You are on page 1of 30

BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH

Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.

A. Pengertian Bimbingan dan Konseling


Bimbingan merupakan terjemahan dari guidance yang didalamnya terkandung
beberapa makna. Sertzer & Stone (1966) menemukakan bahwa guidance berasal
kata guide yang mempunyai arti to direct, pilot, manager, or steer (menunjukkan,
menentukan, mengatur, atau mengemudikan). Sedangkan menurut W.S. Winkel
(1981) mengemukakan bahwa guidance mempunyai hubungan dengan guiding : “
showing a way” (menunjukkan jalan), leading (memimpin), conducting (menuntun),
giving instructions (memberikan petunjuk), regulating (mengatur), governing
(mengarahkan) dan giving advice (memberikan nasehat).
Penggunaan istilah bimbingan seperti dikemukakan di atas tampaknya proses
bimbingan lebih menekankan kepada peranan pihak pembimbing. Hal ini tentu saja
tidak sesuai lagi dengan arah perkembangan dewasa ini, dimana pada saat ini klien
lah yang justru dianggap lebih memiliki peranan penting dan aktif dalam proses
pengambilan keputusan serta bertanggungjawab sepenuhnya terhadap keputusan
yang diambilnya.
Untuk memahami lebih jauh tentang pengertian bimbingan, di bawah ini
dikemukakan pendapat dari beberapa ahli :

 Miller (I. Djumhur dan Moh. Surya, 1975) mengartikan bimbingan sebagai
proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri yang
dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum di sekolah,
keluarga dan masyarakat.

 Peters dan Shertzer (Sofyan S. Willis, 2004) mendefiniskan bimbingan sebagai :


the process of helping the individual to understand himself and his world so that
he can utilize his potentialities.

 United States Office of Education (Arifin, 2003) memberikan rumusan bimbingan


sebagai kegiatan yang terorganisir untuk memberikan bantuan secara sistematis
kepada peserta didik dalam membuat penyesuaian diri terhadap berbagai bentuk
problema yang dihadapinya, misalnya problema kependidikan, jabatan,
kesehatan, sosial dan pribadi. Dalam pelaksanaannya, bimbingan harus
mengarahkan kegiatannya agar peserta didik mengetahui tentang diri pribadinya
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

 Jones et.al. (Sofyan S. Willis, 2004) mengemukakan : “guidance is the help


given by one person to another in making choice and adjusment and in solving
problem.
 I. Djumhur dan Moh. Surya, (1975) berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu
proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu
dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk
dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima
dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction)
dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan
potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan
lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat.

 Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah


dikemukakan bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada
peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan
merencanakan masa depan”.

 Prayitno, dkk. (2003) mengemukakan bahwa bimbingan dan konseling adalah


pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun
kelompok agar mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bimbingan
pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karier, melalui
berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang
berlaku.
Dari beberapa pendapat di atas, tampaknya para ahli masih beragam dalam
memberikan pengertian bimbingan, kendati demikian kita dapat melihat adanya
benang merah, bahwa :

 Bimbingan merupakan upaya untuk memberikan bantuan kepada individu atau


peserta didik.. Bantuan dimaksud adalah bantuan yang bersifat psikologis.

 Tercapainya penyesuaian diri, perkembangan optimal dan kemandirian


merupakan tujuan yang ingin dicapai dari bimbingan.
Dari pendapat Prayitno, dkk. yang memberikan pengertian bimbingan disatukan
dengan konseling merupakan pengertian formal dan menggambarkan
penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang saat ini diterapkan dalam sistem
pendidikan nasional.
Keberadaan layanan bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan di Indonesia
dijalani melalui proses yang panjang, sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu. Selama
perjalanannya telah mengalami beberapa kali pergantian istilah, semula disebut
Bimbingan dan Penyuluhan (dalam Kurikulum 84 dan sebelumnya), kemudian pada
Kurikulum 1994 dan Kurikulum 2004 berganti nama menjadi Bimbingan dan
Konseling. Akhir-akhir ini para ahli mulai meluncurkan sebutan Profesi Konseling,
meski secara formal istilah ini belum digunakan.
Untuk kepentingan penulisan ini, penulis akan menggunakan istilah Bimbingan dan
Konseling sesuai dengan istilah formal yang saat ini dipergunakan dalam sistem
pendidikan nasional.
B. Orientasi Baru Bimbingan dan Konseling
Pada masa sebelumnya (atau mungkin masa sekarang pun, dalam prakteknya masih
ditemukan) bahwa penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling cenderung bersifat
klinis-therapeutis atau menggunakan pendekatan kuratif, yakni hanya berupaya
menangani para peserta didik yang bermasalah saja. Padahal kenyataan di sekolah
jumlah peserta didik yang bermasalah atau berperilaku menyimpang mungkin hanya
satu atau dua orang saja. Dari 100 orang peserta didik paling banyak 5 hingga 10
(5% - 10%). Selebihnya, peserta didik yang tidak memiliki masalah (90% -95%)
kerapkali tidak tersentuh oleh layanan bimbingan dan konseling. Akibatnya,
bimbingan dan konseling memiliki citra buruk dan sering dipersepsi keliru oleh
peserta didik, guru bahkan kepala sekolah. Ada anggapan bimbingan dan konseling
merupakan “polisi sekolah”, tempat menangkap, merazia, dan menghukum para
peserta didik yang melakukan tindakan indisipliner. Anggapan lain yang keliru
bahwa bimbingan dan konseling sebagai “keranjang sampah” tempat untuk
menampung semua masalah peserta didik, seperti peserta didik yang bolos,
terlambat SPP, berkelahi, bodoh, menentang guru dan sebagainya. Masalah-masalah
kecil seperti itu dapat diantisipasi dan diatasi oleh para guru mata pelajaran atau wali
kelas dan tidak perlu diselesaikan oleh guru pembimbing.
Mengingat keadaan seperti itu, kiranya perlu adanya orientasi baru bimbingan dan
konseling yang bersifat pengembangan atau developmental dan pencegahan
pendekatan preventif. Dalam hal ini, Sofyan. S. Willis (2004) mengemukakan
landasan-landasan filosofis dari orientasi baru bimbingan dan konseling, yaitu :
1. Pedagogis; artinya menciptakan kondisi sekolah yang kondusif bagi
perkembangan peserta didik dengan memperhatikan perbedaan individual
diantara peserta didik.
2. Potensial, artinya setiap peserta didik adalah individu yang memiliki potensi
untuk dikembangkan, sedangkan kelemahannya secara berangsur-angsur akan
diatasinya sendiri.
3. Humanistik-religius, artinya pendekatan terhadap peserta didik haruslah
manusiawi dengan landasan ketuhanan. peserta didik sebagai manusia dianggap
sanggup mengembangkan diri dan potensinya.
4. Profesional, yaitu proses bimbingan dan konseling harus dilakukan secara
profesional atas dasar filosofis, teoritis, yang berpengetahuan dan
berketerampilan berbagi teknik bimbingan dan konseling.
Dengan adanya orientasi baru ini, bukan berarti upaya-upaya bimbingan dan
konseling yang bersifat klinis ditiadakan, tetapi upaya pemberian layanan bimbingan
dan konseling lebih dikedepankan dan diutamakan yang bersifat pengembangan dan
pencegahan. Dengan demikian, kehadiran bimbingan dan konseling di sekolah akan
dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh peserta didik, tidak hanya bagi peserta didik
yang bermasalah saja.
C. Fungsi Bimbingan dan Konseling
Dengan orientasi baru Bimbingan dan konseling terdapat beberapa fungsi yang
hendak dipenuhi melalui pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling. yaitu:

