You are on page 1of 39

ASKEP MORBUS HENSEN

MAKALAH

disusun untuk memenuhi tugas mata ajaran Keperawatan Medikal Bedah III

oleh :

KELAS SANTA
TERESA

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN

Sekolah tinggi ilmu kesehatan santo borromeus

Bandung

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kusta telah menyerang manusia sejak 300 sm, dan telah dikenal oleh peradaban
tiongkok kuna, mesir kuna, dan india. Pada 1995, organisasi kesehatan dunia (who)
memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.

ASKEP MORBUS HANSEN Page 1


walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang
perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai
belahan dunia, seperti india dan vietnam.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940 dengan
diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra
secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi
hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980 penyakit ini pun mampu
ditangani kembali.
Penyakit kusta ialah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan
mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati
dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada
kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di
masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah.
Oleh karena itu penulis membuat makalah tentang asuhan keperawatan pada klien
dengan Morbus Hansen.

B. Tujuan
 Tujuan umum:
Agar mahasiswa STIKes St. Borromeus D III Keperawatan tingkat 2 semester 4
dapat memahami askep pada klien dengan gangguan Morbus Hansen

 Tujuan khusus.
1. Dapat memahami anatomi dan fisiologi dari system integument.
2. Dapat memahami pengertian Morbus hansen
3. Dapat memahami penyebab terjadinya Morbus Hansen
4. Dapat memahami proses terjadinya Morbus Hansen
5. Dapat memahami gejala dari Morbus Hansen
6. Dapat memahami asuhan keperawatan Morbus Hansen

C. Metode penulisan

ASKEP MORBUS HANSEN Page 2


Kami menggunakan metode diskusi, konsultasi serta mengambil beberapa teori
yang yang bersangkutan dari beberapa buku dan mengumpulkan beberapa teori yang
kami ambil dari internet untuk dapat menyusun makalah ini.
a. Sistematika penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini terdiri dari 4 bab yaitu : bab
I Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Tujuan Penulisan,
Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Bab II Tinjauan Teortis yang
berisi mengemukakan teori dan konsep dasar Morbus Hansen yang meliputi :
Anatomi dan fisiolog, Pengertian, Penyebab, Proses Terjadinya, Gejala,
Pemeriksaan diagnostik, dan Asuhan Keperawatan.

ASKEP MORBUS HANSEN Page 3


BAB II
TINJAUAN TEORETIS

A. ANATOMI FISIOLOGI INTEGUMEN


Sistem integument merupakan bagian dari tubuh manusia, khususnya organ yang
menutupi permukaan atau bagian luar tubuh manusia yang sering disebut kulit.
Kulit merupakan organ yang paling besar pada tubuh manusia dan terletak paling
luar sehingga mudah mengalami trauma atau terkontaminasi oleh mikroorganisme
serta mudah dilihat individu maupun orang lain. Kulit merupakan jalinan
pembuluh darah, saraf, dan kelenjar yang tidak berujung, semuanya memiliki
potensi untuk terserang penyakit. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat
kira-kira 15% dari berat badan. Secara mikroskopis, struktur kulit terdiri dari tiga
lapisan, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis.

1. LAPISAN EPIDERMIR
Lapisan epidermis adalah lapisan paling atas dari kulit serta tidak mengandung pembuluh
darah dan saraf. Tebalnya di kulit biasa 0, 3 mm, Ditelapak tangan dan kaki tebalnya 1.5
mm. Waktu yang diperlukan dari lapisan yang paling bawah menjadi paling luar 30 hari.

ASKEP MORBUS HANSEN Page 4


Bagian-bagian lapisan epidermis:
1. Stratum corneum
Adalah lapisan tanduk yang berada paling luar, terdiri atas beberapa lapis sel gepeng
yang mati dan tidak berinti dan mengandung zat keratin.
2. Stratum lucidum
Adalah lapisan yang terdapat langsung dibawah laisan korneum, merupakan lapisan
selgepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut
eleidin.
3. Stratum Granulosum
Merupakan lapisan epidermis yang mempunyai fungsi penting dalam pembentukan
protein dan ikatan kimia stratum korneum. selnya gepeng,berinti dan protoplasma
berbutir besar.
4. Stratum Spinosum
Adalah lapisan yang mengalami prose mitosis. Protoplasmanya jernih karena
mengandung glikogen dan inti selnya di tengah-tengah. Sel bentuk dan besarnya
berbeda karena proses mitosis.
5. Stratum basale
merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Terdiri atas sel-sel berbentuk kubus
(kolumnar) yang berbaris seperti pagar (palisade). Didalam lapisan ini terdapat
melanosit, sel pembentuk melanin (melanosit) merupakan sel-sel berwarna muda
mengandung pigmen-pigmen melanosom.

