You are on page 1of 9

MITIGASI BENCANA BERBASIS KOMUNITAS

Suatu Masukan Untuk Mitigasi Bencana


di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Pius Suratman Kartasasmita


Universitas Katolik Parahyangan

Christiana Yuni Kusmiati


Universitas Katolik Parahyangan

Tidak ada yang menyangka sebelumnya bahwa ditengah-tengah berbagai prediksi tentang
bencana letusan Gunung Merapi, pada tanggal 27 Mei lalu justru terjadi bencana gempa
bumi yang dari sudut skala dan dampak yang ditimbulkannya begitu menghenyakkan
banyak pihak. Jatuhnya korban jiwa, banyaknya penduduk yang luka dan juga yang
akhirnya terpaksa harus mengungsi serta rusaknya infrastruktur, perumahan dan
permukiman penduduk merupakan potret tegas dari fenomena kerentanan yang
dihasilkan dari peristiwa bencana tersebut. Data real mengenai jumlah korban jiwa dan
dampak kerusakan fisik di wilayah Propinsi DIY dan Jawa Tengah tersaji sebagai berikut:
Tabel 1.
Korban Jiwa dan Dampak Kerusakan Fisik Akibat Gempa Bumi 27 Mei 2006

LOKASI KORBAN KERUSAKAN (RUMAH PENDUDUK)

RUSAK RUSAK RUSAK


MENINGGAL LUKA MENGUNGSI
BERAT SEDANG RINGAN

WILAYAH DIY
Kab. Bantul 4.143 12.026 778.251 71.763 71.372 73.669
Kab. Sleman 246 3.777 153.596 19.113 27.687 49.065
Kota Yogya 218 313 74.592 6.085 5.408 15.364
Kab. Kulon Progo 24 2.179 205.625 4.685 8.430 9.672
Kab. Gunung Kidul 84 1.086 140.012 7.454 11.030 27.218
Total 4.715 19.381 1.352.076 109.100 123.930 174.988

WILAYAH
JATENG
Kab. Klaten 1.045 18.127 713.788 29.988 62.979 98.552
Kab. Magelang 10 - 5.108 386 386 546
Kab. Boyolali 4 300 12.770 307 696 708
Kab. Sukoharjo 3 67 16.302 51 1.808 2.476
Kab. Wonogiri - 4 2.022 17 12 74
Kab. Purworejo 1 4 9.806 10 214 780
Total 1.063 18.502 759.796 30.759 66.095 103.136
Sumber Media Center Satkorlak DIY tgl 29 Juni pukul 18.00
Paparan data di atas seolah menghantarkan kita pada pemahaman bahwa bencana yang
tidak disangka-sangka ini akhirnya menghasilkan kerentanan dalam masyarakat, baik
berupa kerentanan fisikal maupun kerentanan sosial untuk jangka waktu tertentu pasca
bencana.
Peristiwa bencana gempa bumi yang tidak terduga sebelumnya ini, juga semakin
memaksa kita untuk meyakini bahwa ketidakpastian merupakan hal yang nyata. Sulitnya
prediksi yang akurat tentang kejadian bencana merupakan fakta. Oleh karena itu,
ditengah-tengah kondisi sistem ekologis fisik maupun sosial yang sangat kompleks, maka

1
langkah bijaksana yang harus ditempuh berkaitan dengan bencana adalah melakukan
langkah antisipasi atau mitigasi.

MITIGASI BENCANA SEBAGAI LANGKAH STRATEGIS


Mitigasi bencana pada dasarnya dapat dipahami sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan
untuk mengurangi atau meringankan segala dampak yang muncul akibat bencana
(Cobourn, et.al, 1994). Dengan kata lain mitigasi bencana merupakan upaya untuk
mengantisipasi potensi kerusakan yang muncul akibat bencana baik yang diakibatkan oleh
factor alam maupun factor manusia. Dalam kontinum proses manajemen bencana
mitigasi bencana merupakan langkah yang bersifat strategis, karena dengan pelaksanaan
atau perbaikan upaya mitigasi secara positif dapat berpotensi untuk menghindarkan
masyarakat dari potensi jatuhnya korban jiwa maupun kerusakan harta benda ataupun
kerentanan fisik maupun sosial.

