mulai dirintis,
TV Streaming saat ini masih dalam bentuk siaran-siaran berita saja.
Hal ini sebenarnya sudah menjadi sesuatu yang umum, yaitu penyiaran
berita streaming. Seperti juga yang ditulis Dominick, Messere, dan Sherman
(2004: 146) dalam buku Broadcasting, Cable, the Internet, and Beyond sebagai
berikut: “News streaming is common on many websites and the standards for
encoding Internet video such as MPEG-4 are evolving rapidly.” Pernyataan
tersebut menegaskan bahwa streaming berita merupakan hal yang sudah
lazim di web. Sama pula yang terjadi di Indonesia, beberapa stasiun televisi
menyediakan streaming untuk acara beritanya, seperti Metro TV, Liputan6
SCTV serta TV One.
Selain sebagai penyiaran berita streaming, TV Streaming di Indonesia
masih sebatas web yang menyuguhkan jadwal acara, program-program
unggulan, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, akses
ke klub fans atau klip-klip video tertentu saja. Apabila ada penayangan

162
TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

live streaming biasanya difasilitasi oleh web lainnya. Seperti MivoTV,


Masronny TV Streaming, dan lain sebagainya.
MivoTV hadir sebagai salah satu penyedia layanan TV Streaming.
MivoTV menyediakan layanan siaran dari beberapa televisi swasta, seperti
RCTI, SCTV, Trans TV, Global TV, dan TV One. Dalam layanan MivoTV
ini juga tersedia layanan komunikasi interaktif (chat). MivoTV selain
dimanfaatkan oleh mereka yang sedang menggunakan fasilitas internet
di dalam negeri juga dapat digunakan oleh masyarakat Indonesia yang
berada di luar negeri. Hanya saja, masih banyak yang belum mengetahui
keberadaan adanya MivoTV, penyedia fasilitas TV Streaming. Terbukti
dalam salah satu kelas kuliah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, banyak
mahasiswa yang tidak mengetahui MivoTV sebagai TV Streaming yang
menyiarkan tayangan dari televisi nasional.
Begitu juga dengan keberadaan Masronny TV Streaming, masih banyak
yang belum mengetahui dan memanfaatkannya. Masronny TV Streaming
merupakan penyedia fasilitas TV Streaming yang lebih lengkap dari pada
MivoTV. TV Streaming ini menyediakan layanan siaran dari televisi swasta
dan beberapa televisi lokal hingga televisi luar negeri, yaitu RCTI, SCTV,
TV One, Trans TV, Spacetoon, Kompas TV, FAJAR, ANTV, Metro TV,
Indosiar, Global TV, Bali TV, CNN, dan sebagainya. Tidak hanya itu saja,
TV Streaming ini menyediakan pula layanan komunikasi interaktif (chat).
Kurang diketahuinya keberadaan situs ini tentunya mengurangi pula
pemanfaatannya. Ditambah lagi, masih sering terjadinya trouble yang
membuat user tidak dapat menerima layanan siaran televisi-televisi
tersebut. Dilihat dari fasilitas chat yang tertera pada situs-situs TV Streaming
yang sudah ada, banyak masyarakat yang mulai tertarik untuk mencoba
fasilitas ini. Hal ini tentunya dapat menjadi peluang tersendiri untuk
televisi nasional dalam penyediaan TV Streaming baik secara live maupun
on demand.
Memaksimalkan TV Streaming di Indonesia
Sejauh ini, televisi nasional yang sudah melakukan pemanfaatan
teknologi streaming secara live hanya Metro TV saja. Peluang bagi televisi
nasional untuk membuat layanan TV Streaming didukung Fidler (2003:
324) yang menyatakan bahwa web memiliki kemampuan untuk
menyajikan data yang kompleks, termasuk di dalamnya audio, video serta
grafik. Hal ini menjadi salah satu peluang untuk bisa menyampaikan
informasi dan mendapatkan tanggapan dari masyarakat yang lebih luas