ASKEP MORBUS HANSEN Page 5


2. LAPISAN DERMIS
Adalah lapisan kulit di bawah epidermis yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. Pars Papilaris (Stratum Papilar)


yaitu bagian yang menonjol ke epidermis. Bagian ini berisi ujung serabut saraf
dan pembuluh darah yang menyokong dan member nutrisi pada epidermis.
Lapisan papila hampir tidak mengandung jaringan ikat, memiliki serabut
kolagen yang tipis. Lapisan ini dikenal dengan lapisan subepitel karena
dibawah lapisan epitel epidermis. Lapisan ini disebut juga lapisan papila
karena terdapat papila (kecil, seperti jari-jari) yang berikatan dengan
epidermis. Kebanyakan papila mengandung kapiler untuk memberi nutrisi
pada epidermis. Papila dengan serabut dobel ditelapak tangan dan kaki
membentuk sidik jari.

b. Pars Retikularis (Stratum Retikularis),


Lapisan retikuler terdiri dari jaringan ikat, memiliki serabut kolagen yang
kasar dan berkas serabut yang saling bersilangan membentuk seperti jaring.
Garis-garis serabut tersebut membentuk Cleavage yang penting dalam proses
pembedahan. Sayatan bedah yang memotong garis cleavage lebih sulit sembuh
daripada yang paralel dengan garis ini. Lapisan reticular sangat banyak
mengandung pembuluh darah, syaraf, ujung-ujung syaraf bebas, sel-sel
adiposa(lemak), kelenjar minyak dan akar rambut, reseptor untuk tekanan
dalam. Bagian terbawah lapisan ini mengandung serabut otot polos (khususnya
didada dan putting susu genital) dan folikel rambut.

Disekitar pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit, histiosit, sel mast, dan leukosit
yang melindungi tubuh dari infeksi dan invasi benda-benda asing. di samping itu, di dalam
lapisan dermis juga terdapat akar rambut dan kelenjar keringat.

Ada dua macam kelenjar keringat, yaitu:


 Kelenjar ekrin, yang berukuran kecil, terletak di bagian dangkal dermis dengan secret
yang encer. Kelenjat ini langsung bermuara di permukaan kulit. kelenjat ini terdapat
di seluruh permukaan kulit, terbanyak pada bagian dahi, tangan, kaki, dan aksila.

ASKEP MORBUS HANSEN Page 6


 kelenjar apokrin, yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental.
kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenargi, terdapat di aksila, aerola mammae,
pubis, labia minora dan saluran telinga luar.
Manusia memiliki dua jenis rambut, yaitu:
 Rambut lanugo, denagn ciri pendek, tidak berpigmen, halus, dan akarnya di dalam
dermis. Contohnya, rambut yang ada di pipi, rambut yang ada pada tubuh bayi
(biasnya akan hilang setelah lahir).
 Rambut terminal, dengan cirri lebih panjang, lebih kasar, berpigmen, berkumpul di
daerah tertentu, dan akarnya di dalam subkutis. rambut ini memiliki siklus
pertumbuhan yang lebih cepat, kurang lebih 1 cm per bulan (mis, rambut kepala).

3. LAPISAN SUBKUTIS
Lapisan hypodermis atau lapisan subkutan terdiri dari jaringan adipose, banyak
mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf juga terdapat gulungan
kelenjar keringat dan dasar dari folikel rambut. Tidak seperti epidermis dan dermis,
batas dermis dengan lapisan ini tidak jelas.Pada bagian yang banyak bergerak jaringan
hipodermis kurang, pada bagian yan melapisi otot atau tulang mengandung anyaman
serabut yang kuat. Pada area tertentu yng berfungsi sebagai bantalan (payudara dan
tumit) terdapat lapisan sel-sel lemak yang tipis. Distribusi lemak pada lapisan ini
banyak berperan dalam pembentukan bentuk tubuh terutama pada wanita.

 FUNGSI KULIT
Kulit memiliki banyak fungsi diantaranya dalah:
a. Menutupi dan melindungi organ-organ dibawahnya
b. Melindungi tubuh dari masuknya mikroorganisme dan benda asing yang dapat
membahayakan tubuh. Fungsi ini merupakan fungsi perlindungan pasif. Selain fungsi
perlindungan pasif, lapisan dermis berperan dalam proses menyiapkan limfosit yang di
produksi oleh sumsum tulang sebelum benar-benar dipakai untuk menyerang berbagai
mikroorganisme penyebab penyakit. Peran kulit dalam hal ini merupakan peran aktif dalam
perlindungan tubuh.
c. Pengaturan suhu. Kulit, jaringan sub kutan dan lemak merupakan penyekat panas dari
tubuh. Lemak menyalurkan panas sepertiga kecepatan jaringan lain atau dalam kata lain
lemak menghambat pengeluaran panas dari tubuh. . Kecepatan aliran darah ke kulit

ASKEP MORBUS HANSEN Page 7


menyebabkan konduksi panas sangat efisien. Konduksi panas ke kulit diatur oleh sistem
syaraf simpatis. Syaraf simpatis mengatur kecepatan lairan darah dengan menstimulasi vaso
konstriksi dan vaso dilatasi.
d. Ekskresi: Melalui perspirasi/berkeringat, membuang sejumah kecil urea.
e. Sintesis: Konversi 7-dehydrocholesterol menjadi Vit D3(cholecalciferol) dengan bantuan
sinar U.V. Kekurangan UV dan Vit D mengakibatkan absorpsi Ca dari intestinal ke darah
menurun.
f. Sensori persepsi: mengandung reseptor terhadap panas, dingin, nyeri, sentuhan /raba,
tekanan. Juga mengandung ujung-ujung syaraf bebas yang berfungsi sebagai homeostatis.

B. PENGERTIAN
 Morbus Hansen (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan
oleh infeksi mycobacterium leprae (Kapita Selekta Kedokteran UI, 2000)
 Penyakit Morbus Hansen adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan
oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya (Departeman Kesehatan, Dit. Jen PPM & PL, 2002)
 Jadi, Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Myrobacterium
Lepra yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.