Gambar 1. Mitigasi dalam Kontinum Manajemen Bencana (Coburn, 1994)


Sehubungan dengan risiko dan kerentanan merupakan objek dalam upaya
mitigasi, maka pemahaman akan jenis ancaman bahaya yang dihadapi, sifat bahaya yang
mungkin dihadapi, serta kerentanan yang dimiliki oleh sebuah ekosistem merupakan hal
awal yang harus dipahami oleh berbagai pihak dalam sebuah komunitas. Dalam rangka
itu maka hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan penilaian risko bencana
dengan melakukan hazard assessment dan vulnerability assessment. Dengan hazard assessment
maka akan diperoleh informasi atau pemahaman mengenai kemungkinan ancaman
bencana yang akan dihadapi oleh komunitas di suatu wilayah, baik itu ancaman yang
berasal dari alam maupun ancaman yang berasal dari perilaku manusia. Sedangkan dengan
pelaksanaan vulnerability assessment maka sebuah komunitas akan memahami berbagai
elemen yang rentan yang terdapat dalam masyarakat dan faktor penyebab atau akar
penyebab kerentanan tersebut. Dengan pelaksanaan dua jenis penilaian ini maka
perencanaan mitigasi yang efektif dapat dilakukan.
Perencanaan mitigasi yang efektif hendaknya diarahkan pada upaya minimalisasi
risiko dampak primer dan sekunder dari bencana. Dampak primer bencana dapat dilihat
dari kondisi nyata korban jiwa dan kerusakan harta benda sebagai akibat dari bencana.
Adapun dampak sekunder dapat dilihat dari kondisi aktivitas-aktivitas masyarakat dan
institusi-institusi sosal yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, maka perencanaan
mitigasi yang efektif haruslah mampu untuk mengarahkan berbagai pihak dan berbagai
hal pada upaya minimalisasi korban jiwa dan penyelamatan korban yang luka serta
mengurangi kerugian kerusakan harta benda, dan juga pada upaya untuk mengurangi

2
dampak bencana pada aktivitas-aktivitas masyarakat dan insitusi-institusi sosial yang telah
ada di dalam masyarakat.

