You are on page 1of 12

BAB I

Pendahuluan

1. Latar belakang masalah


Intensifikasi pertanian merupakan kebijaksanaan yang diambil oleh
pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia sejalan
dengan laju pertambahan penduduk yang semakin meningkat. Komoditi pertanian
memiliki peras strategis dalam mewujudkan kebijaksanaan pemerintah untuk
meningkatkan perolehan devisa. Ketangguhan peran tersebut diera globalisasi
perdagangan didunia diperhadapkan pada persaingan mutu komoditi, baik dipasar
domestik maupun manca negara. Masalah kerusakan tanaman akibat serangan
hama telah merupakan bagian budidaya pertanian sejak manusia mengusahakan
pertanian ribuan tahun yang lalu.
Manusia dengan sengaja menanam tanaman untuk dipungut hasilnya bagi
pemenuhan keperluan sandang dan makanan. Kuantitas dan kualitas makanan
terus meningkat sesuai dengan perkembangan kehidupan dan kebudayaan
manusia. Namun pada setiap usaha pertanian manusia selalu mengalami gangguan
oleh pesaing-pesaing yang berupa binatang yang ikut memakan tanaman yang
diusahakannya.
Karena itu binatang-binatang pesaing dan pemakan tanaman tersebut
kemudian dianggap sebagai musuh manusia atau hama. Oleh karena
keberadaannya dipertanaman yang merugikan dan tidak diinginkan, sejak semula
manusia selalu berusaha untuk membunuh dan memusnahkan hama dengan cara
apapun yang diciptakannya oleh manusia. Mula-mula manusia membunuh hama
secara sederhana yaitu dengan cara fisik dan mekanik sebagai bentuk reaksi
pertahanan alami manusia. Namun dengan semakin luasnya daerah pertanian dan
pertambahannya penduduk dunia cara-cara sederhana tersebut tak mampu
membendung peningkatan populasi dan keganasan hama. Dengan berkembangnya
ilmu dan teknologi, kemudian dikembangkan cara-cara pengendalian hama yang
lebih efektif dibandingkan dengan metode fisik mekanik.
Pengendalian dengan cara baru dikembangkan dan digunakan seperti cara
bercocok tanam penggunaan jenis tanaman yang tahan terhadap hama parasitoid

1
dan predator, dan penggunaan bahan kimia organik. Sampai pada era Perang
Dunia II praktek pengendalian hama masih banyak dilandasi oleh bermacam-
macam pengetahuan biologi dan ekologi sehingga cara-cara pengendalian hama
kurang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup dan keamanan
kehidupan manusia. Tetapi metode pengendalian yang digunakan pada saat itu
masih dianggap kurang efektif dan sering kurang praktis. Praktek pengendalian
hama tersebut menjadi berubah draktis setelah ditemukan dan digunakannya
secara luas insektisida organik sintetik sejak Perang Dunia II yang di mulai
dengan DDT.
Konsep pengendalian hama yang sejak semula banyak berdasar pada
pengetahuan biologi dan ekologi semakin ditinggalkan dan diubah menjadi
konsep pengendalian hama yang bertumpukan pada penggunaan pestisida. Hal ini
disebabkan karena pada permulaannya pestisida menunjukkan hasil yang
mengagumkan dalam efektifitas dan efisiensinya mengendalikan hama
dibandingkan cara-cara pengendalian sebelumnya. Pestisida ternyata sangat
efektif praktis dan mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar bagi petani.
Tak heran setelah tahun 1950-an penggunaan pestisida pertanian diseluruh dunia
semakin tinggi dan industri pestisida berkembang sangat cepat sehingga menjadi
industri yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik banyak negara di dunia.
Sehingga timbul kesan dan pandangan seakan-akan bahwa keberhasilan
pembangunan pertanian tidak dapat dilepaskan dari jasa pestisida. Semain banyak
pestisida digunakan semakin baik karena produksi pertanian menjadi semakin
tinggi.
Inilah pandangan umum yang masih berlaku di dunia sampai saat ini
termasuk juga Indonesia. Disamping segala keberhasilannya manusia semakin
merasakan dampak negative pestisida yang semakin memprihatinkan rasa
kemanusiaan dan juga rasa tanggungjawabnya terhadap kelangsungan hidup
manusia di biosfer ini. Bukti-bukti semakin berdatangan tentang banyak korban
pestisida baik binatang berharga, ternak dan manusia sendiri. Residu pestisida
pada makanan dan lingkungan semakin menakutkan manusia.

