Professional Documents
Culture Documents
Tidak ada yang menyangka sebelumnya bahwa ditengah-tengah berbagai prediksi tentang
bencana letusan Gunung Merapi, pada tanggal 27 Mei lalu justru terjadi bencana gempa
bumi yang dari sudut skala dan dampak yang ditimbulkannya begitu menghenyakkan
banyak pihak. Jatuhnya korban jiwa, banyaknya penduduk yang luka dan juga yang
akhirnya terpaksa harus mengungsi serta rusaknya infrastruktur, perumahan dan
permukiman penduduk merupakan potret tegas dari fenomena kerentanan yang
dihasilkan dari peristiwa bencana tersebut. Data real mengenai jumlah korban jiwa dan
dampak kerusakan fisik di wilayah Propinsi DIY dan Jawa Tengah tersaji sebagai berikut:
Tabel 1.
Korban Jiwa dan Dampak Kerusakan Fisik Akibat Gempa Bumi 27 Mei 2006
WILAYAH DIY
Kab. Bantul 4.143 12.026 778.251 71.763 71.372 73.669
Kab. Sleman 246 3.777 153.596 19.113 27.687 49.065
Kota Yogya 218 313 74.592 6.085 5.408 15.364
Kab. Kulon Progo 24 2.179 205.625 4.685 8.430 9.672
Kab. Gunung Kidul 84 1.086 140.012 7.454 11.030 27.218
Total 4.715 19.381 1.352.076 109.100 123.930 174.988
WILAYAH
JATENG
Kab. Klaten 1.045 18.127 713.788 29.988 62.979 98.552
Kab. Magelang 10 - 5.108 386 386 546
Kab. Boyolali 4 300 12.770 307 696 708
Kab. Sukoharjo 3 67 16.302 51 1.808 2.476
Kab. Wonogiri - 4 2.022 17 12 74
Kab. Purworejo 1 4 9.806 10 214 780
Total 1.063 18.502 759.796 30.759 66.095 103.136
Sumber Media Center Satkorlak DIY tgl 29 Juni pukul 18.00
Paparan data di atas seolah menghantarkan kita pada pemahaman bahwa bencana yang
tidak disangka-sangka ini akhirnya menghasilkan kerentanan dalam masyarakat, baik
berupa kerentanan fisikal maupun kerentanan sosial untuk jangka waktu tertentu pasca
bencana.
Peristiwa bencana gempa bumi yang tidak terduga sebelumnya ini, juga semakin
memaksa kita untuk meyakini bahwa ketidakpastian merupakan hal yang nyata. Sulitnya
prediksi yang akurat tentang kejadian bencana merupakan fakta. Oleh karena itu,
ditengah-tengah kondisi sistem ekologis fisik maupun sosial yang sangat kompleks, maka
1
langkah bijaksana yang harus ditempuh berkaitan dengan bencana adalah melakukan
langkah antisipasi atau mitigasi.
2
dampak bencana pada aktivitas-aktivitas masyarakat dan insitusi-institusi sosial yang telah
ada di dalam masyarakat.
4
mitigasi bencana yang dihasilkan. Dalam masa seperti itu, bukan tidak mungkin bahwa
berbagai pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan ataupun pelaksanaan kebijakan
dan program mitigasi bencana sebenarnya tidak familiar atau tidak memahami sifat
bencana serta kerentanan yang dimiliki oleh sebuah komunitas atau sebuah ekosistem.