PERAN PEMERINTAH SEBAGAI LEGITIMATE ACTOR DALAM


MITIGASI
Dalam praktik keseharian, sesungguhnya berbagai elemen masyarakat dalam kapasitas
dan pemahaman yang relatif terbatas dapat melakukan tindakan mitigasi bencana. Upaya
untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan sebagai langkah antisipasi terhadap bencana
banjir dan juga upaya penduduk untuk mematuhi dan menerapkan teknik dan standar
konstruksi bangunan yang tahan gempa untuk membangun rumah atau gedung yang
mereka miliki sebagai langkah antisipasi terhadap risiko bencana gempa merupakan
contoh gambaran nyata upaya mitigasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Namun
demikian kesadaran untuk melaksanakan upaya mitigasi ini seringkali belum tertanam
secara merata dan belum teraktualisasi dalam bentuk tindakan koordinatif yang mampu
membuka kesadaran penuh masyarakat akan arti penting peran mereka dalam upaya
mitigasi bencana. Berdasarkan kondisi ini, maka peran pemerintah menjadi penting dalam
rangka pelaksanaan mitigasi bencana secara efektif dalam masyarakat.
Peran Pemerintah untuk mengupayakan aktivitas mitigasi yang efektif sebenarnya
secara implisit telah tertuang dalam konstitusi. Amandemen UUD 1945 pasal 28G ayat 1
menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman, dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi”. Dalam konteks ini, mitigasi bencana dapat dipandang sebagai wujud nyata
perlindungan negara terhadap warganya. Pemerintah bukan hanya memiliki legalitas
formal namun juga tanggungjawab untuk menjamin dan merealisasikan upaya
perlindungan keamanan yang merupakan hak publik tersebut.
Dalam upaya mitigasi, pemerintah pada dasarnya dapat masuk dalam peran
sebagai pelaksana mitigasi secara langsung, regulator dan juga fasilitator. Peran pelaksana
langsung tindakan mitigasi dapat dilaksanakan oleh pemerintah, meski ketersediaan
sumber daya pemerintah seringkali memang merupakan bagian dari fakta yang ada.
Namun demikian pemaksaan peran pelaksana oleh pemerintah dalam jangka panjang
justru hanya akan mengarahkan upaya mitigasi bencana dalam kondisi kemandekan yang
bersifat membahayakan. Oleh karena itu, peran yang efektif untuk dilakukan oleh
pemerintah adalah peran sebagai regulator dan fasilitator. Dengan kedua peran ini,
pemerintah dapat berbagi ruang pelaksanaan mitigasi bencana dengan seluruh elemen
publik baik masyarakat, LSM maupun perusahaan swasta, sehingga seluruh pihak dapat
memiliki kesadaran akan arti penting dari mitigasi bencana bagi setiap pihak serta mampu
mengarusutamakan mitigasi bencana dalam aktivitas-aktivitas keseharian mereka yang
paling real dan sederhana.
Dalam pelaksanaan kedua peran tersebut, pemerintah dapat menggunakan
kebijakan publik sebagai media utama dalam mitigasi. Keistimewaan daya paksa hukum
yang melekat pada kebijakan publik, dapat memaksa seluruh pihak untuk terlibat secara
aktif dan nyata dalam mitigasi bencana. Terdapat dua bentuk kebijakan yang dapat
diimplementasikan oleh pemerintah dalam rangka mitigasi bencana yakni kebijakan aktif
dan kebijakan pasif. Kebijakan aktif dapat terlihat dari kebijakan yang menstimulasi
tindakan kolektif yang diinginkan dalam mitigasi bencana. Dalam kebijakan jenis ini
pemerintah dapat menawarkan pola insentif-insentif tersendiri yang diarahkan untuk
mendorong berbagai pihak untuk terlibat secara aktif dan atau menjalankan upaya kreatif
yang diarahkan untuk menguatkan mitigasi bencana. Sedangkan kebijakan pasif
3
dimaksudkan sebagai kebijakan yang bersifat mengendalikan tindakan kolektif yang tidak
dikehendaki untuk terjadi dalam mitigasi bencana. Kebijakan jenis ini dapat
diaktualisasikan dalam bentuk sanksi hukum, penalti atau kontrol terhadap tindakan-
tindakan yang potensial untuk dapat merentankan kondisi sistem ekologis yang ada.
Pelaksanaan kedua bentuk kebijakan tersebut bukanlah merupakan hal mudah.
Setiap bentuk kebijakan membutuhkan sejumlah kondisi pendukung tertentu agar dapat
dijalankan secara efektif. Kebijakan aktif dapat dimungkinkan untuk berjalan secara
efektif apabila pemerintah mampu untuk mengambil inisiatif untuk menumbuhkan
kesadaran dan keterlibatan berbagai pihak dalam rangka mengurangi potensi risiko
bencana. Kondisi lainnya yang amat dibutuhkan dalam rangka pelaksaan kebijakan aktif
adalah penerimaan masyarakat target dan seluruh stakeholder, karena pada dasarnya titik
tumpu dari seluruh pelaksanaan kebijakan ini akan berada pada masyarakat. Selain itu
kebijakan aktif biasanya akan terwujud dalam bentuk inisiasi program maupun
pelaksanaan proyek-proyek khusus yang diarahkan untuk mitigasi bencana, dengan
demikian maka ketersediaan anggaran dan juga sumber daya yang memiliki komitmen
dan keahlian khusus sangat dibutuhkan dalam pelaksanaannya. Kondisi pendukung yang
sifatnya khusus juga dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pasif. Ketersediaan
sistem pengendalian yang kuat, penerimaan masyarakat dan seluruh stakeholder serta
adanya kemauan dan kemampuan masyarakat untuk mematuhi kebijakan merupakan
kondisi yang dapat mendukung kelancaran aktivitas mitigasi melalui kebijakan pasif ini.

