Professional Documents
Culture Documents
Miller (I. Djumhur dan Moh. Surya, 1975) mengartikan bimbingan sebagai
proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri yang
dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum di sekolah,
keluarga dan masyarakat.
Evaluasi/Follow Up
Masalah peserta
didik Sedang Guru Pembimbing
1. Masalah (kasus) ringan, seperti : membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang
tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras
tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali
kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru
pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.
2. Masalah (kasus) sedang, seperti : gangguan emosional, berpacaran, dengan
perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena
gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas
sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh
guru pembimbing (konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah,
ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi
kasus.
3. Masalah (kasus) berat, seperti : gangguan emosional berat, kecanduan alkohol
dan narkotika, pelaku kriminalitas, peserta didik hamil, percobaan bunuh diri,
perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal
(alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum
yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.
J. Proses Konseling
Dari beberapa jenis layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada peserta
didik, tampaknya untuk layanan konseling perorangan perlu mendapat perhatian
lebih. Karena layanan yang satu ini boleh dikatakan merupakan ciri khas dari layanan
bimbingan dan konseling.
Dalam prakteknya, memang strategi layanan bimbingan dan konseling harus
terlebih dahulu mengedepankan layanan – layanan yang bersifat pencegahan dan
pengembangan, namun tetap saja layanan yang bersifat pengentasan pun masih
diperlukan. Oleh karena itu, guru maupun konselor seyogyanya dapat menguasai
proses dan berbagai teknik konseling, sehingga bantuan yang diberikan kepada
peserta didik dalam rangka pengentasan masalahnya dapat berjalan secara efektif dan
efisien.
Secara umum, proses konseling terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) tahap awal (tahap
mendefinisikan masalah); (2) tahap inti (tahap kerja); dan (3) tahap akhir (tahap
perubahan dan tindakan).
1. Tahap Awal
Tahap ini terjadi dimulai sejak klien menemui konselor hingga berjalan sampai
konselor dan klien menemukan masalah klien. Pada tahap ini beberapa hal yang
perlu dilakukan, diantaranya :
2. Empati; empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan
klien, merasa dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien.
Empati dilakukan sejalan dengan perilaku attending, tanpa perilaku attending
mustahil terbentuk empati. Terdapat dua macam empati, yaitu :
a. Empati primer, yaitu bentuk empati yang hanya berusaha memahami
perasaan, pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan agar klien dapat terlibat
dan terbuka.
Contoh :
” Tampaknya yang Anda katakan suatu...”
” Barangkali yang akan Anda utarakan adalah...”
” Adakah yang Anda maksudkan peristiwa...”
13. Fokus; yaitu teknik untuk membantu klien memusatkan perhatian pada
pokok pembicaraan. Pada umumnya dalam wawancara konseling, klien akan
mengungkapkan sejumlah permasalahan yang sedang dihadapinya. Oleh karena
itu, konselor seyogyanya dapat membantu klien agar dia dapat menentukan apa
yang fokus masalah. Misalnya dengan mengatakan :
”Apakah tidak sebaiknya jika pokok pembicaraan kita berkisar dulu soal
hubungan Anda dengan orang tua yang kurang harmonis ”.
Ada beberapa yang dapat dilakukan, diantaranya :
a. Fokus pada diri klien.
Contoh :
”Tanti, Anda tidak yakin apa yang akan Anda lakukan ”.
”Tampaknya Anda berjuang sendirian”
b. Fokus pada orang lain.
Contoh :
” Roni, telah membuat kamu menderita, Terangkanlah tentang dia dan apa
yang telah dilakukannya ?”
c. Fokus pada topik.
Contoh :
” Pengguguran kandungan ? Kamu memikirkan aborsi ? Pikirkanlah
masak-masak dengan berbagai pertimbangan”.
d. Fokus mengenai budaya.
Contoh:
” Mungkin budaya menyerah dan mengalah pada laki-laki harus diatas
sendiri oleh kaum wanita. Wanita tak boleh menjadi obyek laki-laki.”
14. Konfrontasi ; yaitu teknik yang menantang klien untuk melihat adanya
inkonsistensi antara perkataan dengan perbuatan atau bahasa badan, ide awal
dengan ide berikutnya, senyum dengan kepedihan, dan sebagainya. Tujuannya
adalah : (1) mendorong klien mengadakan penelitian diri secara jujur; (2)
meningkatkan potensi klien; (3) membawa klien kepada kesadaran adanya
diskrepansi; konflik, atau kontradiksi dalam dirinya.
Penggunaan teknik ini hendaknya dilakukan secara hati-hati, yaitu dengan : (1)
memberi komentar khusus terhadap klien yang tidak konsisten dengan cara dan
waktu yang tepat;(2) tidak menilai apalagi menyalahkan; (3) dilakukan dengan
perilaku attending dan empati.
