You are on page 1of 2

Asal usul Nama Kampung Sirait di Samosir

Di beberapa peta Pulau Samosir (waktu masih tergabung dengan Kabupaten Tapanuli Utara) nama
kampung Sirait seringkali tercantum. Kesamaan nama kampung dengan marga saya sendiri,
membuat saya selalu bertanya-tanya: “Apakah kesamaaan nama tersebut memiliki hubungan
keterkaitan? Atau suatu kebetulan saja?” Berikut adalah hasil penelusuran saya tentang asal usul
nama kampung Sirait tersebut.

Letak Sirait

Sirait adalah sebuah kampung di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir. Dahulu kala Sirait
merupakan sebuah bius mandiri dari lebih kurang 26 bius yang ada di Samosir (Sitor Situmorang,
Toba Na Sae, Sinar Harapan, Jakarta). Bius Sirat terletak di bagian selatan dari Pulau Samosir. Bius ini
diapit oleh Bius Urat di Barat dan Bius Nainggolan di Timur.

Bius Sirait dihuni oleh marga-marga dari keturunan Lontung khususnya marga Situmorang, Sinaga
dan Pandiangan. Mungkin terdapat beberapa marga pendatang yang dahulunya merupakan “boru”
(menantu) dari ketiga marga Lontung penguasa tanah awal. Marga boru pendatang ini dikenal
dengan istilah Boru Nagojong atau Boru Diampuan. Terjemahan kerennya adalah: “sudah boru dari
sononya”.

Pada jaman Pemerintahan Hindia Belanda dahulu, Sirait merupakan suatu wilayah setingkat Nagari
yang dipimpin oleh seorang Kepala. Kepala Nagari dilantik oleh Kontroleur berdasarkan hasil
pemilihan warga setelah mendapat persetujuan pengesahan dari Residen.

Pada awal administrasi pemerintahan RI, Sirait menjadi nama Desa. Beberapa tahun kemudian
terjadi pemekaran menjadi beberapa desa. Desa pemekaran tersebut antara lain Pasaran I, Pasaran
Parsaoran, Sibonor Ompu Ratus dan Sinagauruk Pandiangan. Saat ini nama Sirait tidak lagi berbekas
pada penamaan wilayah administrasi setingkat Desa maupun kecamatan. Sejarah nama bius Sirait
kini hanya berbekas pada penamaan gereja dan beberapa sekolah.

Tuan Ringo dan Onan Sirait

Fidelis Situmorang dalam blognya: "fidel situmorang" menulis kisah tentang leluhurnya berjudul
"Tuan Ringo" (http://fidel-situmorang.blogspot.com/2009/10/tuan-ringo.html). Dalam tulisannya
Fidelis mengisahkan bahwa oleh karena selisih paham dan pertengkaran dengan Abangnya, Tuan
Ringo pergi meninggalkan kampung halamannya di Urat Samosir dan berjanji untuk tidak akan
kembali ke kampungnya tersebut. Dalam pengembaraannya sampailah kemudian Tuan Ringo di
Pahae. Berkat jasanya dalam melindungi kampung Sitompul dari musuh, Tuan Ringo kemudian
menikah dengan boru Sitompul. Beliau kemudian dikaruniai seorang anak yang diberi nama Raja
Dapoton.

Beberapa waktu berlalu. Abangnya Tuan Ringo yang kemudian menyesali pertengkaran dan
perpisahan yang telah terjadi datang membujuk Tuan Ringo agar mau pulang. Dengan enggan dan
setelah lama mempertimbangkannya, Tuan Ringo akhirnya bersedia untuk pulang. Kepulangan Tuan
Ringo didahului oleh kepulangan isterinya boru Sitompul dan anaknya Raja Dapoton bersama
kerabat yang menjemputnya. Tuan Ringo menyusul beberapa waktu kemudian pulang ke Samosir.
Namun beliau tidak pulang ke Urat sesuai janjinya, tapi ke Sirait di dekat Urat. Beliau m emulai hidup
baru dan menjadi saudagar pertama yang membuka Onan (Pasar) di Sirait.
Boru Sitompul memberikan tiga anak lagi bagi Tuan Ringo : Raja Rea, Tuan Onggar dan Siagian. Raja
Dapoton/ Raja Hasahaton, keturunanya sampai sekarang tetap mengunakan marga Situmorang. Raja
Rea, Keturunanya sekarang menggunakan marga Siringo-ringo. Tuan Onggar, Keturunannya
sekarang menggunakan marga Rumapea, Sipampang, dll. Siagian, Keturunannya sampai sekarang
belum di ketahui, kemungkinan berkembang di Labuhan Batu. Demikian penuturan Fidelis
Situmorang.

Kisah tersebut menjelaskan bahwa onan di Sirait dibangun oleh Tuan Ringo. Kurang jelas apakah
permukiman yang ada di Sirait juga dibangun oleh Tuan Ringo atau bukan? Kurang jelas juga apakah
ketika ketika Tuan Ringo datang membangun rumah atau perkampungan di Sirait telah ada
perkampungan di daerah itu? Apakah sebelum Tuan Ringo datang daerah tersebut telah bernama
Sirait?

Kisah Situmorang Lumbannahor

Kisah lainnya adalah sebagaimana yang dituliskan Waldemar Hutagalung (1926) dalam bukunya
“Pustaha Batak, Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (diterbitkan kembali oleh CV Tulus Jaya,
Jakarta, 1991). Dikisahkan tentang Lumbannahor (anak ketiga Situmorang) memiliki dua anak yakni:
1) Tangkiulubalang dan 2) Namorapanaluan. Setelah Lumbannahor meninggal, timbullah
perselisihan antara Tangkiulubalang dengan adiknya Namorapanaluan. Pemicu pertengkaran adalah
soal pembagian rumah dan kerbau warisan orangtua. Karena perselisihan itu, Namorapanaluan
kemudian pergi merantau ke lembah Toba. Di Toba beliau kemudian menikahi putri dari marga
Manurung.

Setelah beberapa lama, Namorapanaluan kemudian meninggalkan daerah Toba. Sendirian beliau
mengembara hingga kemudian tiba di Sipultak Humbang. Di Humbang beliau meminang seorang
putri bernama si Borutambunmulia, putri dari marga Sihombing. Padahal putri tersebut telah
dijodohkan dengan anak orang lain. Karenanya orangtua sigadis menolak pinangan
Namorapanaluan. Di sisi lain, kerabat lain sigadis yakni Ompu Lobi dan Datu Galapang bersedia
menerima pinangan Namorapanaluan. Berkat bujukan kerabatnya, orangtua sigadis akhirnya
merestui hubungan tersebut. Maka jadilah Namorapanaluan menikahi si Borutambunmulia. Sebagai
pertanda, orangtua si Borutambunmulia memberikan ukiran patung tiga ayam-ayaman yang terbuat
dari kayu serta sebuah tongkat “tunggalpanaluan”.

Beberapa waktu kemudian lahirlah seorang anak bagi Namorapanaluan dari boru Sihombing
tersebut. Setelah kelahiran anaknya tersebut, berangkatlah beliau dengan mengusung keluarganya
kembali ke kampung orangtuanya, kampung Sirait di Pulau Samosir. Turut serta dibawanya ketiga
patung ayamayaman dan tunggalpanaluan tersebut. Demikanlah dikisahkan Waldemar Hutagalung
(Pustaha Batak, hal 72).

You might also like