KENDALA MITIGASI BENCANA


Kebijakan mitigasi bencana merupakan kebijakan yang memiliki tingkat kesulitan
yang tinggi untuk diimplementasikan. Ender dkk, (1988) dalam tulisan mereka The Design
and Implementation of Disaster Mitigation Policy menyatakan bahwa kesulitan tersebut dapat
diperkirakan terjadi sehubungan dengan keunikan sifat yang melekat pada kebijakan
mitigasi. Kebijakan mitigasi bencana merupakan kebijakan yang mendasarkan pada
asumsi bencana yang seringkali tidak nampak atau tidak kasat mata dalam kondisi normal,
serta memiliki tingkat probabilitas yang rendah. Oleh karena itu upaya untuk membangun
kesadaran akan perlunya mitigasi bencana akan sulit dilakukan, terlebih dalam kondisi
normal, karena tidak tersedia gambaran yang cukup kuat bagi berbagai pihak untuk
membangun kesadaran tersebut. Selain itu kesulitan implementasi kebijakan mitigasi
bencana dapat dihadapi karena sifat dampak aktual dari tindakan mitigasi bencana yang
sangat sulit untuk dievaluasi terlebih dalam waktu jangka pendek. Hal ini jugalah yang
kemudian membuat para politisi seringkali tidak merasa terdorong untuk memberikan
dukungan nyata terhadap tindakan ataupun kebijakan mitigasi. Kalkulasi mengenai
potensi keuntungan atau manfaat dari tindakan atau kebijakan mitigasi seringkali
dipandang tidak besar bagi karir politik mereka.
Faktor lain yang seringkali menghambat atau menjadi kendala bagi upaya mitigasi
bencana adalah berkembangnya moral hazard dari para pembuat kebijakan atau perencana
program mitigasi. Moral hazard tersebut dapat terjadi baik pada saat perencanaan
aktivitas mitigasi maupun pelaksanaannya. Moral hazard ini dapat terjadi dalam bentuk
bekerjanya “politik citra” atau Twigg (2001) menamakannya dengan istilah politics of
response. Politik citra ini dapat diamati secara nyata dalam perencanaan program mitigasi
bencana yang dilakukan sesaat setelah atau sebelum bencana. Pada saat-saat demikian
berbagai pihak seringkali ingin nampak terlibat atau berperan aktif dalam rangka
menanggulangi bencana hanya dengan satu alasan kepentingan dasar yakni meningkatnya
citra diri atau kelompok demi mulusnya tujuan politik. Motif-motif demikian pada
akhirnya akan berdampak merugikan pada nasib pelaksanaan kebijakan atau program

4
mitigasi bencana yang dihasilkan. Dalam masa seperti itu, bukan tidak mungkin bahwa
berbagai pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan ataupun pelaksanaan kebijakan
dan program mitigasi bencana sebenarnya tidak familiar atau tidak memahami sifat
bencana serta kerentanan yang dimiliki oleh sebuah komunitas atau sebuah ekosistem.
Berdasarkan pemahaman terhadap kendala mitigasi bencana, maka dapat
disimpulkan bahwa sesungguhnya mitigasi bencana haruslah dilaksanakan dengan
pemilihan waktu yang jelas, perencanaan dan pelaksanaannya harus melibatkan pihak-
pihak yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam penanganan bencana, dan adanya
komitmen politik yang ditindaklanjuti dengan kerangka dan sumber daya bagi
pelaksanaan rencana aksi mitigasi bencana. Bencana yang sulit dibayangkan dan tingkat
risikonya yang selalu ada dalam tataran prediksi sulit untuk dipahami dalam kondisi
normal. Oleh karena itu perencanaan dan pelaksanaan mitigasi yang dilakukan sesaat
setelah peristiwa bencana, akan mendapati momentum yang baik karena kesadaran dan
seluruh ingatan akan bahaya dan dampak bencana masih terkumpul dengan baik dalam
ingatan publik. Selain itu upaya mitigasi bencana jangan hanya terfokus pada kejadian
bencana yang telah terjadi di masa lalu, namun tetap mengarah pada potensi ancaman
bencana yang mungkin dihadapi di masa yang akan datang. Keterlibatan pihak-pihak yang
memiliki keahlian khusus seputar bencana dimungkinkan akan mampu mendukung
perancangan kebijakan dan program mitigasi yang sifatnya efektif. Adapun pembuktian
komitmen politik dan kesiapan dukungan sumber daya bagi pelaksanaan mitigasi
merupakan sebuah syarat penting agar mitigasi bencana tidak hanya akan berhenti di
tataran rencana semata.