2
Sayuran dalam kehidupan manusia sangat berperanan dalam pemenuhan
kebutuhan pangan dan peningkaan gizi, karena sayuran merupakan salah satu
sumber mineral dan vitamin yang dibutuhkan manusia. Konsumsi sayuran oleh
masyarakat saat ini masih dibawah kebutuhan gizi yang seharusnya. Menurut
Wardoyo (1981) pada tahun 1978 konsumsi sayuran oleh rakyat Indonesia masih
sekitar 61 % dari kebutuhan yang seharusnya. Pada tahun 1978 telah ditetapkan
bahwa untuk memenuhi gizi rata-rata orang Indonesia memerlukan 65,7 kg
sayuran dalam satu tahun.
Konsumsi sayuran yang masih rendah tersebut disebabkan banyak hal
antara lain tingkat pengetahuan rata-rata masyarakat yang masih rendah dan
produktvitas sayuran yang rendah. Faktor-faktor pembatas produktivitas yang
penting adalah adanya serangan berbagai jeis hama tanaman dan masalah
penanganan pasca panen yang dapat menurunkan kuantias dan kualitas sayuran.
Salah atu usaha agar produktivitas sayuran dapat ditingkatkan diperlukan tindakan
pengendalian hama dan penanganan pasca panen yang efektif dan efisien.
Metode pengendalian hama yang dipergunakan oleh petani sayuran saat
iniadalah perlakuan dengan pestisida organik sintetik. Penggunaan pestisida
secara kuanitaif dan kualitatif selalu meningkat sejalan dengan peningkatan
intensitas sayuran, sehingga dapat dikatakan bahwa pestisida tidak dapat
dilepaskan dari budidaya jenis-jenis sayuran tertenu seperti pada tanaman kubis,
wortel, lombok, bawang putih dan bawang merah, kentang seta tomat. Oleh
karena penggunaan pestisida yang intensif di lapangan, residu pestisida dalam
sayuran, terutama sayuran yang biasa dikonsumsi dalam bentuk bahan mentah,
merupakan masalah sayuran yang perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan
kualitas dan keamanan sayuran terhadap kesehatan masyarakat. Untuk meneliti
permasalahan tersebut perlu dilakukan analisis sejak dari perlakuan pestisida
dilapangan sampai pada cara pengolahan sayuran

3
2. Perumusan masalah
Sudah menjadi paradigma baru bagi para pengguna pestisida untuk
keberhasilan usaha manusia, mengingat tingkat efektifitas dan efisensinya cara
kerjanya dalam pengendalian hama maupun penyakit yang menjadikan pestisida
sebagai dewa penyelamat produksi pertanian. Disisi lain dalam penggunaannya
dilapangan telah menimbulkan berbagai macam permasalahan meliputi resistensi
dan resurgensi hama, matinya musuh alami, kesehatan petani dan konsumen.

3. Batasan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pestisida?
2. Apakah Faktor-faktor yang mempengaruhi residu pestisida dalam sayuran ?
3. Apakah Pengaruh Toksisitas Pestisida pada Manusia ?
4. Bagaimana Cara Menanggulangi Residu Pestisida?

5. Tujuan Makalah
Tulisan ini menyajikan betapa pentingnya peranan pestisida dalam sistem
pertanian tanaman hortikultura di Indonesia dalam upaya mempertahankan dan
meningkatkan produksi, serta memberikan informasi tentang bahaya yang
ditimbulkan pada aspek hama/penyakit, kesehatan manusia dan lingkungan.