C. ETIOLOGI

Mycrobacterium Lepra yang merupakan bakteri tahan asam, bersifat obligat


intraseluler yang ditemukan oleh G. A. Hansen. Masa membelah diri Mycrobacterium
leprae memerlukan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-
21 hari masa tunasnya antara 40 hari sampai dengan 40 tahun. Penyakit kusta dapat
ditularkan dari penderita kusta Multibasiler (MB) kepada orang lain dengan cara
penularan langsung, melalui saluran pennapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung
dengan penderita yang lama dan erat). Kuman tersebut dapat ditemukan di folikel
rambut, kelenjar keringat,septum dan air susu ibu

ASKEP MORBUS HANSEN Page 8


D. FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA PENYAKIT
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti,
namun hal ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu
1. Patogenesis kuman Mycobacterium leprae, kuman Kusta tersebut masih utuh bentuknya
maka memiliki kemungkinan penularan lebih besar daripada bentuk kuman yang telah
hancur akibat pengobatan.
2. Cara penularan, melalui kontak langsung dengan daerah yang terdapat lesi basah,
berganti-gantian baju, handuk, melalui sekret serta udara.
3. Keadaan sosial ekonomi yang terbatas sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidup
seperti makanan yang bergizi, tempat tinggal yang kumuh.
4. Higiene dan sanitasi berhubungan dengan keadaan sosial juga dimana orang-orang
yang mengalami keadaan sosial rendah tidak bisa memenuhi kebutuhan hygienenya
seperti membeli sabun, kebersihan air tidak terjamin akibat permukiman padat
penduduk, ventilasi rumah yang tidak bagus, pencahayaan yang

5. Daya tahan tubuh, imun tubuh juga mempengaruhi dalam masuk dan berkembangnya
virus M.Leprae.

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Kulit dengan bercak putih atau kemerahan dengan mati rasa

ASKEP MORBUS HANSEN Page 9


2. Penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan
kelemahan pada otot tangan, kaki dan mata.

3. Adanya kuman tahan asam (BTA positif) pada pemeriksaan kerokan kulit

F. PATOFISIOLOGI
Mekanisme penularan penyakit Morbus Hansen diawali dari kuman Mycobacterium
Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel serta mempunyai sifat tahan
asam (BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat. Mekanisme
penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya
kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut
berperan.
Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen diakibatkan M.Leprae yang memiliki
bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengan sel
schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan
mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag
gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindungi di dalam
makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang makrofag bekerja terus-menerus
untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht Factor) yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF
tidak mengenal bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak
akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann
merupakan APC non professional. Akibatnya akan mengalami gangguan fungsi saraf tepi
seperti sensorik, motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan menyebabkan
terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati rasa (anestasi). Kerusakan
fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau lumpuhnya otot kaki atau tangan, jari-jari
tangan atau kaki menjadi bengkok. Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya  gangguan

ASKEP MORBUS HANSEN Page 10


pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi
kering, menebal, mengeras, dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si penderita
cacat seumur hidup.
Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa hipopigmentasi (semacam
panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nodul (benjolan). Infiltrasi
granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan
folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.
Penyakit ini dapat menimbulkan ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal
dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Penderita lepra
lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan kadar
testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan  pada otot mata mengakibatkan kurang atau
hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran dan benda-benda
asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan
sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat
paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus
yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian
atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan

G. KLASIFIKASI LEPRA
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat
berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi
yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan
saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya
kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman
kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf

ASKEP MORBUS HANSEN Page 11


tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf
perifer yang menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan
jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi
dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu,
suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar
ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi
yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi
bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti
punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
5. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.
Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga;
sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan,
dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping
telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung,
pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan
saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut
serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul, dan
tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di seluruh tubuh
diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput,
penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).
2. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba),
jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam
tabung reaksi (rasa suhu).

ASKEP MORBUS HANSEN Page 12


3. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. auricularis magnus, n.
ulanaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil
pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan
adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat
saraf diraba.
4. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi
akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta.
Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler menurut P2MPLP
Kelainan kulit dan hasil Tipe Pause Basiler Tipe Multi Basiler
pemeriksaan bakteriologis
1. Bercak (makula)
a. Jumlah 1-5 Banyak
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
c. Distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral, simetris
asimetris
d. Permukaan Kering dan kasar Halus, berkilat
e. Batas Tegas Kurang tegas
f. Gangguan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika
sensitibilitas ada, terjadi pada yang
sudah lanjut
g. Kehilangan Bertcak tidak berkeringat, Bercak masih berkeringat,
kemampuan ada bulu rontok pada bulu tidak rontok
berkeringat, bulu bercak
rontok pada bercak
2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang tidak
ada
b. Membrana mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang tidak
(hidung tersumbat ada
pendarahan di
hidung)
3. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
4. Penebalan syaraf tepi Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang lanjut,
asimetris biasanya lebih dari satu

ASKEP MORBUS HANSEN Page 13


dan simetris
5. Deformitas (cacat) Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada usia lanjut
dini
6. Sediaan apus BTA negatif BTA positif
7. ciri-ciri khusus Central healing punched
penyembuhan di tengah

Dikutip dan dimodifikasi dari Buku Panduan Pemberantasan Kusta Depkes (1999)

Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler berdasarkan WHO (1995)


Tipe Pause Basiler Tipe Multi Basiler
 Lesi kulit  1-5 lesi  >5
(macula datar, papul  Hipopigmentasi/eritema  Distribusi lebih
yang meninggi, nodus)  Distribusi tidak simetris simetris
 Hilangnya sensasi yang  Hilangnya sensasi
jelas
 Kerusakan saraf  Hanya satu cabang saraf  Banyak cabang saraf
(menyebabkan
hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)