MODEL MITIGASI BENCANA BERBASIS KOMUNITAS


Pencarian model yang tepat untuk mitigasi bencana telah mengkondisikan kita untuk
kembali melakukan telaah terhadap sifat dan faktor penyebab kejadian bencana. Bencana
pada dasarnya bukanlah merupakan peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba dan lepas dari
kehidupan normal manusia. Bencana dapat terjadi sebagai akibat dari pola kehidupan
normal manusia atau masyarakat. Sifat atau penyebab bencana tidak semata-mata dilihat
sebagai sesuatu yang sifatnya alamiah atau disebabkan oleh siklus alam, melainkan
bencana terjadi karena suatu resiko (risk) yang tidak tertangani oleh manusia dalam segala
dimensi sosial kelembagaannya. Alam sebenarnya bukanlah penyebab bencana, alam
hanya merupakan pemicu (trigger) yang dapat menghantarkan pada sebuah kondisi
bencana. Alam sebagai pemicu hanya akan dapat mengakibatkan bencana manakala
sudah terdapat sebuah akar penyebab yang rentan atau kondisi vulnerability dalam suatu
sistem ekologis yang sifatnya kompleks
Berdasarkan pemahaman akan sifat dan factor penyebab bencana maka
sebenarnya haruslah dipahami bahwa tindakan aktivitas mitigasi bencana tidak boleh
menegasikan peran masyarakat atau komunitas. Peran yang paling penting dalam upaya
mitigasi bencana justru terletak pada masyarakat.
Sadar akan arti penting masyarakat atau komunitas dalam mitigasi bencana, maka
sesungguhnya model ideal yang dapat diterapkan dalam mitigasi bencana adalah model
mitigasi bencana berbasis komunitas. Dalam model ini terdapat beberapa prinsip yang
hendaknya dipahami, diantaranya:
1. Masyarakat harus menjadi subyek dalam proses perumusan kebijakan, baik aktif
maupun pasif. Peran subyek dalam proses ini akan menuntut kondisi agar masyarakat
selalu distimulasi dan diberi kesempatan untuk merumuskan dan mengidentifikasikan
bentuk kerentanan yang dapat menghantarkan bencana dan yang juga dapat

5
ditimbulkan akibat dari bencana. Selain itu masyarakat juga harus distimulasi dan
diberi kesempatan untuk terlibat dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
mitigasi bencana.
2. Mitigasi bencana selain harus dilakukan bersama dengan komunitas, juga harus
menggunakan sumber daya dan materi lokal serta memberikan kontribusi bagi
pengembangan komunitas setempat dalam jangka panjang.
3. Kebijakan yang dihasilkan dalam rangka pelaksanaan mitigasi bencana harus dapat
mengembangkan “kultur keamanan bencana” yang artinya orang-orang dalam
komunitas akan sadar sepenuhnya terhadap ancaman bencana yang mereka hadapi,
mampu melindungi diri sendiri dengan cara yang dapat mereka lakukan serta dapat
memberikan dukungan penuh terhadap berbagai upaya yang dilakukan untuk
melindungi mereka dari bahaya.
Model mitigasi bencana berbasis komunitas ini merupakan model yang dapat
diterapkan di wilayah Kabupaten Bantul. Kesadaran masyarakat akan risiko bencana
diyakini telah terbangun dengan baik di benak warga masyarakat Bantul. Peristiwa
bencana gempa bumi yang lalu telah menjadi momentum berharga untuk menguatkan
kesadaran akan risiko bencana bagi warga masyarakat Bantul. Namun demikian upaya
penyadaran bukanlah upaya yang harus berhenti pada satu titik waktu tertentu.
Peningkatan kesadaran akan selalu terus dibutuhkan dalam rangka mitigasi. Berkaitan
dengan upaya untuk meningkatkan kesadaran publik tersebut maka diperlukan langkah
awal berupa social campaigne. Langkah ini sesungguhnya bukan saja diarahkan untuk
menumbuhkan kesadaran akan bencana baik pada masyarakat semata, namun juga pada
pemerintah maupun elemen publik lainnya. Bentuk social campaigne yang efektif yang dapat
dilakukan adalah dalam bentuk partisipasi. Berbagai media lokal masyarakat yang ada dan
dimiliki oleh masyarakat Bantul dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk memperkuat
kesadaran akan risiko bencana ini.

