Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Untuk membahas permasalahan ini secara menyeluruh, maka dalam makalah ini
disusun tiga rumusan masalah, yaitu:
1. Mengapa perlu dilakukan Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN?
2. Bagaimanakah kontroversi dari Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN?
3. Bagaimana langkah-langkah mendesak yang harus dilakukan oleh pemerintah
dalam masalah Restukturisasi dan Privatisasi BUMN?
1
C. Tujuan Penulisan
BAB II
2
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Teori
Konsep tentang neoliberal saat ini menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati.
Setidaknya ada dua alasan. Pertama, wacana publik tentang neoliberal menjadi komoditas
politik yang sedang memanas dan menarik saat ini. Kedua, konsep neoliberal dalam
prakteknya di Indonesia telah dilakukan sejak era presiden Soeharto, Habibie, Gus Dur,
Megawati dan SBY, terutama dalam kebijakan privatisasi BUMN.
Apa yang salah dengan neoliberal menjadi peertanyaan menarik dengan melihat
sejarah konsep pemikiran neoliberal. Tokoh yang terkenal penganjur paham ini adalah
Milton Friedman, seorang pemikir yang masih percaya pada kapitalisme klasik yang
berpendapat bahwa urusan negara hanyalah masalah tentara dan polisi, yang melindungi
hidup warganya. Negara tidak boleh mencampuri perekonomian dan menarik pajak dari
rakyatnya, karena menurutnya telah terbukti bahwa krisis ekonomi semakin memburuk jika
negara berusaha mengatasinya.
Lebih jauh paham Neoliberal percaya bahwa tujuan negara adalah untuk melindungi
individu, khususnya dunia usaha (pasar), kebebasan dan hak-hak kepemilikan. Di luar ini
peranan negara harus minimal, karena itu negara harus melakukan privatisasi. Dengan
privatisasi atau swastanisasi dimaksudkan adalah tindakan untuk mengurangi peran
pemerintah atau meningkatkan peranan dari sektor swasta dalam kegiatan atau pun dalam
pemilikan harta kekayaan (Savas, 1987). Privatisasi menurut paham ini merupakan kunci
untuk pemerintahan yang lebih baik.
3
Kelemahan-kelemahan struktural yang melekat pada BUMN adalah: kualitas direksi,
yang disebabkan karena orang-orang yang ditunjuk sebagai direksi bukanlah orang-orang
yang terpilih dan terbaik. Tetapi banyak di antara mereka yang karena penunjukan politis atau
adanya kepentingan-kepentingan tertentu dari golongan-golongan tertentu. Yang jadi kriteria
bukanlah kapabilitas, tetapi loyalitas, besarnya setoran, sehingga banyak terjadi KKN.
Kemudian posisi monopoli dari beberapa BUMN yang merugikan konsumen, karena
perusahaan ini bekerja semaunya, mengurangi jumlah produksi, menjual dengan harga tinggi
dan mengambil keuntungan yang tinggi. Memang bukanlah tujuan utama dari BUMN untuk
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi mengabdi kepada rakyat dan bahkan
kadang-kadang harus merugi karena mengemban misi-misi tertentu dari pemerintah.
Jadi BUMN monopoli tidaklah sama dengan swasta monopoli. Tetapi karena kerjanya sering
tidak efisien dan banyak terjadi kebocoran, maka harga jual barang dan jasa perusahaan
BUMN bisa lebih tinggi dari seandainya perusahaan ini dikelola swasta. Pengelolaan BUMN
umumnya tidak sebaik perusahaan swasta, karena direksi BUMN bukanlah pemilik
perusahaan dan kalau perusahaannya merugi, ini bukan uang pribadinya, dan negara tidak
akan membiarkan perusahaan ini bangkrut sehingga diselamatkan terus.
Kalau di perusahaan swasta, yang dipertaruhkan adalah uangnya sendiri, manajer
yang tidak becus tidak akan dibiarkan, tetapi akan segera diganti. KKN juga terdapat di
perusahaan-perusahaan swasta, tetapi tidak seumum atau seluas di BUMN. Salah satu sumber
dari inefisiensi adalah terlalu banyaknya karyawan yang dipekerjakan, meskipun ini adalah
peninggalan dari zaman Orde Lama tetapi masih berlangsung terus hingga kini.