BAB II

4
Pembahasan
1. Apa yang dimaksud pestisida
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1973, tentang Pengawasan atas
Peredaran dan Penggunaan Pestisida” yang dimaksud dengan Pestisida adalah
sebagai berikut ; “ Semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus
yang digunakan untuk memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-
penyakit yang merusak tanaman, memberantas rerumputan, mematikan daun dan
mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, mengatur atau merangsang
pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk,
memberantas atau mencegah hama-hama air, memberantas atau mencegah
binatang binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang
yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air”.
Data tentang residu pestisida dalam sayuran di indonesia masih terbatasnya
fasiltas untuk pemantauan residu pestisida. Pemantauan yang dilakukan oleh
Lembaga Ekonomi Universitas Pajajaran menunjukkan bahwa pada umumnya
kandungan residu pestisida dalam conoh-contoh sayuran di daerah Jawa Barat
adalah rendah. Juga dilaporkan adanya residu pestisida pada jenis-jenis sauran
yang tdak disemprot pestisida seperti kangkung, genjer, daun talas dan aun
singkong (Soemarwoto, 1980). Mlyani dan Sumatera (1982) melaporkan bahwa
dari contoh-contoh sayuran yang diambil dari 7 daerah pusat sayuran di Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan jawa Timur ditemukan residu beberapa jenis insektisida
(DDT, aldrin, diazinon, dieldrin, fenitrothion, fenoat, an khlorpyrifos) meskipun
masih jauh dibawah nilai MRL (Maximum Residu Limit) menurut FAO/WHO
1978. Ada satu tempat yaitu di Batu pada wortel ternyata residu DDT hampir
mencapai batas MRL. Jenis sayuran yang diambil contohnya adalah kenang,
kubis, sawi, tomat, dan wortel. Oshawa et al. (1985) melaporkan bahwa dari cntoh
kubis, tomat, dan mentimun yang diambl dari pasar Sri Wedari Yogyakarta
ditemukan residu BHC, aldrin, dieldrin, heptachlr, DDT, DDE, dan diazinon
dalam kadar yang di bawah nilai MRL. Meskipun demikian masih adanya residu
pestisida persisten organokhlor pada contoh sayuran perlu memperoleh perhatian.
Effendy (1985) juga menemukan kadar residu metaidofos dari contoh kubis yang

5
diambil dari pasar Pakem, Yogyakarta sebesar 0,014 – 0,120 ppm. Yang masih di
bawah nilai NMR.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi residu pestisida dalam sayuran


Residu yang terdapat dalam tanaman dapat berasal dari pestisida yang
langsung diaplikasikan pada tanaman, atau yang diaplikasikan melalui tanah dan
air. Selain daripada itu residu dapat berasal dari kontaminasi melalui hembusan
angin, debu yangterbawa hujan dari daerah penyemprotan yang lain, dan juga
penanaman pada tanah yang mengandung pestisida persisten. Tinggi rendahnya
residu pestisida pada tanaan ditentukan oleh jenis pestisida, dosis dan frekuensi
aplikasi, serta waktu aplikasi. Pengaruh jenis pestisida terhadap tingkat residu
tergantung pada sifat-sifat fisika dan kimiawinya.Insektisida organokhlor pada
umumnya tidak mudah menguap, praktis tidak larut dalam air kecuali lindane,
serta mudah larut dalam pelarut organik. Dalam ekosistem kelompok insektisida
ini bersifat persisten karena sifatnya yang lipofilik. Insektisida ini tidak bersifat
sistemik, meskipun demikian dapat diserap ke dalam jaringan tanaman dalam
jumlah rendah. Sedangkan distribusi insektisida organokhlor dalam tanaman
sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman dan struktur jaringan organokhlor dari
dalam tanah, tetapi pada varietas tertentu residu organokhlor terdapat pada lapisan
luar umbi, sedang pada varietas yang lain residu terdapat juga di dalam jaringan-
jaringan tanaman lainnya (Brooks, 1974).