163
Quo Vadis Televisi?

melalui web, karena TV Streaming dapat menjangkau masyarakat hingga


lintas negara sejauh dapat mengakses cybermedia.
Tidak hanya televisi swasta nasional yang diharapkan bisa
memaksimalkan teknologi streaming dalam perluasan penyiaran, tetapi
juga televisi-televisi lokal yang juga sudah tumbuh hampir di setiap
provinsi di Indonesia. Televisi lokal diharapkan pula dapat mengikuti
perkembangan teknologi yang ada, salah satunya dengan TV Streaming
ini. Pemanfaatan TV Streamingbagi televisi lokal dapat juga sebagai media
informasi bagi masyarakat daerah yang sedang merantau ke luar
daerahnya.
Tanggapan dari audience televisi ini tentu saja akan memberikan
keuntungan tersendiri bagi produser-produser acara dan tentu saja yang
berada di belakang layar setiap tayangan televisi, termasuk anchor
(pembawa berita), reporter, pengisi acara, dan kru acara. Masyarakat akan
secara langsung menilai dan memberikan komentarnya terhadap acara
yang sedang ditontonnya. Respon yang masuk juga akan langsung dapat
menjadi bahan evaluasi bagi mereka yang berada dalam tayangan.
Sistem yang ada mampu menampung setiap saran yang masuk. Suatu
saat dimungkinkan pula penggunaan video call dengan memanfaatkan
salah satu layanan online, contohnya Skype yang dapat dimanfaatkan untuk
berinteraksi secara langsung antara audience dan pengisi acara. Hal ini
dapat kita lihat dalam tayangan Oprah Winfrey Show yang sudah
menerapkan interaksi langsung dalam program acaranya.
Penerapan TV Streaming sebagai televisi alternatif di masa depan di
Indonesia berlum berjalan mulus. Namun, adanya target dan optimisme
pemerintah seperti disampaikan Menkominfo melalui Dirjen Potsel bahwa
sesuai misi World Summit on the Information Society (WSIS), Indonesia
menargetkan 120 juta masyarakat sudah mengakses internet pada tahun
2015 (www.detikinet.com). Hal ini akan menjadi tantangan yang sejalan
dengan target yang sudah ditetapkan pemerintah. Dengan demikian,
Indonesia diharapkan tidak lagi menjadi negara yang jauh tertinggal dalam
teknologi dan informasi.
Penyediaan TV Streaming oleh stasiun-stasiun televisi merupakan salah
satu bentuk pengaplikasian teknologi bagi dunia penyiaran. Selain faktor
teknis dan audience, ruang iklan yang baru di web juga terbuka lebar dan
tentu saja akan memberikan keuntungan berlipat bagi perusahaan televisi
swasta. Keuntungan lain bagi stasiun televisi juga dapat berupa tanggapan
yang berisi kritik dan saran dalam waktu yang relatif singkat, serta

164
TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

kedekatan dan kepemilikan audience terhadap televisi yang akan lebih


terbangun hingga masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri. Selain
itu, menjadi penyedia TV Streaming dalam web masing-masing stasiun
televisi akan menguatkan tujuan utama keberadaan televisi yaitu selain
sebagai pemberi informasi dan hiburan, juga sebagai perantara (media)
pemerintah terhadap masyarakatnya.
TV Streaming juga memungkinkan pengembangan acara dan keluasan
informasi yang bisa diperoleh. Misalnya saja, televisi dapat langsung
menerima kabar dari mahasiswa Indonesia yang berada di luar negeri
mengenai up date berita terakhir di negara tersebut. Selain itu juga, dapat
menjadi peluang acara interaktif yang baru dengan membuat program-
program acara yang bisa melibatkan audience langsung dari berbagai
belahan dunia.
Selain memberikan banyak manfaat bagi perusahaan televisi, TV
Streaming juga sangat menguntungkan audience. Sebagai masyarakat yang
memperoleh informasi dan hiburan dari televisi sekarang, audience
dituntut untuk aktif dan kritis. Dengan memanfaatkan TV Streaming maka
kemungkinan audience untuk bisa aktif dan kritis akan sangat terbuka lebar.
Fasilitas interaktif yang memang tersedia dalam TV Streaming tentu saja
akan semakin menyemarakkan komunikasi dua arah antara penyiar dan
audience. Selain itu juga, akses TV Streaming dan murahnya biaya untuk
berinteraksi tentu akan semakin menyemarakkan komunikasi yang
dilakukan. Jika sebelumnya audience perlu menelepon atau mengirimkan
SMS (short message service) untuk menyampaikan opini ke televisi, dengan
adanya TV Streaming cukup dengan mengetik pesan dan klik “kirim”.
Penutup
Kemudahan akses tanpa perlu membeli perangkat baru atau tambahan
bagi komputer, juga semakin memungkinkan masyarakat dapat
memaksimalkan TV Streaming ini di masa depan. Penggunaan cybermedia
yang meningkat dari hari ke hari sebagai sarana berkomunikasi, hiburan,
dan bisnis, memungkinkan masyarakat modern lebih banyak mengakses
TV Sstreaming. Dengan demikian, informasi yang didapatkan tidak lagi
hanya berupa teks digital tetapi siaran audio-visual. Hal ini tentu saja
sesuai dengan prinsip yang diungkapkan Fidler (2003: 324) bahwa ada
peningkatan kemampuan para pengguna komputer rumah tangga untuk
secara ekonomis mengakses isi multimedia melalui jaringan-jaringan
telekomunikasi kecepatan tinggi yang murah. Akses yang murah dan lebih