Berdasarkan pemahaman terhadap kendala mitigasi bencana, maka dapat
disimpulkan bahwa sesungguhnya mitigasi bencana haruslah dilaksanakan dengan
pemilihan waktu yang jelas, perencanaan dan pelaksanaannya harus melibatkan pihak-
pihak yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam penanganan bencana, dan adanya
komitmen politik yang ditindaklanjuti dengan kerangka dan sumber daya bagi
pelaksanaan rencana aksi mitigasi bencana. Bencana yang sulit dibayangkan dan tingkat
risikonya yang selalu ada dalam tataran prediksi sulit untuk dipahami dalam kondisi
normal. Oleh karena itu perencanaan dan pelaksanaan mitigasi yang dilakukan sesaat
setelah peristiwa bencana, akan mendapati momentum yang baik karena kesadaran dan
seluruh ingatan akan bahaya dan dampak bencana masih terkumpul dengan baik dalam
ingatan publik. Selain itu upaya mitigasi bencana jangan hanya terfokus pada kejadian
bencana yang telah terjadi di masa lalu, namun tetap mengarah pada potensi ancaman
bencana yang mungkin dihadapi di masa yang akan datang. Keterlibatan pihak-pihak yang
memiliki keahlian khusus seputar bencana dimungkinkan akan mampu mendukung
perancangan kebijakan dan program mitigasi yang sifatnya efektif. Adapun pembuktian
komitmen politik dan kesiapan dukungan sumber daya bagi pelaksanaan mitigasi
merupakan sebuah syarat penting agar mitigasi bencana tidak hanya akan berhenti di
tataran rencana semata.
5
ditimbulkan akibat dari bencana. Selain itu masyarakat juga harus distimulasi dan
diberi kesempatan untuk terlibat dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
mitigasi bencana.
2. Mitigasi bencana selain harus dilakukan bersama dengan komunitas, juga harus
menggunakan sumber daya dan materi lokal serta memberikan kontribusi bagi
pengembangan komunitas setempat dalam jangka panjang.
3. Kebijakan yang dihasilkan dalam rangka pelaksanaan mitigasi bencana harus dapat
mengembangkan “kultur keamanan bencana” yang artinya orang-orang dalam
komunitas akan sadar sepenuhnya terhadap ancaman bencana yang mereka hadapi,
mampu melindungi diri sendiri dengan cara yang dapat mereka lakukan serta dapat
memberikan dukungan penuh terhadap berbagai upaya yang dilakukan untuk
melindungi mereka dari bahaya.
Model mitigasi bencana berbasis komunitas ini merupakan model yang dapat
diterapkan di wilayah Kabupaten Bantul. Kesadaran masyarakat akan risiko bencana
diyakini telah terbangun dengan baik di benak warga masyarakat Bantul. Peristiwa
bencana gempa bumi yang lalu telah menjadi momentum berharga untuk menguatkan
kesadaran akan risiko bencana bagi warga masyarakat Bantul. Namun demikian upaya
penyadaran bukanlah upaya yang harus berhenti pada satu titik waktu tertentu.
Peningkatan kesadaran akan selalu terus dibutuhkan dalam rangka mitigasi. Berkaitan
dengan upaya untuk meningkatkan kesadaran publik tersebut maka diperlukan langkah
awal berupa social campaigne. Langkah ini sesungguhnya bukan saja diarahkan untuk
menumbuhkan kesadaran akan bencana baik pada masyarakat semata, namun juga pada
pemerintah maupun elemen publik lainnya. Bentuk social campaigne yang efektif yang dapat
dilakukan adalah dalam bentuk partisipasi. Berbagai media lokal masyarakat yang ada dan
dimiliki oleh masyarakat Bantul dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk memperkuat
kesadaran akan risiko bencana ini.
6
Berdasarkan pemahaman tersebut di atas dan pengenalan sekilas akan kondisi
wilayah dan masyarakat Bantul, maka diusulkan tindakan mitigasi sebagai berikut:
1. Identifikasi wilayah-wilayah yang rawan secara geologis dalam arti wilayah yang
memiliki tingkat kerawanan yang tinggi untuk terjadinya bencana gempa bumi dan
juga longsor yang merupakan ancaman sekunder dari bencana gempa. Identifikasi ini
dapat dilakukan dengan cara pengkajian secara kontinue. Pemanfaatan studi-studi
geologis yang ilmiah yang biasa dilakukan oleh kelompok perguruan tinggi dapat
dimanfaatkan untuk tujuan ini.