Tabel l. Jenis pestisida yang digunakan oleh petani sayuran di Parangtritis

6
Di dalam jaringan tanaman insektisida organokhlr mengalami
biotransformasi menjadi metabolit yang lebih mudah larut dalam air. Hasil
metabolit tersebut dapat bersifat lebih beracun seperti Aldrin yang mengalami
epoksidasi menjadi Dieldrin yang lebih persisten dan beracun. Insektisida
organofosfat lebih mudah larut dalam air apabila dibandingkan dengan insektisida
organokhlor, lebih mudah terhidrolisa menjadi senyawa yang tidak beracun dan
mudah larut dalam air. Di dalam jaringan tanaman insektisida organofosfat
termetabolisasi dengan pola yang sama dengan metabolismenya dalam tubuh
hewan, hanya hasil metabilisme dalam tanaman cenderung disimpan sedangkan
pada hewan hasil tersebut segera dikeluarkan. Aktivasi organofosfat dalam
tanaman tidak menimbulkan masalah persistensi, tetapi sebagai akibatnya untuk
memperoleh kadar yang efektif frekuensi penyemprotan harus ditingkatkan (Eto,
1974).Ada beberapa jenis organofosfat yang bersifat sistemik dan menjadi
senyawa yang lebih aktif dan beracun bagi serangga Senyawa karbamat pada
umumnya bersifat sistemik, di alam tanaman karbamat tidak begitu stabil dan
cepat termetabilisasi dengan cara teroksidasi dan terkonjugasi menjadi senyawa
yang tidak beracun (Chou dan Afghan, 1977). Kecuali jenis insektisida waktu
aplikasi sangat menentukan residu pada tanaman terutama waktu aplikasi pestisida
terakhir sebelum panen, karena sangat menentukan.

3. Toksisitas Pestisida pada Manusia


Toksisitas akut suatu senyawa digambarkan oleh harga LD 50-nya. Dalam
Tabel l terlihat bahwa senyawa organofosfat dan karbamat pada umumnya
mempunai harga LD 50 lebih tinggi dari seyawa organohlor. Kasus keracunan
akut jarang dijumpai di masyarakat, sedangkan kasus keracunan kronis pada
umumnya dijumpai pada pelaksana pengendalian hama dan mereka yang bekerja
pada industri pestisda. Pada pestisida yang bersifat persisten, seperti insektisida
organokhlor, kemungkinan terjadi kasus keracunan kronis lebih besar dari pada
pestisda yang tidak persisten. Hal ini terjadi karena adanya bioakumulasi, yaitu
proses dinamika yang terjadi bila pemasukan (intake) lebih besar dari
pengeluarannya (excretion). Karena sifatnya yang lipofilik senyawa organokhlor
yang mask ke dalam tubuh akan segera terdistribusi ke dalam jaringan-jaringan