165
Quo Vadis Televisi?

efisien tentu menjadi pilihan alternatif untuk mendapatkan informasi


dan hiburan di masa depan.
Media informasi di masa depan ini, tidak menutup kemungkinan akan
terus berkembang dan dikembangkan oleh perusahaan televisi seiring
dengan meningkatnya audience yang memanfaatkannya. Semakin banyak
masyarakat yang menggunakan dan mengakses TV Streaming maka
memungkinkan produsen akan memproduksi progam-program acara
yang baru dan memenuhi kebutuhan khalayaknya. Kebutuhan akan
informasi tentang daerah atau negara asal serta dapat melihat kondisi
dengan perantaraan audio-video tentu akan lebih memberikan kepuasan
tersendiri bagi audience. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip nilai berita
yaitu proximity (kedekatan). Juga sebaliknya, akan memberikan informasi
yang memadai pula bagi masyarakat lokal atau negara untuk mengetahui
kondisi masyarakat yang sama asalnya.
Program acara yang dikembangkan oleh stasiun-stasiun televisi
memberikan kesempatan bagi audience untuk berinteraksi dengan audience
yang lain secara live. Perkembangan teknologi dan kemampuan akses yang
meningkat di masa depan akan semakin memberikan kemudahan untuk
komunikasi interkatif dengan audio-video. Dengan demikian, TV
Streaming merupakan televisi alternatif yang memanfaatkan teknologi
televisi di masa depan.

Daftar Pustaka
Andwika, Eskarina, “Pengaruh Posisi Penempatan Iklan Spot di Televisi Terhadap
Tingkat Brand Awareness Khalayak”, Skripsi FISIP UAJY.
Dominick, Joseph R, Fritz Messere, dan Barry L.Sherman. 2004. Broadcasting, Cable,
the Internet, and Beyond. New York: McGrawHill.
Fidler, Roger. 2003. Mediamorfosis. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Institut Teknologi Telkom. 2009. Konsep Dasar Video Streaming, http://
www.ittelkom.ac.id/library/index.php?view=article&catid=6:internet&id=645:
konsep-dasar-video-streaming&option=com_content&Itemid=15 diakses pada
1 Agustus 2010 pukul 02.04 WIB.
Internet World Stats. 2009. Internet Usage in Asia, http://
www.internetworldstats.com/stats3.htm), diakses pada 31 Juli 2010 pukul 14.11
WIB
Mujahidin, Andi. 2008. Sejarah dan Perkembangan Internet, http://
www.andimujahidin.com/2008/01/sejarah-dan-perkembangan-internet/
diakses pada 1 Agustus 2010 pukul 14.45 WIB
Mulyana, Deddy dan Idi Subandi Ibrahim. 1997. Bercinta dengan Televisi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

166
TV Streaming sebagai Televisi Alternatif

Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 2006. Indonesia Media Guide 2005.


Jakarta: Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
Setyobudi, Ciptono.2006. Teknologi Broadcasting TV. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suryadhi, Adhi. 2010. Pengguna Internet Indonesia Capai 45 Juta, (http://
www.detikinet.com/read/2010/06/09/121652/1374756/398/pengguna-internet-
indonesia-capai-45-juta) diakses 31 Juli 2010 pukul 14.05 WIB.

