You are on page 1of 3

Sumber : http://sawali.

info/2008/03/02/sastrawan-masuk-sekolah-sebuah-agenda-yang-tertinggal/

Sastrawan Masuk Sekolah: Sebuah Agenda yang Tertinggal


Sastrawan Masuk Sekolah (SMS) yang dulu pernah gencar digelar oleh Yayasan
Indonesia, Majalah Horison, dan Depdiknas, agaknya kini tak terdengar lagi
gaungnya. Agenda yang pernah menghadirkan sastrawan papan atas semacam Taufik
Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, atau Taufik Ikram Jamil di balik
tembok sekolah itu kini seolah-olah sudah “tamat” riwayatnya. Apakah lantaran The
Ford Foundation tak lagi turun tangan menjadi sponsornya? Entahlah!

Memang, agenda SMS pernah dikritik oleh Mursal Esten. Ia khawatir, agenda
semacam itu bisa membuat para guru dan siswa lebih tertarik pada akting sang
sastrawan ketimbang secara suntuk melakukan penjelajahan komunikasi imajinatif
terhadap teks-teks sastra yang merupakan arus utama dalam kegiatan apresiasi.
Dengan kata lain, kehadiran sastrawan ke sekolah justru hanya akan melahirkan
apresiasi semu yang berujung pada pendangkalan dan pengerdilan nilai-nilai sastrawi.
Para guru dan siswa cenderung menjadi snobis gaya baru yang mengagumi sastrawan
tertentu secara berlebihan, naif, dan “membabi buta”, tanpa diimbangi dengan
intensitas apresiasi yang sesungguhnya.

Kalau itu yang terjadi, bukankah SMS hanya akan menjadi ajang pameran bagi
sastrawan tertentu guna mendapatkan pengukuhan, popularitas, dan legitimasi baru
lewat institusi pendidikan?

Harus diakui, apresiasi sastra bukanlah pelajaran yang bisa dengan mudah
“menghipnotis” siswa untuk menggemari teks-teks sastra. Pertama, pelajaran
apresiasi sastra dianggap tidak prospektif dan menjanjikan masa depan, amat “miskin”
nilai praktisnya jika dikaitkan dengan denyut kehidupan. Hal itu berbeda dengan
pelajaran Fisika, Matematika, atau bahasa Inggris yang dianggap memiliki pertautan
langsung dengan nilai-nilai praksis kehidupan dan masa depan. Tidak mengherankan
jika hanya beberapa gelintir siswa yang memiliki “dunia panggilan” untuk bersikap
serius, total, dan intens dalam mengapresiasi sastra.

Kedua, tidak semua guru sastra memiliki minat dan “talenta” sastra yang memadai.
Alih-alih menyajikan teks-teks sastra secara menarik dan memikat bagi peserta didik,
sekadar menafsirkan teks sastra untuk dirinya sendiri pun masih sering kedodoran.
Akibatnya, proses pembelajaran apresiasi sastra berlangsung monoton, miskin
kreativitas, sekadar mencekoki siswa dengan setumpuk teori model hafalan. Yang
lebih memprihatinkan, pelajaran apresiasi sastra tak jarang dilewati begitu saja
lantaran jarang diujikan dalam soal ulangan umum maupun ujian. Guru tidak mau
bersikap konyol dengan menyajikan apresiasi sastra secara total dan serius kepada
siswa didik kalau pada akhirnya nilai ujian nasional yang selama ini “didewa-
dewakan” jadi merosot.

Ketiga, langkanya buku-buku teks sastra di sekolah. Sudah bukan rahasia lagi,
“kemauan politik” pemerintah untuk membumikan sastra lewat dunia pendidikan
masih amat minim. Diakui atau tidak, para birokrat masih punya basis asumsi klise
bahwa sastra tidak memiliki kontribusi langsung terhadap pembangunan bangsa.
Bahkan, tidak jarang yang memahami bahwa parodi dan kritik dalam teks sastra
sebagai penghambat laju pembangunan, sehingga perlu dilakukan sensor ketat
terhadap teks-teks sastra yang hendak diluncurkan ke sekolah. Tidak berlebihan jika

1 Perpustakaan Pribadi Didi Arsandi, www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com


Sumber : http://sawali.info/2008/03/02/sastrawan-masuk-sekolah-sebuah-agenda-yang-tertinggal/

pusat perbukuan amat jarang –lebih tepat dibilang langka– memasok buku-buku sastra
mutakhir yang berbobot ke sekolah. Yang tersedia di perpustakaan sekolah hanyalah
teks-teks sastra pendukung kebijakan penguasa yang tergolong “basi” dan ketinggalan
zaman yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Akibatnya, wawasan dan
“kecanggihan” sastra para guru dan siswa didik (nyaris) tak pernah bergeser dari
kondisi stagnan.