7
dengan kandungan lemak yang tinggi dan tersimpan di dalam lemaknya. Senyawa
organokhlor tersebut dapat diekskresikan bersama dengan lemak melalui air susu,
sehingga terjadi transfer residu insektisida yang telah terakumulasi dalam tubuh
Ibu kepada anak yang disusuinya. Hal ini perlu mendapat perhatian karena anak
jauh lebih peka daripada orang dewasa.
Rendahnya kadar residu pestisida dalam makanan,jelas tidak akan
menimbulkan gejala keracunan kronis mapun aukt,tetapi dapat menimbulan efek
subtil (subtle effect) yaitu efek lanjut jangka pajang yang terjadi pada dosis rendah
yang berkali-kali. Penelitian mengenai efek subtil pada manusia tidak mungkin
diakukan, sehingga pengamatan pada hewan percobaan merupakan indikasi utama
pada manusia. Efek subtil dapat berupa perubahan histolgis dan patologis, efek
karsinogenik, tumorigenik, mutagenik dan teratogenik. Perubahan sitolgis dapat
terjadi pada pemberian 5 – 15 ppm DDT pada ransum makanan tikus jantan.
Perubahan ini bersifat reversibel, hal ini menunjukkan adanya ”induksi” terhadap
enzim dalam hati (Ortega, 1962). Insektisida organofosfat dankarbamat dapat
menimbulkan efek neuropatologi karena demielinasi pada jaringan pelindung
syaraf. Untuk mengetahui efek karsinogenik dan tumorigenik suatu pestisida,
diperlukan penelitan mult generasi. Pembeian pp’ DDT 0,4 – 0,7 mg/kg/hari
dalam ramsum makanan tikus, menngkatkan terjadinya leukimia dan tumor pada
generasi kedua danketiga, sedang padagenerasi kelima, terjadinya kanker paru-
paru meningkat sampai 25 kali (Kemeny dan Tarjan, 1966,1969). Kepustakaan
mengenai efek karsinogenik insekstisida organofosfat dan karbamat sangat jarang,
sehingga belum dapat dipastikan bahwa senyawa-senyawa tersebut tidak
menimbulkan kanker atau tumor. Beberapa insektisida seperti karbaril,DDt,
dieldrin, lindane, fenion dan malation, menimbulkan efek magenik dan
teratogenik pada dosis yang lebih tinggi dari pada dosis yang terdapat dalam
lingkungan pada umumnya (Epstein dan Legators, 1971), meskipun demikian hal
ini perlu diperhatikan juga.

4. Cara Menanggulangi Residu Pestisida


Untuk masyarakat pada umumnya, pemasukan pestisida terutama melalui
makanan.Adanya efek lanjut jangka panjang karena dosis rendah yang berulang-

8
ulang, menharuskan usaha penurunan tingkat residu pestisida dalam makanan
sampai tingat yang serendah-rendahnya. Usaha ini dapat dilakukan dilapangan
dan pada penanganan pasca panen.
Usaha mengurangi residu di lapangan dapat dilakuan dengan beberapa
cara yaitu:
1. Pemilihan jenis insektisda yang efektif terhadap hama, aman bagi manusia
dan lngkungan, serta memilki persistensi yang rendah, sehingga eninggalkan
residu yang serendah mungkin.
2. Penggunaan dan pengembangan jenis-jenis insektisida yang baru, yang lebih
spesifik dan aman seperti insektisida biolgis, insect Growh Regulator, atrakan
dan lain-lain.
3. Penggunaan dosis dan cara aplikasi yang tepat sesuai dengan rekomendasi.
4. Frekuensi penyemprotan pestisida dikurangi, hanya apabila perlu, yaitu
sewaktu aras populasi hama melebihi tingkatan yang merugikan secara
ekonomis.

Penanganan pasca panen yang dapat dilakukan untuk mengurangi residu


pestisida, antara lain:
1. Pencucian: cara ini dapat mengurangi sebagian kandungan residu pestisida.
Pncucian bayam yang disemprot dengan karbaril, DDT dan paration,
menunjukkan penurunan residu 66 – 87 % untuk karbaril, 17 – 48 % untuk
DDT dan 0 – 9 % untuk paration. Penambahan detergent pada pencucian
akan memperbesar penurunan tingkat residu.
2. Pengupasan: apabila pestisida yang digunakan bersifat non-sistemik dan
struktur jaringan yang dikenai pestisida, menghambat translokasi residu ke
jaringan lainnya, pengupasan sangat membantu dalam saha menurunkan
tingkat residu pestisida.
3. Perendaman dalam air panas (blanching): penurunan kandungan residu
dengan cara ini cukup besar. Pada bayam dapat terjadi penurunan sebesar 38
– 60 % untuk DDT, 49 – 71 % untuk paration, dan 96 – 97 % untuk karbail
(Lamb et al., 1968).