167
IPTV: Televisi Impian di Masa Depan

Lusi Hasiana dan Yosefine Nandy Lestyana


Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Perkembangan peradaban berjalan seiring dengan perkembangan


teknologi. Tuntutan kemudahan berkomunikasi mendorong munculnya
teknologi informasi yang dapat menyebarkan informasi dengan cepat. Para
peneliti dan penemu melakukan terobosan teknologi yang luar biasa dalam
bidang komunikasi, khususnya komunikasi massa, berupa transmisi tanpa
kabel yang mampu mengirimkan bukan hanya suara melainkan suara
dan gambar (televisi).
Dengan kemudahan dalam penerimaan pesan kepada khalayak luas,
pengaruh televisi menjadi begitu besar. Teknologi televisi yang maju turut
menjadi salah satu pengaruh dalam perubahan sosial dalam masyarakat.
‘Kotak ajaib’ ini banyak memberi pengaruh dalam kehidupan masyarakat,
negatif maupun positif. Televisi dengan kekuatannya membuat dunia
seakan tidak berjarak. Televisi menjadi ‘tutor’ yang paling handal dalam
menciptakan watak dan karakter manusia. Contohnya, anak kecil yang
tidak mengetahui cara bergulat, ia mahir berkelahi dengan temannya
setelah melihat tayangan di sebuah acara televisi.
Televisi merupakan kebudayaan baru di dalam masyarakat yang
dinamakan ‘kebudayaan audiovisual’. Produksi budaya televisi
merupakan simbol lahirnya budaya baru tersebut. Perkembangannya di
masyarakat menjadikan ‘kebudayaan visual’ membawa pengaruh yang
kuat dalam membentuk sikap dan kepribadian baru. Pesatnya
perkembangan jaringan televisi hingga ke wilayah yang terpencil, juga
menjadi penyebab munculnya kultur baru tersebut. Keunggulan televisi
yang menjadikannya sebuah kultur baru yang berbeda dari kultur-kultur
sebelumnya Kemampuan mampu memberi penekanan secara efektif
terhadap pesan atau maksud yang dituju dengan meng-close up objeknya
atau memberi pemusatan pandangan.
Berbagai faktor di atas menjadikan ‘kebudayaan visual’ semakin maju
dan berkembang. Tak mengherankan apabila hingga kini televisi memiliki
daya tarik yang luar biasa apabila program yang disajikan dalam televisi

168
IPTV: Televisi Impian di Masa Depan

tersebut sesuai dengan karakter manusia yang terpengaruh oleh televisi


tersebut. Maka dari itu, program televisi yang disajikan disesuaikan
dengan karakteristik penonton.
Televisi menyajikan berbagai macam program tayangan berdasar
realitas, rekaan dan ciptaan yang sama sekali baru. Televisi lebih cenderung
sebagai medium domestik dengan audiensnya keluarga. Ketergantungan
terhadap televisi di dalam keluarga dapat mempengaruhi hubungan
interpersonal di antara anggota-anggota keluarga. Menonton televisi dapat
dijadikan sarana mengakrabkan diri antara ayah, ibu, maupun anak. Maka
dari itu kadang menonton televisi juga menjadi rutinitas penting yang
dijadwalkan dalam sebuah keluarga. Terkadang juga menonton televisi
dapat dijadikan sebagai pengisi waktu luang.
Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, kebutuhan
mengkonsumsi ‘kultur’ baru ini semakin meningkat. Televisi menjadi
media hiburan yang paling dicari oleh masyarakat saat ini. Hampir semua
acara televisi dikemas dan diformat sebagai hiburan, karena hiburanlah
yang dimaui penonton dan pengiklan. Selain media hiburan, televisi
menjadi alat kontrol sosial. Kenyataannya, televisi sebagai alat kontrol
sosial belum sepenuhnya terwujud. Yang terjadi di lapangan, televisi malah
membuat masyarakat memiliki gaya hidup hedonis.
Dalam sebuah konsepsi Fiske (1987), televisi berfungsi sebagai a bearer/
provoker of meaning and pleasures, artinya televisi berfungsi sebagai bagian
dari dinamika sosial yang memelihara struktur sosial dalam suatu proses
melalui makna. Televisi yang membudaya di tengah masyarakat kita
membuat masyarakat percaya bahwa realitas televisi adalah suatu realitas
yang empirik. Maksudnya, dalam televisi ada sebuah kepercayaan.
Kemampuannya menyebarkan pesan ke banyak orang menjadi sumber
kekuatan informasi atas apa yang disebarkannya.
Terlepas dari kebaikan dan ‘kultur’ yang diciptakannya di tengah
masyarakat, tidak sedikit dampak negatif dari televisi. Tujuan awal
diciptakannya televisi adalah memberikan manfaat-manfaat positif.
Televisi menjadi sumber informasi masyarakat sebagai alat komunikasi
massa. Televisi merupakan alat komunikasi yang paling banyak
dikonsumsi public. Namun, manfaatnya sebagai alat komunikasi justru
menyimpan masalah karena banyak acara televisi saat ini menampilkan
gosip dan mengeksploitasi orang miskin, lewat program pengumpulan
uang, perbaikan rumah dan sebagainya.