Agar gagasan tersebut dapat terwujud maka harus dibentuk tatanan global yang diikuti
oleh negara-negara di dunia. Amerika dan Inggris yang semenjak terjadi “Revolusi
Konservatif” di masa Reagen dan Thacher menjadi pelopor perubahan tatanan global menuju
neoliberalisme itu. Lembaga-lembaga multilateral seperti Bank Dunia, IMF, dan bank-bank
pembangunan regional, seperti Asian Development Bank (ADB) dijadikan sebagai
kepanjangan tangan untuk keperluan transformsi tersebut. Negara-negara sedang berkembang
yang memperoleh dukungan pinjaman dana dari lembaga-lembaga tersebut harus terlebih
dahulu menandatangani perjanjian yang memuat prinsip-prinsip yang dikenal dengan the
Washington Consensus.( A. Habibbullah, 2009)
Sebelum membahas lebih jauh mengenai Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN, perlu
diketahui terlebih dahulu pengertian dari BUMN. BUMN ( Badan Usaha Milik Negara)
adalah badan usaha yang seluruhnya modalnya dimiliki oleh negara atau badan usaha yang
tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara. Tujuan BUMN dapat bervariasi, yakni: untuk
merintis pembangunan prasarana tertentu, untuk kepentingan keamanan dan kerahasiaan
negara, untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, untuk kepentingan komersiil, dan lain
sebagainya. Selain itu ada beberapa faktor yang melatar belakangi keberadaan BUMN, yaitu:
1. Pelopor atau perintis karena swasta tidak tertarik untuk menggelutinya
2. Pengelola bidang-bidang usaha yang "strategis" dan pelaksana pelayanan publik
3. Penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar
4. Sumber Pendapatan Negara
5. Hasil dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda
Meskipun ada berbagai tujuan, tetapi secara garis besar tujuan BUMN ada yang bersifat
komersial dan non komersial. Di dalam praktek, kedua fungsi tersebut harus dapat
diserasikan. Dalam Sistem Ekonomi Indonesia, peran BUMN sangat besar. Di samping
mengemban misi sebagai ekonomi BUMN harus dapat memberikan kontribusi pendapatan
kepada negara. Namun dalam kenyataan banyak BUMN yang belum dapat bekerja secara
efisien, antara lain melalui perubahan status dan pemilikan.
Setelah mengetahui definisi dan tujuan BUMN, serta latar belakang pendirian BUMN,
maka kita akan membahas Restrukturisasi BUMN. Pengertian Restrukturisasi BUMN adalah
5
upaya peningkatan kesehatan BUMN / perusahaan dan pengembangan kinerja usaha melalui
sistem baku yang biasa berlaku dalam dunia korporasi. Restrukturisasi BUMN mempunyai
tujuan untuk:
1. Mengubah kontrol pemerintah terhadap BUMN yang semula secara langsung (control
by process) menjadi kontrol berdasarkan hasil (control by result). Pengontrolan atas BUMN
tidak perlu lagi melalui berbagai formalitas aturan, petunjuk, perijinan dan lain-lain, akan
tetapi melalui penentuan target-target kualitatif dan kuantitatif yang harus dicapai oleh
manajemen BUMN, seperti ROE (Return On Asset), ROI (Return On Investment) tertentu
dan lain-lain.
2. Memberdayakan manajemen BUMN (empowerment) melalui peningkatan
profesionalisme pada jajaran Direksi dan Dewan Komisaris
3. Melakukan reorganisasi untuk menata kembali kedudukan dan fungsi BUMN dalam
rangka menghadapi era globalisasi (AFTA, NAFTA, WTO) melalui proses penyehatan ,
konsolidasi, penggabungan (merger), pemisahan, likuidasi dan pembentukan holding
company secara selektif.
4. Mengkaji berbagai aspek yang terkait dengan kinerja BUMN, antara lain penerapan
sistem manajemen korporasi yang seragam (tetap memperhatikan ciri-ciri spesifik masing-
masing BUMN), pengkajian ulang atas sistem penggajian (remunerasi), penghargaan dan
sanksi (reward & punishment).
Privatisasi BUMN sebagai bagian dari doktrin neoliberal pada intinya adalah
pemindahan pengelolaan dari sektor publik ke sektor swasta. Gagasan utama di belakang
proyek privatisasi adalah kredo private is good, public is bad, sehingga dibutuhkan
pendefinisian ulang peran negara dalam pasar.