USULAN MITIGASI BENCANA GEMPA UNTUK KABUPATEN BANTUL


Dalam rangka pengusulan rencana mitigasi, maka upaya untuk mengenali sifat bencana
gempa bumi perlu dilakukan. Bencana gempa bumi pada umumnya memiliki mekanisme
yang potensial untuk menyebabkan kerusakan dan kehancuran bangunan, yang pada
gilirannya dapat menyebabkan orang terluka atau bahkan jatuhnya korban jiwa. Selain itu
efek gempa bumi juga pada dasarnya dapat menjadi pemicu bagi ancaman bencana yang
lain yakni longsor. Pada kejadian bencana gempa bumi bangunan-bangunan tua dan
bangunan-bangunan yang lemah secara konstruksi, seperti bangunan-bangunan yang
tidak dibangun dengan standar pondasi dan rangka yang tepat, bangunan yang memiliki
konstruksi atap yang berat dengan kemiringan yang curam merupakan elemen bangunan
yang memiliki tingkat risiko yang tinggi. Bangunan-bangunan yang dibangun di wilayah
lereng-lereng yang lemah juga merupakan bangunan yang berisiko rusak karena gempa
dan juga longsor yang merupakan ancaman sekunder dari bencana gempa.
Selain elemen yang berisiko tinggi untuk rusak karena gempa terdapat kelompok
masyarakat dan karakteristik wilayah yang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dalam
kondisi gempa. Kelompok masyarakat yang rentan dalam kondisi gempa ini adalah
kelompok masyarakat yang lanjut usia, balita dan anak-anak. Selain kelompok masyarakat
tersebut, kerentanan terhadap bencana gempa juga melekat pada masyarakat yang tinggal
dalam lingkungan permukiman yang padat dan memiliki karakteristik bangunan yang
lemah atau cacat dalam ukuran standar konstruksi.