1. Pemahaman; menghasilkan pemahaman pihak-pihak tertentu untuk


pengembangan dan pemacahan masalah peserta didik meliputi : (a) pemahaman
diri dan kondisi peserta didik, orang tua, guru pembimbing; (2) lingkungan
peserta didik termasuk di dalamnya lingkungan sekolah; dan keluarga peserta
didik dan orang tua; lingkungan yang lebih luas, informasi pendidikan,
jabatan/pekerjaan, dan sosial budaya/terutama nilai-nilai oleh peserta didik.
2. Pencegahan; menghasilkan tercegahnya atau terhindarnya peserta didik dari
berbagai permasalahan yang timbul dan menghambat proses perkembangannya.
3. Pengentasan; menghasilkan terentaskannya atau teratasinya berbagai
permasalahan yang dialami peserta didik.
4. Advokasi; menghasilkan kondisi pembelaaan terhadap pengingkaran atas hak-
hak dan/atau kepentingan pendidikan.
5. Pemeliharaan dan pengembangan; terpelihara dan terkembangkannya berbagai
potensi dan kondisi positif peserta didik dalam rangka perkembangan dirinya
secara mantap dan berkelanjutan.
D. Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Konseling :
Sejumlah prinsip mendasari gerak langkah penyelenggaraan kegiatan bimbingan dan
konseling. Prinsip-prinsip ini berkaitan dengan tujuan, sasaran layanan, jenis layanan
dan kegiatan pendukung, serta berbagai aspek operasionalisasi pelayanan bimbingan
dan konseling. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan sasaran layanan; (a) melayani semua
individu tanpa memandang usia, jenis kelamin, suku, agama dan status sosial; (b)
memperhatikan tahapan perkembangan; (c) perhatian adanya perbedaan individu
dalam layanan.
2. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan permasalahan yang dialami individu; (a)
menyangkut pengaruh kondisi mental maupun fisik individu terhadap
penyesuaian pengaruh lingkungan, baik di rumah, sekolah dan masyarakat
sekitar, (b) timbulnya masalah pada individu oleh karena adanya kesenjangan
sosial, ekonomi dan budaya.
3. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan program pelayanan Bimbingan dan
Konseling; (a) bimbingan dan konseling bagian integral dari pendidikan dan
pengembangan individu, sehingga program bimbingan dan konseling
diselaraskan dengan program pendidikan dan pengembangan diri peserta didik;
(b) program bimbingan dan konseling harus fleksibel dan disesuaikan dengan
kebutuhan peserta didik maupun lingkungan; (c) program bimbingan dan
konseling disusun dengan mempertimbangkan adanya tahap perkembangan
individu; (d) program pelayanan bimbingan dan konseling perlu diadakan
penilaian hasil layanan.
4. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan tujuan dan pelaksanaan pelayanan; (a)
diarahkan untuk pengembangan individu yang akhirnya mampu secara mandiri
membimbing diri sendiri; (b) pengambilan keputusan yang diambil oleh klien
hendaknya atas kemauan diri sendiri; (c) permaslahan individu dilayani oleh
tenaga ahli/profesional yang relevan dengan permasalahan individu; (d) perlu
adanya kerja sama dengan personil sekolah dan orang tua dan bila perlu dengan
pihak lain yang berkewenangan dengan permasalahan individu; dan (e) proses
pelayanan bimbingan dan konseling melibatkan individu yang telah memperoleh
hasil pengukuran dan penilaian layanan.
E. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling
Penyelenggaraan layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling selain
dimuati oleh fungsi dan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu, juga dituntut untuk
memenuhi sejumlah asas bimbingan. Pemenuhan asas-asas bimbingan itu akan
memperlancar pelaksanaan dan lebih menjamin keberhasilan layanan/kegiatan,
sedangkan pengingkarannya akan dapat menghambat atau bahkan menggagalkan
pelaksanaan, serta mengurangi atau mengaburkan hasil layanan/kegiatan bimbingan
dan konseling itu sendiri.
Betapa pentingnya asas-asas bimbingan konseling ini sehingga dikatakan sebagai
jiwa dan nafas dari seluruh kehidupan layanan bimbingan dan konseling. Apabila
asas-asas ini tidak dijalankan dengan baik, maka penyelenggaraan bimbingan dan
konseling akan berjalan tersendat-sendat atau bahkan terhenti sama sekali.
Asas- asas bimbingan dan konseling tersebut adalah :
1. Asas Kerahasiaan (confidential); yaitu asas yang menuntut dirahasiakannya
segenap data dan keterangan peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan, yaitu
data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal ini,
guru pembimbing (konselor) berkewajiban memelihara dan menjaga semua data dan
keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin,
2. Asas Kesukarelaan; yaitu asas yang menghendaki adanya kesukaan dan
kerelaan peserta didik (klien) mengikuti/ menjalani layanan/kegiatan yang
diperuntukkan baginya. Guru Pembimbing (konselor) berkewajiban membina
dan mengembangkan kesukarelaan seperti itu.
3. Asas Keterbukaan; yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang
menjadi sasaran layanan/kegiatan bersikap terbuka dan tidak berpura-pura, baik
dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima
berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan
dirinya. Guru pembimbing (konselor) berkewajiban mengembangkan
keterbukaan peserta didik (klien). Agar peserta didik (klien) mau terbuka, guru
pembimbing (konselor) terlebih dahulu bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
Asas keterbukaan ini bertalian erat dengan asas kerahasiaan dan dan kekarelaan.
4. Asas Kegiatan; yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang
menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif di dalam
penyelenggaraan/kegiatan bimbingan. Guru Pembimbing (konselor) perlu
mendorong dan memotivasi peserta didik untuk dapat aktif dalam setiap
layanan/kegiatan yang diberikan kepadanya.
5. Asas Kemandirian; yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan
dan konseling; yaitu peserta didik (klien) sebagai sasaran layanan/kegiatan
bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri,
dengan ciri-ciri mengenal diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil
keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri. Guru Pembimbing
(konselor) hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan
konseling bagi berkembangnya kemandirian peserta didik.
6. Asas Kekinian; yaitu asas yang menghendaki agar obyek sasaran layanan
bimbingan dan konseling yakni permasalahan yang dihadapi peserta
didik/klien dalam kondisi sekarang. Kondisi masa lampau dan masa depan
dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan
diperbuat peserta didik (klien) pada saat sekarang.
7. Asas Kedinamisan; yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap
sasaran layanan (peserta didik/klien) hendaknya selalu bergerak maju, tidak
monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan
dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8. Asas Keterpaduan; yaitu asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan
kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing
maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadukan. Dalam hal ini,
kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait dengan
bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus dilaksanakan sebaik-
baiknya.
9. Asas Kenormatifan; yaitu asas yang menghendaki agar segenap layanan dan
kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada norma-norma, baik norma
agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan –
kebiasaan yang berlaku. Bahkan lebih jauh lagi, melalui segenap
layanan/kegiatan bimbingan dan konseling ini harus dapat meningkatkan
kemampuan peserta didik (klien) dalam memahami, menghayati dan
mengamalkan norma-norma tersebut.
10. Asas Keahlian; yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling diselnggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional.
Dalam hal ini, para pelaksana layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling
lainnya hendaknya tenaga yang benar-benar ahli dalam bimbingan dan
konseling. Profesionalitas guru pembimbing (konselor) harus terwujud baik
dalam penyelenggaraaan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan
konseling dan dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
11. Asas Alih Tangan Kasus; yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang
tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat
dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (klien) kiranya dapat mengalih-
tangankan kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing (konselor)dapat
menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain.
Demikian pula, sebaliknya guru pembimbing (konselor), dapat mengalih-
tangankan kasus kepada pihak yang lebih kompeten, baik yang berada di dalam
lembaga sekolah maupun di luar sekolah.
12. Asas Tut Wuri Handayani; yaitu asas yang menghendaki agar pelayanan
bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana
mengayomi (memberikan rasa aman), mengembangkan keteladanan, dan
memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya
kepada peserta didik (klien) untuk maju.
F. Peranan Kepala Sekolah, Guru Mata Pelajaran dan Wali Kelas dalam
Bimbingan dan Konseling
Dalam kurikulum 2004, secara tegas dikemukakan bahwa : “Sekolah berkewajiban
memberikan bimbingan dan konseling kepada siswa yang menyangkut tentang
pribadi, sosial, belajar, dan karier”. Dengan adanya kata “kewajiban”, maka setiap
sekolah mutlak harus menyelenggarakan bimbingan dan konseling.
Keberhasilan penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah, tidak lepas dari
peranan berbagai pihak di sekolah. Selain Guru Pembimbing atau Konselor sebagai
pelaksana utama, penyelenggaraan Bimbingan dan konseling di sekolah, juga perlu
melibatkan kepala sekolah , guru mata pelajaran dan wali kelas.
Kepala sekolah selaku penanggung jawab seluruh penyelenggaraan pendidikan di
sekolah memegang peranan strategis dalam mengembangkan layanan bimbingan dan
konseling di sekolah. Secara garis besarnya, peran, tugas dan tanggung jawab kepala
sekolah, sebagai berikut :
1. Mengkoordinir segenap kegiatan yang diprogramkan dan berlangsung di
sekolah, sehingga pelayanan pengajaran, latihan, dan bimbingan dan konseling
merupakan suatu kesatuan yang terpadu, harmonis, dan dinamis.
2. Menyediakan prasarana, tenaga, dan berbagai kemudahan bagi terlaksananya
pelayanan bimbingan dan konseling yang efektif dan efisien.
3. Melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan
program, penilaian dan upaya tidak lanjut pelayanan bimbingan dan konseling.
4. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling Di
sekolah kepada Dinas Pendidikan yang menjadi atasannya.
5. Menyediakan fasilitas, kesempatan, dan dukungan dalam kegiatan kepengawasan
yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah Bidang BK.
Sedangkan, peran, tugas dan tanggung jawab guru-guru mata pelajaran dalam
bimbingan dan konseling adalah :
1. Membantu memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa
2. Membantu Guru Pembimbing mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan
layanan bimbingan dan konseling, serta pengumpulan data tentang siswa-siswa
tersebut.
3. Mengalihtangankan siswa yang memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling
kepada Guru Pembimbing
4. Menerima siswa alih tangan dari Guru Pembimbing, yaitu siswa yang menuntut
Guru Pembimbing memerlukan pelayanan pengajar /latihan khusus (seperti
pengajaran/ latihan perbaikan, program pengayaan).
5. Membantu mengembangkan suasana kelas, hubungan guru-siswa dan hubungan
siswa-siswa yang menunjang pelaksanaan pelayanan pembimbingan dan
konseling.
6. Memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa yang memerlukan
layanan/kegiatan bimbingan dan konseling untuk mengikuti /menjalani
layanan/kegiatan yang dimaksudkan itu.
7. Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti
konferensi kasus.
8. Membantu pengumpulan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian
pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya tindak lanjutnya.
Sebagai pengelola kelas tertentu dalam pelayanan bimbingan dan konseling, Wali
Kelas berperan :
1. membantu Guru Pembimbing melaksanakan tugas-tugasnya, khususnya di kelas
yang menjadi tanggung jawabnya;
2. membantu Guru Mata Pelajaran melaksanakan peranannya dalam pelayanan
bimbingan dan konseling, khususnya dikelas yang menjadi tanggung jawabnya;
3. membantu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa, khususnya
dikelas yang menjadi tanggung jawabnya, untuk mengikuti/menjalani layanan
dan/atau kegiatan bimbingan dan konseling;
4. berpartisipasi aktif dalam kegiatan khusus bimbingan dan konseling, seperti
konferensi kasus; dan
5. mengalihtangankan siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling
kepada Guru Pembimbing.
Berkenaan peran guru mata pelajaran dan wali kelas dalam bimbingan dan konseling,
Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan bahwa guru-guru mata pelajaran dalam
melakukan pendekatan kepada siswa harus manusiawi-religius, bersahabat, ramah,
mendorong, konkret, jujur dan asli, memahami dan menghargai tanpa syarat.
G. Kegiatan Layanan dan Pendukung Bimbingan dan Konseling
Kegiatan layanan merupakan kegiatan dalam rangka memenuhi fungsi-fungsi
bimbingan dan konseling. Sedangkan kegiatan pendukung merupakan kegiatan untuk
menopang terhadap keberhasilan layanan yang diberikan.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional saat ini terdapat tujuh jenis layanan
dan lima kegiatan pendukung. Namun sangat mungkin ke depannya akan semakin
berkembang, baik dalam jenis layanan maupun kegiatan pendukung. Para ahli
bimbingan di Indonesia saat ini sudah mulai meluncurkan dua jenis layanan baru
yaitu layanan konsultasi dan layanan mediasi. Namun, kedua jenis layanan ini belum
dijadikan sebagai kebijakan formal dalam sistem pendidikan.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tujuh jenis layanan dan lima
kegiatan pendukung bimbingan dan konseling yang saat ini diterapkan dalam
pendidikan nasional.
1. Kegiatan Layanan Bimbingan dan Konseling
a. Layanan Orientasi; Layanan orientasi merupakan layanan yang
memungkinan peserta didik memahami lingkungan baru, terutama
lingkungan sekolah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk mempermudah
dan memperlancar berperannya peserta didik di lingkungan yang baru itu,
sekurang-kurangnya diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada setiap
awal semester. Tujuan layanan orientasi adalah agar peserta didik dapat
beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru secara tepat dan
memadai, yang berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
b. Layanan Informasi; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik
menerima dan memahami berbagai informasi (seperti : informasi belajar,
pergaulan, karier, pendidikan lanjutan). Tujuan layanan informasi adalah
membantu peserta didik agar dapat mengambil keputusan secara tepat
tentang sesuatu, dalam bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier
berdasarkan informasi yang diperolehnya yang memadai. Layanan informasi
pun berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
c. Layanan Pembelajaran; merupakan layanan yang memungkinan peserta
didik mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam
menguasai materi belajar atau penguasaan kompetensi yang cocok dengan
kecepatan dan kemampuan dirinya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan
belajar lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan
sikap dan kebiasaan belajar yang baik. Layanan pembelajaran berfungsi
untuk pengembangan.
d. Layanan Penempatan dan Penyaluran; merupakan layanan yang
memungkinan peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran di
dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan,
magang, kegiatan ko/ekstra kurikuler, dengan tujuan agar peserta didik dapat
mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya. Layanan
Penempatan dan Penyaluran berfungsi untuk pengembangan.
e. Layanan Konseling Perorangan; merupakan layanan yang memungkinan
peserta didik mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan)
untuk mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan perkembangan
dirinya. Tujuan layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik
dapat mengentaskan masalah yang dihadapinya. Layanan Konseling
Perorangan berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
f. Layanan Bimbingan Kelompok; merupakan layanan yang memungkinan
sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok
memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk
menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk
pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok,
dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas
pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan
pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau
tindakan tertentu melalui dinamika kelompok. Layanan Bimbingan
Kelompok berfungsi untuk pemahaman dan pengembangan
g. Layanan Konseling Kelompok; merupakan layanan yang memungkinan
peserta didik (masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan
untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika
kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh kesempatan
untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika
kelompok. Layanan Konseling Kelompok berfungsi untuk pengentasan dan
advokasi.
2. Kegiatan Pendukung Bimbingan dan Konseling
Untuk menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah
dikemukakan di atas, kiranya perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung
Dalam hal ini, terdapat lima jenis kegiatan pendukung bimbingan dan
konseling, yaitu :