169
Quo Vadis Televisi?

Dampak negatif dari ‘kotak ajaib’ semakin sering dirasakan di tengah


masyarakat. Dampak yang sangat rentan atas pengaruh media massa bagi
masyarakat adalah dampak kepada sistem sosial yang dipunyai oleh
sebuah sistem masyarakat (Baran, 2000). Efek sosial yang muncul bisa
memuat unsur-unsur perubahan sosial dan kebudayaan baru yang tak
lazim di kalangan masyarakat. Televisi seakan menjadi ‘anutan baru’ di
kalangan masyarakat. Apa pun ditawarkan oleh televisi diterima begitu
saja tanpa disaring terlebih dahulu. Hal tersebut dapat berimbas pada
interaksi sosial di masyarakat dengan segala dampak negatifnya.
Perkembangan Teknologi Televisi
Perkembangan kebutuhan dan ketergantungan masyarakat terhadap
televisi, memunculkan banyak keinginan tentang hadirnya teknologi
televisi yang makin cerdas dan canggih. Para ilmuwan mengembangkan
teknologi televisi menjadi semakin ringan, tipis, dan moderen. Televisi
masa depan bahkan mampu untuk membaca ‘mood’ penontonnya. Remote
control akan menjadi usang dan ditinggalkan karena teknologi yang
semakin canggih untuk melahirkan televisi cerdas yang memudahkan
masyarakat untuk menonton televisi. Ashley Highfield, Managing Director
of Microsoft mengatakan, televisi cerdas akan semakin intuitif dan mampu
mengenali ekspresi wajah pemilik maupun gerak tubuh. Dengan
demikian, televisi akan mampu mengukur mood dan memberikan bantuan
untuk mengikuti kemauan anda sesuai keinginan anda (Okezone.com,
17/07/ 2010).
Ron Tepper dalam bukunya How to Get into the Intertainment Business
mengatakan, di masa depan sebuah berita akan dapat direkam dan
dihentikan sesuai kehendak penontonnya. Hal ini akan berakibat bagi
kehidupan masyarakat yaitu tidak digunakan lagi seorang pembaca dan
redaktur yang bergaji tinggi. Dikatakan bahwa kita akan memasuki dunia
baru yaitu dunia interaktif. Tidak diketahui secara pasti apa yang akan
menjadi dampak dari permainan era interaktif tersebut. Yang dapat
diprediksikan dari dampaknya akan sangat signifikan dan dapat
menciptakan peluang yang benar-benar baru dalam dunia bisnis hiburan.
Konsekuensi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
adalah lahirnya konvergensi berbagai jenis media baru. Jenis-jenis media
ini tidak lantas secara sederhana dapat langsung dikelompokkan ke dalam
bagian dari penyiaran, telekomunikasi ataupun internet. Jenis teknologi
tersebut semuanya saling terhubung secara sifat dari fungsi dan