2. Identifikasi wilayah-wilayah yang rentan secara demografis untuk mengalami risiko
yang tinggi karena kejadian gempa. Wilayah semacam ini dapat dikenali dengan
wilayah yang memiliki tingkat kepadatan yang tinggi, wilayah yang memiliki
prosentase penduduk lanjut usia, balita dan anak-anak yang tinggi, serta wilayah yang
memiliki karakteristik bangunan yang lemah secara konstruksi. Berdasarkan data
Bantul Dalam Angka Tahun 2005, dapat diperkirakan bahwa terdapat beberapa
wilayah desa yang diperkirakan memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi dan
dihuni oleh penduduk dengan kelompok usia lanjut usia, balita dan anak-anak yang
cukup tinggi. Desa-desa tersebut diantaranya adalah Gilangharjo di Kecamatan
Pandak, Palbapang di Kecamatan Bantul, Trimulyo di Kecamatan Jetis, Banguntapan
di Kecamatan Banguntapan, Sitimulyo di Kecamatan Piyungan, Bangunharjo dan
Panggungharjo di wilayah Kecamatan Sewon. Pemetaan kerentanan demografis ini
tentulah akan sangat tergantung pada akurasi data profil demografis setiap desa dan
masih tetap harus dipadukan dengan data tingkat kerentanan wilayah berdasarkan
kondisi konstruksi rumah. Identifikasi wilayah kerentanan secara demografis ini pada
dasarnya akan terkendala oleh status penduduk musiman yang seringkali tidak tercatat
di setiap wilayah atau terkendala oleh fakta bahwa banyak terdapat penduduk Bantul
yang ternyata tidak berdomisili di wilayah Bantul.
3. Peninjauan atau penyesuaian kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Bantul untuk menjamin bahwa Perda tersebut memiliki wawasan bencana dan
perlindungan lingkungan.
4. Penegakkan aturan standar bangunan di wilayah Kabupaten Bantul.
5. Pelaksanaan kegiatan penataan permukiman yang dapat dilaksanakan sejak masa
rekonstruksi gempa saat ini. Dalam fase rekonstruksi ini Pemerintah Kabupaten
Bantul dapat melakukan pengaturan atau penataan pemukiman pada wilayah yang
masih dapat direkayasa. Pada dasarnya upaya rekonstruksi juga dapat dijadikan
momentum bagi Pemerintah Daerah untuk mengurangi kerentanan fisik dan sosial
yang ada dalam masyarakat mereka. Berdasarkan pemahaman ini, maka rehabilitasi
lingkungan permukiman penduduk dapat diawali dengan beberapa tindakan nyata
sebagai berikut:
a) Kegiatan penataan jarak antara rumah-rumah penduduk yang cukup ideal. Hal ini
dilakukan untuk mengatur kepadatan lingkungan permukiman. Hal ini penting
karena dalam setiap bencana gempa setiap orang akan membutuhkan ruang yang
cukup untuk upaya penyelamatan diri.
b) Pembangunan kesepakatan publik tentang perlunya ruang publik seperti lapangan
atau taman publik untuk skope dusun, RW atau RT yang dapat dijadikan sebagai
tempat evakuasi pada saat bencana.
6. Penguatan kontrol terhadap penerapan standar konstruksi bangunan-bangunan
fasilitas publik yang sedianya dapat dijadikan sebagai tempat evakuasi dalam kondisi
bencana gempa.
7
7. Pengembangan kesadaran masyarakat melalui media-media lokal seperti media
kesenian, pertemuan warga, media hiburan umum seperti pemutaran film,
penyebaran leaflet dan lain-lain. Upaya pengembangan kesadaran ini haruslah
dilakukan sejak saat ini, saat dimana kesadaran dan ingatan masyarakat warga Bantul
akan bahaya dan risiko gempa masih kuat.
8. Pelaksanaan pelatihan upaya penyelamatan diri yang dapat dilakukan pada setiap
kelompok masyarakat dengan cara yang tepat dan menarik.
9. Pengaturan tentang insentif yang dapat diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul
kepada berbagai pihak baik masyarakat maupun perusahaan swasta yang mendukung
upaya mitigasi.
10. Pemberian bantuan pelatihan dan konsultasi teknis pembangunan rumah tahan
gempa pada penduduk dan tukang-tukang dan pelaksana pembangunan oleh Dinas
Kimpraswil Kabupaten Bantul.