Dalam praktiknya privatisasi BUMN di Indonesia telah dilakukan sejak rezim Orde
Baru sampai saat ini. Hal ini terjadi, misalnya, di era Soeharto, pemerintah menjual 35%
saham PT Semen Gresik (1991), 35% saham PT Indosat (1994) dan 35 % saham PT Aneka
Tambang (1997). Pada era presiden Habibie, privatisasi dilakukan terhadap 12 BUMN,
7
termasuk privatisasi PT Semen Gresik pada 1998 yang menimbulkan kontroversi. Sementara
di era Megawati privatisasi dilakukan, misalnya tergadap PT Indosat (2002) dan pada era
presiden Susilo Bambang Yudoyono tetap melanjutkan program privatisasi BUMN.
Pihak yang setuju dengan privatisasi BUMN berargumentasi bahwa privatisasi perlu
dilakukan untuk meningkatkan kinerja BUMN serta menutup devisit APBN. Dengan adanya
privatisasi diharapkan BUMN akan mampu beroperasi secara lebih profesional lagi.
Logikanya, dengan privatisasi di atas 50%, maka kendali dan pelaksanaan kebijakan BUMN
akan bergeser dari pemerintah ke investor baru. Sebagai pemegang saham terbesar, investor
baru tentu akan berupaya untuk bekerja secara efisien, sehingga mampu menciptakan laba
yang optimal, mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak, serta mampu memberikan
kontribusi yang lebih baik kepada pemerintah melalui pembayaran pajak dan pembagian
dividen.
Pihak yang tidak setuju dengan privatisasi berargumentasi bahwa apabila privatisasi
tidak dilaksanakan, maka kepemilikan BUMN tetap di tangan pemerintah. Dengan demikian
segala keuntungan maupun kerugian sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Mereka
berargumentasi bahwa devisit anggaran harus ditutup dengan sumber lain, bukan dari hasil
penjualan BUMN. Mereka memprediksi bahwa defisit APBN juga akan terjadi pada tahun-
tahun mendatang. Apabila BUMN dijual setiap tahun untuk menutup defisit APBN, suatu
ketika BUMN akan habis terjual dan defisit APBN pada tahun-tahun mendatang tetap akan
terjadi.
Kontroversi privatisasi BUMN juga timbul dari pengertian privatisasi dalam Pasal 1
(12) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN yang menyebutkan :
“Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak
8
lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi
negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat”.
Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa privatisasi yaitu penjualan saham sebagian dan
seluruhnya, kata seluruhnya inilah yang mengandung kontroversi bagi masayarakat karena
apabila dijual saham seuruhnya kepemilkan pemerintah terhadap BUMN tersebut sudah
hilang beralih menjadi milik swasta dan beralih, namanya bukan BUMN lagi tetapi
perusahaan swasta sehingga ditakutkan pelayan publik ke masyarakat akan ditinggalkan
apabila dikelola oleh pihak swasta dan apabila diprivatisasi hendaknya hanya sebagaian
maksimal 49% dan pemerintah harus tetap sebagai pemegang saham mayoritas agar aset
BUMN tidak hilang dan beralih ke swasta dan BUMN sebagai pelayan publik tetap
diperankan oleh pemerintah
Sementara itu, pemerintah sendiri terdesak untuk melakukan privatisasi guna menutup
defisit anggaran. Defisit anggaran selain ditutup melalui utang luar negeri juga ditutup
melalui hasil privatisasi dan setoran BPPN. Dengan demikian, seolah-olah privatisasi hanya
memenuhi tujuan jangka pendek (menutup defisit anggaran) dan bukan untuk maksimalisasi
nilai dalam jangka panjang. Jika pemerintah sudah mengambil langkah kebijakan melakukan
privatisasi, secara teknis keterlibatan negara di bidang industri strategis juga sudah tidak ada
lagi dan pemerintah hanya mengawasi melalui aturan main serta etika usaha yang dibuat.
Secara kongkret pemerintah harus memisahkan fungsi-fungsi lembaga negara dan fungsi
bidang usaha yang kadang-kadang memang masih tumpang tindih dan selanjutnya
pengelolaannya diserahkan kepada swasta.
Fakta memang menunjukkan bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh swasta hasilnya
secara umum lebih efisien. Berdasarkan pengalaman negara lain menunjukkan bahwa negara
lebih baik tidak langsung menjalankan operasi suatu industri, tetapi cukup sebagai regulator
yang menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menikmati hasil melalui penerimaan pajak.