Dikutip dan dimodifikasi dari WHO (1995)

5. Pemeriksaan Bakteriologis
 Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
 Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif
 Kulit muka sebaiknya dihindari karena lalasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan
lesi di tempat lain
 Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perluditambah
dengan lesi kulit yang baru timbul

ASKEP MORBUS HANSEN Page 14


 Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae ialah :
a. Cuping telinga kiri/kanan
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain
 Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindari karena :
a. Tidak menyenangkan pasien
b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lendir hidung apabila
sediaan apus kulit negative
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung
lebih dahulu negative daripada sediaan kulit ditempat lain
 Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka
kuman resisten terhadap obat
d. Semua pasien Multi Basiler setiap satu tahun sekali
 Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu Ziehl
Neelsen atau Kinyoun-gabett.
 Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig
zag, huruf z, dan setengah/ seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin
ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granular
(granulates), globus, dan clamps.
6. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus, IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian
dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut :
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
+1 Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
+2 Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
+3 Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+4 Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+5 Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+6 Bila > 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

ASKEP MORBUS HANSEN Page 15


ASKEP MORBUS HANSEN Page 16
7. Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk
mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu
menentukan resistensi terhadap obat. Contoh menghitung IB dan IM sebagai berikut :

Lokasi pengambilan Kepadatan Solid Fragmented/granulated


 Daun telinga kiri 5+ 5 95
 Daun telinga kanan 4+ 6 94

 Paha kiri 4+ 3 97

 Bokong kanan 4+ 4 96
17 + 18 382

H. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin dan DDs
dmluai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai berikut
 Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuki orang dewasa :
1) Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas
2) Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin
50 mg/hari diminum di rumah
3) DDS 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam wktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24
dosis dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun
secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteti positif. Menurut WHO (1998)
pengobatan MB diberikan untuk dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
 Dosis untuk anak

ASKEP MORBUS HANSEN Page 17


Klofazimin : umur di bawah 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan
Harian 50 mg/2 kali/minggu
Umur 11-14 tahun bulanan 100 mg/bulan
Harian 50 mg/3 kali/minggu
DDS : 1-2 mg/jkg berat badan
Rifampisin : 10-15 mg/kg berat badan

 Pengobatan MDT terbaru


Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta tipe
Pause Basiler dengan lesi hanya satu cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,
ofloksasin 400 mg, dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan
untuk tipe Pause Basiler dengan lesi 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe
Multi Basiler diberikan sebagai obat alternative dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis
dalam 24 bulan.
 Putus Obat
Pada pasien kusta tipe Pause Basiler yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe Multi Basiler dinyatakan DO
bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

I. Indikasi Rujukan
a. Memastikan diagnosis penyakit kusta
b. Neuritis akut dan subakut
c. Reaksi reversal berat
d. Reaksi ENL berat
e. Komplikasi pada mata
f. Reaksi terhadap antikusta
g. Tersangka resisten terhadap antikusta
h. Pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medic
i. Pasien dengan keadaan umum buruk atau darurat
j. Pasien kusta yang membutuhkan latihan fisioterapi
k. Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi
l. Luka lebar dan dalam pada anggota gerak
m. Pasien kusta yang menbutuhkan tindakan bedah septic

ASKEP MORBUS HANSEN Page 18


n. Pasien yang memerlukan protese
o. Indikasi social

J. KOMPLIKASI
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan
fungsi saraf tepi maupun neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.

ASKEP MORBUS HANSEN Page 19


K. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Prinsip pengobatan
a. Pemberiaan obat antireaksi.
Obat yang dapat digunakan adalah aspirin, klorukuin, prednisolon sebagai anti
inflamasi. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut :
 Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari
 Klorukuin 3 x 150 mg/hari
 Prednisone 30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesudah makan
atau dapat juga diberikan secara dosis terbagi misalnya: 4 x 2 tablet/hari,
berangsur-angsur diturunkan 5-10 mg/2 minggu setelah terjadi respons
maksimal.
Untuk melepaskan ketergantungan pada kortikosteroid pada reaksi tipe II
digunakan talidomid. Dosis talidomoid 400 mg/hari yang berangsur-angsur
diturunkan sampai 50 mg/hari. Tidak dianjurkan untuk wanita usia subur karena
talidomoid bersifat teratogenik.
Setiap 2 minggu pasien harus diperiksa ulang untuk melihat keadaan klinis.
Bila tidak ada perbaikan maka dosis prednisone yang diberikan dapat dilanjutkan
3-4 minggu atau dapat ditingkatkan (misalnya dari 15 mg jadi 20 mg sehari).
Setelah ada perbvaikan dosis diturunkan.
Untuk mencegah ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan
klofazimin. Klofazimin hanya diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis). Dosis
klofazimin ditinggikan dari dosis pengobatan kusta. Untuk orang dewasa 3 x 100
mg/hari selama 1 bulan. Bila reaksi sudah berkurang maka dosis klofazimin itu
diturunkan menjadi 2 x 100 mg/ hari, selama 1 bulan diturunkan lagi menjadi 1 x
100 mg/hari selama 1 bulan. Setelah reaksi hilang pengobatan kembali ke dosis
semula, yaitu 50 mg/hari.
b. Istirahat/imobilisasi
c. Pemberian analgetik dan sedative.
Obat yang digunakan sebagai analgetik adalah aspirin, parasetamol, dan
antimony. Aspirin masih merupakan obat yang terbaik dan termurah untuk
mengatasi nyeri (aspirin digunakan sebagai antiinflamasi dan analgetik). Menurut
WHO (1998), parastamo juga dapay digunakan sebagai analgetik. Sedangkan