170
IPTV: Televisi Impian di Masa Depan

kegunaannya. Teknologi awal televisi menjadikan penonton pasif. Mereka


hanya menikmati apa yang disajikan di layar televisi tanpa dapat
mengubah atau memberikan tanggapan. Dengan berkembangnya media
baru, penonton punya kesempatan untuk aktif memberi interaksi
mengenai apa yang disukainya dan mana yang tidak sesuai pilihannya
(relying on choice). Dengan begitu televisi akan mampu memberikan
kepuasan yang maksimal kepada konsumennya.
Media yang menggunakana teknologi baru yang sedang berkembang
dan mulai digandrungi di seluruh dunia saat ini, yaitu IPTV (Internet
Protocol Television). IPTV adalah siaran televisi, video, teks atau data
berbasis internet dengan kecepatan minimal dua megabyte perdetik yang
dapat diakses oleh para pelanggannya. Teknologi ini menggunakan
jaringan internet, kabel telepon dan televisi kabel atau satelit. Dengan
jaringan internet, teknologi ini dapat memberi pesan yang dapat
dikonsumsi secara langsung, memiliki kemampuan untuk merekam,
bahkan menghentikan gambar saat penayangan pesan sedang
berlangsung.
Dengan kemampuan yang ditawarkan teknologi ini maka
pengendalian atas IPTV sepenuhnya dikuasai oleh konsumen (personal).
Bahkan IPTV dapat menayangan pesan tersebut langsung secara mobile
tanpa harus berada di suatu tempat yang tetap atau tidak bergerak. Tentu
saja bila hendak menikmati secara mobile, dibutuhkan alat-alat lain seperti
decoder yang dapat terhubung dengan internet sehingga tayangan dapat
dinikmati dari jarak jauh. Hal-hal tersebut merupakan sebagian
keunggulan yang mampu diberikan oleh IPTV daripada televisi biasa.
Jika ingin mengakses IPTV di rumah, diperlukan sebuah Personal
Computer (PC) serta set top box yang terhubung dengan televisi. Set top
box harus dilengkapi Internet Protocol Multimedia System (IMS) untuk
mengkombinasikan antara mobile internet dan content broadcast. Penonton
dapat menggunakan remote untuk mengontrol sistem yang ada dalam set
top box misalnya untuk merekam, browsing, chatting, dan sebagainya.
IPTV memiliki delapan jenis layanan yang tersedia. Pertama, Live
Television, yakni siaran televisi yang dipancarkan oleh stasiun-stasiun
televisi biasa. Kedua, Video and Music On Demand, yakni layanan siaran
musik dan video sesuai permintaan penonton. Ketiga, News On Demand,
yakni layanan siaran berita sesuai permintaan penonton. Keempat, Voice
Over Internet Protocol (VoIP), yakni teknologi yang memungkinkan
komunikasi suara dan fax dengan menggunakan jaringan berbasis Internet

171
Quo Vadis Televisi?

Protocol (IP). Teknologi ini juga dapat mengubah suara atau fax menjadi
sebuah format data digital yang dapat dikirim melalui jaringan IP. Keelima,
Network-based Private Video Recorder (NPVR), yakni fitur untuk merekam
siaran langsung (real time broadcast) dalam jaringan server yang dapat
diakses kapanpun saat dikehendaki. Keenam, Online games, yakni layanan
aneka games. Ketujuh, Parental guide atau layanan untuk melindungi anak
dan remaja dari siaran yang yang tidak diperuntukkan bagi usia mereka.
Terakhir, Shopping online, yaitu layanan bagi para penonton untuk
memesan dan membeli barang yang diminati saat menyaksikan sebuah
tayangan.
Dalam sistem layanan IPTV terdapat empat pihak yang berperan.
Pertama, content provider yaitu penyedia program-program televisi dan
konten multimedia. Kedua, service provider yang befungsi untuk mengatur
dan mengendalikan layanan IPTV. Ketiga, network provider yang
merupakan pihak yang menjalankan fungsi pengiriman dan distribusi.
Terakhir, customer yaitu pelanggan yang menikmati layanan IPTV.
Sampai saat ini, perkembangan penggunaan IPTV di banyak negara
semakin meningkat seiring bertambahnya pengguna internet. Tahun 2010
pengguna IPTV diperkirakan bertambah sekitar 70 persen yang didorong
oleh negara-negra berpopulasi padat seperti Cina, India dan Indonesia.
Peluang ini tampaknya dimanfaatkan oleh beberapa lembaga penyiaran
berlangganan di Indonesia untuk menjajaki kemungkinan menerapkan
layanan IPTV sambil menunggu regulasi yang akan dikeluarkan
pemerintah mengenai teknis penyiaran melalui IPTV.
Sebagian besar IPTV provider di dunia berasal dari provider
telekomunikasi dan internet. Hal ini karena layanan IPTV merupakan
gabungan layanan penyiaran, telekomunikasi dan internet (triple play).
Inilah yang dikatakan bahwa teknologi masa depan sulit untuk
dikelompokkan ke bagian penyiaran, komunikasi, atau informasi karena
semuanya berhubungan fungsinya. Beberapa provider IPTV besar di dunia
antara lain: AT&T-U Verse; Verizon Fios TV (Amerika), T-Home (Jerman),
MaLigne TV (Prancis), Telefonica Imagenio (Spanyol), Swiss Com-Blue
Win TV (Swiss), British Telecom (Inggris), PCCW (Hongkong), Hanaro
(Korea), Chunghwa (Taiwan), Sing Tel Mio TV (Singapore).
Televisi masa depan akan menjadi layanan yang sangat dinanti-nanti
oleh para pengguna karena manfaat yang besar dan sifatnya yang sangat
personal dan interaktif. Sebagai interaktif televisi berbasis internet, IPTV
memiliki keunggulan dari segi tampilan yakni ketajaman gambar yang