Contoh dialog :
Klien : ” Saya baik-baik saja”.
(suara rendah, wajah murung, posisi tubuh gelisah).”
Konselor :”Anda mengatakan baik-baik saja, tapi kelihatannya ada yang
tidak beres”
”Saya melihat ada perbedaan antara ucapan dengan kenyataan
diri ”.
20. Pemberian informasi; sama halnya dengan nasehat, jika konselor tidak
memiliki informasi sebaiknya dengan jujur katakan bahwa dia mengetahui hal
itu. Kalau pun konselor mengetahuinya, sebaiknya tetap diupayakan agar klien
mengusahakannya.
Contoh :
”Mengenai berapa biaya masuk ke Universitas Pendidikan Indonesia, saya
sarankan Anda bisa langsung bertanya ke pihak UPI atau Anda berkunjung ke
situs www.upi.com di internet”.
1. Latihan Asertif; teknik ini digunakan untuk melatih klien yang mengalami
kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar.
Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak
mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak,
mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah
dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok
juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
5. Permainan Dialog; teknik ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk
mendialogan dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan
top dog dan kecenderungan under dog, misalnya :
a. Kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak.
b. Kecenderungan bertanggung jawab lawan kecenderungan masa bodoh.
c. Kecenderungan “anak baik” lawan kecenderungan “anak bodoh”.
d. Kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung.
e. Kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah.
Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt pada akhirnya
klien akan mengarahkan dirinya pada suatu posisi di mana ia berani mengambil
resiko. Penerapan permainan dialog ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan
teknik “kursi kosong”.
6. Latihan Saya Bertanggung Jawab; merupakan teknik yang dimaksudkan untuk
membantu klien agar mengakui dan menerima perasaan-perasaannya dari pada
memproyeksikan perasaannya itu kepada orang lain.
Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk membuat suatu pernyataan dan
kemudian klien menambahkan dalam pernyataan itu dengan kalimat : “...dan
saya bertanggung jawab atas hal itu”.
Contoh :
“Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan itu”
“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan sekarang, dan saya bertanggung
jawab atas ketidaktahuan itu”.
“Saya malas, dan saya bertanggung jawab atas kemalasan itu”
Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt akan membantu
meningkatkan kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang mungkin selama ini
diingkarinya.
7. Bermain Proyeksi;
Proyeksi :
9. Bertahan dengan Perasaan; teknik ini dapat digunakan untuk klien yang
menunjukkan perasaan atau suasana hati yang tidak menyenangkan atau ia sangat
ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien untuk tetap bertahan dengan
perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan
menghindari perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini
konselor tetap mendorong klien untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan
perasaan yang dialaminya sekarang dan mendorong klien untuk menyelam lebih
dalam ke dalam tingkah laku dan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan
yang lebih baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-
perasaan yang ingin dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan
pengalaman untuk bertahan dalam kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya
itu.
10. Home work assigments; teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-
tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem
nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Dengan tugas rumah
yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide
dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-
bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang
keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan.
Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien
dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan
untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan
pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien
dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
Catatan : beberapa contoh phrase dalam wawancara konseling di atas diambil dari Sofyan
S. Willis (2004) dan Sugiharto (2005)
DAFTAR PUSTAKA
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Akhmad Sudrajat. 1986. Hubungan Pemenuhan Kebutuhan Harga Diri Siswa oleh Orang Tua
dengan Prilaku Sosial Siswa di Sekolah (Skripsi). Bandung : PPB-FIP IKIP Bandung.
Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik
(Klinis) : Jakarta : Kanisius
Chaplin, J.P. (terj. Kartini Kartono).2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : P.T. Raja Grafindo
Persada.
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan
Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
--------- 2003. Pedoman Penyelenggaraaan Program Percepatan Belajar SD, SMP dan SMA.
Jakarta : Dirjen Dikdasmen.
---------,1990. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah. Jakarta :
Depsiknas
Djumhar I dan Moh. Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance &
Counseling). Bandung : CV Ilmu.
Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York : McMillan
Publishing.
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill Book
Company
Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB - IKIP Bandung.
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T.
Remaja Rosdakarya.
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas.
----------, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka
Cipta.
Shertzer, B. & Stone, S.C. 1976. Fundamental of Gudance. Boston : HMC
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Sugiharto.(2005). Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG
Sumadi Suryabrata. 1984. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.
Sunaryo Kartadinata.2003. Inventori Tugas Perkembangan. Bandung : Lab. PPB-UPI Bandung
Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung : PT Rosda
Karya Remaja.
W.S. Winkel 1982. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah Menengah. Jakarta : Gramedia.