ASKEP MORBUS HANSEN Page 20


antimony yang digunakan pada reaksi tipe II ringan untuk mengatasi rasa nyeri
sendi dan tulang kini jarang dipakai karena kurang efektif dan toksik. Dosis obat
yang digunakan sebagai berikut :
 Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari.
 Parasetamol 300-1000 mg yang diberikan 4-6 kali sehari (dewasa).
 Antimony 2-3 ml diberikan secara selang-seling, maksimum 30 ml.
d. Obat-obatan kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah.untuk semua tipe reaksi,
bila tidak ada kontraindikasi, semua obat antikusta dosis penuh harus tretap
diberikan.
2. Pengobatan reaksi ringan
a. Pemberian obat antireaksi
Aspirin dan talidomid biasa digunakan untuk reaksi ringan. Bila dianggap perlu
dapat diberikan klorokuin selama 3-5 hari.
b. Istirahat/imobilisasi
Berobat jalan dan istirahat di rumah.
c. Pemberian analgetik dan sedative
Pemberian analgetik dan obat penenang bila perlu.
d. Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah.
3. Pengobatan reaksi berat
 Pemberian obat antireaksi
Pada reaksi berat diberikan prednisone dalam dosis tunggal atau terbagi
 Istirahat/imobilisasi
Imobilisasi local pada anggota tubuh yang mengalami neuritis. Bila
memungkinkan pasien dirawat inap di rumah sakit.]
 Pemberian analgetik dan sedative
 Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah.
Rehabilitasi
Usaha-usaha rehabilisasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan social. Usaha medis
yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Terapi kejiwaan
berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan
masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima
kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh
secara medis.

ASKEP MORBUS HANSEN Page 21


Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social ekonomi pasien sehingga
menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan social dan peralatan kerja, serta
membantu pemasaran hasil usaha pasien.

ASKEP MORBUS HANSEN Page 22


ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Kaji biodata pasien untuk melengkapi rekamedis pasien dan untuk memudahkan
dalam melakukan asuhan keperawatan. Usia dan jenis kelamin merupakan data
dasar yang penting. Tempat tinggal pasien sangat penting karena kusta paling
sering terjadi daerah dengan tingkat sosial-ekonomi yang rendah dan insidennya
meningkat pada daerah tropis / sub tropis. Kaji pula secara lengkap jenis
pekerjaan klien untuk mengetahui tingkat sosial – ekonomi, resiko trauma
pekerjaan, dan kemungkinan kontak dengan penderita kusta.
2. Keluhan utama. Pasien sering datang ke tempat pelayanan kesehatan dengan
keluhan adanya bercak putih yang tidak terasa, atau datang dengan keluhan
kontraktur pada jari – jari
3. Riwayat penyakit sekarang. Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, kaji
kapan timbulnya, dan bagaimana proses perubahannya, baik warna kulit maupun
keluhan lainnya. Pada beberapa kasus ditemukan keluhan lainnya gatal, nyeri,
panas, atau rasa tebal. Kaji juga apakah klien pernah mengalami pemeriksaan
laboratorium. Ini penting untuk mengetahui apakah klien pernah mengalami
penyakit tertentu sebelumnya. Pernahkah klien memakai obat kulit yang dioles
atau diminum? Pada beberapa kasus, reaksi obat juga dapat menimbulkan
perubahan warna kulit dan reaksi alergi yang lain. Perlu juga ditanyakan apakah
keluhan ini pertama kali dirasakan. Jika sudah pernah obat apa yang pernah
diminum? Teratur atau tidak?
4. Riwayat penyakit dahulu. Salah satufaktor penyebabpenyakit kusta adalah daya
tahan tubuh yang menurun. Akibatny M leprae dapat masuk kedalam tubuh. Oleh
karena itu perlu dikaji adakah riwayat penyakit kronis atau penyakit lain .
5. Riwayat penyakit keluarga. Penyakit kusta bukan penyakit turunan, tetapi jika
anggota keluarga atau tetangga menderita penyakit kusta. Resiko tinggi kkusta
bisa terjadi. Kaji juga apakah ada anggota keluarga lain yang menderita keluhan
yang sama? Baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal.
6. Riwayat psikososial, kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan
menjijikan. Ini disebabkan adanya deformitas atau kecacatan yang ditimbulkan.
Oleh karena itu perlu dikaji juga konsep diri serta respon masyarakat terhadap
klien.