11. Sosialisasi tentang teknik pelestarian bangunan tradisional Jawa yang biasa didirikan di
wilayah Bantul dengan modifikasi konstruksi rumah tahan gempa.
12. Relokasi merupakan tindakan mitigasi yang harus dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Bantul apabila didapati adanya wilayah yang sangat rawan untuk didiami
oleh penduduk. Wilayah ini dapat diidentikan dengan karakteristik kerawanan longsor
setelah bencana gempa. Namun demikian dalam kenyataan praktik, seringkali upaya
ini memang tidak mudah dilakukan, penolakan warga merupakan reaksi yang
seringkali muncul dalam tindakan mitigasi jenis ini. Berhadapam dengan kondisi ini,
maka upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah:
a) Memberikan informasi yang tepat pada penduduk target tentang risiko yang harus
mereka alami jika bertahan di wilayah rawan tersebut.
b) Melakukan pendekatan pada kelompok penduduk target untuk
mengidentifikasikan alasan penolakan relokasi.
c) Menyediakan sejumlah fasilitas dasar yang dibutuhkan bagi penduduk untuk
pindah dari wilayah semula dan mampu bertahan di wilayah yang baru. Upaya
Pemerintah Kabupaten memberikan bantuan fasilitas dasar ini perlu dilaksanakan
terlebih apabila terdapat kondisi dimana sejumlah penduduk tidak bersedia
direlokasi karena mereka tidak memiliki pilihan tempat tinggal yang baru ataupun
karena keterbatasan sosial ekonomi.
d) Menghindarkan pola penanganan yang represif terhadap penduduk yang menolak
relokasi karena alasan yang bersifat emosional atau psikologis. Mungkin saja
terdapat sejumlah penduduk yang memiliki ikatan emosional atau psikologis yang
sulit dipahami orang lain dengan wilayah yang dinyatakan rawan tersebut.
13. Pembangunan jaringan kerjasama dengan kelompok perguruan tinggi, LSM, dan
kalangan swasta untuk melakukan pemberdayaan dalam hal penguatan konstruksi
bangunan tahan gempa.
Upaya-upaya lain dapat juga dilakukan dalam rangka mitigasi bencana gempa. Hal
mendasar yang harus selalu tetap harus diperhatikan dalam perencanaan mitigasi bencana
adalah pengenalan karakter wilayah serta penempatan publik sebagai subyek dalam
kegiatan mitigasi. Selain itu, mitigasi bencan hendaknya tidak hanya diarahkan untuk
mencegah risiko dampak dari bencana gempa bumi yang sudah pernah dialami di wilayah
Bantul. Pemetaan akan jenis ancaman bahaya lainnya seperti longsor, banjir, kekeringan,
tsunami, konflik dan bencana lainnya perlu dilakukan. Penyusunan rencana mitigasi
8
dalam rangka mitigasi bencana lainnya menjadi sebuah tanggungjawab yang harus
dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten Bantul.
DAFTAR PUSTAKA
Coburn, A.W.et.al.1994. “Pengurangan Bencana” dalam Modul Pelatihan Manajemen
Bencana. UNDP. Cambridge
Ender, Richard L.et.al. 1988. “The Design and Impementation of Disaster Mitigation
Policy.” Pp. 67-85. In Louise K. Comfort. Managing Disaster : Strategies and Policy
Perspectives. Durham, NC: Duke University Press
Lassa, Jonathan A. 2003. Pengenalan Disaster Risk Management (DRM).
Twigg, John. 2001. “Physician, Heal Thyself? The Politics of Disaster Mitigation.”
Disaster Management Working Paper 1/2001. London: Benfield Greig Hazard
Research Centre, University College London.
Wise, Charles R. 2006. “Organizing for Homeland Security after katarina: Is Adaptive
Management What’s Missing?” Public Administration Review 66 (3): 302– 319.
Wurjanto, Andojo. dan Rendro Edy Wibowo. 2005. “Tinjauan Tsunami dari Aspek
Kelautan.”. Dalam Prosiding Diskusi Mitigasi Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan
Tsunami Aceh. Bandung: UNPAR.