172
IPTV: Televisi Impian di Masa Depan

sangat tinggi dan memberikan peluang komunikasi dua arah dan multiple
stream. Dengan kehadiran IPTV, konsep komunikasi telah bergeser menjadi
‘broadcast yourself’ dimana semua pengguna bebas menentukan apa yang
ingin dikonsumsi sesuai kebutuhannya. Kehadiran televisi masa depan
ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak termasuk regulasi yang
menjamin keamanan distribusi dan konsumsi layanan tersebut. Bagaimana
pengaturan televisi interaktif ini, akan menjadi pekerjaan rumah regulator.
Selamat datang televisi masa depan!

Daftar Pustaka
Fiske, John. 1987. “Television culture”, London: Routledge.
Budiman, Kris, “Di depan Kotak Ajaib : Menonton Televisi Sebagai Praktik Konsumsi”,
Galang Press, Yogyakarta, 2002.
Wahyudi, J.B. 1992, “Teknologi Informasi dan Produksi Citra Bergerak”, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Morrisan, M.A. 2008, “Manajemen Media Penyiaran : Strategi Mengelola
Radio&Televisi”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Severin, Werner J, James W.Tankard, Jr. 2005, “Teori Komunikasi Sejarah, Metode,
dan Terapan di Dalam Media Massa”, Indonesia : Kencana Prenada Media Group.
Parker, Steve. 2000, “Jendela Iptek Seri 1: Listrik”, Jakarta: PT. balai pustaka.
Taryadi, Alfons. 1999, “Buku dalam Indonesia Baru”, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Tepper, Ron. 2006. “How To Get Into The Entertainment Business”, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
S. Wijaya, Benny. 2008. “Produk-produk Edan di Masa Depan”, Jakarta: Ufuk
Publishing House.
http://www.kpi.go.id, diakses Sabtu, 17 Juli 2010.
http://techno.okezone.com, diakses Sabtu, 17 Juli 2010.

173
Lewat buku ini kami ingin
mempertanyakan ke mana masa
depan televisi dan bagaimana
‘wajah’ televisi di masa depan.
Buku ini menyajikan tulisan-
tulisan hasil kajian dan
pembacaan kami, komunitas
orang-orang yang belajar Ilmu
Komunikasi tentang kemana arah
atau masa depan televisi dan
bagaimana televisi masa depan.
Para penyumbang tulisan
sebagian besar adalah dosen,
mahasiswa, dan alumni Prodi
Komunikasi Universitas Atma
Jaya Yogyakarta. Buku ini
merupakan hadiah ulang tahun
ke-19 Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Atma Jaya
Yogyakarta.

Program Studi Ilmu Komunikasi


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Jalan Babarsari No. 6 Yogyakarta
http://fisip.uajy.ac.id

You might also like