ASKEP MORBUS HANSEN Page 23


7. Kebiasaan sehari hari. Pada saat melakukan anamnesis tentang pola kebiasaan
sehari hari.perawat perlu mengkaji status gizi pola makan / nutrisi klien karena
mempengaruhi sistem imun. Jika sudah ada deformitas atau kecacatan, maka
aktivitas akan terganggu. Kaji juga terhadap adanya dampak anstesi/
8. Pemeriksaan fisik, harus diperiksa kelenjar regional karena dapat ditemukannya
pembesaran dari beberapa limfe.
Inspeksi
Kaji adanya ruam, hipo pigmentasi atau hiprpigmentasi sert eritematosa.dengan
permukaan yang kasar atau licin dengan batas yang kurang jelas. Pada tipe
tuberkuloid dapat ditemukan gangguan saraf kulit. Yang disrtai dengan penebalan
syaraf, adanya nyeri tekan akibat adanya jarinagn fibrosa, anhidrisi, dan
kerontokan rambut.pada tipe lepromatus , dijumpai hidung pelana dan wajah
singa.
Selain itu kaji juga adanya kelainan otot berupa artrofi disuse otot yang ditandai
dengan kelumpuhan otot otot.
Diikutui adanya kekakuan sendi atau kontraktur sehingga terjadi clow hand, drop
foot, dan drop hand. Kaji juga adanya osteomilitis serta pemendekan kerusakan
tulang. Kaji pula kelainan mata akibat kelumpuhan. Inspeksi mata kering
kereatitis ulkus kornea iritis iridoksiklitik dan berakhir dengan kebutaan. Kaji
adanya ginekomastia.
Palpasi
Temukan adanya penebalan serabut syaraf, makula anastetika, pada tipe T, dan
makula non anastetika pada tipe L. Serta permukaan yang kering dan kasar.
Lakukan pemeriksaan sederhana, untuk menunjang kepastian diagnosis penyakit
kusta serta untuk mengetahui adanyaanastesia pada lesi.
a. Uji kulit. Uji ini paling sering dilakukan dan cara mudahnya sehingga semua
petugas dapat melakukannya, penggunaan jarum untuk untuk mengetahui
adanya asa sakitdilakukan dengan meminta pasien menyebutkan area yang
lbih terasa nyeri. Serta kaji adanya rasa pada kulit dengan adanya rasa jika
disentuh kapas atau bulu ayam. Jika tidak bisa, gunakan juga reaksi suhu,
b. Uji keringat, biasanya akan ditemukan anhidrosis karena rusaknya kelenjar
keringat, uji ini dilakukan dengan menggores lesi dengan pinsil tinta mulai
dari beberapa cm dari arah dalam keluar. Hasilnya akan terjadi perubahan
warna ungu sedangkan di area lesi tidak.

ASKEP MORBUS HANSEN Page 24


c. Uji lepromin, untuk menentukan diagnosis dan klasifikasi penyakit kusta. Tipe
1,T dan BT: uji lepromin positif. Tipe BB, BL, LL: uji lepromin negatif.
Diagnosis dan intervensi.
Diagnosis keperawatan yang mungkin mungkin muncul adalah:
Gangguan citra tubuh bd lesi pada kulit, perubahn bentuk wajah, kerontokan
rambut.
Resiko cedera bd anastesia atau hilang rasa akibat neuritis.
Penatalaksanaan program terapetik: ketidak efektifan bd rumitnya program
pengobatan.
Gangguan persepsi pengelihatan bd dengan kelumpuhan m orbicularis,
Gangguan peran bd terbatasnya aktivitas sebagai dampak dari mutilasi
ansorpsi tulang dan otot.

B. Diagnosa Medis
1. Resiko cedera b.d anestesi atau hilang rasa sakit akibat neuritis
2. Kerusakan intergritas kulit b.d adanya lesi
3. Perubahan gangguan persepsi visual b.d penurunan penglihatan
4. Isolasi sosial b.d perubahan bentuk tubuh
5. Gangguan aktivitas b.d kelumpuhan otot
6. Gangguan konsep diri b.d perubahan penampilan fisik

DK : Resiko cedera berhubungan dengan anestesi atau hilang rasa akibat neuritis.
Hasil yang diharapkan:
1. Klien dapat menidentifikasi faktor faktor yang dapat meningkatkan resiko cedcera
pada dirinya.
2. Klien dapat menjelaskan tujuan tindakan keamanan untuk mencegah cedera.
Rencana keperawatan
1) Beri penjelasan pada klien dan keluarga tentang tentang penyebab ansietas
atau hilang rasa serta akibat yang ditimbulkan.
2) Kaji faktor penyebab atau pendukung terjadinya cedera.
3) Kurangi atau hilangkan faktor penyebab jika mungkin.
4) Ajari cara pencegahan:
a) Gunakan selalu alas kaki.
b) Jika merokok, gunakan pipa rokok dan jangan merokok sambil tiduran

ASKEP MORBUS HANSEN Page 25


c) Kaji suhu air mandi.jika menggunakan air hangat gunakan termometer
mandi.
d) Gunakan pelindung tangan saat mengangkat kompor,.
e) Jangan gunakan baju panjang ketika sedang memasak.
f) Hati hati dan waspada selau jika beraktifitas di dapur.
5) Diskusikan dengan keluarga tentang cara pencegahan di rumah.

DK penatalaksanaan aturan terapetik: ketidak efektifan bd rumitnya program


pengobatan,
Hasil yang diharapkan
1) Klien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang perilaku sehat yang
diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhannya.
2) Klien atau keluarga dapat menjelaskan proses terjadinya penyakit.penyebab,
faktor penyebab, serta pendukungnya,juga aturan dalam pengobatannya.
Rencana keperawatan
- Identifikasi faktor penyebab ketidak efektifan penatalaksanaan
 Kurang percaya
 Kurang pengetahuan
 Kurangnya sumber – sumber pendukung
- Bina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarga.
- Jelaskan tentang penyakit proses penyakit dan resiko yang terjadi jika
tidak diobati
- Beri penyuluhan tentamng perawatan tentang penderira kusta tentang
penyakit, sebelum pengobatan selam pengobatan, setelah pengobatan.
 Perlunya pengobatan yang teratur,.
 Cara makan obat
 Lam pengobatan
 Hal hal yang timbul sama pengobatan seperti efek sampin dan
reaksi yang ditimbulkan
 Program tindak lanjut setelah RFT
 Perawatan luka dirumah
 Perubahan gaya hidup
 Pentingnya nutrisi.

