Professional Documents
Culture Documents
1. Pendahuluan
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Ketika
Copernicus (1473—1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan
menemukan bahwa "bumi yang berputar mengelilingi matahari" dan bukan sebaliknya
seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan
moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik
ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat
keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang
terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari
interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran
metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo
oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar
mengelilingi matahari (Sumantri, 2001:233).
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapai ekses ilmu dan teknologi
yang bersifat merusak para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Ilmuwan
golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai,
baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah
Pertanyaan yang muncul kemudian dalam pembahasan ini adalah masalah moral
apakah yang terjadi dalam ilmu bahasa dalam penggunaannya? Dilihat dari segi
ontologis dapat dikatakan bahwa hakikat bahasa adalah perpaduan antara bunyi dan
makna sehingga menjadi tanda sebagai alat untuk komunikasi manusia (Sibarani,
1992:3). Komunikasi di sini tentunya dimaksudkan sebagai komunikasi dengan nilai-
nilai yang baik untuk tujuan interaksi yang baik pula. Namun, ketika secara aksiologis
kemudian pengetahuan bahasa dipakai untuk tujuan-tujuan subjektif individu atau
kelompok maka masalah moral dari kegunaan atau fungsi bahasa muncul.
Dalam sejarahnya kajian awal mengenai bahasa bersangkut paut dengan agama
(Hindu di India) dalam kaitannya dengan doa-doa. Orang India menganggap doa harus
diucapkan secara tepat antara lain dari segi bunyi, lafal, dan sintaksis karena dianggap
dewa akan marah jika pelafalan doa tidak tepat. Pada waktu itu belum ada tulisan karena
tulisan baru diperkenalkan pada abad IV sebelum masehi. Pengetahuan sebelumnya
masih bersifat lisan yang dalam perkembangannya kemudian dikodifikasi setelah
mengenal tulisan. Dalam kehidupan orang Yunani kuno demikian pula, bahasa
digunakan secara cermat dalam kaitannya dengan agama. Dalam perkembangan
kemudian, kajian bahasa di Yunani lebih bersifat sekuler (tidak berkaitan dengan agama)
dan dipelopori oleh Plato. Sementara itu dalam perkembangan lebih lanjut, ilmu bahasa
digunakan untuk tujuan tertentu. Orang Belanda datang ke Indonesia membawa ilmu
bahasa bukan karena ingin mempelajari atau membawa ilmu bahasa, melainkan untuk
misi dagang. Kebetulan mereka disertai pendeta-pendeta Kristen Protestan yang untuk
misinya mereka akhirnya mempelajari bahasa-bahasa daerah dan menyusun tatabahasa
dan kamus untuk tujuan misinya tersebut. Kini ketika ilmu bahasa sudah berkembang
sedemikian pesat, ilmu bahasa digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih kompleks
sehingga melebihi fungsi hakikinya sebagai alat untuk berkomunikasi. Dalam suatu
masyarakat yang mengalami perkembangan setapak demi setapak di seluruh bidang
3. Moralitas Bahasa
Secara umum pandangan yang ada mengenai moralitas adalah penilaian bahwa
sesuatu itu baik atau buruk. Filosof Yunani Aristoteles (Kurtiness dan Gerwitz, 1993:14)
menyatakan bahwa moralitas adalah hidup yang tertuang dalam perilaku yang benar,
yaitu perilaku yang benar dalam hubungannya dengan orang lain maupun dengan dirinya
sendiri. Immanuel Kant dalam metafisika kesusilaan (Tjahjadi,1991:47) mengartikan
moralitas (sittlichkeit) sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau
hukum batiniah kita, yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita. Apapun
batasan mengenai moralitas, berkaitan dengan aksiologi keilmuan sepantasnyalah kita
berpedoman pada para ilmuwan golongan kedua yang berpendapat bahwa ilmu secara
moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau
mengubah hakikat kemanusiaan.