Oleh karena itu, privatisasi dinilai berhasil jika dapat melakukan efisiensi, terjadi
penurunan harga atau perbaikan pelayanan. Selain itu, privatisasi memang bukan hanya
menyangkut masalah ekonomi semata, melainkan juga menyangkut masalah transformasi
sosial. Di dalamnya menyangkut landasan konstitusional privatisasi, sejauh mana privatisasi
bisa diterima oleh masyarakat, karyawan dan elite politik (parlemen) sehingga tidak
menimbulkan gejolak.
9
D. Langkah-langkah Mendesak yang Harus Diambil Pemerintah
Penyimpangan ini terjadi misalnya dalam kebijakan privatisasi PT. Semen Gresik dan
PT Indosat. Proses divestasinya yang tidak transparan menimbulkaan dugaan penyalahgunaan
hasil penjualan sebagai sumber pendanaan bagi kepentingan partai politik dan para elite
politik tertentu yang memegang kekuasaan pada waktu itu. Privatisasi juga banyak dikecam
karena dipandang merugikan negara triliunan rupiah akibat harga jualnya yang terlalu murah.
Keputusan pemerintah pada waktu itu untuk menjual PT Semen Gresik dan PT
Indosat sebagai cara cepat untuk mendapatkan dana segar guna menutupi defisit APBN
cenderung tidak menunjukkan langkah strategis ke depan yang ingin dicapai pemerintah
dalam konteks perencanaan pembangunan, khususnya di sektor industri. Privatisasi tersebut
juga sangat elitis dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas dalam hal kepemilikan
saham. Padahal, justru kepemilikan saham oleh masyarakat luaslah (terutama karyawan
perusahaan) yang berusaha dicapai dalam privatisasi yang ideal di negara maju. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah harus mampu mengambil langkah-langkah
strategis dan mendesak agar kebijakan privatisasi tidak menjadi bumerang yang merugikan
pemerintah dan menyengsarakan rakyat sendiri. Langkah-langkah tersebut yaitu:
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN pada intinya merupakan upaya penyehatan atau
penyegaran di tubuh BUMN. Terutama untuk mengatasi kelemahan struktural, seperti
maraknya praktek KKN di dalam tubuh BUMN, kondisi monopoli yang cenderung
merugikan rakyat dan permasalahan lain yang cenderung banyak merugikan rakyat.
Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN bertujuan untuk mengganti manajemen menjadi lebih
profesional dengan cara swastanisasi. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 (12) Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN yang menyebutkan :
“Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak
lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi
negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat”. Pada
kenyataanya saat ini BUMN cenderung sangat tergantung pada pemerintah. Jika pengelolaan
diserahkan pada pihak luar ( swasta, baik asing maupun lokal) akan sangat mengurangi
dampak ketergantungan tersebut. Tentunya dengan pengelolaan yang jauh lebih profesional
maka akan banyak mendatangkan keuntungan , baik bagi pemerintah maupun rakyat.
Namun dalam implementasinya, kebijakan ini menuai pro dan kontra.. Privatisasi
disatu sisi dipandang perlu dilakukan guna meningkatkan profesionalitas dan kinerja BUMN
serta menutup devisit APBN. Di lain pihak, jika privatisasi dilakukan secara terus-menerus
setiap tahunya, untuk menutupi devisit APBN, nantinya BUMN akan habis dan devisit akan
tetap terjadi tiap tahunnya. Terlepas dari hal-hal diatas, privatisasi tetap perlu dilakukan,
namun peran pemerintah dalam pengelolaan tetap harus diperhatikan. Hal ini dapat
dilaksanakan antara lain dengan cara mengubah orientasi pelaksanaan program privatisasi,
dari jangka pendek, ke jangka panjang. Selain itu pemerintah juga harus mengeluarkan UU
privatisasi yang menjamin pelaksanaan privatisasi secara demokratis dan transparan. Dan
juga pemerintah harus membentuk badan yang bertugas untuk meningkatkan kinerja BUMN,
serta mengawasi pelaksanaan privatisasi.
12
B. Saran
Pelaksanaaan Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN akan berjalan dengan baik jika
terdapat komitmen yang tinggi, baik dari pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam
melaksanakan, melakukan pengawasan dan untuk meningkatkan kinerja BUMN. Sehingga
terdapat timbal balik berupa keuntungan-keuntungan yang dapat menguntungkan semua
pihak dan dapat mensejahterakan rakyat.
13
14