ASKEP MORBUS HANSEN Page 26


Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Kerusakan Lesi tidak  Kaji/catat ukuran warna,  memberikan informasi
intergritas kulit menyebar kedalaman luka, dasar tentang
b.d adanya lesi perhatikan jaringan kebutuhan penanaman
Pasien merasa nekrotik dan kondisi kulit dan
nyaman sekitar luka. kemungkinan
petunjuk tentang
sirkulasi pada area
graft.
 berikan perawatan luka  menyiapkan jaringan
yang tepat dan tindakan untuk penanaman dan
control infeksi. menurunkan resiko
infeksi.

 evaluasi warna sisi luka  mengevaluasi


perhatikan ada atau keefektifan sirkulasi
tidak adanya dan mengidentifikasi
penyembuhan. terjadinya komplikasi.

 lakukan advis dokter  terapi dibutuhkan


untuk memberikan obat pasien dalam proses
sesuai dosis. penyembuhan.

 lakukan kolaborasi  diet TKTP dapat


dengan ahli gizi untuk membantu dalam
pemberian nitrisi TKTP. proses pembentukan
jaringan dan sel baru.

 ajarkan pasien dan  membantu


keluarga mengenai mempermudah serta
perawatan luka. serta mengarahkan keluarga
cara mencegah dan pasien dalam
penularan. perawatan luka, juga
dalam mencegah

ASKEP MORBUS HANSEN Page 27


terjadinya penularan
ke jaringan lain atau
pada keluraga.

ASKEP MORBUS HANSEN Page 28


N Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional
o Keperawata
n
1 Gangguan  Klien berpartisipasi  Tentukan  Kebutuhan
sensori dalam program ketajaman individu dan
perceptual : pengobatan penglihatan, pilihan intervensi
penglihatan  Mempertahankan catat apakah bervariasi . bila
b/d hilangnya penglihatan tanpa satu atau bilateral, tiap
reflex kehilangan leih kedua mata mata dapat
berkedip lanjut. terlibat berlanjut pada
 Klien bisa mengenal laju yang
gangguan sensori berbeda.
dan berkompensasi
 Pastikan  Mempengaruhi
terhadap perubahan
drajat/tipe harapan masa
 Klien bisa
kehilangan depan pasien dan
mengidentifikasi
penglihatan pilihan intervensi
/memperbaiki
klien
potensial bahaya
dalam lingkingan  Dorong klien
 Sementara
untuk
intervensi dini
mengekspresi
mencegah
kan perasaan
kebutaan, pasien
tentang
menghadapi
kehilangan/
kemungkinan
kemungkinan
atau mengalami
kehilangan
pengalaman
penglihatan
kehilangan
penglihatan
sebagian atau
total. Meskipun
kehilangan
pengelihatan
telah terjadi tak

ASKEP MORBUS HANSEN Page 29


dapat di perbaiki
(meskipun
dengan
pengobatan),
kehilangan lanjut
dapat dicegah

 Mencegah
kehilangan
 Tunjukan penglihatan
cara lebih lanjut.
pemberian
tetes mata,
contoh
menghitung
tetesan,
mengikuti
jadwal.

 Orientasikan
pasien  Memberi
terhadap peningkatan
lingkungan, kenyamanan dan
staf, orang kekeluargaan,
lain menurunkan
diareanya. cemas.

 Observasi
tanda-tanda
 Terbangun dalam
dan gejala-
lingkungan yang
gejala
tak dikenal dan
disorientasi :
mengalami
pertahankan
keterbatasan
pagar tempat
penglihatan

ASKEP MORBUS HANSEN Page 30


tidur. dapat
mengakibatkan
bingung.
Menurnkan
resiko jatuh pada
saat terbangun.

 Letakan  Memungkinkan
barang yang pasien
dibutuhkan/p menggapai objek
osisi bel yang lebih
pemanggil mudah dan
dalam memudahkan
jangkauan panggilan untuk
pertolongan bila
diperlukan

 Berikan obat  Untuk


sesuai membantu/menc
indikasi egah ke keadaan
kehilangan
penglihatan lebih
lanjut.

Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Keperawatan
Isolasi sosial  Menunjukkan 1. Tentukan presepsi pasien 1.Isolasi sebagian
b.d perubahan peningkatan perasaan tentang situasi dapat
bentuk tubuh harga diri mempengaruhi diri
 Berpartisipasi dalam saat pasien takut
aktivitas/progam penolakan atau
pada tingkat reaksi orang lain
kemampuan

ASKEP MORBUS HANSEN Page 31


2. Berikan waktu untuk 2.Pasien mungkin
berbicara dengan pasien akan mengalami
selama dan diantara isolasi fisik
aktivitas perawatan. Tetap
memberi dukungan,
mengusahakan
verbalisasi. Perlakukan
dengan penuh
penghargaan dan
menghormati perasan
pasien.

