You are on page 1of 8

A.

Latar Belakang
Pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah
sehingga banyak ajaran Islam yang tiddak mereka akui karena menyelisihi akal
menurut prasangka mereka Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-
habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan
munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang
berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang
menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah
menempatkan akal pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang
terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan
berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan
para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-
kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan
kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar
terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat
berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan mencampakan
dalil-dalil dari Al-qur’an dan As-Sunnah.
Munculnya fenomena aliran sesat tidak terlepas dari problem
psikologis,kemudian juga pean permerintah dan keadaan sosial politik dan budaya
yang ada di di Indonesia yang menyebabkan perkembangan aliran sesat semakin
subur. Problem aliran sesat mengindikasikan adanya anomali nilai-nilai di
masyarakat.Aliran sesat bukan fenomena baru, selain dia mengambarkan anomali,
juga kemungkinan adanya deviasi sosial yaitu selalu ada komunitas yang abnormal.
Baik ia berada dalam abnormalitas demografis, abnormalitas sosial, maupun
abnormalitas psikologis. Sedangkan bentuk deviasi dapat bersifat individual,
situasional dan sistemik. Abnormalitas perilaku seseorang tidak dapat diukur hanya
dengan satu kriteria, karena bisa jadi seseorang berkategori normal dalam pengertian
kepribadian tetapi abnormal dalam pengertian sosial dan moral. Demikian halnya
dengan para penganut aliran sesat, akan diperoleh kriterium kategori yang tidak
tegas. Salah satu alasan untuk menyatakan sebuah kesesatan adalah defenisi atau
batasan ketidaksesatan yang bersifat formal.

B. Perumusan Masalah
Dalam karya makalah ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang aliran-
aliran islam seperti pembahasan di bawah ini.
1. Aliran Islam berlatar belakang politik,
2. Prinsip Ajaran Mu’tazilah ?
3. Aliran Islam berlatar belakang aqidah

1
C. Pembahasan

1. Aliran Islam berlatar belakang politik

2. Prinsip Ajaran Mu’tazilah ?

Para Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok


(aliran) ini dengan nama Mu'tazilah menjadi beberapa pendapat:
Pertama: Berpendapat bahwa sebab penamaannya adalah karena
berpisahnya Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dari majlis dan
halaqohnya Al Hasan Al Bashry. Hal ini didasarkan oleh riwayat yang
mengisahkan bahwa ada seseorang yang menemui Al Hasan Al Bashry, lalu
berkata:wahai imam agama. Telah muncul pada zaman kita ini satu jamaah
yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa besar menurut mereka adalah
kekafran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, dan mereka adalah Al
Wa'iidiyah khowarij dan jamaah yang menangguhkan pelaku dosa besar, dan
dosa besar menurut mereka tidak mengganggu (merusak) iman, bahkan
amalan menurut mazhab mereka bukan termasuk rukun iman, dan iman tidak
rusak oleh kemaksiatan, sebagaiman tidak bermanfaat ketaatan bersama
kekufuran, dan mereka adalah murjiah umat ini, maka bagaimana engkau
memberikan hukum bagi kami dalam hal itu secara i'tikad? Lalu Al Hasan
merenung sebentar tentang hal itu, dan sebelum beliau menjawab, berkata
Waashl bin Atho': saya tidak akan mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu
mu'min dan tidak juga kafir, akan tetapi dia di dalam satu kedudukan
diantara dua kedudukan tersebut (manzlah baina manzilatain), tidak mu'min
dan tidak kafir. Kemudian dia berdiri dan memisahkan diri ke satu tiang dari
tiang-tiang masjid menjelaskan jawabannya kepada para murid Al Hasan,
lalu berkata Al Hasan : telah berpisah (i'tizal) dari kita Washil, dan Amr bin
Ubaid mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini beserta
pengikutnya dinamakan Mu'tazilah.
Berkata A Qodhi Abdul Jabaar Al Mu'tazily dalam menafsirkan
sebab penamaan mereka ini:telah terjadi dialog antara Waashil bin Atho' dan
Amr bin Ubaid dalam permasalahan ini -permasalahan pelaku dosa besar-
lalu Amr bin Ubaid kembali ke mazhabnya dan meninggalkan halaqoh Al
Hasan Al Bashry dan memisahkan diri, lalu mereka menamainya Mu'tazily,
dan ini adalah asal penggelaran Ahlul Adil dengan Mu'tazilah.

2
Kedua: Berpendapat bahwa mereka dinamai demikian karena ucapan
imam Qatadah kepada Utsman Ath Thowil: siapa yang menghalangimu dari
kami? apakah mereka Mu'tazilah yang telah menghalangimu dari kami? Aku
jawab:ya.
Berkata Ibnu Abl Izzy : dan mu'tazilah adalah Amr bin Ubaid dan
Waashil bin Atho' Al Ghozaal serta para pengikutnya, mereka dinamakan
demikian karena mereka memisahkan diri dari Al Jamaah setelah wafatnya
Al Hasan Al Bashry di awal-awal abad kedua dan mereka itu bermajlis
sendiri dan terpisah, sehngga berkata Qotadah dan yang lainnya: merekalah
Mu'tazilah.1
A. Doktrin mu’tazilah
Mempunyai doktrin yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di
atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Doktrin itu mereka sebut
dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya
sebagai berikut dan sekaligus kami iringi dengan bantahan cara pemahaman
mereka mengenai ajaran keislaman mereka, sebagai berikut :
1. Tauhid
Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan
meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat
tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini
suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka. Oleh karena itu mereka
menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-
orang yang mensucikan Allah).
Bantahannya :
1) Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan
‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. mensifati dirinya sendiri dengan sifat-
sifat Adapun dalil sam’i bahwa Allah yang begitu banyak , padahal Dia Dzat Yang
MahaTunggal.” Allah berfirman: “Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat.
Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan
menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang
mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.”
(Al-Buruuj: 12-16).
“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan
dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk
masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan,
lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5).