a. Aplikasi Instrumentasi Data; merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data


dan keterangan tentang peserta didik, tentang lingkungan peserta didik dan
lingkungan lainnya, yang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
instrumen, baik tes maupun non tes, dengan tujuan untuk memahami peserta
didik dengan segala karakteristiknya dan memahami karakteristik
lingkungan.
b. Himpunan Data; merupakan kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan
keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik.
Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematik,
komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup.
c. Konferensi Kasus; merupakan kegiatan untuk membahas permasalahan
peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang
dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi
terentaskannya permasalahan klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat
terbatas dan tertutup. Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh
keterangan dan membangun komitmen dari pihak yang terkait dan memiliki
pengaruh kuat terhadap klien dalam rangka pengentasan permasalahan klien.
d. Kunjungan Rumah; merupakan kegiatan untuk memperoleh data,
keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan
peserta didik melalui kunjungan rumah klien. Kerja sama dengan orang tua
sangat diperlukan, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan dan
membangun komitmen dari pihak orang tua/keluarga untuk mengentaskan
permasalahan klien.
e. Alih Tangan Kasus; merupakan kegiatan untuk untuk memperoleh
penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dialami klien
dengan memindahkan penanganan kasus ke pihak lain yang lebih kompeten,
seperti kepada guru mata pelajaran atau konselor, dokter serta ahli lainnya,
dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh penanganan yang lebih
tepat dan tuntas atas permasalahan yang dihadapinya melalui pihak yang
lebih kompeten.
H. Prosedur Umum Bimbingan dan Konseling
Secara umum, prosedur bimbingan dan konseling dapat ditempuh melalui langkah-
langkah seperti tampak dalam bagan berikut :

Datang Sendiri/Dicari Identifikasi Kasus

Informasi yang Ada/Dicari Identifikasi Masalah

Informasi yang Ada/Dicari Diagnosis

Informasi yang Ada/Dicari Prognosis


Remedial/Referal

Evaluasi/Follow Up

1. Identifikasi kasus; merupakan upaya untuk menemukan peserta didik yang


diduga memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson dalam Abin
Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mendeteksi peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan
bimbingan dan konseling, yakni :
a. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua
peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat
ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
b. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh
keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru pembimbing
dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang
tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya
melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal
lainnya.
c. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan
ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya
dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang
hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran
lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
d. Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini bisa
diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi
peserta didik.
e. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan peserta
didik yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
2. Identifikasi Masalah; langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis,
karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi peserta didik. Dalam
konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan
dengan aspek : (1) substansial – material; (2) struktural – fungsional; (3)
behavioral; dan atau (4) personality. Untuk mengidentifikasi masalah peserta
didik, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak
masalah peserta didik, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM).
Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi
peserta didik, seputar aspek : (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3)
hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6)
pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; (8) hubungan muda-mudi;
(9) keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang.
3. Diagnosis; upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang
melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar
Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar peserta didik, bisa
dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi
ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan
atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu : (1) faktor internal; faktor yang
besumber dari dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan
kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi
psikis lainnya; dan (2) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan
sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
4. Prognosis; langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami
peserta didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif
pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan
menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil
keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi
kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja
sama menangani kasus - kasus yang dihadapi.
5. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus); jika jenis dan sifat serta sumber
permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih
berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing,
pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing
itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian
yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru
pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih
kompeten.
6. Evaluasi dan Follow Up; cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha
pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk
melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan
terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas telah
memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling
yaitu:
a. Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan
dengan masalah yang dibahas;
b. Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan
melalui layanan, dan
c. Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah
pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut
pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003)
mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang
telah diberikan, yaitu apabila:
a. Peserta didik telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang
dihadapi.
b. Peserta didik telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
c. Peserta didik telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan
diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
d. Peserta didik telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
e. Peserta didik telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
f. Peserta didik mulai menunjukkan kemampuannya dalam
mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara
sehat dan rasional.
g. Peserta didik telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha
perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar
pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.
I. Bimbingan terhadap Peserta Didik Bermasalah
Bimbingan terhadap peserta didik bermasalah tetap menjadi perhatian bimbingan dan
konseling, namun perlu diingat bahwa tidak semua masalah peserta didik harus
ditangani oleh Guru Pembimbing (konselor). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004)
mengemukakan tingkatan masalah berserta mekanisme dan petugas yang
menanganinya, sebagaimana dalam bagan berikut :