***

Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses globalisasi
yang ditandai dengan makin terbukanya persaingan di era pasar bebas, sastra justru
menjadi penting dan urgen untuk disosialisasikan melalui institusi pendidikan. Karya
sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk karakter dan
kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai, para keluaran
pendidikan diharapkan mampu bersaing pada era global secara arif, matang, dan
dewasa. Dalam konteks demikian, sastra menjadi semakin penting, bukan saja
lantaran sastra memiliki kontribusi besar dalam memperhalus budi, memperkaya batin
dan dimensi hidup, melainkan juga lantaran telah masuk ke dalam kurikulum
pendidikan. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, para
siswa akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup,
dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas persoalan yang dihadapinya.

Untuk membedah kompleksnya nilai-nilai estetika dan dimensi hidup yang


terkandung dalam teks sastra jelas bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan
pemahaman dan penghayatan secara serius dan total lewat pembimbingan apresiasi
secara intensif; bukan sekadar digelembungkan lewat slogan dan retorika.

Nah, ketika guru sastra mulai gencar dipertanyakan kapabilitasnya dan dianggap tak
berdaya dalam melakukan sosialisasi dan apresiasi sastra kepada siswa didik, apa
salahnya menghadirkan sastrawan ke sekolah untuk memberikan “sugesti” dan
“injeksi” agar muncul gairah apresiasi baru dalam proses pembelajaran sastra. Ini
artinya, agenda SMS perlu dimaknai sebagai bagian dari upaya untuk ikut menjawab
kegelisahan dan kegagapan guru sastra di sekolah yang dinilai “miskin” kreativitas
dan kurang “canggih” dalam menyajikan apresiasi sastra, sehingga tingkat apresiasi
sastra peserta didik berada pada titik yang rendah.

***

Kekhawatiran bahwa SMS hanya akan menyesatkan apresiasi sastra siswa lantaran
hanya memunculkan kekaguman pada “keaktoran” sastrawan ketimbang pada teks
sastranya, memang sah-sah saja apabila tidak diimbangi dengan kreativitas sang
sastrawan dalam meluncurkan teks-teks sastra berbobot yang mengalir dari
tangannya. Kehadiran mereka tak lebih dari seorang selebritis yang menaburkan
mimpi keglamoran bagi penggemar dan pengagumnya. Namun, sepanjang kepiawaian
sang sastrawan dalam berakting disempurnakan lewat kiprah dan gairah bersastra
yang tak henti-hentinya mengalir, kehadiran mereka justru akan mampu menjadi
“oase” bersejarah di tengah kegersangan apresiasi sastra yang sudah lama dirasakan
oleh dunia pendidikan.

2 Perpustakaan Pribadi Didi Arsandi, www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com


Sumber : http://sawali.info/2008/03/02/sastrawan-masuk-sekolah-sebuah-agenda-yang-tertinggal/

Jelas, yang dibutuhkan bukan sastrwan yang semata-mata pandai berakting


mengartikulasikan teks-teks sastra di depan guru dan siswa didik, melainkan mereka
yang mampu mengomunikasikan nilai estetika dan ide-ide cemerlang yang terpancar
dari teks-teks sastra secara cerdas sehingga mampu memberikan imaji positif
sekaligus mampu membebaskan mitos sastra sebagai dunia kaum pengkhayal yang
miskin kontribusinya terhadap gerak dan dinamika peradaban.

Lewat kehadiran sastrawan ke sekolah, teks-teks sastra yang selama ini berada di
puncak keterasingan bisa membumi dan tersosialisasikan secara intensif di bangku
sekolah. Harapannya, teks sastra tidak hanya sekadar dipahami sebagai sebuah produk
budaya, tetapi juga sebagai sebuah kenikmatan rohaniah yang mencerahkan.

Persoalannya sekarang, kenapa para sastrawan lokal –yang tak kalah hebatnya dengan
sastrawan ibukota– dan sekolah-sekolah yang ada di daerah belum juga tergugah
untuk membangun jaringan mutualistis yang identik dengan SMS? Sudah bukan
saatnya lagi sekolah menjadi “tempurung” ilmu pengetahuan yang tabu dimasuki
sumber-sumber belajar dari luar. Justru sebaliknya, sekolah harus benar-benar
memosisikan diri sebagai basis pendidikan nilai, menggambarkan diorama masyarakat
mini yang lentur dan terbuka terhadap segala tantangan dan perubahan konstruktif
dalam mempersiapkan peserta didik memasuki kehidupan masyarakat yang
sesungguhnya. Demikian juga sang sastrawan. Mereka diharapkan tidak hanya
sekadar melahirkan teks sastra, tetapi juga dituntut untuk mengomunikasikan kepada
publik, termasuk lewat agenda SMS.

Sampeyan punya cara lain? ***

Sumber : http://sawali.info/2008/03/02/sastrawan-masuk-sekolah-sebuah-agenda-yang-tertinggal/

3 Perpustakaan Pribadi Didi Arsandi, www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com

You might also like