You are on page 1of 4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kelahiran Dinasti Umayyah

Bani Umayyah adalah salah satu dari keluarga suku Quraisy. Keturunan
Umayyah bin Abdul Syams bin Abdul Manaf, seorang pemimpin suku Quraisy yang
terpandang. Umayyah bersaing dengan pamannya, Hasyim bin Abdul Manaf (1.464),
dalam merebutkan kehormatan dan kepemimpinan masyarakat Quraiys. Uamyyah
dinilai memiliki cukup persyaratan untuk menjadi pemimpin dan dihormati oleh
masyarakat. Ia berasal dari keluarga bangsawan kaya dan mempunyai sepuluh putra.
Pada zaman pra-Islam, orang yang memiliki ketiga kelebihan itu berhak memperoleh
kehormatan dan kekuasaan.

Sebagian besar anggota keluarga Bani Umayyah menentang Nabi Muhammad


SAW yang menyampaikan Islam, setelah Nabi Muhammad SAW pindah dari Makkah
ke Madinah dan berhasil mendapatkan pengikut di kota tersebut, sikap permusuhan
Bani Umayyah belum berakhir. Mereka memimpin orang Quraisy Makkah untuk
menentang dan memerangi Nabi SAW serta pengikutnya. Peperangan pun terjadi
beberapa kali, namun mereka tidak berhasil mengalahkan Nabi SAW.

Permusuhan Bani Umayyah berakhir setelah Nabi SAW dan para pengikutnya
berhasil memasuki kota Makkah (tahun 8 H/630 M). Merasa tidak mampu melawan
akhirnya Bani Umayyah menyerah kepada Nabi SAW dan bersedia masuk Islam.
Bani Umayyah tergolong yang belakang masuk Islam. Setelah masuk Islam, mereka
memperlihatkan loyalitas dan dedikasi tinggi terhadap agama tersebut. Dalam setiap
peperangan yang dilakukan oleh kaum Muslimin misalnya, mereka tampil dengan
semangat kepahlawanan, seolah-olah ingin mengimbangi keterlambatan mereka
masuk Islam dengan berbuat jasa besar kepada Islam.

Ketika Ali bin Abi Thalib (603 M – 40 H / 661 M), yang diangkat oleh
sahabat Nabi SAW di Madinah sebagai khalifah pengganti Utsman, memerintahkan
Umayyah untuk menyerahkan jabatan, ia menolak. Sebaliknya, ia malah menuduh Ali
terlibat dalam pembunuhan Utsman atau paling tidak melindungi pemberotak yang
melindunginya. Sikap Mu’awiyyah yang menentang Ali di pandang sebagai
pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dan harus diperangi sampai taat
kembali, hingga akhirnya Ali dan pasukannya segera berangkat untuk memerangi
Mu’awiyyah di Suriah. Sebelum pertempuran itu terjadi, Ali mengutus delegasi,
mengirim surat agar Mu’wiyyah mengakuinya serta bersatu dengannya.

Perselisihan antara Ali bin Talib dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan akhirnya
pecah menjadi Perang Siffin. Perang tersebut diakhiri Peristiwa tahkim yang
menyebabkan munculnya kelompok al-Khawarij, yaitu kelompok di pihak Ali bin
Abi Talib yang tidak menerima hasil tahkim. Perselisihan tersebut berakhir dengan
terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Talib oleh Ibnu Muljam dari kelompok al-
Khawarij.
Sepeninggal Ali bin Abi Talib, pemerintahan dilanjutkan oleh putranya, Hasan
bin Ali. Akan tetapi, pemerintahan Hasan bin Ali hanya bertahan beberapa bulan saja.
Posisinya yang semakin lemah, keinginannya untuk mrnyatukan seluruh umat Islam,
membuat ia menyerahkan pemerintahan kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Hasan
bin Ali tidak menginginkan peperangan berkepanjangan yang meminta banyak
korban jiwa di kalangan umat Islam.
Peristiwa penyerahan kekuasaan dari Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah bin Abu
Sufyan itu terkenal dengan sebutan amul jama’ah atau tahun penyatuan. Peristiwa itu
terjadi pada tahun 41 H atau 661 M. Sejak saat itu, secara resmi pemerintahan Islam
dipegang ole Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Ia kemudian memindahkan pusat
kekuasaan dari Madinah ke Damaskus (Suriah).

Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyyah yang menjadi awal kekuasaan


Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi
Monarchiheridatis (kerajaan turun temurun).
Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium.Dia memberikan
interprestasi baru istilah khalifah untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia
menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang di angkat oleh
Allah1.

Muawiyah bin Abu Sofyan dinobatkan sebagai khalifah di Ilya' (Yerusalem)


pada 40 H / 660 M2. Dengan penobatannya itu, ibu kota negara dipindah dari
Madinah ke Damaskus. Dan berubah menjadi ibu kota kerajaan Islam. Meskipun
telah resmi dinobatkan sebagai Khalifah, Muawiyah memiliki kekuasaan yang
terbatas karena berbagai wilayah Islam tidak mengakui kekhalifahannya. Setelah
proses arbitrase berlangsung Amr bin al-Ash, tangan kanan Muawiyah telah merebut
Mesir dari tangan pendukung Ali. Meski demikian, para penduduk di wilayah Irak
mengangkat al-Hasan, putra tertua Ali, sebagai penerus Ali yang sah, sedangkan
penduduk di Mekah dan Madinah tidak memiliki loyalitas yang kokoh terhadap
penguasa dari keturunan Sufyan, karena mereka baru mengakui kenabian Muhammad
pada saat penaklukan Mekah. Adik laki-lakinya al-Husayn yang juga hidup tenang di
Madinah selama pemerintahan Muawiyah tidak mau mengakui kekuasaan putra
sekaligus pengganti Muawiyah, Yazid. Pada 680 M, ia pergi ke Kuffah untuk
menemui seruan penduduk Irak, yang telah menobatkannya sebagai khalifah yang sah
setelah Ali dan al-Hasan, dikawal oleh beberapa pengiring dan kerabatnya. Selama
Muawiyah berkuasa, Abdullah, keponakan Aisyah dan anak laki-laki Zubayr yang
gagal merebut kekhalifahan hidup tenang di Madinah. Ketika Yazid yang dikenal
suka berfoya-foya dan hidup mewah menjadi khalifah, Abdullah melakukan
perlawanan terbuka dan mendorong al-Husayn untuk melakukan manufer berbahaya
yang menyebabkan kematiannya sehingga ia tidak memiliki pesaing untuk merebut
kekhalifahan. Akhirnya, semua penduduk Hijaz memproklamirkan Abdullah sebagai
khalifah. Setelah kematian Yazid, diikuti penarikanmusuh dari tanah Arab, Ibnu al-
Zubayr diproklamirkan sebagai khalifah, tidak hanya di Hijaz dan Irak, tetapi juga di
Arab Selatan, Mesir, dan sebagian Suriah.

1 Abu A'la al-Maududi, khilafah dan kerajaan, (Bandung:Mizan, 1984)


2 Al-Thabari, jilid 11,hal 4; bandingkan dengan Al-Mas'udi,jilid 5,hal 14
Perlawanan Hijaz dibawah pimpinan saingan khalifah terus berlangsung sehingga
anak dan penerus Marwan, Abd al-Malik, mengirim seorang jenderal tangan besi
yang merupakan tangan kanannya, al-Hajjaj, mantan kepala sekolah di Taif. Ia
berhasil membabat habis pasukan anti khalifah. Al-Hajjaj memperketat pengepungan
Mekah selama enam setengah bulan dan menggunakan pelontarnya yang efektif.
Sejak saat itu, sejarah Arab lebih menggambarkan pengaruh dunia luar terhadap
semenanjung Arab, bukan sebaliknya.

You might also like