Ringan Semua Guru/Wali Kelas

Masalah peserta
didik Sedang Guru Pembimbing

Berat Alih Tangan Kasus

1. Masalah (kasus) ringan, seperti : membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang
tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras
tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali
kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru
pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.
2. Masalah (kasus) sedang, seperti : gangguan emosional, berpacaran, dengan
perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena
gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas
sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh
guru pembimbing (konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah,
ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi
kasus.
3. Masalah (kasus) berat, seperti : gangguan emosional berat, kecanduan alkohol
dan narkotika, pelaku kriminalitas, peserta didik hamil, percobaan bunuh diri,
perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal
(alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum
yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.
J. Proses Konseling
Dari beberapa jenis layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada peserta
didik, tampaknya untuk layanan konseling perorangan perlu mendapat perhatian
lebih. Karena layanan yang satu ini boleh dikatakan merupakan ciri khas dari layanan
bimbingan dan konseling.
Dalam prakteknya, memang strategi layanan bimbingan dan konseling harus
terlebih dahulu mengedepankan layanan – layanan yang bersifat pencegahan dan
pengembangan, namun tetap saja layanan yang bersifat pengentasan pun masih
diperlukan. Oleh karena itu, guru maupun konselor seyogyanya dapat menguasai
proses dan berbagai teknik konseling, sehingga bantuan yang diberikan kepada
peserta didik dalam rangka pengentasan masalahnya dapat berjalan secara efektif dan
efisien.
Secara umum, proses konseling terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) tahap awal (tahap
mendefinisikan masalah); (2) tahap inti (tahap kerja); dan (3) tahap akhir (tahap
perubahan dan tindakan).
1. Tahap Awal
Tahap ini terjadi dimulai sejak klien menemui konselor hingga berjalan sampai
konselor dan klien menemukan masalah klien. Pada tahap ini beberapa hal yang
perlu dilakukan, diantaranya :

a. Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien (rapport).


Kunci keberhasilan membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-
asas bimbingan dan konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan,
keterbukaan; dan kegiatan.
b. Memperjelas dan mendefinisikan masalah.
Jika hubungan konseling sudah terjalin dengan baik dan klien telah
melibatkan diri, maka konselor harus dapat membantu memperjelas masalah
klien.
c. Membuat penaksiran dan perjajagan
Konselor berusaha menjajagi atau menaksir kemungkinan masalah dan
merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan
semua potensi klien, dan menentukan berbagai alternatif yang sesuai bagi
antisipasi masalah.
d. Menegosiasikan kontrak
Membangun perjanjian antara konselor dengan klien, berisi :
1) Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan oleh
klien dan konselor tidak berkebaratan.
2) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor dan klien.
3) Kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan
tanggung jawab bersama antara konselor dan konseling dalam seluruh
rangkaian kegiatan konseling.
2. Tahap Inti (Tahap Kerja)
Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses konseling selanjutnya
adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja. Pada tahap ini terdapat beberapa hal
yang harus dilakukan, diantaranya :
a. Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah klien lebih dalam.
Penjelajahan masalah dimaksudkan agar klien mempunyai perspektif dan
alternatif baru terhadap masalah yang sedang dialaminya. Konselor
melakukan reassessment (penilaian kembali), bersama-sama klien meninjau
kembali permasalahan yang dihadapi klien.
b. Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara.
Hal ini bisa terjadi jika :
1) Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara
konseling, serta menampakan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan
memecahkan masalah yang dihadapinya.
2) Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang
bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang jujur, ikhlas dan benar –
benar peduli terhadap klien.
c. Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak.
Kesepakatan yang telah dibangun pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh
pihak konselor maupun klien.
3. Tahap Akhir (Tahap Tindakan)
Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
a. Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses
konseling
b. Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan
yang telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.
c. Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).
d. Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya
Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu ;
a. Menurunnya kecemasan klien
b. Perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamis.
c. Pemahaman baru dari klien tentang masalah yang dihadapinya.
d. Adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas.

K. Teknik Umum Konseling


Teknik umum konseling merupakan teknik konseling yang lazim digunakan dalam
tahapan-tahapan konseling dan merupakan teknik dasar konseling yang harus
dikuasai oleh konselor. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan disampaikan
beberapa jenis teknik umum, diantaranya :

1. Perilaku Attending; perilaku attending disebut juga perilaku menghampiri klien


yang mencakup komponen kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Perilaku
attending yang baik dapat :
a. Meningkatkan harga diri klien.
b. Menciptakan suasana yang aman
c. Mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.
Contoh perilaku attending yang baik :
a. Kepala : melakukan anggukan jika setuju
b. Ekspresi wajah : tenang, ceria, senyum
c. Posisi tubuh : agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien
agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
d. Tangan : variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah, menggunakan
tangan sebagai isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan ucapan.
e. Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga
selesai, diam (menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada
lawan bicara.
Contoh perilaku attending yang tidak baik :
a. Kepala : kaku
b. Muka : kaku, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat
klien sedang bicara, mata melotot.
c. Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien
menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling.
d. Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk
memberi kesempatan klien berfikir dan berbicara.
e. Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar.

2. Empati; empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan
klien, merasa dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien.
Empati dilakukan sejalan dengan perilaku attending, tanpa perilaku attending
mustahil terbentuk empati. Terdapat dua macam empati, yaitu :
a. Empati primer, yaitu bentuk empati yang hanya berusaha memahami
perasaan, pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan agar klien dapat terlibat
dan terbuka.

Contoh ungkapan empati primer :


” Saya dapat merasakan bagaimana perasaan Anda”.
” Saya dapat memahami pikiran Anda”.
” Saya mengerti keinginan Anda”.
b. Empati tingkat tinggi, yaitu empati apabila kepahaman konselor terhadap
perasaan, pikiran keinginan serta pengalaman klien lebih mendalam dan
menyentuh klien karena konselor ikut dengan perasaan tersebut. Keikutan
konselor tersebut membuat klien tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan
isi hati yang terdalam, berupa perasaan, pikiran, pengalaman termasuk
penderitaannya.
Contoh ungkapan empati tingkat tinggi :
”Saya dapat merasakan apa yang Anda rasakan, dan saya ikut terluka
dengan pengalaman Anda itu”.

3. Refleksi; refleksi adalah teknik untuk memantulkan kembali kepada klien


tentang perasaan, pikiran, dan pengalaman sebagai hasil pengamatan terhadap
perilaku verbal dan non verbalnya.Terdapat tiga jenis refleksi, yaitu:
a. Refleksi perasaan, yaitu keterampilan atau teknik untuk dapat memantulkan
perasaan klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non
verbal klien.
Contoh :
” Tampaknya yang Anda katakan adalah ....”
” Barangkali Anda merasa....”
” Hal itu rupanya seperti ...(kiasan)”
” Adakah yang Anda maksudkan...”
b. Refleksi pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan ide, pikiran, dan pendapat
klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.
Contoh :
” Tampaknya yang Anda katakan...”
” Barangkali yang akan Anda utarakan adalah...”
” Adakah yang Anda maksudkan...”
c. Refleksi pengalaman, yaitu teknik untuk memantulkan pengalaman-
pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non
verbal klien.