3. Batasi atau hindari 3.Mengurangi


penggunaan master, baju perasaan pasien
dan sarung tangan jika akan isolasi fisik
memungkinkan, misalnya dan menciptakan
jika berbicara dengan hubungan sosial
pasien yang positif, yang
dapat
meningkatkan rasa
percaya diri

4. Identifikasi sistem 4.Jika pasien


pendukung yang tersedia bagi mendapatkan
pasien, termasuk bantuan dari orang
adanya/hubungan dengan terdekat, perasaan
keluarga kecil dan besar kesepian dan
ditolak akan
berkurang

5.Dorong kunjungan terbuka, 5.Partisipasi orang


hubungan telepon dan lain dapat
aktivitas sosial dalam tingkat meningkatkan rasa

ASKEP MORBUS HANSEN Page 32


yang memungkinkan kebersamaan

6.Dorong adanya hubungan 6.Membantu


yang aktif dengan orang memantapkan
terdekat partisipasi pada
hubungan sosial.
Dapat mengurangi
kemungkinan
upaya bunuh diri

7.Kembangkan perencanaan 7.Memiliki rencana


tindakan dengan pasien yang dapat
meningkatkan
kontrol terhadap
kehidupan sendiri
dan beri pasien
sesuatu untuk
memandang
kedepan/melakukan
penyelesain.

8. Rujuk pada sumber – 8.Adanya sistem


sumber pelayanan sosial, pendukung yang
konselor dan organisasi dapat mengurangi
perasaan terisolasi

ASKEP MORBUS HANSEN Page 33


Diagnosa Kriteria Hasil intervensi Rasional
Gangguan memepertahankan  Pantau TTV klien  Toleransi terhadap
aktivitas b.d dan bila mungkin peningkatan
kelumpuhan meningkatkan aktivitas tergantung
otot kekuatan dan pada kemammpuan
ketahanan pada klien untuk
ekstremitas. beradaptasi pada
kebutuhan fisiologis
dari peningkatan
aktivitas.
 Lakukan latihan  Adaptasi
rentang gerak memerlukan fungsi
secara konsisten, kardiovaskular,
diawali denagn neurologis dan
pasif kemudian muskuloskleal
aktif. optimal.

 Jadwalkan  Meningkatkan
penobatan dan pemeliharaan fungsi
aktivitas otot/sendi dan
perawtan untuk menurunkan
memberikan kehilangan kalsium
periode istirahat dari tulang
tak terganggu.

 Instruksikan dan  Meningkatkan


bantu dalam toleransi pasien
mobilitas, contoh terhadap aktivitas.
tongkat, walker,
secara tepat

 Dorong
 Meningkatkan

ASKEP MORBUS HANSEN Page 34


dukungan dan keamanan ambulasi.
bantuan
keluarga/orang
terdekat pada
latihan tentang
gerak.

 Dorong  Memampukan
partisipasi pasien keluarga/orang
dalam semua terdekat untuk aktif
aktivitas sesuai dalam perawatan
dengan pasien dan
kemampuan memberikan terapi
individual. lebih
konstan/konsisten.
meningkatkan
kemandirian,
meningkatkan harga
diri, dan membantu
proses perbaikan.

Diagnosa Kriteria yang Intervensi Rasional


Keperawatan diharapkan Keperawatan
Gangguan konsep  Klien mengatakan  Bina hubungan  Untuk menjalin
diri B.d perubahan dan menunjukan saling percaya rasa percaya.
penampilan fisik peneimaan atas antara perawat-
penampilanNya. klien.
 Menunjukan  Dorong klien untuk  Agar pasien merasa

keinginan dan mengajukan ada harapan yang

kemampuan untuk pertanyaan kuat untuk sembuh.

melakukan mengenai masalah


perawatan diri. kesehatan,
 Klien dapat pengobatan, dan
mengidentifikasi kemajuan

ASKEP MORBUS HANSEN Page 35


aspek positif diri pengobatan dan
 Klien menilai kemungkinan
keadaan dirinya hasilnya.
terhadap hal-hal  Dorong klien untuk  Supaya pasien
yang realistic tanpa menyatakan tidak terbebani
menyimpang. perasaannya, sendiri dengan
terutama tentang keadaan yang
cara ia merasakan, dialaminya.
berfikir dan
memandang
dirinya.
 Hindari mengkritik.  Agar pasien tidak
minder sewaktu
bersosialisasi.
 Jaga privasi dan  Agar pasien merasa
lingkungan nyaman.
individu.

 Tingkatkan  Agar pasien merasa


interaksi social nyaman ketika
klien. berhubungan social
dengan orang lain.
 Berikan informasi  Agar klien
yang dapat mengerti tidakan
dipercaya dan untuk
kejelasan menanggulangi
informasi. masalah
kesehatanya.
 Dorong klien dan  Agar pasien merasa
keluarga untuk nyaman dan tidak
menerima keadaan. terbebani karna
masalah
kesehatanya.

ASKEP MORBUS HANSEN Page 36


ASKEP MORBUS HANSEN Page 37
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Penyakit kusta ialah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan
mukosa dari saluran pernapasan atas, dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari
luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit,
saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta
tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah.
B. Saran
Penyusun menyadari bahwa masih terdapat banyak kesalahan dalam penyusunan
makalah ini, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi penyempurnaan mkalah ini.

ASKEP MORBUS HANSEN Page 38


DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, adhi. 2000. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Cet. 2, Ed.3 . Jakarta : FKUI.

Price, Sylvia Anderson.2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Jakarta : EGC.

Rahariyani, Loetfia Dwi. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Integumen Cet. 1. Jakarta : EGC.

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC.

hidayat2.wordpress.com/2009/05/26/askep-lepra
kuliah+keperawatan+kebidanan+asuhan+keperawatan+lepra

ads.masbuchin.com/search/askep%20lepra

ASKEP MORBUS HANSEN Page 39

You might also like