6
Berdasarkan pemahaman tersebut di atas dan pengenalan sekilas akan kondisi
wilayah dan masyarakat Bantul, maka diusulkan tindakan mitigasi sebagai berikut:
1. Identifikasi wilayah-wilayah yang rawan secara geologis dalam arti wilayah yang
memiliki tingkat kerawanan yang tinggi untuk terjadinya bencana gempa bumi dan
juga longsor yang merupakan ancaman sekunder dari bencana gempa. Identifikasi ini
dapat dilakukan dengan cara pengkajian secara kontinue. Pemanfaatan studi-studi
geologis yang ilmiah yang biasa dilakukan oleh kelompok perguruan tinggi dapat
dimanfaatkan untuk tujuan ini.
2. Identifikasi wilayah-wilayah yang rentan secara demografis untuk mengalami risiko
yang tinggi karena kejadian gempa. Wilayah semacam ini dapat dikenali dengan
wilayah yang memiliki tingkat kepadatan yang tinggi, wilayah yang memiliki
prosentase penduduk lanjut usia, balita dan anak-anak yang tinggi, serta wilayah yang
memiliki karakteristik bangunan yang lemah secara konstruksi. Berdasarkan data
Bantul Dalam Angka Tahun 2005, dapat diperkirakan bahwa terdapat beberapa
wilayah desa yang diperkirakan memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi dan
dihuni oleh penduduk dengan kelompok usia lanjut usia, balita dan anak-anak yang
cukup tinggi. Desa-desa tersebut diantaranya adalah Gilangharjo di Kecamatan
Pandak, Palbapang di Kecamatan Bantul, Trimulyo di Kecamatan Jetis, Banguntapan
di Kecamatan Banguntapan, Sitimulyo di Kecamatan Piyungan, Bangunharjo dan
Panggungharjo di wilayah Kecamatan Sewon. Pemetaan kerentanan demografis ini
tentulah akan sangat tergantung pada akurasi data profil demografis setiap desa dan
masih tetap harus dipadukan dengan data tingkat kerentanan wilayah berdasarkan
kondisi konstruksi rumah. Identifikasi wilayah kerentanan secara demografis ini pada
dasarnya akan terkendala oleh status penduduk musiman yang seringkali tidak tercatat
di setiap wilayah atau terkendala oleh fakta bahwa banyak terdapat penduduk Bantul
yang ternyata tidak berdomisili di wilayah Bantul.
3. Peninjauan atau penyesuaian kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Bantul untuk menjamin bahwa Perda tersebut memiliki wawasan bencana dan
perlindungan lingkungan.
4. Penegakkan aturan standar bangunan di wilayah Kabupaten Bantul.
5. Pelaksanaan kegiatan penataan permukiman yang dapat dilaksanakan sejak masa
rekonstruksi gempa saat ini. Dalam fase rekonstruksi ini Pemerintah Kabupaten
Bantul dapat melakukan pengaturan atau penataan pemukiman pada wilayah yang
masih dapat direkayasa. Pada dasarnya upaya rekonstruksi juga dapat dijadikan
momentum bagi Pemerintah Daerah untuk mengurangi kerentanan fisik dan sosial
yang ada dalam masyarakat mereka. Berdasarkan pemahaman ini, maka rehabilitasi
lingkungan permukiman penduduk dapat diawali dengan beberapa tindakan nyata
sebagai berikut:
a) Kegiatan penataan jarak antara rumah-rumah penduduk yang cukup ideal. Hal ini
dilakukan untuk mengatur kepadatan lingkungan permukiman. Hal ini penting
karena dalam setiap bencana gempa setiap orang akan membutuhkan ruang yang
cukup untuk upaya penyelamatan diri.
b) Pembangunan kesepakatan publik tentang perlunya ruang publik seperti lapangan
atau taman publik untuk skope dusun, RW atau RT yang dapat dijadikan sebagai
tempat evakuasi pada saat bencana.
6. Penguatan kontrol terhadap penerapan standar konstruksi bangunan-bangunan
fasilitas publik yang sedianya dapat dijadikan sebagai tempat evakuasi dalam kondisi
bencana gempa.
7
7. Pengembangan kesadaran masyarakat melalui media-media lokal seperti media
kesenian, pertemuan warga, media hiburan umum seperti pemutaran film,
penyebaran leaflet dan lain-lain. Upaya pengembangan kesadaran ini haruslah
dilakukan sejak saat ini, saat dimana kesadaran dan ingatan masyarakat warga Bantul
akan bahaya dan risiko gempa masih kuat.
8. Pelaksanaan pelatihan upaya penyelamatan diri yang dapat dilakukan pada setiap
kelompok masyarakat dengan cara yang tepat dan menarik.
9. Pengaturan tentang insentif yang dapat diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul
kepada berbagai pihak baik masyarakat maupun perusahaan swasta yang mendukung
upaya mitigasi.
10. Pemberian bantuan pelatihan dan konsultasi teknis pembangunan rumah tahan
gempa pada penduduk dan tukang-tukang dan pelaksana pembangunan oleh Dinas
Kimpraswil Kabupaten Bantul.
11. Sosialisasi tentang teknik pelestarian bangunan tradisional Jawa yang biasa didirikan di
wilayah Bantul dengan modifikasi konstruksi rumah tahan gempa.
12. Relokasi merupakan tindakan mitigasi yang harus dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Bantul apabila didapati adanya wilayah yang sangat rawan untuk didiami
oleh penduduk. Wilayah ini dapat diidentikan dengan karakteristik kerawanan longsor
setelah bencana gempa. Namun demikian dalam kenyataan praktik, seringkali upaya
ini memang tidak mudah dilakukan, penolakan warga merupakan reaksi yang
seringkali muncul dalam tindakan mitigasi jenis ini. Berhadapam dengan kondisi ini,
maka upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah:
a) Memberikan informasi yang tepat pada penduduk target tentang risiko yang harus
mereka alami jika bertahan di wilayah rawan tersebut.
b) Melakukan pendekatan pada kelompok penduduk target untuk
mengidentifikasikan alasan penolakan relokasi.
c) Menyediakan sejumlah fasilitas dasar yang dibutuhkan bagi penduduk untuk
pindah dari wilayah semula dan mampu bertahan di wilayah yang baru. Upaya
Pemerintah Kabupaten memberikan bantuan fasilitas dasar ini perlu dilaksanakan
terlebih apabila terdapat kondisi dimana sejumlah penduduk tidak bersedia
direlokasi karena mereka tidak memiliki pilihan tempat tinggal yang baru ataupun
karena keterbatasan sosial ekonomi.
d) Menghindarkan pola penanganan yang represif terhadap penduduk yang menolak
relokasi karena alasan yang bersifat emosional atau psikologis. Mungkin saja
terdapat sejumlah penduduk yang memiliki ikatan emosional atau psikologis yang
sulit dipahami orang lain dengan wilayah yang dinyatakan rawan tersebut.
13. Pembangunan jaringan kerjasama dengan kelompok perguruan tinggi, LSM, dan
kalangan swasta untuk melakukan pemberdayaan dalam hal penguatan konstruksi
bangunan tahan gempa.
Upaya-upaya lain dapat juga dilakukan dalam rangka mitigasi bencana gempa. Hal
mendasar yang harus selalu tetap harus diperhatikan dalam perencanaan mitigasi bencana
adalah pengenalan karakter wilayah serta penempatan publik sebagai subyek dalam
kegiatan mitigasi. Selain itu, mitigasi bencan hendaknya tidak hanya diarahkan untuk
mencegah risiko dampak dari bencana gempa bumi yang sudah pernah dialami di wilayah
Bantul. Pemetaan akan jenis ancaman bahaya lainnya seperti longsor, banjir, kekeringan,
tsunami, konflik dan bencana lainnya perlu dilakukan. Penyusunan rencana mitigasi