9
4. Pemasakan: kandungan residu DDT dalam makanan yang telah dimasak jauh
lebih renah dari bahan mentahnya, terutama pada buah-buahan, biji-bijian,
sayuran (Duggan dan Lipscomb, 1971).

10
BAB III
Kesimpulan dan Saran

a. Kesimpulan
1. Pestisida adalah sebagai berikut ; “ Semua zat kimia dan bahan lain serta jasad
renik dan virus yang digunakan untuk memberantas atau mencegah hama-
hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman
2. Untuk menjaga keamanan konsumen tingkat residu pestisida dalam auan harus
diturunkan sampai tingkat yang serenah-rendahnya terutama pada sayuran
yangdikonsumsikan dalam keadaan mentah. Usaha menurunkan tingkat residu
pada sayuran dimulai dari lapangan dengan
3. penggunaan pestisida secara selektif dan sehemat mungkin. Pestisida yang
digunakan supaya spesifik dan efektif terhadap hama sasaran dan aman
terhadap lingkungan dan manusia.
4. Penanganan pasca panen sebelum sayuran dikonsumsi seperti pencucian,
pengupasan, perendeman dalam air panas dan pemanasan mampu menurunkan
tingkat residu dalam sayuran.

b. Saran-saran
1. Perlu diadakan penyuluhan yang intensif pada petani dan kinsmen sayuan
tentang pemilihan dan aplikasi yang tepat dan bijaksana serta cara penanganan
pasca panen sebelum sayuran dikonsumsi.
2. Perlu ditingkatkan usaha-usaha pematauan residu pestisida dalam sayuran dan
bahan-bahan makanan yang lain. Untuk ini penyediaan faslitas pemantauan
residu perlu disediakan dalam jumlah yang cukup termasuk para pelaksananya.
3. Perlu ditingkatkan penelitian terpadu tentang masalah residu pestisida dalam
sayuran, dan pengembangan jenis-jenis pestisida yang lebih spesifik dengan
mode of action yang berbeda dengan kelompok pestisida yang konvensional.
Kelompok pestisida baru ini termasuk insektisida biologis, IGR, feromon,
atraktan, dan lain-lain.

11
Daftar Pustaka
Brooks, G.T., 1974. Chlorinated Insecticides, vol. II, Biological and
Environmentalaspects, CRS Press, Oho, USA.

Chan, A.S.Y. and Afghan, B.K. 1977. Analysis of Pesticides in Water, vol. III,
Nitrogen Containing Pesticides, CRC Press Inc. Boca Raton, Fla,USA.

Duggan, R.E. and Lipscomb, G.Q., 1971. Regulatory Control of esticides


Residues in Food, J. Dairy Sci. 695 – 701.

Effendy, F.S., 1985. Analisis Residu Pestisida Tamaron dalam Kubis, kripsi pada
Fakulta Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam UGM, Yogyakarta.

Epstein, S.S. and Legator, M.S., 1971. In The Mutagenecity of esticides:


Conceps and Evaluation, MIT Press, Cambridge, Mass. 220.

Eto, M., 1984. Organophosphorus Pesticides: Organic and Biological Chemestry,


CRC Press Inc. Boca Raton, Fla. USA.

Kemeny, T. and Tarjan, R. 1966. Experientia, 22: 748.

Lamb, F.C., Farrow, R.P., Elkins, E.R., Kimball, J.R., and Cook, W.R.,
1968.Remove al of DDT, Parathion and Carbaryl from Spinach by
Commercial and Home Preparative Methods, J. Agric. Food Chem. 16:
957 – 973.

Ohsawa, K., Hartadi, S., Noegrohati, S., Sastrohamidjojo, H., Untung, K., Arya,
N.,Sumiartha, K., Kuwatsuka, S. 1985. Residue Analysis
Organochlorineand Organophosphaorus Pesticides in Soils, Waters and
Vegetables from Central Java and Bali Island, in Ecological Impact of
Pest

12

You might also like