Contoh :
” Tampaknya yang Anda katakan suatu...”
” Barangkali yang akan Anda utarakan adalah...”
” Adakah yang Anda maksudkan peristiwa...”

4. Eksplorasi; eksplorasi adalah teknik untuk menggali perasaan, pikiran, dan


pengalaman klien. Hal ini penting dilakukan karena banyak klien menyimpan
rahasia batin, menutup diri, atau tidak mampu mengemukakan pendapatnya.
Dengan teknik ini memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut,
tertekan dan terancam.
Seperti halnya pada teknik refleksi, terdapat tiga jenis dalam teknik eksplorasi,
yaitu :
a. Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat menggali perasaan klien yang
tersimpan.
Contoh :
”Bisakah Anda menjelaskan apa perasaan bingung yang dimaksudkan ”
”Saya kira rasa sedih Anda sangat mendalam. Dapat Anda kemukakan
lebih lanjut ?”
b. Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali ide, pikiran, dan pendapat
klien.
Contoh :
”Saya yakin Anda dapat menjelaskan lebih lanjut ide Anda tentang sekolah
sambil bekerja”
”Saya kira pendapat Anda mengenai hal itu baik..Dapatkah Anda
menguraikannya lebih lanjut ?
c. Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan atau teknik untuk menggali
pengalaman-pengalaman klien.
Contoh :
”Saya terkesan dengan pengalaman yang Anda lalui Namun saya ingin
memahami lebih jauh tentang pengalaman tersebut dan pengaruhnya
terhadap pendidikan Anda”

5. Menangkap Pesan (Paraphrasing); menangkap pesan (paraphrasing) adalah


teknik untuk menyatakan kembali esensi atau initi ungkapan klien dengan teliti
mendengarkan pesan utama klien, mengungkapkan kalimat yang mudah dan
sederhana, biasanya ditandai dengan kalimat awal : adakah atau nampaknya, dan
mengamati respons klien terhadap konselor.
Tujuan paraphrasing adalah : (1) untuk mengatakan kembali kepada klien bahwa
konselor bersama dia dan berusaha untuk memahami apa yang dikatakan klien;
(2) mengendapkan apa yang dikemukakan klien dalam bentuk ringkasan ; (3)
memberi arah wawancara konseling; dan (4) pengecekan kembali persepsi
konselor tentang apa yang dikemukakan klien.
Contoh dialog :
Klien :”Itu suatu pekerjaan yang baik, akan tetapi saya tidak
mengambilnya. Saya tidak tahu mengapa demikian ? ”
Konselor : ”Tampaknya Anda masih ragu.”

6. Pertanyaan Terbuka (Opened Question); pertanyaan terbuka yaitu teknik


untuk memancing siswa agar mau berbicara mengungkapkan perasaan,
pengalaman dan pemikirannya dapat digunakan teknik pertanyaan terbuka
(opened question). Pertanyaan yang diajukan sebaiknya tidak menggunakan kata
tanya mengapa atau apa sebabnya. Pertanyaan semacam ini akan menyulitkan
klien, jika dia tidak tahu alasan atau sebab-sebabnya. Oleh karenanya, lebih baik
gunakan kata tanya apakah, bagaimana, adakah, dapatkah.
Contoh :
” Apakah Anda merasa ada sesuatu yang ingin kita bicarakan ? ”
” Bagaimana perasaan Anda saat ini ?”
” Dapatkah Anda mengemukakan hal itu lebih lanjut ?”

7. Pertanyaan Tertutup (Closed Question); dalam konseling tidak selamanya


harus menggunakan pertanyaan terbuka, dalam hal-hal tertentu dapat pula
digunakan pertanyaan tertutup, yang harus dijawab dengan kata Ya atau Tidak
atau dengan kata-kata singkat. Tujuan pertanyaan tertutup untuk : (1)
mengumpulkan informasi; (2) menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan (3)
menghentikan pembicaraan klien yang melantur atau menyimpang jauh.
Contoh dialog :
Klien :”Saya berusaha meningkatkan prestasi dengan mengikuti
belajar kelompok yang selama ini belum pernah saya lakukan”.
Konselor : ”Biasanya Anda menempati peringkat berapa ? ”.
Klien : ”Empat ”
Konselor : ”Sekarang berapa ? ”
Klien : ”Sebelas ”
8. Dorongan minimal (Minimal Encouragement); dorongan minimal adalah
teknik untuk memberikan suatu dorongan langsung yang singkat terhadap apa
yang telah dikemukakan klien.Misalnya dengan menggunakan ungkapan : oh...,
ya...., lalu..., terus....dan...
Tujuan dorongan minimal agar klien terus berbicara dan dapat mengarah agar
pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan ini diberikan pada saat klien akan
mengurangi atau menghentikan pembicaraannya dan pada saat klien kurang
memusatkan pikirannya pada pembicaraan atau pada saat konselor ragu atas
pembicaraan klien.
Contoh dialog :
\ Klien : ” Saya putus asa... dan saya nyaris... ”
(klien menghentikan pembicaraan)
Konselor : ” ya...”
Klien : ” nekad bunuh diri”
Konselor : ” lalu...”

9. Interpretasi; yaitu teknik untuk mengulas pemikiran, perasaan dan pengalaman


klien dengan merujuk pada teori-teori, bukan pandangan subyektif konselor,
dengan tujuan untuk memberikan rujukan pandangan agar klien mengerti dan
berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan baru tersebut.
Contoh dialog :
Klien :”Saya pikir dengan berhenti sekolah dan memusatkan
perhatian membantu orang tua merupakan bakti saya pada
keluarga, karena adik-adik saya banyak dan amat
membutuhkan biaya.”
Konselor :”Pendidikan tingkat SMA pada masa sekarang adalah mutlak
bagi semua warga negara. Terutama hidup di kota besar
seperti Anda. Karena tantangan masa depan makin banyak,
maka dibutuhkan manusia Indonesia yang berkualitas.
Membantu orang tua memang harus, namun mungkin
disayangkan jika orang seperti Anda yang tergolong akan
meninggalkan SMA”.

10. Mengarahkan (Directing); yaitu teknik untuk mengajak dan


mengarahkan klien melakukan sesuatu. Misalnya menyuruh klien untuk bermain
peran dengan konselor atau menghayalkan sesuatu..
Klien :”Ayah saya sering marah-marah tanpa sebab. saya tak dapat
lagi menahan diri akhirnya terjadi pertengkaran sengit.”
Konselor :”Bisakah Anda mencobakan di depan saya, bagaimana sikap
dan kata-kata ayah Anda jika memarahi Anda.”
11. Menyimpulkan Sementara (Summarizing); yaitu teknik untuk
menyimpulkan sementara pembicaraan sehingga arah pembicaraan semakin jelas.
Tujuan menyimpulkan sementara adalah untuk : (1) memberikan kesempatan
kepada klien untuk mengambil kilas balik dari hal-hal yang telah dibicarakan; (2)
menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap; (3) meningkatkan
kualitas diskusi; (4) mempertajam fokus pada wawancara konseling.
Contoh :
” Setelah kita berdiskusi beberapa waktu alangkah baiknya jika simpulkan dulu
agar semakin jelas hasil pembicaraan kita. Dari materi materi pembicaraan
yang kita diskusikan, kita sudah sampai pada dua hal: pertama, tekad Anda
untuk bekerja sambil kuliah makin jelas; kedua, namun masih ada hambatan
yang akan hadapi, yaitu : sikap orang tua Anda yang menginginkan Anda
segera menyelesaikan studi, dan waktu bekerja yang penuh sebagaimana
tuntutan dari perusahaan yang akan Anda masuki.”