8
dalam rangka mitigasi bencana lainnya menjadi sebuah tanggungjawab yang harus
dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten Bantul.

DAFTAR PUSTAKA
Coburn, A.W.et.al.1994. “Pengurangan Bencana” dalam Modul Pelatihan Manajemen
Bencana. UNDP. Cambridge
Ender, Richard L.et.al. 1988. “The Design and Impementation of Disaster Mitigation
Policy.” Pp. 67-85. In Louise K. Comfort. Managing Disaster : Strategies and Policy
Perspectives. Durham, NC: Duke University Press
Lassa, Jonathan A. 2003. Pengenalan Disaster Risk Management (DRM).
Twigg, John. 2001. “Physician, Heal Thyself? The Politics of Disaster Mitigation.”
Disaster Management Working Paper 1/2001. London: Benfield Greig Hazard
Research Centre, University College London.
Wise, Charles R. 2006. “Organizing for Homeland Security after katarina: Is Adaptive
Management What’s Missing?” Public Administration Review 66 (3): 302– 319.
Wurjanto, Andojo. dan Rendro Edy Wibowo. 2005. “Tinjauan Tsunami dari Aspek
Kelautan.”. Dalam Prosiding Diskusi Mitigasi Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan
Tsunami Aceh. Bandung: UNPAR.

You might also like