1
http://mifty-away.tripod.com/id80.html

3
Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang
terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan
maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia
termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan
segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat.
2) Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq
bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam
Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan
kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan
makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat.
Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke
dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka
terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu,
ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka
menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya.
Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh
karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka
dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). Atas dasar ini
mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu
yang tidak ada wujudnya.
2. Al-‘adl ( Keadilan )
Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya
kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan . Dalilnya kejelekan datang dari
makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan
Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205). “Dan Dia tidak
meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7). Menurut mereka
kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian
menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh
karena itu mereka menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau
Al-‘Adliyyah .
Bantahannya :
As-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘imrani berkata : kita tidak
sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu, dasarnya adalah dalam Al-
Qur’an Allah berfirman : “Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai Orang-
orang kafir”.
Padahal kita semua tahu Allah-lah yang menginginkan adanya orang
kafir tersebut dan Dia-lah yang menciptakan mereka. Terlebih lagi Allah

4
telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba
tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya, Allah berfirman : “ Dan kalian
tidak akan mampu menghendaki ( jalan itu ), kecuali bila dikehendaki
Allah”. ( Al – Ihsan : 30 ). “Padahal Allah-lah yang meciptakan kalian dan
yang kalian perbuat”. (Ash-Shaafaat : 96).
Dari sini kita tahu bahwa ternyata istilah keadilan itu mereka jadikan
sebagai yang merupakan bagian dari takdir Allah , kedok untuk mengingkari
kehendak Allah. Atas dasar inilah mereka lebih pantas dikatakan
Qadariyyah, Majusyiah, dan orang-orang yang zalim.
3. Al-Wa’du Wal-Wa’id
Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi
Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar
dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id)
bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke
dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk
menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Bantahannya :
1) Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan
pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan
tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang demikian itu, karena termasuk
pelecehan terhadap Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan kepada Allah
terhadap Firman – Nya : “Sesungguhnya Allah tidak menyelisihi janji – Nya”. ( Ali-
Imran : 9 ) Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk
para hamba-Nya. Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena
dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka
sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan
Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya
dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang. Terlebih lagi Dia telah menyatakan : “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan
mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-
Nisa: 48).
2) Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal
abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa
ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari
umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan
masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan

5
mencuri?” Beliau menjawab: “ Walaupun berzina dan mencuri “ ( HR. Al-Bukhori Dan
muslim dari sahabat Abu Dzar Al-Ghiffari ) namun meskipun mungkin mereka harus
masuk neraka terlebih dahulu.
4. Suatu keadaan di antara dua keadaan (Posisi di antara 2 posisi )
Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan
tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar
(walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak
kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua
keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
Bantahannya :
1) Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan
dan berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah : “Dan jika dibacakan
ayat-ayat-Nya Kepada mereka, maka bertambahlah keimanan mereka”. ( Al-Anfal : 2 ).
Dan juga firman-Nya : “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka
(orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah
imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat
ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang
di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka,
di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir”. ( At-
Taubah : 124-125 ).
Dan dalam Firman-Nya yang lain juga : “(Yaitu) orang-orang (yang
menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang
mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu
menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah
menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali
‘Imran: 173).
2) Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan
dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman,
karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini
termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam
firman-Nya: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling
bertempur, maka damaikanlah antara keduanya.” (Al-Hujurat: 9)
5. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak
terhadap pemerintah (muslim) yang zalim. Bantahannya : Memberontak
terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang
bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Sebagaimana Allah

6
berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)
Rasulullahbersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak
mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan
ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.”
(Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku
mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar
(perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan
hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman).2

Adapun ciri-ciri Mu’tazilah ialah suka berdebat, terutama di hadapan


umum mereka yakin akan kekuatan fikiran, karena itulak suka berdebat
dengan siapa saja yang berbeda pendapat dengannya.
Sekitar dua abad lamanya ajaran-ajaran mu’tazilah ini berpengaruh,
karena diikuti atau didukung oleh penguasa waktu itu. Masalah-masalah
yang diperdebatkan antara lain :
1. Sifat-sifat allah itu ada atau tidak
2. Baik dan buruk itu ditetapkan berdasarkan syara’ atau akal
3. Orang yang berdosa besar akan kekal di neraka atau tidak
4. Perbuatan manusia itu dijadikan oleh allah
5. Al-qur’an itu makhluk atau tidak
6. Allah itu bias dilihat di akhirat nanti atau tidak
7. Alam itu qodim atau hadits

3. Aliran Islam berlatar belakang aqidah

B. Kesimpulan
Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak pada abad 2 H.
Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari
gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia
fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah
yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang
yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut

2
http://wiki.myquran.org/index.php/Mu’taziliyah

7
orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua
posisi).
Aliran Mu’tazilah terdiri atas lima prinsip utama yaitu :
1. Tauhid
2. Keadilan (al-‘adl)
3. Janji dan ancaman (Al-Wa’du Wal-Wa’id)
4. Tempat diantara dua tempat (al Manzilatu bainal manzilatain)
5. Menyuruh kebaikan dan melarang segala kemungkaran (amar ma’ruf nahi
mungkar)

You might also like