12. Memimpin (leading); yaitu teknik untuk mengarahkan pembicaraan


dalam wawancara konseling sehingga tujuan konseling .
Contoh dialog :
Klien :”Saya mungkin berfikir juga tentang masalah hubungan
dengan pacar. Tapi bagaimana ya?”
Konselor :”Sampai ini kepedulian Anda tertuju kuliah kuliah sambil
bekerja. Mungkin Anda tinggal merinci kepedulian itu.
Mengenai pacaran apakah termasuk dalam kerangka
kepedulian Anda juga ?”

13. Fokus; yaitu teknik untuk membantu klien memusatkan perhatian pada
pokok pembicaraan. Pada umumnya dalam wawancara konseling, klien akan
mengungkapkan sejumlah permasalahan yang sedang dihadapinya. Oleh karena
itu, konselor seyogyanya dapat membantu klien agar dia dapat menentukan apa
yang fokus masalah. Misalnya dengan mengatakan :
”Apakah tidak sebaiknya jika pokok pembicaraan kita berkisar dulu soal
hubungan Anda dengan orang tua yang kurang harmonis ”.
Ada beberapa yang dapat dilakukan, diantaranya :
a. Fokus pada diri klien.
Contoh :
”Tanti, Anda tidak yakin apa yang akan Anda lakukan ”.
”Tampaknya Anda berjuang sendirian”
b. Fokus pada orang lain.
Contoh :
” Roni, telah membuat kamu menderita, Terangkanlah tentang dia dan apa
yang telah dilakukannya ?”
c. Fokus pada topik.
Contoh :
” Pengguguran kandungan ? Kamu memikirkan aborsi ? Pikirkanlah
masak-masak dengan berbagai pertimbangan”.
d. Fokus mengenai budaya.
Contoh:
” Mungkin budaya menyerah dan mengalah pada laki-laki harus diatas
sendiri oleh kaum wanita. Wanita tak boleh menjadi obyek laki-laki.”

14. Konfrontasi ; yaitu teknik yang menantang klien untuk melihat adanya
inkonsistensi antara perkataan dengan perbuatan atau bahasa badan, ide awal
dengan ide berikutnya, senyum dengan kepedihan, dan sebagainya. Tujuannya
adalah : (1) mendorong klien mengadakan penelitian diri secara jujur; (2)
meningkatkan potensi klien; (3) membawa klien kepada kesadaran adanya
diskrepansi; konflik, atau kontradiksi dalam dirinya.
Penggunaan teknik ini hendaknya dilakukan secara hati-hati, yaitu dengan : (1)
memberi komentar khusus terhadap klien yang tidak konsisten dengan cara dan
waktu yang tepat;(2) tidak menilai apalagi menyalahkan; (3) dilakukan dengan
perilaku attending dan empati.
Contoh dialog :
Klien : ” Saya baik-baik saja”.
(suara rendah, wajah murung, posisi tubuh gelisah).”
Konselor :”Anda mengatakan baik-baik saja, tapi kelihatannya ada yang
tidak beres”
”Saya melihat ada perbedaan antara ucapan dengan kenyataan
diri ”.

15. Menjernihkan (Clarifying); yaitu teknik untuk menjernihkan ucapan-


ucapan klien yang samar-samar, kurang jelas dan agak meragukan. Tujuannya
adalah : (1) mengundang klien untuk menyatakan pesannya dengan jelas,
ungkapan kata-kata yang tegas, dan dengan alasan-alasan yang logis, (2) agar
klien menjelaskan, mengulang dan mengilustrasikan perasaannya.
Contoh dialog :
Klien :”Perubahan yang terjadi di keluarga saya membuat saya
bingung. Saya tidak mengerti siapa yang menjadi pemimpin di
rumah itu.”
Konselor :”Bisakah Anda menjelaskan persoalan pokoknya ? Misalnya
peran ayah, ibu, atau saudara-saudara Anda.”

16. Memudahkan (facilitating); yaitu teknik untuk membuka komunikasi


agar klien dengan mudah berbicara dengan konselor dan menyatakan perasaan,
pikiran, dan pengalamannya secara bebas
Contoh :
”Saya yakin Anda akan berbicara apa adanya, karena saya akan mendengarkan
dengan sebaik-baiknya.”
17. Diam; teknik diam dilakukan dengan cara attending, paling lama 5 – 10
detik, komunikasi yang terjadi dalam bentuk perilaku non verbal. Tujuannya
adalah (1) menanti klien sedang berfikir; (2) sevagai protes jika klien ngomong
berbelit-belit; (3) menunjang perilaku attending dan empati sehingga klien babas
bicara.
Contoh dialog :
Klien :”Saya tidak senang dengan perilaku guru itu”
Konselor :”..............” (diam)
Klien :” Saya..harus bagaimana.., Saya.. tidak tahu..
Konselor :”..............” (diam)

18. Mengambil Inisiatif; teknik ini dilakukan manakala klien kurang


bersemangat untuk berbicara, sering diam, dan kurang parisipatif. Konselor
mengajak klien untuk berinisiatif dalam menuntaskan diskusi. Teknik ini
bertujuan : (1) mengambil inisiatif jika klien kurang semangat; (2) jika klien
lambat berfikir untuk mengambil keputusan; (3) jika klien kehilangan arah
pembicaraan.
Contoh:
”Baiklah, saya pikir Anda mempunyai satu keputusan namun masih belum
keluar. Coba Anda renungkan kembali”.

19. Memberi Nasehat; pemberian nasehat sebaiknya dilakukan jika klien


memintanya. Walaupun demikian, konselor tetap harus mempertimbangkannya
apakah pantas untuk memberi nasehat atau tidak. Sebab dalam memberi nasehat
tetap dijaga agar tujuan konseling yakni kemandirian klien harus tetap tercapai.
Contoh respons konselor terhadap permintaan klien :
”Apakah hal seperti ini pantas saya untuk memberi nasehat Anda ? Sebab, dalam
hal seperti ini saya yakin Anda lebih mengetahuinya dari pada saya.”

20. Pemberian informasi; sama halnya dengan nasehat, jika konselor tidak
memiliki informasi sebaiknya dengan jujur katakan bahwa dia mengetahui hal
itu. Kalau pun konselor mengetahuinya, sebaiknya tetap diupayakan agar klien
mengusahakannya.
Contoh :
”Mengenai berapa biaya masuk ke Universitas Pendidikan Indonesia, saya
sarankan Anda bisa langsung bertanya ke pihak UPI atau Anda berkunjung ke
situs www.upi.com di internet”.

