Professional Documents
Culture Documents
MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas mata ajaran Keperawatan Medikal Bedah III
oleh :
KELAS SANTA
TERESA
Bandung
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kusta telah menyerang manusia sejak 300 sm, dan telah dikenal oleh peradaban
tiongkok kuna, mesir kuna, dan india. Pada 1995, organisasi kesehatan dunia (who)
memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.
B. Tujuan
Tujuan umum:
Agar mahasiswa STIKes St. Borromeus D III Keperawatan tingkat 2 semester 4
dapat memahami askep pada klien dengan gangguan Morbus Hansen
Tujuan khusus.
1. Dapat memahami anatomi dan fisiologi dari system integument.
2. Dapat memahami pengertian Morbus hansen
3. Dapat memahami penyebab terjadinya Morbus Hansen
4. Dapat memahami proses terjadinya Morbus Hansen
5. Dapat memahami gejala dari Morbus Hansen
6. Dapat memahami asuhan keperawatan Morbus Hansen
C. Metode penulisan
1. LAPISAN EPIDERMIR
Lapisan epidermis adalah lapisan paling atas dari kulit serta tidak mengandung pembuluh
darah dan saraf. Tebalnya di kulit biasa 0, 3 mm, Ditelapak tangan dan kaki tebalnya 1.5
mm. Waktu yang diperlukan dari lapisan yang paling bawah menjadi paling luar 30 hari.
Disekitar pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit, histiosit, sel mast, dan leukosit
yang melindungi tubuh dari infeksi dan invasi benda-benda asing. di samping itu, di dalam
lapisan dermis juga terdapat akar rambut dan kelenjar keringat.
3. LAPISAN SUBKUTIS
Lapisan hypodermis atau lapisan subkutan terdiri dari jaringan adipose, banyak
mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf juga terdapat gulungan
kelenjar keringat dan dasar dari folikel rambut. Tidak seperti epidermis dan dermis,
batas dermis dengan lapisan ini tidak jelas.Pada bagian yang banyak bergerak jaringan
hipodermis kurang, pada bagian yan melapisi otot atau tulang mengandung anyaman
serabut yang kuat. Pada area tertentu yng berfungsi sebagai bantalan (payudara dan
tumit) terdapat lapisan sel-sel lemak yang tipis. Distribusi lemak pada lapisan ini
banyak berperan dalam pembentukan bentuk tubuh terutama pada wanita.
FUNGSI KULIT
Kulit memiliki banyak fungsi diantaranya dalah:
a. Menutupi dan melindungi organ-organ dibawahnya
b. Melindungi tubuh dari masuknya mikroorganisme dan benda asing yang dapat
membahayakan tubuh. Fungsi ini merupakan fungsi perlindungan pasif. Selain fungsi
perlindungan pasif, lapisan dermis berperan dalam proses menyiapkan limfosit yang di
produksi oleh sumsum tulang sebelum benar-benar dipakai untuk menyerang berbagai
mikroorganisme penyebab penyakit. Peran kulit dalam hal ini merupakan peran aktif dalam
perlindungan tubuh.
c. Pengaturan suhu. Kulit, jaringan sub kutan dan lemak merupakan penyekat panas dari
tubuh. Lemak menyalurkan panas sepertiga kecepatan jaringan lain atau dalam kata lain
lemak menghambat pengeluaran panas dari tubuh. . Kecepatan aliran darah ke kulit
B. PENGERTIAN
Morbus Hansen (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan
oleh infeksi mycobacterium leprae (Kapita Selekta Kedokteran UI, 2000)
Penyakit Morbus Hansen adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan
oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya (Departeman Kesehatan, Dit. Jen PPM & PL, 2002)
Jadi, Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Myrobacterium
Lepra yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
C. ETIOLOGI
5. Daya tahan tubuh, imun tubuh juga mempengaruhi dalam masuk dan berkembangnya
virus M.Leprae.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Kulit dengan bercak putih atau kemerahan dengan mati rasa
3. Adanya kuman tahan asam (BTA positif) pada pemeriksaan kerokan kulit
F. PATOFISIOLOGI
Mekanisme penularan penyakit Morbus Hansen diawali dari kuman Mycobacterium
Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel serta mempunyai sifat tahan
asam (BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat. Mekanisme
penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya
kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut
berperan.
Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen diakibatkan M.Leprae yang memiliki
bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengan sel
schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan
mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag
gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindungi di dalam
makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang makrofag bekerja terus-menerus
untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht Factor) yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF
tidak mengenal bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak
akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann
merupakan APC non professional. Akibatnya akan mengalami gangguan fungsi saraf tepi
seperti sensorik, motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan menyebabkan
terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati rasa (anestasi). Kerusakan
fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau lumpuhnya otot kaki atau tangan, jari-jari
tangan atau kaki menjadi bengkok. Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya gangguan
G. KLASIFIKASI LEPRA
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat
berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi
yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan
saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya
kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman
kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul, dan
tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di seluruh tubuh
diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput,
penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).
2. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba),
jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam
tabung reaksi (rasa suhu).
Dikutip dan dimodifikasi dari Buku Panduan Pemberantasan Kusta Depkes (1999)
5. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif
Kulit muka sebaiknya dihindari karena lalasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan
lesi di tempat lain
Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perluditambah
dengan lesi kulit yang baru timbul
Paha kiri 4+ 3 97
Bokong kanan 4+ 4 96
17 + 18 382
H. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin dan DDs
dmluai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai berikut
Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuki orang dewasa :
1) Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas
2) Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin
50 mg/hari diminum di rumah
3) DDS 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam wktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24
dosis dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun
secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteti positif. Menurut WHO (1998)
pengobatan MB diberikan untuk dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
Dosis untuk anak
I. Indikasi Rujukan
a. Memastikan diagnosis penyakit kusta
b. Neuritis akut dan subakut
c. Reaksi reversal berat
d. Reaksi ENL berat
e. Komplikasi pada mata
f. Reaksi terhadap antikusta
g. Tersangka resisten terhadap antikusta
h. Pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medic
i. Pasien dengan keadaan umum buruk atau darurat
j. Pasien kusta yang membutuhkan latihan fisioterapi
k. Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi
l. Luka lebar dan dalam pada anggota gerak
m. Pasien kusta yang menbutuhkan tindakan bedah septic
J. KOMPLIKASI
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan
fungsi saraf tepi maupun neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.
B. Diagnosa Medis
1. Resiko cedera b.d anestesi atau hilang rasa sakit akibat neuritis
2. Kerusakan intergritas kulit b.d adanya lesi
3. Perubahan gangguan persepsi visual b.d penurunan penglihatan
4. Isolasi sosial b.d perubahan bentuk tubuh
5. Gangguan aktivitas b.d kelumpuhan otot
6. Gangguan konsep diri b.d perubahan penampilan fisik
DK : Resiko cedera berhubungan dengan anestesi atau hilang rasa akibat neuritis.
Hasil yang diharapkan:
1. Klien dapat menidentifikasi faktor faktor yang dapat meningkatkan resiko cedcera
pada dirinya.
2. Klien dapat menjelaskan tujuan tindakan keamanan untuk mencegah cedera.
Rencana keperawatan
1) Beri penjelasan pada klien dan keluarga tentang tentang penyebab ansietas
atau hilang rasa serta akibat yang ditimbulkan.
2) Kaji faktor penyebab atau pendukung terjadinya cedera.
3) Kurangi atau hilangkan faktor penyebab jika mungkin.
4) Ajari cara pencegahan:
a) Gunakan selalu alas kaki.
b) Jika merokok, gunakan pipa rokok dan jangan merokok sambil tiduran
Mencegah
kehilangan
Tunjukan penglihatan
cara lebih lanjut.
pemberian
tetes mata,
contoh
menghitung
tetesan,
mengikuti
jadwal.
Orientasikan
pasien Memberi
terhadap peningkatan
lingkungan, kenyamanan dan
staf, orang kekeluargaan,
lain menurunkan
diareanya. cemas.
Observasi
tanda-tanda
Terbangun dalam
dan gejala-
lingkungan yang
gejala
tak dikenal dan
disorientasi :
mengalami
pertahankan
keterbatasan
pagar tempat
penglihatan
Letakan Memungkinkan
barang yang pasien
dibutuhkan/p menggapai objek
osisi bel yang lebih
pemanggil mudah dan
dalam memudahkan
jangkauan panggilan untuk
pertolongan bila
diperlukan
Jadwalkan Meningkatkan
penobatan dan pemeliharaan fungsi
aktivitas otot/sendi dan
perawtan untuk menurunkan
memberikan kehilangan kalsium
periode istirahat dari tulang
tak terganggu.
Dorong
Meningkatkan
Dorong Memampukan
partisipasi pasien keluarga/orang
dalam semua terdekat untuk aktif
aktivitas sesuai dalam perawatan
dengan pasien dan
kemampuan memberikan terapi
individual. lebih
konstan/konsisten.
meningkatkan
kemandirian,
meningkatkan harga
diri, dan membantu
proses perbaikan.
A. Kesimpulan
Penyakit kusta ialah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan
mukosa dari saluran pernapasan atas, dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari
luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit,
saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta
tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah.
B. Saran
Penyusun menyadari bahwa masih terdapat banyak kesalahan dalam penyusunan
makalah ini, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi penyempurnaan mkalah ini.
Djuanda, adhi. 2000. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Cet. 2, Ed.3 . Jakarta : FKUI.
Rahariyani, Loetfia Dwi. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Integumen Cet. 1. Jakarta : EGC.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC.
hidayat2.wordpress.com/2009/05/26/askep-lepra
kuliah+keperawatan+kebidanan+asuhan+keperawatan+lepra
ads.masbuchin.com/search/askep%20lepra