Fenomena semacam itu akan terus terjadi sepanjang para penguasa dan kaum
cerdik pandai tidak ingin terbuka, ditambah faktor bahasa dengan kekuatan daya
pengaruhnya yang memang memungkinkan hal seperti itu. Dalam relasi antara bahasa
dan kekuasaan itu bahasa tidak lagi dapat dilihat sekadar sebagai alat komunikasi yang
netral dan bebas nilai karena bahasa sudah mengandung unsur kekuasaan. Dari situ
bahasa dapat dipertanyakannya nilai moralitasnya karena di balik bahasa tersebut
terdapat makna yang mengindikasikan martabat dan harkat manusia diturunkan. Dengan
demikian, relasi antara bahasa dan kekuasaan tersebut lebih banyak bertentangan
landasan ilmu secara moral. Parahnya, relasi antara bahasa dan kekuasaan tersebut,
seperti dikatakan Foucault (M. Fakih dalam pengantar Artha, 2002:xvi), terjadi tidak
hanya dalam bidang politik dan ekonomi, tetapi pada hampir semua aspek kehidupan dan
hal itu dianggap Foucault mengingkari kenyataan.
kebenaran (objektif) yang ada di pihak lain. Dalam hal ini komunikator dengan bebas
menafsirkan bahasa atau fakta yang ada dan dengan kecerdasan inteletualnya
mengoperasionalkan bahasa untuk membenarkan dirinya. Bahasa atau kenyataan yang
dapat dikaburkan atau bahkan dimanipulasikan kebenarannya biasanya berupa bahasa
yang cenderung ambigu/multitafsir dan kenyataan yang samar-samar.
Dari kasus-kasus di atas moralitas bahasa dapat dipertanyakan. Jika memang apa
yang disampaikan berakibat menurunkan martabat dan harkat kemanusiaan, bahasa yang
dioperasionalkan bertentangan dengan nilai moral yang baik.
Munculnya fungsi bahasa sebagai alat perjuangan individu atau kelompok dan
juga sebagai media pembebasan disebabkan adanya kekuasaan dan hegemoni dalam
tatanan kehidupan manusia. Adanya kesadaran akan ketertindasan, bukan hanya dalam
hal ekonomi melainkan dalam berbagai aspek kehidupan, menimbulkan dorongan bagi
kaum yang merasa tertindas untuk melakukan perjuangan. Seperti halnya para penguasa
yang mengoperasionalkan dominasi kekuasaan mereka dengan bahasa, kaum tertindas
pun melakukan perjuangan kepentingan mereka dengan bahasa.
Bagi kaum tertindas bahasa digunakan sebagai media pembebasan seperti yang
terjadi ketika ada sekelompok penyandang cacat di Yogyakarta menentang penggunaan
kata disable yang artinya 'tidak mampu' bagi para tunanetra, tunarungu, dan tuna yang
lainnya dan menggantinya dengan istilah diffable yang merupakan singkatan dari bahasa
Inggris differently able people. Kata diffable selanjutnya mempunyai pengertian yang
memberdayakan dibandingkan dengan disable karena dalam kata diffable terkandung
makna bahwa orang yang tidak dapat melihat atau tidak dapat mendengar tidak serta
berarti tidak mampu. Mereka yang tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri masih
dapat melihat dengan mata hatinya, dan mereka yang tidak mampu mendengar masih
memiliki kemampuan lainnya. Dalam konteks bahasa sebagai media pembebasan bagi
para penyandang cacat tersebut terkandung nilai yang baik karena bertujuan
meningkatkan martabat kemanusiaan para penyandang cacat. Dengan demikian,
pengetahuan terhadap bahasa yang dipergunakan untuk memperjuangkan kelompok
penyandang cacat tersebut sesuai dengan landasan ilmu moral.
7. Simpulan
Bahasa yang pada awalnya sekadar alat komunikasi dari penutur (komunikator)
kepada petutur (komunikan) dalam perkembangannya kemudian diipergunakan untuk
tujuan-tujuan tertentu, dari tujuan yang sederhana yang berhubungan dengan agama
sampai pada tujuan yang lebih kompleks, seperti sebagai alat kekuasaaan dan hegemoni;
sebagai alat pembenaran pribadi; dan sebagai alat perjuangan dan media pembebasan.
DAFTAR PUSTAKA
Artha, Arwan Tuti. 2002. Bahasa dalam Wacana Demokrasi dan Pers. Yogyakarta: AK
Group.
Kurtines, William M. dan Gerwitz. 1993. Moralitas, Perilaku Moral, dan Perkembangan
Moral. Jakarta: Universitas Indonesia Press