21. Merencanakan; teknik ini digunakan menjelang akhir sesi konseling


untuk membantu agar klien dapat membuat rencana tindakan (action), perbuatan
yang produktif untuk kemajuan klien.
Contoh :
”Nah, apakah tidak lebih baik jika Anda mulai menyusun rencana yang baik
berpedoman hasil pembicaraan kita sejak tadi ”

22. Menyimpulkan; teknik ini digunakan untuk menyimpulkan hasil


pembicaraan yang menyangkut : (1) bagaimana keadaan perasaan klien saat ini,
terutama mengenai kecemasan; (2) memantapkan rencana klien; (3) pemahaman
baru klien; dan (4) pokok-pokok yang akan dibicarakan selanjutnya pada sesi
berikutnya, jika dipandang masih perlu dilakukan konseling lanjutan.
L. Teknik-Teknik Khusus
Dalam konseling, di samping menggunakan teknik-teknik umum, dalam hal-hal
tertentu dapat menggunakan teknik-teknik khusus. Teknik-teknik khusus ini
dikembangkan dari berbagai pendekatan konseling, seperti pendekatan Behaviorisme,
Rational Emotive Theraphy, Gestalt dan sebagainya
Di bawah disampaikan beberapa teknik – teknik khusus konseling, yaitu :

1. Latihan Asertif; teknik ini digunakan untuk melatih klien yang mengalami
kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar.
Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak
mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak,
mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah
dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok
juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.

2. Desensitisasi Sistematis; desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling


behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari
ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi
teknik ini adalah menghilangkan perilaku yang diperkuat secara negatif dan
menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.
Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat
dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakekatnya merupakan
teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara
negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang
berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.

3. Pengkondisian Aversi; teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan


kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien
agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan
stimulus tersebut. Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut
diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki
kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku
yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.

4. Pembentukan Perilaku Model; teknik ini dapat digunakan untuk membentuk


Perilaku baru pada klien, dan memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Dalam
hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang perilaku model, dapat
menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati
dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil
dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian
sebagai ganjaran sosial.

5. Permainan Dialog; teknik ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk
mendialogan dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan
top dog dan kecenderungan under dog, misalnya :
a. Kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak.
b. Kecenderungan bertanggung jawab lawan kecenderungan masa bodoh.
c. Kecenderungan “anak baik” lawan kecenderungan “anak bodoh”.
d. Kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung.
e. Kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah.
Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt pada akhirnya
klien akan mengarahkan dirinya pada suatu posisi di mana ia berani mengambil
resiko. Penerapan permainan dialog ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan
teknik “kursi kosong”.
6. Latihan Saya Bertanggung Jawab; merupakan teknik yang dimaksudkan untuk
membantu klien agar mengakui dan menerima perasaan-perasaannya dari pada
memproyeksikan perasaannya itu kepada orang lain.
Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk membuat suatu pernyataan dan
kemudian klien menambahkan dalam pernyataan itu dengan kalimat : “...dan
saya bertanggung jawab atas hal itu”.
Contoh :
“Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan itu”
“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan sekarang, dan saya bertanggung
jawab atas ketidaktahuan itu”.
“Saya malas, dan saya bertanggung jawab atas kemalasan itu”
Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt akan membantu
meningkatkan kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang mungkin selama ini
diingkarinya.

7. Bermain Proyeksi;
Proyeksi :

 Memantulkan kepada orang lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri tidak


mau melihat atau menerimanya
 Mengingkari perasaan-perasaan sendiri dengan cara memantulkannya kepada
orang lain.
Sering terjadi, perasaan-perasaan yang dipantulkan kepada orang lain merupakan
atribut yang dimilikinya. Dalam teknik bermain proyeksi konselor meminta
kepada klien untuk mencobakan atau melakukan hal-hal yang diproyeksikan
kepada orang lain.

8. Teknik Pembalikan; gejala-gejala dan perilaku tertentu sering kali


mempresentasikan pembalikan dari dorongan-dorongan yang mendasarinya.
Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk memainkan peran yang
berkebalikan dengan perasaan-perasaan yang dikeluhkannya.
Misalnya : konselor memberi kesempatan kepada klien untuk memainkan peran
“ekshibisionis” bagi klien pemalu yang berlebihan.

9. Bertahan dengan Perasaan; teknik ini dapat digunakan untuk klien yang
menunjukkan perasaan atau suasana hati yang tidak menyenangkan atau ia sangat
ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien untuk tetap bertahan dengan
perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan
menghindari perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini
konselor tetap mendorong klien untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan
perasaan yang dialaminya sekarang dan mendorong klien untuk menyelam lebih
dalam ke dalam tingkah laku dan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan
yang lebih baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-
perasaan yang ingin dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan
pengalaman untuk bertahan dalam kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya
itu.

10. Home work assigments; teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-
tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem
nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Dengan tugas rumah
yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide
dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-
bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang
keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan.
Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien
dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan
untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan
pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien
dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.

11. Adaptive; teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan


membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan
perilaku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat
pendisiplinan diri klien.

12. Bermain peran; teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan


yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang
dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan
dirinya sendiri melalui peran tertentu.
13. Imitasi; teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model
perilaku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya
sendiri yang negatif.

Catatan : beberapa contoh phrase dalam wawancara konseling di atas diambil dari Sofyan
S. Willis (2004) dan Sugiharto (2005)
DAFTAR PUSTAKA

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Akhmad Sudrajat. 1986. Hubungan Pemenuhan Kebutuhan Harga Diri Siswa oleh Orang Tua
dengan Prilaku Sosial Siswa di Sekolah (Skripsi). Bandung : PPB-FIP IKIP Bandung.
Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik
(Klinis) : Jakarta : Kanisius
Chaplin, J.P. (terj. Kartini Kartono).2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : P.T. Raja Grafindo
Persada.
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan
Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
--------- 2003. Pedoman Penyelenggaraaan Program Percepatan Belajar SD, SMP dan SMA.
Jakarta : Dirjen Dikdasmen.
---------,1990. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah. Jakarta :
Depsiknas
Djumhar I dan Moh. Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance &
Counseling). Bandung : CV Ilmu.
Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York : McMillan
Publishing.
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill Book
Company
Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB - IKIP Bandung.
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T.
Remaja Rosdakarya.
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas.
----------, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka
Cipta.
Shertzer, B. & Stone, S.C. 1976. Fundamental of Gudance. Boston : HMC
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Sugiharto.(2005). Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG
Sumadi Suryabrata. 1984. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.
Sunaryo Kartadinata.2003. Inventori Tugas Perkembangan. Bandung : Lab. PPB-UPI Bandung
Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung : PT Rosda
Karya Remaja.
W.S. Winkel 1982. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah Menengah. Jakarta : Gramedia.

You might also like